Zodiak: Balance
BIOGRAFI
Pahlawan nasional Republik Indonesia, (alm) Frans Kaisiepo, lahir di Wardo,
Biak, Papua pada 10 Oktober 1921. Beberapa jasa kenegaraan Gubernur Papua
ke-4 ini termasuk pengusulan nama Irian, berarti daerah panas dalam bahasa
daerah Biak, untuk menyebut wilayah paling timur Republik Indonesia, serta
partisipasinya dalam Konferensi Malino 1946 yang membahas pembentukan
Republik Indonesia Serikat.
Pada 10 Juli 1946, pahlawan Trikora ini mendirikan Partai Indonesia Merdeka
yang diketuai Lukas Rumkofen. Pada bulan yang sama, Kaisiepo juga berangkat ke
Sulawesi utara sebagai salah satu anggota Delegasi RI dalam Konferensi Malino
1946 dan tercatat sebagai satu-satunya putra Irian yang hadir dalam salah satu
perundingan paling penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia tersebut.
Dalam Konferensi yang sama juga nama Irian diusulkan Frans Kaisiepo untuk
mengganti nama Papua sekaligus menyatakan penolakan atas skenario usulan
pembentukan Negara Indonesia Timur.
Pada masa-masa inilah salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah RI
pecah dengan dimulainya TRIKORA (Tiga Komando Rakyat) oleh Presiden
Soekarno pada 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Kaisiepo juga sering melindungi
para sukarelawan yang diam-diam melakukan infiltrasi ke wilayah Irian barat
tersebut.
Capaian utama TRIKORA adalah Perjanjian New York pada 15 Agustus 1963
yang memaksa Belanda menyerahkan kekuasaan politis atas Irian Barat ke tangan
Indonesia. Melalui pengawasan PBB, pemerintah RI berhak atas pengembangan
wilayah Irian mulai 1963 - 1969 sebelum rakyat Papua memutuskan untuk terus
bergabung atau lepas dari tangan Indonesia.
Pada 1964 bisa disebut sebagai tahun paling kritis bagi Irian. Gubernur
pertama Irian, Elieser Jon Bonay, mulai menjabat pada 1963. Pada awal 1964,
Bonay membuat usulan ke PBB yang menyatakan separasi dan kemerdekaan bagi
Irian Barat sekaligus menyatakan mundur dari jabatan gubernur dan digantikan
Frans Kaisiepo.
Pada 10 April 1979, salah satu putra terbaik Irian, Frans Kaisiepo, meninggal
dunia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih di Biak. Di
samping anugrah Trikora, nama Kaisiepo juga diabadikan menjadi bandar udara di
Biak.
PENDIDIKAN
-Sekolah Rakyat pada 1928-1931
KARIR
-Pahlawan Nasional
PENGHARGAAN
-Gelar Pahlawan Nasional Indonesia
Seperti yang udah gue singgung sebelumnya, Frans tumbuh dengan memiliki
rasa nasionalis yang tinggi, sehingga ia pun menjadi salah satu aktivis perjuangan
di Irian Barat yang paling berperan besar dalam usaha bersatunya kembali Irian
Barat dengan RI. Demi menunjukkan tekadnya, Frans menjadi pelopor berdirinya
Partai Indonesia Merdeka (PIM) pada 10 Juli 1946. Kemudian, disusul oleh
keikutsertaannya sebagai delegasi Indonesia dalam Konferensi Malino (1946)*
yang dilaksanakan di Sulawesi Selatan.
Oh iya, lo udah tahu belum kalau nama Irian itu sebenarnya adalah
akronim*? Memang, di kemudian hari, Soekarnolah yang membuat akronim Irian
menjadi “Ikut Republik Indonesia Anti Netherland”. Tapi pada awalnya, sosok
Franslah yang terpikir untuk mengganti nama Papua menjadi Irian. Pasalnya, ia
merasa bahwa orang-orang dari suku lain acap kali melayangkan hinaan ketika
menyebut nama “Papua”. Di sisi lain, ia juga ingin mengganti nama “Nederlands
Nieuw Guinea” yang termasuk dalam bagian integral dari Hindia-Belanda. Oleh
karena itu, ketika hadir dalam Konferensi Malino, ia mengusulkan nama “Irian”
yang berarti “sinar matahari yang menghalangi kabut di laut”, sebagai nama
subtitut dalam penyebutan wilayah Papua. Sayangnya, usulan tersebut nggak
diterima.
Pada Juli 1946, Frans menjadi utusan Nederlands Nieuw Guinea dan satu-
satunya orang asli Papua pada Konferensi Malino di Sulawesi Selatan. Ia
menentang keras niat Belanda yang ingin menggabungkan Papua dengan Maluku
dan menjadikan Papua bagian dari Negara Indonesia Timur (NIT). Frans bersikeras
bahwa wilayah Papua seharusnya dipimpin oleh orang-orang Papua sendiri
daripada dipimpin oleh orang lain. Frans juga mengusulkan agar nama Papua atau
Nederlands Nieuw Guinea diganti dengan ‘Irian’ yang berasal dari bahasa asli Biak
yang berarti “Cahaya yang mengusir kegelapan”. Hal ini dilatar belakangi oleh
kata Papua yang merupakan awalnya merupakan sebutan pua-pua yang artinya
“keriting”. Frans merasa bahwa sebutan ini merendahkan orang-orang lokal
Papua dan berkehendak untuk menghentikan sebutan itu. Kata Irian kemudian
dipolitisasi kelompok nasionalis Indonesia di Papua sebagai akronim dari “Ikut
Republik Indonesia Anti Nederlands”.
