Anda di halaman 1dari 10

Nama Lengkap: Frans Kaisiepo

Tempat Lahir: Blak

Tanggal Lahir: Senin, 10 Oktober 1921

Zodiak: Balance

Warga Negara: Indonesia

Istri: Athomina Arwam

BIOGRAFI
Pahlawan nasional Republik Indonesia, (alm) Frans Kaisiepo, lahir di Wardo,
Biak, Papua pada 10 Oktober 1921. Beberapa jasa kenegaraan Gubernur Papua
ke-4 ini termasuk pengusulan nama Irian, berarti daerah panas dalam bahasa
daerah Biak, untuk menyebut wilayah paling timur Republik Indonesia, serta
partisipasinya dalam Konferensi Malino 1946 yang membahas pembentukan
Republik Indonesia Serikat.

Sejak muda, Kaisiepo telah dikenal sebagai aktivis gerakan kemerdekaan


Republik Indonesia di wilayah Irian (sekarang kembali bernama Papua). Ketika
pemerintah Belanda menangkap Silas Papare, pendiri Partai Kemerdekaan Irian
Indonesia (PKII), bersama beberapa aktivis pro-Republik setelah mengibarkan
bendera Merah-Putih pada 17 Agustus 1947, Kaisiepo dan Johan Ariks
memutuskan untuk meneruskan perjuangan rekan mereka menyatukan wilayah
Irian ke pangkuan Indonesia.

Pada 10 Juli 1946, pahlawan Trikora ini mendirikan Partai Indonesia Merdeka
yang diketuai Lukas Rumkofen. Pada bulan yang sama, Kaisiepo juga berangkat ke
Sulawesi utara sebagai salah satu anggota Delegasi RI dalam Konferensi Malino
1946 dan tercatat sebagai satu-satunya putra Irian yang hadir dalam salah satu
perundingan paling penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia tersebut.
Dalam Konferensi yang sama juga nama Irian diusulkan Frans Kaisiepo untuk
mengganti nama Papua sekaligus menyatakan penolakan atas skenario usulan
pembentukan Negara Indonesia Timur.

Pada masa-masa inilah salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah RI
pecah dengan dimulainya TRIKORA (Tiga Komando Rakyat) oleh Presiden
Soekarno pada 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Kaisiepo juga sering melindungi
para sukarelawan yang diam-diam melakukan infiltrasi ke wilayah Irian barat
tersebut.

Capaian utama TRIKORA adalah Perjanjian New York pada 15 Agustus 1963
yang memaksa Belanda menyerahkan kekuasaan politis atas Irian Barat ke tangan
Indonesia. Melalui pengawasan PBB, pemerintah RI berhak atas pengembangan
wilayah Irian mulai 1963 - 1969 sebelum rakyat Papua memutuskan untuk terus
bergabung atau lepas dari tangan Indonesia.

Pada 1964 bisa disebut sebagai tahun paling kritis bagi Irian. Gubernur
pertama Irian, Elieser Jon Bonay, mulai menjabat pada 1963. Pada awal 1964,
Bonay membuat usulan ke PBB yang menyatakan separasi dan kemerdekaan bagi
Irian Barat sekaligus menyatakan mundur dari jabatan gubernur dan digantikan
Frans Kaisiepo.

Kaisiepo sendiri terus berjuang menyatukaan Irian dengan RI sesuai


impiannya sejak awal dan pada 1969 impian ini terbayar dengan masuknya Irian
sebagai propinsi paling muda di Indonesia saat itu. Pada 1972, Kaisiepo dilantik
sebagai salah satu anggota MPR RI sebelum akhirnya menjabat anggota Hakim
Tertinggi Dewan Pertimbangan Agung sejak 1973 hingga 1979.

Pada 10 April 1979, salah satu putra terbaik Irian, Frans Kaisiepo, meninggal
dunia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih di Biak. Di
samping anugrah Trikora, nama Kaisiepo juga diabadikan menjadi bandar udara di
Biak.

