Anda di halaman 1dari 15

Timbulnya perbedaan Qiroat Al-quran

Disusun oleh :
M. Zakky Ismail (2371010021)

PROGRAM PASCASARJANA (PPs)


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
METRO LAMPUNG
2023/2024

1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Al-Qur'an, sebagai salah satu sumber hukum Islam, memegang
keorisinalitas yang dapat dipertanggungjawabkan karena dianggap sebagai wahyu
langsung dari Allah, baik dalam aspek lafadz (teks) maupun makna. Kesucian dan
autentisitas Al-Qur'an dijamin oleh karakter mutawatir, di mana seluruh ayatnya
dinukilkan atau diriwayatkan secara konsisten dan dapat dipercaya, baik melalui
hafalan maupun tulisan.
Tidak dapat dipisahkan dari substansi Al-Qur'an adalah aspek qira'at, yang
merujuk pada beragam cara membaca atau mengucapkan teks suci tersebut.
Pengertian Al-Qur'an secara lughat (bahasa) mencakup makna 'bacaan' atau 'yang
dibaca', dan qira'at menjadi bagian integral dari pemahaman dan pengajaran Al-
Qur'an.1 Rasulullah SAW sendiri menyampaikan dan mengajarkan qira'at Al-
Qur'an kepada para sahabatnya, yang kemudian meneruskannya kepada para
tabi'in, dan seterusnya dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Proses transmisi qira'at Al-Qur'an ini menjadi bagian penting dari warisan
Islam, menunjukkan kontinuitas dan kesinambungan dalam menjaga keaslian teks
suci. Para sahabat dan tabi'in memainkan peran kunci dalam menyampaikan
qira'at dengan akurasi dan integritas, mengamankan bahwa pengajaran Al-Qur'an
tidak hanya terbatas pada makna tetapi juga mencakup cara bacaan yang tepat.
Dengan demikian, Al-Qur'an tidak hanya menjadi pedoman hukum, tetapi juga
sebuah warisan linguistik dan budaya yang terjaga dengan cermat dari generasi ke
generasi dalam dunia Islam.
Timbulnya perbedaan qiraat, atau variasi dalam membaca Al-Quran,
memiliki akar yang dalam dan kompleks yang mencerminkan kekayaan linguistik
dan keragaman budaya dalam masyarakat Arab pada masa awal Islam. Salah satu
faktor utama yang berkontribusi terhadap perbedaan ini adalah keberagaman

1
Ridha DS, M. 2015. “Kriteria Dan Ketentuan Qira’at Al-Qur’an.” Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu
Hukum 13 (2). Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Kerinci. h. 178

2
dialek Arab yang signifikan. Pada masa Nabi Muhammad dan sesudahnya,
berbagai wilayah Arab memiliki dialek bahasa Arab yang unik, menciptakan
keragaman dalam cara orang berbicara dan memahami bahasa. Ketika Al-Quran
pertama kali disampaikan secara lisan, proses ini melibatkan para sahabat Nabi
dari berbagai latar belakang dan dialek. Seiring perkembangan Islam dan
penyebarannya ke berbagai wilayah, masyarakat Muslim di setiap daerah
membaca Al-Quran dengan mempertahankan karakteristik fonetik dan dialek
mereka sendiri, menciptakan variasi dalam bacaan. Hal ini sebenarnya bersifat
alami (natural) dan merupakan fakta sejarah dari umat Islam itu sendiri.
Artinya ini merupakan fenomena yang tak dapat dihindari. Oleh karena itu
Rasulullah saw.sendiri membenarkan pelafalan al-Qur'an itu dengan berbagai
macam qiraat.2
Peran komunitas awal dalam menyampaikan Al-Quran secara lisan
berperan penting dalam munculnya perbedaan qiraat. Meskipun Al-Quran ditulis
sebagai upaya standarisasi oleh Khalifah Utsman bin Affan, variasi dalam
pengucapan dan dialek tertentu tetap tercermin dalam tulisan-tulisan tersebut.
Upaya Khalifah Utsman untuk menciptakan satu versi standar Al-Quran tidak
sepenuhnya menghilangkan variasi, melainkan menciptakan dasar untuk qiraat
yang berbeda. Proses perkembangan tulisan Al-Quran dan pembacaannya di
berbagai wilayah menciptakan sepuluh qiraat yang dikenal sebagai qiraat
Asharah.3
Kesepuluh qiraat ini diakui sebagai bagian integral dari warisan linguistik
dan kebudayaan Islam. Meskipun terdapat perbedaan, umat Islam memandang
semua qiraat ini sebagai sah dalam membaca Al-Quran. Masing-masing qiraat
mencerminkan keindahan dan keunikannya sendiri, menunjukkan kemegahan
bahasa Arab dan toleransi Islam terhadap keragaman. Dengan demikian,
perbedaan qiraat menjadi bukti kekayaan linguistik dan kultural Islam yang terus
dihargai dan dijaga oleh umat Muslim.

