JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT TAHUN 2022 Pengertian Ma’an Al-Qur’an Ma’ani adalah jamak dari ma‟na, secara leksikal berarti arti, adapun secara istilah ilmu yang mengetahui hal atau ihwal lafal bahasa yang bergantung kepada tuntunan situasi dan kondisi. Memahami makna al- Qur’an berarti mampu menangkap makna dan pesan-pesan Ilahiah yang terkandung di dalamnya. Pemahaman itu akan dijadikan sebuah pedoman oleh umat manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Adapun al- Qur’an secara Harfiah, berasal dari kata qara‟a yang berarti membaca atau mengumpulkan, kedua makna ini mempunyai maksud yang sama; membaca atau mengumpulkan, karena orang yang membaca secara tidak langsung telah mengumpulkan ide-ide atau gagasan yang terdapat dalam sesuatu yang ia baca. Dalam surat al-Alaq, ayat pertama, yang memerintahkan manusia untuk membaca atau mengumpulkan. Perlu diketahui di balik perintah dan larangan Allah pastinya terdapat hikmah bagi hambanya, Surat al-alaq ayat pertama bermakna bahwa Allah menyuruh umat Islam mengumpulkan tujuan melalui gagasan, bukti atau ide yang terkumpul dalam pikirannya itu, untuk memperoleh suatu kesimpulan bahwa segala yang ada ini diatur oleh Allah.
Berdasarkan pengertian di atas, maka secara bahasa kata Ma’an al-
Qur’an dapat di artikan kepada makna-makna tentang al-Qur’an. Secara terminologi, al-Qur’an berarti “kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril, sampai kepada kita secara mutawatir. Dimulai dengan surat al-fatihah dan diakhiri dengan surat an-nas, dan dinilai ibadah (berpahala) bagi setiap orang yang membacanya.
Al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad dalam bahasa Arab
secara teologis, versi al-Qur‟an dalam bahasa arablah yang dianggap sebagai al-Qur’an yang asli, firman yang berasal langsung dari Allah dan dibaca dalam praktik ibadah. Tidak satupun terjemahan yang bisa disejajarkan dengan al-Qur’an, atau sebagai firman Allah, dan tidak ada satu pun dari terjemahan itu yang memiliki status yang sama dengan versi arabnya, terjemahan dipandang kaum muslim hanya sebagai alat untuk memahami makna-makna al-Qur’an. Semua Muslim, Arab maupun non Arab, mempelajari dan membaca al- Qur’an, atau sebagian darinya, dalam Bahasa Arab, dengan maksud mendapatkan kepuasan dan berkah pengucapan firman suci; firman inilah yang terungkap dari lisa Nabi dan dibaca oleh sahabat- sahabatnya, maupun oleh generasi muslim berikutnya, di negeri-negeri yang berbeda dan di sepanjang era Islam. Tidak ada satu terjemahan yang bisa menempati kedudukan ini. Para pemerhati dari kalangan Kristen akan menyadari bahwa al-Qur’an sama sekali berbeda dari Injil.
Al-Qur’an pada mulanya dibacakan kepada masyarakat Arab yang
memiliki keunggulan dalam hal kefasihan bahasa dan kekayaan sastra, khususnya syair, baik pengikut maupun musuh-musuh Nabi mengakui kemukjizatan al-Qur’an dan kemustahilannya untuk ditiru kaum beriman yang mendengar al-Qur’an dibacakan oleh Nabi dan mengakui betapa berbedanya ia dari ucapan Nabi sehari-sehari menemukan bukti yang semakin kuat bahwa al-Qur’an berasal dari Allah. Bahkan salah seorang musuh Nabi yang merasa takjub terhadap keindahan bahasa al-Qur’an melukiskannya dengan kata-kata, “Ia naik ketempat tertinggi sehingga tidak ada yang mampu mengunggulinya, dan ia menghancurkan apa yang ada di bawahnya” demikianlah al-Qur’an memiliki gaya bahasa khas dan luhur yang langsung membedakannya dari jenis bahasa yang lain dan ini diakui oleh orang-orang Arab, baik yang muslim maupun non-muslim. Dengan merenungkan ayat-ayat-Nya, orang tidak akan berhenti mengagumi kesegaran ungkapannya, karena itu, tidak aneh jika orang-orang Arab awam dari segala lapisan masyarakat dapat dengan mudah memahami dan merasakan pengaruhnya yang luar biasa. Bagaimanapun pesan al-Qur’an 14 pada hakikatnya ditujukan kepada kelompok ini