Anda di halaman 1dari 20

KAJIAN SEMIOTIK SEDEKAH LAUT

DI PANTAI TELUK PENYU CILACAP


(Pendekatan Semiotik Charles Sanders Pierce)

Oleh :
Yolandita Angga Reza
22224251006
Filsafat Ilmu

PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2022/2023
1. Pendahuluan

Budaya adalah produk dari pikiran manusia dan kekuatan manusia, dan

tumbuh dan berkembang secara kumulatif, sadar dan terarah. Kebudayaan sangat

penting bagi suatu bangsa, artinya kebudayaan suatu bangsa melengkapi taraf

hidupnya. Budaya diturunkan dari generasi ke generasi, dan adat istiadat serta

tradisi merupakan faktor penting. Pulau Jawa memiliki banyak warisan budaya

yang diwariskan secara turun-temurun, bisa berupa candi, tempat ibadah, arca, dan

bangunan lainnya, namun reruntuhan merupakan hasil dari adat dan konvensi.

Tradisi berupa ritual seperti upacara kematian, upacara sedekah di laut, dan upacara

keagamaan.

Upacara Sedekah Laut merupakan salah satu warisan berupa kegiatan

seremonial yang tidak semua orang melakukannya dan hanya diminati oleh

kalangan tertentu saja. Namun hal ini menarik. Sebab, sedekah sudah menjadi

milik umum masyarakat Jawa, terutama yang tinggal di pesisir. Sedekah laut bagi

masyarakat awam adalah memberikan sesuatu kepada air laut atau sungai yang

mengalir ke laut. Ritual sedekah laut juga dilakukan di Laut Selatan dengan

memberikan berbagai persembahan kepada penguasa Laut Selatan yang dikenal

dengan nama Kanjeng Ratu Kidul (Nyi Roro Kidul). Kepercayaan akan keberadaan

Kanjeng Ratu Kidul tidak hanya dimiliki oleh masyarakat nelayan, tetapi juga oleh

masyarakat umum.

Upacara sedekah laut di pesisir selatan Kabupaten Cilacap dilaksanakan

setahun sekali, yaitu pada bulan Sura (penanggalan Jawa) bertepatan dengan

Kliwon pada hari Selasa atau Kliwon pada hari Jum'at pada bulan tersebut. Secara

1
umum tujuan dari ritual ini adalah untuk berterima kasih kepada Tuhan Yang Maha

Esa atas rejeki yang dilimpahkan kepada mereka dan berdoa untuk keselamatan

para nelayan dan keluarganya agar pekerjaan mereka sehari-hari sebagai nelayan

tidak terganggu dan mendapatkan banyak ikan. Awalnya pemberian dari hasil laut

sebenarnya dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas berkah hasil menjala ikan

kepada penguasa Ratu Kidul, namun kemudian menjadi lebih sadar dalam amalan

syukur dan doa hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Upacara Sedekah Laut merupakan adat atau tradisi yang sangat erat

kaitannya dengan masyarakat Cilacap dan merupakan salah satu daya tarik atau

wisata budaya yang selalu dilakukan dan digunakan oleh masyarakat nelayan

Cilacap tanpa terpengaruh oleh pengaruh zaman apapun.

2. Kajian Pustaka

2.1 Teori Semiotika

Pengertian semiotika secara umum adalah ilmu yang mempelajari tentang

tanda-tanda. Studi semiotika berpendapat bahwa fenomena sosial dalam

masyarakat dan budaya adalah simbol, dan semiotika mempelajari sistem, aturan,

dan konvensi yang memungkinkan simbol-simbol ini memiliki makna. Ada dua

paradigma dalam penelitian semiotika: paradigma konstruktif dan paradigma kritis.

Secara etimologis, semiotika berasal dari kata Yunani simeon, yang berarti “tanda”.

Secara istilah, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari

berbagai objek, peristiwa lintas budaya, sebagai simbol. Van Zoest (dalam Sobur,

2
2001, hlm. 96) mendefinisikan semiotika sebagai “ilmu tanda (sign) dan segala

yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain,

pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya”.

2.2 Semiotika Model Charless Sanders Peirce

Charles Sanders Peirce lahir di Camridge, Massachusetts pada tahun 1890.