2
Basri, Basri, and Fikri Hamdani. 2020. “Implikasi Perbedaan Qira’at Dalam Istinbath Hukum.”
Farabi 17 (2). Institut Agama Islam Negeri Sultan Amai Gorontalo: 163–79. h. 164
3

3
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Timbulnya perbedaan Qiraat Al-Quran merupakan fenomena
kompleks yang melibatkan faktor sejarah, linguistik, dan teologis. Sejak
zaman Nabi Muhammad SAW, Al-Quran telah disampaikan melalui
warisan lisan, memungkinkan variasi dalam bacaan akibat perbedaan dialek
bahasa Arab dan interpretasi para sahabat dan pengikut Nabi. Proses ini
berlanjut dengan peran penting para imam dan ahli qiraat dalam
melestarikan Al-Quran. Aspek linguistik juga memainkan peran kunci,
dengan pengaruh dialek dan perbedaan fonetik yang memberikan kontribusi
pada variasi Qiraat. Terlepas dari perbedaan tersebut, upaya standarisasi,
seperti Mushaf Uthmani, telah dilakukan untuk menjaga keseragaman
dalam bacaan Al-Quran. Secara teologis, perbedaan Qiraat dapat
memunculkan pertanyaan tentang dampaknya pada pemahaman teologis
dan hukum Islam, tetapi juga memperkaya pemahaman umat Islam
terhadap Al-Quran.
Dampak historis dan kultural perbedaan Qiraat menciptakan
keragaman dalam masyarakat Muslim, namun tetap mempertahankan
kesatuan esensial dalam ajaran Islam. Meskipun variasi bacaan, umat Islam
umumnya mengakui Al-Quran sebagai wahyu yang sama, dan perbedaan
Qiraat lebih menunjukkan kekayaan bahasa dan kompleksitas warisan
Islam daripada perpecahan teologis. Kesimpulannya, pemahaman
mendalam tentang timbulnya perbedaan Qiraat tidak hanya
menggambarkan sejarah pengembangan Al-Quran tetapi juga
mencerminkan kedalaman keberagaman dan kompleksitas dalam tradisi
Islam.
2. Manfaat Penelitian

4
Penelitian mengenai timbulnya perbedaan Qiraat Al-Quran
memiliki sejumlah manfaat signifikan. Pertama, pemahaman mendalam
tentang asal-usul perbedaan ini dapat memberikan wawasan yang lebih baik
terkait warisan kultural dan linguistik dalam Islam. Ini tidak hanya
membantu memperkaya sejarah intelektual Islam tetapi juga menguatkan
identitas umat Muslim dengan memahami kompleksitas yang terkandung
dalam penyalinan dan pengembangan Al-Quran. Selain itu, pemahaman
yang lebih baik tentang perbedaan Qiraat dapat memberikan landasan untuk
dialog antarumat beragama dan mendukung toleransi di antara umat Islam
yang memiliki perbedaan bacaan dalam menghafal dan membaca Al-Quran.
Ini dapat menjadi langkah penting dalam mempromosikan pemahaman
yang lebih mendalam dan menghormati keanekaragaman di dalam
komunitas Muslim.

Kedua, penelitian ini juga dapat memberikan wawasan teologis


yang mendalam. Dengan memahami keragaman Qiraat, kita dapat
menggali bagaimana para ulama dan pemikir Islam menyikapi perbedaan
ini dalam konteks teologis. Hal ini dapat membuka jalan untuk
merenungkan tentang fleksibilitas dan kerangka interpretatif yang
memungkinkan variasi bacaan dalam Islam. Selain itu, pemahaman ini
dapat menjadi dasar untuk mempromosikan toleransi dan penghargaan
terhadap perbedaan pendapat teologis di dalam umat Islam, menciptakan
ruang bagi dialog dan saling pengertian yang lebih baik di antara umat
Muslim yang mungkin memiliki interpretasi berbeda terhadap Al-
Quran.Melalui pencapaian tujuan dan manfaat ini, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap pengembangan
pendidikan Al-Qur'an di Pondok Pesantren Salaamul Quran dan mungkin
juga memberikan panduan yang bermanfaat bagi pesantren dan institusi
pendidikan Islam lainnya.