Berdasarkan Keputusan Presiden nomor 077/TK/1993, nama Frans Kaisiepo


selanjutnya dikenang sebagai satu dari deretan Pahlawan Nasional Indonesia
disertai penganugrahan Bintang Maha Putera Adi Pradana Kelas Dua.
Putri Frans Kaisiepo, Suzanah Kaisiepo, berharap sikap dan jiwa
kepahlawanan ayahnya bisa diteladani oleh para generasi muda Papua dalam
mengisi pembangunan mengingat kuatnya keyakinan sang ayah pada semboyan
'Bersatu kita teguh; bercerai kita runtuh'.

PENDIDIKAN
-Sekolah Rakyat pada 1928-1931

-LVVS korido pada 1931-1934

-Sekolah Guru Normalis di Manokwari pada 1934-1936

-Bestuur Course pada Maret-Agustus 1945

-Bestuur School/Pamong Praja pada 1952-1954

KARIR
-Pahlawan Nasional

-Pendiri, Partai Indonesia Merdeka, 1946

-Anggota Delegasi RI, Konferensi Malino, Sulawesi Utara, 1946

-Anggota, Kepemimpinan Hakim Tertinggi, Dewan Pertimbangan Agung RI,


1972

-Gubernur Papua, 1964-1973

PENGHARGAAN
-Gelar Pahlawan Nasional Indonesia

Awal Perjalanan Kehidupan Frans Kaisiepo


Frans mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (1928-1931), LVVS Korido
(1931-1934), Sekolah Guru Normalis di Manokwari (1934-1936), dan Papua
Bestuur School (1952-1954). Selain itu, ia juga pernah mengambil kursus di
Sekolah Pamong Praja di Kota Nica (1945), yang mempertemukannya dengan
Soegoro Atmoprasodjo, salah seorang guru yang juga sempat mengajar di Taman
Siswa Ki Hajar Dewantara dan aktivis dari Partai Indonesia (PARTINDO). Melalui
Soegoro, ia beserta siswa-siswa lainnya menjadi familiar dengan nilai-nilai
nasionalisme negara Indonesia saat itu. Alhasil, pola pikir dan aliran politik Frans
pun semakin terbentuk untuk menjadi seorang nasionalis pro-Indonesia yang kuat.

Pencapaian Frans Kaisiepo Semasa Hidupnya

Seperti yang udah gue singgung sebelumnya, Frans tumbuh dengan memiliki
rasa nasionalis yang tinggi, sehingga ia pun menjadi salah satu aktivis perjuangan
di Irian Barat yang paling berperan besar dalam usaha bersatunya kembali Irian
Barat dengan RI. Demi menunjukkan tekadnya, Frans menjadi pelopor berdirinya
Partai Indonesia Merdeka (PIM) pada 10 Juli 1946. Kemudian, disusul oleh
keikutsertaannya sebagai delegasi Indonesia dalam Konferensi Malino (1946)*
yang dilaksanakan di Sulawesi Selatan.

Konferensi Malino tahun 1946 (Sumber: Wikipedia).

Oh iya, lo udah tahu belum kalau nama Irian itu sebenarnya adalah
akronim*? Memang, di kemudian hari, Soekarnolah yang membuat akronim Irian
menjadi “Ikut Republik Indonesia Anti Netherland”. Tapi pada awalnya, sosok
Franslah yang terpikir untuk mengganti nama Papua menjadi Irian. Pasalnya, ia
merasa bahwa orang-orang dari suku lain acap kali melayangkan hinaan ketika
menyebut nama “Papua”. Di sisi lain, ia juga ingin mengganti nama “Nederlands
Nieuw Guinea” yang termasuk dalam bagian integral dari Hindia-Belanda. Oleh
karena itu, ketika hadir dalam Konferensi Malino, ia mengusulkan nama “Irian”
yang berarti “sinar matahari yang menghalangi kabut di laut”, sebagai nama
subtitut dalam penyebutan wilayah Papua. Sayangnya, usulan tersebut nggak
diterima.

