Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, ini

adalah pengertian yang sangat sederhana dan sekaligus mendasar dari demokrasi.

Pemerintahan ada karena rakyat ada, yang memerintah adalah rakyat dan tujuan

adanya pemerintahan itu pun untuk rakyat. Kita berbicara mengenai pemerintahan

rakyat, yang memerintah itu adalah rakyat dan yang dipilih oleh rakyat.

Demokrasi harus bisa dibangun bukan hanya sebagai sistem politik, tetapi

juga harus diyakini sebagai cara hidup dan bagian dari jati diri. Untuk itu

demokrasi haruslah membuahkan hasil yang dapat dirasakan oleh masyarakat,

yaitu berupa kesejahteraan yang lebih meningkat, kualitas penyelengaraan negara

yang lebih baik, serta ketenteraman masyarakat yang lebih terjamin. Negara

demokrasi membutuhkan masyarakat demokratis. Keduanya saling membutuhkan

satu sama lain. Tanpa ada sistem demokrasi, tidak ada masyarakat demokratis,

begitu pula sebaliknya. Karena itu, menjadikan demokrasi sebagai bentuk negara

dan kehidupan adalah tugas yang terus menerus dan berkelanjutan.

Pada dasarnya prinsip demokrasi adalah setiap orang dapat ikut serta dalam

proses pembuatan keputusan politik (Gould, 1990). Prinsip ini hanya mungkin

dilakukan kalau jumlah anggota kelompoknya kecil. Prinsip dasar ini mustahil

diterapkan dalam organisasi yang besar seperti negara. Sebagai bentuk negara,

demokrasi seperti telah dibahas sebelumnya harus menjamin kebebasan rakyat

dan keadilan sosial. Tugas ini tidak hanya milik lembaga-lembaga pemerintah,

Universitas Sumatera Utara


namun rakyat juga harus ikut andil di dalamnya. Untuk itu, sistem perwakilan

tetap dipandang sebagai alternatif yang terbaik dalam suatu sistem demokrasi.

Memilih sebagian rakyat untuk menjadi pemerintah adalah suatu proses dan

kegiatan yang seyogianya merupakan hak semua rakyat yang kelak diperintah

oleh orang-orang yang terpilih itu. Proses dan kegiatan memilih itu

disederhanakan penyebutanya menjadi Pemilihan, dan semua rakyat harus ikut,

tanpa dibeda-bedakan, maka dipakailah sebutan Pemilihan Umum disingkat

dengan Pemilu.

Pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat merupakan

perwujudan pengembalian hak-hak dasar rakyat dalam memilih pemimpin di

daerah. Masyarakat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan

pemimpin daerah secara langsung, bebas dan rahasia tanpa intervensi (otonom,

seperti mereka memilih lembaga eksekutif maupun wakil rakyat dalam lembaga

legislatif), dan mendekatkan proses pengambilan keputusan sedekat mungkin

kepada masyarakat.

Pemilihan umum terkait dengan partai politik dan masyarakat, bahwa

pemilu merupakan wadah persaingan bagi partai politik untuk merebut simpati

masyarakat, tentunya partai politik harus mengerti apa yang menjadi faktor-faktor

pendorong masyarakat untuk memilih suatu partai politik tertentu. Memahami

pemilihan umum itu secara utuh kita juga harus mengerti perilaku pemilih dalam

pemilu. Perilaku pemilih ini merupakan tindakan dari masyarakat dalam

menentukan pilihannya dalam pemilu.

Penelitian ini menitik beratkan pada masyarakat yang menjadi pelaku

pemilih, hal ini disebabkan oleh sistem demokrasi yang menuntut masyarakat

Universitas Sumatera Utara


membuat pilihan sendiri dan menentukan bagaimana peran serta masyarakat

tersebut dalam proses pembuatan kebijakan dan ikut dalam berlangsungnya

pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Perilaku masyarakat ini

dibentuk oleh persepsi individu dalam lingkungan sosial, secara fungsional

persepsi dapat diartikan bersifat memilih.

Menurut Bruner (1957) 1, persepsi adalah proses kategorisasi, dimana individu


dirangsang oleh suatu masukan tertentu (objek-objek diluar, peristiwa dan lain-
lain), proses menghubungkan ini adalah proses yang aktif dimana individu
mencari masukan, mengenali dan memberi arti kepada masukan tersebut, dengan
demikan persepsi juga bersifat menarik kesimpulan.
Beberapa tahapan dalam pengambilan keputusan dalam persepsi,
1. Kategori primitif, dimana obyek atau peristiwa yang diamati di isolasi dan
ditandai berdasarkan ciri-ciri khusus. Pada tingkatan ini pemberian arti
kepada obyek persepsi masih sangat minimal
2. Mencari tanda, dimana si pengamat secara seksama memeriksa lingkungan
untuk mencari informasi tambahan untuk memungkinkannya melakukan
kategorisasi yang tepat
3. Konfirmasi, terjadi setelah obyek mendapatkan penggolongan
sementaranya. Pada tahapan ini si pengamat tidak lagi terbuka untuk
semabrangan memasukkan, melainkan menerima tambahan informasi yang
memperkuat keputusannya, tahapan ini dapat diartikan sebagai tahapan
seleksi.
4. Konfirmasi tuntas, pengakhiran pencarian tanda-tanda dan pengubahan
terhadap tanda-tanda yang memperkuat pengambilan keputusan.

Persepsi individu dalam masyarakat akan menambah preferensi seseorang

terhadap pilihan politiknya. Preferensi masyarakat tersebut dapat digolongkan atas

pilihan kepada partai politik tertentu atau kepada salah satu calon yang ikut

berkompetisi dalam pemilihan umum tersebut baik pemilihan kepala negara atau

pemilihan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah Kabupaten Karo Tahun 2010

menjadi fokus utama dalam penelitian ini.

Sejak diberlakukannya pemilihan kepala daerah secara langsung di

Indonesia, Kabupaten Karo melaksanakan sistem pemilihan secara langsung untuk

kedua kalinya, dimana sebelumnya pada periode 2005-2010. Pembelajaran

tentang pemilihan secara langsung pada periode sebelumnya meningkatkan


1
Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-Teori Psikologi Sosial, Jakarta, Rajawali Pers, 1983, hal.
86-88

Universitas Sumatera Utara


parisipasi masyarakat untuk memiliki referensi terhadap calon yang diusung partai

politik ataupun yang independen pada pemilihan umum kepala daerah secara

langsung di Kabupaten Karo pada tahun 2010.

Ada beberapa hal yang melatarbelakangi pemilihan pokok penelitian atau

pengkajian ini. Pertama, dalam kandidat calon wakil bupati ada calon yang berasal

suku Batak Toba, hal ini menjadi menarik bagi peneliti sebab bagaimana seorang

suku Batak Toba ikut bersaing dalam pemilukada yang bukan merupakan daerah

asal mereka dan bagaimana persepsi suku Batak yang ada di Kabupaten Karo atas

adanya calon Wakil Bupati yang ikut bersaing tersebut.

Hal ini menjadi menarik sebab dalam struktur budaya masyarakat Batak

Toba yang memandang suatu jabatan bukan berdasarkan kekayaan dan besar

pengaruh seseorang untuk memangku jabatan tetapi pada keyakinan masyarakat

kepada sosok yang dapat di yakini untuk memimpin mereka.

Perlu di jelaskan terlebih dahulu arti dan makna apa yang diberikan pada jabatan
dalam kebudayaan Batak. Menurut pengertian umum, jabatan yang dipegang
seseorang bukanlah milik pribadinya. Jabatan atau kedudukan adalah milik
masyarakat yang diberikan untuk dipegang sesuai dengan ketentuan sosial
politik yang berlaku. Karena itu, kalau pemegang jabatan itu berhalangan karena
sakit, mati atau tidak sanggup lagi melakukan tugas-tugasnya, dia dapat di ganti
atau di wakilkan. Dengan demikian, jelas bahwa jabatan itu tidak di diadakan
untuk orang-orang tertentu saja dan bukan milik seseorang tapi hak milik umum.
Pada dasarnya, orang Batak tidak menganggap dirinya sebagai pribadi yang
berdiri sendiri, tetapi sebagai bagian dari satu kesatuan Bangso Batak. Oleh
karena itu, dia akan berfikir dalam bentuk kami, bukan dalam bentuk aku,
karena dia merasa dirinya satu dengan semua orang Batak. Faktor pengikat yang
terpenting dalam sistem pemikitan itu adalah hubungan darah dan kesamaan
negeri asal (Bona Pasogit) yang dianggap sebagai tempat lahirnya. Oleh sebab
itu, mereka merasa dirinya sebagai anggota dari suatu keluarga besar yang wajib
mengalami setiap kesenangan dan kesedihan secara bersama-sama tanpa
mengadakan batasan antara si kaya dan si miskin dan antara kepentingan pribadi
dan kepentingan umum.
Mereka berpendapat bahwa kebahagiaan seseorang harus juga merupakan
kebahagiaan masyarakat suku secara bersama-sama. Oleh karena itu, syarat
utama bagi setiap kampung ialah, semua keperluan yang di butuhkan
penduduknya harus dikerjakan oleh penduduk sendiri, baik secara pribadi
maupun bersama-sama. 2

2
Pdt. Dr. A. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, Jakarta, PT. BPK
Gunung Mulia, 1992 hal. 34

Universitas Sumatera Utara


Kedua, dalam konteks ini menjadi pandangan adalah jati diri manusia yan

membentuk masyarakat dan konteksnya, baik lingkungan sosial dan maupun

historinya. 3 Masyarakat terbentuk dengan ciri khasnya masing-masing bukan

terbentuk secara alamiah tetapi berdarsarkan ciptaan manusia. Menurut Thomas

Hobbes masyarakat bukanlah muncul berdasarkan kodrat, tetapi hanyalah ciptaan

manusia sendiri saling mengadakan kontrak sosial untuk membentuk masyarakat

tertentu.4

Masyarakat yang terbentuk tersebut dengan ciri khasnya tersebut menjadi

identias dari masyarakat dan ciri khas tersebut dapat dikatakan dengan etnis.

Dalam penelitian ini yang ingin dilihat adalah perilaku pemilih.

Melalui pemilu, rakyat memunculkan para calon pemimpin dan menyaring

para calon-calon tersebut berdasarkan nilai yang berlaku. Keikutsertaan rakyat

dalam pemilu, dapat juga dipandang sebagai wujud partisipasi dalam proses

pemerintahan. Pemilu merupakan wujud yang paling nyata dari demokrasi, sebab

melalui pemilu, masyarakat ikut menentukan kebijaksanaan dasar yang akan

dilaksanakan pemimpin terpilih. Fokus dari sebuah masyarakat demokratis adalah

tanggungjawab terhadap diri sendiri dan ikut serta bertanggungjawab dimana ikut

bertanggungjawab dapat dilakukan dalam banyak bentuk, khususnya melalui

aktivitas dalam perkumpulan atau organisasi, dengan adanya tindakan atau

kegiatan tersebut akan mempermudah pencapain suatu masyarakat demokrasi.

