Anda di halaman 1dari 9

TUGAS II

AL ISLAM DAN KEMUHAMADIYAHAN


MA’NA AL-QURAN

Oleh :
ANITA GUSTIANTI
2111071002
V.B

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALU


JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
TAHUN 2022
Pengertian Ma’an Al-Qur’an
Ma’ani adalah jamak dari ma‟na, secara leksikal berarti arti, adapun
secara istilah ilmu yang mengetahui hal atau ihwal lafal bahasa yang
bergantung kepada tuntunan situasi dan kondisi. Memahami makna al-
Qur’an berarti mampu menangkap makna dan pesan-pesan Ilahiah yang
terkandung di dalamnya. Pemahaman itu akan dijadikan sebuah pedoman
oleh umat manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Adapun al-
Qur’an secara Harfiah, berasal dari kata qara‟a yang berarti membaca atau
mengumpulkan, kedua makna ini mempunyai maksud yang sama; membaca
atau mengumpulkan, karena orang yang membaca secara tidak langsung
telah mengumpulkan ide-ide atau gagasan yang terdapat dalam sesuatu
yang ia baca. Dalam surat al-Alaq, ayat pertama, yang memerintahkan
manusia untuk membaca atau mengumpulkan. Perlu diketahui di balik
perintah dan larangan Allah pastinya terdapat hikmah bagi hambanya, Surat
al-alaq ayat pertama bermakna bahwa Allah menyuruh umat Islam
mengumpulkan tujuan melalui gagasan, bukti atau ide yang terkumpul
dalam pikirannya itu, untuk memperoleh suatu kesimpulan bahwa segala
yang ada ini diatur oleh Allah.

Berdasarkan pengertian di atas, maka secara bahasa kata Ma’an al-


Qur’an dapat di artikan kepada makna-makna tentang al-Qur’an.
Secara terminologi, al-Qur’an berarti “kalam Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril, sampai kepada kita
secara mutawatir. Dimulai dengan surat al-fatihah dan diakhiri dengan surat
an-nas, dan dinilai ibadah (berpahala) bagi setiap orang yang membacanya.

Al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad dalam bahasa Arab


secara teologis, versi al-Qur‟an dalam bahasa arablah yang dianggap sebagai
al-Qur’an yang asli, firman yang berasal langsung dari Allah dan dibaca
dalam praktik ibadah. Tidak satupun terjemahan yang bisa disejajarkan
dengan al-Qur’an, atau sebagai firman Allah, dan tidak ada satu pun dari
terjemahan itu yang memiliki status yang sama dengan versi arabnya,
terjemahan dipandang kaum muslim hanya sebagai alat untuk memahami
makna-makna al-Qur’an.
Semua Muslim, Arab maupun non Arab, mempelajari dan membaca al-
Qur’an, atau sebagian darinya, dalam Bahasa Arab, dengan maksud
mendapatkan kepuasan dan berkah pengucapan firman suci; firman inilah
yang terungkap dari lisa Nabi dan dibaca oleh sahabat- sahabatnya, maupun
oleh generasi muslim berikutnya, di negeri-negeri yang berbeda dan di
sepanjang era Islam. Tidak ada satu terjemahan yang bisa menempati
kedudukan ini. Para pemerhati dari kalangan Kristen akan menyadari bahwa
al-Qur’an sama sekali berbeda dari Injil.