PendidikanSekolah Rakyat pada 1928–1931

LVVS Korido pada 1931–1934

Sekolah Guru Normalis di Manokwari pada 1934–1936


Bestuur Course pada March – August 1945
Bestuur School / Pamong Praja pada 1952–1954

Perjuangan Frans Kaisiepo

Pada 1945, Frans Kaisiepo melaksanakan upacara pengibaran bendera


Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama tokoh-tokoh Papua
lain, yakni Marthen Indey dan Silas Papare.

Frans terlibat dalam konferensi Malino (1946) yang membicaraka mengenai


pembentukan Republik Indonesia Serikat sebagai wakil dari Papua. Beliau
mengusulkan nama Irian, yang berasal dari bahasa Biak yang berarti beruap.
Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih, Jayapura. Frans
Kaisiepo, Simbol Perjuangan Rakyat Papua Dalam Persatuan Bangsa Indonesia

Frans Kaisiepo, pria kelahiran Wardo, Biak, pada 10 Oktober 1921


merupakan sosok yang sangat berjasa dalam menyatukan Papua dengan
Indonesia. Namanya mungkin terdengar asing bagi sebagian besar orang di
Indonesia. Namun, di Papua, beliau yang merupakan gubernur provinsi papua
yang keempat adalah pahlawan yang tak kenal gentar dalam melawan
kependudukan Belanda di tanah Papua.

Perjuangannya untuk tanah papua sangatlah besar diantaranya Pada 31


Agustus 1945, ketika Papua masih diduduki Belanda, Frans termasuk salah satu
orang menegakkan eksistensi Republik Indonesia dan orang pertama yang
mengibarkan Bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya di
Papua.

Pada Juli 1946, Frans menjadi utusan Nederlands Nieuw Guinea dan satu-
satunya orang asli Papua pada Konferensi Malino di Sulawesi Selatan. Ia
menentang keras niat Belanda yang ingin menggabungkan Papua dengan Maluku
dan menjadikan Papua bagian dari Negara Indonesia Timur (NIT). Frans bersikeras
bahwa wilayah Papua seharusnya dipimpin oleh orang-orang Papua sendiri
daripada dipimpin oleh orang lain. Frans juga mengusulkan agar nama Papua atau
Nederlands Nieuw Guinea diganti dengan ‘Irian’ yang berasal dari bahasa asli Biak
yang berarti “Cahaya yang mengusir kegelapan”. Hal ini dilatar belakangi oleh
kata Papua yang merupakan awalnya merupakan sebutan pua-pua yang artinya
“keriting”. Frans merasa bahwa sebutan ini merendahkan orang-orang lokal
Papua dan berkehendak untuk menghentikan sebutan itu. Kata Irian kemudian
dipolitisasi kelompok nasionalis Indonesia di Papua sebagai akronim dari “Ikut
Republik Indonesia Anti Nederlands”.

Perjuangan Frans Kaisiepo di bidang politik terus berlanjut. Pada tahun 1946,
Ia mendirikan Partai Indonesia Merdeka di Biak. Frans terus memperjuangkan dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia di tanah Papua meski Indonesia telah
resmi memproklamirkan kemerdekaannya. Karena perlawanannya, dia
dipenjarakan oleh belanda dari tahun 1954 hingga 1961.

Pada tahun 1961, Frans Kaisiepo mendirikan partai Irian Sebagian Indonesia
(ISI) yang bertujuan untuk menuntut penyatuan Papua dengan Republik Indonesia.
Pada tahun yang sama, Presiden Soekarno membentuk Tiga Komando Rakyat
(Trikora) pada 19 Desember 1961.
Melalui ISI, Frans membantu pendaratan sukarelawan Indonesia yang
diterjunkan ke Mimika. Hasil utama dari Trikora adalah Perjanjian New York pada
tanggal 1 Mei 1963 yang memutuskan bahwa wilayah Papua dikembalikan dari
Kerajaan Belanda ke Indonesia. Pemerintah RI kemudian menggunakan nama
warisan dari Frans Kaiseipo, yaitu Irian Barat (Pada tahun 1969 berganti menjadi
“Irian Jaya” kemudian berganti nama menjadi Papua pada tahun 2001).