Dalam sebuah negara yang menganut paham demokrasi, pemilu pun jadi sebuah

kata kunci. Tak ada demokrasi tanpa diikuti pemilu.

3
Dr. P. Hardono Hadi, Jatidiri Manusia, Yogyakarta, Kanisius, 1996, hal 31
4
Ibid, hal 114

Universitas Sumatera Utara


Pemahaman kita tentang pemilu terutama dalam kontruksi demokrasi yakni

pemilihan umum dapat dipandang sebagai suatu prosedur untuk mengumpulkan

preferensi-preferensi tertentu. Salah satu prosedur itu adalah pemungutan suara.

Kedudukan pemungutan suara dalam pemilu dilihat sebagai sesuatu yang penting

terutama dalam pengertian substantif demokrasi.

Sebenarnya fenomena politik dapat dijelaskan dari berbagai sudut pandang

namun bisa dikaitkan dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada dan perilaku

aktor-aktor politik serta perilaku pemilih maka pendekatan yang dipakai adalah

pendekatan behaviorism. Perhatian utama pendekatan ini terletak pada hubungan

antara pengetahuan politik dengan tindakan politik termasuk bagaimana proses

pembentukan pendapat politik, bagaimana kecakapan politik diperoleh dan

bagaimana cara orang menyadari peristiwa-peristiwa politik. 5

Bahwa ada beberapa faktor utama yang membentuk perilaku pemilih di

Indonesia salah satunya adalah faktor etnisitas. 6 Kelompok etnis mempunyai

peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi, dan orientasi seseorang. Adanya

rasa kesukuan atau kedaerahan mempengaruhi dukungan seseorang terhadap

partai politik. Etnis dapat mempengaruhi loyalitas seseorang terhadap partai

tertentu.

Di Indonesia secara relatif terdapat kesetiaan etnis (ethnic loyalty) yang

relatif tinggi dan bahwa partai politik Indonesia dipengaruhi oleh etnisitas. 7

Kesetiaan etnis di Indonesia masih tampak signifikan dan mengabaikan faktor

etnis dapat menimbulkan kesalah pahaman mengenai politik di Indonesia. Maka

5
David. E. Ater, Pengantar Analisa Politik, Jakarta: LP3ES, 1998, hal.209
6
Sudijono Sastroatmodjo, Perilaku Politik, Semarang: IKIP Semarang Press, 1995, hal. 14
7
Leo Suryadinata, Penduduk Indonesia, Etnis dan Agama Dalam Era Perubahan Politik, Jakarta :
LP3ES, 2003, hal. 182.

Universitas Sumatera Utara


dapat dikatakan hal diatas menunjukan adanya pengaruh etnisitas terhadap

perilaku politik seseorang, demokrasi tidak hanya didasari pada perubahan

institusi atau perilaku elit politik, melainkan keberlangsungannya akan tergantung

pada nilai dan kepercayaan dari masyarakat awam di wilayahnya.

Perilaku pemilih dari sesuatu masyarakat dipengaruhi dan mempunyai

hubungan dengan etnisitas/kesukubangsaan, karena etnisitas itu menjadi salah satu

unsur pembentuk perilaku pemilih, selain faktor lain, seperti pengaruh luar

melalui difusi dan akulturasi, pendidikan, perubahan sosial dan lain-lain. Namun

bagi bangsa Indonesia faktor etnisitas itu dalam kehidupan politik sampai

sekarang masih menjadi salah satu faktor yang terpenting. Kesadaran akan

etnisitas masih cukup besar dan berpengaruh dalam kehidupan individu atau

perorangan maupun dalam kehidupan kelompok atau masyarakat. Manusia yang

membentuk masyarakat menjadi konteks, strategi membangun masyarakat atau

menjamin dan meningkatkan kemasyarakatan itu. Dalam konteks ini adalah jati

diri manusia dan konteksnya, baik lingkungan sosial dan maupun historinya. 8

Masyarakat itu sendiri tidak dapat melepaskan faktor etnisitas di dalam

menentukan/melihat preferensi terhadap calon-calon Kepala Daerah yang bersaing

dalam Pemilihan Kepala Daerah secara langsung tersebut. Dengan demikian

perilaku politik ada kaitannya dengan etnisitas.

1.2. Perumusan Masalah

Sesuai dengan uraian yang terdapat dalam latar belakang, maka

permasalahan dari proposal penelitian ini adalah:

8
Ibid, hal 31

Universitas Sumatera Utara


1. Persepsi masyarakat Batak Toba terhadap adanya pasangan calon dari

suku Batak Toba yang ikut bersaing dalam pemilihan kepala daerah dan

preferensi politik masyarakat Batak Toba.

2. Berkaitan dengan permasalahan (1) adalah permasalahan “

bagaimanakah etnis Batak Toba di Berastagi menentukan pilihan politik

dalam Pemilihan Kepala Daerah pada tahun 2010”.

1.3. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun yang dijadikan ruang lingkup penelitian oleh penulis adalah sebagai

berikut:

1. Penelitian hanya dilakukan pada masyarakat etnis Batak Toba yang telah

berhak memilih dalam Pemilihan Kepala Daerah secara langsung

Kabupaten Karo tahun 2010 yang telah berusia 17 tahun keatas, atau

yang sudah pernah menikah

2. Organisasi-organisasi yang dimasuki atau yang di bentuk oleh orang

Batak Toba di Kabupaten Karo, khususnya di Kecamatan Berastagi

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1. Tujuan penelitian

Adapun tujuan penelitian yang akan dibuat oleh peneliti adalah :

1. Untuk mengetahui berapa banyak jumlah dukungan/suara etnis Batak

Toba pada pemilihan langsung Kepala Daerah yang berlangsung pada

27 Oktober 2010.

Universitas Sumatera Utara


2. Untuk menjelaskan secara umum persepsi dan perilaku politik dari etnis

Batak Toba dalam kaitannya dengan pilihan calon Bupati dan Wakil

Bupati pada Pilkada Bupati Karo tahun 2010.

1.4.2. Manfaat Penelitian

Layaknya sebuah penelitian ilmiah tentunya diharapkan memiliki manfaat

baik bagi penulis bahkan bagi orang yang membaca laporan penelitian ini.

Adapun manfaat dari penelitian yang ingin dicapai oleh penulis adalah :

1. Bagi penulis sendiri penelitian ini guna mengembangkan kemampuan

dalam menulis karya ilmiah dalam bidang Perilaku Politik dan

menganalisis perkembangan politik yang ada dalam masyarakat.

2. Secara Teoritis maupun secara Metodologis studi ini diharapkan dapat

memberikan sumbangan terhadap pendalaman studi Perilaku Politik

bagi yang membaca penelitian ilmiah ini.

3. Bagi instansi atau lembaga-lembaga politik kiranya dapat menjadi

bahan acuan atau referensi dalam konteks perilaku pemilih serta

persepsi yang dibangun oleh seseorang di dalam masyarakat.

1.5. Kerangka Teoritis

Setiap penelitian memerlukan titik tolak atau landasan berpikir untuk

memecahkan atau menyoroti masalah. 9 Kejelasan atau landasan berpikir itu

disebut teori. Teori diperlukan karena menjadi penuntun dalam menentukan

bahan-bahan yang diperlukan dan yang dikumpulkan melalui penelitian. Selain

daripada itu teori juga berfungsi sebagai alat analisis terhadap bahan-bahan yang

diperoleh melalui penelitian. Masri Singarimbun menjelaskan bahwa :


9
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2001, hal.
39.

Universitas Sumatera Utara


Teori adalah serangkaian asumsi, konsep, kontrak, definisi, dan proposisi untuk
menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan
hubungan antar konsep, ringkasnya teori adalah hubungan satu konsep dengan
konsep lainnya untuk menjelaskan gejala tertentu. 10

1.5.1. Teori Persepsi

Teori ini digunakan untuk menganalisa bagaimana persepsi yang timbul

dalam masyarakat dan membentuk referensi masyarakat dalam menentukan

pilihan poitik nya. Teori ini berada pada aspek kajian psikologi sosial. Psikologi

sosial adalah menguraikan kegitan-kegitan manusia dalam hubungannya dengan

situasi-situasi sosial, seperti situasi kelompok, situasi massa serta seterusnya. 11

Psikologi sosial mengamati kegiatan manusia dari segi-segi ekstern (lingkungan


sosial, fisik, peristiwa-peristiwa, gerakan-gerakan massa) maupun segi intern (
kesehatan fisik perorangan, semangat, emosi). Psikologi sosial juga dapat
menjelaskan bagaimana kepemimpinan tidak resmi dapat menentukan keputusan
dalam kebijaksanaan politik dan kenegaraan, bgaimana sikap (atitude) dan
harapan (expectation) masyarakat dapat melahiran tindakan-tindakan serta
tingkah laku yang berpegang teguh pada tuntutan-tuntutan sosial (conformity),
bagaimana motivasi kerja dapat ditinggkatkan sehingga memperbayak produksi
kerja melalui penanaman penghargaan terhadap waktu dan usaha. Betapa nilai-
nilai budaya yang bertahun-tahun lamanya diterima masyarakat dapat melahirkan
tingkah laku politik yang relatif stabil. Psikologi sosial juga dapat menerangkan
sikap dan reaksi kelompok terhadap keadaan yang dianggap baru, asing atau
yang bertentangan dengan konsensus masyarakat mengenai suatu gejala sosial
12
tertentu.

Persepsi adalah sekumpulan tindakan mental yang mengatur impuls-impuls

sensorik menjadi suatu pola bermakna. 13 Kemampuan persepsi adalah sesuatu

yang sifatnya bawaan dan berkembang pada masa yang sangat dini. Meskipun

kebanyakan kemampuan persepsi bersifat bawaan, pengalaman juga memaikan

peranan penting. Kemampuan bawaan tidak akan bertahan lama karena sel-sel

dalam syaraf mengalami kemunduran, berubah, atau gagal membentuk jalur

10
Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survai, Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, 1989. hal. 37.
11
DR. W.A. Gerungan, Dipl. Psych, Psikologi Sosial, Bandung, PT. Refika Aditama, 2004, hal. 2-
3
12
Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2008, hal. 24
13
Carol wade dan Carol Travis, Psikologi, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002, hal. 193

Universitas Sumatera Utara


sayraf yang layak. Secara keseluruhan, kemampuan persepsi kita ditanamkan dan

tergantung pada pengalaman. 14

1.5.1.1. Pengaruh Psikologi dan Budaya

Fakta bahwa beberapa proses persepsi tampak sebagai kemampuan bawaan

tidak berarti bahwa orang-orang mempersepsikan dunia dalam cara-cara yang

sama. Faktor-faktor psikologis kita dapat mempengaruhi bagaimana kita

mempersepsikan serta apa yang kita persepsikan. Berikut ini adalah beberapa
15
faktor yang memepengaruhi.

