Anda di halaman 1dari 55

LAPORAN PENDAHULUAN

PERILAKU KEKERASAN

A. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang
lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan
kesal atau marah yang tidak konstruktif (Stuart dan Sundeen, 1995).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang
lain maupun lingkungan (Fitria, 2009).
B. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan


Keterangan :
1. Asertif : Individu dapat mengungkapkan marah tanpa
menyalahkan orang lain dan memberikan ketenangan
2. Frustasi : Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan
tidak dapat menemukan alternative
3. Pasif : Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya
4. Agresif : Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk
menuntut tetapi masih terkontrol
5. Kekerasan : Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta
hilangnya control
Perbandingan antara perilaku Asertif, Pasif dan Agresif/Kekerasan
Pasif Asertif Agresif
Isi Negatif dan Positif dan Menyombongkan
Pembicaraan merendahkan diri, menawarkan diri, diri. Merendahkan
contohnya perkataan : contohnya orang lain,
“Dapatkah saya?” perkataan : contohnya perkataan
“Dapatkah kamu?” “Saya dapat…” :
“Saya akan….” “Kamu selalu…”
“Kamu tidak
pernah…”
Tekanan Cepat lambat, Sedang Keras dan ngotot
suara mengeluh
Posisi badan Menundukan kepala Tegap dan santai Kaku, condong
kedepan
Jarak Menjaga jarak dengan Mempertahankan Siap dengan jarak
sikap acuh/ jarak yang nyaman akan menyerang
mengabaikan orang lain
Penampilan Loyo, tidak dapat Sikap tenang Mengancam, posisi
tenang menyerang
Kontak mata Sedikit/sama sekali Mempertahankan Mata melotot dan
tidak kontak mata sesuai dipertahankan
dengan hubungan
Sumber : Keliat (1999) dalam Fitria (2009)
C. TANDA DAN GEJALA
1. Fisik : Muka merah, Pandangan tajam/mata melotot, tangan
mengepal, otot tegang, rahang mengatup, serta postur
tubuh kaku.
2. Verbal : Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor,
berbicara dengan nada keras, kasar dan ketus.
3. Perilaku : Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain,
merusak lingkungan, amuk/agresif
4. Emosi : tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa
terganggu, dendam, jengkel, tidak berdaya, bermusuhan,
ngamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
5. Intelektual : Mendominasi, cerewet, cenderung suka meremehkan,
berdebat, kasar, dan tidak jarang mengeluarkan kata-kata
bernada sarkasme
6. Spiritual : Merasa diri kuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tak
bermoral, kreativitas terhambat
7. Sosial : Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan,
sindiran, memperlihatkan permusuhan, mendekati orang
lain dengan ancaman, memberikan kata-kata ancaman
dengan rencana melukai, menyentuh orang lain dengan
cara yang menakutkan, mempunyai rencana untuk
melukai
D. Faktor Predisposisi
Menurut Townsend (1996) terdapat beberapa teori yang dapat
menjelaskan tentang factor predisposisi perilaku kekerasan diantaranya
adalah sebagai berikut :
1. Teori Biologik
Berdasarkan teori biologic, ada beberapa hal yang dapat
mempengaruhi seseorang melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai
berikut :
a. Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen system neurologis
mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat
impuls agresif. Sistem limbic sangat terlibat dalam menstimulasi
timbulnya perilaku bermusuhan dan respons agresif
b. Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam Townsend (1996)
menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter (epinefrin,
norepinefrin, dopamine, asetil kolin dan serotinin) sangat
berperan dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif.
Peningkatan hormone androgen dan norepinefrin serta penurunan
serotonin dan GABA (6 dan 7) pada cairan serebrospinal
merupakan factor predisposisi penting yang menyebabkan
timbulnya perilaku agresif pada seseorang.
c. Pengaruh genetic, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat
kaitannya dengan genetic termasuk genetic tipe kariotipe XYY,
yang umumnya dimiliki oleh penghuni penjara pelaku tindak
criminal (narapidana)
d. Gangguan otak, sindrom otak organic berhubungan dengan
berbagai gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada limbic
dan lobus temporal), trauma otak, penyakit ensefalitis, epilepsi
(epilepsi lobus temporal) terbukti berpengaruh terhadap perilaku
agresif dan tindak kekerasan.
2. Teori Psikologik
a. Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak
terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang rendah.
Agresi dan kekerasan dapat memberikan kekuatan dan prestise
yang dapat meningkatkan citra diri serta memberikan arti dalam
kehidupannya. Teori lainnya berasumsi bahwa perilaku agresif
dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan secra terbuka
terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri pelaku
tindak kekerasan.
b. Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang
dipelajari, individu yang memiliki pengaruh biologic terhadap
perilaku kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhi oleh
contoh peran eksternal dibandingkan anak-anak tanpa factor
predisposisi biologic.
3. Teori Sosiokultural
Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima
perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam
masyarakat ,erupakan factor predisposisi terjadinya perilaku
kekerasan
E. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat dibedakan menjadi factor internal dan eksternal :
1. Internal adalah semua factor yang dapat menimbulkan kelemahan,
menurunya percaya diri, rasa takut sakit, hilang kontrol dan lain-lain.
2. Eksternal adalah penganiayaan fisik, kehilangan orang yang dicintai,
krisis dan lain-lain.
F. Pohon Masalah

Resiko menciderai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

Perilaku kekerasan

Respon Maladaptif: Marah

 Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah


 Frustasi
 Takut
G. Mekanisme Koping  Stress
 Cemas
Mekanisme yang umum digunakanatau
 Manipulasi adalah mekanisme pertahanan ego
intimidasi
 Rasa proyeksi,
seperti displacement, sublimasi, bersalah represif, denial, dan reaksi formasi.
Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka yang
berkepanjangan dari seseorang karena ditinggal oleh orang yang dianggap
sangat berpengaruh dalam hidupnya. Bila kondisi tersebut tidak teratasi, maka
dapat menyebabkan seseorang rendah diri (Harga diri rendah), sehingga sulit
untuk bergaul dengan orang lain. Bila ketidakmampuan bergaul dengan orang
lain ini tidak diatasi akan memunculkan halusinasi berupa suara-suara atau
bayangan yang meminta klien untuk melakukan tindak kekerasan. Hal
tersebut dapat berdampak pada keselamatan dirinya dan orang lain (resiko
tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan).
Selain diakibatkan oleh berduka yang berkepanjangan, dukungan keluarga
yang kurang baik dalam menghadapi kondisi klien dapat mempengaruhi
perkembangan klien (koping keluarga tidak efektif). Hal ini tentunya
menyebabkan klien sering keluar masuk RS atau menimbulkan kekambuhan
karena dukungan keluarga tidak maksimal (regimen teurapeutik inefektif).
H. Faktor-faktor yang berhubungan dengan masalah perilaku kekerasan,
antara lain sebagai berikut :
1. Ketidakmampuan mengendalikan dorongan marah
2. Stimulus lingkungan
3. Konflik interpersonal
4. Status mental
5. Putus obat
6. Penyalahgunaan narkoba/alcohol
I. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA FOKUS PENGKAJIAN
1) Resiko Perilaku kekerasan
2) Perilaku kekerasan
DAFTAR PUSTAKA

Stuart GW, Sundeen, 1995, Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th


ed.). St.Louis Mosby Year Book,
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (Lp Dan Sp) untuk 7
Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat bagi Program S1 Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika
Keliat, Budi Anna, dan Akemat. 2009. Model Praktik Keperawatan Profesional
Jiwa. Jakarta: EGC
Townsend C. Mary , 1998, Diagnosa Keperawatan Psikiatri, Edisi 3, Penerbit
Buku Kedokteran,EGC;Jakarta.
LAPORAN PENDAHULUAN
HALUSINASI
A. Definisi Halusinasi
Halusinasi adalah persepsi klien yang salah terhadap lingkungan tanpa
stimulus yang nyata, memberi persepsi yang salah atau pendapat tentang
sesuatu tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata dan hilangnya
kemampuan manusia untuk membedakan rangsangan internal pikiran dan
rangsangan eksternal (Trimelia, 2011).
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang
dialami oleh pasien gangguan jiwa. Pasien merasakan sensasi berupa suara,
penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduaan tanpa adanya stimulus
yang nyata (Keliat, 2014).
B. Jenis – jenis Halusinasi
Menurut Trimeilia (2011) jenis-jenis halusinasi adalah sebagai berikut :
1. Halusinasi pendengaran (auditory)
Mendengar suara yang membicarakan, mengejek, mentertawakan,
mengancam, memerintahkan untuk melakukan sesuatu (kadang-kadang
hal yang berbahaya). Perilaku yang muncul adalah mengarahkan telinga
pada sumber suara, bicara atau tertawa sendiri, marah-marah tanpa
sebab, menutup telinga, mulut komat-kamit, dan ada gerakan tangan.
2. Halusinasi penglihatan (visual)
Stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya, gambar, orang atau
panorama yang luas dan kompleks, bisa yang menyenangkan atau
menakutkan. Perilaku yang muncul adalah tatapan mata pada tempat
tertentu, menunjuk ke arah tertentu, ketakutan pada objek yang dilihat.
3. Halusinasi penciuman (olfactory)
Tercium bau busuk, amis, dan bau yang menjijikan, seperti bau darah,
urine atau feses atau bau harum seperti parfum. Perilaku yang muncul
adalah ekspresi wajah seperti mencium dengan gerakan cuping hidung,
mengarahkan hidung pada tempat tertentu, menutup hidung.
4. Halusinasi pengecapan (gustatory)
Merasa mengecap sesuatu yang busuk, amis dan menjijikan, seperti rasa
darah, urine atau feses. Perilaku yang muncul adalah seperti mengecap,
mulut seperti gerakan mengunyah sesuatu, sering meludah, muntah.
5. Halusinasi perabaan (taktil)
Mengalami rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang terlihat, seperti
merasakan sensasi listrik dari tanah, benda mati atau orang.
Merasakan ada yang menggerayangi tubuh seperti tangan, binatang kecil
dan makhluk halus. Perilaku yang muncul adalah mengusap, menggaruk-
garuk atau meraba-raba permukaan kulit, terlihat menggerakkan badan
seperti merasakan sesuatu rabaan.
C. Etiologi
1. Faktor Predisposisi
Menurut Yosep (2010) faktor predisposisi klien dengan halusinasi :
a. Faktor perkembangan
Tugas perkembangan klien terganggu misalnya rendahnya kontrol dan
kehangatan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak
kecil, mudah frustasi, hilang percaya diri dan lebih rentah terhadap
stress.
b. Faktor sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima dilingkungannya sejak bayi akan
merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya.
c. Faktor biologis
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stres
yang berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan
dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia.
Akibat stres berkepanjangan jangan menyebabkan teraktivitasnya
neurotransmitter otak.
d. Faktor psikologis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah
terjerumus pada penyalahgunaan zat adiktif. Hal ini berpengaruh pada
ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan yang tepat demi
masa depannya. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dari
alam nyata menuju alam hayal.
e. Faktor genetik dan pola asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua
skizofrenia cenderung mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukan
hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
2. Faktor Presipitasi
Respons klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,
perasaan tidak aman, gelisah, bingung, perilaku menarik diri, kurang
perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat
membedakan keadaan yang nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan
Heacock (1993) mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan
atas hakikat keberadaan seorang individu sebagai makhluk yang dibangun
atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spritual. Sehingga halusinasi dapat
dilihat dari lima dimensi yaitu :
1. Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti
kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga
delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu
yang sama.
2. Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi, isi daari halusinasi
dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup
lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien
berbuat sesuatu terhadap kekuatan tersebut.
3. Dimensi intelektual

Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan


halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls
yang menekan, namun merupakan satu hal yang menimbulkan
kewaspadaan yang dapat menagmabil seluruh perhatian klien dan
jarang akan mengontrol semua perilaku klien.
4. Dimensi sosial

Klien mengalami gangguan interaksi sosial dari fase awal dan


comforting klien menganggap bahwa hidup bersosialisasi dialam nyata
sangat membahayakan. Klien asik dengan halusinasinya, seolah-olah ia
merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial,
contoh diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi
halusinasi dijadikan ancaman, dirinya atau orang lain individu
cenderung keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses
interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang
memuaskan, serta mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien
selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak
berlangsung.
5. Dimensi spritual

Secara spritual klien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup,


rutinitas, tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang
berupaya secara spritual untuk menyucikan diri, irama sirkardiannya
terganggu, karena ia sering tidur larut malam dan bangun sangat siang.
Saat terbangun terasa hampa dan tidak jelas tujuan hidupnya. Ia sering
memaki takdir tetapi lemah dalam upaya memjemput rezeki,
menyalahkan lingkungan dan orang lain yang menyebabkan takdirnya
memburuk.
D. Manifestasi Klinis
Menurut (Azizah, 2016) tanda dan gejala perlu diketahui agar dapat
menetapkan masalah halusinasi, antara lain:
1. Berbicara, tertawa, dan tersenyum sendiri
2. Bersikap seperti mendengarkan sesuatu
3. Berhenti berbicara sesaat ditengah-tengah kalimat untuk mendengarkan
sesuatu
4. Disorientasi
5. Tidak mampu atau kurang konsentrasi
6. Cepat berubah pikiran
7. Alur pikiran kacau
8. Respon yang tidak sesuai
9. Menarik diri
10. Sering melamun
E. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif

• Pikiran logis • Pikiran terkadang • Kelainan pikiran


menyimpang
• Persepsi akurat • Halusinasi
• Emosi konsisten • Ilusi • Tidak mampu
mengatur emosi
• Perilaku sosial • Emosional
Ketidakteraturan
• berlebihan / dengan •
Hubungan sosial
Isolasi sosial
pengalaman kurang •
• Perilaku ganjil

• Menarik diri

(Dalami, Ermawati dkk 2014) Keterangan :


1. Respon adaptif adalah respon yang yang dapat diterima oleh norma -
norma sosial budaya yang berlaku. Dengan kata lain individu tersebut
dalam batas normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat
memecahkan masalah tersebut.
a. Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan.

b. Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.

c. Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul


dari pengalaman ahli
d. Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam
batas kewajaran
e. Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi denagn orang lain
dan lingkungan.
f.
2. Respon psikosial
a. Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan
gangguan
b. Ilusi adalah miss interpretasi atau penilaian yang salah tentang
penerapan yang benar-benar terjadi (objek nyata) karena
rangsangan panca indra
c. Emosi berlebihan atau berkurang
d. Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi
batas kewajaran
e. Menarik diri yaitu percobaan untuk menghindar interaksi dengan
orang lain
3. Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan
masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan
lingkungan, adapun respon maladaptif ini meliputi :
a. Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan
bertentangan dengan kenyataan sosial
b. Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi
eksternal yang tidak realita atau tidak ada
c. Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari
hati
d. Perilaku tidak terorganisir merupakan suatu perilaku yang tidak
teratur
e. Isolasi sosial adalah kondisi sendirian yang dialami oleh individu
dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu
kecelakaan yang negatif mengancam.
F. Tahapan Proses Terjadinya Halusinasi
Menurut Yosep (2010) dan Trimeilia (2011) tahapan halusinasi ada lima fase
yaitu:
1. Stage I (Sleep Disorder)
Fase awal seseorang sebelum muncul halusinasi.
Karakteristik :
Klien merasa banyak masalah, ingin menghindar dari lingkungan, takut
diketahui orang lain bahwa dirinya banyak masalah. Masalah makin
terasa sulit karena berbagai stressor terakumulasi, misalnya kekasih
hamil, terlibat narkoba, dikhianati kekasih, masalah di kampus, di drop
out, dst. Masalah terasa menekan karena terakumulasi sedangkan
support sistem kurang dan persepsi terhadap masalah sangat buruk.
Sulit tidur berlangung terus-menerus sehingga terbiasa menghayal.
Klien menganggap lamunan-lamunan awal tersebut sebagai pemecahan
masalah.
2. Stage II (Comforting Moderate Level of Anxiety)
Halusinasi secara umum ia terima sebagai sesuatu yang alami.
Karakteristik :
Klien mengalami emosi yang berlanjut, seperti adanya perasaan cemas,
kesepian, perasaan berdosa, ketakutan dan mencoba untuk memusatkan
pemikiran pada timbulnya kecemasan. Ia beranggapan bahwa
pengalaman pikiran dan sensorinya dapat ia kontrol bila kecemasannya
diatur, dalam tahapan ini ada kecenderungan klien merasa nyaman
dengan halusinasinya. Perilaku yang muncul biasanya dalah
menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan bibirnya
tanpa menimbulkan suara, gerakan mata cepat, respon verbal lamban,
diam dan dipenuhi oleh sesuatu yang mengasyikkan.
3. Stage III (Condemning Severe Level of Anxiety)
Secara umum halusinasi sering mendatangi klien.
Karakteristik :
Pengalaman sensori klien menjadi sering datang dan mengalami bias.
Klien mulai merasa tidak mampu mengontrolnya dan mulai berupaya
untuk menjaga jarak antara dirinya dengan objek yang dipersepsikan
klien. Klien mungkin merasa malu karena pengalaman sensorinya
tersebut dan menarik diri dari orang lain dengan intensitas watu yang
lama. Perilaku yang muncul adalah terjadinya peningkatan sistem
syaraf otonom yang menunjukkan ansietas atau kecemasan, seperti :
pernafasan meningkat, tekanan darah dan denyut nadi menurun,
konsentrasi menurun.
4. Stage IV (Controling Severe Level of Anxiety) Fungsi sensori menjadi
tidak relevan dengan kenyataan.