5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Qiraat
Secara bahasa, "qiraat" (‫ )ِق َر اَء ٌة‬dalam bahasa Arab bermakna
"membaca" atau "membacakan". Secara umum, istilah ini merujuk pada
tindakan membaca atau membacakan sesuatu, dan dalam konteks agama
Islam, istilah ini khususnya mengacu pada berbagai variasi atau gaya dalam
membaca Al-Quran. Secara istilah, dalam konteks keilmuan agama Islam,
"qiraat" merujuk pada berbagai cara membaca Al-Quran yang diwariskan dari
masa awal Islam. Ada sejumlah qiraat yang diakui dan dihormati dalam tradisi
Islam. Para qari' (pembaca Al-Quran) yang memahami dan menguasai
berbagai qiraat disebut "qari' mutawatir" yang memiliki keahlian dalam
membaca Al-Quran dengan berbagai metode atau gaya sesuai dengan warisan
lisan yang berbeda. Perbedaan qiraat dapat mencakup perbedaan dalam
pengucapan, tata bahasa, dan kadang-kadang arti kata tertentu. Diperkirakan
ada sepuluh qiraat yang diakui secara umum, dan setiap qiraat memiliki jejak
warisan lisan yang dapat ditelusuri kembali hingga masa awal Islam.4
Secara historis, pada masa awal Islam, terdapat beberapa dialek bahasa
Arab yang berbeda di berbagai wilayah. Dalam upaya untuk memastikan
keseragaman dan meminimalkan potensi kesalahan dalam memahami teks Al-
Qur'an, pengaturan standar dibuat untuk membaca teks tersebut. Hal ini
menyebabkan munculnya berbagai cara atau qira'at dalam membaca Al-
Qur'an.
Beberapa ahli qira'at terkenal, seperti Imam Hafs dan Imam Warsh,
dikenal karena mengembangkan metode pembacaan tertentu yang menjadi
populer di berbagai wilayah. Seiring waktu, sepuluh qira'at yang paling
terkenal menjadi standar dalam membaca Al-Qur'an. Masing-masing dari
sepuluh ini diakui sebagai mutawatir (disampaikan oleh jumlah narator yang
besar sehingga dapat dianggap sebagai benar) dan sah (diterima secara luas).
4
1 Manna Khalil Al-Khattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: PT Pustaka Litera Antar Nusa,
2006, cet 9), hlm 247.

6
Ibn al-Jazari, seorang ulama Islam abad ke-14, mendefinisikan qira'at
sebagai berbagai cara sah membaca Al-Qur'an yang berasal dari para sahabat
Nabi Muhammad SAW. Dalam karyanya "Al-Nashr fi al-Qira'at al-'Ashr,"
Ibn al-Jazari membagi sepuluh qira'at menjadi Mutawatirah (yang
diriwayatkan oleh banyak perawi dengan sanad yang kuat) dan Mashhurah
(yang tidak mencapai derajat mutawatir tetapi tetap diakui). Fokus utamanya
adalah menjaga keaslian bacaan Al-Qur'an dan mendokumentasikan
perbedaan-perbedaan di antara qira'at tersebut. Ibn al-Jazari berusaha
melindungi keberagaman bacaan Al-Qur'an serta memastikan tradisi membaca
Al-Qur'an tetap terpelihara dengan baik, mengingatkan pentingnya merawat
dan memahami perbedaan dalam melaporkan sanad atau rantai perawatan
untuk menjaga integritas teks suci Al-Qur'an.5
Qira'at adalah bagian integral dari ilmu qira'at dan tajwid, memastikan
bahwa Al-Qur'an tetap terpelihara dalam semua variasi bacaannya. Studi
tentang qira'at memungkinkan pemahaman mendalam tentang nuansa dan
kekayaan bahasa Arab yang terkandung dalam Al-Qur'an.
Qira'at, yang merujuk pada berbagai cara membaca Al-Qur'an,
memiliki peran penting dalam konteks keberlanjutan dan keberagaman ajaran
Islam. Sejak masa awal Islam, ketika terdapat variasi dialek bahasa Arab di
berbagai wilayah, muncullah qira'at sebagai bentuk pengaturan standar untuk
membaca Al-Qur'an. Salah satu tujuan utama dari qira'at adalah untuk
memastikan preservasi dan keaslian teks suci tersebut. Dengan adanya variasi
dalam qira'at, tradisi lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi menjadi
instrumen vital dalam menjaga integritas dan autentisitas Al-Qur'an. Ini juga
membantu mencegah perubahan atau kesalahan dalam pemahaman teks suci
yang memiliki kedudukan sentral dalam ajaran Islam.
Pentingnya qira'at juga terletak pada penghargaannya terhadap
keanekaragaman budaya dan linguistik dalam komunitas Muslim. Pada
hakikatnya, qira'at mengakui perbedaan dialek bahasa Arab sebagai suatu

