Anda di halaman 1dari 10

MATA KULIAH:

SEJARAH DAN TEOLOGI GEREJA PENYEBARAN INJIL


Mahasiswa STAPIN Majalengka
Oleh: Dr. Pieter Anggiat Napitupulu, M.Th
2022

A. SEJARAH SINGKAT BERDIRINYA GEREJA PENYEBARAN INJIL


Dalam Mata kuliah ini, kita akan mempelajari tentang: Sejarah Gereja
Penyebaran Injil, Bagaian Utama Dalam Organisasi Gereja Penyebaran Injil dan
Teologi Gereja Penyebaran Injil.
Ketika kita membahas tentang berdirinya Gereja Penyebaran Injil, maka akan
lebih tepat apabila kita terlebih dahulu mengenal siapa pendiri organisasinya. Kisah
tentang pendiri dan sejarah singkat Gereja Penyebaran Injl akan diuraikan berikut ini.

1. Kisah Pendiri Gereja Penyebaran Injil

a. Sebelum Mengenal Tuhan


1) Dari Kedisiplinan Yang tinggi, Tuhan memilih hamba-Nya.
Terlahir hari Sabtu, tanggal 13 September 1926 sebagai putra pertama
anak kedua dari keluarga sederhana di desa Tonjong, Kecamatan Majalengka – Wetan,
Kabupaten Majalengka. Tan Djit Hian (Nama kecil dari Pdt.DR.J.N.Tanwidjaja)
menyelesaikan pendidikan MULO yang tergolong tinggi di zaman penjajahan saat itu,
apalagi untuk keluarga miskin di kota kecil semacam Majalengka.
Bekerja di kantor pemerintahan Hindia Belanda sambil mengikuti berbagai kursus
yang langka di jaman itu, jauh dari orangtua, seorang diri, dengan hanya bermodal
sebuah sepeda yang ditambat di luar pondokannya rumah petak seluas 2 X 2 meter
persegi, siang dan malam bekerja dan belajar dengan tanpa dukungan makan dan
fasilitas yang memadai.
Kehidupan keras, tanpa pelindung dan nyaris tak menentu, memicu keinginannya
untuk memiliki “tulang beton” dan “otot baja” yang diwujudkannya dengan setiap hari
mengangkat dua buah beton di kiri kanan yang dihubungkan dengan sebatang besi.
Tidak puas dengan otot-ototnya yang kekar, gerak refleknya pun dilatihnya dengan
mengikuti latihan bela diri.
Kegigihannya yang di atas rata-rata, menghentar Djit Hian muda terpilih
mengikuti pendidikan tentara Jepang di pusat pelatihan di Tangerang yang merupakan
proses pembentukan kedisiplinan-diri yang lebih intensif dan terprogram. (Pedang
Samurai yang masih tersimpan hingga saat ini, menjadi saksi bisu masa pelatihan
tersebut)
2) Di Saat Yang Tepat Pada “Puncaknya” Tuhan Memanggil Hamba-Nya
Djit Hian beranjak dewasa; 06 Juni 1950 mempersunting gadis manis
bernama Oey Ek Lie. Dengan status barunya sebagai suami, membawa perubahan dari
usaha membentuk diri ke usaha membangun ekonomi.
Dengan modal yang nyaris tak berarti, dibelinya beberapa potong kain dari
“kota” dijualnya di pasar Wetan, meningkat hingga penuh satu delman (kereta berkuda),
hingga akhirnya terbeli sebuah bangunan tua dengan halaman yang cukup luas (milik
orangtua angkat Oom William Suryadjaya/ pendiri PT Astra International) di tengah
kota yang hingga sekarang berdiri Toko Wijaya dan gedung bioskop Istana Bintang.
Keberhasilan di bidang ekonomi, menambah sebutan baru di depan namanya
menjadi “Babah Djit Hian”. Tidak berhenti sampai di situ, toko terus diperluas,
bertambah dengan bengkel, 2 buah bioskop, perusahaan otobis” Gaya Mekar”, angkutan
suburband (antar jemput) menghentar dirinya menjadi tokoh masyarakat dan pengusaha
yang disegani oleh pemerintah Kabupaten pada saat itu.
3) Dengan Karakter Kristus Melalui Kelima Anaknya, Tuhan Melawat
Hamba-Nya.
Sekitar tahun 1960, Tuhan melawat Majalengka melalui pedagang muda
bernama Ibrahim yang menjadi warga Majalengka melalui pernikahan dengan Tan
Kwee Lie (kakak kandung Tan Djit Hian), janda yang suaminya terbunuh oleh
gerombolan DI/TII.
Dengan tenang namun menghanyutkan, karya “penyelamatan” membawa seluruh
keluarga besar Tan Siong Soen (ayah Tan Djit Hian) menjadi pengikut Kristus, beserta
penduduk Majalengka lainnya. Namun sejauh itu ternyata tidak cukup kuat menarik
perhatian “Babah Djit Hian” yang sedang di puncak sukses sebagai pengusaha andalan
yang diharapkan memajukan daerah dan segala kemudahan yang sedang terbuka di
hadapannya. Toleransi terhadap keluarga besarnya yang sedang berkobar menikmati
kasih Kristus, Tan Djit Hian mengijinkan kelima anaknya mengikuti Sekolah Minggu
beserta keponakannya yang lain.
Minggu, Bulan dan Tahun berlalu, Babah Djit Hian seakan tidak terjamah oleh
penginjilan yang mulai bergema dari sebuah Gereja yang hanya menempati bangunan
gedeg. Karakter Kristus yang memancar melalui kelima anaknya, tanpa disadari oleh
semua pihak, telah menyusup masuk menembus kekerasan hati dan kesibukan bisnis
hingga suatu waktu tanpa ajakan dan bujukan siapapun, ia mengajak isterinya ke gereja.
Oey Ek Lie (lulusan IPB sekolah zending / Kristen di Jamblang), mendengar
suaminya mengajak ke gereja,serta merta menyambutnya, selain karena ketaatannya
kepada suami, juga karena benih firman Tuhan yang pernah diterimanya di sekolah dulu.
Apa nyana, setibanya di depan pintu rumah gereja, ia membatalkan niatnya dan
mengajak isterinya pulang. Beberapa minggu kemudian peristiwa yang sama terjadi dan
terjadi lagi hingga tiga kali. Tapi sejauh itu isterinya tetap setia mengikuti perkembangan
suaminya, yang akhirnya duduklah mereka berdua di kursi paling belakang, itulah awal
Firman Tuhan melawat calon hamba-Nya.