Charles Sanders Peirce lahir dari keluarga intelektual. Charles dididik di

Universitas Harvard dan mengajar logika dan filsafat di Universitas Johns Hopskin

dan Universitas Harvard. Semiotika adalah metode ilmiah atau analitis untuk

mempelajari tanda-tanda. Tanda adalah sarana yang kita gunakan untuk

menemukan jalan kita di dunia ini, di antara dan dengan orang-orang. Semiotika,

atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya berusaha mempelajari

bagaimana manusia menginterpretasikan sesuatu (tosinisasi), dan dalam hal ini

tidak dapat disamakan dengan berkomunikasi. Bagi Charles Sanders Peirce, prinsip

dasar sifat tanda adalah representatif dan interpretatif. Keterwakilan tanda berarti

berbeda, dan interpretabilitas berarti menawarkan kemungkinan interpretasi

tergantung pada pengguna dan penerima. Ada tiga bidang studi dalam semiotika,

yaitu:

a. tanda tangan itu sendiri. Sebuah studi tentang simbol yang berbeda, perbedaan

cara mereka menyampaikan makna, dan bagaimana simbol berhubungan dengan

orang yang menggunakannya.

b. Mempelajari sistem atau kode yang mencakup bagaimana kode yang berbeda

dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan sosial atau budaya.

c. Budaya di mana kode dan huruf bekerja tergantung pada penggunaannya.

3
Teori semiotika Charles Sanders Peirce sering disebut sebagai “Grand

Theory” karena gagasannya bersifat komprehensif dan secara struktural

menggambarkan semua makna. Peirce berharap dapat mengidentifikasi butir

fundamental dari tanda dan menggabungkan kembali konstituennya menjadi satu

struktur. Charles Sanders Peirce dikenal dengan model triadik dan konsep

trikotominya, yang terdiri dari:

1. Representamen adalah bentuk yang diterima oleh tanda atau berfungsi sebagai

tanda.

2. Objek terkait dengan simbol. Apa yang diwakili oleh representasi yang terkait

dengan bentuk.

3. Penafsir adalah tanda mental dari objek yang diacu oleh tanda itu.

Dalam mengkaji objek, melihat segala sesuatu dari tiga konsep trikotomi,

yaitu sebagi berikut:

1. Sign (Representamen) merupakan bentuk fisik atau segala sesuatu yang dapat

diserap pancaindra dan mengacu pada sesuatu, trikotomi pertama dibagi menjadi

tiga.

a. Qualisign adalah tanda yang secara alami menjadi tanda. Misalnya, sifat

merah adalah pengubah karena dapat digunakan sebagai simbol untuk

menunjukkan cinta, bahaya, atau larangan.

b. Sinsign adalah tanda yang benar-benar menjadi tanda karena bentuk atau

penampilannya. Setiap ucapan individu bisa menjadi tanda tangisan karena

terkejut, gembira, atau sakit.

4
c. Legisign adalah tanda yang merupakan tanda menurut aturan, dan konvensi

yang diterima secara umum. Karena bahasa adalah kode, semua tanda bahasa

adalah legisign, dan setiap legisign mengandung sinsign, yang kedua diikuti oleh

yang ketiga, atau aturan umum yang berlaku.

2. Objek dan simbol diklasifikasikan menjadi ikon, indeks, dan simbol.

a. Ikon adalah simbol yang menyerupai objek yang diwakilinya atau memiliki

kesamaan atau karakteristik yang sama dengan apa yang dilambangkan oleh simbol

tersebut. Misalnya, kesamaan peta dengan area geografis yang dideskripsikannya,

foto, dll.

b Indeks adalah tanda yang bergantung pada keberadaan representasi, atau dalam

terminologi Pierce adalah suatu secondness. Oleh karena itu, indeks adalah tanda

yang memiliki koneksi atau kedekatan dengan apa yang diwakilinya.

c. Simbol adalah tanda yang memiliki hubungan antara tanda dan denotasinya

ditentukan oleh aturan yang diterima secara umum atau dengan kesepakatan

bersama.

3. Interpretasi, tanda dibagi menjadi rheme, decisign dan argument.

a. Rheme, lambang yang dimaknai terlebih dahulu dan bersajak, makna lambang

tersebut masih dapat dikembangkan.

b. Decisign (tanda keturunan), ketika ada hubungan yang benar antara simbol dan

interpretasinya.

c. Argument, apabila simbol dan interpretasinya bersifat umum (tersier).