5
Rosihon Anwar, Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm 147.

7
bentuk kekayaan dan warisan budaya yang dihormati dalam tradisi Islam.
Keseragaman dalam pengajaran qira'at juga memiliki dampak signifikan
dalam membentuk pemahaman dan interpretasi yang benar terhadap Al-Qur'an
di seluruh dunia Muslim. Ini mencegah terjadinya perbedaan yang substansial
dalam pemahaman teks suci yang mungkin dapat mengarah pada
ketidakseragaman dalam praktik ibadah dan ajaran Islam.6
Selain itu, pengenalan qira'at dapat membuka pintu untuk pemahaman
yang lebih mendalam terhadap ajaran-ajaran Al-Qur'an. Beberapa qira'at
menyoroti nuansa dan makna tertentu dari ayat-ayat suci, memberikan umat
Muslim kesempatan untuk merenung dan memahami lebih dalam pesan-pesan
spiritual dan filosofis yang terkandung dalam teks suci. Tradisi pembacaan
qira'at juga memiliki dampak langsung dalam pelaksanaan ibadah sehari-hari,
seperti salat, di mana umat Islam di berbagai wilayah mungkin mengikuti
salah satu dari sepuluh qira'at yang diakui.
Secara keseluruhan, qira'at bukan hanya merupakan bentuk perbedaan
dalam membaca, tetapi juga sebuah warisan penting dalam tradisi Islam.
Melalui pengajaran dan pemahaman qira'at, umat Islam dapat memelihara
keaslian Al-Qur'an, menghormati keanekaragaman budaya, dan memperoleh
wawasan yang lebih mendalam terhadap nilai-nilai dan ajaran suci yang
membimbing kehidupan mereka.

B. Macam-macam Qiraat
Pengajaran dan pembacaan Al-Qur'an memiliki dimensi yang mendalam
dalam tradisi Islam. Salah satu aspek penting yang memperkaya pemahaman Al-
Qur'an adalah melalui berbagai macam qira'at, atau cara membaca. Sepuluh
qira'at yang terkenal membentuk warisan lisan yang telah diwariskan dari masa
awal Islam. Dalam penjelasan ini, kita akan menjelajahi dan menggali lebih
dalam tentang berbagai qira'at yang memberikan nuansa dan kekayaan tersendiri
dalam pemahaman Al-Qur'an. Setiap qira'at mencerminkan warisan budaya,
6
Fauziah, Cut. 2019. “IMPLEMENTASI QIRAAT SAB’AH DALAM QIRAAT ALQURAN.” Jurnal At-
Tibyan: Jurnal Ilmu Alquran Dan Tafsir 4 (1). IAIN Langsa: 101–19. h. 110