1. Kebutuhan. Ketika kita membutuhkan sesuatu, atau memiliki

ketertarikan pada suatu hal, atau mengingikannya, kita akan dengan

mudah mempersepsikan sesuatu berdasatkan kebutuhan ini.

2. Kepercayaan. Apa yang kita anggap sebagai benar dapat mempengaruhi

interpretasi kita terhadap sinyal sensorik yang ambigu

3. Emosi. Emosi dapat mempengaruhi interpretasi kita mengenai suatu

informasi sensorik.

4. Ekspektasi. Pengalaman masa lalu sering mempengaruhi cara kita

mempersepsikan dunia (Lachmann, 1996). Kecendrungan untuk

mempersepsikan sesuatu sesuai dengan harapan disebut sebagai set

persepsi. Set persepsi dapat sangat berguna membantu kita mengisi

kata-kata dalam sebuah kalimat, misalnya, sebelum kita sepenuhnya

mendengarkan keseluruhan kalimat tersebut. Tetapi set persepsi juga

dapat menyebabkan terjadinya kesalahan persepsi.

14
Ibid, hal. 226-228
15
Op Cit, hal. 228

Universitas Sumatera Utara


Semua kebutuhan, kepercayaan, emosi, dan ekspektasi kita di pengaruhi

oleh budaya di mana kita tinggal. Budaya yang berbeda memberikan kita

kesempatan untuk bertemu dengan lingkungan yang berbeda. Budaya juga

mempengaruhi persepsi dengan membentuk streotip, yang mengarahkan perhatian

kita, dan mengatakan pada diri kita apa yang penting untuk disadari atau diabai-

kan.

1.5.1.2. Persepsi Menurut Psikologi Lingkungan Hidup

Menurut undang-undang No. 4/1982 tentang lingkungan hidup, yang

dimaksud dengan lingkungan hidup adalah 16:

Kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup,
termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelang-
sungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya.

Dalam kenyataannya, lingkungan hidup itu terdiri atas objek-objek yang

harus ditangkap keberadaannya melalui indra-indra, seperti indra penglihatan

menangkap cahaya dan benda-benda, indra pendengaran menangkap gelombang

suara, indra pengecap menangkap rasa, dan indra temperatu menangkap suhu

udara. Pengindraan itu tidak berdiri sendiri melainkan merupakan kombinasi dari

berbagai alat indra.

Penjelasan mengenai bagaimana manusia mengerti dan menilai lingkungan

dapat didasarkan pada dua cara pendekatan, pendekatan pertama adalah yang

dinamakan pandangan konvensional. Secara umum, pandangan konvensional ini

menganggap persepsi sebagai kumpulan pengindraan, maka kumpulan

pengindraan itu diorganisasikan secara tertentu, dikaitkan dengan pengalaman

masa dan ingatan masa lalu, dan diberi makna tertentu sehingga kita bisa

mengenal. Cara pandang seperti ini dinamakan juga pendekatan konstruktivisme.

16
Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Lingkungan, Jakarta: Grasindo, 1992, hal. 45

Universitas Sumatera Utara


Aktivitas mengenali objek atau benda itu sendiri adalah aktivitas mental, yang

disebut juga sebagai aktivitas kognisi. Jadi, sebetulnya otak tidak secara pasif

menggabung-gabungkan kumulasi pengalaman dan memori, melainkan aktif

untuk menilai, memberi makna, dan sebagainya. Karena adanya fungsi aktif dari

kesadaran manusia, pandangan konvensional ini kadang-kadang digolongkan juga

kepada pandangan funsionalisme.

Pendekatan kedua adalah pendekatan ekologik. Pendekatan ini di

kemukakan oleh Gibson (Fisher et al¸1984:24). Menurut Gibson individu tidaklah

menciptakan makna-makna dari apa yang diindrakannya karena sesungguhnya

makna itu telah terkandung dalam stimulus itu sendiri dan tersedia untuk

organisme yang menyerapnya. Ia berpendapat bahwa persepsi terjadi secara

spontan dan langsung. Jadi, bersifat holistik. Spontanitas itu terjadi karena

organisme selalu menjejaki (eksplorasi) lingkungannya dan dalam penjejekan itu

ia melibatkan setiap objek yang ada du lingkungannya dan setiap objek menonjol-

kan sifat-sifatnya yang khas dan untuk organisme bersangkutan.

Proses terbentuknya suatu persepsi bahwa manusia mengindrakan objek

yang ada lingkungannya, ia memproses pengindraannya itu dan timbulah makna

tentang objek itu pada diri manusia. Tahapan awal hubungan manusia dengan

lingkungannya adalah kontak fisik antara individu dengan objek-objek

lingkungannya. Objek tampil dengan kemanfaatannya masing-masing, sedangkan

individu datang dengan sifat individualnya, pengalaman masa lalunya, bakat,

minat, sikap, dan berbagai cara kepribadiannya masing-masing pula. Hasil

interaksi individu dengan objek menghasilkan persepsi individu tentang objek itu.

Jika persepsi itu berada dalam batas-batas opitmal maka individu dikatakan dalam

Universitas Sumatera Utara


keadaan homeostatis, yaitu keadaan yang serba seimbang. Keadaan ini biasanya

ingin dipertahankan oleh individu karena menimbulkan perasaan-perasaan

menyenangkan. Sebaliknya, jika objek dipersepsikan sebagai di luar batas-batas

optimal maka individu itu akan mengalami stress pada dirinya.

Tekanan-tekanan energi dalam dirinya meningkat sehingga orang itu harus

melaksanakan coping untuk menyesuaikan dirinya atau menyesuaikan lingkungan

pada kondisi dirinya. Sebagai hasil coping ada dua kemungkinan yang bisa

terjadi. Pertama, tingkah laku coping itu tidak membawa hasil seperti yang di-

harapkan. Gagalnya tingkah laku coping ini menyebabkan stress berlanjut dan

dampaknya dapat stress berlanjut dan dampaknya bisa berpengaruh pada kondisi

individu maupun persepsi individu. Kemungkinan kedua, tingkah laku coping

yang berhasil. Dalam hal ini terjadi penyesuaian antara diri individu dengan

lingkungannya atau penyesuaian keadaan lingkungan dengan pada diri individu.

Dampak dari keberhasilan ini juga bisa mengenai individu maupun persepsinya.

Jika dampak coping yang berhasil berulang-ulang maka kemungkinan terjadi

penurunan tingkat toleransi terhadap kegagalan atau kejenuhan. Di samping itu

terjadi peningkatan kemampuan untuk menghadapi stimulus berikutnya. Kalau

efek kegagalan terjadi berulang-ulang kewaspadaan akan meningkat. Namun,

pada satu titik akan terjadi ganguan mental yang lebih serius seperti keputusasaan,

kebosanan persaan tidak berdaya, dan menurunya prestasi sampai pada titik

terendah.

Universitas Sumatera Utara


1.5.1.3. Pengenalan (Kognisi)

A. Pengindraan dan Pengamatan

Pada uraian diatas telah dijelaskan bahwa persepsi seseorang itu ada bukan

hanya bawaan dari lahir tetapi di pengaruhi oleh budaya dan lingkungan dimana

individu itu berada. Proses terbentuknya suatu persepsi adalah adanya rangsangan

atau stimulus yang dapat menyadari keadaan sekitar, merupakan persoalan yang

berhubungan dengan alat indra dan pengamatan. Beberapa syarat yang harus di

penuhi agar dapat menyadari sesuatu yaitu: 17

1. Merupakan suatu kompleks (suatu keadaan yang kabur, belum jelas


Pengindraan dan pendirian ialah penyaksian indra kita atas rangsangan yang).
Dalam pengindraan bagian-bagian dari rangsangan belum terurai, masih
menjadi satu kesatuan bahkan diri kita seakan-akan termasuk di dalamnya.
Jadi jiwa kita masih bersifat pasif.
2. Pengamatan (penyerapan, persepsi): ialah hasil perbuatan jiwa secara aktif
dan penuh perhatian untuk menyadari adanya rangsangan. Pada umumnya
pengamatan dilakuakan pada rangsangan-rangsangan yang menarik perhatian
individu. Jadi dalam pengamatan jiwa kita aktif.
3. sintesa dan adaptasi. Sintesa adalah suatu keadaan orang menyadari sesuatu
kesan tidak melalui indra yang semestinya. Adaptasi ialah penyesuain diri
dengan keadaan yang baru.

B. Tanggapan

Tanggapan sebagai salah satu fungsi jiwa yang pokok, dapat diartikan

sebagai gambaran ingatan dari pengamatan, ketika objek yang diamati tidak lagi

dalam ruangan dan waktu pengamatan. Tanggapan di sebut laten (tersembunyi,

belum terungkap) apabila tanggapan itu berada di bawah sadar, atau tidak kita

sadari, dan tanggapan disebut aktual apabila tanggapan tersebut kita sadari.

Apabila tanggapan-tanggapan yang kita sadari langsung berpengaruh pada

kehidupan kejiwaan (berfikir, perasaan, dan pengenalan), maka fungsi tanggapan

di sebut fungsi primer. Sebaliknya jika tanggapan-tanggapan tidak lagi disadari

dan ada dalam bawah sadar itu berpengaruh terhadap kehidupan kejiwaan kita

17
Drs. H. Abu Ahmadi, Psikologi Umum, Jakarta, PT. RINEKA CIPTA, 2009, hal. 65-90

Universitas Sumatera Utara


maka fungsi tanggapan itu disebut sebagai fungsi sekunder. Bilamana fungsi

tersebut menyangkut pengalaman-pengalam masa lampau, yang sedikit atau

banyak pasti memberikan pengaruh terhadap kepribadian seseorang.

C. Reproduksi dan Asosiasi

Reproduksi ialah pemunculan tanggapan dari keadaan di bawah sadar ke

dalam keadaan sadar, ketika mengingat kembali sesuatu yang kita amati dan kita

alami. Reproduksi dapat juga terjadi oleh adanya perangsang atau pengaruh dari

luar, reproduksi juga muncul dengan sendirinya atau tidak dengan sengaja dan

terjadi secara spontan, muncul tidak dengan sengaja.