Perjuangan Frans Kaisiepo di bidang politik terus berlanjut. Pada tahun 1946,
Ia mendirikan Partai Indonesia Merdeka di Biak. Frans terus memperjuangkan dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia di tanah Papua meski Indonesia telah
resmi memproklamirkan kemerdekaannya. Karena perlawanannya, dia
dipenjarakan oleh belanda dari tahun 1954 hingga 1961.
Pada tahun 1961, Frans Kaisiepo mendirikan partai Irian Sebagian Indonesia
(ISI) yang bertujuan untuk menuntut penyatuan Papua dengan Republik Indonesia.
Pada tahun yang sama, Presiden Soekarno membentuk Tiga Komando Rakyat
(Trikora) pada 19 Desember 1961.
Melalui ISI, Frans membantu pendaratan sukarelawan Indonesia yang
diterjunkan ke Mimika. Hasil utama dari Trikora adalah Perjanjian New York pada
tanggal 1 Mei 1963 yang memutuskan bahwa wilayah Papua dikembalikan dari
Kerajaan Belanda ke Indonesia. Pemerintah RI kemudian menggunakan nama
warisan dari Frans Kaiseipo, yaitu Irian Barat (Pada tahun 1969 berganti menjadi
“Irian Jaya” kemudian berganti nama menjadi Papua pada tahun 2001).
Frans Kaisiepo juga mempopulerkan lagu Indonesia Raya di Papua saat menjelang
Indonesia merdeka. Dan Kaisiepo menjadi anggota delegasi Papua dalam
konferensi Malino di Sulawesi Selatan. Frans Kaisiepo juga menentang
pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) karena NIT tidak memasukkan Papua
ke dalamnya. Ia lalu mengusulkan agar Papua dimasukkan ke dalam Keresidenan
Sulawesi Utara.
Perjuangan lainnya Frans Kaisiepo
Pada Juli 1946, Frans menjadi utusan Nederlands Nieuw Guinea dan satu-
satunya orang asli Papua pada Konferensi Malino di Sulawesi Selatan. Ia
menentang keras niat Belanda yang ingin menggabungkan Papua dengan Maluku
dan menjadikan Papua bagian dari Negara Indonesia Timur (NIT). Frans bersikeras
bahwa wilayah Papua seharusnya dipimpin oleh orang-orang Papua sendiri
daripada dipimpin oleh orang lain. Frans juga mengusulkan agar nama Papua atau
Nederlands Nieuw Guinea diganti dengan ‘Irian’ yang berasal dari bahasa asli Biak
yang berarti “Cahaya yang mengusir kegelapan”. Hal ini dilatar belakangi oleh
kata Papua yang merupakan awalnya merupakan sebutan pua-pua yang artinya
“keriting”. Frans merasa bahwa sebutan ini merendahkan orang-orang lokal
Papua dan berkehendak untuk menghentikan sebutan itu. Kata Irian kemudian
dipolitisasi kelompok nasionalis Indonesia di Papua sebagai akronim dari “Ikut
Republik Indonesia Anti Nederlands” Perjuangan Frans Kaisiepo di bidang politik
terus berlanjut. Pada tahun 1946, Ia mendirikan Partai Indonesia Merdeka di Biak.
Frans terus memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di
tanah Papua meski Indonesia telah resmi memproklamirkan kemerdekaannya.
Karena perlawanannya, dia dipenjarakan oleh belanda dari tahun 1954 hingga
1961. Pada tahun 1961, Frans Kaisiepo mendirikan partai Irian Sebagian Indonesia
(ISI) yang bertujuan untuk menuntut penyatuan Papua dengan Republik Indonesia.
Pada tahun yang sama, Presiden Soekarno membentuk Tiga Komando Rakyat
(Trikora) pada 19 Desember 1961. Melalui ISI, Frans membantu pendaratan
sukarelawan Indonesia yang diterjunkan ke Mimika. Hasil utama dari Trikora
adalah Perjanjian New York pada tanggal 1 Mei 1963 yang memutuskan bahwa
wilayah Papua dikembalikan dari Kerajaan Belanda ke Indonesia. Pemerintah RI
kemudian menggunakan nama warisan dari Frans.
Pertama, Frans Kaisiepo dan masyarakat Papua merasa bahwa mereka telah
lama diperlakukan sebagai warga kelas dua oleh pemerintah kolonial Belanda.
Mereka mengalami perlakuan diskriminatif dan eksploitasi ekonomi yang
merugikan. Ini mendorong rasa ketidakpuasan dan semangat perlawanan
terhadap penjajahan Belanda.