Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN PERILAKU KEKERASAN

Disusun Oleh :

Kholifatul Hasanah (142022030301)


Saraswati Murty D (142022030309)
Septian Minarbekti (142022030305)
Septian Lutfiana R (142022030314)
Umi Nurjannah (142022030326)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS
TAHUN 2022
PEMBAHASAN

A. Pengertian Perilaku Kekerasan


Stuart dan Laraia (2005), menyatakan bahwa perilaku kekerasan adalah hasil dari
marah yang ekstrim (kemarahan) atau ketakutan (panik) sebagai respon terhadap
perasaan terancam baik berupa ancaman serangan fisik atau konsep diri.
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologis (Keliat, 2002).
Sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku kekerasan merupakan:
1. Respon emosi yang timbul sebagai reaksi terhadap kecemasan yang meningkat
dan dirasakan sebagai ancaman.
2. Ungkapan perasaan terhadap keadaan yang tidak menyenangkan (kecewa,
keinginan tidak tercapai, tidak puas).
3. Perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri,
orang lain, dan lingkungan.
Kekerasan (violence) merupakan suatu bentuk perilaku agresi (aggressive behaviour)
yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau
menyakiti orang lain, termasuk terhadap hewan atau benda-benda. Ada perbedaan
antara agresi sebagai suatu bentuk pikiran maupun perasaan dengan agresi sebagai
bentuk perilaku. Agresi adalah suatu respon terhadap kemarahan, kekecewaan,
perasaan dendam atau ancaman yang memancing amarah yang dapat membangkitkan
suatu perilaku kekerasan sebagai suatu cara untuk melawan atau menghukum yang
berupa tindakan menyerang, merusak, hingga membunuh. Agresi tidak selalu
diekspresikan berupa tindak kekerasan menyerang orang lain, agresivitas terhadap diri
sendiri, serta penyalahgunaan narkoba hingga tindakan bunuh diri juga merupakan
suatu bentuk perilaku agresi. Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk
perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis.
Berdasarkan definisi ini, maka perilaku kekerasan dapat dibagi menjadi dua menjadi
perilaku kekerasan verbal dan fisik (Stuart dan Sundeen, 1995).
Kemarahan adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan
yang dirasakan sebagai ancaman (Keliat, 1996). Sedangkan menurut Depkes RI,
Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan Penyakit Jiwa Jilid 1 edisi 1,
halaman 52 tahun 1996, marah adalah pengalaman emosi yang kuat dari individu
dimana hasil / tujuan yang harus dicapai terhambat. Kemarahan yang ditekan atau
berpura-pura tidak marah akan mempersulit diri-sendiri dan mengganggu hubungan
interpersonal. Pengungkapan kemarahan dengan langsung dan konstruktif pada waktu
terjadi akan melegakan individu dan membantu orang lain untuk mengerti perasaan
yang sebenarnya. Untuk itu perawat harus pula mengetahui tentang respon kemarahan
seseorang dan fungsi positif marah. Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul
sebagai respon terhadap kecemasan / kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan
sebagai ancaman (Stuart dan Sundeen,1995). Respon adaptif adalah respon individu
dalam penyesuaian masalah yang dapat diterima oleh norma-norma social dan
kebudayaan, sedangkan respon maladaptif, yaitu respon individu dalam penyelesaian
masalah yang menyimpang dari norma-norma social dan budaya lingkungannya.
Rentang kemarahan dapat berfluktasi dalam rentang adaptif sampai maladaptif.
Rentang respon kemarahan (Keliat, 2003) dapat digambarkan sebagai berikut :

Respon adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Ngamuk


(kekerasan)

Assertif Mengungkapkan marah Karakter assertif sebagai berikut :