Asosiasi tanggapan ialah sangkut paut antara tanggapan saru dengan yang

lain di dalam jiwa. Tanggapan yang berasosiasi berkecendrungan untuk

bermereproduksi, artinya apabila yang satu disadari maka yang lain ikut disadari

pula. Dalam asosiasi hanya ada satu hukum yang dikenal yaitu hukum kontiguitas.

Tanggapan-tanggapan akan teasosiasi satu sama lain apabila mereka itu kontinu,

berdampingan atau berbatasan satu sama lain, karena timbul bersamaan (konsisten

secara suksesi di dalam kesadaran).

Pada proses asosiasi, bisa berlangsung hambatan emosional, berupa, rasa

malu, kecemasan, rasa minder, rasa takut, yang menghambat kelancaran proses

reproduksi dan asosiasi.

D. Ingatan

Ingatan ialah kekuatan jiwa untuk menerima, menyimpan, dan mereproduksi

kesan-kesan. Dengan adanya kemampuan untuk mengingat pada manusia, berarti

ada suatu indikasi bahwa manusia mampu menyimpan dan menimbulkan kembali

sesuatu yang pernah dialami, namun tidak semua pengalaman itu dapat di ingat

Universitas Sumatera Utara


karena ingatan mempunyai kemampuan yang terbatas. Salah satu produk ingatan

ialah mengenal kembali, apa yang kita amati sekarang ini senyatanya pernah kita

alami atau amati pada masa lampau. Mengenal kembali recognize ialah kesadaran

masa lampau sebagai akibat dari pengamatan dan hal ini di bantu oleh rangsangan

baik dari dalam maupun dari luar diri manusia.

E. Berfikir

Berfikir merupakan aktivitas psikis yang intensional dan terjdi apabila

seserang menjumpai masalah yang harus dipecahkan. Dalam berfikir seseorang

menghubungkan pengertian satu dengan pengertian lainnya dalam rangka

mendapatkan pemecahan masalah yang dihadapi dan berusaha menjawab

pertanyaan mengapa, untuk apa, dimana, bagaimana dan lain sebagainya.

Pengertian dapat dibedakan atas pengertian empiris yaitu pengalaman yang

didapat dalam kehidupan sehari-hari sehingga adanya perbedaan pengalaman

antara individu yang satu dengan individu yang lain. Pengertian logis biasanya di

peroleh dengan aktivitas pikir dengan sadar dan sengaja, dalam memahami

sesuatu, karena pengertian logis ini banyak di gunakan dalam kalangan ilmu

pengetahuan maka disebut juga pengertian ilmiah.

F. Inteligensi

Intelegensi berasal dari bahasa latin intelligere yang berarti menghubungkan

atau menyatukan satu sama lain. Menurut panitia istilah pedagogik yang

dimaksud dengan intelegensi ialah daya menyesuaikan diri dengan keadaan baru

dengan mempergunakan alat-alat berfikir menurut tujuannya ( Stern, Kamus

Pedagogik, 1953). Jadi inndividu itu dikatakan intilegen kalau respon yang

diberikan itu sesuai dengan stimulus yang diterimanya. Untuk memberikan respon

Universitas Sumatera Utara


yang tepat, organisme harus memiliki lebih banyak hubungan stimulus dan

respon, hal tersebut dapat di peroleh dari hasil pengamatan yang diperoleh dari

hasil pengalaman yang diperolehnya dan hasil respon yang telah lalu.

1.5.2. Etnis

Menurut Em Zul Fajri dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia bahwa etnis

berkenaan dengan kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang

mempunyai arti atau kedudukan karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan

sebagainya. Sedangkan menurut Ariyuno Sunoyo dalam Kamus Antropologi,

bahwa: “Etnis adalah suatu kesatuan budaya dan territorial yang tersusun rapi dan

dapat digambarkan ke dalam suatu peta etnografi”. 18

Setiap kelompok memiliki batasan-batasan yang jelas untuk memisahkan antara


satu kelompok etnis dengan etnis lainnya. Menurut Koentjaraningrat, konsep
yang tercakup dalam istilah etnis adalah golongan manusia yang terikat oleh
kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan, sedangkan kesadaran dan
19
identitas seringkali dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga.

Suku bangsa yang sering disebut etnik atau golongan etnik mempunyai

tanda-tanda atau ciri-ciri karekteristiknya.

Ciri-ciri tersebut terdiri dari: 20

1. Memiliki wilayah sendiri. Hak memiliki itu diperoleh dari para pendahulu yang
dianggap sebagai pemilik pertama atau terdahulu. Wilayah yang dimiliki itu
penting sekali karena merpakan jaminan keabsahan dan kebenaran
keanggotaan sukubangsa
2. Mempunyai struktur politik sendiri berupa tata pemerintahan dan pengaturan
kekuasaan yang ada
3. Adanya bahasa sendiri yang menjadi alat komunikasi dalam interaksi. Selain
alat komunikasi bahasa tersebut dianggap juga sebagai idetintas sukubangsa.
Bahasa sukubangsa tersebut masih sering digunakan dalam interaksi antara
anggota sukubangsa, khususnya dalam acara dan upacara kesukubangsaan,
seperti upacara perkawinan, upacara kematian, dan lain-lain.
4. Mempunyai seni sendiri (seni tari lengkap dengan alat-alatnya, cerita rakyat,
seni ragam hias dengan pola khas tersendiri)

18
Ariyuno Sunoyo, Kamus Antropologi, Jakarta, Antropologi Press, 1985.
19
Koentjaranigrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1982,
hal. 58.
20
Payung Bangun, Sistem Sosial Budaya Indonesia, Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UKI, 1998, hal. 63

Universitas Sumatera Utara


5. Seni dan teknologi arsitektur serta penataan pemukiman. Berbagai bentuk
rumah dan bangunan lain dapat ditemukan menunjukkan kekhasan arsitektur
masing-masing sukubangsa
6. Sistem filsafat sendiri yang menjadi landasan pandangan, sikap dan tindakan.
Filsafat tersebut terdapat sebagai kandungan kebudayaannya dan banyak yang
merupakan nilai yang menjadi pokok orientasi mereka
7. Mempunyai sistem religi (kepercayaan, agama) sendiri.

Etnisitas secara substansial bukan sesuatu yang ada dengan sendirinya tetapi

keberadaannya terjadi secara bertahap. Etnisitas adalah sebuah proses kesadaran

yang kemudian membedakan kelompok kita dengan mereka. Basis sebuah

etnisitas adalah berupa aspek kesamaan dan kemiripan dari berbagai unsur

kebudayaan yang dimiliki, seperti misalnya adanya kesamaan dan kemiripan dari

berbagai unsur kebudayaan yang dimiliki, ada kesamaan struktural sosial, bahasa,

upacara adat, akar keturunan, dan sebagainya. Berbagai ciri kesamaan tersebut,

dalam kehidupan sehari-hari tidak begitu berperan dan dianggap biasa. Dalam

kaitannya, etnisitas menjadi persyaratan utama bagi munculnya strategi politik

dalam membedakan “kita” dengan “mereka”. 21

Menguatanya identitas kesukuan memepunyai berbagai konsekuensi. Dua

jenis konsekuensi antara lain pertama, adakah menjaukan diri atau bahkan keluar

dari tatanan negara bangsa dan kedua adalah berusaha mendudukkan orang sesuku

dalam pemerintahan negara-bangsa, hal ini dapat kita lihat dalam realitas

kehidupan sehari-hari di dalam jajran pemerintahan dari pusat hingga ke daerah

dimana para pejabat lebih senang mendudukkan orang di sekitarnya yaitu orang

yang seetnis atau sedaerah dengannya.

21
Ivan, A, Hadar, “Etnisitas dan Negara Bangsa”, Kompas, 29 Mei 2000.

Universitas Sumatera Utara


1.5.3. Perilaku Politik

Perilaku politik ialah segala perilaku yang berkaitan dengan proses politik. 22

Sebagaimana yang dapat dilihat dalam kampanye pemilihan umum, dalam

penentuan dukungan yang diberikan dalam pemilihan, dalam pilihan keanggotaan

organisasi atau partai politik dan lain sebagainya. Sedangkan Perilaku memilih

berkaitan dengan tingkah laku individu dalam hubungannya dengan proses

Pemilihan Umum. Menurut Plato dan Nelson menyebutkan sebagai electoral

activity, yakni termasuk pemberian suara (voting), bantuan kampanye, bekerja

dalam suatu pemilihan, menarik masuk atas nama calon, atau tindakan lain yang

direncanakan untuk mempengaruhi proses Pemilihan Umum.

Karakteristik sosial seperti status sosial, ekonomi, kelompok, ras, etnis, usia,

jenis kelamin dan agama baik hidup dipedesaan ataupun diperkotaan termasuk

dalam organisasi sukarela akan mempengaruhi perilaku politik warga negara. Ciri

yang dimiliki secara kolektif yaitu memiliki perilaku pendorong dalam

mempengaruhi partisipasi seseorang. 23

Mengapa seseorang melakukan tindakan politik atau terlibat efektif dalam

tindakan politik tertentu dan mengapa yang lain apatis? Mengapa seseorang

memilih partai politik tertentu dan tetap konsisten dari satu pemilihan umum ke

pemilihan umum berikutnya sementara yang lainnya berubah-ubah pilihan

politiknya dari waktu ke waktu? Sederetan pertanyaan tersebut dan lainnya yang

ada akan muncul apabila kita hendak menganalisis perilaku pemilih dalam

pemilihan umum.

22
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992,
hal.15
23
Sudijono Sastroatmojo,Op.cit., hal. 16

Universitas Sumatera Utara


1.5.3.1. Ruang lingkup perilaku politik

Dalam pelaksanaan pemilu di Negara ataupun dalam pelaksanaan pilkada

langsung di suatu daerah, perilaku pemilih dapat berupa perilaku masyarakat

dalam menentukan sikap dan pilihan dalam pelaksanaan pemilu atau pilkada

tersebut hal ini jugalah yang membuat digunakannya teori perilaku politik dalam

proposal penenlitian ini. Perilaku politik dapat di bagi tiga yaitu: 24

1. Perilaku politik lembaga-lembaga dan para pejabat pemerintah, yang


bertanggung jawab membuat, melaksanakan dan menegakkan keputusan
politik.
2. Perilaku warga negara biasa, berhak mempengaruhi pihak pemerintah dalam
melaksanakan fungsinya karena apa yang dilakukan pihak pemerintah
menyangkut kehidupan masyarkat luas.
3. Tipologi kepribadian pemimpin, yaitu tipe-tipe kepribadian pemimpin otoriter,
Machivelist dan demokrat. Kajian terhadap perilaku politik sering kali
dijelaskan dalam kajian psikologis di samping pendekatan struktural fungsional
dan struktural konflik.