b. Sebagai Anggota Jemaat Tetap


1) Tertanam Dalam Gereja Lokal Sebagai Anggota Yang Proaktif
Masa pembentukan diri hidup berumah tangga dan pengalaman di dunia
kerja / usaha turut mewarnai sikap dan perilakunya di gereja. Segera setelah menerima
Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru selamat pribadinya, pengusaha Tan Djit Hian,
membeli sebidang tanah yang luas dan membangun gedung gereja termegah pada masa
itu se kresidenan Cirebon. Seluruh kebutuhan biaya ditanggungnya sendiri, sumbangan
dari warga jemaat dan lainnya beliau wujudkan menjadi bangku gereja yang terbuat dari
kayu jati yang masih ada hingga saat ini.
Bukan hanya gedung gereja, pastori dengan segala fasilitas pendukungnya juga
dibangun dan diperhatikannya. Alat musik beserta para pemainnya, Sekolah Minggu dan
para gurunya, sampai kepada perayaan Natal di urusnya, bahkan sempat perayaan Natal
seakan menjadi pesta rakyat Majalengka pada saat itu.
2) Berakar Dalam Firman Tuhan Sebagai Guru Sekolah Minggu.
Keterlibatannya turut mengajar di sekolah minggu, menjadi sarana yang
menghentar diri calon hamba-Nya mendalami firman Tuhan, banyak berdoa dan
menaruh perhatian kepada jiwa-jiwa.
Penggembalaan yang “serba Pendeta” (lulusan Sekolah Alkitab) di semua sektor
kerohanian, hanya menyisakan Sekolah Minggu yang justru secara legal menugaskan
“kaum awam” untuk menanganinya; telah dijadikan Tuhan sebagai lahan
mempersiapkan calon hamba-Nya.
Keaktifan Calon Hamba-Nya di gereja, telah mengubah panggilan “Babah”
sebagai Pengusaha menjadi “Oom” Djit Hian sebagai Pelayan Gerejawi (Oom /Tante,
Brur/Zus) menjadi sapaan yang seakan lebih gerejawi pada masa itu)
3) Bertunas Kepemimpinan Sebagai Kepala Sekolah Minggu.
Jiwa kepemimpinan Oom Djit Hian menghentar dirinya didaulat sebagai
kepala sekolah dari Sekolah Minggu. Benchmaking (mencari yang terbaik,
mempelajari dan menirunya dengan sungguh-sungguh) merupakan gaya / pola
pengembangan diri dan kepemimpinannya.
Dilakukanlah studi banding dengan gereja yang besar di kota-kota besar,
dipelajarinya dengan seksama dan ditetapkannya dengan sungguh-sungguh antara lain :
guru-guru direkrut, ditatar dan dijadwalkan dengan baik, setiap kehadiran anak-anak
mendapat point yang akan menentukan besar kecilnya hadiah natal, bila membawa jiwa
baru, langsung mendapat hadiah gambar yang dipersilahkan memilih sendiri, demikian
pula bila berhasil mengucapkan ayat hafalan, atau menunjukkan karakter yang baik.
Yang paling menarik adalah seluruh anak dibagi kelompok menurut tingkat usia.
Yang masih kecil: ditugaskan memunguti batu-batu kecil yang keluar dari jalurnya di
halaman gereja, yang lebih besar sedikit: mencabuti rumput yang tidak semestinya, yang
besar: menyapu halaman, ruangan, membersihkan keset, kursi dan lantai sebelum
Sekolah Minggu berlangsung. Hal itu selain menghasilkan gereja yang terpelihara, lebih
penting dari itu adalah membangkitkan kerjasama dan rasa memiliki rumah Tuhan.