5
3. Metode Penelitian

Paradigma penelitian menggambarkan bagaimana peneliti melihat realitas,

bagaimana fenomena dipelajari, metode apa yang digunakan dalam penelitian, dan

bagaimana hasil interpretasi perspektif penelitian yang digunakan peneliti

(Pujileksono, 2015:26). Paradigma konstruktivis melihat realitas yang dibentuk

oleh konteks yang berbeda sebagai bentuk konstruksi dari realitas tersebut. Realitas

yang dijadikan objek penelitian adalah tindakan sosial para aktor sosial. Paradigma

konstruktivis bertujuan untuk memahami apa yang merupakan konstruksi realitas.

Oleh karena itu, peneliti harus mampu mengidentifikasi faktor-faktor yang

menciptakan realitas dan menjelaskan bagaimana faktor-faktor tersebut

merekonstruksi realitas tersebut (Pujileksono, 2015:28-29). Para peneliti memilih

untuk menggunakan paradigma konstruktivis dalam penelitian ini karena mereka

ingin mendapatkan pemahaman tentang fakta-fakta yang terlihat pada peristiwa

tersebut, kami ingin mengetahui bagaimana hal itu terkandung dalam matriks, dan

bagaimana keterkaitan antara bahasa dan penglihatan untuk memperoleh makna. .

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.

Peneliti menggunakan penelitian kualitatif karena relevan dengan pembahasan

yang diteliti yaitu kajian semiotika sedekah laut di pantai Teluk Penyu Cilacap

dengan menggunakan pendekatan semiotika Charles Sanders Pierce.

Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang didasarkan pada

filosofi post-positivis, digunakan untuk mempelajari keadaan objek yang alamiah,

dimana peneliti sebagai instrumen utama, teknik pengumpulan data dilakukan

dengan triangulasi Analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan temuan penelitian

6
kualitatif cenderung lebih menekankan makna daripada generalisasi (Sugiyono,

2012:9). Pendekatan kualitatif digunakan untuk menemukan atau mengembangkan

teori-teori yang ada. Pendekatan kualitatif berusaha menjelaskan realitas melalui

penjelasan deskriptif dalam bentuk kalimat (Pujileksono, 2015: 35). Sedangkan

menurut Kriyantono (2006:56), penelitian kualitatif bertujuan untuk menjelaskan

fenomena dengan cara mengumpulkan data secara detail. Kajian ini bersifat

deskriptif, karena hanya menjelaskan makna denotatif dan konotatif dari setiap

tanda yang ada, serta mitos dan ideologi yang terkandung di dalamnya.

4. Latar Belakang & Pelaksanaan

4. 1. Latar Belakang Upacara Sedekah Laut

Upacara sedekah laut konon bermula dari bunga Wijayakusuma yang

tumbuh pada masa pemerintahan Raja Aji Pramosa dari Kediri. Tak hanya

warnanya, bentuknya juga memiliki makna vertikal. Bunga Wijaya Kusuma terdiri

dari tiga warna (merah, hijau dan kuning), memiliki 5 (lima) kelopak dan mahkota

berjumlah tujuh (7 buah), serta memiliki arti tersendiri bagi pemimpinnya. Warna

merah mahkota menandakan kekuatan untuk membentuk sel-sel baru dalam tubuh

manusia. Green maya menandakan kekuatan yang menopang sel-sel tubuh

manusia. Warna kuning memiliki arti sebagai pengganti sel-sel tubuh manusia.

Ketiga warna tersebut dicampurkan sehingga menghasilkan warna yang pucat dan

cerah, dan saat bunga ini mekar menjadi warna yang pucat dan cerah yang konon

menyatu dengan dewa. Kelopak bunga lima melambangkan pentingnya falsafah

pancasila. Tujuh bagian mahkota melambangkan tujuh unsur tubuh manusia.

Dengan kata lain, rambut mewakili suku dan etnis. Kulit melambangkan suatu

7
agama atau kepercayaan. Darah melambangkan golongan. Otot mewakili posisi

atau kedudukan. Daging melambangkan status sosial. Tulang melambangkan kerja

atau tenaga, dan sumsum melambangkan kemampuan intelektual, pikiran,

pendapat, atau pandangan (Ronggosegoro, 1990).