tanpa membeda-bedakan kelas, jenis kelamin atau usia, dan tanpa startifikasi kerohanian. Inilah Bahasa yang masih terus-menerus digunakan nyaris dalam semua kontek sosial dan budaya. Al-Qur’an memiliki ciri khas tersendiri yang sayangnya belum pernah dikaji secara utuh oleh barat, pengetahuan tentang keindahan gaya bahasa al- Qur’an sangat penting bagi kesarjanaan dalam bidang ini. Ilmu retorika menurut Plato yakni kemampuan dalam menerapkan bahasa lisan secara sempurna dan merupakan jalan bagi seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang luas. Menurut Socrates: Pengertian Retorika yakni suatu ilmu yang menyangkut tentang bagaimana cara mencari kebenaran dengan teknik berdialog, bahasa Arab berutang eksistensi kepada tekad sarjana- sarjana Muslim untuk mendalami aspek- aspek sastra al-Qur’an meskipun menemukan banyak buku tentang tata bahasa Arab yang ditulis dalam Bahasa Inggris selama berabad-abad, namun kenyataannya tidak ada buku yang berkualifikasi sama tentang al-Qur’an yang memaparkan keunggulan retorika al-Qur’an, misalnya tafsir Zamakhsyari dan fakhruddin al-razi, belum diterjemahkan ke dalam bahasa inggris. Sekitarnya buku-buku memadai tentang topik-topik semacam ini diterjemahkan ke dalam bahasa inggris, tentu akan sangat membantu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi pembaca Barat dalam meningkatkan kualitas terjemahan Inggris atas al- Qur’an. Masyarakat Arab sendiri menilai kualitas terjemahan Inggris atas al- Qur’an masih rancu, kehilangan kohesi5 (Kepaduan atau hubungan sebuah kata), kejernihan, kemegahan, maupun irama dan kekuatan keaslihan ayat- ayat al-Qur’an. Dalam hal ini, pembandingan antara sejarah dan cara menerjemahkan Injil dengan sejarah dan cara menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris sangatlah bermanfaat. Versi resmi Injil diterjemahkan oleh sebuah kelompok yang beranggotakan empat puluh tujuh orang termasuk pendeta, sarjana, dan ahli bahasa. Mereka bekerja sama menciptakan sebuah karya yang dipersembahkan kepada Raja James Injil berbahasa Inggris telah diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Inggris modern, juga oleh kelompok besar ahli bahasa Inggris. Sebaliknya, terjemahan pertama al-Qur’an dalam bahasa Inggris dikerjakan oleh Alexander Ross dan diterbitkan pada 1649. Ross member judul karyanya itu dengan the Alcoran of Mahomet, the prophet of the turks. Ross bukanlah seorang pakar di bidang al-Qur’an atau hadits, tidak mengenal seluk beluk bahasa Arab dan mendasarkan terjemahannya hanya pada terjemahan versi prancis dia menambahkan sebuah anak judul “From the Translator to the Chistian Reader” (dari penerjemah kepada pembaca Kristen), yang mencerminkan terjemahannya sebagai bukti atas kekufuran Muhammad dengan maksud memuaskan para pengkritiknya yang nyaris menghambat penerbitan “buku berbahaya” ini. Hal ini permulaan dari sebuah tradisi panjang penerjemahan dan pengkajian al-Qur’an dalam bahasa Inggris. Sebagian tokoh misalnya Rodwell dan bell berusaha membantahkan adanya peningkatan kualitas kesarjanaan dalam bahasa Arab, menaruh minat terhadap karya sastra Arab, dan semakin mengurangi kadar prasangka dalam terjemahan mereka. Saat ini telah banyak terdapat terjemahan dalam bahasa Inggris, namun tidak ada satu pun yang dikerjakan oleh lebih dari satu orang pada suatu kurun waktu, dan tidak ada seorang muslim Arab dengan spesialisasi kajian al-Qur’an yang pernah membuat sebuah terjemahan. Sifat-sifat unik al- Qur’an dalam bahasa aslinya perlu dianut dalam upaya menerjemahkannya. Bahkan terjemahan paling baik sekalipun tetap saja menampilkan kesulitan- kesulitan sangat serius dalam mengetengahkan pemahaman yang tepat tehadap al-Qur’an. Bagaimanapun, versi asli al-Qur’an berbahasa Arab tetap menjadi firman suci, “dan kitab yang muliah” dijelaskan dalam surat Fushshilat ayat 41 bagi kaum muslim.