8
bahasa, dan sejarah Islam yang berbeda, memberikan pemahaman lebih
mendalam tentang keragaman dan kekayaan spiritual dalam membaca kitab suci
umat Islam.7
Dalam perjalanan spiritual umat Islam, membaca Al-Qur'an bukan hanya
sekadar tugas ibadah, tetapi juga merupakan upaya untuk memahami dan
meresapi pesan-pesan ilahi yang terkandung di dalamnya. Salah satu elemen
penting yang memberikan warna dan kedalaman dalam pengalaman membaca
adalah variasi qira'at. Sepuluh qira'at yang diakui secara umum memberikan
pandangan yang berbeda-beda terhadap teks suci, menciptakan kesempatan
untuk merenung dan memahami makna yang lebih dalam.
Dalam pandangan Islam, pengakuan sepuluh qira'at sebagai mutawatir dan
sah menegaskan pentingnya keanekaragaman dalam tradisi pembacaan Al-
Qur'an. Setiap qira'at memiliki akar sejarah dan warisan budaya tersendiri,
mencerminkan konteks regional dan perbedaan dialek bahasa Arab pada masa
awal Islam. Dengan memahami dan menghargai berbagai qira'at, umat Islam
dapat mengeksplorasi kekayaan makna dan konteks yang mungkin tidak
terungkap dalam satu cara pembacaan saja.
Penting untuk diingat bahwa variasi dalam qira'at tidak mengurangi
kesatuan atau kebenaran Al-Qur'an. Sebaliknya, hal ini menunjukkan
keragaman dan kedalaman makna yang dapat ditemukan dalam teks suci.
Dengan merenungkan berbagai qira'at, umat Islam dapat mendekati Al-Qur'an
dengan perspektif yang lebih komprehensif, memperkaya spiritualitas dan
pemahaman agama mereka. Dalam penjelasan yang akan menyusul, kita akan
mengeksplorasi karakteristik dan perbedaan masing-masing qira'at, memahami
konteks historis di baliknya, serta bagaimana keberagaman ini memberikan
sumbangan berharga dalam menjaga keaslian dan keberlanjutan Al-Qur'an
sebagai petunjuk hidup bagi umat Islam.8

7
Nashoih, Afif Kholisun. 2017. “Problematika Qiraat Al-Qur’an: Pintu Masuk Munculnya Kajian
Bahasa Arab.” DINAMIKA : Jurnal Kajian Pendidikan Dan Keislaman 1 (1). Universitas KH. A. Wahab
Hasbullah: 93–113. h.97
8
Ridha DS, M. 2015. “Kriteria Dan Ketentuan Qira’at Al-Qur’an.” Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu
Hukum 13 (2). Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Kerinci. h. 12

9
Qiraat merujuk kepada berbagai gaya membaca Al-Quran yang berbeda,
dan ada beberapa metode atau gaya yang diakui dan diajarkan dalam tradisi
Islam. Qiraat ini mengacu pada variasi dalam membaca teks Al-Quran, dan para
qari atau pembaca Al-Quran yang mempelajari dan menguasai berbagai qiraat
ini memiliki kemampuan untuk membaca teks Al-Quran dengan variasi yang
diakui dalam tradisi Islam. Berikut adalah sepuluh qiraat itu:
1. Nafi’ Al Madani
Nafi' Al-Madani adalah salah satu qari dan guru besar dalam ilmu qiraat
yang terkenal. Dia adalah salah satu dari tujuh pembaca utama (Qari Utama)
dalam sistem qiraat, dan ia dikenal sebagai perawi dalam qiraat Warsh 'an Nafi'.
Qiraat Warsh 'an Nafi' ini terutama dikenal dan diwariskan di wilayah Maghrib,
termasuk negara-negara seperti Maroko, Algeria, dan Tunisia.
Nafi' Al-Madani adalah murid dari Imam Malik, pendiri Madzhab Maliki
dalam fiqh Islam. Dia memperoleh ilmu qiraat dari guru-gurunya dan menjadi
salah satu otoritas dalam membaca Al-Quran dengan gaya Warsh 'an Nafi'.
Kedudukannya sebagai perawi dalam qiraat ini menjadikannya salah satu tokoh
penting dalam tradisi qiraat, terutama di wilayah Maghrib. Penting untuk dicatat
bahwa Nafi' Al-Madani tidak hanya dikenal sebagai perawi dalam qiraat, tetapi
juga sebagai seorang ulama dan ahli hadis yang dihormati. Keberadaannya
memberikan kontribusi besar terhadap warisan ilmiah dalam tradisi Islam,
terutama dalam konteks qiraat Al-Quran.
2. Ibnu Katsir almakki
Abdullah bin Kathir bin 'Umar bin Abdullah Nama lengkapnya adalah
Abdullah bin Abdullah bin Zadan bin Fairuz bin Hurmuz. Sebagian riwayat
mengatakan bahwa beliau dikenal dengan sebutan Ibnu Katsir al-Dari,
dinisbatkan kepada bani Abdi al-Dar. Sebagian riwayat yang lain mengatakan
bahwa kata “al-Dari” dinisbatkan pada sebuah tempat di Bahrain. Beliau lahir
pada tahun 45 H dan menetap di sana hingga remaja di Makkah.
3. Abu Amr al-Bashri