c. Sebagai Diaken, Penatua / Penilik Gereja Lokal


1) Berkembang Wawasan Pelayanannya Melalui Seminar, Pelatihan Dan
Kebersamaan.
Dalam membangun gedung, system pelayanan dan banyak hal lain,
melakukan studi banding dan menerapkan pengalaman di dunia sekuler, dan dalam hal
pengembangan Sumber Daya Manusia mengutus orang mengikuti berbagai seminar dan
pelatihan yang ada pada waktu itu.
Yang sangat berkesan adalah Oom Djit Hian sering bersilahturahmi ke rumah
para gembala gereja-gereja di berbagai kota.
Sebagai Kepala Sekolah Minggu yang berdedikasi tinggi, Oom Djit Hian
menghadiri undangan Konferensi Kepala-Kepala Sekolah Minggu yang diselenggarakan
di dan oleh Sekolah Alkitab Gereja Pantekosta (SAGP) di desa Beji, kecamatan Batu,
Kabupaten Malang Jawa Timur; bertepatan masa liburan Sekolah Alkitab tersebut.
Menginaplah Oom Djit Hian di asrama siswa, mandi di pancuran dimana siswa
biasa mandi, makan dan belajar di ruang makan dan belajar dimana proses pendidikan
biasa berlangsung. Event dan moment itu telah dipakai Tuhan mengeksplorasi
“kerinduan” di hati calon hamba-Nya yang lama terpendam.
2) Berani Melangkah Lebih Lanjut Berkat Dukungan Isterinya Yang
Tangguh dan Tanggap.
Terjadilah terobosan baru dalam pandangan dan cita hidup hamba-Nya;
namun pelayanan gereja lokal yang sedang berkembang, kesibukan bisnis yang
didambakan masyarakat dan pemerintah daerah, serta tanggungjawab keluarga dengan
lima anak yang masih kecil-kecil seakan menjadi penghalang besar yang tak terelakkan.
Oey Ek Lie istri yang tangguh, tanggap dan tidak pernah mengeluh apalagi
berputus asa, disaat suaminya ‘makan tak enak dan tidur tak nyenyak / hidup enggan
mati pun tak mau, yang disebabkan peperangan batin tersebut di atas, tampil sebagai
penolong yang sepadan dengan suaminya menyatakan :”Siap dan sanggup menangani
semua tanggungjawab yang ditinggalkan suaminya demi memenuhi panggilan Tuhan di
dalam hidup suaminya.”
Dimulailah babak baru dalam keluarga, usaha dan gereja yang ditangani hamba-
Nya Ia seakan sudah diambil Tuhan dari keluarga, gereja lokal dan masyarakat
Majalengka, untuk kemudian masuk dalam pelayanan jawatan seperti yang Paulus
Tulisakan : “Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik
pemberita – pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk
memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan
Tubuh Kristus”(Efesus 4:11-12)
3) Three in One (Keluarga & Usaha & Gereja) dalam menjalani
pelayanannya.
Rencana Tuhan yang sempurna dalam diri hamba-Nya, tidak
menghendaki terbengkalai tanggungjawabnya sebagai suami yang mengepalai isteri,
ayah yang meng’imam’i anak-anak, dan oranagtua yang mengemban ekonomi keluarga,
mendorong pihak sekolah Alkitab memberi dispensasi khusus yang tidak pernah ada
sebelumnya, yaitu Oom Djit Hian diijinkan pulang satu bulan satu kali ke Majalengka
pulang pergi naik kereta api.
Di tengah kesibukan Oom Djit Hian sebagai pengusaha juga pendeta, sampai
dengan tahun 1969, beliau selalu membawa keluarga mengunjungi mertua dan
membawa keluarga untuk study wisata.