Atas upayanya mempersatukan Papua dengan Indonesia, ia terpilih menjadi


anggota parlemen untuk Papua pada pemilihan Majelis Permusyawaratan Rakyat
tahun 1973 dan diangkat menjadi Dewan Pertimbangan Agung pada tahun 1977
sebagai wakil untuk urusan Papua.

Frans meninggal dunia pada 10 April 1979 dan dimakamkan di Taman


Makam Pahlawan Cendrawasih di Biak.

Atas jasa-jasanya kepada negara Indonesia, Frans Kaisiepo dianugerahi


penghargaan Bintang Maha Putra Adi Pradana Kelas Dua. Selain itu, nama Frans
Kaisiepo juga diabadikan menjadi salah satu kapal perang TNI Angkatan Laut, KRI
Frans Kaisiepo dengan nomor seri 368 dan bandar udara internasional di Pulau
Biak, Papua. Penghargaan setinggi-tingginya diberikan kepada Frans Kaisiepo Pada
tahun 1993, Berdasarkan Keputusan Presiden nomor 077/TK/1993 nama Frans
Kaisiepo ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia dari Papua dan potret
dirinya dipajang dalam lembaran uang rupiah emisi 2016 bernilai Rp10.000,00.

Frans Kaisiepo juga mempopulerkan lagu Indonesia Raya di Papua saat menjelang
Indonesia merdeka. Dan Kaisiepo menjadi anggota delegasi Papua dalam
konferensi Malino di Sulawesi Selatan. Frans Kaisiepo juga menentang
pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) karena NIT tidak memasukkan Papua
ke dalamnya. Ia lalu mengusulkan agar Papua dimasukkan ke dalam Keresidenan
Sulawesi Utara.
Perjuangan lainnya Frans Kaisiepo

Pada tahun 1993, Frans secara anumerta dinyatakan sebagai Pahlawan


Nasional Indonesia atas usahanya seumur hidup untuk mempersatukan Irian
Barat dengan Indonesia. Sebagai wakil Provinsi Papua, ia terlibat dalam
Konferensi Malino, di mana pembentukan Republik Indonesia Serikat
dibahas.Frans terlibat dalam konferensi Malino (1946) yang membicarakan
mengenai pembentukan Republik Indonesia Serikat sebagai wakil dari Papua.
Beliau mengusulkan nama Irian, yang berasal dari bahasa Biak yang berarti beruap.
Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih, Jayapura.Frans
Kaisiepo sebagai pejuang kemerdekaan pengibar bendera merah putih pertama di
Papua akan diulas dalam artikel ini. Perjuangannya untuk tanah papua sangatlah
besar diantaranya Pada 31 Agustus 1945, ketika Papua masih diduduki Belanda,
Frans termasuk salah satu orang menegakkan eksistensi Republik Indonesia dan
orang pertama yang mengibarkan Bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu
Indonesia Raya di Papua.