10
Basrah merupakan kota terbesar kedua di Irak. Pada zaman dahulu, selain
sebagai pusat ilmu, Basrah merupakan pusat perkantoran dan politik
pemerintahan Islam. Secara geografis, Basrah terletak di selatan Irak. Dalam
bidang ilmu Al-Qur’an dan qira’at, Basrah melahirkan seorang ilmuwan yang
zuhud, yaitu Imam Abu Amr al-Bashri. Ia merupakan salah satu imam qira’at
sab’ah yang lahir di Makkah tahun 70 H. Sebagian riwayat menyatakan bahwa
beliau lahir pada tahun 68 H. Namanya Zabban bin al-Ala’ bin Ammar bin al-
Uryan bin Abdullah bin al-Husain bin al-Harits bin Jalhamah. Ia dikenal dengan
sebutan al-Imam as-Sayyid Abu Amr al-Tamimi al-Mazini al-Bashri. Nasabnya
bersambung kepada Adnan, buyut Nabi Muhammad.
4. Ibnu ‘Amir Asy Syaami
Abdullah bin Amir bin Yazid bin Tamim bin Rabi’ah bin Amir al-
Yahshabi adalah seorang tokoh yang memiliki garis keturunan Arab yang
murni, tidak tercampur dengan keturunan ajami (non-Arab). Dia dinisbatkan ke
buyut atau kabilahnya di Yaman, yaitu al-Yahshabi bin Dahman.
Selain itu, ia juga diakui sebagai salah satu imam qira'at sab'ah yang murni
keturunan Arab, yang merupakan kelompok ulama yang mengkhususkan diri
dalam membaca Al-Qur'an dengan tujuh metode bacaan yang berbeda. Imam
Ibnu Amir asy-Syami termasuk di antara imam-imam qira'at yang memiliki
sanad atau rantai perawi yang tinggi dan dihormati dalam masyarakat Syam. Ia
juga merupakan tabi'in senior, yaitu generasi yang hidup setelah periode sahabat
Rasulullah SAW. Peran dan kontribusi imam asy-Syami dalam bidang qira'at
Al-Qur'an serta sebagai pemimpin dan panutan masyarakat Syam menunjukkan
keberhasilannya dalam melestarikan dan mentransmisikan ilmu Al-Qur'an di
wilayah tersebut setelah wafatnya Abi Darda', seorang sahabat Rasulullah SAW.
5. ‘Ashim Al Kuufi
Nama lengkapnya adalah Ashim bin Abi Najud al-Asadi. Nama
panggilannya (kuniyah), Abu bakar. Sebagian riwayat mengatakan bahwa nama
bapaknya adalah Bahdalah, sebagian riwayat yang lain mengatakan bahwa
Bahdalah adalah nama ibunya, sebagian riwayat yang lain juga mengatakan

