Anda di halaman 1dari 16

1

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Fraktur atau patah tulang adalah terputus atau hilangnya kontinuitas dari struktur tulang
“epiphtseal plate” serta “cartilage” (tulang rawan sendi). Trauma yang menyebabkan tulang patah
dapat berupa trauma langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang menyebabkan patah
tulang radius dan ulna, dan dapat berupa trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada
tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah.
Akibat trauma pada tulang bergantung pada jenis trauma, kekuatan dan arahnya. Trauma
tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat menyebabkan tulang patah dengan luka
terbuka sampai ke tulang, yang disebut patah tulang terbuka. Patah tulang di dekat sendi atau
mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut fraktur
dislokasi.
Fraktur pada kedua batang tulang lengan bawah amat sering terjadi dalam kecelakaan lalu
lintas, daya pemuntir (biasanya jatuh pada tangan) menimbulkan fraktur spiral dengan kedua
tulang patah pada tingkat yang berbeda. Perdarahan dan pembengkakan kompartemen otot pada
lengan bawah dapat menyebabkan gangguan peredaran darah.
Antebrachii terdiri atas 2 buah tulang paralel yang berbeda panjang bentuknya; os radius dan
os ulna. Di sebelah proksimal membentuk 3 persendian sedangkan sebelah distal 2 persendian. Tulang
radius, lebih pendek daripada ulna, bentuk lebih melengkung dan bersendi dengan os ulna pada bagian
proksimal dan distal radio-ulnar joint yang bersifat rotator.
Fraktur antebrachii merupakan suatu perpatahan pada lengan bawah yaitu pada tulang
radius dan ulna dimana kedua tulang tersebut mengalami perpatahan. Dibagi atas tiga bagian
perpatahan yaitu bagian proksimal, medial, serta distal dari kedua corpus tulang tersebut.

1
2

BAB II

LAPORAN KASUS

Nama DM : Guido Trichesmuel Tola


NIM : 20710004
Dokter Pembimbing : dr. Angga Fiananda Sp.OT

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. T Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 51 Tahun Suku bangsa : Jawa
Status perkawinan : Menikah Agama : Islam
Alamat : Probolinggo Pekerjaan : Tukang Becak

Tanggal masuk RS : 22-10-2022

II.1 ANAMNESA
Anamnesa dilakukan secara heteroanamnesis pada tanggal 23-10-2022
Keluhan Utama : Nyeri pada lengan bawah tangan tangan kiri

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien diantar keluarganya ke IGD RS Moh.Saleh dengan kondisi terdapat luka
robek di kepala dan luka pada lengan bawah tangan kiri. Pasien mengeluhkan nyeri pada
daerah yang terdapat luka tersebut. Sebelumnya keluarga pasien mengatakan bahwa pasien
tertimpa pohon yang tumbang saat sedang mengemudi becak. Pasien sempat tidak sadarkan
diri.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat hipertensi disangkal, riwayat diabetes mellitus disangkal, riwayat asma
disangkal, riwayat penyakit jantung disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada yang mengalami keluhan serupa seperti pasien, Hipertensi disangkal,
diabetes melitus disangkal, penyakit jantung disangkal, asma dan alergi disangkal.

2
3

Riwayat kebiasaan :
Pasien merokok

II.2 PEMERIKSAAN FISIK


Kesadaran : Apatis
GCS : 2-2-4
Keadaan umum: Lemah
Vital sign : Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 117x/menit
Suhu : 36,6°C
RR : 20x/menit

Status Generalis
1. Kepala dan leher : -Terdapat luka robek di kepala (terbebat)
-a/i/c/d = +/-/-/-
-Pembesaran KGB : -
2. Thorax : Simetris, ves +/+, Rho -/-, Whe -/-
3. Abdomen : Soepel, BU (+), Nyeri tekan (-)
4. Ekstremitas : -Terdapat luka di lengan bawah tangan kiri (terbebat)
-Akral hangat, CRT < 2 detik

Status Lokalis
Luka di lengan bawah tangan kiri
Inspeksi : Terbebat
Feel : Nyeri (+)
Movement : ROM terbatas

II.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG


-DL
Lab Hasil Lab Hasil
Hb 4,4 HbsAg Negatif
Leukosit 6.170
Trombosit 119.000

-Foto Ro : (bacaan: fraktur antebrachii 1/3 distal sinistra)