Sifat unsur tersebut berdiri tegak, tidak panas, tidak luntur terkena hujan dan

terik matahari, tidak tergoyahkan gelombang dan badai, sehingga raja atau kepala

negara tidak tenggelam dalam tiga (tiga) ) yaitu singgasana, kekayaan. dan

perempuan serta harus berjiwa.Bunga Wijayakusuma dilambangkan dengan

kembang Wijaya Kusuma, maka setiap kali seorang raja naik tahta, Susuhunan di

Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta selalu mengirimkan 40 (empat puluh) orang

utusan ke Nusakambangan untuk memetik Bunga Wijayakusuma. Sebelum

menjalankan misi silaturahmi, para utusan berziarah ke makam-makam tokoh

leluhur di sekitar Nusakambangan seperti pemakaman (makam) Adipati

Banjaransari di Karangsuci, pemakaman Adipati Wiling di Donan, pemakaman

'Adipati Purbasari di Dhaunlumbung, Kyai Pemakaman Singalodra di Kebon Baru

dan pemakaman Panembahan Tlecer di Nusakambangan (Ronggosegoro, 1990).

Makam lain yang juga dikunjungi adalah Pura Kyai Ageng Wanakusuma di

Gilirangan dan Pura Kyai Khasan Besari di Gumelem (Banjarnegara). Selain ziarah

atau nyekar, mereka melakukan tahlilan dan memberi sedekah kepada fakir miskin.

Malam berikutnya, kami bermalam dengan bertapa di Masjid Sela, sebuah gua di

Pulau Nusakambagan yang menyerupai masjid. Pemetikan bunga Wijayakusuma

juga dilakukan pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwono XI, ketika Sunan

Pakubuwono XI masih menjadi jumenengan (raja bertahta).

8
Bahkan adat leluhur ini sudah dilakukan jauh sebelum itu.

Menurut Babad Tanah Jawi, Adipati Anom, Sunan Amangkurat II pernah

mengirimkan utusan untuk memetik bunga dari Wijayakusuma, terutama setelah ia

mengangkat dirinya menjadi Raja Mataram menggantikan ayahnya. Menurut

sejarawan Belanda H.J. de Graaf, peristiwa jumenengan terjadi di Ajibarang pada

tanggal 7 Juli 1677 saat melakukan perjalanan ke Batavia saat Trunojoyo dikejar.

Menurut informasi, cara memetik bunga Wijayakusuma tidak dengan tangan

melainkan dengan ilmu gaib melalui meditasi. Sebelumnya, di dekat pulau Karang

Bandung, para utusan raja melakukan upacara "membawa" (sedekah dari laut) ke

tengah laut, sebelum dipetik, pohon itu terlebih dahulu dibungkus dari abu ke atas.

Mengenakan pakaian putih, utusan itu duduk di bawahnya. Jika samadinya

benarbenar diberikan, bunga Wijayakusuma akan mekar dan mengeluarkan aroma

yang harum. Kemudian bunga itu jatuh dengan sendirinya ke dalam kendaga yang

telah disiapkan. Selain itu, bunga tersebut dibawa ke Kraton oleh utusan untuk

dipersembahkan di hadapan Susuhunan Sri Sultan. Pemindahan itu juga dilakukan

dengan beberapa ritual, konon bunga itu dibuat salad dan dimakan oleh calon raja,

dan dengan demikian raja dianggap sah dan bisa mewariskan tahta untuk anak

cucunya, dan keturunan. Mitos bunga Wijayakusuma memunculkan budaya ritual

sedekah di laut yang dilakukan oleh masyarakat nelayan pantai selatan setiap bulan

surah, membuang rejeki ke laut di pantai selatan.

Di Cilacap, tradisi mengemis di laut berawal dari perintah Bupati Cilacap

III, Tumenggung Tjakrawerdaya III, yang memerintahkan mantan nelayan

Pandanarang bernama Ki Arsa Menawi bersama nelayan lainnya untuk membuang

9
sesajen ke Laut Selatan pada hari Jumat Kliwon , tahun Sura 1875. Sejak saat itu,

ada kebiasaan membuat larung sesajen ke laut atau disebut juga dengan upacara

adat sedekah di laut yang masih menjadi adat atau tradisi hingga saat ini, rutin

setahun sekali pada hari selasa kliwon atau jumat kliwon bulan muharram. Bahkan,

sejak tahun 1983, upacara sedekah di laut telah ditetapkan sebagai tujuan wisata

yang menarik bagi wisatawan mancanegara.