tanpa menyakiti, melukai 1. Moto dan Kepercayaan : yakni bahwa
perasaan orang lain, tanpa diri sendiri berharga demikian juga
merendahkan harga diri orang lain. Assertif bukan berarti selalu
orang lain menang, melainkan dapat menangani
situasi secara efektif. Aku punya hak,
demikian juga orang lain.
2. Pola komunikasi : efektif, pendengar
yang aktif. Menetapkan batasan dan
harapan. Mengatakan pendapat sebagai
hasil observasi bukan penilaian.
Mengungkapkan diri secara langsung
dan jujur. Memperhatikan perasaan
orang lain.
3. Karakteristik : tidak menghakimi.
Mengamati sikap daripada menilainya.
Mempercayai diri sendiri dan orang
lain. Percaya diri, memiliki kesadaran
diri, terbuka, fleksibel, dan akomodatif.
Selera humor yang baik, mantap,
proaktif, inisiatif. Berorientasi pada
tindakan. Realistis dengan cita-cita
mereka.
4. Isyarat bahasa tubuh (non-verbal cues),
terbuka, dan gerak-gerik alami. Atentif ,
ekspresi wajah yang menarik, kontak
mata yang langsung, percaya diri.
Volume suara yang sesuai. Kecepatan
bicara yang beragam.
5. Isyarat Bahasa (Verbal Cues)
a. “Aku memilih untuk...”
b. “Alternatif apa yang kita miliki?”
6. Konfrontasi dan Pemecahan Masalah
a. Bernegosiasi, menawar, menukar,
dan kompromi
b. Mengkonfrontir, masalah pada saat
terjadi
c. Tidak ada perasaan negatif yang
muncul.
7. Perasaan yang dimiliki, yaitu :
antusiame, mantap, percaya diri dan
harkat diri, terus termotivasi, tahu
dimana mereka berdiri (Keliat, 1996)
Gaya komunikasi dengan Pendekatan yang harus dilakukan terhadap
orang assertif orang-orang dengan karakter assertif ini
adalah :
1. Hargai mereka dengan mengatakan
bahwa pandangan yang akan kita
sampaikan barangkali telah pernah
dimiliki oleh mereka sebelumnya.
2. Sampaikan topik dengan rinci dan jelas
karena mereka adalah pendengar yang
baik.
3. Jangan membicarakan sesuatu yang
bersifat penghakiman karena mereka
adalah orang yang sangat menghargai
setiap pendapat orang lain.
4. Berikan mereka kesempatan untuk
meyampaikan pokok-pokok pikiran
dengan tenang dan runtun.
5. Gunakan intonasi suara variatif karena
mereka menyukai hal ini.
6. Berikan beberapa alternatif jika
menawarkan sesuatu karena mereka
tidak suka sesuatu yang berifat kaku.
7. Berbicaralah dengan penuh percaya diri
agar dapat mengimbangi mereka.
Frutasi Adalah respon yang timbul Frustasi dapat dialami sebagai suatu
akibat gagal mencapai tujuan ancaman dan kecemasan. Akibat dari
atau keinginan. ancaman tersebut dapat menimbulkan
kemarahan.
Pasif Sikap permisif / pasif adalah Salah satu alasan orang melakukan
respon dimana individu tidak permisif / pasif adalah karena takut / malas /
mampu mengungkapkan tidak mau terjadi konflik.
perasaan yang dialami , sifat
tidak berani mengemukakan
keinginan dan pendapat
sendiri, tidak ingin terjadi
konflik karena takut akan
tidak disukai atau menyakiti
perasaan orang lain.
Agresif Sikap agresif adalah sikap Perilaku agresif sering bersifat menghukum,
membela diri sendiri dengan kasar, menyalahkan, atau menuntut. Hal ini
melanggar hak orang lain termasuk mengancam, melakukan kontak
fisik, berkata-kata kasar, komentar
menyakitkan dan juga menjelek - jelekkan
orang lain dibelakang. Sikap agresif
merupakan perilaku yang menyertai marah
namun masih dapat dikontrol. Orang agresif
biasanya tidak mau mengetahui hak orang
lain. Dia berpendapat bahwa setiap orang
harus bertarung untuk mendapatkan
kepentingan sendiri. Agresif
memperlihatkan permusuhan, keras dan
menuntut, mendekati orang lain dengan
ancaman, memberi kata ancaman tanpa niat
melukai.Umumnya klien masih dapat
mengontrol perilaku untuk tidak melukai
orang lain.
Kekerasan Disebut sebagai gaduh Perilaku kekerasan ditandai dengan
gelisah atau amuk menyentuh orang lain secara menakutkan,
memberi kata-kata ancaman melukai
disertai melukai di tingkat ringan dan yang
paling berat adalah melukai merusak secara
serius. Klien tidak mampu mengendalikan
diri . mengamuk adalah rasa marah dan
bermusuhan yang kuat disertai kehilangan
kontrol diri. Pada keadaan ini, individu
dapat merusak dirinya sendiri maupun
terhadap orang lain (Keliat, 2002).