d. Sebagai Murid, Penginjil dan Perintis Gereja-gereja Lokal


1) Roh Kudus Sebagai ‘Dunamis’ Tuhan yang menjadi penekanannya.
Dalam kotbah-kotbah di gereja pada waktu itu, Oom Djit Hian sering
mendengar tentang Roh Kudus, namun tidak mendapati hal itu termanifestasi dan
berkembang di gereja.
Bertepatan dengan peperangan batin antara pergi atau tidak ke Sekolah Alkitab,
terbersit semacam tuntutan / prasyarat yang hamba-Nya minta dari Tuhan bila ia nanti
lulus Sekolah Alkitab agar :”Kepada siapa ia menumpangkan tangan, orang tersebut
penuh Roh Kudus dengan tandanya berkata-kata di dalam berbagai bahasa.”
Setelah lulus Sekolah Alkitab, ternyata tidak tersedia tempat bagi hamba-Nya di
gereja yang dibangunnya. Secara manusia bisa saja sang pengusaha dan tokoh
masyarakat ini mengambil alih gereja tersebut, terlebih mengingat ia sudah lulus sekolah
Alkitab serta seluruh surat tanah dan bangunan atas nama dirinya.
Namun rupanya untuk menjadi “Bapa” dari orang-orang percaya yang akan
dipercayakan Tuhan kepada hamba-Nya, seperti halnya Abraham, harus diuji
penyerahan “Ishak”nya. Bila kita coba berempaty, tidak mudah untuk begitu saja
menyerahkan hasil jerih payahnya. Namun bersyukur hamba-Nya lulus dalam hal itu
(bahkan sempat satu tahun dimana gereja sudah diserahkan, seluruh rekening instalasi
gereja tersebut tetap dibayar oleh Oom Djit Hian).
Dengan status hamba Tuhan resmi lulusan SAGP- Batu / Malang, hamba-Nya
tidak berada di gedung gereja dan berkotbah / menggembalakan di sana, namun mulai
menjadi imam atas Rumah Tangganya sendiri, menyelenggarakan Persekutuan di ruang
keluarga yang hanya dihadiri oleh isteri, lima orang anak dan seorang tetangga.
Dalam persekutuan yang pertama itu Roh Kudus sudah mulai berkarya, dimana
sang tetangga merasa aneh mengapa dirinya menangis tatkala ditumpang tangan oleh
Oom Djit Hian.
2) Penginjillan Berjiwa ‘Sahid’ sebagai ekspresi kepenuhan Roh Kudus.
“…kamu akan menerima Dunamis, kalau Roh Kudus turun ke atas
kamu,
dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan
sampai ke ujung bumi” (Kisah Para Rasul 1 : 8). Maksud dan tujuan utama Yesus
meminta kepada Bapa agar diberikannya Roh Kudus kepada kita, adalah : agar kita
menerima dunamis (dinamit/dinamis-Nya) sehingga kita menjadi Pemberita Injil yang
berjiwa “sahid.”
Demikian terjadi atas hamba-Nya dengan mengendarai motor mewahnya, sang
Pengusaha yang hamba Tuhan tanpa surat ke”pendeta”an ini, menginjil ke seluruh Jawa
Barat dimana seluruhnya Suku Sunda.
Direktur utama pabrik gula disembuhkan dari lumpuhnya dan dilepaskan dari
kuasa jahat yang mengikatnya; tiga pasang suami isteri Sunda Padang dilepaskan dari
susuk di tubuhnya dan diselesaikan berbagai permasalahannya sehingga menjadi
pengikut Yesus , bahkan dua di antaranya menjadi pelayan Tuhan; dan hampir setengah
dari anggota jemaat GPI Majalengka (pada waktu itu) adalah suku Sunda asli dan tiga
desa Sunda dimenangkan bagi Kristus; serta beberapa dari antara mereka menjadi
pelayan-Kristus yang tangguh.
3) Relasi Bisnis dan Kemasyarakatan sebagai pintu masuk penginjilannya.
Sebagai seorang pengusaha, tidak sulit bagi hamba-Nya berkomunikasi
dengan sesama pengusaha, yang nota bene memiliki fasilitas, mempunyai akses
perijinan, mampu mengelola / memimpin dan mempunyai relasi yang luas di daerahnya.
Demikianlah Oom Tan membangun persekutuan doa (yang kemudian menjadi gereja)
di Majalengka, Kadipaten, Jatiwangi, Jamblang, Arjawinangun, Cirebon, Sumedang
melalui relasi bisnis dan kemasyarakatannya; dan selama satu minggu setiap malam
Oom Tan memimpin kebaktian di tujuh kota tersebut. Kemudian menyusul Babakan,
Karang Ampel, Bandung, Darmaraja, Situraja, Wado dan seterusnya.