Karakteristik :
Klien mencoba melawan suara-suara atau sensori abnormal yang
datang. Klien dapat merasakan kesepian bila halusinasinya berakhir.
Dari sinilah dimulai fase gangguan psikotik. Perilaku yang biasanya
muncul yaitu individu cenderung mengikuti petunjuk sesuai isi
halusinasi, kesulitan berhubungan dengan orang lain, rentang perhatian
hanya beberapa detik/menit.
5. Stage V (Concuering Panic Level of Anxiety)
Klien mengalami gangguan dalam menilai lingkungannya.
Karakteristik :
Pengalaman sensorinya terganggu. Klien mulai terasa terancam dengan
datangnya suara-suara terutama bila klien tidak dapat menuruti
ancaman atau perintah yang ia dengar dari halusinasinya. Halusinasi
dapat berlangsung selama minimal empat jam atau seharian bila klien
tidak mendapatkan komunikasi terapeutik. Terjadi gangguan psikotik
berat. Perilaku yang muncul adalah perilaku menyerang, risiko bunuh
diri atau membunuh, dan kegiatan fisik yang merefleksikan isi
halusinasi (amuk, agitasi, menarik diri).
G. Mekanisme Koping
Menurut Dalami dkk (2014) mekanisme koping adalah perilaku yang
mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari pengalaman yang
menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologi maladaptif meliputi:
1. Regresi, menghindari stress, kecemasan dan menampilkan perilaku
kembali seperti apa perilaku perkembangan anak atau berhubungan
dengan masalah proses informasi dan upaya untuk menanggulangi
ansietas.
2. Proyeksi, keinginan yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan emosi
pada orang lain karena kesalahan yang dilakukan diri sendiri (sebagai
upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi).
3. Menarik diri, reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun
psikologis, reaksi fisik yaitu individu pergi atau lari menghindari
sumber stressor, misalnya menjauhi polusi, sumber infeksi, gas beracun
dan lain-lain. Sedangkan reaksi psikologis individu menunjukan
perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak berminat, sering disertai rasa
takut dan bermusuhan.
H. Pohon Masalah
Pasien biasanya memiliki lebih dari satu masalah keperawatan. Sejumlah
masalah pasien akan saling berhubungan dan dapat digambarkan sebagai
pohon masalah (Yusuf dkk. 2015). Untuk membuat pohon masalah, minimal
harus ada tiga masalah yang berkedudukan sebagai penyebab
(causa), masalah utama (core problem), dan akibat (effect). Menurut
Damaiyanti (2014), pohon masalah pada pasien halusinasi adalah sebagai
berikut :

Risiko perilaku Kekerasan (diri


orang lain, lingkungan, dan
sendiri,
verbal) (Effec)
t

Gangguan persepsi sensori :


(Core
Halusinasi )
Problem

Isolasi sosial : Menarik


diri (Caus)
a

I. Penatalaksanaan

Jika pasien mendapatkan obat maka pengetahuan tentang cara pemberian


obat, efek terapi, efek samping, cara pemberian obat yang benar, dan
tindakan keperawatan kepada pasien perlu dimiliki oleh perawat. Gejala
halusinasi sebagai salah satu gejala psikotik/skizofrenia biasanya diatasi
dengan menggunakan obat-obatan anti psikotik antara lain:
• Golongan butirofenon: Haloperidol, Haldol, Serenace, Ludomer. Pada
kondisi akut biasanya diberikan dalam bentuk injeksi 3 x 5 mg, im.
Pemberian injeksi biasanya cukup 3 x 24 jam. Setelahnya pasien
biasanya diberikan obat per oral 3x 1,5 mg atau 3 x 5 mg.
• Golongan fenotiazine: Chlorpromazine / Largactile / Promactile.
Biasanya diberikan per oral. Kondisi akut biasanya diberikan 3 x 100
mg. Apabila kondisi sudah stabil dosis dapat dikurangi 1 x 100mg
pada malam hari saja.
Obat-obatan anti psikotik sering kali menimbulkan efek samping
mengantuk, tremor, mata melihat ke atas, kaku-kaku otot, otot bahu tertarik
sebelah, hipersalivasi, pergerakan otot tak terkendali. Untuk mengatasi ini
biasanya dokter memberikan obat anti parkinsonisme yaitu
Trihexyphenidile 3 x 2 mg.
Yang perlu sangat diperhatikan, apabila terjadi gejala-gejala yang dialami
oleh pasien tidak berkurang maka perlu diteliti apakah obat betul-betul
diminum atau tidak. Untuk itu keluarga juga perlu dijelaskan tentang
pentingnya memonitor penggunaan obat oleh pasien. Jika ada gejala-gejala
yang tidak biasa minta kepada keluarga untuk menghubungi p0uskesmas
terdekat.

J. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran

2. Risiko Perilaku Kekerasan

3. Solasi Sosial
DAFTAR PUSTAKA

PPNI, 2018. Standar diagnosa keperawatan Indonesia : definisi dan indikator


diagnostik, edisi I. Jakarta : DPP PPNI

PPNI, 2018. Standar intervensi keperawatan Indonesia : definisi dan tindakan


keperawatan, edisi I. Jakarta : DPP PPNI

PPNI, 2018. Standar luaran keperawatan Indonesia : definisi dan kriteria hasil
keperawatan, edisi I. Jakarta : DPP PPNI
Damaiyanti, Iskandar. 2014. Asuhan Keperawatan Jiwa. Cetakan Kedua.
Bandung: PT. Refika Adimata
Direja, A.H.S. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha

Medika.

Ernawati, dkk. 2014. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa.


Cetakan Kedua. Jakarta Timur: CV. Trans Info Media
Keliat, Budi Ana. 2014. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta:
EGC
Trimeilia. 2011. Asuhan Keperawatan Klien Halusinasi. Jakarta Timur: CV.
Trans Info Media
Yusuf, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba

Medika.

Azizah, Lilik Ma’rifatul, dkk. 2016. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa.

Yogyakarta: Indomedia Pustaka.

Iyus, Yosep., 2010, Keperawatan Jiwa. Bandung : Refia Aditama


LAPORAN PENDAHULUAN
WAHAM

A. Pengertian
Waham adalah suatu keyakinan klien yang tidak sesuai dengan
kenyataan, tetapi dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh
orang lain. Keyakinan ini berasal dari pemikiran klien yang sudah kehilangan
kontrol (Direja, 2011).
Waham curiga adalah keyakinan seseorang atau sekelompok orang
berusaha merugikan atau mencederai dirinya, diucapkan berulang-ulang
tetapi tidak sesuai dengan kenyataan (Kelliat, 2009).
Gangguan isi pikir adalah ketidakmampuan individu memproses
stimulus internal dan eksternal secara akurat. Gangguan isi pikir dapat berupa
waham yaitu keyakinan individu yang tidak dapat divalidasi atau dibuktikan
dengan realitas. Keyakinan individu tersebut tidak sesuai dengan tingkat
intelektual dan latar belakang budayanya, serta tidak dapat diubah dengan
alasan yang logis. Selain itu keyakinan tersebut diucapkan berulang kali
(Kusumawati, 2010).
Gangguan orientasi realitas adalah ketidakmampuan menilai dan
berespons pada realitas. Klien tidak dapat membedakan lamunan dan
kenyataan sehingga muncul perilaku yang sukar untuk dimengerti dan
menakutkan. Gangguan ini biasanya ditemukan pada pasien skizofrenia dan
psikotik lain. Waham merupakan bagian dari gangguan orientasi realita pada
isi pikir dan pasien skizofrenia menggunakan waham untuk memenuhi
kebutuhan psikologisnya yang tidak terpenuhi oleh kenyataan dalam
hidupnya. Misalnya : harga diri, rasa aman, hukuman yang terkait dengan
perasaan bersalah atau perasaan takut mereka tidak dapat mengoreksi dengan
alasan atau logika (Kusumawati, 2010).
B. Klasifikasi
Menurut Townsend (2009) waham diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Waham kebesaran
Individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan
khusus dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Misalnya, “saya ini pejabat departemen kesehatan lho!” atau, “saya punya
tambang emas”.
b. Waham curiga
Individu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang
berusaha merugikan/menceerai dirinya dan diucapkan berulang kali, tetapi
tidak sesuai kenyataan. Contoh, “saya tahu seluruh saudara saya ingin
menghancurka hidup saya karena mereka iri dengan kesuksesan saya”.
c. Waham agama
Individu memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara
berlebihan dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan. Contoh, “kalau saya mau masuk surga, saya harus
menggunakan pakaian putih setip hari”.
d. Waham somatik
Individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu atau
terserang penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan. Contoh, “saya sakit kanker”. (Kenyataannya pada pemeriksaan
laboratorium tidak ditemukan tanda-tanda kanker, tetapi pasien terus
mengataka bahwa ia sakit kanker).
e. Waham nihilistik
Individu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada didunia/meniggal
dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai dengan kadaan nyata.
Misalnya, “Ini kana lam kubur ya, semua yang ada disini adalah roh-roh.”
C. Etiologi
1) Faktor predisposisi
a. Biologi
Waham dari bagian dari manifestasi psikologi dimana abnormalitas otak
yang menyebabkan respon neurologis yang maladaptif yang baru mulai
dipahami, ini termasuk hal-hal berikut :
 Penelitian pencitraan otak sudah mulai menunjukkan keterlibatan otak
yang luas dan dalam perkermbangan skizofrenia. Lesi pada area frontal,
temporal dan limbik paling berhubungan dengan perilaku psikotik.
 Beberapa kimia otak dikaitkan dengan skizofrenia. Hasil penelitian
sangat menunjukkan hal-hal berikut ini :
a) Dopamin neurotransmitter yang berlebihan
b) Ketidakseimbangan antara dopamin dan neurotransmitter lain
c) Masalah-masalah pada sistem respon dopamin
b. Psikologi
Teori psikodinamika untuk terjadinya respon neurobiologik yang
maladaptif belum didukung oleh penelitian. Sayangnya teori psikologik
terdahulu menyalahkan keluarga sebagai penyebab gangguan ini sehingga
menimbulkan kurangnya rasa percaya (keluarga terhadap tenaga kesehatan
jiwa profesional).
c. Sosial budaya
Stress yang menumpuk dapat menunjang terhadap awitan skizofrenia dan
gangguan psikotik tetapi tidak diyakini sebagai penyebab utama gangguan.
Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan
timbulnya waham (Direja, 2011).
2) Faktor Presipitasi
a. Biologi
Stress biologi yang berhubungan dengan respon neurologik yang
maladaptif termasuk:
 Gangguan dalam putaran umpan balik otak yang mengatur proses
informasi
 Abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi
rangsangan.
b. Stres lingkungan
Stres biologi menetapkan ambang toleransi terhadap stress yang
berinteraksi dengan stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya
gangguan perilaku.
c. Pemicu gejala
Pemicu merupakan prekursor dan stimulus yang yang sering menunjukkan
episode baru suatu penyakit. Pemicu yang biasa terdapat pada respon
neurobiologik yang maladaptif berhubungan dengan kesehatan.
Lingkungan, sikap dan perilaku individu (Direja, 2011).
D. Rentang Respon Neurobiologi
Rentang respon waham/neurobiologis
Respon Adaptif Respon Maladaptif
Pikiran logis Proses pikir kadang Gangguan proses pikir
terganggu ilusi waham
Persepsi akurat Reaksi emosi Kesukaran proses
berlebihan atau kurang emosi
Emosi konsisten dengan Perilaku yang tidak Perilaku tidak
pengalaman biasa terorganisasi
Perilaku seksual Menarik diri Isolasi sosial
Hubungan sosial harmonis
(Stuart, 2007)
E. Tanda dan Gejala
Menurut Kusumawati (2010) tanda dan gejala waham yaitu :
a. Gangguan fungsi kognitif (perubahan daya ingat)
Cara berfikir magis dan primitif, perhatian, isi pikir, bentuk, dan
pengorganisasian bicara (tangensial, neologisme, sirkumtansial).
b. Fungsi persepsi
Depersonalisasi dan halusinasi
c. Fungsi emosi
Afek tumpul kurang respons emosional, afek datar, afek tidak sesuai,
reaksi berlebihan, ambivalen.
d. Fungsi motorik.
Imfulsif : gerakan tiba-tiba dan spontan, manerisme, stereotipik, gerakan
yang diulang-ulang, tidak bertujuan, tidak dipengaruhi stimulus yang jelas,
katatonia.
e. Fungsi sosial kesepian.
Isolasi sosial, menarik diri, dan harga diri rendah.
f. Dalam tatanan keperawatan jiwa respons neurobiologis yang sering
muncul adalah gangguan isi pikir: waham dan gangguan sensori persepsi:
halusinasi.
Menurut Direja (2011) tanda dan gejala waham yaitu :
a. Terbiasa menolak makan,
b. kurang perawatan diri,
c. Ekspresi wajah sedih dan ketakutan
d. Gerakan tidak terkontrol
e. Mudah tersinggung
f. Isi pembicaraan tidak sesuai dengan kenyataan
g. Menghindar dari orang lain
h. Mendominasi pembicaraan, berbicara kasar
i. Menjalankan kegiatan keagamaan secara berlebihan.
Perilaku lain yang dapat ditemukan pada klien dengan waham antara lain
melakukan percobaan bunuh diri, melakukan tindakan, agresif, destruktif,
gelisah, tidak biasa diam, tidak ada perhatian terhadap kebersihan diri, ada
gangguan eliminasi, merasa cemas, takut. Kadang-kadang panik perasaan
bahwa lingkungan sudah berubah pada klien depersonalisasi (Stuart,2007).
F. Pengkajian
 Aktivitas dan istirahat
 Gangguan tidur, bangun lebih awal, insomnia, dan hiperaktivitas.
 Higiene
 Kebersihan personal kurang, terlihat kusut/ tidak terpelihara.
 Integritas ego
 Dapat timbul dengan ansietas berat, ketidakmampuan untuk rileks,
kesulitan yang dibesar-besarkan, mudah agitasi.
 Mengekspresikan persaaan tidak adekuat, perasaan tidak berharga,
kurang diterima, dan kurang percaya pada orang lain. Menunjukkan
kesulitan koping terhadap stres, menggunakan mekanisme koping
yang tidak sesuai.
 Neurosensori
 Mengalami emosi dan prilaku kongruen dengan sistem
keyakinan/ketakutan bahwa diri ataupun orang terdekat berada dalam
bahaya karena diracuni atau diinfeksi, mempunyai penyakit, merasa
tertipu oleh pasangan individu, dicurangi oleh orang lain, dicintai atau
mencintai dari jarak jauh.
 Keamanan
 Dapat menimbulkan prilaku berbahaya/menyerang
 Interaksi sosial
 Kerusakan bermakna dalam fungsi sosial/perkawinan
 Umumnya bermasalah dengan hukum.
(Direja, 2011).