Al-Qur’an pada mulanya dibacakan kepada masyarakat Arab yang


memiliki keunggulan dalam hal kefasihan bahasa dan kekayaan sastra,
khususnya syair, baik pengikut maupun musuh-musuh Nabi mengakui
kemukjizatan al-Qur’an dan kemustahilannya untuk ditiru kaum beriman
yang mendengar al-Qur’an dibacakan oleh Nabi dan mengakui betapa
berbedanya ia dari ucapan Nabi sehari-sehari menemukan bukti yang
semakin kuat bahwa al-Qur’an berasal dari Allah. Bahkan salah seorang
musuh Nabi yang merasa takjub terhadap keindahan bahasa al-Qur’an
melukiskannya dengan kata-kata, “Ia naik ketempat tertinggi sehingga tidak
ada yang mampu mengunggulinya, dan ia menghancurkan apa yang ada di
bawahnya” demikianlah al-Qur’an memiliki gaya bahasa khas dan luhur yang
langsung membedakannya dari jenis bahasa yang lain dan ini diakui oleh
orang-orang Arab, baik yang muslim maupun non-muslim. Dengan
merenungkan ayat-ayat-Nya, orang tidak akan berhenti mengagumi
kesegaran ungkapannya, karena itu, tidak aneh jika orang-orang Arab awam
dari segala lapisan masyarakat dapat dengan mudah memahami dan
merasakan pengaruhnya yang luar biasa. Bagaimanapun pesan al-Qur’an 14
pada hakikatnya ditujukan kepada kelompok ini tanpa membeda-bedakan
kelas, jenis kelamin atau usia, dan tanpa startifikasi kerohanian. Inilah
Bahasa yang masih terus-menerus digunakan nyaris dalam semua kontek
sosial dan budaya. Al-Qur’an memiliki ciri khas tersendiri yang sayangnya
belum pernah dikaji secara utuh oleh barat, pengetahuan tentang
keindahan gaya bahasa al- Qur’an sangat penting bagi kesarjanaan dalam
bidang ini. Ilmu retorika menurut Plato yakni kemampuan dalam
menerapkan bahasa lisan secara sempurna dan merupakan jalan bagi
seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang luas. Menurut Socrates:
Pengertian Retorika yakni suatu ilmu yang menyangkut tentang bagaimana
cara mencari kebenaran dengan teknik berdialog, bahasa Arab berutang
eksistensi kepada tekad sarjana- sarjana Muslim untuk mendalami aspek-
aspek sastra al-Qur’an meskipun menemukan banyak buku tentang tata
bahasa Arab yang ditulis dalam Bahasa Inggris selama berabad-abad, namun
kenyataannya tidak ada buku yang berkualifikasi sama tentang al-Qur’an
yang memaparkan keunggulan retorika al-Qur’an, misalnya tafsir
Zamakhsyari dan fakhruddin al-razi, belum diterjemahkan ke dalam bahasa
inggris. Sekitarnya buku-buku memadai tentang topik-topik semacam ini
diterjemahkan ke dalam bahasa inggris, tentu akan sangat membantu
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi pembaca Barat dalam
meningkatkan kualitas terjemahan Inggris atas al- Qur’an. Masyarakat Arab
sendiri menilai kualitas terjemahan Inggris atas al- Qur’an masih rancu,
kehilangan kohesi5 (Kepaduan atau hubungan sebuah kata), kejernihan,
kemegahan, maupun irama dan kekuatan keaslihan ayat-
ayat al-Qur’an. Dalam hal ini, pembandingan antara sejarah dan cara
menerjemahkan Injil dengan sejarah dan cara menerjemahkan al-Qur’an ke
dalam bahasa Inggris sangatlah bermanfaat. Versi resmi Injil diterjemahkan
oleh sebuah kelompok yang beranggotakan empat puluh tujuh orang
termasuk pendeta, sarjana, dan ahli bahasa. Mereka bekerja sama
menciptakan sebuah karya yang dipersembahkan kepada Raja James Injil
berbahasa Inggris telah diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Inggris
modern, juga oleh kelompok besar ahli bahasa Inggris. Sebaliknya,
terjemahan pertama al-Qur’an dalam bahasa Inggris dikerjakan oleh
Alexander Ross dan diterbitkan pada 1649. Ross member judul karyanya itu
dengan the Alcoran of Mahomet, the prophet of the turks. Ross bukanlah
seorang pakar di bidang al-Qur’an atau hadits, tidak mengenal seluk beluk
bahasa Arab dan mendasarkan terjemahannya hanya pada
terjemahan versi prancis dia menambahkan sebuah anak judul “From the
Translator to the Chistian Reader” (dari penerjemah kepada pembaca
Kristen), yang mencerminkan terjemahannya sebagai bukti atas kekufuran
Muhammad dengan maksud memuaskan para pengkritiknya yang nyaris
menghambat penerbitan “buku berbahaya” ini. Hal ini permulaan dari
sebuah tradisi panjang penerjemahan dan pengkajian al-Qur’an dalam
bahasa Inggris. Sebagian tokoh misalnya Rodwell dan bell berusaha
membantahkan adanya peningkatan kualitas kesarjanaan dalam bahasa
Arab, menaruh minat terhadap karya sastra Arab, dan semakin mengurangi
kadar prasangka dalam terjemahan mereka. Saat ini telah banyak terdapat
terjemahan dalam bahasa Inggris, namun tidak ada satu pun yang dikerjakan
oleh lebih dari satu orang pada suatu kurun waktu, dan tidak ada seorang
muslim Arab dengan spesialisasi kajian al-Qur’an yang pernah membuat
sebuah terjemahan. Sifat-sifat unik al- Qur’an dalam bahasa aslinya perlu
dianut dalam upaya menerjemahkannya. Bahkan terjemahan paling baik
sekalipun tetap saja menampilkan kesulitan- kesulitan sangat serius dalam
mengetengahkan pemahaman yang tepat tehadap al-Qur’an.
Bagaimanapun, versi asli al-Qur’an berbahasa Arab tetap menjadi firman
suci, “dan kitab yang muliah” dijelaskan dalam surat Fushshilat ayat 41 bagi
kaum muslim.