B. Etiologi
1. Faktor predisposisi
a. Faktor Psikologis
Psyschoanalytical Theory : Teori ini mendukung bahwa perilaku agresif
merupakan akibat dari instinctual drives. Freud berpendapat bahwa perilaku
manusia dipengaruhi oleh dua insting. Pertama, insting hidup yang
diekspresikan dengan seksualitas dan kedua, insting kematian yang
diekspresikan dengan agresivitas.
Frustation-agression Theory : Teori yang dikembangkan oleh pengikut Freud
ini berawal dari asumsi bahwa bila usaha seseorang untuk mencapai suatu
tujuan mengalami hambatan, maka akan timbul dorongan agresif yang pada
gilirannya akan memotivasi prilaku yang dirancang untuk melukai orang atau
objek yang menyebabkan frustasi. Jadi, hampir semua orang melakukan
tindakan agresif mempunyai riwayat perilaku agresif.
Pandangan psikologi lainnya mengenai perilaku agresif : mendukung
pentingnya peran dari perkembangan predisposisi atau pengalaman hidup. Ini
menggunakan pendekatan bahwa manusia mampu memilih mekanisme koping
yang sifatnya tidak merusak. Beberapa contoh dari pengalaman tersebut :
1) Kerusakan otak organik dan retardasi mental sehingga tidak mampu
untuk menyelesaikan secara efektif
2) Severe emotional deprivation atau rejeksi yang berlebihan pada masa
kanak-kanak atau seduction parental yang mungkin telah merusak
hubungan saling percaya dan harga diri
3) Terpapar kekerasan selama masa perkembangan, termasuk child abuse
atau mengobservasi kekerasan dalam keluarga, sehingga membentuk
pola pertahanan atau koping.
b. Faktor Sosial Budaya
Sosial Learning Theory, teori ini mengemukakan bahwa agresi tidak berbeda
dengan respon-respon yang lain. Agresi dapat dipelajari melalui observasi atau
imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan, maka semakin besar
kemungkinan untuk terjadi. Jadi, seseorang akan berespon terhadap
keterbangkitan emosionalnya secara agresif sesuai dengan respon yang
dipelajarinya. Pembelajaran ini bisa internal atau eksternal. Contoh internal:
orang yang mengalami keterbangkitan seksual karena menonton film erotis
menjadi lebih agresif dibandingkan mereka yang tidak menonton, seorang
anak yang marah karena tidak boleh beli es krim kemudian ibunya
memberinya es agar si anak berhenti marah. Anak tersebut akan belajar bahwa
bila ia marah, maka ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan. Contoh
eksternal: seorang anak menunjukkan prilaku agresif setelah melihat seseorang
dewasa mengekspresikan berbagai bentuk perilaku agresif terhadap sebuah
boneka. Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma
membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang dapat diterima atau
tidak dapat diterima sehingga dapat membantu individu untuk
mengekspresikan marah dengan cara yang asertif.
c. Faktor Biologis
Penelitian neurobiology mendapatkan bahwa adanya pemberian stimulus
elektris ringan pada hipotalamus binatang ternyata menimbulkan prilaku
agresif. Perangsangan yang diberikan terutama pada impuls periforniks
hipotalamus dapat menyebabkan seekor kucing mengeluarkan cakarnya,
mengangkat ekornya, mendesis, mengeram, dan hendak menerkam tikus atau
objek yang ada disekitarnya. Jadi, terjadi kerusakan fungsi sistim limbic
(untuk emosi dan perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional), dan
lobus temporal (untuk interprestasi indra penciuman dan memori).
Neurotransmiter yang sering dikaitkan dengan perilaku agresif: serotonin,
dolpamin, norepinefrin, asetilkoin, dan asam amino GABA. Factor-factor yang
mendukung adalah : 1) masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan, 2)
sering mengalami kegagalan, 3) kehidupan yang penuh tindakan agresif, dan
4) lingkungan yang tidak kondusif (bising, padat).
d. Perilaku
Reinforcment yang terima pada saat melakukan kekerasan dan sering
mengobservasi kekerasan di rumah atau di luar rumah, semua aspek ini
menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan (Keliat, 1996).
2. Faktor Presipitasi
Secara umum, seseorang akan mengeluarkan respon marah apabila merasa dirinya
terancam. Ketika seseorang merasa terancam, mungkin dia tidak menyadari sama
sekali apa yang menjadi sumber kemarahannya. Oleh karena itu, baik perawat
maupun klien harus bersama-sama mengidentifikasinya. Ancaman dapat berupa
internal ataupun eksternal. Contoh stressor eksternal: serangan secara fisik,
kehilangan hubungan yang dianggap bermakna, dan adanya kritikan dari orang
lain. Sedangkan contoh dari stressor eksternal: gagal dalam bekerja, merasa
kehilangan orang yang dicintai, dan ketakutan terhadap penyakit yang diderita.
Bila dilihat dari sudut perawat klien, maka faktor yang mencetuskan terjadinya
perilaku kekerasan terbagi dua, yakni:
a. Klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kurang percaya diri.
b. Lingkungan: ribut, kehilangan orang atau objek yang berharga, konflik
interaksi sosial.
Faktor presipitasi bersumber dari klien, lingkungan, atau interaksi dengan orang
lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik), keputusasaan,
ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku
kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan
yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintai atau pekerjaan,
dan kekerasan merupakan factor penyebab lain. Interaksi social yang provokatif
dan konflik dapat pula pemicu perilaku kekerasan (Keliat, 1996).