Perilaku aktor politik seperti perencanaan, pengambilan keputusan dan

penegakan keputusan dipengaruhi oleh berbagai dimensi latarbelakang yang

merupakan bahan dalam pertimbangan politiknya. Demikian juga warga negara

biasa dalam berperilaku politik juga dipengaruhi oleh berbagai faktor dan latar

belakang.

1.5.3.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik masyarakat adalah

sebagai berikut:

a. Perilaku politik, faktor politik ada empat faktor yang meliputi:

1. Lingkungan sosial politik tak langsung, seperti sistem politik, sistem

ekonomi, sistem budaya dan media massa.

24
Ibid hal. 132

Universitas Sumatera Utara


2. Lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan

membentuk kepribadian aktor politik seperti keluarga, agama,

sekolah dan kelompok pergaulan.

3. Struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu.

4. Faktor ini saling mempengaruhi aktor politik dalam kegiatan dan

perilaku politiknya, baik langsung maupun tidak langsung. 25

b. Faktor sosial, yaitu:

1. Komunikasi politik (Kompol), yaitu komunikasi yang mempunyai

konsekuensi politik baik secara actual maupun potensial, yang

mengatur kegiatan dalam keberadaan suatu konflik.

2. Kesadaran Politik, yang menyangkut minat dan pengetahuan

seseorang terhadap lingkungan masyarakat dan politik.

3. Pengetahuan masyarakat terhadap proses pengambilan keputusan.

4. Kontrol masyarakat terhadap kebijakan publik yakni masyarakat

menguasai kebijakan publik dan memiliki kewenangan untuk

mengelola suatu objek kajian tertentu.

Pembentukan perilaku politik seseorang salah satunya dipengaruhi oleh

lingkungan sosial dan ini bisa termasuk juga lingkungan etnis seseorang itu

dibesarkan. 26 Lebih lanjut lagi jika menggunakan pendekatan struktural untuk

mempelajari perilaku politik seseorang akan dikaitkan dengan suku atau

etnisitasnya. Hal ini juga tidak terlepas dari budaya politik yang dianut oleh etnis

tertentu, sehingga untuk menjelaskan perilaku politik seseorang terlebih dahulu

25
Mar’at, Sikap Manusia, Perubahan Serta Pengukurannya, Jakarta: Gramedia Widyasarana,
1992. Hal. 132.
26
Muhammad Asfar, “Beberapa Pendekatan Dalam Memahami Perilaku Memilih”, Jurnal Ilmu
Politik edisi no.16, Jakarta, PT.Gramedia Pustaka Utama,1996, hal. 47-48

Universitas Sumatera Utara


harus diketahui sejauh mana tingkat orientasi seseorang terhadap sistem politiknya

dengan kata lain perilaku politik seseorang dapat dipahami melalui budaya

politiknya.

Adapun pendekatan yang dibuat penulis adalah Pendekatan Sosiologis. 27

Pendekatan ini pada dasarnya menekankan peranan faktor-faktor sosiologis


dalam membentuk perilaku politik seseorang, pendekatan ini menjelaskan bahwa
karakteristik sosial dan pengelompokan sosial itu mempunyai peranan yang
cukup signifikan dalam menentukan perilaku pemilih. Karakter dan
pengelompokan sosial berdasarkan umur (tua-muda), jenis kelamin (Laki-
Perempuan), status sosioekonomi (seperti pendidikan, jenis pekerjaan,
pendapatan dan kelas), agama, etnik, bahkan wilayah tempat tinggal (misalnya
kota, desa, pesisir ataupun pedalaman).

Gerald Pomper 28 memperinci pengaruh pengelompokan sosial dalam kajian

voting behavior ke dalam dua variable yaitu predisposisi (kecenderungan), sosial

ekonomi, dan keluarga pemilih. Sosialisasi yang diterima seseorang pada masa

kecil sangat mempengaruhi pilihan politik mereka, terutama pada saat pertama

kali menentukan pilihan politik. Apakah preferansi politik ayah dan ibu

berpengaruh pada preferensi politik anak, sedangkan predisposisi sosial ekonomi

berupa agama yang dianut, tempat tinggal, kelas sosial, karakteristik demografis

dan sebagainya. Hubungan antara agama dengan perilaku pemilih nampaknya

sangat berpengaruh dimana nilai-nilai agama selalu hadir di dalam kehidupan

privat dan publik dianggap berpengaruh terhadap kehidupan politik dan pribadi

para pemilih. Hal ini biasanya berhubungan dengan status ekonomi seseorang.

Dalam studi-studi perilaku pemilih di negara-negara demokrasi, agama tetap

merupakan faktor sosiologis yang sangat kuat dalam mempengaruhi sikap pemilih

terhadap partai politik atau kandidat. Dalam hal ini agama diukur dari afiliasi

pemilih terhadap agama tertentu seperti Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik,

27
http://id.shvoong.com/law-and-politics/1916121-membaca-perilaku-pemilih/
28
Gerald Pomper, Voter’s Choice: Varieties of American Electoral Behavior, New York : Dod,
Mead Company, 1978, hal.198

Universitas Sumatera Utara


Hindu, Budha. Asumsinya bahwa para pemilih yang beragama Islam akan

cenderung memilih partai-partai Islam demikian juga yang beragama Kristen

Protestan akan memilih Partai Kristen dan seterusnya. 29

1.5.4. Partisipasi Politik

Digunakannya teori partispasi politik ini dalamproposal penelitian ini

adalah, karena tinkat partisiasi politik adalah faktor yang menentukan apakah

Pemilu ataupun Pilkada yang berlangsung berhasil atau tidak, semakin tinggi

tingkat partisipasi pemilih, maka tingkat keberhasilan Pemil ataupun Pilkada

semakin tinggi.

Dalam analisa Modern, partisipasi politik merupakan suatu masalah yang

penting dan banyak dipelajari terutama dalam hubungan dengan Negara-negara

berkembang. Pada awalnya studi mengenai partisipasi politik hanya memfokuskan

diri pada partai politik sebagai pelaku utama, akan tetapi dengan berkembangnya

demokrasi, banyak mundul kelompok masyarakat yang juga ingin berpartisipasi

dalam politik khususnya mengenai kebijakan umum. 30

Secara umum dapat dikatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan

seseorang atau kelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik.

Herbert Mc Closky berpendapat bahwa partisipasi politik adalah kegiatan-


kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil
bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak
langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum31
32
Berikut ini dikemukakan sejumlah karakteristik partisipasi politik:

Pertama, partisipasi politik berupa kegiatan atau perilaku luar individu warga
negara biasa yang dapat diamati, bukan perilaku dalam yang berupa sikap dan

29
William, Liddle dan Saiful Mujani, Politik Aliran Memudar, “Kepemimpinan Nasional
Menentukan Pilihan Partai Politik”, Kompas, 1 September 2000.
30
Miriam Budiarjo, Ibid. hal. 367.
31
Miriam Budiarjo, OP Cit.
32
Ramlan Surbakti, Ibid, hal. 141

Universitas Sumatera Utara


orientasi. Karena sikap dan orientasi tidak selalu termanifestasikan dalam
perilakunya.
Kedua, kegiatan tersebut diarahkan untuk mempengaruhi perilaku selaku
pembuat dan pelaksana keputusan politik. Seperti mengajukan alternatif
kebijakan umum, dan kegiatan mendukung atau menentang keputusan politik
yang dibuat pemerintah.
Ketiga, kegitan yang berhasil (efektif) maupun yang gagal mempengaruhi
pemerintah termasuk dalam konsep partisipasi politik
Keempat, kegiatan mempengaruhi kebijakan pemerintah secara langsung yaitu
mempengaruhi pemerintah dengan menggunakan perantara yang dapat
meyakikan pemerintah.
Kelima, mempengaruhi pemerintah melalui prosedur yang wajar dan tanpa
kekerasan seperti ikut memilih dalam pemilu, mengajukan petisi, bertatap
muka, dan menulis surat atau dengan prosedur yang tidak wajar seperti
kekerasan, demonstrasi, mogok kudeta, revolusi, dan lain-lain.

Di negara-negara demokrasi umumnya dianggap bahwa lebih banyak

partisipasi masyarakat, lebih baik. Dalam alam pikir ini, tingginya tingkat

partisipasi menunjukkan bahwa warga negara mengikuti dan memahami masalah

politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan itu, tingginya tingkat

partisipasi juga menunjukkan rezim yang sedang berkuasa memiliki keabsahan

yang tinggi, dan sebaliknya, rendahnya partisipasi politik di sutu Negara dianggap

kurang baik karena menunjukkan rendahnya perhatian warga terhadap masalah

politik, selain itu rendahnya partisipasi politik juga menunjukkan lemahnya

legitimasi dari rezim yang sedang berkuasa.

Partisipasi suatu bentuk kegiatan dibedakan atas dua bagian, yaitu: 33

1. Partisipasi aktif, yaitu kegiatan yang berorientasi pad aoutput dan input politik.
Yang termasuk dalam partisipasi aktif adalah, mengajukan usul mengenai suatu
kebijakan yang dibuat pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan untuk
meluruskan kebijakan, membayar pajak dan memilih pemimpin pemerintah.
2. Partisipasi pasif, yaitu kegiatan yang berorientasi pada output politik. Pada
masyarakat yang termasuk kedalam jenis partisipasi ini hanya menuruti segala
kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah tanpa mengajukan
kritik dan usulan perbaikan.

Kemudian terdapat masyarakat yang tidak termasuk kedalam kedua kategori

ini, yaitu masyarakat yang mengaggap telah terjadi penyimpangan sistem politik

dari apa yang telah meraka cita-citakan. Kelompok tersebut disebut apatis (golput)

33
Ramlan Surbakti, Ibid, hal. 143

Universitas Sumatera Utara


1.5.4.1. Konsep Partisipasi Politik

Konsep partisipasi politik menjadi penting pada masa demokrasi sekarang.

Partisipasi politik dianggap sebagai prasyarat dari bangunan atau bekembangnya

demokrasi. Menurut Sherman dan Kolker (1987), partisipasi politik merupakan

jalan bagi massa untuk mempengaruhi atau mengontrol pemerintah. Sehingga

dalam proses mempengaruhi dan mengontrol pemerintah itu, dapat dalam

kelembagaan atau non kelembagaan.