3
4

II.4 ASSESMENT
- Diagnosis : OF antebrachii 1/3 distal sinistra

- Diagnosis post op : Post ORIF OF antebrachii 1/3 distal sinistra

II.5 PLANNING
- KIE :
Menjelaskan ke keluarga pasien mengenai kondisi pasien dan rencana terapi serta
tindakan yang bisa dilakukan untuk pasien

-Terapi Medikamentosa : O2 nrm 15 lpm


Inj. Ketorolac 3x1
Inj. Ceftriaxone 2x1
Inj. OMZ 2x1

-Tindakan : Pro Fiksasi Interna

II.6 PROGNOSIS

Dubia Ad bonam jika ditangani dengan tepat.

4
5

BAB III

PEMBAHASAN

III.1 Fraktur Antebrachii

A. Definisi

Fraktur antebrachii merupakan suatu perpatahan pada lengan bawah pada tulang radius dan
ulna, dibagi atas tiga bagian perpatahan yaitu bagian proksimal, medial, serta distal dari kedua
corpus tulang tersebut.

B. Etiologi
Fraktur batang radius dan ulna biasanya terjadi karena cedera langsung pada lengan bawah,
kecelakaan lalu lintas, atau jatuh dengan lengan teregang. Fraktur radius dan ulna biasanya
merupakan akibat cedera hebat.
Menurut Kowalak (2011) faktor resiko fraktur meliputi:
1. Kejadian terjatuh
2. Kecelakaan
3. Olahraga
4. Pemakaian obata yang mengganggu kemampuan penilaian atau mobilitas
5
6

5. Tumor tulang
6. Obat-obat yang menyebabkan osteoporosis iartogenik seperti preparat steroid

Pada kasus ini, yang menjadi penyebab terjadinya fraktur atebrachii pada pasien yaitu
kecelakaan, dimana pasien yang sedang mengemudikan becak tertimpa oleh pohon yang tumbang.

C. Manifestasi Klinis
Menurut Corwin (2015):
1. Nyeri biasanya menyertai patah tuang traumatic dan cidera jaringan lunak. Spasme otot
dapat terjadi setelah patah tulang dan menimbulkan nyeri. Pada fraktur stress nyeri
biasanya menyertai aktivitas dan berkurang pada saat istirahat.
2. Pembengkakan di sekitar tempat fraktur yang akan menyertai proses inflamasi.
3. Gangguan sensasi atau kesemutan dapat terjadi yang menandakan kerusakan saraf.
4. Krepitus (suara gemertak) dapat terdengar saat tulang-tulang digerakan karena ujung
patahan bergeser satu sama lain.

Pada kasus ini, manifestasi klinis pada pasien yaitu nyeri dan bengkak pada daerah terjadinya
fraktur, serta terbatasnya ROM pada tangan kiri pasien.

D. Klasifikasi Fraktur Antebrachii


Menurut Mansjoer (2000), ada empat jenis fraktur antebrachii yang khas beserta penyebabnya
yaitu :
1. Fraktur Colles
Deformitas pada fraktur ini berbentuk seperti sendok makan (dinner fork deformity). Pasien
terjatuh dalam keadaan tangan terbuka dan pronasi, tubuh beserta lengan berputar ke dalam
(endorotasi). Tangan terbuka yang terfiksasi di tanah berputar keluar (eksorotasi/supinasi).
2. Fraktur Smith
Fraktur Smith merupakan fraktur dislokasi ke arah anterior (volar), karena itu sering
disebut reverse colles fracture. Fraktur ini biasa terjadi pada orang muda. Pasien jatuh dengan
tangan menahan badan sedang posisi tangan dalam keadaan volar fleksi pada pergelangan tangan
dan pronasi. Garis patahan biasanya transversal, kadang-kadang intra artikular.
3. Fraktur Galeazzi

6
7

Fraktur Galeazzi merupakan fraktur radius distal disertai dislokasi sendi radius ulna distal.
Saat pasien jatuh dengan tangan terbuka yang menahan badan, terjadi pula rotasi lengan bawah
dalam posisi pronasi waktu menahan berat badan yang memberi gaya supinasi.
4. Fraktur Montegia
Fraktur Montegia merupakan fraktur sepertiga proksimal ulna disertai dislokasi sendi radius
ulna proksimal. Biasanya karena terjadi karena trauma langsung.

