Anda di halaman 1dari 2

*BERTUMBUH*

_Devosi Harian Jemaat GKJ Bandung_


06 Mei 2020

*57 SEN MILIK HATTIE *

*Matius 13:31-32* Yesus membentangkan suatu perumpamaan lain lagi kepada mereka,
kata-Nya: “Hal Kerajaan Sorga itu seumpama biji sesawi, yang diambil dan ditaburkan orang
di ladangnya. Memang biji itu yang paling kecil dari segala jenis benih, tetapi apabila sudah
tumbuh, sesawi itu lebih besar daripada sayuran yang lain, bahkan menjadi pohon, sehingga
burung-burung di udara datang bersarang pada cabang-cabangnya.”

Biji sesawi itu adalah biji yang terkecil dari segala jenis benih. Demikianlah Injil Matius 13: 32
mencatatnya. Benih itu tampak tidak menarik, hanya satu hingga dua milimeter saja
diameternya. Kering dan tidak tergambarkan potensi kehidupan di dalamnya. Demikianlah
Tuhan Yesus memilih benih sesawi ini untuk menggambarkan hal Kerajaan Allah. Dari benih
yang kecil itu, akan tumbuh sebuah pohon yang cukup besar, sehingga burung-burung
datang dan membuat sarang di dalamnya. Suatu penggambaran yang kontras sekali, dari
yang kelihatan sepele itu, dapat muncul suatu hasil yang memberikan dampak bagi
kehidupan.

Merenungkan perumpamaan ini, sepertinya semakin jelas makna dari sebuah peristiwa yang
pernah terjadi pada sebuah jemaat Tuhan di Philadelphia pada akhir abad 19. Kisah itu
bercerita tentang seorang gadis kecil bernama Hattie May Wiatt. Suatu kali, Hattie berdiri
terisak di depan pintu masuk sebuah gereja kecil. Ia tidak mendapat tempat karena gereja
“sudah terlalu penuh”. Pada saat itulah kebetulan Pdt. Russell H. Conwell melintas. Ia
berhenti lalu menanyakan kepadanya mengapa ia menangis. “Saya tidak dapat masuk ke
sekolah minggu.” Jawab Hattie.

Melihat penampilan anak kecil ini yang lusuh dengan rambut berantakan, Pdt. Conwell
segera bisa menduga sebab mengapa ia tidak bisa masuk ke sekolah minggu. Segera
dituntunnya anak ini masuk ke dalam dan mencarikannya tempat yang kosong. Hattie ikut
beribadah pada hari itu. Peristiwa itu ternyata begitu membekas pada Hattie yang kecil.
Sebelum istirahat pada malam itu, Hattie mulai memikirkan anak-anak lain yang seperti dia.
Hattie adalah anak dari keluarga tak berpunya, mereka tinggal di daerah kumuh.

Singkat cerita, Hattie dan Pdt. Conwell kemudian berkawan baik. Namun itu tidak
berlangsung lama. Dua tahun kemudian, Hattie jatuh sakit dan meninggal dunia. Ketika itu,
sang ibu meminta Pdt. Conwell untuk memimpin pemakaman yang sederhana dari putri
kecilnya. Saat pemakaman selesai dan ruang tidur si gadis di rapihkan, sang ibu menemukan
sebuah dompet usang dan kumal. Dompet itu milik Hattie yang mungkin ia temukan dari
tempat sampah. Di dalamnya ada uang receh 57 sen dan secarik kertas bertuliskan tangan,
yang jelas kelihatan ditulis oleh seorang anak kecil yang isinya: _“Uang ini untuk membantu
pembangunan gereja kecil agar gereja tersebut bisa diperluas sehingga lebih banyak anak
anak bisa menghadiri ke Sekolah Minggu.”_ Rupanya selama 2 tahun, semenjak ia tidak
diperbolehkan masuk gereja itu, Hattie telah mengumpulkan uang dan menabung hingga
terkumpul 57 sen.

Ketika Pdt. Conwell membaca catatan kecil itu, ia amat terharu, matanya sembab karena
menangis. Lalu ia pun menyadari bahwa sesuatu harus dilakukan. Berbekal 57 sen milik
Hattie dan catatan kecilnya itu, Pdt. Conwell menggerakkan jemaatnya untuk mulai
meneruskan maksud mulia Hattie, yaitu untuk memperbesar gedung gereja agar semua
anak-anak bisa beribadah. Perubahan besar pun terjadi pada jemaat itu. Suatu pergerakan
yang dimulai dari benih 57 sen. Saat ini di tempat itu, telah berdiri Temple Baptist Church—
sebuah gereja dengan kapasitas duduk untuk 3300 orang, Temple University tempat ribuan
mahasiswa belajar, sebuah rumah sakit (Good Samaritan Hospital), dan sebuah bangunan
khusus untuk sekolah minggu dengan ratusan pengajar. Pada salah satu ruang di bangunan
itu, terdapat foto Hattie dan sebagian dari uang receh 57 sen yang telah membuat sejarah.
(*sebuah kisah nyata_disarikan dari beberapa sumber).

Anda mungkin juga menyukai