3. 2. Persiapan Upacara

Masyarakat nelayan Cilacap mempersiapkan upacara sedekah di laut

setahun sebelum upacara adat dilaksanakan, terutama persiapan dana. Nelayan

sering membayar iuran keanggotaan bulanan untuk menyelenggarakan upacara

tradisional pemberian sedekah di laut. Besaran iuran nelayan berbeda-beda sesuai

hasil tangkapan atau pendapatan masing-masing nelayan. Persiapan upacara

sedekah laut ini panjang dan sangat rumit. Memang sesaji untuk prosesi itu

membutuhkan sesaji yang banyak, sehingga membutuhkan banyak peralatan.

Secara umum perlengkapan yang dibutuhkan untuk Upacara Sedekah Laut di

beberapa wilayah Pesisir Selatan hampir sama. Berikut adalah hal-hal yang perlu

dipersiapkan untuk prosesi sedekah.

4. 2. 1. Persiapan Peralatan

Dalam ritual ini, berikut perangkat yang sering digunakan :

(1) Perahu tempel, yaitu perahu dengan mesin tempel, yang nantinya digunakan

untuk mengangkut barang-barang upacara untuk berlabuh di laut.

(2) Ancak, terbuat dari setengah anyaman bambu persegi panjang. Alat ini biasa

digunakan untuk pengaturan dasar/penawaran.

10
(3) Jodhang, terbuat dari kayu segi empat; tempat ini sering digunakan untuk

mengangkut sesaji yang dibawa ke pantai.

(4) Tampah/tambir, alat ini berbentuk lingkaran dari anyaman bambu dan

digunakan sebagai tempat membawa sesaji.

(5) Pengaron, alat ini terbuat dari tanah liat, digunakan untuk mengaduk nasi.

(6) Takir, yaitu terbuat dari daun pisang dengan janur atau daun lontar yang masih

muda di ujungnya; Alat ini digunakan sebagai tempat menggunakan jenang

untuk

sesaji.

(7) Ceketong, terbuat dari kaca yang digunakan untuk piring dan sendok makan dan

menciduknya.

4. 2. 2. Persiapan Sesaji

Masyarakat nelayan juga harus menyiapkan sesajian untuk prosesi sedekah laut

tradisional. Sesaji yang harus disiapkan banyak jenisnya, yaitu:

(1) sesajian untuk Kanjeng Ratu Kidul yang nantinya akan berlabuh atau dikirim

ke laut;

(2) bunga telon, yaitu bunga berbagai jenis, seperti mawar, melati, kantil, kenanga,

dll, yang semuanya harum;

(3) alat kecantikan khusus wanita, antara lain bedak, sisir, parfum, pensil alis, dan

lain-lain, semuanya beraroma;

(4) pakaian wanita letak, termasuk kemeja kain, celana pendek, bra dan kebaya,

semuanya harus baru;

(5) jenang, jenis jenang, ada yang merah, putih, hitam, batangan, dll;

11
(6) jajanan pasar, yaitu jajanan kecil seperti kacang tanah, lempeng, slondok, dll,

semuanya dibeli dari pasar;

(7) Udhuk atau nasi asin, nasi yang dimasak dengan santan, garam, dll. dan setelah

dimasak rasanya sangat enak;

(8) kepala kerbau, kepala sapi, kepala kambing;

(9) ayam ingkung, ayam jantan utuh dengan kaki dan sayap diikat menjadi satu

yang rasanya enak setelah dimasak;

(10) pisang sanggan, pisang yang dipilih sebagai pisang raja kualitas nomor satu

yaitu pisang yang benar-benar tua, tidak lembek, jumlahnya harus genap;

(11) pisang raja pulut, ini merupakan gabungan dan sesisir pisang raja dan sesisir

pulut;

(12) lauk pauk, antara lain kacang goreng, kerupuk, kedelai, emping, dll. ;

(13) Lalapan, terdiri dari potongan kol, mentimun atau buncis.