E. Patofisiologi Fraktur Antebrachii


Jatuh, hantaman, kecelakaan, olahraga, dll

Trauma langsung / tidak langsung pada lengan bawah

Tekanan pada tulang radius dan ulna

Tulang radius dan ulna tidak mampu meredam energi yang terlalu besar

Terputusnya kontinuitas tulang radius dan ulna

Fraktur Antebrachii
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakan
diagnosa adanya fraktur, selain itu juga bisa dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk menilai
leukosit turun/meningkat, Eritrosit dan Albumin turun, Hb, hematokrit sering rendah akibat
perdarahan, Laju Endap Darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas, Pada
masa penyembuhan Ca meningkat di dalam darah, trauma otot meningkatkan beban kreatinin
untuk ginjal. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multiple,
atau cedera hati.

Pada kasus ini, pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu pemeriksaan darah lengkap dan
foto rontgen.

G. Penatalaksanaan fraktur antebrachii


Menurut kowalak (2011) penanganan fraktur pada lengan atau tungkai, tindakan
kedaruratan terdiri atas:
1. Pembidaian anggota gerak di atas dan dibawah bagian yang dicurigai mengalami fraktur

7
8

2. Kompres dingin untuk mengurangi rasa nyeri dan edema


3. Elevasi anggota gerak tersebut untuk mengurangu rasa nyeri dan edema
4. RICE (Rest, Ice, Compression, Elevasi) untuk penanganan dalam 24 jam pertama.
5. Penanganan fraktur yang menyebabkan kehilangan darah yaitu penekanan langsung untuk
mengendalikan perdarahan, penggantian cairan dengan memasang infus secepat mungkin untuk
mencegah atau mengatasi syok hipovolemik.
6. Sesudah memastikan diagnosis fraktur, penanganan dimulai dengan reposisi. Reposisi tertutup
meliputi: manipulasi manual, anastesi local (lidokain /xylocaine), obat analgetik (morfin IM), obat
relaksasi otot (diazepam seperti valium / sedative seperti midazolam) untuk mempermudahkan
peregangan otot yang diperlukan untuk meluruskan tulang yang patah.
7. Kalau reposisi tertutup tidak mungkin dilakukan, maka tindakan reposisi terbuka dengan
pembedahan meliputi:
- Imobilisasi fraktur dengan bantuan paku, plat atau skrup, dan pemasangan gips
- Terapi profilaksis tetanus
- Terapi profilaksis antibiotic
- Pembedahan untuk memperbaiki kerusakan pada jaringan lunak
- Pembersihan atau debridemen luka secara cermat
- Fisioterapi sesudah gips dilepas untuk memulihkan mobilitas anggota gerak

8. Pertimbangan khusus:
- Awasi timbulnya tanda-tanda syok pada pasien fraktur
- Pantau TTV dan waspadai khususnya denyut nadi yang cepat, TD menurun, pasien tampak pucat,
serta kult teraba dingin dan basah.
- Beri cairan IV sebagaimana yang diintruksikan oleh dokter
- Tentramkan kekhawatiran pasien yang mungkin merasa takut dan nyeri
- Redakan rasa nyeri dengan obat analgetik jika diperlukan
- Anjurkan pasien minum cuup untuk mencegah stasis urine dan konstipasi
- Dorong pasien secepat mungkin mulai bergerak menurut kemampuannya.

Adapun penatalaksanaan fraktur secara umum meliputi prinsip 4 R, yaitu rekognisi,


reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
1. Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya.
2. Reduksi/Manipulasi/Reposisi

8
9

Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan fragmen
tulang pada kesejajarannya dan rotasfanatomis (Smeltzer dan Bare, 2002).
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode
tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama.
Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak
kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan.
Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami
penyembuhan. Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk menjalani
prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai
ketentuan. Mungkin perlu dilakukananastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani
dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
-Reduksi tertutup.
Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang
keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara gips, bidai dan alat lain
dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk
penyembuhan tulang. Sinar-x harus dilakukanuntuk mengetahui apakah fragmen tulang telah
dalamkesejajaran yang benar.

-Traksi.
Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imoblisasi. Beratnya traksi
disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar-x digunakan untuk memantau reduksi fraktur
dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada
sinar-x. Ketika kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.
-Reduksi Terbuka.
Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan bedah, fragmen
tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan
logam digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai penyembuhan
tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga sumsum
tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.
3. Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula
secara optimun.
-Imobilisasi fraktur.