11
bahwa nama ayahnya adalah Abdulllah sedangkan Abi Najud adalah
kuniyahnya. Secara garis keturunan, ia termasuk marga al-Asadi al-Kufi. Kata
“al-Asadi” dinisbatkan kepada marganya, sedangkan “al-Kufi” dinisbatkan
kepada tempat tinggalnya, yaitu Kufah. Beliau adalah salah satu imam qira’at
sab’ah dari kalangan ulama Kufah, dan termasuk tabi’in yang agung. Setelah
gurunya, Abdurrahman al-Sullami, wafat, ia menggantikan posisinya sebagai
masyikhah iqra’ di Kufah, sehingga banyak para pelajar datang dari berbagai
negara untuk belajar kepadanya.
6. Hamzah Al Kuufi
Nama lengkapnya adalah Hamzah bin Habib bin Imarah bin Ismail az-
Zayyat al-Kufi al-Taymi. Kuniyahnya Abu Imarah. Beliau lebih dikenal dengan
panggilan Hamzah az-Zayyat (pedangan minyak), karena membawa minyak
dari Urf ke Hulwan di Iraq. Dan membawa keju dan kacang-kacangan dari
Hulwan ke Kufah. Imam zahid ini lahir pada tahun 80 H, dan pada saat
memasuki usia lima belas tahun, ia memantapkan hafalan bacaan Al-Qur’annya.
Dalam salah satu riwayat, beliau “menangi” sahabat saat kecil, kemungkinannya
beliau pernah melihat dan menjumpai sebagian mereka, maka dari itu, beliau
disebut sebagai tabi’in. Imam Hamzah adalah salah satu imam qira’at sab’ah
yang memiliki predikat “al-Hibr” (tinta) dan syaikh al-Qurra’ di Kufah. Ia
menjadi panutan masyarakat Kufah dalam bidang Al-Qur’an setelah wafatnya
Ashim dan al-A’masy. Dalam bidang Al-Qur’an, kepakarannya tidak
diragukan, sehingga beliau mendapat predikat prestisius, yaitu tsiqah, hujjah,
tegak dalam soal kitab Allah, mahir dalam bidang faraidh, bahasa Arab dan
banyak hafal hadis. Imam Abu Hanifah berkata: “Ada dua hal yang Anda
mengungguli kami dan tidak terbantahkan oleh kami, yaitu Al-Qur’an dan ilmu
Faraidh.
7. Al-Kisaa’i Al Kuufi
Kufah merupakan negeri yang banyak melahirkan intelektual Muslim yang
berbakat dalam bidangnya. Ia menjadi tempat yang “empuk” untuk memupuk
intelektualisme, ibarat lautan yang tak pernah habis airnya walau di saat surut.

12
Pada mulanya, imam ini tidak masuk dalam urutan imam qira’at sab’ah (tujuh),
sebab posisi ke tujuh ditempati oleh Imam Ya’kub al-Hadrami, imam qira’at
yang ke sembilan dalam urutan qira’at asyrah (sepuluh). Tapi kemudian Imam
al-Mujahid melalui penelitiannya yang mendalam, ia menempatkan Imam al-
Kisa’i pada posisi ke tujuh dalam qira’at sab’ah. Penempatan ini tidak
didasarkan pada faktor politik atau kedekatannya dengan sang khalifah, yaitu
Harun al-Rasyid, namun karena faktor kemutawatiran sanad dan dedikasinya
dalam mengajarkan qira’at Al-Qur’an. Selain itu, Imam al-Hadrami adalah salah
satu murid dari Imam al-Kisa’i, artinya secara standarisasi transmisi sanad,
Imam al-Kisa’i lebih unggul.
8. Abu Ja’far Al Madaniy
Namanya Yazid bin al-Qa’qa’ al-Makhzumi al-Madani. Ia dikenal dengan
panggilan Abu Ja’far. Ia adalah salah satu imam qira’at sepuluh (Qira’at Asyrah
al-Mutawatirah) dari kalangan tabi’in dan seorang panutan masyarakat Madinah
dalam bidang qira’at yang memiliki ketelitian dan kredibilitas yang sempurna.
9. Ya’qub Al Bashriy
Nama lengkapnya, Ya’qub bin Ishaq bin Zaid bin Abdullah bin Abi Ishaq
al-Hadhrami al-Bashri. Ia dikenal dengan panggilan Abu Muhammad. Imam
Ya’qub adalah imam yang yang memiliki garis keturunan sebagai ahli qira’at.
Sebab bapak hingga buyutnya adalah para pemuka ahli qira’at; Abdullah bin
Ishaq al-Hadhrami (w. 117 H). Imam Ya’qub merupakan salah satu imam
qira’at asyrah (sepuluh). Imam al-Dzahabi mencantumkan Imam Ya’qub
sebagai imam qira’at generasi (thabaqat) kelima dari kalangan tabi’in. Dia
adalah seorang imam yang muttaqi (orang yang bertakwa), wira’i, zuhud, dan
agamis. Kezuhudannya dalam berperilaku dan bersikap, mengantarkan Imam
Ya’qub pada ketulusan dalam beribadah. Suatu ketika Imam Ya’qub
melaksanakan shalat dengan memakai sorban di pundaknya, kemudian dicuri
oleh seseorang dari pundaknya, ia tidak menyadari. Kemudian sorban tersebut
dikembalikan lagi kepadanya, ia pun tidak menyadarinya, karena sedang sibuk
(khusyuk) bermunajat kepada Tuhannya.