Ciri Khas Gaya Bahasa Al-Qur’an
Sebagaimana telah disebutkan, al-Qur’an memiliki gaya bahasa yang
khas, dan pembacanya harus mencermati beberapa ciri khas penting dalam gaya bahasa ini. AL- Qur’an yang mencampur sejumlah subjek, misalnya keimanan, ibadat, moral dan hukum diperkuat dengan cara mengkaitkan dengan keimanan, ibadah, dan moral. Ayat kursi misalnya yang menampilkan sifat-sifat keagungan Allah, datang setelah perintah kepada kaum beriman untuk menyedekahkan sebagian hartanya sebelum tiba suatu hari di mana tidak ada harta maupun persahabatan yang mampu menghindarkannya dari hadapan Allah Yang Maha Agung, orang-orang yang tidak memahami bagaimana al-Qur’an memaparkan tujuannya sendiri, mengkritik hal serupa ini sebagai “kesimpangsiuran”. Terdapat dalam surat al-baqarah ayat 237 yang menerangkan tentang pemberian nafkah dalam percaraian, yang sering kali disertai dengan kepahitan dan sifat kikir, al- Qur’an tiba-tiba saja mengingatkan manusia untuk “memelihara shalat dan berdiri di depan Allah dengan penuh pengabdian” yang terdapat pada ayat 238 surat al-baqarah. Jika al-Qur’an tersusun secara kronologis, tentulah ia akan menjadi sebuah biografi atau catatan sejarah. Seandainya ia tidak mencampur materi- materi berbeda, katakanlah mengenai Allah dan shalat, dalam satu bab terpisah atau menyisipkan dengan bab-bab yang lain. Tentu ia akan memiliki pengaruh yang kuat yang timbul sebagai akibat penggunaan tema- tema ini dengan tujuan untuk memperteguh pesan-pesannya di berbagai tempat. Al- Qur’an bukan sebuah tesis akademik, melainkan kitab petunjuk dan memiliki metode tersendiri dalam targhib (memberikan anjuran) dan tarhib ( menyampaikan ancaman) sehingga keduanya berjalan seimbang. Inilah ciri khas penting al-Qur’an. Dengan demikian, dapat ditemukan sesuatu yang kontras dalam ayat-ayatnya: setiap kali ia berbicara tentang surga dan pahala untuk orang-orang saleh, selalu didampingi dengan penyebutan Neraka dan azab bagi para pelaku kejahatan, karena al-Qur‟an mengakui bahwa akan selalu ada orang yang berbuat baik maupun terdapat orang berbuat jahat, penjelasan itu terdapat pada surat al-insan ayat 3. Orang-orang yang merasa bahwa al-Qur’an terlalu banyak berbicara tentang azab seharusnya ingat bahwa al-Qur’an juga berbicara tentang pahala bagi orang-orang saleh: Allah memberikan ampunan dan sekaligus menurunkan azab, penjelasan tersebut terdapat dalam surat al-hijr ayat 49-50. Meskipun al-Qur‟an tidak ditulis dalam bentuk sebuah naskah yang disunting, dan Nabi juga tidak ikut campur dalam susunannya yang telah ditetapkan Allah, misalnya dengan menambah kalimat penyambung di sana sini, namun hubungan antara ayat-ayat di dalam setiap surat, dapat dengan mudah dipahami dalam bahasa Arab mungkin dengan menggunakan kata sambung pendek atau kata ganti atau dengan mengulangi kata-kata tertentu yang merujuk kepada ayat sebelumnya, atau dengan menyingkatkanya, atau dengan memberikan contoh. Al-Qur’an dapat saja meletakkan ayatnya dalam urutan historis, misalnya menggunakan kata penghubung untuk mengetahui keberurutan suatu hubungan seperti “lalu atau “setelah itu” karena pola keberurutan itu dengan sendirinya telah menunjukan adanya kaitan yang erat. Ada kalanya kata sambung ditiadakan namun keruntutannya tetap terjaga. Dalam buku tentang retorika bahasa Arab, gaya bahasa ini dikenal sebagai fashl (pemutusan atau pemenggalan). Dalam beberapa situasi, tanpa perlu menggunakan kata sambung, kita tetap dapat menetapkan keberkaitan dengan ayat sebelumnya, surat al-Baqarah ayat 1- 5, yang berbicara tentang