Pada Juli 1946, Frans menjadi utusan Nederlands Nieuw Guinea dan satu-
satunya orang asli Papua pada Konferensi Malino di Sulawesi Selatan. Ia
menentang keras niat Belanda yang ingin menggabungkan Papua dengan Maluku
dan menjadikan Papua bagian dari Negara Indonesia Timur (NIT). Frans bersikeras
bahwa wilayah Papua seharusnya dipimpin oleh orang-orang Papua sendiri
daripada dipimpin oleh orang lain. Frans juga mengusulkan agar nama Papua atau
Nederlands Nieuw Guinea diganti dengan ‘Irian’ yang berasal dari bahasa asli Biak
yang berarti “Cahaya yang mengusir kegelapan”. Hal ini dilatar belakangi oleh
kata Papua yang merupakan awalnya merupakan sebutan pua-pua yang artinya
“keriting”. Frans merasa bahwa sebutan ini merendahkan orang-orang lokal
Papua dan berkehendak untuk menghentikan sebutan itu. Kata Irian kemudian
dipolitisasi kelompok nasionalis Indonesia di Papua sebagai akronim dari “Ikut
Republik Indonesia Anti Nederlands” Perjuangan Frans Kaisiepo di bidang politik
terus berlanjut. Pada tahun 1946, Ia mendirikan Partai Indonesia Merdeka di Biak.
Frans terus memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di
tanah Papua meski Indonesia telah resmi memproklamirkan kemerdekaannya.
Karena perlawanannya, dia dipenjarakan oleh belanda dari tahun 1954 hingga
1961. Pada tahun 1961, Frans Kaisiepo mendirikan partai Irian Sebagian Indonesia
(ISI) yang bertujuan untuk menuntut penyatuan Papua dengan Republik Indonesia.
Pada tahun yang sama, Presiden Soekarno membentuk Tiga Komando Rakyat
(Trikora) pada 19 Desember 1961. Melalui ISI, Frans membantu pendaratan
sukarelawan Indonesia yang diterjunkan ke Mimika. Hasil utama dari Trikora
adalah Perjanjian New York pada tanggal 1 Mei 1963 yang memutuskan bahwa
wilayah Papua dikembalikan dari Kerajaan Belanda ke Indonesia. Pemerintah RI
kemudian menggunakan nama warisan dari Frans.

Alasan Mengapa Frans Kaisiepo Menentang Belanda

Frans Kaisiepo merupakan seorang tokoh perjuangan yang kuat dalam


melawan penjajahan Belanda di Papua. Ada beberapa alasan yang mendorongnya
untuk menentang Belanda dan memperjuangkan kemerdekaan Papua.

Pertama, Frans Kaisiepo dan masyarakat Papua merasa bahwa mereka telah
lama diperlakukan sebagai warga kelas dua oleh pemerintah kolonial Belanda.
Mereka mengalami perlakuan diskriminatif dan eksploitasi ekonomi yang
merugikan. Ini mendorong rasa ketidakpuasan dan semangat perlawanan
terhadap penjajahan Belanda.

Kedua, identitas budaya dan nasionalisme Papua menjadi faktor penting


dalam perlawanan Frans Kaisiepo terhadap Belanda. Dia berusaha untuk
membangkitkan rasa kebanggaan etnis dan budaya Papua, serta menggalang
dukungan untuk mendapatkan hak atas tanah dan sumber daya alam mereka.
Ketiga, penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh
pemerintah Belanda di Papua menjadi alasan kuat bagi Frans Kaisiepo dan
gerakan perlawanannya. Ketidaksetaraan, penahanan sewenang-wenang, dan
kekerasan terhadap masyarakat adat Papua menjadi pemicu bagi aksinya dalam
mencari kemerdekaan.

Keempat, pengaruh gerakan nasionalis dan dekolonisasi di seluruh dunia


turut mempengaruhi pandangan Frans Kaisiepo. Dalam konteks global,
perjuangan untuk kemerdekaan dan penentangan terhadap penjajahan menjadi
semakin populer, dan Frans Kaisiepo terinspirasi oleh semangat ini untuk
melawan dominasi Belanda.

Kelima, cita-cita untuk membangun negara yang merdeka, demokratis, dan


sejahtera di bawah pimpinan bangsa Papua sendiri menjadi motivasi utama bagi
Frans Kaisiepo. Dia percaya bahwa hanya dengan membebaskan diri dari
penjajahan Belanda, masyarakat Papua dapat menggapai potensi mereka dalam
mengatur nasib sendiri dan menciptakan masa depan yang lebih baik. Secara
keseluruhan, alasan-alasan ini mendorong Frans Kaisiepo untuk menentang
Belanda dan memimpin perjuangan dalam meraih kemerdekaan Papua. Dengan
semangat nasionalisme, tekad untuk membebaskan masyarakat Papua dari
penindasan, dan dorongan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik, dia
menjadi salah satu tokoh penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Papua.

Anda mungkin juga menyukai