13
10. Khalaf al-‘Aasr
Namanya Khalaf bin Hisyam bin Tsa’lab bin Khalaf al-Asadi al-Baghdadi
al-Bazzar, kuniyahnya Abu Muhammad. Beliau salah satu perawi Imam
Hamzah dari jalur Imam Sulaim. Selain sebagai perawi Imam Hamzah, beliau
juga berstatus sebagai imam qira’at ke sepuluh yang memiliki (pilihan) bacaan
sendiri, yang berbeda dengan Imam Hamzah. Imam Khalaf memiliki
kedudukan dan posisi yang berbeda; sebagai perwai dari Imam Hamzah
sekaligus sebagai imam qira’at. Meskipun ia memiliki kedudukan dan posisi
yang berbeda, tidak sedikit ulama yang memuji keilmuannya, bahkan tak ayal
kalau beliau disebut sebagai orang yang sangat tsiqah dalam soal periwayatan.
Selain gelar tsiqah, Imam Khalaf juga dikenal sebagai orang yang hidup
sederhana (zahid) alim dan ahli ibadah.9

C. Urgensi Mempelajari Qiraat dan Pengaruh Terhadap Hukum


Qira'at adalah ilmu yang mempelajari cara membaca Al-Qur'an dengan
memperhatikan aturan-aturan tajwid dan variasi bacaan yang sah secara
syar'i. Pengkajian Qira'at memiliki urgensi dan pengaruh yang penting,
terutama dalam konteks pemahaman dan pelaksanaan hukum Islam.
Beberapa urgensi mempelajari Qira'at dan pengaruhnya terhadap hukum
Islam antara lain:

1. Preservasi Teks Al-Qur'an:


Mempelajari Qira'at membantu dalam menjaga integritas teks Al-Qur'an.
Dengan memahami variasi bacaan yang sah, umat Islam dapat memastikan
bahwa teks Al-Qur'an tetap terjaga dan tidak mengalami distorsi.
2. Pengaruh Terhadap Hukum Fiqih:
Beberapa variasi bacaan dalam Qira'at dapat memengaruhi pemahaman dan
pelaksanaan hukum fiqih. Misalnya, ada perbedaan dalam beberapa ayat yang
dapat membawa implikasi hukum tertentu. Mempelajari Qira'at membantu

9
Moh. Fathurrahman, https://nu.or.id/ilmu-al-quran/biografi, (diakses 1 Desember 2023)

14
ulama dan fuqaha dalam menentukan hukum-hukum fiqih berdasarkan
variasi bacaan yang sah.
3. Memahami Konteks Asal Usul Ayat:
Setiap variasi bacaan dalam Qira'at kadang-kadang memiliki hubungan
dengan sejarah dan konteks asal usul ayat tersebut. Memahami konteks ini
dapat memberikan wawasan tambahan dalam menafsirkan dan
mengaplikasikan hukum Islam.
4. Pentingnya Tajwid dalam Pengajaran:
Ilmu Qira'at mencakup aturan-aturan tajwid yang merupakan bagian
integral dari membaca Al-Qur'an dengan benar. Tajwid bukan hanya masalah
melafalkan huruf-huruf, tetapi juga dapat memengaruhi pemahaman makna
ayat. Oleh karena itu, memahami tajwid melalui Qira'at dapat membantu
dalam memperdalam pengajaran dan pemahaman Al-Qur'an.
5. Menanggapi Perbedaan Tradisi Lisan:
Adanya variasi bacaan dalam Qira'at juga mencerminkan tradisi lisan
yang berbeda di berbagai wilayah Arab pada masa lalu. Mempelajari Qira'at
dapat membantu umat Islam untuk menghargai keragaman dalam tradisi lisan
tersebut dan memahami bahwa variasi bacaan ini telah diakui dan diterima
dalam lingkungan Islam.

Dalam pengembangan hukum Islam, pemahaman terhadap Al-Qur'an sebagai


sumber utama hukum sangat penting. Oleh karena itu, mempelajari Qira'at
menjadi sebuah kewajiban untuk memastikan bahwa umat Islam dapat
menjaga integritas teks Al-Qur'an dan memahami subtansi hukum Islam
dengan lebih mendalam.

15

Anda mungkin juga menyukai