Weiner, mengemukakan terdapat lima penyebaba timbulnya gerakan ke arah

partisipasi lebih luas dalam proses politik, yaitu sebagai berikut: 34

1. Modernisasi dalam segala bidang kehidupan yang menuntut untuk ikut

dalam kekuasaan politik

2. Perubahan-perubahan struktur kelas. Masalah siapa yang berhak

berpartisipasi dan pembuatan keputusan politik menjadi penting dan

mengakibatkan perubahan dalam pola partisipasi politik

3. Pengaruh kaum intelektual dan komunikais massa modern. Ide

demokratisasi partisipasi telah menyebar ke bangsa-bangsa baru

sebelum mereka mengembangkan modernisasi dan industrialisasi yang

cukup matang

4. Konflik antar kelompok pemimpin politik. Jika timbul konflik antar elit,

maka yang dicari adalah dukungan rakyat. Terjadi perjuangan kelas

menantang melawan kaum aristokrat yang menarik kaum buruh dan

membantu memperluas hak pilih rakyat

34
Budi Suryadi, S.Sos., M.Si., Sosiologi Politik, Yogjakarta, IRCiSoD, 2007, hal. 128

Universitas Sumatera Utara


5. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan

kebudayaan. Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah sering

merangsang timbulnya tuntutan-tuntutan yang terorganisasi akan

kesemptan untuk ikut serta dalam pembuatan keputusan politik.

Kategori partisipasi politik menurut Milbrath sebagai berikut:

1. Kegitan gladiator meliput i:

a. Memegang jabatan publik atau partai

b. Menjadi calon pejabat

c. Menghimpun dana politik

d. Menjadi anggota aktif suatu partai

e. Menyisihkan waktu untuk kampanye politik

2. Kegiatan transisi meliputi:

a. Mengikuti rapat atau pawai politik

b. Memberi dukungan dana partai atau calon

c. Jumpa pejabat publik atau pemimpin politik

3. kegiatan monoton meliput i:

a. Memakai simbol/identitaspartai/organisasi politik

b. Mengajak orang untuk memilih

c. Menyelenggarakan diskusi politik

d. Memberi suara

4. Kegiatan apatis/masa bodoh

Faktor-faktor yang mempengaruhi pastisipasi politik seseorang adalah:

1. kesadaran politik, yaitu kesadaran akan hak dan kewajibannya sebagai

warga Negara

Universitas Sumatera Utara


2. Kepercayaan politik, yaitu sikap dan kepercayaan orang tersebut

terhadap pemimpinnya.

Berdasarkan dua faktor tersebut, terdapat empat tipe partisipasi politik

yaitu: 35

1. Partisipasi politik aktif jika kesadaran dan keprcayaan politik yang

tinggi

2. Patisipasi politik apatis jika kesadaran dan kepercayaan politik yang

rendah

3. Partisipasi politik pasif jika memiliki kesadaran politik rendah,

sedangkan kepercayaan politiknya tinggi

4. Partisipasi politik militan radikal jika memiliki kesadaran politik tinggi,

sedangkan kepercayaan politiknya rendah.

1.5.4.2. Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik

Berdasarkan perwujudannya, Huntington dan Nelson (1994), membeda-

kannya ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda jenis perilakunya, yaitu sebagai

berikut: 36

1. Kegitan pemilihan mencakup suara, akan tetapi juga sumbangan-sumbangan


untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi
seorang calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses
pemilihan
2. Lobbying mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk
menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik
dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan merekamengenai
persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang.
3. Kegiatan organisasi menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam
suatu organisasi yan tujuan utama dan eksplisit adalah mempengaruhi
pengambilan keputusan pemerintah. Organisasi demikian dapat memusatkan
usaha-usahanya kepada kepentingan-kepentingan yang sangat khusus atau
dapat mengarahkan perhatiannya kepada persoalan-persoalan umum yang
beraneka ragam.

35
Ramlan Surbakti, Ibid, hal. 144
36
Budi Suryadi, S.Sos., M.Si., Ibid, hal. 131-133

Universitas Sumatera Utara


4. mencari koneksi (contacting) merupakan tindakan perorangan yang ditujukan
terhadap pejabat-pejabat pemerintah dan biasantadengan maksud memperoleh
manfaat bagi hanya satu orang atau segelintir orang. Kegitan pemilihan,
lobbying, kegiatanorganisasi, dan mencari koneksi, semuanya dapat berbentuk
legal atau illegal. Penyuapan, intimidasi, dan pemalsuan hasil-hasil pemilihan,
sejauh hal itu dilakukan oleh orang-orang pribadi dan bukan oleh orang-orang
professional, jelas merupakan partisipasi politik, sama seperti memberikan
suara, menghadiri rapat-rapat umum partai atau menempel poster-poster
kampanye.
5. Tindakan kekerasan (violence) juga dapat merupakan satu bentuk partisipasi
politik, dan untuk keperluan analisis ada manfaatnya untuk mendefenisikannya
sebagai satu kategori tersendiri; artinya sebagai upaya untuk mempengaruhi
pengambilan keputusan pemerintah dengan jalan menimbulkan kerugian fisik
terhadap orang-orang atau harta benda. Kekerasan dapat di tujukan untuk
mengubah pemimpin politik (kudeta, pembunuhan), mempengaruhi
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah (huru-hara), pemberontakan, atau
mengubah seluruh sistem politik (revolusi)

Bentuk partisipasi politik lain dikemukakan oleh Almond (1993), yang

menunjukkan macam-macam partisipasi politik yang terjadi di berbagai Negara

dan berbagai waktu. Kegiatan politik “konvensional” adalah bentuk partisipasi

politik “normal” dalam demokrasi modern. Bentuk “non konvensional” termasuk

beberapa yang mungkin legal (seperti petisi) maupun illegal, penuh kekerasan,

dan revolusioner. Bentuk-bentuk dan frekuensi partisipasi politik dapat dipakai

sebagai ukuruan untuk menilai stabilitas sistem politik, integrasi kehidupan politik

dan kepuasan atau ketidakpuasan warga negara.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 1 Bentuk-bentuk partisipasi politik

Konvensional Non konvensional

Pemberian suara (voting) Pengajuan petisi

Diskusi politik Berdemonstrasi

Kegiatan kampanye Konfrontasi

Membentuk dan bergabung dalam Mogok

kelompok kepentingan Tindak kekerasan politik terhadap

Komunikasi individual dengan pejabat harta-benda(perusakan, pengeboman,

politik dan administrative pembakaran)

Tindak kekerasan politik terhadap

manusia (penculikan, pembunuhan)

Perang gerilya dan revolusi

Goel mengemukakan dengan menigndetifikasi 7 (tujuh) bentuk partisipasi

politik secara individual, yaitu sebagai berikut: 37

1. Aphatetic inactives: individu yang tidak beraktivitas secara partisipatif, dan


tidak pernah memilih
2. Passive supporters: individu yang memilih secara regular/teratur, menghindari
parade patriotik, membayar seluruh pajak, dan mencintai Negara
3. Contact specialist: pejabat penghubung lokal (daerah), propinsi dan nasional
dalam masalah-masalah tertentu
4. Communicators: individu yang mengikuti informasi-inforasi politik, terlibat
dalam diskusi, menulis surat pada editor surat kabar, mengirim persan-pesan
dukungan dan protes rerhadap pemimpin-pemimpin politik
5. Party and campaign workers: individu yang bekerja untuk partai politik atau
kandidat, meakinkan orang lain tentang bagaimana memilih, mengadiri
pertemuan-pertemuan, meyumbang uang pada partai politik atau kandidat,
bergabung dan mendukung partai politik, dipilih menjadi kandidat partai
politik
6. Community activists: individu yang bekerja dengan orang lain berkaitan
dengan masalah-masalah lokal, membentuk kelompok untuk menangani
problem-problem lokal, keanggotaan aktif dalam organisasi-organisasi
kemasyarakatan, melakukan kontak terhadap pejabat-pejabat berkenaan dengan
isu-isu sosial
7. Protesters: individu yang bergabung dengan demonstrasi-demonstrasi publik di
jalanan, melakukan kerusuhan bila perlu, melakukan protes keras bila

37
Budi Suryadi, S.Sos., M.Si., Ibid, hal. 135-138

Universitas Sumatera Utara


pemerintah melakukan sesuatu yang salahm menghadapi pertemuan-pertemuan
protes, menolak mematuhi aturan-aturan.

Secara prakteknya, partispasi politik warga negar di antara negara-negara

berbeda-beda, hal ini terjadi karena kondisi sosial politik yang ada di negara

tersebut. Namun secara umum tingkatan partisipasi warga negara diklarifikasikan

berdasarkan bentuk piramida, seperti gambar di bawah ini.

Gambar piramida partispasi politik

Aktivis

Partisipan

Pengamat

Orang yang apolitis

Aktivis kegiatan partisipasi yang menyimpang seperti pembunuh politik,

pembajak, teroris. Partisipan orang yang secara aktif ikut sebagai petugas

kampanye, aktif dalam partai politik/kelompok kepentingan, aktif dalam proyek-

proyek sosial. Pengamat orang yang menghadiri rapat umum, anggota kelompok

kepentingan, udaha meyakinkan orang, memberikan suara dalam pemilu,

mendiskusikan masalah politik, perhatian pada perkembangan politik.

Roth dan Wilson (1980) membagi jenis partispasi ini berdasarkan frekuensi

dan intensitasnya. Menurutnya orang mengikuti kegiatan secara tidak intensif,

yaitu kegiatan yang tidak banyak menyita waktu dan biasanya tidak berdasarkan

prakarsa sendiri, seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, jumlah

Universitas Sumatera Utara


orangnya banyak. Sebaliknya, sedikit sekali jumlah orang yang secara aktif dan

sepenuh waktu melibatkan diri dalan politik.

Berdasar gambar diatas juga menunjukkan warga negara yang berpartisipasi

politik terbagi kedalam tiga klarifikasi, yaitu aktivis, partisipan, pengamat dan

orang yang apolitis. Aktivis menduduki peringkat teratas dalam piramida itu

karena keterlibatannya dalam politik lebih intensif, tetapi jumlah orang yang

menduduki pada posisi ini lebih sedikit. Partisipan menduduki peringkat kedua di

bawah aktivis, hal ini dikarenakan keterlibatan mereka dalam politikdalam ukuran

sedang, tetapi jumlah orang yang menduduki posisi ini lebih banyak dari jumlah

aktivis. Pengamat menduduki peringkat ketiga di bawah partisipan, hal ini

dikarenakan keterlibatan meraka dalam kegiatan politik tidak terlalu intensif,

tetapi jumlah orang yang menduduki posisi ini lebih banyak di bandingkan

partisipan. Terakhir yang menduduki peringkat keempat adalah orang yang

apolitis, hal ini di karenakan orang yang apolitis adalah orang yang anti terhdap

politik atau tidak sama sekali melibatkan diri dalam kegiatan politik. Sehingga

jumlah orang yang apolitis lebih banyak dibandingkan peringkat lainnya.