C. Pohon Masalah

Resiko mencederai diri, orang lain dan


Effect
lingkungan

Risiko Perilaku Kekerasan Core Problem

Gangguan Konsep Diri Causa

(Sumber: Keliat, B.A., 2009)


D. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko Perilaku Kekerasan
Definisi: Kemarahan yang diekspresikan secara berlebihan dan tidak terkendali
secara verbal sampai dengan mencederai orang lain dan / atau merusak
lingkungan.
Penyebab:
a. Ketidakmampuan mengendalikan dorongan marah
b. Stimulus lingkungan
c. Konflik interpersonal
d. Perubahan status mental
e. Putus obat
f. Penyalahgunaan zat / alcohol
Gejala dan Tanda Mayor:
Subjektif: Objektif:
1. Mengancam 1. Menyerang orang lain
2. Mengumpat dengan kata kasar 2. Melukai diri sendiri / orang lain
3. Suara keras 3. Merusak lingkungan
4. Bicara ketus 4. Perilaku agresif / amuk
Gejala dan Tanda Minor:

Subjektif: Objektif:
(tidak tersedia) 1. Mata melotot atau pandangan tajam
2. Tangan mengepal
3. Rahang mengatup
4. Wajah memerah
5. Postur tubuh kaku

Kondisi Klinis Terkait:


1. Attetion deficit / hyperactivity disorder (ADHD)
2. Gangguan perilaku
3. Oppositional defiant disorder
4. Gangguan Tourette
5. Delirium
6. Demensia
7. Gangguan amnestic (SDKI, 2016)