4. 3. Prosesi Upacara Sedekah Laut

Upacara sedekah di laut sebelum hari pementasan didahului dengan prosesi

nyekar atau ziarah ke pantai Karang Bandung (Pulau Majethi) yang terletak di timur

tenggara Pulau Nusakambangan, dilakukan oleh pemimpin nelayan Cilacap dengan

kepala adat, dan kemudian banyak kelompok nelayan dan masyarakat berdoa

kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk musim penangkapan ikan agar berjalan

dengan baik dan penangkapan ikan yang aman. Selain upacara nyekar, peserta ritual

juga mengambil air suci atau keramat di sekitar pulau Majethi yang menurut

legenda merupakan tempat tumbuhnya bunga Wijayakusuma.

12
Rangkaian kegiatan sedekah tradisional di laut diawali dengan ziarah ke

Karang Bandung. Penyerahan sesajian oleh Yayasan Honggodento kepada panitia

dilanjutkan dengan tirakatan di pendopo kabupaten, didahului dengan potong

tumpeng. Acara tirakata diisi dengan pembacaan uraian dan pembacaan uraian

sedekah di laut. Prosesi upacara diawali dengan laporan tumenggung kepada patih,

penyerahan pajangan patih dan mendandani samir kepada patih tumenggung,

dilanjutkan dengan prosesi selanjutnya yaitu didahului dengan arak-arakan,

dilanjutkan dengan mengangkut joli dari Pantai Teluk Penyu ke Laut Selatan,

kemudian pentas kesenian tradisional masing-masing kelompok hingga sore hari

(Anonim, 1999).

Prosesi Nyekar atau ziarah dimulai satu hari sebelum Acara Sedekah.

Artinya, Pon Senin atau Kamis Wage berlangsung dari pukul 07.00 WIB hingga

sore hari, dilanjutkan dengan acara 'Malam Tirakatan' atau pengajian di Anjungan

Kabupaten Cilacap mulai pukul 19.00 malam. Puncak acara Jum'at Kliwon atau

Selasa Kliwon adalah 'Upacara Iring-iringan Jolen Tunggul' yang berangkat dari

Anjungan Kabupaten menuju Pantai Teluk Penyu. Dilanjutkan dengan prosesi

dengan kostum nelayan tradisional Cilacap dan diiringi oleh Jolen Jolen. Setibanya

di Pantai Teluk Penyu, sesaji dibawa ke perahu nelayan yang dihias dengan

warnawarni dan dilarung ke pulau kecil bernama Pulau Majeti atau dibuang ke laut.

Pertunjukan adat yang sering ditampilkan pada saat upacara sedekah antara

lain jaipong (calung banyumasan), lenggeran, kuda lumping dan wayang kulit.

Pertunjukan Wayang Kulit biasanya diadakan semalaman baik di pendopo

kabupaten maupun di desa atau kecamatan nelayan masing-masing. Saat ini mulai

13
berkembang tidak hanya pertunjukan seni pertunjukan tradisional, tetapi juga

pertunjukan organ tunggal yang menarik banyak wisatawan dengan mengundang

penyanyi terkenal seperti lagu pop, campur sari, dan ndangdut (Anonim, 2001).

4. 4. Fungsi dan Makna Upacara Sedekah Laut

Menurut Novianti (2007), fungsi dan makna ritual adat mencakup empat

dimensi: budaya, agama, ekonomi dan sastra baik bagi pencetus ritual maupun

masyarakat. Aspek budaya ritual sedekah laut di Cilacap bagi pelaku dan

masyarakat merupakan praktik masyarakat awal yang dipandang oleh masyarakat

sebagai budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Contohnya adalah tradisi

Nyekar berziarah ke Pantai Bandung Karang (Pulau Majethi) satu hari sebelum

bersedekah.

Dari aspek agama, sedekah di pesisir selatan Cilacap memiliki makna religi.

Upacara sedekah laut masyarakat nelayan Cilacap memiliki makna religius

(spiritual), dan upacara sedekah laut dilakukan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa

agar para nelayan tidak menemui banyak kendala saat melaut dengan permohonan

atau doa. Tangkapan yang melimpah dan memberikan keamanan. Itu juga sebagai

tanda apresiasi masyarakat nelayan atas hasil tangkapan beberapa tahun lalu yang

dipersembahkan kepada Ratu Pantai Selatan (Nyi Roro Kidul) yang dianggap

sebagai penguasa Laut Selatan.