Dalam konteks yang sama dengan praktek partisipasi politik diatas, Rush

dan Althof (2001), mengemukakan pandapatnya mengenai tingkatan partisipasi

politik berdasarkan posisi hirarkis. Baginya hirarkis yang paling sederhana dan

paling berarti ialah hirarki yang didasarkan atas taraf atau luasnya partisipasi,

dapat dilihat pada gambar berikut.38

38
Budi Suryadi, S.Sos., M.Si., Ibid, hal. 139

Universitas Sumatera Utara


Gambar hirarki partisipasi politik

Menduduki jabatan politik atau administratif

Mencari jabatan politik atau administratfi

Keanggotaan aktif suatu organisasi politik

Keanggotan pasif suatu organisasi politik

Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politik

Keanggotan pasif suatu organisasi semu politik

Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi dan

sebagainya

Partisipasi dalam diskusi politik informal, minat umum

dalam politik

Voting (pemberian suara)

Aphati total

Pada puncak hirarki terdapat orang-orang yang menduduki berbagai macam

jabatan dalam sistem politik, baik pemegang-pemegang jabatan politik maupun

anggota-anggota birokrasi pada berbagia tingkatan. Mereka dibedakan dari

partisipasi politik lainnya, dalam hal, bahwa pada berbagia taraf mereka

berkepentindan dengan pelaksanaan kekuasaan politik yang formal.

Di bawah para pemegang atau pencari jabatan di dalam sisrem politik

terdapat mereka yang menjadi anggota dari berbagai tipe organisasi politik atau

semu politik. Istilah organisasi politik dimaksudkan untuk mencakup baik partai

politik maupun kelompok kepentingan yang bersifat politis. Partai politik dan

kelompok kepentingan dapat dinyatakan sebagai agen-agen mobilisasi politik,

Universitas Sumatera Utara


yaitu suatu organisasi, melalaui mana anggota masyarakat dapat berpartisipasi

dalam kegiatan politik yang meliputi usaha mempertahankan gagasan posisi,

situasi, orang atai kelompok-kelompok tertentu, lewat sistem politik yang

bersangkutan.

Karena berbagai macam alasan, individu mungkin tidak termasuk dalam

suatu organisasi politik atau suatu organisasi semu politik, tetapi mereka dapat

dibujuk untuk berpartisipasi dalam suatu rapat umum atau demonstrasi. Kemudian

suatu bentuk partisipasi politik yang sebentar-sebentar adalah bentuk diskusi

politik informal oleh individu-individu dalam keluarga mereka masinh-masing, di

tempat-tempat bekerja atau di antara sahabat-sahabat. Akan tetapi ada beberapa

orang yang mungkin tidak mau berdiskusi politik dengan siapapun, namun

demikian mungkin dia mempunyai sedikit minat dalam soal-soal politik, dan

mempertahankan minat tersebut lewat media massa.

Kegiatan pemberian suara dapat dianggap sebagai bentuk partisipasi politik

aktif yang paling kecil, karena hal itu menuntut suatu keterlibatan minimal, yang

akan berhenti jika pemberian suara telah terlaksana. Orang-orang apatis total

merupakan mereka yang tidak berpartisipasi sama sekali dalam proses politik, hal

ini disebabkan oleh pilihan individu atau karena faktor di luar kontrol individu.

1.5.5. Pemilu dan Sistem Pemilu

Pemilihan umum adalah mekanisme pergantian kepemimpinan nasional

yang secara demokratis melibatkan seluruh masyarakat di suatu negara. Begitu

bermaknanya pemilihan umum bagi semua orang, maka pemilihan yang menjadi

indikator demokratisnya suatu negara. Untuk menjaga kelangsungan

penyelenggaraan pemerintahan yang dibentuk melalui mekanisme pemilihan

Universitas Sumatera Utara


umum, maka keterlibatan masyarakat sangat dibutuhkan sebagai energi demokrasi

itu sendiri. Pemilihan umum dengan makna demokrasinya adalah tempat

berkompetisinya partai politik yang secara umum dapat menjadi tempat

pembelajaran bagi elit dan komponen bangsa lainnya. Selain itu, pemilihan umum

juga terkait dengan peran serta masyarakat dalam memberikan dukungan kepada

kandidat dan partai politik yang ada. 39

Di negara-negara yang demokratis pemilihan umum merupakan alat untuk

memberikan kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta mempengaruhi kebijak-

sanaan pemerintah dan sistem politik yang brelaku. Dengan hal itu pula, pemilih-

an tetaplah merupakan partisipasi politik rakyat.

1.5.5.1. Sistem Pemilu

Penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) merupakan unsur yang harus

ada dalam pemerintahan demokrasi. Pemilihan umum di negara demokrasi dapat

dipandang sebagai awal dari paradigma demokrasi. Di samping unsur pemilihan

umum, di negara demokrasi juga harus ada unsur pertanggungjawaban kekuasaan.

Secara umum ada dua sistem pelaksanaan pemilihan umum yang dipakai yaitu

sebagai berikut:

1. Sistem Distrik

Sistem ini diselanggarakan berdasarkan lokasi daerah pemilihan, dalam arti

tidak membedakan jumlah penduduk, tetapi tempat yang sudah ditentukan. Jadi

daerah yang sedikit penduduknya memiliki wakil yang sama dengan daerah yang

padat penduduknya. Oleh karena itu sudah tentu banyaknya jumlah suara yang

39
Ibid., hal.16.

Universitas Sumatera Utara


terbuang di satu pihak tetapi malah menguntungkan pihak yang renggang

penduduknya. Biasanya satu distrik hanya di wakili oleh seorang wakil saja

(single member consistuency).

Keuntungan lain dari pelaksanaan sistem distrik adalah layanan terhadap

konstituen, dalam hal ini anggota-anggota lokal berada dalam dewan terutama

untuk mewakili distrik yang memilih mereka dan membawa keuntungan untuk

serta melayani distrik tersebut. Mayoritas negara-negara berkembang, misalnya

layanan lokal sangat diperlukan untuk jalan raya, pemeliharaan kesehatan dan

sebagainya. Oleh sebab itu muncul argumentasi yang mengatakan bahwa seorang

anggota dewan yang mewakili kepentingan suatu distrik lebih penting daripada

seseorang yang kesetiaan utamanya diberikan kepada partainya sendiri.

2. Sistem Proporsional

Sistem ini didasari oleh jumlah penduduk yang akan menjadi peserta

pemilu. Misalnya setiap 400.000 penduduk pemilih memperoleh 1 wakil (suara

berimbang), sedangkan yang dipilih adalah kelompok orang yang diajukan

kontestan pemilu. Jumlah kursi yang diperoleh sesuai dengan jumlah suara yang

diperoleh. Wilayah negara dibagi-bagi ke dalam daerah-daerah tetapi batas-

batasnya lebih besar daripada batas sistem distrik. Kelebihan suara dari jatah satu

kursi bisa dikompensasikan dengan kelebihan daerah lain. Terkadang,

dikombinasikan dengan sistem daftar (list system), dimana daftar calon disusun

berdasarkan peringkat.

Universitas Sumatera Utara


1.5.5.2. Pemilihan Kepala Daerah

Pemerintah Indonesia mengharapkan bahwa pembentukan, pembagian,

penggabungan dan penghapusan sebuah daerah akan memberi dampak bagi

meningkatnya kesejahteraan masyarakat, melalui pelayanan yang lebih baik,

kehidupan demokratis yang semakin berkembang, pertumbuhan ekonomi yang

semakin cepat, keamanan dan tatanan yang semakin bagus serta hubungan yang

selaras antar daerah.

Desentralisasi di Indonesia dilakukan antara lain karena memberikan janji

untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik; pendidikan dasar,

pemeliharaan kesehatan dasar, penyediaan air, sanitasi, and pelayanan publik

lainnya seperti penyediaan kartu penduduk. UUD memberikan sejumlah hak-hak

penting terkait dengan pelayanan dasar. UU 32/2004 tentang pemerintah daerah

dan peraturan sektoral memberikan perincian yang lebih luas mengenai hasil yang

diharapkan dari pemberian pelayanan dasar ini. Pemerintah daerah diberi mandat

untuk meningkatkan pelayanan dan membuat terobosan inovatif dalam hal

kualitas, efisiensi dan pertanggungjawaban. Sektor swasta juga diharapkan bisa

berinvestasi dalam pelayanan dasar ini dan menggabungkannya dengan

pemerintah daerah.

Karena kecewa atas hubungan antara DPRD dan Kepala Daerah sesudah

terjadinya reformasi pada tahun 1999, negara menyeimbangkan kembali

hubungan tersebut dengan menata pola pertanggungjawaban Kepala Daerah

kepada DPRD serta dengan memberikan dasar politis yang lebih independen

kepada Kepala Daerah melalui pemilihan langsung. Saat ini kedua lembaga

Universitas Sumatera Utara


penting di daerah ini diharapkan dapat mengartikulasikan dan menyatukan

keinginan komunitas dan rakyat dengan lebih baik.

Dalam UU 32/2004, pertanggungjawaban politis di daerah meliputi

pertanggungjawaban Kepala Pemerintahan Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota)

baik kepada konstituen melalui pemilihan langsung (mulai Juni 2005) dan kepada

DPRD. Juga diperbaharui dalam UU 32/2004 ini adalah pertanggungjawaban ke

atas dalam bentuk laporan dari kepala Pemerintahan kabupaten/kota kepada

Gubernur dan Menteri Dalam Negeri, yang meliputi aspek teknis dan

administratif.

Pengaturan kembali ini menunjukkan perubahan mendasar dari pendekat-an

yang termuat dalam UU 22/1999, dimana DPRD memegang peranan penting

dalam mewakili rakyat dan dalam memilih kepala daerah. Perubahan ini dirasa

perlu karena adanya kecurigaan meluas bahwa anggota DPRD, dan partai-partai

politik, menyalahgunakan wewenang mereka dengan “menjual” jabatan kepala

daerah ke orang yang bisa membayar paling tinggi. Dalam peraturan yang baru,

pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat diusulkan ke KPUD oleh

partai-partai politik atau gabungan partai politik yang sudah mencapai ambang

tertentu. Peraturan baru ini juga mendorong partai untuk membuka pencalonan

kepada calon baik dari kalangan partai sendiri atau dari masyarakat luas.