Ciri Khas Gaya Bahasa Al-Qur’an

Sebagaimana telah disebutkan, al-Qur’an memiliki gaya bahasa yang


khas, dan pembacanya harus mencermati beberapa ciri khas penting dalam
gaya bahasa ini. AL- Qur’an yang mencampur sejumlah subjek,
misalnya keimanan, ibadat, moral dan hukum diperkuat dengan cara
mengkaitkan dengan keimanan, ibadah, dan moral. Ayat kursi misalnya yang
menampilkan sifat-sifat keagungan Allah, datang setelah perintah kepada
kaum beriman untuk menyedekahkan sebagian hartanya sebelum tiba suatu
hari di mana tidak ada harta maupun persahabatan yang mampu
menghindarkannya dari hadapan Allah Yang Maha Agung, orang-orang yang
tidak memahami bagaimana al-Qur’an memaparkan tujuannya sendiri,
mengkritik hal serupa ini sebagai “kesimpangsiuran”. Terdapat dalam surat
al-baqarah ayat 237 yang menerangkan tentang pemberian nafkah dalam
percaraian, yang sering kali disertai dengan kepahitan dan sifat kikir, al-
Qur’an tiba-tiba saja mengingatkan manusia untuk “memelihara shalat dan
berdiri di depan Allah dengan penuh pengabdian” yang terdapat pada ayat
238 surat al-baqarah.
Jika al-Qur’an tersusun secara kronologis, tentulah ia akan menjadi
sebuah biografi atau catatan sejarah. Seandainya ia tidak mencampur
materi- materi berbeda, katakanlah mengenai Allah dan shalat, dalam satu
bab terpisah atau menyisipkan dengan bab-bab yang lain. Tentu ia akan
memiliki pengaruh yang kuat yang timbul sebagai akibat penggunaan tema-
tema ini dengan tujuan untuk memperteguh pesan-pesannya di berbagai
tempat. Al- Qur’an bukan sebuah tesis akademik, melainkan kitab petunjuk
dan memiliki metode tersendiri dalam targhib (memberikan anjuran) dan
tarhib ( menyampaikan ancaman) sehingga keduanya berjalan seimbang.
Inilah ciri khas penting al-Qur’an. Dengan demikian, dapat ditemukan
sesuatu yang kontras dalam ayat-ayatnya: setiap kali ia berbicara tentang
surga dan pahala untuk orang-orang saleh, selalu didampingi dengan
penyebutan Neraka dan azab bagi para pelaku kejahatan, karena al-Qur‟an
mengakui bahwa akan selalu ada orang yang berbuat baik maupun terdapat
orang berbuat jahat, penjelasan itu terdapat pada surat al-insan ayat 3.
Orang-orang yang merasa bahwa al-Qur’an terlalu banyak berbicara tentang
azab seharusnya ingat bahwa al-Qur’an juga berbicara tentang pahala bagi
orang-orang saleh: Allah memberikan ampunan dan sekaligus menurunkan
azab, penjelasan tersebut terdapat dalam surat al-hijr ayat 49-50.
Meskipun al-Qur‟an tidak ditulis dalam bentuk sebuah naskah yang
disunting, dan Nabi juga tidak ikut campur dalam susunannya yang telah
ditetapkan Allah, misalnya dengan menambah kalimat penyambung di sana
sini, namun hubungan antara ayat-ayat di dalam setiap surat, dapat dengan
mudah dipahami dalam bahasa Arab mungkin dengan menggunakan kata
sambung pendek atau kata ganti atau dengan mengulangi kata-kata tertentu
yang merujuk kepada ayat sebelumnya, atau dengan menyingkatkanya, atau
dengan memberikan contoh. Al-Qur’an dapat saja meletakkan ayatnya
dalam urutan historis, misalnya menggunakan kata penghubung untuk
mengetahui keberurutan suatu hubungan seperti “lalu atau “setelah itu”
karena pola keberurutan itu dengan sendirinya telah menunjukan adanya
kaitan yang erat. Ada kalanya kata sambung ditiadakan namun
keruntutannya tetap terjaga. Dalam buku tentang retorika bahasa Arab,
gaya bahasa ini dikenal sebagai fashl (pemutusan atau pemenggalan). Dalam
beberapa situasi, tanpa perlu menggunakan kata sambung, kita tetap dapat
menetapkan keberkaitan dengan ayat sebelumnya, surat al-Baqarah ayat 1-
5, yang berbicara tentang orang- orang beriman; sedangkan ayat ke 6 pada
surat yang sama berbicara tentang orang-orang kafir, dengan tidak
menggunakan kata sambung. Bahasa Inggris yang memiliki perbedaan pola
kohesi, bisa menyisipkan suatu kata seperti “adapun tentang orang-orang
beriman, mereka akan mengalami ini dan itu.” Adapun surah 96, ayat 1-5
berbicara tentang kasih sayang Allah yang telah menciptakan dan mendidik
manusia. Ayat 6-8 dikaitkan dengan cara mengulangi kata al-insan (manusia)
dan dengan cara membuatnya bersilang, yakni sementara manusia
seharusnya berterima kasih, namun kenyataannya mereka malah bersikap
angkuh dan menindas. Al-Qur’an diturunkan dalam berbagai situasi dan
kondisi. Ia merespon berbagai macam permasalahan yang muncul di tengah-
tengah masyarakat, terutama masyarakat Arab di mana ia diturunkan.
Banyak permasalahan terjadi pada penghuni arab yang diperbincangkan saja
tetapi juga memberikan solusi, pandangan, dan penilaian terhadap
persoalan itu, baik positif maupun negatif. Panadangan atau penilaiannya ini
menjadi ajaran yang mesti ditaati oleh komunitas muslim. Maka untuk
memahami al-Qur’an yang menjadi pedoman yang suci dan juga menjadi
sumber utama pengetahuan Islam. kajian tentang sosiologis- historis
masyarakat Arab ketika al-Qur’an diturunkan menjadi suatu hal yang mesti
dikuasai. Pengetahuan mengenainya dapat membantu mufassir memahami
al-Qur’an. Oleh karenanya, pengetahuan tentang asbabun nuzul menjadi
penting dalam menafsirkan al-Qur’an, asbabun nuzul mesti dipedomani dan
dijadikan sumber dalam menangkap makna dan maksud ayat-ayat al-Qur’an.