Upacara Sedekah Laut merupakan salah satu bentuk ekspresi persembahan

sebagai permohonan izin kepada penguasa Pantai Selatan, yang timbul secara

bersamaan dari motif, dorongan, harapan dan keprihatinan. Ada beberapa jenis

sesajen yang dianggap pantas bagi penerima sesaji (sesajen), karena tanpa

14
pemberian masyarakat tidak ada rasa ketidakberdayaan atau prestasi (hasil yang

maksimal). Suatu cara persembahan yang dilakukan dalam suatu proses ritual

berupa ucapan, tindakan, dan lain-lain, untuk mencapai suatu tujuan (harapan,

keinginan akan keselamatan, kelimpahan hasil, terhindar dari rintangan dan

malapetaka). Dalam hal ini, upacara sedekah dianggap sebagai permintaan dan doa.

Harapan dan realita religi inilah yang digunakan dalam upacara sedekah

laut di pantai selatan Cilacap yang menyampaikan pentingnya bersyukur kehadirat

Tuhan Yang Maha Esa melalui Kanjeng Ratu Kidul sang penjaga Laut Selatan,

demi keselamatan dan penghasilan mereka dari menangkap ikan di Segoro Kidul

atau Laut Selatan.

Makna atau simbol sesaji yang digunakan pada upacara sedekah laut,

menurut Ronggosegoro (1990), adalah sebagai berikut.

(1) Tumpeng sebagai lambang ketuhanan, dewa (kiyamat) yang mencipta,

mengatur dan menggulung alam semesta, disebut gusti ingkang hanyipto,

gusti ingkang hamurbo, gusti ingkang hamaseso. Tumpeng yang umum

digunakan terdiri dari empat lapisan, lapisan pertama disebut heneng yang

terdiri dari macam-macam lauk-pauk dengan makna seperti keragaman etnis

dunia, adat istiadat, tata cara, ritual (upacara, budaya, dan spiritualitas

perbedaan agama) yang disebut syariah. Tingkatan kedua disebut hening

berupa nasi yang sama dari sudut yang berbeda, disebut juga Torekat. Artinya,

sama dari semua sudut pandang, tetapi bentuknya semakin lama semakin kecil

dan disebut esensi. Tingkat keempat disebut hanni. Artinya, bagian atas

tumpeng sebagai titik atau tumpuan yang berarti lebih dekat kepada Tuhan

15
Yang Maha Esa yang merupakan bagian atas penguasa atau makrifat. Makna

tumpeng secara keseluruhan adalah persembahan kepada Tuhan Yang Maha

Esa atau purwa madya wasena jagad saisine, atau alam semesta dan segala

isinya.

(2) Pisang Sanggan berarti raja atau ratu berada atau tidak lagi berada di atas

rakyat dalam struktur sosial. Pisang Raja pulut dimaksudkan sebagai upaya

umat untuk menjaga kelekatan, sebagaimana hubungan antara raja dan rakyat

tetap lekat selamanya. Pisang Raja Setangkep atau dua sisir berarti hidup atau

kehidupan. Raja/raos/rasa berarti satu tangan atau keselarasan. Pisang Ambon

menyebarkan rasa yang enak aroma yang baik yang memiliki makna

mencegah orang menyebarkan pengaruh buruk, masalah, atau fitnah.

(3) Bubur atau jenang palang atau bubur/jenang abang-putih, atau merah-putih

diberi silang atau palang adalah supaya masyarakat ngentak, atau tidak ada

yang menghalang-halangi, dalam mencari nafkah. Bubur atau jenang

merahputih juga mengandung makna bahwa manusia itu ada yang

menurunkannya atau mencetak, bubur merah sebagai penghormatan kepada

ibu atau Kama Ratih, bubur putih sebagai penghormatan kepada Bapak

(sperma) atau Kama Jaya, sehingga bubur abang-putih menggambarkan

proses pembuahan. Sedangkan bubur atau jenang hitam bermakna untuk

persembahan kepada saudara atau kakang kawah adi ari-ari. Nasi ameng,

bermakna supaya mendapat keselamatan dari Tuhan Yang Maha Esa, dan nasi

rasulan/udhuk, bermakna menjunjung junjungan Nabi Besar Muhammad

SAW.

16
(4) Ayam ingkung (utuh), ayam jantan muda yang baik tidak pernah diadu, tidak

memiliki kekurangan, memiliki jengger yang panjang sebagai calon jagoan

generasi penerus. Sebagai calon generasi yang akan datang, yang

melambangkan juga kelengkapan dari rasulan, yang maknanya ditujukan

kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.