e. Sebagai Pendiri dan Ketua Pimpinan Pusat Gereja Penyebaran Injil


Gedung gereja bukan kendala dan juga bukan sasaran. Kesederhanaan hidup
hamba-Nya dan keteladanan Kristus yang lahir di kandang yang hina, menghasilkan
motto pelayanan yang selalu diucapkannya “ Siap melayani walaupun hanya satu orang,
di kandang domba sekalipun”. Dari mulai rumah tua, ruang keluarga, garasi mobil,
tempat usaha hingga ballroom sebuah hotel lengkap dengan peralatan dan pemain
musiknya, pernah menjadi ‘gereja’ tempat pelayanan hamba-Nya.
Di setiap tempat dimana pun hamba-Nya melayani, Tuhan selalu menyediakan
partner yang memenuhi hampir seluruh pendanaan dan pengelolaan yang dibutuhkan.
Hamba-Nya tidak mau terkendala oleh gedung dan fasilitas dan tidak mau
menjadikan hal ini sebagai sasaran pelayanan.1

2. Sejarah Singkat Gereja Penyebaran Injil


Ternyata kehadiran Penginjil Tan Djit Hian yang baru lulus dari Sekolah Alkitab
mendapat sambutan dari banyak orang. Melalui pelayanannya, mereka yang belum
penuh Roh Kudus didoakan dan penuh Roh Kudus sehingga pelayanannya semakin
meluas. Untuk lebih memperluas pelayanannya, Tan Djit Hian mengambil keputusan
untuk keluar dari gereja yang sudah dibangunnya (tanah dan bangunan gereja dimana
dia berbakti).
Setelah keluar dari GPdI, Tan Djit Hian mendirikan sebuah yayasan yang
bernama “Jayasan Penjebaran Indjil” yang didirikan pada tanggal 1 Desember 1965.
Melalui Jayasan Penjebaran Injil ini Tan Dijt Hian mengembangkan pelayanannya
dengan membuka Kursus Kilat Alkitab (KKA) yang diikuti oleh peserta yang berasal
dari sekitar Majalengka, Cirebon dan Sumedang; setiap angkatan berjalan satu minggu.
Tanggapan positif dari banyak pihak muncul setelah itu, diantaranya, jiwa-jiwa
yang mengalami pertumbuhan iman yang sangat menyolok. Jadi, kalau ada yang berkata
bahwa di Gereja Penyebaran Injil dan SEAPIN tidak ada “pemuridan”, jelas itu tidak
benar. Walaupun pada waktu itu belum ada istilah ini, tetapi gerak pemuridan itu sendiri
sudah ada sejak sebelum GPI dan SEAPIN didirikan.
Untuk lebih memantapkan dan meningkatkan pelayanan di bidang gerejawi,
maka Jayasan Penjebaran Indjil didaftarkan ke Departemen Agama RI c/q Dirjen Bimas
Kristen Protestan sebagai Geredja Penjebaran Indjil dengan nomor 165/Dd/P/II/1967,
tanggal 21 Agustus 1967.
Setelah terbentuk Gereja Penjebaran Indjil, maka gerak pelayanan, Tan Djit Hian
yang sejak tanggal 2 Mei 1967 berganti nama JONATAN NUH TANUWIDJAJA
(panggilan akrabnya Oom Tan) menjadi lebih leluasa. Dimana Oom Tan memberitakan
Injil, disitu berdirilah GPI, di Kadipaten, Jatiwangi, Jamblang, Arjawinangun, Babakan,
Sumedang dan tempat lainnya.