Al-Qur’an menetapkan sejumlah ketentuan-ketentuan yang mesti dipatuhi.


Akan tetapi, kadang-kadang suatu persoalan yang sudah ditetapkan tidak
berlaku kekal, terjadi perubahan terhadap ketentuan tersebut, suatu
ketentuan diganti dengan ketentuan lain guna memberikan kelapangan
kepada manusia. Namun, ayat al-Qur’an mengandung ketetapan yang telah
dirubah meski secara fungsi tidak diamalkan tapi masih terdapat dalam al-
Qur’an. Maka untuk memahami ayat-ayat seperti ini, seorang mufassir perlu
pula menguasai ilmu an-nasih wa al-mansukh .Di antara isi al-Qur‟an itu ada
yang dapat dipahami dengan mudah ada pula yang tidak, atau dengan kata
lain biasanya disebut dengan ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat
mutasyabihat, untuk memahami ayat-ayat muhakam tidak membutuhkan
penjelasan, karena ia memiliki makna yang jelas. seperti ini cenderung
menimbulkan keseragaman umat Islam dalam memahami dan
mengamalkannya. Lain halnya dengan ayat-ayat mutasyabihat ia memiliki
makna yang tersembunyi dan membutuhkan penjelasan secara rinci, namun
orang dapat memehami ayat-ayat ini secara zhanni. Para ulama‟ Dalam
menangkap makna atau menafsirkan ayat seperti ini, condong berbeda
argumen yang berpengaruh kepada kehidupan sosial juga membawakan
perbedaan dalam pengamalan. Hal inilah di antara factor penyebab yang
menimbulkan perbedaan mazhab dan keragaman masyarakat Islam dalam
mengamalkan ajaran agamanya.11 Perbincangan di atas menggambarkan,
bahwa ayat-ayat al-Qur’an itu jika dilihat dari aspek maknanya dapat
diklasifikasikan kepada dua hal.
1. Ayat yang mempunyai makna jelas atau pasti (muhkam)
2. Ayat yang bermakna tidak jelas (mutasyabih)
Pada bagian kedua ini di antaranya dapat dijangkau maknanya oleh
manusia melalui ijtihad. Selain itu terdapat juga lafal-lafal yang terkandung
dalam firman Allah Swt yang tidak mungkin daketahui maknanya oleh
manusia, seperti ayat yang terdiri dari huruf muqaththa‟ah (huruf potong)
yang biasanya terletak di awal sebagian surah.

Anda mungkin juga menyukai