orang- orang beriman; sedangkan ayat ke 6 pada surat yang sama berbicara tentang orang-orang kafir, dengan tidak menggunakan kata sambung. Bahasa Inggris yang memiliki perbedaan pola kohesi, bisa menyisipkan suatu kata seperti “adapun tentang orang-orang beriman, mereka akan mengalami ini dan itu.” Adapun surah 96, ayat 1-5 berbicara tentang kasih sayang Allah yang telah menciptakan dan mendidik manusia. Ayat 6-8 dikaitkan dengan cara mengulangi kata al-insan (manusia) dan dengan cara membuatnya bersilang, yakni sementara manusia seharusnya berterima kasih, namun kenyataannya mereka malah bersikap angkuh dan menindas. Al-Qur’an diturunkan dalam berbagai situasi dan kondisi. Ia merespon berbagai macam permasalahan yang muncul di tengah- tengah masyarakat, terutama masyarakat Arab di mana ia diturunkan. Banyak permasalahan terjadi pada penghuni arab yang diperbincangkan saja tetapi juga memberikan solusi, pandangan, dan penilaian terhadap persoalan itu, baik positif maupun negatif. Panadangan atau penilaiannya ini menjadi ajaran yang mesti ditaati oleh komunitas muslim. Maka untuk memahami al-Qur’an yang menjadi pedoman yang suci dan juga menjadi sumber utama pengetahuan Islam. kajian tentang sosiologis- historis masyarakat Arab ketika al-Qur’an diturunkan menjadi suatu hal yang mesti dikuasai. Pengetahuan mengenainya dapat membantu mufassir memahami al-Qur’an. Oleh karenanya, pengetahuan tentang asbabun nuzul menjadi penting dalam menafsirkan al-Qur’an, asbabun nuzul mesti dipedomani dan dijadikan sumber dalam menangkap makna dan maksud ayat-ayat al-Qur’an.
Al-Qur’an menetapkan sejumlah ketentuan-ketentuan yang mesti dipatuhi.
Akan tetapi, kadang-kadang suatu persoalan yang sudah ditetapkan tidak berlaku kekal, terjadi perubahan terhadap ketentuan tersebut, suatu ketentuan diganti dengan ketentuan lain guna memberikan kelapangan kepada manusia. Namun, ayat al-Qur’an mengandung ketetapan yang telah dirubah meski secara fungsi tidak diamalkan tapi masih terdapat dalam al- Qur’an. Maka untuk memahami ayat-ayat seperti ini, seorang mufassir perlu pula menguasai ilmu an-nasih wa al-mansukh .Di antara isi al-Qur‟an itu ada yang dapat dipahami dengan mudah ada pula yang tidak, atau dengan kata lain biasanya disebut dengan ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat, untuk memahami ayat-ayat muhakam tidak membutuhkan penjelasan, karena ia memiliki makna yang jelas. seperti ini cenderung menimbulkan keseragaman umat Islam dalam memahami dan mengamalkannya. Lain halnya dengan ayat-ayat mutasyabihat ia memiliki makna yang tersembunyi dan membutuhkan penjelasan secara rinci, namun orang dapat memehami ayat-ayat ini secara zhanni. Para ulama‟ Dalam menangkap makna atau menafsirkan ayat seperti ini, condong berbeda argumen yang berpengaruh kepada kehidupan sosial juga membawakan perbedaan dalam pengamalan. Hal inilah di antara factor penyebab yang menimbulkan perbedaan mazhab dan keragaman masyarakat Islam dalam mengamalkan ajaran agamanya.11 Perbincangan di atas menggambarkan, bahwa ayat-ayat al-Qur’an itu jika dilihat dari aspek maknanya dapat diklasifikasikan kepada dua hal. 1. Ayat yang mempunyai makna jelas atau pasti (muhkam) 2. Ayat yang bermakna tidak jelas (mutasyabih) Pada bagian kedua ini di antaranya dapat dijangkau maknanya oleh manusia melalui ijtihad. Selain itu terdapat juga lafal-lafal yang terkandung dalam firman Allah Swt yang tidak mungkin daketahui maknanya oleh manusia, seperti ayat yang terdiri dari huruf muqaththa‟ah (huruf potong) yang biasanya terletak di awal sebagian surah.