E. Strategi Pelaksanaan Pasien

F. Strategi Pelaksanaan Keluarga


Keliat (2002) mengemukakan cara khusus yang dapat dilakukan keluarga dalam
mengatasi marah klien, yaitu:
1. Latihan secara non-verbal / perilaku
Arahkan klien untuk memukul barang yang tidak mudah rusak dan tidak
menyebabkan cedera pada klien itu sendiri seperti bantal, kasur, dst.
2. Latihan secara social atau verbal
Bantu klien relaksasi misalnya latihan fisik maupun olahraga. Latihan pernapasan
2 x / hari, tiap kali 10 kali tarikan dan hembusan napas. Kemudian berteriak,
menjerit untuk melepaskan perasaan marah. Bisa juga mengatasi marah dengn
dilakukan tiga cara, yaitu: mengungkapkan, meminta, menolak dengan benar.
Bantu melalui humor. Jaga humor tidak menyakiti orang, observasi ekspresi muka
orang yang menjadi sasaran dan diskusi cara umum yang sesuai.
3. Metode TAK (Terapi Aktivitas Kelompok)
Penggunaan kelompok dalam praktik keperawatan jiwa memberikan dampak
positif dalam upaya pencegahan, pengobatan atau terapi serta pemulihan
kesehatan jiwa. Selain itu, dinamika kelompok tersebut membantu pasien
meningkatkan perilaku adaptif dan mengurangi perilaku maladaptif.
Secara umum fungsi kelompok adalah sebagai berikut:
a. Setiap anggota kelompok dapat bertukar pengalaman
b. Berupaya memberikan pengalaman dan penjelasan pada anggota lain
c. Merupakan proses menerima umpan balik
Terapi aktivitas kelompok (TAK) merupakan terapi yang bertujuan mengubah perilaku
pasien dengan memanfaatkan dinamika kelompok. Cara ini cukup efektif karena di dalam
kelompok akan terjadi interaksi satu dengan yang lain, saling memengaruhi, saling
bergantung, dan terjalin satu persetujuan norma yang diakui bersama, sehingga terbentuk
suatu sistem sosial yang khas yang di dalamnya terdapat interaksi, interelasi, dan
interdependensi.
Terapi aktivitas kelompok (TAK) bertujuan memberikan fungsi terapi bagi
anggotanya, yang setiap anggota berkesempatan untuk menerima dan memberikan
umpan balik terhadap anggota yang lain, mencoba cara baru untuk meningkatkan
respons sosial, serta harga diri. Keuntungan lain yang diperoleh anggota kelompok
yaitu adanya dukungan pendidikan, meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah, dan meningkatkan hubungan interpersonal.
Terapi aktivitas kelompok itu sendiri mempermudah psikoterapi dengan sejumlah
pasien dalam waktu yang sama. Manfaat terapi aktivitas kelompok yaitu agar
pasien dapat belajar kembali bagaimana cara bersosialisasi dengan orang lain,
sesuai dengan kebutuhannya memperkenalkan dirinya. Menanyakan hal-hal yang
sederhana dan memberikan respon terhadap pertanyaan yang lain sehingga pasien
dapat berinteraksi dengan orang lain dan dapat merasakan arti berhubungan
dengan orang lain (Bayu, 2011).
Terapi aktivitas kelompok sering dipakai sebagai terapi tambahan. Wilson dan
Kneisl menyatakan bahwa terapi aktivitas kelompok adalah manual, rekreasi, dan
teknik kreatif untuk memfasilitasi pengalaman seseorang serta meningkatkan
repon social dan harga diri (Keliat, 2009).
Pada pasien dengan perilaku kekerasan selalu cenderung untuk melakukan
kerusakan atau mencederai diri, orang lain, atau lingkungan. Perilaku kekerasan
tidak jauh dari kemarahan. Kemarahan adalah perasaan jengkel yang timbul
sebagai respon terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman. Ekspresi
marah yang segera karena suatu sebab adalah wajar dan hal ini kadang
menyulitkan karena secara kultural ekspresi marah yang tidak diperbolehkan.
Oleh karena itu, marah sering diekspresikan secara tidak langsung (Sumirta,
2013).
Kemarahan yang ditekan atau pura-pura tidak marah akan mempersulit diri sendiri
dan mengganggu hubungan interpersonal. Pengungkapan kemarahan dengan
langsung dan tidak konstruktif pada waktu terjadi akan melegakan individu dan
membantu mengetahui tentang respon kemarahan seseorang dan fungsi positif
marah (Yosep, 2010).
Atas dasar tersebut, maka dengan terapi aktivitas kelompok (TAK) pasien dengan
perilaku kekerasan dapat tertolong dalam hal sosialisasi dengan lingkungan
sekitarnya. Tentu saja pasien yang mengikuti terapi ini adalah pasien yang mampu
mengontrol dirinya dari perilaku kekerasan sehingga saat TAK pasien dapat
bekerjasama dan tidak mengganggu anggota kelompok lain.

Masalah : Resiko Perilaku Kekerasan


Pertemuan ke I (satu)
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi Klien :
a. Data Subjektif
1. Klien mengatakan sering mendengar suara-suara yang menyuruh melukai
diri sendiri, orang lain dan lingkungan
b. Data Objektif
2. Klien tampak tenang dan kooperatif\

A. Diagnosa Keperawatan : Resiko perilaku kekerasan


1. Tujuan :
a. Keluarga dapat menjelaskan perasaannya, menjelaskan cara merawat klien perilaku
kekerasan, mendemonstrasikan cara perawatan klien perilaku kekerasan, berpartisipasi dalam
perawatan klien perilaku kekerasan.
b. Keluarga mengerti dan menyebutkan kembali pengertian, tanda dan gejala, dan proses
terjadinya perilaku kekerasan.
2. Tindakan Keperawatan
SP I K
1)Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
2)Menjelaskan pengertian perilaku kekerasan, tanda dan gejala, serta
proses terjadinya perilaku kekerasan
3)Menjelaskan cara merawat pasien dengan perilaku kekerasan

B. Strategi Komunikasi
1. Orientasi
a. Salam Terapeutik
“Assalamualaikum Mbak, perkenalkan nama saya Muna, saya perawat
dari ruang Perkutut ini, saya yang akan merawat bapak (pasien). Kalau
boleh tau nama Mbak siapa ya?”
b. Evaluasi Validasi
“Bagaimana keadaan bapak, Mbak? Apakah masih ada perasaan marah
atau jengkel?”
c. Kontrak
1)Topik
“Tujuan saya kesini yaitu untuk berbincang-bincang dengan mbak
mengenai masalah yang dihadapi mbak dalam merawat bapak. Apakah
mbak bersedia?”
2)Waktu
“Berapa lama kita akan berbincang-bincang? Bagaimana kalau 30
menit?”
3)Tempat
“Dimana kita akan berbincang-bincang, Mbak? Kalau kita berbincang-
bincang di ruang perawat, bagaimana mbak?”