1
Pieter A. Napitupulu, Setialah Sampai akhir Jakarta, Gereja Penyebaran Injil, 2002 Hlm.63
Seiring dengan perkembangan GPI, maka sangat dianggap perlu dibentuknya
sebuah Sekolah Alkitab untuk menghasilkan hamba-hamba Tuhan dan membuka sidang
jemaat baru sebagaimana telah dilakukan oleh pendirinya (Oom Tan). Puji Tuhan!
Akhirnya pada tanggal 11 April 1970 berdirilah sebuah sekolah Alkitab bernama
“Sekolah Alkitab Penyebaran Injil (SEAPIN).
Karena sejak semula Oom Tan mengandalkan pelayanannya kepada Roh Kudus,
maka sejak angkatan pertama Roh Kudus sudah bekerja dan di antara siswa/siswi
dipakai Tuhan baik untuk bernubuat atau melihat penglihatan. Menurut cerita mantan
siswa angkatan pertama dan kedua, suatu ketika Pdt. Suniti Jaritan Jaya sedang
mengajar. Dia melihat (dalam penglihatan) ada seekor ular dan penglihatan tersebut
disampaikan kepada siswa/siswi. Secara spontan beberapa murid naik ke atas kursi dan
meja, sebab mereka mengira benar-benar ada ular yang masuk ke kelas. Itulah akibat
kurang paham / mengerti, seperti yang Yesus katakana : “Kamu sesat, sebab kamu tidak
mengerti kitab suci maupun kuasa Allah.” (Matius 22:29).
SEAPIN berdiri dan berjalan benar-benar hanya oleh kasih Allah, tanpa
mendapat bantuan dari lembaga apapun. SEAPIN selalu berjalan tanpa mendapat
bantuan dari lembaga apapun. SEAPIN selalu berjalan dengan kesederhanaan. Siswa /I
pada waktu itu tidak dipungut biaya, dan seluruh pengeluaran SEAPIN seperti biaya
transport guru, anggaran belanja makan, pembangunan dan sebagainya ditanggung oleh
keluarga Tanuwidjaja. Semua ini merupakan beban yang cukup berat yang harus dipikul
oleh Ibu Maryam Wijaya ( Tante Tan). Setelah melayani sepenuhnya, Oom Tan tidak
mau tahu soal bisnisnya, angkutan umum, toko dan bioskop.
Organisasi gereja hanya karena disyaratkan. Sedemikian jauh lembaga pelayanan
tidak menjadi kendala dan juga bukan sasaran, walaupun terus mendapat tekanan dari
Gembala dan Majelis Daerah (pada waktu itu), hamba-Nya tetap berhubungan dengan
gereja tersebut, terbukti baptisan air dan penerbitan surat baptisannya dikeluarkan gereja
tersebut.
Kerjasama dengan berbagai gereja dan yayasan lainpun semakin meluas, bahkan
sampai keluar negeri; terbukti dengan banyaknya kunjungan dari mancanegara, kiriman
pakaian dan sebagainya yang masih layak pakai, piringan hitam dengan playernya,
traktat /majalah/buku, dan sebagainya.
Banyak jiwa yang dibaptis mereka ingin tetap dilayani di bawah koordinasi
hamba-Nya (yang saat itu karena diwajibkan ganti nama, memilih nama Jonatan Nuh
Tanuwidjaja), yang kemudiaN popular dengan sebutan Oom Tan hingga saat ini. Gereja
yang semula membaptis dan menerbitkan surat baptisan akhirnya tidak bersedia lagi,
sementara jiwa-jiwa terus bertambah dan situasi politik pada waktu itu menuntut
legalitas hukum.
Diwarnai jiwa taktis dan praktisnya, Oom Tan pergi sendiri ke kantor
Departemen Agama Republik Indonesia di Jakarta dengan hanya bermodal Akta Notaris
Jajasan Penjebaran Indjil. Kantor agama menjelang tutup, namun Oom Tan tidak mau
beranjak pulang sebelum diterbitkan minimal secarik kertas surat keterangan.
Maka di penghujung jam kantor di hari Kamis tanggal 21 Agustus 1967 tersebut,
terbitlah Surat Keterangan Departemen Agama Republik Indonesia tentang berdirinya
Gereja Penjebaran Indjil, yang hingga saat ini diperingati sebagai hari lahirnya Gereja
Penyebaran Injil (secara organisasi).2
Oleh kemurahan Tuhan, Gereja Penyebaran Injil telah berkembang hingga
sekarang telah berdiri 435 gereja lokal di seluruh Indonesia. Walaupun Pendiri telah
berpulang ke rumah Bapa di Surga, namun para penerusnya setia melanjutkan visi dan
misi Pendahulunya hingga sekarang.

