Anda di halaman 1dari 4

NOVITASARI

24 / XII IPS 2
FRANS KAISIEPO

A. Profil Frans Kaisiepo


Nama Lengkap : Frans Kaisiepo
Lahir : 10 Oktober 1921 Biak, Papua, Hindia Belanda.
Meninggal : 10 April 1979 (umur 57) Jayapura, Irian Jaya, Indonesia.
Agama : Kristen Protestan
Kebangsaan : Indonesia
Istri : Anthomina Arwam
Maria Magdalena Moorwahyuni
Gelar : Pahlawan Nasional Indonesia

Frans Kaisiepo adalah pria kelahiran Wardo, Biak, Papua pada 10 Oktober 1921. Pahlawan
Nasional yang satu ini mempunyai jasa besar khususnya terhadap kehidupan masyarakat
di Papua, sebab ia pernah menyandang status sebagai Gubernur Papua ke-4. Ia jugalah
yang berada di belakang asal-usul nama Irian.

Frans mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (1928-1931), LVVS Korido (1931-


1934), Sekolah Guru Normalis di Manokwari (1934-1936), dan Papua Bestuur School
(1952-1954). Selain itu, ia juga pernah mengambil kursus di Sekolah Pamong Praja di Kota
Nica (1945), yang mempertemukannya dengan Soegoro Atmoprasodjo, salah seorang guru
yang juga sempat mengajar di Taman Siswa Ki Hajar Dewantara dan aktivis dari Partai
Indonesia (PARTINDO). Melalui Soegoro, ia beserta siswa-siswa lainnya menjadi familiar
dengan nilai-nilai nasionalisme negara Indonesia saat itu. Alhasil, pola pikir dan aliran
politik Frans pun semakin terbentuk untuk menjadi seorang nasionalis pro-Indonesia yang
kuat.

Ayah Frans yang bernama Albert Kaisiepo merupakan seorang ahli pandai besi sekaligus
kepala suku Biak Numfor, sedangkan ibunya yang bernama Alberthina Maker sudah
meninggal sejak usianya 2 tahun. Dari pernikahan pertama Frans dengan Anthomina
Arwam, mereka dikaruniai 3 orang anak, yaitu Beatrix Kaisiepo Wanma, Susana Kaisiepo
Manggaprouw, dan Manuel Kaisiepo. Pasca kematian Arwam, Frans menikah dengan
dengan Maria Magdalena Moorwahyuni dan dikaruniai 1 orang anak yang bernama Victor
Kaisiepo.

B. Perjuangan Frans Kaisiepo


Frans Kaisiepo, pria kelahiran Wardo, Biak, pada 10 Oktober 1921 merupakan sosok yang
sangat berjasa dalam menyatukan Papua dengan Indonesia. Namanya mungkin terdengar
asing bagi sebagian besar orang di Indonesia. Namun, di Papua, beliau yang merupakan
gubernur provinsi papua yang keempat adalah pahlawan yang tak kenal gentar dalam
melawan kependudukan Belanda di tanah Papua.

Perjuangannya untuk tanah papua sangatlah besar, diantaranya Pada 31 Agustus 1945,
ketika Papua masih diduduki Belanda, Frans termasuk salah satu orang menegakkan
eksistensi Republik Indonesia dan orang pertama yang mengibarkan Bendera Merah
Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya di Papua.

Pada Juli 1946, Frans menjadi utusan Nederlands Nieuw Guinea dan satu-satunya orang
asli Papua pada Konferensi Malino di Sulawesi Selatan. Ia menentang keras niat Belanda
yang ingin menggabungkan Papua dengan Maluku dan menjadikan Papua bagian dari
Negara Indonesia Timur (NIT). Frans bersikeras bahwa wilayah Papua seharusnya
dipimpin oleh orang-orang Papua sendiri daripada dipimpin oleh orang lain. Frans juga
mengusulkan agar nama Papua atau Nederlands Nieuw Guinea diganti dengan ‘Irian’ yang
berasal dari bahasa asli Biak yang berarti “Cahaya yang mengusir kegelapan”. Hal ini
dilatar belakangi oleh kata Papua yang awalnya merupakan sebutan pua-pua yang artinya
“keriting”. Frans merasa bahwa sebutan ini merendahkan orang-orang lokal Papua dan
berkehendak untuk menghentikan sebutan itu. Kata Irian kemudian dipolitisasi kelompok
nasionalis Indonesia di Papua sebagai akronim dari “Ikut Republik Indonesia Anti
Nederlands”.

Perjuangan Frans Kaisiepo di bidang politik terus berlanjut. Pada tahun 1946, Ia
mendirikan Partai Indonesia Merdeka di Biak. Frans terus memperjuangkan dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia di tanah Papua meski Indonesia telah resmi
memproklamirkan kemerdekaannya. Karena perlawanannya, dia dipenjarakan oleh
belanda dari tahun 1954 hingga 1961.
Pada tahun 1961, Frans Kaisiepo mendirikan partai Irian Sebagian Indonesia (ISI) yang
bertujuan untuk menuntut penyatuan Papua dengan Republik Indonesia. Pada tahun yang
sama, Presiden Soekarno membentuk Tiga Komando Rakyat (Trikora) pada 19 Desember
1961. Tujuan komando itu adalah:
• membatalkan pembentukan "negara Papua" yang diciptakan oleh kekuasaan
kolonial Belanda.
• mengibarkan bendera Indonesia di Irian Barat, dengan demikian menegaskan
kedaulatan Indonesia di daerah tersebut
• mempersiapkan mobilisasi untuk "mempertahankan kemerdekaan dan penyatuan
tanah air"

Melalui ISI, Frans membantu pendaratan sukarelawan Indonesia yang diterjunkan ke


Mimika. Hasil utama dari Trikora adalah Perjanjian New York pada tanggal 1 Mei 1963
yang memutuskan bahwa wilayah Papua dikembalikan dari Kerajaan Belanda ke
Indonesia. Pemerintah RI kemudian menggunakan nama warisan dari Frans Kaiseipo, yaitu
Irian Barat (Pada tahun 1969 berganti menjadi “Irian Jaya” kemudian berganti nama
menjadi Papua pada tahun 2001).

Atas upayanya mempersatukan Papua dengan Indonesia, ia terpilih menjadi anggota


parlemen untuk Papua pada pemilihan Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 1973 dan
diangkat menjadi Dewan Pertimbangan Agung pada tahun 1977 sebagai wakil untuk
urusan Papua.

Frans dinyatakan wafat pada 10 April 1979 karena serangan jantung. Untuk menghormati
jasa-jasa Frans terhadap bangsa dan negara, selain dari pemberian predikat “pahlawan
nasional” oleh Pemerintah Indonesia pada 14 September 1993 dan pengabadian wajah
Frans pada cetakan uang Rp10.000, versi terbaru yang dirilis oleh Bank Indonesia pada
2016 lalu, namanya juga diabadikan sebagai salah satu nama kapal milik Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) dan nama bandara di Biak, Papua.

C. Sisi Positif Frans Kaisiepo


1) Kegigihan dan pantang menyerah. Frans Kaisiepo dengan segenap usahanya
telah menumpahkan seluruh perhatiannya terhadap kepentingan perjuangan rakyat
Indonesia. Baik diminta ataupun tidak Frans telah menunujukan bahwa ia
mempunyai kewajiban moral untuk memperjuangkan kedudukan dan nasib bangsa
Indonesia.
2) Jiwa Nasionalisme yang tinggi. Saat pemerintah Belanda menangkap Silas Papare
pendiri Partai Kemerdekaan Irian Indonesia, Frans bersama aktivis lainnya
mengibarkan bendera Merah Putih pada tanggal 17 Agustus 1947 dan mereka
memutuskan untuk meneruskan perjuangan menyatukan wilayah Irian dengan
Indonesia. Selama 3 hari sebelum Proklamasi, Frans dan rekan lainnya
memperdengarkan lagu Indonesia Raya di Jayapura. Beberapa hari setelahnya
mereka melaksanakan upacara dengan mengibarkan bendera Merah Putih.
3) Kukuh pada nilai yang dijunjung. Frans menolak penunjukan dirinya sebagai
wakil dari Belanda untuk wilayah Nugini pada Konferensi Meja Bundar (KMB) di
Den Haag. Alasannya adalah karena Frans tidak mau didikte oleh Belanda. Hal
tersebut mengakibatkan Frans harus menjadi tahanan politik mulai tahun 1954
hingga 1961.
D. Kesimpulan
Frans Kaisiepo menjadi simbol perjuangan rakyat Papua dalam persatuan bangsa
Indonesia. Perjuangan Frans Kaisiepo dapat menjadi panutan bagi masyarakat Papua
karena integritas perjuangannya mengangkat derajat kesejahteraan orang asli Papua ke
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia terus digelorakan hingga akhir
hayatnya. Dalam diri Frans Kaisiepo dapat dilihat kepribadian yang mempertahankan
dengan teguh persatuan bangsa. bersatu pastilah lebih baik daripada tercerai berai. Seperti
ungkapan bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.

Anda mungkin juga menyukai