9
10

Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam
posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin
dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang
berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
4. Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan pada
penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai
kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan)
dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.
Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis.
meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika).
Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan
meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk
memperbaiki kemandi fungsi dan harga-diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula
diusahakan sesuai batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih
awal. Ahli bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan
stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan beban berat
badan.

H. Komplikasi
1. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa di tandai dengan tidak adanya nadi, CRT (capillary refil time)
menurun, sianosis bagian distal, hematoma yang
lebar, dan dingin pada ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi
splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
2. Kompartment Sindrom
Kompartment sindrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan
pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan
pembebatan yang terlalu kuat. Tanda-tanda sindrom kompartemen (5P)
sebagai berikut: (1) Pain (nyeri lokal), (2) Pallor (pucat bagian distal), (3)
Pulsessness (tidak ada denyut nadi, perubahan nadi, perfusi yang tidak baik

10
11

dan CRT>3 detik pada bagian distal kaki), (4) Paraestesia (tidak ada
sensasi), (5) Paralysis (kelumpuhan tungkai).
3. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrome (FES) adalah komplikasi serius yang sering
terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak
yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan
menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, tachykardi, hipertensi, tachypnea, demam.
4. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma osthopedic infeksi dimulai pada kulit (superfisial) dan masuk ke
dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena
penggunaan bahan lain dalam pembedahan sperti pin dan plat.
5. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan
adanya Volkman Ischemia (Helmi, 2013).

Komplikasi Dalam Waktu Lama


-Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi
(bergabung) sesuai dengan waktu yang di butuhkan tulang untuk
menyambung.
-Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan.
-Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang di tandai dengan
perubahan bentuk (deformitas).

11
12

BAB IV

ANALISIS KASUS

Pada kasus, pasien mengeluh pada daerah kemaluan terasa bengkak sejak seminggu lalu,
terasa nyeri pada bengkak tersebut, terasa panas, nyeri bertambah saat bergerak (duduk, berjalan).
Pasien tidak melakukan hubungan suami istri saat adanya keluhan ini, pasien belum BAB sejak
hari selasa (4 hari), pasien mengatakan sempat demam 3 hari yang lalu, demamnya turun setelah
minum obat penurun panas, hari ini sudah tidak demam.
12
13

Menurut (Gennis P, 2005) beberapa gejala yang dialami pasien bisa didapatkan dari
anamnesa yaitu panas, benjolan, bengkak, sudah berapa lama gejala berlangsung, kapan mulai
muncul, faktor yang memperberat gejala, apakah pernah berganti pasangan seks, keluhan saat
berhubungan, riwayat penyakit menular seks sebelumnya, riwayat penyakit kulit dalam keluarga,
riwayat keluarga mengidap penyakit kanker kelamin, riwayat penyakit yang lainnya misalnya
diabetes dan hipertensi.

Pada kasus, pemeriksaan fisik didapatkan TTV : TD=110/60 mmHg, n=90 x/menit, RR=19
x/menit, Suhu=36,3 C, SPO2=98%, Status Generalisata DBN
Pada pemeriksaan ginekologi didapatkan:

Inspeksi = massa (+) di labia minor sinistra, bengkak (+), hiperemis (+)

VT = Mukosa vagina licin tidak ada massa, Portio licin, Adneksa tidak ada massa,
fornik anterior dan posterior tidak ada massa

Palpasi = teraba massa pada labia minora dengan ukuran diameter 3cm, nyeri tekan (+),
massa abses, konsistensi padat kenyal

Inspekulo = tidak dilakukan,


Pemeriksaan Lab : Lekosit=31.390

Data-data di atas sesuai dengan tinjauan pustaka menurut (Wechter,2009) bahwa


menentukan diagnosa abses bartholin adalah dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Terdapat kondisi abnormal pada pemeriksaan ginekologi yaitu pada
inspeksi, dan palpasi, serta nilai leukosit di atas normal pada pemeriksaan laboratorium merupakan
suatu indikasi adanya proses infeksi sehingga sesuai dengan diagnosa P2002 Ab000 dengan Abses
Bartholin Sinistra.

Beberapa diagnosa banding seperti kista sebaceous dan lipoma, namun memiliki perbedaan
mendasar dibanding abses bartholin yaitu belum adanya nyeri pada diagnosa banding tersebut,
karena pada abses bartholin sudah terjadi proses infeksi yang menyebabkan tibulnya gejala
eksaserbasi akut.

Faktor resiko terjadinya abses bartholin pada pasien ini yaitu kebersihan pada daerah
kewanitaan yang kurang baik. Pasien sempat mengatakan kadang 2 hari mengganti pakaian dalam.
Pakaian dalam yang terpakai langsung berhubungan dengan kulit sekitar, bila kotor, ataupun
lembab bisa menjadi tempat bagi bakteri maupun jamur untuk berkembang. Faktor resiko lainnya
13
14

yaitu aktivitas seks, pasien menyangkal adanya aktivitas seks yang berlebihan, begitupula dengan
aktivitas seks suaminya. Menurut (Sarwono, 2006) faktor resiko yang bisa menyebabkan
terjadinya abses bartholin yaitu aktif secara seksual, hygiene organ vital yang kurang baik, riwayat
kista atau abses bartholin sebelumnya, pernah menjalani operasi pada daerah vagina dan vulva, dan
menderita infeksi menular seksual.

Pada kasus, penatalaksanaan yang diberikan yaitu:

-Edukasi ke pasien :

1. Mencuci bersih organ genitalia eksterna setelah BAK, BAB, dan berhubungan intim.
2. Menjaga kebersihan pakaian dalam dan hindari menggunakan celana yang ketat
3. Memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari

4. Teratur minum obat

-Terapi Medikamentosa:

Inf. RL 500cc 20 tpm

Inj. Ketorolac 3x1


Inj. Ceftriaxone 2x1
Inj. OMZ 2x1
Metronidazole 3x1
-Tindakan : Pro Insisi Marsupialisasi

Memilih prosedur marsupialisasi menurut (Sarwono, 2006) sesuai dengan indikasi yaitu
terasa nyeri yang intens, sudah mengganggu aktivitas sehari-hari seperti berjalan atau duduk, dan
ukuran kista atau abses yang semakin besar. Selain itu prosedur marsupialisasi memiliki
komplikasi yang jarang terjadi, dengan presentasi kekambuhan 5-10%.

Menurut (Omole F,2003) penatalaksanaan konservatif dengan pemberian antibiotik serta


medikamentosa sesuai simptomnya, lalu bisa dengan penatalaksanaan aktif yaitu dengan
marsupialisasi.

Prognosis Abses Bartholin adalah dubia ad bonam, selama penanganannya cepat dan tepat,
serta pasien wajib menjaga hygine organ intim sesuai edukasi di atas, dikarenakan kerentanan
kekambuhan pada abses bartholin.

14
15

BAB V

KESIMPULAN

Abses bartholin adalah kondisi dimana terjadi penumpukan cairan hasil sekresi kelenjar
bartholin yang tidak bisa keluar karena adanya obstruksi pada jalan keluarnya, menimbulkan gejala
eksaserbasi akut dengan adanya proses infeksi.

Diagnosa ditegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan ginekologis, dan


bisa dilengkapi dengan pemeriksaan penunjang.

Penatalaksanaan untuk pasien dalam kasus ini yaitu dengan pemberian antibiotik,
analgesik, dan tindakan marsupialisasi.

15
16

DAFTAR PUSTAKA

1. Gennis P, Li SF, Provataris J, Shahabuddin S, Schachtel A, Lee E, et al. Jacobi


ring catheter treatment of Bartholin's abscesses. Am J Emerg Med.
2005;23(3):414–5.

2. Illingworth BJG, Stocking K, Showell M, Kirk E, Duffy JMN. Evaluation of


treatments for Bartholin’s cyst or abscess: A systematic review. BJOG: An
Internat J Obstetr Gynaecol. 2019;127(6):671-8.

3. Omole F, Simmons BJ, Hacker Y. Management of Bartholin's duct cyst and


gland abscess. Am Fam Physician. 2003;68(1):138.

4. Sarwono Prawiro hardjo, Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka, 2006,


Jakarta

5. Wechter ME, Wu JM, Marzano D, Haefner H. Management of Bartholin duct


cysts and abscesses: A systematic review. Obstet Gynecol Surv. 2009;64(6):395–
40

16

Anda mungkin juga menyukai