G. Mekanisme Koping
Menurut Direja (2011), Perilaku yang mewakili upaya untuk
melindungi diri sendiri dari pengalaman berhubungan dengan respon
neurobioligi :
1. Regresi berhubungan dengan masalah proses informasi dan upaya untuk
menanggulangi ansietas, hanya mempunyai sedikit energi yang tertinggal
untuk aktivitas hidup sehari-hari
2. Projeksi sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi.
3. Menarik diri

H. Pohon Masalah
Resiko tinggi
Kerusakan mencederai diri, orang
komunikasi verbal lain dan lingkungan

Perubahan isi
pikir: waham

Gangguan konsep diri: harga diri rendah


I. Diagnosa Keperawatan
1. Perilaku kekerasan
2. Waham
3. Menarik Diri
4. Harga Diri Rendah
DAFTAR PUSTAKA

Direja, A.H., 2011, Asuhan Keperawatan Jiwa, Nuha Medika : Yogyakarta.

Kusumawati, F, 2010, Buku Ajar Keperawatan Jiwa, Salemba Medika : Jakarta

Kelliat, B.A., 2009, Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa, ECG : Jakarta.
Laraia, S, 2009, Principles and Practice of Pcyshiatric Nursing 8 Edition,
Elsevier Mosby: Philadelphia.
Stuart, G.W., 2007, Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. EGC : Jakarta.
Townsend, M, 2009, Pcyshiatric Mental Health Nursing Concept of Care In
evidence Based Practice 10 edition, F.A David Company : Philadelphia.
LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH
A.Pengertian
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah
diri yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri sendiri dan
kemampuan diri. Adanya perasaan hilang percaya diri , merasa gagal karena
karena tidak mampu mencapai keinginansesuai ideal diri (keliat. 2012). Menurut
videbeck (2008) gangguan harga diri rendah adalah penilaian negatif seseorang
terhadap diri dan kemampuan, yang diekspresikan secara langsung maupun tidak
langsung.
B.Proses Terjadinya Masalah
Lama Konsep diri di definisikan sebagai semua pikiran, keyakinan dan
kepercayaan yang membuat seseorang mengetahui tentang diriya dan
mempengaruhi hubungannya dengan orang lain (Stuart & Sunden, 2006). Konsep
diri tidak terbentuk sejak lahir namun dipelajari.
Salah satu komponen konsep diri yaitu harga diri dimana harga diri adalah
penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh
perilaku sesuai dengan ideal diri (Keliat, 2012). Sedangkan harga diri rendah
adalah menolak dirinya sebagai sesuatu yang berharga dan tidak bertanggung
jawab atas kehidupannya sendiri. Jika individu sering gagal maka cenderung
harga diri rendah.
Harga diri rendah jika kehilangan kasih sayang dan penghargaan orang lain.
Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain, aspek utama adalah diterima
dan menerima penghargaan dari orang lain.
Gangguan harga diri rendah di gambarkan sebagai perasaan yang negatif
terhadap diri sendiri, termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal
mencapai keinginan, mengkritik diri sendiri, penurunan produktivitas, destruktif
yang diarahkan pada orang lain, perasaan tidak mampu, mudah tersinggung dan
menarik diri secara sosial.
Faktor yang mempegaruhi harga diri meliputi penolakan orang tua, harapan
orang tua yang tidak relistis, kegagalan yang berulang kali, kurang mempunyai
tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain dan ideal diri yag tidak
realistis. Sedangkan stresor pencetus mungkin ditimbulkan dari sumber internal
dan eksternal seperti :
Trauma seperti penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan
kejadian yang mengancam. Ketegangan peran beruhubungan dengan peran atau
posisi yang diharapkan dimana individu mengalami frustrasi.
Ada tiga jenis transisi peran :
1. Transisi peran perkembangan adalah perubahan normatif yang berkaitan
dengan pertumbuhan. Perubahan ini termasuk tahap perkembangan dalam
kehidupan individu atau keluarga dan norma-norma budaya, nilai-nilai
tekanan untuk peyesuaian diri.
2. Transisi peran situasi terjadi dengan bertambah atau berkurangnya anggota
keluarga melalui kelahiran atau kematian.
3. Transisi peran sehat sakit sebagai akibat pergeseran dari keadaan sehat ke
keadaan sakit. Transisi ini mungkin dicetuskan oleh kehilangan bagian
tubuh, perubahan ukuran, bentuk, penampilan dan fungsi tubuh, perubahan
fisik, prosedur medis dan keperawatan.
Gangguan harga diri atau harga diri rendah dapat terjadi
secara :Situasional, yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misal harus operasi,
kecelakaan, dicerai suami, putus sekolah, putus hubugan kerja dll. Pada pasien
yang dirawat dapat terjadi harga diri rendah karena privacy yang kurang
diperhatikan : pemeriksaan fisik yang sembarangan, pemasangan alat yang tidak
sopan (pemasangan kateter, pemeriksaan pemeriksaan perianal dll.), harapan akan
struktur, bentuk dan fungsi tubuh yang tidak tercapai karena di
rawat/sakit/penyakit, perlakuan petugas yang tidak menghargai. Kronik, yaitu
perasaan negatif terhadap diri telah berlangsung
C.Tanda dan Gejala
Menurut Carpenito, L.J (2006); Keliat, B.A (2012)
Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat tindakan terhadap
penyakit. Misalnya : malu dan sedih karena rambut jadi botak setelah mendapat
terapi sinar pada kanker Rasa bersalah terhadap diri sendiri.
Misalnya : ini tidak akan terjadi jika saya segera ke rumah sakit,
menyalahkan/ mengejek dan mengkritik diri sendiri. Merendahkan martabat.
Misalnya : saya tidak bisa, saya tidak mampu, saya orang bodoh dan tidak tahu
apa-apa
Gangguan hubungan sosial, seperti menarik diri. Klien tidak ingin bertemu
dengan orang lain, lebih suka sendiri. Percaya diri kurang. Klien sukar mengambil
keputusan, misalnya tentang memilih alternatif tindakan. Mencederai diri. Akibat
harga diri yang rendah disertai harapan yang suram, mungkin klien ingin
mengakhiri kehidupan.
D.Penyebab
Gangguan harga diri yang disebut sebagai harga diri rendah dan dapat
terjadi secara : Situasional. Yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba, misalnya harus
operasi, kecelakaan, dicerai suami, putus sekolah, putus hubungan kerja, perasaan
malu karena sesuatu (korban perkosaan, dituduh KKN, dipenjara tiba-tiba).
Pada klien yang dirawat dapat terjadi harga diri rendah, karena :
Privacy yang kurang diperhatikan, misalnya : pemeriksaan fisik yang
sembarangan, pemasangan alat yang tidak sopan (pencukuran pubis, pemasangan
kateter, pemeriksaan perneal). Harapan akan struktur, bentuk dan fungsi tubuh
yang tidak tercapai karena dirawat/ sakit/ penyakit. Perlakuan petugas kesehatan
yang tidak menghargai, misalnya berbagai pemeriksaan dilakukan tanpa
penjelasan, berbagai tindakan tanpa persetujuan.
Kronik yaitu perasaan negatif terhadap diri telah berlangsung lama, yaitu
sebelum sakit/ dirawat. Klien ini mempunyai cara berfikir yang negatif. Kejadian
sakit dan dirawat akan menambah persepsi negatif terhadap dirinya. Kondisi ini
mengakibatkan respons yang maladaptive. Kondisi ini dapat ditemukan pada klien
gangguan fisik yang kronis atau pada klien gangguan jiwa. Dalam tinjauan life
span history klien, penyebab HDR adalah kegagalan tumbuh kembang, misalnya
sering disalahkan, kurang dihargai, tidak diberi kesempatan dan tidak diterima
dalam kelompok (Yosep, 2007). Tanda dan Gejalanya : Data subjektif :
mengungkapkan ketidakmampuan dan meminta bantuan orang lain dan
mengungkapkan malu dan tidak bisa bila diajak melakukan sesuatu. Data
objektif : tampak ketergantungan pada orang lain, tampak sedih dan tidak
melakukan aktivitas yang seharusnya dapat dilakukan, wajah tampak murung.
E. Penyebab
Harga diri rendah dapat membuat klien menjdai tidak mau maupun tidak
mampu bergaul dengan orang lain dan terjadinya isolasi sosial : menarik diri.
Isolasi sosial menarik diri adalah gangguan kepribadian yang tidak fleksibel pada
tingkah laku yang maladaptive, mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan
sosial (DEPKES RI, 2000). Tanda dan gejala : Data Subyektif : Mengungkapkan
untuk memulai hubungan/ pembicaraan Mengungkapkan perasaan malu untuk
berhubungan dengan orang lain Mengungkapkan kekhawatiran terhadap
penolakan oleh orang lain Data Obyektif : Kurang spontan ketika diajak bicara
Apatis Ekspresi wajah kosong Menurun atau tidak adanya komunikasi verbal
Bicara dengan suara pelan dan tidak ada kontak mata saat berbicara.
F.Pohon Masalah