2. Kerja
“Mbak, apa masalah yang mbak hadapi dalam merawat Bapak?
Apa yang mbak lakukan?”
“Baik mbak, Saya akan coba menjelaskan tentang marah Bapak
dan hal-hal yang perlu diperhatikan.”
“Mbak, marah adalah suatu perasaan yang wajar tapi bila tidak
disalurkan dengan benar akan membahayakan dirinya sendiri, orang lain
dan lingkungan.”
“Yang menyebabkan bapak Mbak menjadi marah dan ngamuk
adalah kalau dia merasa direndahkan, keinginan tidak terpenuhi. Kalau
Bapak apa penyebabnya, Mbak?”
“Kalau nanti wajah bapak Mbak tampak tegang dan merah, lalu
kelihatan gelisah, itu artinya suami ibu sedang marah, dan biasanya
setelah itu ia akan melampiaskannya dengan membanting-banting
perabot rumah tangga atau memukul atau bicara kasar. Kalau bapak
Mbak sedang marah apa perubahan terjadi? Lalu apa yang biasanya dia
lakukan?”
“Bila hal tersebut terjadi sebaiknya Mbak tetap tenang, bicara
lembut tapi tegas, jangan lupa jaga jarak dan jauhkan benda-benda tajam
dari sekitar bapak seperti gelas, pisau. Jauhkan juga anak-anak kecil dari
bapak.”
“Bila bapak masih marah dan ngamuk segera bawa ke puskesmas
atau RSJ setelah sebelumnya diikat dulu (ajarkan caranya pada
keluarga). Jangan lupa minta bantuan orang lain saat mengikat bapak ya
Mbak, lakukan dengan tidak menyakiti bapak dan dijelaskan alasan
mengikat yaitu agar bapak tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan
lingkungan”
“Nah Mbak, Mbak sudah lihat kan apa yang saya ajarkan kepada
bapak bila tanda-tanda kemarahan itu muncul. Mbak bisa bantu bapak
dengan cara mengingatkan jadwal latihan cara mengontrol marah yang
sudah dibuat yaitu secara fisik, verbal, spiritual dan obat teratur”.
“Kalau bapak bisa melakukan latihannya dengan baik  jangan
lupa dipuji ya Mbak”.

3. Terminasi
a. Evaluasi
1)Evaluasi Subjektif
“Bagaimana perasaan mbak setelah kita bercakap-cakap tentang cara
merawat bapak?”
2) Evaluasi Objektif
“Coba Mbak sebutkan lagi cara merawat bapak”
b. Rencana Tindak Lanjut
“Setelah ini coba Mbak ingatkan jadwal yang telah dibuat untuk
bapak ya Mbak”
c. Kontrak
1) Topik
“Bagaimana kalau kita ketemu 2 hari lagi untuk latihan cara-cara
yang telah kita bicarakan tadi langsung kepada bapak?”
2) Waktu
“Berapa lama kita akan berbincang? Bagaimana kalau 30 menit ?”
3) Tempat
“Dimana kita bisa berbincang lagi? Bagaimana kalau disini
saja?”

Masalah : Resiko Perilaku Kekerasan


Pertemuan ke II (dua)

A. Proses Keperawatan
1. Kondisi Klien
a. Data Subjektif
-Klien mengatakan dirinya dapat mengenal peyebab marah
b. Data Objektif
-Klien sudah dapat membina hubungan saling percaya.
2. Diagnosa Keperawatan : Resiko perilaku kekerasan
3. Tujuan :
-Keluarga mampu mempraktikan cara merawat klien perilaku kekerasan.
-Keluarga mampu melakukan cara merawat langsung klien.
4. Tindakan Keperawatan SP II K
-Melatih keluarga memraktekkan cara merawat klien dengan perilaku kekerasan
-Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada klien perilaku kekerasan

B. Strategi Komunikasi
1. Orientasi
a. Salam Terapeutik
“Assalamualaikum mbak, masih ingat dengan saya?”
b. Evaluasi validasi
“Bagaimana Mbak? Masih ingat diskusi kita yang lalu? Ada yang mau Ibu
tanyakan?”
c. Kontrak
1) Topik
“Sesuai dengan janji kita 2 hari yang lalu sekarang kita ketemu lagi untuk latihan
cara-cara mengontrol rasa marah bapak.”
2) Waktu
“Berapa lama mbak kita mau latihan? Bagaimana kalau 30 menit?”
3) Tempat
“Dimana kita akan latihan, Mbak? Bagaimana kalau kita latihan disini saja?
Sebentar saya panggilkan bapak supaya bisa berlatih bersama”

2. Kerja
”Nah pak, coba ceritakan kepada Mbak, latihan yang sudah Bapak lakukan.”
“Bagus sekali. Coba perlihatkan kepada Mbak jadwal harian Bapak! Bagus!”
”Nanti di rumah Mbak bisa membantu bapak latihan mengontrol kemarahan
Bapak.”
”Sekarang kita akan coba latihan bersama-sama ya pak?”
”Masih ingat pak, Mbak. Kalau tanda-tanda marah sudah bapak rasakan maka
yang harus dilakukan bapak adalah?”
”Ya, betul. Bapak berdiri, lalu tarik napas dari hidung, tahan sebentar lalu
keluarkan/tiup perlahan–lahan melalui mulut seperti mengeluarkan kemarahan.
Ayo coba lagi, tarik dari hidung, bagus, tahan, dan tiup melalui mulut. Nah,
lakukan 5 kali, coba mbak temani dan bantu bapak menghitung latihan ini sampai
5 kali”.
“Bagus sekali, bapak dan mbak sudah bisa melakukannya dengan baik”.
“Cara yang kedua masih ingat pak, mbak?”
“ Ya, benar, kalau ada yang menyebabkan bapak marah dan muncul perasaan
kesal, berdebar-debar, mata melotot, selain napas dalam bapak dapat melakukan
pukul kasur dan bantal”.
“Sekarang coba kita latihan memukul kasur dan bantal. Mana kamar bapak? Jadi
kalau nanti bapak kesal dan ingin marah, langsung ke kamar dan lampiaskan
kemarahan tersebut dengan memukul kasur dan bantal.”
“Nah, coba bapak lakukan sambil didampingi ibu, berikan bapak semangat ya bu.
Ya, bagus sekali bapak melakukannya”.
“Cara yang ketiga adalah bicara yang baik bila sedang marah. Ada tiga caranya
pak, coba praktekkan langsung kepada Mbak cara bicara ini:
1. Meminta dengan baik tanpa marah dengan nada suara yang rendah serta tidak
menggunakan kata-kata kasar, misalnya: ‘Nak, Bapak perlu uang untuk beli
rokok!’. Coba bapak praktekkan. Bagus pak.
2. Menolak dengan baik, jika ada yang menyuruh dan bapak tidak ingin
melakukannya, katakan: ‘Maaf saya tidak bisa melakukannya karena sedang ada
kerjaan’. Coba bapak praktekkan. Bagus pak
3. Mengungkapkan perasaan kesal, jika ada perlakuan orang lain yang membuat
kesal bapak dapat mengatakan:’ Saya jadi ingin marah karena perkataanmu itu’.
Coba praktekkan. Bagus”
“Cara berikutnya adalah kalau bapak sedang marah apa yang harus dilakukan?”
“Baik sekali, bapak coba langsung duduk dan tarik napas dalam. Jika tidak reda
juga marahnya rebahkan badan agar rileks. Jika tidak reda juga, ambil air wudhu
kemudian sholat”.
“Bapak bisa melakukan sholat secara teratur dengan didampingi mbak untuk
meredakan kemarahan”.
“Cara terakhir adalah minum obat teratur ya pak, mbak agar pikiran bapak jadi
tenang,  tidurnya juga tenang, tidak ada rasa marah”
“Bapak coba jelaskan berapa macam obatnya?”
“Bagus. Jam berapa minum obat?”
“Bagus. Apa guna obat tersebut?”
“Bagus. Apakah boleh mengurangi atau menghentikan obat?”
“Wah bagus sekali!”
“Dua hari yang lalu sudah saya jelaskan terapi pengobatan yang bapak dapatkan,
bapak tolong selama di rumah ingatkan bapak untuk meminumnya secara teratur
dan jangan dihentikan tanpa sepengetahuan dokter”

3. Terminasi
a. Evaluasi
1) Evaluasi Subjektif
“Baiklah mbak, latihan kita sudah selesai. Bagaimana perasaan mbak setelah kita
latihan cara-cara mengontrol marah langsung kepada bapak?”
2) Evaluasi Objektif
“Bisa mbak sebutkan lagi ada berapa cara mengontrol marah?”
b. Rencana Tindak Lanjut
“Selanjutnya tolong pantau dan motivasi Bapak melaksanakan jadwal latihan
yang telah dibuat selama di rumah nanti. Jangan lupa berikan pujian untuk Bapak
bila dapat melakukan dengan benar ya, Mbak”
c. Kontrak
1) Topik
“Karena Bapak sebentar lagi sudah mau pulang bagaimana kalau 2 hari lagi Ibu
bertemu saya untuk membicarakan jadwal aktivitas Bapak selama di rumah
nanti.”
2) Waktu
“Berapa lama mbak ingin berbincang-bincang? Oh, 15 menit. Baiklah.”
3) Tempat
“Lalu dimana kita akan berbincang-bincang? Oh, sama disini. Baiklah, Mbak.”

Masalah : Resiko Perilaku Kekerasan


Pertemuan ke III (tiga)

A. Proses Keperawatan
1. Kondisi Klien
a. Data Subjektif
1) Klien mengatakan sudah mengetahui perasaan marah dan akibat tindakan yang
dilakukan saat marah
b. Data Objektif
1) Klien tampak tenang dan kooperatif

2. Diagnosa Keperawatan : Resiko perilaku kekerasan


3. Tujuan :
a. Keluarga mampu membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat
secara mandiri.
b. Keluarga mematuhi jadwal yang telah dibuat untuk kesembuhan klien.
c. Keluarga mengerti/memahami follow up yang telah diarahkan pada klien.

4. Tindakan Keperawatan
SP III K
1) Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat
(discharge planning)
2) Menjelaskan follow up klien setelah pulang

B. Strategi Komunikasi
1. Orientasi
a. Salam Terapeutik
“Assalamualaikum, Pak, Mbak. Masih ingatkah dengan saya kan, Mbak?
b. Evaluasi Validasi
“Bagaimana mbak, selama mbak membesuk apakah sudah terus berlatih cara
merawat bapak? Apakah sudah dipuji keberhasilannya?”
c. Kontrak
1) Topik
“Karena besok bapak sudah boleh pulang, maka sesuai janji kita sekarang ketemu,
nah sekarang bagaimana kalau kita bicarakan jadwal di rumah?”
2) Waktu
“Berapa lama mbak mau kita berbicara? Bagaimana kalau 30 menit?”
3) Tempat
“Dimana kita akan berbincang-bincang? Bagaimana kalau birbincang-bincangnya
disini saja?”

2. Kerja
“Mbak, jadwal yang telah dibuat selama bapak di rumah sakit tolong dilanjutkan
dirumah, baik jadwal aktivitas maupun jadwal minum obatnya. Mari kita lihat
jadwal bapak”
“Hal-hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah perilaku yang ditampilkan
oleh bapak selama di rumah. Kalau misalnya bapak menolak minum obat atau
memperlihatkan perilaku membahayakan orang lain. Jika  hal ini terjadi segera
datang ke puskesmas atau pelayanan kesehatan terdekat ya”
“Nanti petugas puskemas tersebut yang akan memantau perkembangan bapak
selama dirumah”

3. Terminasi
a. Evaluasi
1) Evaluasi Subjektif
“Bagaimana Mbak apakah sudah paham? Ada yang ingin ditanyakan?
2) Evaluasi Objektif
“Coba Mbak sebutkan apa saja yang perlu diperhatikan” (jadwal kegiatan, tanda
atau gejala, follow up ke Puskesmas).
b. Rencana Tindak Lanjut
“Jangan lupa ya, Mbak materi yang telah saya ajarkan 3 hari ini, baik cara
merawat bapak maupun mengatur jadwal bapak dirumah nanti diterapkan, ya.”
“Baiklah, silakan menyelesaikan administrasi ya, Mbak”
“Saya akan persiapkan pakaian dan obat.”
c. Kontrak
1) Topik
“Karena bapak sudah boleh pulang, nanti silahkan mbak datang lagi untuk
memeriksakan atau mengontrolkan keadaan bapak ya, Mbak. Bagaimana
perkembangan kondisi bapak”
2) Waktu
“Satu bulan kemudian ya, Mbak.”
3) Tempat
“Tempatnya nanti silahkan datang ke poliklinik lagi ya, Mbak.”

Anda mungkin juga menyukai