B. BAGIAN UTAMA DALAM ORGANISASI GEREJA PENYEBARAN INJIL


1. Visi (Menjadi seperti apa Gereja Penyebaran Injil diharapkan)
“Menjadi satu sama seperti Tuhan adalah Satu dengan menjadi garam dan terang
dunia untuk menjangkau dunia”
2. Misi (Mengapa/untuk-apa Gereja Penyebaran Injil ada)
“Mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di
sorga maupun yang di bumi” (Efesus 1:9-10)
3. Nilai inti pribadi (untuk anggota jemaat Gereja Penyebaran Injil)
a. Akrab dengan Tuhan
Melalui doa, menghayati firman, sehingga mengalami kasih dan kuasa-Nya.
b. Bertumbuh dalam Tuhan
Melalui komunitas, membagi hidup, sehingga menyatakan karakter dan
kharisma-Nya.
c. Cemerlang memuliakan Tuhan
Melalui hati hamba, antusias melayani, sehingga mewujudkan kehendak dan
kesempurnaan-Nya.
4. Strategi (Merupakan kunci sukses Gereja Penyebaran Injil mewujudkan visi dan
menjalani misi
a. Berkualitas
Karakteristik Gereja “Berkualitas”
1) Kepemimpinan yang memberdayakan
2) Pelayanan yang berdasarkan panggilan
3) Kerohanian yang haus dan antusias
4) Struktur yang tepat guna
5) Ibadah raya yang membangkitkan inspirasi
6) Tim kecil yang memenuhi seluruh kebutuhan
7) Penginjilan yang sesuai kebutuhan
8) Hubungan yang penuh kasih
b. Berdampak
Kondisi individu/institusi agar “berdampak” secara optimal
1) Berkarya berdasarkan panggilan-Nya (calling)
2) Berinteraksi sesuai konteksnya (Charakter)
3) Berkembang sesuai dengan jamannya (Competence)
4) Berpedoman pada tuntunan-Nya (Charisma)
c. Bermitra
Kunci-kunci “Bermitra” yang efektif

2
Ibid. hlm.74
1) Fasilitator yang ber misi/visi kesatuan
2) Hubungan saling percaya dan ingin memberi
3) Berasal dari pelayanan bervisi & identitas jelas
4) Terfokus pada sasaran & strategi, bukan struktur
5) Sasaran jelas, rencana terinci & komunikasi terencana
6) Dimulai dari persamaan hingga memanfaatkan perbedaan
7) Doa dan makan-bersama, sebagai pengikat kebersamaan
5. Spesifikasi Gereja Penyebaran Injil
“Penggerak Kerasulan dan Kenabian”
6. Motto Gereja Penyebaran Injil :
“Setia sampai akhir”3

3
Garis Besar Program Kerja 2010-2015 Gereja Penyebaan Injil Jakarta, 2010, hlm.1

Anda mungkin juga menyukai