Kepala Pemerintah Daerah melaporkan tugas dan kewajibannya kepada

DPRD, pemerintah pusat dan ke masyarakat luas melalui mekanisme pelaporan

berkala. DPRD juga dapat meminta para Kepala Pemerintahan Daerah untuk

bertanggungjawab melalui pelaksanaan fungsi pengawasan, terutama terkait

Universitas Sumatera Utara


dengan pelaksanaan program dan proyek yang didanai lewat APBD, dan

pelaksanaan peraturan daerah.

Pemilihan Kepala Daerah ini diatur dalam Undang-Undang tentang

pemerintahan daerah yakni Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan digantikan

sertah di sahkan oleh Presiden menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah dan di revisi menjadi Undang-Undang No. 12

Tahun 2008. Sebagian isi Undang-Undang ini berisi prosedur dan mekanisme

pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat.

Pada hakekatnya pemilihan umum merupakan cara dan sarana yang tersedia

bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakilnya yang akan duduk di lem-baga

pemerintahan guna menjalankan kedaulatan rakyat, maka dengan sendirinya

terdapat berbagai sistem pemilihan umum. Perbedaaan sistem pemilihan umum ini

banyak tergantung pada dimensi dan pandangan yang ditujukan terhadap rakyat.

Pertama, apakah rakyat dipandang sebagai individu yang bebas untuk menentukan

pilihannya dan sekaligus dapat mencalonkan dirinya sebagai calon wakil rakyat.

Kedua, apakah rakyat hanya dipandang sebagai anggota kelompok yang sama

sekali tidak berhak untuk menentukan siapa wakilnya yang akan duduk dalam

lembaga pemerintahan dan dia tidak berhak mencalonkan diri sebagai wakil

rakyat.

Dari perbedaan dimensi dan pandangan diatas, maka sistem pemilihan

umum dapat di bedakan menjadi sistem pemilihan mechanis dan sistem pemilihan

organis. Pandangan Mechanis menempatkan rakyat sebagai suatu massa individu-

individu yang sama sebagai satu kesatuan otonom dan memandang masyarakat

sebagai kompleks hubungan yang bersifat kontraktuil. Berbeda dengan pandangan

Universitas Sumatera Utara


organis yang menempatkan rakyat sebagai sejumlah individu-individu yang hidup

bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup berdasarkan geneologis,

fungsi tertentu, lapisan sosial dan lembaga-lembaga sosial. 40

1.6. Metodologi Penelitian

Kajian ilmu sosial terhadap satu fenomena sosial sudah tentu membutuhkan

kecermatan. Sebagai suatu ilmu tentang metodologi atau tata cara kerja, maka

metodologi adalah pengetahuan tentang tata cara mengkonstruksi bentuk dan

instrumen penelitian. Konstruksi teknik dan instrument yang baik dan benar akan

mampu menghimpun data secara objektif, lengkap dan dapat dianalisa untuk

memecahkan suatu permasalahan. Menurut Antonius Birowo, metodologi akan

mengkaji tentang proses penelitian yaitu bagaimana penelitian berusaha

menjelaskan apa yang diyakini dapat diketahui dari masalah peneltian yang akan

dilakukan. 41

1.6.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif.

Bogdam & Taylor mengungkapkan bahwa “ metodologi kualitatif” sebagai

prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis

atau tulisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. 42 Penelitian

kualitatif dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses penjaringan

informasi, dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu objek, dihubungkan

dengan pemecahan masalah, baik dari sudut pandang teoritis maupun praktis.

40
Arifin Rahman, Sistem Politik Indonesia; Dalam Perspektif Struktural Fungsional, Surabaya,
SIC, 1998, hal. 195
41
Antonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi, Yogyakarta, Gintayali, 2004, hal. 71-72
42
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rodakarya, 1994, hal.
3

Universitas Sumatera Utara


Secara khusus penelitian deskriptif yang penulis gunakan dapat diartikan

sebagai prosedur pemecahan masalah dengan menggambarkan keadaan objek

penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Fakta-

fakta atau data yang akan dikumpulkan, diklasifikasikan dan kemudian akan

dianalisa. Pada penelitian deskriptif, penulis memusatkan perhatian pada

penemuan fakta-fakta sebagaimana keadaan yang seharusnya ditemukan. Karena

itu dalam penelitian ini, penulis mengembangkan konsep dan menghimpun

berbagai fakta, tetapi tidak melakukan pengujian hipotesa.43

1.6.2. Populasi dan Sampel

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas: objek/subjek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan ditarik kesimpulannya. Jadi populasi bukan hanya orang, tetapi juga

objek dan benda-benda alam yang lain. Populasi juga bukan sekedar jumlah yang

ada pada objek/subjek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik/sifat

yang dimiliki oleh subjek atau objek tersebut. Sedangkan sampel adalah bagian

dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi

besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi,

misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat

menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu, untuk itu sampel yang

diambil harus betul-betul representatif (mewakili). 44

Dalam penelitian ini digunakan teknik Purposive Samplin, yaitu terdapatnya

keriteria-keriteria yang perlu dilakukan ataupun dibuat batasan-batasan

43
Ibid, hal. 6.
44
Prof. Dr. Sugioyo, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung, CV.
ALFABETA, 2008, hal. 80-81.

Universitas Sumatera Utara


berdasarkan tujuan-tujuan tertentu sehingga sesuai dengan sumberdaya yang

tersedia namun tetap mencapai jumlah sampel yang ditetapkan. Batasan-batasan

yang dimaksud pada Purposive Sampling disini adalah bahwa sampel-sampel

yang dikumpulkan adalah Etnis Batak Toba yang merupakan penduduk

Kecamatan Berastagi dan terdaftar sebagai pemilih pada pemilihan kepala daerah

Kabupaten Karo.

Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah sebanyak 6808 orang. 45 Alasan

memilih etnis Batak Toba sebagai populasi karena skripsi ini akan meneliti

persepsi, perilaku dan preferensi golongan minoritas di dalam kegiatan politik

yang di selenggarakan di dalam masyarakat yang mayoritas homogen. Selain

faktor diatas salah satu pasangan calon ada yang berasal dari suku Batak Toba

yang bersaing secara terbuka pada pemilihan umum Kepala Daerah dan yang

selebihnya adalah homongen dari penduduk mayoritas.

Dari populasi di tentukan sebanyak 98 orang sebagai sampel dengan cara

menggunakan teknik pengambilan sampel Taro Yamane yang menggunakan

rumus sebagai berikut:

N
n=
N .d 2 + 1

n = jumlah sampel

N = jumlah populasi

d = presisi, ditetapkan 10% dengan derajat kepercayaan 90%

Maka dengan rumus diatas sampel dalam penelitian ini dicapai sebagai

6808
berikut: n=
6808.(0.1) + 1
2

45
KPUD Kab. Karo

Universitas Sumatera Utara


6808
n=
68.08 + 1

6808
n=
69.08

n = 98.55

1.6.3. Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian yang penulis lakukan di Kecamatan Berastagi.

Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa di Berastagi

masyarakat etnis Batak Toba sudah mempunyai sejarah yang lama sejak jaman

kolonial Belanda, etnis Batak Toba tersebut sudah ada dan membaur dengan

masyarakat dan menetap di perkampungan penduduk lokal, hal itu berdasarkan

informasi dari orang tua yang saya dapatkan.

Kecamatan Berastagi merupakan daerah yang merupakan salah satu

kecamatan dengan jumlah terbanyak penduduknya. beraneka ragam suku baik

etnis Batak Toba, Karo, Jawa, Melayu, Nias dan sebagainya dengan bidang

pekerjaan yang berbeda pula baik petani, pedagang, buruh tani, guru, pegawai

pemerintahan, pegawai kesehatan, masyarakat dengan keaneka ragaman itu hidup

berbaur baik di desa-desa dan kelurahan-kelurahan yang ada di Berastagi.

1.6.4. Teknik Pengumpulan data

Untuk memperoleh data atau informasi, keterangan-keterangan atau fakta-

fakta yang diperlukan, maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data

sebagai berikut:

1. Data Primer: yaitu penelitian lapangan (field research), yaitu pengumpulan

data dengan terjun langsung ke lokasi penelitian, dengan cara:

Universitas Sumatera Utara


a. Kuisioner/angket, yaitu suatu cara pengumpulan data dengan

meyebarkan angket/kuisioner yang berisi daftar pertanyaan kepada

responden.

b. Wawancara, yaitu suatu cara pengumpulan data dengan dialog langsung

dengan responden yang berhubungan dengan objek penelitian guna

melengkapi data yang kurang jelas pada kuisioner/angket.

2. Data Sekunder: yaitu penelitian kepustakaan (library Research), yaitu

mempelajari buku-buku, peraturan-peraturan, laporan-laporan serta bahan-

bahan lain yang berhubungan dengan penelitian.

1.6.5. Teknik Analisa Data

Dalam penelitian ini digunakan adalah jenis analisa data kualitatif, dimana

analisa data seperti ini banyak dipergunakan dalam penelitaian deskriktif, yaitu :

suatu metode yang lebih didasarkan kepada pemberian gambaran yang terperinci

yang mengutamakan penghayatan dan berusaha memahami suatu peristiwa dalam

situasi tertentu menurut pandangan peneliti. 46 Kemudian data yang ada

dikelompokkan dan disajikan dalam bentuk tabel-tabel dan uraian-uraian. Jadi

penulis hanya menganalisa dengan cara menggambarkan data yang diperoleh

dengan mengadakan atau memberi interpretasi.

1.7. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang terperinci, dan untuk mempermudah isi

skripsi ini, maka penulis membagi dalam empat (4) bab. Untuk itu disusun

sistematika sebagai berikut:

46
Hadari Nawawi, ibid, hal. 40

Universitas Sumatera Utara


BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini akan membahas tentang Latarbelakang, Pembatasan Masalah,

Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teoritis,

Metodologi Penelitian, Perilaku Politik, Pemilihan Umum, Metodologi Penelitian,

Jenis Penelitian, Lokasi Penelitian, Populasi dan Sampel, Teknik Pengambilan

Data, Teknik Pengumpulan Data.

BAB II : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang gambaran umum lokasi penelitian yaitu

kondisi goegrafis, kondisi sosial, kondisi ekonomi, budaya serta sistem

pemerintahan di Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo.

BAB III : PENYAJIAN DAN ANALISA DATA

Bab ini berisi penyajian data-data yang telah diperoleh dari lapangan dan

juga analisa dari data-data tersebut. Bab ini terdiri dari mekanisme dan sistem

pilkada di Kelurahan Gundaling I Kecamatan Berastagi, latar belakang konflik,

proses konflik dalam pilkada, dampak konflik bagi masyarakat serta pemerintahan

dan resolusi konflik.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan yang diperoleh

dari hasil penelitian serta tedapat saran-saran yang terdapat didalamnya setelah

melakukan penelitian.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai