lahir di Wardo, Biak, Papua pada 10 Oktober 1921 dan wafat pada 10 April 1979
dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih, Jayapura. . Ia lahir dari pasangan
Albert Kaisiepo dan Albertina Maker. Frans Kaisiepo pernah menjabat
sebagai Gubernur Irian Barat keempat selama 2 periode, periode pertama sejak 26
November 1964 - 1 Maret 1973 dan periode kedua setelah Irian Barat berganti
nama menjadi Irian Jaya yaitu pada 1 Maret 1973 hingga 29 Juni 1973. Pada tahun
1993, Frans dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia secara anumerta
dengan berdasarkan Keputusan Presiden nomor 077/TK/1993 atas usahanya
seumur hidup untuk mempersatukan Irian Barat dengan Indonesia. Pada Juli 1946
ia terlibat dalam Konferensi Malino sebagai wakil Irian Barat yang membahas
pembentukan Republik Indonesia Serikat yang salah satunya rencana pembentukan
negara di daerah Indonesia bagian Timur.
Pada 1945, Frans bertemu Sugoro Atmoprasodjo di Sekolah Kursus Pegawai
(Papua Bestuur School) di kota NICA, sekarang Kampung Harapan, Distik Sentani
Timur, Kabupaten Jayapura.. Mereka dengan cepat menemukan titik temu karena
dukungan bersama mereka untuk kemerdekaan Indonesia. Kaisiepo sering
mengadakan pertemuan rahasia untuk membahas aneksasi Nugini
Belanda oleh Republik Indonesia.
Pada 31 Agustus 1945, ketika Papua masih diduduki Belanda, Frans termasuk
salah satu orang menegakkan eksistensi Republik Indonesia dan orang pertama
yang mengibarkan Bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya di
Papua.
Pada Juli 1946, Frans menjadi utusan Nugini Belanda dan satu-satunya orang asli
Papua pada Konferensi Malino di Sulawesi Selatan. Sebagai Juru Bicara, dia
menyarankan wilayah itu disebut "Irian", menjelaskan kata itu berarti "tempat yang
panas" dalam bahasa aslinya, Biak.[2] Pada bulan yang sama, Partai Indonesia
Merdeka didirikan oleh Frans di Biak, dengan Lukas Rumkorem sebagai pemimpin
terpilih partai tersebut.[3]
Pada Agustus 1947, Silas Papare memimpin pengibaran bendera merah putih
Indonesia untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia. Tindakan ini
mengakibatkan penangkapan semua peserta oleh polisi Belanda. Mereka dikurung
selama lebih dari tiga bulan. Selama itu Frans dan Johans Ariks mengambil peran
Papare. Johans kemudian mengetahui rencana untuk mengintegrasikan Irian
Barat sebagai wilayah Indonesia, alih-alih mengembangkan otonominya.
Frans terlibat dalam pemberontakan di Biak pada Maret 1948, memprotes
pemerintahan Belanda. Pada tahun 1949, ia menolak penunjukan sebagai
pemimpin delegasi Nugini Belanda dalam Konferensi Meja Bundar Belanda-
Indonesia, karena ia merasa Belanda berusaha mendikte dia. Karena
perlawanannya, dia dipenjarakan dari tahun 1954 hingga 1961.
Karier politik[sunting | sunting sumber]