(5) Air tawar di dalam kendi memiliki makna keamanan.

(6) Pakaian wanita diikat pada alat-alat kecantikan dan cemara (cermin, sisir,

bedak) menunjukkan bahwa alat-alat tersebut adalah peralatan dandan favorit

wanita. Ini tentang menghormati wanita. Semua ini ditujukan kepada Kanjeng

Ratu Kidul atau Nyai Ratu Kidul.

(7) Bunga atau kembang atau dahan yang melambangkan permintaan wewangian,

berupa bunga telon (mawar, melati, kanthil) dan bunga setaman (bunga

taman). Mawar melambangkan kata-kata manis. Artinya, dipilih dengan

katakata yang indah dan baik. Bunga melati sebagai lumantar kedaling lathi,

atau bibir terucap melalui bibir. Bunga kantil, atau sekantil mugi-mugi tansah

kuanthil-kanthil wonten salebeting nala, semoga selalu melekat dalam hati dan

mengesankan. Sedangkan kembang setaman melambangkan sebagai umat

manusia supaya saling mencintai dan mengasihi.

(8) Jajanan pasar terdiri dari berbagai jenis makanan. Yaitu jajanan dari pasar atau

diperjualbelikan di pasar. Ini berarti wong urip pindane wong lunga pasar bali

mang omahae dhewe-dhewe. Mereka diibaratkan seperti orang yang pergi ke

pasar untuk membeli kebutuhan hidup dan kembali kepada Tuhan Yang Maha

Esa ketika selesai berbelanja.

17
(9) Minuman atau wedang berupa wedang goyang, wedang salam, wedang jeruk,

wedang kopi pahit dan wedang tawa. Wedang Goyang berupa bunga kelapa

(manggar), gula manis dan air jernih, agar hati tidak gundah, selalu tenteram;

Wedang salam berupa daun salam, gula batu dan air yang memiliki makna

untuk keamanan dan keselamatan; wedang jeruk dalam bentuk air jeruk bayi

dan gula batu, agar selalu diberi petunjuk; Wedang kopi pahit melambangkan

keabadian atau umur panjang; sedangkan tawa berupa air tawar dan daun tawa

(daun dadap srep) untuk menghindari hal-hal negatif.

(10) Kemenyan dan wewangian adalah perantara atau mediator antara tubuh dan

jiwa.

(11) Kepala kerbau atau sapi atau kepala kambing sebagai lambang kebodohan

untuk dikuburkan, dikubur atau dihalau jauh ke laut, artinya kita sebagai

manusia harus membuang sifat kebodohan dan belajar untuk menjadi cerdas.

(12) Tebu wulung atau hitam melambangkan rasa manis atau kebahagiaan abadi

dalam hidup.

(13) Cikal atau pohon kelapa yang baru tumbuh merupakan awal atau permulaan

yang baik.

Pentingnya sedekah laut dari segi ekonomi tidak dapat dipisahkan dari unsur

pariwisata. Hajat Laut merupakan salah satu agenda tahunan yang dilaksanakan di

kawasan Pantai Selatan Cilacap. Oleh karena itu, pengelola pariwisata berusaha

mengemas tradisi ini dengan cara yang lebih menarik dan memanfaatkannya

sebagai iklan bagi wisatawan. Masyarakat setempat juga berharap jumlah

wisatawan yang berkunjung ke Cilacap meningkat dan pendapatan masyarakat

18
meningkat. Untuk mengantisipasi hal tersebut, upaya sedang dilakukan untuk lebih

meningkatkan kegiatan ini sebagai salah satu kemungkinan wisata tahunan Cilacap

(Pikiran Rakyat, 18 Januari 2008).

5. Kesimpulan

Upacara sedekah laut di pesisir selatan Kabupaten Cilacap merupakan

tradisi atau adat yang dilakukan masyarakat nelayan Cilacap setahun sekali,

bertepatan dengan hari Selasa Kliwon atau Jum'at Kliwon setiap bulan Suro

(penanggalan Jawa). Ini adalah acara tradisional dengan makna religius untuk

berterima kasih dari para nelayan atas hasil tangkapan mereka dan berdoa untuk

keselamatan dan hasil tangkapan yang melimpah di tahun berikutnya. Ritual adat

ini juga memiliki implikasi budaya, sosial dan ekonomi.

19

Anda mungkin juga menyukai