Isolasi sosial : menarik diri

Gangguan konsep diri: Harga diri

Gangguan citra tubuh

G.Diagnosa Keperawatan Yang Muncul


1.Isolasi sosial : menarik diri
2.Harga diri rendah
3.Gangguan citra tubuh
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. EGC: Jakarta.

Depkes. 2000. Standar Pedoman Perawatan Jiwa.

Keliat, Budi Anna dll. 2012. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. EGC:
Jakarta.

Videbeck,Shella L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa/Shella L. EGC: Jakarta

Stuart dan Sundeen.2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3. EGC: Jakarta.

Townsend, M, 2009. Psychiatric Mental Health Nursing Concept of Care


In Evidence Based Practice 10 edition, F.A David Company: Philadelphia.

Yosep. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung: Penerbit Refika Aditama.


LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL
A. DEFINISI
Isolasi sosial adalah rasa kesepian yang dialami oleh individu didalam
lingkungan sosial dan sebagai kondisi yang negatif atau mengancam. Pada klien
isolasi sosial akan ditemukan data objektif meliputi perilaku yang tidak sesuai
dengan tahap perkembangan, afek tumpul, mengalami kecacatan (misal fisik dan
mental), sakit, tidak ada kontak mata, dipenuhi dengan pikiran sendiri,
menunjukan permusuhan, tindakan yang dilakukan terjadi secara berulang, selalu
ingin sendiri, menunjukan perilaku yang tidak dapat diterima oleh kelompok
kultural yang dominan, tidak komunikatif, dan adanya perilaku menarik diri
(NANDA, 2012).
Isolasi sosial adalah suatu gangguan hubungan interpersonal yang terjadi
akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan perilaku
maladaptif dan mengganggu fungsiseseorang dalam dalam hubungan sosial
(Depkes RI, 2000) Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh
seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam
(Farida, 2012). Dari pengertian diatas dapat dikatakan isolasi sosial adalah
kerusakan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain, pasien mungkin
merasa tidak berharga dalam lingkungannya.
B. RENTANG RESPON
(Menurut Stuart, 2007)
Respon Respon

Solitut Kesiapan Manipulasi


Otonimi Menarik Diri Implusive
Kebersamaan Ketergantungan Narkisme
Respon adaptif adalah respon individu dalam penyelesaian masalah yang masih
dapat diterima oleh norma-norma sosial dan budaya lingkungannya yang umum
berlaku dan lazim dilakukan oleh semua orang. respon ini meliputi:
a) Solitude (menyendiri) Adalah respon yang dibutuhkan seseorang untuk
merenungkan apa yang telah dilakukan di lingkungan sosialnya juga suatu cara
mengevaluasi diri untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya.
b) Otonomi Adalah kemampuan individu dalam menentukan dan menyampaikan
ide, pikiran, perasaan dalam berhubungan sosial.
c) Mutualisme (bekerja sama) Adalah suatu kondisi dalam hubungan
interpersonal dimana individu mampu untuk saling memberi dan menerima.
d) Interdependen (saling ketergantungan) Adalah suatu hubungan saling
tergantung antara individu dengan orang lain dalam rangka membina hubungan
interpersonal.
Respon maladaptif adalah respon individu dalam penyelesaian masalah yang
menyimpang dari norma-norma sosial budaya lingkungannya yang umum berlaku
dan tidak lazim dilakukan oleh semua orang. Respon ini meliputi:
a) Kesepian adalah kondisi dimana individu merasa sendiri dan terasing dari
lingkungannya, merasa takut dan cemas.
b) Menarik diri adalah individu mengalami kesulitan dalam membina hubungan
dengan orang lain.
c) Ketergantungan (dependen) akan terjadi apabila individu gagal
mengembangkan rasa percaya diri akan kemampuannya. Pada gangguan
hubungan sosial jenis ini orang lain diperlakukan sebagai objek, hubungan
terpusat pada masalah pengendalian orang lain, dan individu cenderung
berorientasi pada diri sendiri atau tujuan, bukan pada orang lain.
e) Manipulasi adalah individu memperlakuakan orang lain sebagai objek,
hubungan terpusat pada masalah pengendalian orang lain, dan individu
cenderung berorientasi pada diri sendiri.
f) Impulsif adalah individu tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak mampu
belajar dari pengalaman dan tidak dapat diandalkan.
g) Narcisisme adalah individu mempunyai harga diri yang rapuh, selalu berusaha
untuk mendapatkan penghargaan dan pujian yang terus menerus, sikapnya
egosentris, pencemburu, dan marah jika orang lain tidak mendukungnya.
(Townsend M.C, 2010)
C. Pohon Masalah
Resiko Perilaku Kekerasan

Resiko gangguan persepsi sensori


( Halusinasi )

DPD Menarik diri : ISOLASI SOSIAL

Harga Diri Rendah

Koping individu tidak efektif

Faktor predisposisi Faktor Presipitasi

Bio : faktor herediter, trauma kepala Trauma : penganiayaan seks,kejadian


yang mengancam hidup, kegagalan
Psikologi : kegagalan, ketergantungan, kurang tanggungjawab dg orang lain peran transisi sehat sakit
Sosial budaya : tekanan dari teman sebaya,penilaian negatif dr lingkungan

D. PENYEBAB
Factor Predisposisi
a) Biologis
1) Riwayat keluarga dengan gangguan jiwa, Diturunkan melalui
kromosm orang tua (kromosom beberapa masih menjadi
penelitian). Diduga kromosom nomor 6 dengan kontribusi genetic
tambahan nomor 4, 8, 15 dan 22. Pada anak dan kedua orang
tuanya tidak menderita, kemungkinan terkena penyakit hanyalah
1%. Sementara pada anak yang salah satu orang tuanya menderita
kemungkinan terkena adalah 15%. Dan jika kedua orang tuanya
penderita maka resiko terkena adalah 35%.
2) Kembar identic beresiko engalami gangguan sebesar 50%,
sedangkan kembar fraternal beresiko mengalami ganggua 15%.
Riwayat janin saat prenatal dan perinatal trauma, penurunan 9
konsumsi oksigen pada saat dilahirkan, premature, preeklamsia,
malnutrisi, stress, ibu perokok, alcohol, pemakaian obat-obatan,
infeksi, hipertensi dan agen teorogenik. Anak yang dilahirkan
dalam kondisi seperi ini pada saat dewasa (25 tahun) mengalami
pembesaran ventrikel otak dan atrofi kortek otak. 3) Nutrisi adanya
riwayat gangguan nutrisi ditandai dengan penurunan BB, rambut
rontok, anoreksia. Eadaan kesehatan secara umum: obesitas,
kecacatan fisik, kanker, inkontinensia sehingga menjadi malu,
penyakit menular AIDS.
3) Sensitivitas biologi: riwayat penggunaan obat, riwayat terkena
infeksi dan trauma kepala serta radiasi dan riwayat pengobatannya.
4) Paparan terhadap racun: paparan virus influenza pada trimester 3
kehamilan dan riwayat keracunan CO.
b) Psikologis
1) Adanya riwayat kerusakan struktur di lobus frontal yang
menyebabkan suplai oksigen dan glukosa tergaggu dmana lobus
tersebut berpengaruh kepada proses kognitif sehingga anak
mempunyai intelegensi dibawah rata-rata dan menyebabkan
kurangnya kemampuan menerima informasi dari luar.
2) Keterampilan komunikasi verbal yang kurang, misalnya tidak
mampu berkomunikasi, komunikasi tertutup (non verbal), gagap,
riwayat kerusakan yang mempunyai fungsi bicara, misalnya trauma
kepala dan berdampak kerusakan pada area broca dan area
wernich.
3) Moral : riwayat tinggal di lingkungan yang dapat mempengaruhi
moral individu, misalnya keluarga broken home, adanya konflik
keluarga ataupun di masyarakat.
4) Kepribadian : orang yang mudah kecewa, mudah puus asa,
kecemasan yang tinggi dan menutup diri. Pengalaman masa lalu
yang tidak menyenangkan seperti:
a.Orang tua otoriter, selalu membandingkan, yang mengambil jarak
dengan anaknya, penilaian yang negative secara terus menerus
b.Anak yang diasyh oleh orang tua yang suka cemas, terlalu
melindungi, dingin dan tidak berperasaan.
c.Penolakan dan tindak kekerasan dalam rentang hidup klien.
d.Konflik orang tua, disfungsi system keluarga.
e.Kematian orang terdekat, adanya perceraian.
f. Takut penolakan seknder akibat obesitas, penyakit terminal, sangat
miskin dan pengangguran.
g.Riwayat ketidakpuasan yang berhubungan dengan penyalahgunaan
obat, perilaku yang tidak matang, pikiran delusi, penyalahguaan
alcohol.
c) Sosial Budaya
1) Usia : adanya riwayat tugas perkembangan yang tidak sesuai
2) Gender : riwayat ketidakjelasan identitas dan kegagalan peran
gender.
3) Pendidikan : pendidikan yang rendah dan riwayat putussekolah
atau gagal sekolah.
4) Pendapatan : penghasilan rendah.
5) Pekerjaan : stressFull dan beresiko tinggi.
6) Status social : tuna wisma, kehidupan yang terisolasi (kehilangan
kontak social misalnya pada lansia).
7) Latar belakang budaya : tuntunan social budaya tertentu adanya
stigma masyarakat, budaya yang berbeda (bahasa tidak dikenal).
8) Agama dan keyakinan : riwayat tidak bias melakukan atau
menjalankan kegiatan keagamaan secara rutin.
9) Keikutsertaan dalam politik : riwayat kegagalan berpolitik.
10) Pengalaman social : perubhan dalam kehidupannya misalnya,
bencana, kerusuhan, kesulitan mendapatkan pekerjaan dan
ketidakutuhan keluarga.
11) Peran social : isolasi diri : khususnya usia lanjut, stigma negative
dari masyarakat, praduga negative dan stereotipi, perilaku social
tidak diterima oleh masyarakat.
E. TANDA DAN GEJALA
Berikut ini adalah tanda dan gejala klien dengan isolasi social menurut
(Direja, 2011) ialah :
1. Kurang spontan
2. Apatis (acuh terhadap ligkungan)
3. Ekspresi wajah kurang berseri
4. Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
5. Tidak ada atau kurang komunikasi verbal
6. Mengisolasi diri
7. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan
8. Asupan makanan dan minuman terganggu
9. Retensi urin dan feses
10. Aktivitas menurun
11. Kurang energy (tenaga)
12. Rendah diri
F. AKIBAT
Factor Prepitasi
1) Biologi
a. Dalam 6 bulan terakhir mengalami penyakit infeksi otak (enchepalitis)
atau trauma kepala yang mengakibatkan lesi daerah frontal, temporal
dan limbic sehingga terjadi ketidakseimbangan dopamine dan serotonin
neurotransmitter.
b. Dalam 6 bulan terakhir terjadi gangguan nutrisi ditandai dengan
penurunan BB, rambut rontok, anoreksia, bulimia nervosa yang
berdampak pada pemenuhan glukosa di otak yang dapat mempengaruhi
fisiologi otak terutama bagian fungsi kognitif.
c. Sensitivitas biologi : putus obat atau mengalami obesitas, kecacatan
fisik, kanker dan pengobatannya yang dapat menyebabkan perubahan
penampilan fisik.
d. Paparan terhadap racun, misalnya CO yang dapat mempengaruhi
metabolisme di otak sehingga mempengaruhi fisiologis otak.
2) Psikologis
a. Dalam 6 bulan terakhir mengalami trauma atau terjadi kerusakan
struktur di lobus frontal dan terjadi suplay oksigen dan glukosa
terganggu sehingga mempengaruhi kemampuan dalam memenuhi
informasi
b. Keterampilan verbal, tidak mampu berkomunikasi, gagap, mengalami
kerusakan yang mempengaruhi fungsi bicara
c. Dalam 6 bulan terakhir tinggal di lingkungan yang dapat
mempengaruhi moral :
lingkungan keluarga yang broken home, konflik atau tinggal di dalam
lingkungan dengan perilaku social yang tidak diharapkan.
d. Konsep diri : harga diri, perubahan penampilan fisik.
e. Self kontrol : tidak mampu melawan dorongan untuk menyendiri
f. Kepribadian : mudah kecewa, mudah putus asa, kecemasan yang
tinggi, menutup diri.
3) Social Budaya
a. Usia : dalam 6 bulan terakhir mengalami ketidaksesuaian tugas
perkembangan dengan usia, atau terjadi perlambatan dalam
penyelesaian tugas perkembangan.
b. Gender : 6 bulan terakhir mengalami ketidakjelasan identitas dan
kegagalan peran gender (model peran negatif).
c. Pendidikan : dalam 6 bulan terakhir mengalami putus sekolah dan
gagal sekolah.
d. Pekerjaan : stressfull dan beresiko atau tidak bekarja (PHK).
e. Pendapatan : penghasilan rendah atau dalam 6 bulan terakhir tidak
mendapatkan pendapatan atau terjadi perubahan status kesejahteraan.
f. Status Sosial : tuna wisma dan kehidupan isolasi, tidak mempunyai
system pendukung.
g. Agama dan keyakinan : tidak bisa menjalankan aktivitas keagamaan
secara rutin. Terdapat nilai nilai social di masyarakat yang tidak
diharapkan.
G. PENATALAKSANAAN
Menurut dalami, dkk (2009) isolasi sosial termasuk dalam kelompok
penyakit skizofrenia tak tergolongkan maka jenis penatalaksanaan medis
yang bisa dilakukan adalah:
a.) Electro Convulsive Therapy (ECT) Merupakan suatu jenis pengobatan
dimana arus listrik digunakan pada otak dengan menggunakan 2
elektrode yang ditempatkan dibagian temporal kepala (pelipis kiri dan
kanan).Arus tersebut menimbulkan kejang grand mall yang berlangsung
25-30 detik dengan tujuan terapeutik.Respon bangkitan listriknya di otak
menyebabkan terjadinya perubahan faal dan biokimia dalam otak.
b.) Psikoterapi Membutuhkan waktu yang cukup lama dan merupakan
bagian penting dalam proses terapeutik , upaya dalam psikoterapi ini
meliputi: memberikan rasa aman dan tenang, menciptakan lingkungan
yang terapeutik, bersifat empati, menerima pasien apa adanya,
memotivasi pasien untuk dapat mengungkapkan perasaannya secara
verbal, bersikap ramah, sopan, dan jujur kepada pasien.
c.) Terapi Okupasi Merupakan suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan
partisipasi seseorang dalam melaksanakan aktivitas atau tugas yang
sengaja dipilih dengan maksud untuk memperbaiki, memperkuat, dan
meningkatkan harga diri seseorang.
H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Isolasi sosial bd perubahan status mental
2. Harga diri rendah situasional bd pengalaman tidak menyenangkan (di
Bully)
3. Defisit perawatan diri bd gangguan psikologi
DAFTAR PUSTAKA

Townsent, M.C. (2010). Buku saku Diagnosis Keperawatan Psikiatri Rencana


Asuhan & Medikasi Psikotropik.
Edisi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC 25 S. N. Ade Herma Direja. (2011).
Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika. Dalami, dkk. 2009.
Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Jiwa Jogjakarta: Trans Info Media
Kusumawati F. 2010.
Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika W. Stuart, G. (2007).
Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5.
Buku saku kedokteran. Jakarta: EGC.
Nanda, 2012. Diagnosa Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2012-2014.
Buku Kedokteran : EGC. Farida, Yudi. (2012).
Buku Ajar Keperawatan Jiwa.Jakarta. Salemba Medika Departemen Kesehatan RI.,
2000, Keperawatan Jiwa Teori dan Tindakan Keperawatan, Jakarta : Depkes RI.
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO BUNUH DIRI
A. Definisi
Resiko bunuh diri adalah resio untuk menciderai diri sendiri yang dapat
mengancam kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena
merupakan perilaku untuk mengakhiri kehidupannya (Stuart, 2006)
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan. Bunuh diri merupakan keputusan terakhir dari individu
untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2008). Bunuh diri adalah
pikiran untuk menghilangkan nyawa sendiri (Isaacs, 2004).
Perilaku bunuh diri dibagi menjadi 3 kategori yaitu (Stuart, 2006):
1. Ancaman bunuh diri
Yaitu peringatan verbal atau nonverbal bahwa orang tersebut
mempertimbangkan untuk bunuh diri. Ancaman menunjukkan ambevalensi
seseorang tentang kematian kurangnya respon positif dapat ditafsirkan
seseorang sebagai dukungan untuk melakukan tindakan bunuh diri.
2. Upaya bunuh diri
Yaitu semua tindakan yang diarahkan pada diri yang dilakukan oleh individu
yang dapat mengarah pada kematian jika tidak dicegah.
3. Bunuh diri
Mungkin terjadi setelah tanda peningkatan terlewatkan atau terabaikan. Orang
yang melakukan percobaan bunuh diri dan yang tidak langsung ingin mati
mungkin pada mati jika tanda-tanda tersebut tidak diketahui tepat pada
waktunya. Percobaan bunuh diri terlebih dahulu individu tersebut mengalami
depresi yang berat akibat suatu masalah yang menjatuhkan harga dirinya.
Yosep (2010) mengklasifikasikan terdapat 3 jenis bunuh diri, meliputi:
1. Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh diri yang didasarkan oleh
faktor lingkungan yang penuh tekanan sehingga mendorong seseorang untuk
bunuh diri.
2. Bunuh diri altruistik adalah tindakan bunuh diri yang berkaitan dengan
kehormatan seseorang ketika gagal dalam melaksanakan tugasnya.
3. Bunuh diri egoistik adalah tindakan bunuh diri yang diakibatkan faktor dalam
diri seseorang seperti putus cinta atau putus harapan.
B. Psikopatologi/Psikodinamika
1. Etiologi resiko bunuh diri
Adapun faktor-faktor yang mempegaruhi terjadi resiko bunuh diri ada d=2
faktor, yaitu:
a. Faktor predisposisi (faktor resiko)
Menurut Stuart (2005), faktor predisposisi yang menunjang perilaku resiko
bunuh diri antara lain:
1. Diagnostik Psikiatrik
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh
diri, mempunyai hubungan dengan penyakit jiwa. Tiga gangguan jiwa
yang dapat membuat individu beresiko untuk bunuh diri yaitu gangguan
apektif, penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
2. Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan besarnya resiko bunuh
diri adalah rasa bermusuhan, impulsif dan depresi.
3. Lingkungan psikososial
Seseorang dengan pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial,
kejadian-kejadian negatif dalam hidup, penyakit kronis, perpisahan atau
perceraian, kehilangan yang dini dan berkurangnya dukungan sosial
merupakan faktor penting yang berhubungan dengan bunuh diri.
4. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor
resiko penting untuk prilaku destruktif.
5. Faktor biokimia
Data menunjukkan bahwa secara serotogenik, apatengik, dan
depominersik menjadi media proses yang dapat menimbulkan prilaku
destrukif diri.
b. Faktor Presipitasi
Stuart (2006) menjelaskan bahwa pencetus dapat berupa kejadian yang
memalukan, seperti masalah interpersonal, dipermalukan di depan umum,
kehilangan pekerjaan, atau ancaman pengurungan. Faktor pencetus seseorang
melakukan percobaan bunuh diri adalah:
1. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan
interpersonal/gagal melakukan hubungan yang berarti.
2. Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres.
3. Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada
diri sendiri.
4. Cara untuk mengakhiri keputusan.
C. Rentang Respon Protektif Diri (Yosep, 2009)
Respon Adaptif Respon Maladaptif

Peningkatan diri Beresiko Destruktif diri tidakPencederaan diri Bunuh diri


destruktif langsung

Respon adaptif merupakan respon yang dapat diterima oleh norma-


norma sosial dan kebudayaan yang secara umum berlaku, sedangkan respon
maladaptif merupakan respon yang dilakukan individu dalam menyelesaikan
masalah yang kurang dapat diterima oleh norma-norma sosial dan budaya
setempat. Respon maladaptif antara lain (Stuart, 2005):
1. Ketidakberdayaan, keputusasaan, apatis.
Individu yang tidak berhasil memecahkan masalah akan meninggalkan
masalah, karena merasa tidak mampu mengembangkan koping yang
bermanfaat sudah tidak berguna lagi, tidak mampu mengembangkan
koping yang baru serta yakin tidak ada yang membantu.
2. Kehilangan, ragu-ragu
Individu yang mempunyai cita-cita terlalu tinggi dan tidak realistis akan
merasa gagal dan kecewa jika cita-citanya tidak tercapai. Misalnya:
kehilangan pekerjaan dan kesehatan, perceraian, perpisahan individu akan
merasa gagal dan kecewa, rendah diri yang semuanya dapat berakhir
dengan bunuh diri.
a. Depresi
Dapat dicetuskan oleh rasa bersalah atau kehilangan yang ditandai
dengan kesedihan dan rendah diri. Biasanya bunuh diri terjadi pada
saat individu ke luar dari keadaan depresi berat.
b. Bunuh diri
Adalah tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk
mengkahiri kehidupan. Bunuh diri merupakan koping terakhir
individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Stuart dan
Laraia, 2005).
D. Perilaku Koping
Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang mengancam
kehidupan dapat melakukan perilaku bunuh diri dan sering kali orang ini
secara sadar memilih untuk melakukan tindakan bunuh diri. Perilaku bunuh
diri berhubungan dengan banyak faktor, baik faktor social maupun budaya.
Struktur social dan kehidupan bersosial dapat menolong atau bahkan
mendorong klien melakukan perilaku bunuh diri. Isolasi social dapat
menyebabkan kesepian dan meningkatkan keinginan seseorang untuk
melakukan bunuh diri. Seseorang yang aktif dalam kegiatan masyarakat lebih
mampu menoleransi stress dan menurunkan angka bunuh diri. Aktif dalam
kegiatan keagamaan juga dapat mencegah seseorang melakukan tindakan
bunuh diri.
E. Mekanisme Koping
Seseorang klien mungkin memakai beberapa variasi mekanisme
koping yang berhubungan dengan perilaku bunuh diri, termasuk denial,
rasionalization, regression, dan magical thinking. Mekanisme pertahanan diri
yang ada seharusnya tidak ditentang tanpa memberikan koping alternatif.
Perilaku bunuh diri menunjukkan kegagalan mekanisme koping.
Ancaman bunuh diri mungkin menunjukkan upaya terakhir untuk
mendapatkan pertolongan agar dapat mengatasi masalah. Bunuh diri yang
terjadi merupakan kegagalan koping dan mekanisme adaptif pada diri
seseorang.
F. Tanda dan Gejala
Pengkajian orang yang bunuh diri juga mencakup apakah orang
tersebut tidak membuat rencana yang spesifik dan apakah tersedia alat untuk
melakukan rencana bunuh diri tersebut adalah: keputusasaan, celaan terhadap
diri sendiri, perasaan gagal dan tidak berguna, alam perasaan depresi, agitasi
dan gelisah, insomnia yang menetap, penurunan berat badan, berbicara
lamban, keletihan, menarik diri dari lingkungan sosial. Adapun petunjuk
psikiatrik anatara lain: upaya bunuh diri sebelumnya, kelainan afektif,
alkoholisme dan penyalahgunaan obat, kelaianan tindakan dan depresi mental
pada remaja, dimensia dini/ status kekacauan mental pada lansia. Sedangkan
riwayat psikososial adalah: baru berpisah, bercerai/ kehilangan, hidup sendiri,
tidak bekerja, perubahan/ kehilangan pekerjaan baru dialami, faktor-faktor
kepribadian: implisit, agresif, rasa bermusuhan, kegiatan kognitif dan negatif,
keputusasaan, harga diri rendah, batasan/ gangguan kepribadian antisosial.
G. Pohon Masalah
Harga diri rendah

Resiko bunuh diri

Koping tak efektif


(Stuart, 2009)

H. Diagnosa Keperawatan
a. Resiko bunuh diri
b. Harga diri rendah
c. Koping yang tak efektif
Daftar Pustaka

Captain. 2008. Psikologi untuk keperawatan. Jakarta: EGC

Isaac, Ann. 2004. Keperawatan Kesehatan Jiwa dan psikiatrik. Jakrta: EGC

Stuart dan Sundeen. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3. Jakarta: EGC

Stuart dan Laraia. 2005. Principles and Practice of Psychiatric Nursing Eight
Edition. USA: Elsevier Mosby
Stuart. 2009. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa. Bandung: Penerbit Refika Aditama.


LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI
A. DEFINISI

Defisit perawatan diri merupakan suatu keadaan dimana seseorang tidak


mampu untuk memenuhi kebutuhan dirinya terkait makan, minum, buang air
besar dan kecil, mandi, berpakaian serta berhias (Ditjen Yankes, 2019).

Menurut Dermawan & Rusdi (2013), defisit perawatan diri adalah


gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan diri seperti
mandi, berhias, makan, toileting. Defisit perawatan diri adalah suatu keadaan
seseorang mengalami kelainan dalam kemampuan untuk melakukan atau
menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri. Tidak ada
keinginan untuk mandi secara teratur, tidak menyisir rambut, pakaian kotor,
bau badan, bau napas, dan penampilan tidak rapi.

B. ETIOLOGI

1) Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya


suatu kondisi.

Faktor predisposisi defisitperawatan diri meliputi:


a. Faktor Biologis
Pada factor ini, defisit perawatan diri disebabkan oleh adanya penyakit
fisik dan mental yang menyebabkan pasien tidak mampu melakukanperawatan
diri. Selain itu, faktor herediter (keturunan) berupa anggota keluarga yang
mengalami gangguan jiwa, juga turut menjadi penyebab.
Secara biologi riset neuropatologi memfokuskan pada tiga area otak yang
di percaya dapat melibatkan defisit perawatan diri yatu sistem limbik, lobus
frontalis dan hypothalamus.
- Sistem limbik
Sistem limbik merupakan cincin korteks yang berlokasi di permukaan
medial masing-masing hemisfer dan mengelilingi pusat kutup serebum.
Fungsi nya adalah mengatur persyarafan otonon dan emosi.
-Lobus frontal

Berperan penting menjadi media yang sangat berarti dalam berprilaku


dan berpikir rasional, yang saling berhubungan dengan sistem limbik.
- Hypothalamus

Hypothalamus adalah bagian dari ensefalon yaitu bagian dalam dari


serebum yang menghubungkan otak tenggah denganhemisfer serebum.
Fungsi utama adalah tingkah laku terhadap emosi dan juga mengatur
mood dan motivasi.
b. Faktor Psikologis

Meliputi konsep diri, intelektualitas, kepribadian, moralitas, penggalaman


masa lalu, koping dan ketrampilan komunikasi secara verbal.
c. Faktor Sosial

Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan di lingkungannya.


Situasi lingkungan mempengaruhi latihankemampuan dalam perawatan
diri.
2) Faktor Presipitasi faktor presipitasi defisit perawatan diri adalah kurang
penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah
yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu
melakukan perawatan diri.
Menurut Depkes 2020 dalam Dermawan 2013 faktor-faktor yang
mempengaruhi personal hygiene adalah:
- Body image
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan
diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak
peduli dengan kebersihan dirinya. - Praktik social Pada anak-anak
selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan terjadi
perubahan pola personal hygiene.
- Status sosial ekonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi,
sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk
menyediakannya.
- Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang
baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien menderita
diabetes melitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
- Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh
dimandikan.
- Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam
perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain-lain.
- Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu/sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang
dan perlu bantuan untuk melakukannya.
C. JENIS – JENIS DEFISIT PERAWATAN DIRI
1) Defisit perawatan diri: mandi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan mandi atau
beraktivitas perawatan diri untuk diri sendiri.
2) Defisit perawatan diri: berpakain
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktiitas
berpakain dan berias untuk diri sendiri.
3) Defisit perawatan diri; makan
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
sendiri.
4) Defisit perawatan diri: eliminasi

Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan


aktivitas eliminasi sendiri
D. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri adalah :
1) Fisik
a. Badan bau, pakaian kotor
b. Rambut dan kulit kotor
c. Kuku panjang dan kotor
d. Gigi kotor disertai mulut bau
e. Penampilan tidak rapi
2) Psikologis
a. Malas, tidak ada inisiatif
b. Menarik diri, isolasi diri
c. Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina
3) Social
a. Interaksi kurang
b. Kegiataan kurang
c. Tidak mampu berperilaku sesuai norma
d. Cara makan tidak teratur, BAK dan BAB di sembaraang tempat,
gosok gigi dan mandi tidak mampu mandiri
Data yang biasa ditemukan dalam defisit perawatan diri adalah :
1) Data subyektif
a. Pasien merasa lemah
b. Malas untuk beraktivitas
c. Merasa tidak berdaya
2) Data obyektif
a. Rambut kotor dan acak-acakan
b. Bau badan dan pakaian kotor
c. Bau mulut dan gigi
d. Kulit kusam dan kotor
e. Kuku panjang dan tidak terawat
3) Mekanisme Koping
a. Regresi
b. Penyangkalan
c. Isolasi diri/menarik diri
d. Intelektualsasi
E. RENTANG RESPON

Adapun rentang respon defisit perawatan diri sebagai berikut :

Adaptif Maladaptif

Pola perawatan diri seimbang Terkadang Tidak melakukan


perwatan diri, perawatan diri saat

terkadang tidak stres

1) Pola perawatan diri seimbang : saat klien mendapatkan stresor dan


mampu untuk berprilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan
klien seimbang, klien masih melakukan perawatan diri.
2) Kadang perawatan diri kadang tidak: saat klien mendapatkan
stresor kadang – kadang klien tidak memperhatikan perawatan dirinya.
3) Tidak melakukan perawatan diri : klien mengatakan dia tidak
peduli dan tidak bisa melakukan perawatan saat stresor.
F. POHON MASALAH

Gangguan pemeilharaan Kesehatan (BAB/BAK, mandi,


makan, minum)

Defisit Perawatan Diri

Menurunya motivasi dalam perawatan diri

Gangguan Persepsi sensori : Halusinasi

Isolasi social : Faktor Predisposisi : Faktor Presipitasi


Menarik diri - Biologis - Body Image
- Sosial - Psikologis
- Ekonomi - Sosial
- Pengetahuan

- Budaya

- Kebiasaan

- Kondisi fisik
G. PENATALAKSANAAN

1) Farmakologi

a. Obat anti psikosis : Penotizin

b. Obat anti depresi : Amitripilin

c. Obat anti Ansietas : Diazepam, Bromozepam, Clobozam

d. Obat anti insomnia: Phnebarbital

2) Terapi

a. Terapi keluarga

Berfokus pada keluarga dimana keluarga membantu


mengatasi masalah klien dengan memberikan perhatian :
- Jangan memancing emosi klien

- Libatkan klien dalam kegiatan yang berhubungan dengan


keluarga

- Berikan kesempatan klien mengemukakan pendapat

- Dengarkan, bantu dan ajurkan pasien untuk


mengemukakan masalah yang dialaminya
b. Terapi aktivitas kelompok

Berfokus pada dukungan dan perkembangan, keterampilan


sosial atau aktivitas lainnya dengan berdiskusi serta bermain
untuk mengembalikan keadaan klien karena masalah
sebagian orang yang merupakan perasaan dan tingkah laku
pada orang lain, ada 5 sesi yang harus dilakukan : - Manfaat
perawatan diri
- Menjaga kebersihan diri

- Tata cara makan dan minum

- Tata cara eliminasi

- Tata cara berhias

c. Terapi Musik
Dengan musik klien bisa terhibur, rileks dan bermain untuk
mengembalikan kesadaran pasien. Penatalaksanaanya adalah
sebagai berikut : - Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan
diri
- Membimbing dan menolong klien merawat diri

- Ciptakan lingkungan yang mendukung

H. KOMPLIKASI

Komplikasi dari deficit perawatan diri adalah sebagai berikut :

1) Dampak fisik

Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena


tidak terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik,
gangguan 12 fisik yang sering terjadi adalah gangguan
integritas kulit, gangguan membran mukosa mulut, infeksi pada
mata dan telinga serta gangguan fisik pada kuku.
2) Dampak psikososial

Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygine


adalah gangguan kebutuhan aman, nyaman, kebutuhan cinta
mencintai, kebutuhan harga diri, aktualisasi diri dan gangguan
interaksi sosial.
I. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Defisit perawatan diri
b. Harga diri rendah situasional
c. Isolasi social
d. Gangguan interaksi social
e. Deficit pengetahuan
DAFTAR PUSTAKA

Arvian,Richo. 2018. “Asuhan keperawatan pada klien dengan masalah defisit


perawatan diri di ruang cendrawasih rumah sakit jiwa daerah provinsi
lampung”. KTI. diii keperawatan, sekolah tinggi ilmu kesehatan
muhammadiyah pringsewu, Lampung
Cherista, a. s. (2019). studi kasus penerapan tindakan keperawatan: kebersihan
diri pada klien gangguan jiwa dengan diagnosa keperawatan defisit
perawatan diri di puskesmas pejagoan (doctoral dissertation, stikes
muhammadiyah gombong).
Murtiningsih, d. (2019). asuhan keperawatan pada pasien stroke dengan
masalah keperawatan defisit perawatan diri; mandi di rsud dr hardjono
ponorogo (doctoral dissertation, universitas muhammadiyah ponorogo).
Nasar, R., & Nur, M. (2019). Studi Kasus Pemenuhan Kebutuhan Defisit
Perawatan Diri Mandi dan Berhias pada Pasien Isolasi Sosial di Rumah
Sakit Tingkat II Pelamonia Makassar. Media Keperawatan, 10(2), 71-
77.
Pinedendi, N., Rottie, J., & Wowiling, F. (2016). Pengaruh Penerapan Asuhan
Keperawatan Defisit Perawatan Diri Terhadap Kemandirian Personal
Hygiene Pada
Pasien di RSJ. Prof. VL Ratumbuysang Manado Tahun 2016. jurnal
keperawatan, 4(2).

Saputra,dino. 2017. “Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan defisit


perawatan diri di ruang dahlia rumah sakit jiwa prof. Hb. Sa’anin
padang”. KTI. Jurusan
keperawatan. Politeknik kesehatan kemenkes Padang, Padang

Anda mungkin juga menyukai