Anda di halaman 1dari 101

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur‟anul Karim adalah mukjizat Islam yang kekal dan

mukjizatya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia

diturunkan Allah kepada Rasulullah, Muhammad SAW untuk

mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang,

serta membimbing mereka ke jalan yang lurus.1

Al-Qur‟an adalah kitab terakhir yang menyempurnakan kitab-

kitab sebelumnya. Kitab-kitab sebelumnya seperti kitab Taurat yang

diturunkan kepada Nabi Musa as., dan Injil yang diturunkan kepada

Nabi Isa as. Al-Qur‟an membenarkan kitab-kitab tersebut, kemudian

menambahi yang kurang serta mengoreksi hal-hal yang perlu

dikoreksi.2

Al-Qur‟an adalah satu-satunya firman Tuhan yang diyakini

autentik (asli), bukan hanya oleh umat Islam tapi juga mayoritas

intelektual non-muslim. Kesesuaian Al-Qur‟an dalam bentuk mushaf

yang ada sekarang dengan wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada

Nabi Muhammad SAW dapat dibuktikan terjamin hingga akhir

1
Mannā‟ Khalīl al-Qaţţān, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, cet. 18 (Bogor: Litera Antar Nusa,
2017), h. 1.
2
Irja Nasrullah, Al-Qur‟an antara Tuduhan dan Realitas, cet. 1 (Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2016), h. 9.

1
zaman.3

Allah memberikan jaminan pemeliharaan dan penjagaan Al-

Qur‟an dari cacat dan cela dan dari tangan-tangan usil yang mencoba

mengurangi atau mengubahnya, sehingga tidak seorang pun yang

sanggup menyelewengkan apalagi menghapusnya. Sebagaimana

firman Allah dalam QS. al-Ḥijr/15 ayat 9 :


َ ُ َ َ ُ َ َّ َ َ ْ ّ َ ْ َّ َ ُ ْ َ َّ
َ‫افظىن‬
ِ ‫الذكر و ِإها له لح‬
ِ ‫ِإها هحن هزلنا‬

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur‟an, dan

Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (Al- Hijr 15:9)”.4

Ayat di atas sering kali dijadikan dalil untuk menegaskan

keterjagaan, keotentikan dan memelihara Al-Qur‟an dari upaya

menambahkan, mengurangi, mengubah atau menggantinya, Allah

telah menjamin selama langit dan bumi masih terbentang. Ayat ini

juga sering dijadikan perdebatan oleh para mufasir terutama di dalam

memaknai “ḥāfiẓūn” yaitu pemeliharaan Al-Qur‟an. Seiring

berkembangnya ilmu tafsir ada perluasan makna dalam “ḥāfiẓūn”

yang tadinya hanya Allah saja yang menjaga dan memelihara Al-

Quran sampai ada pihak lain selain Allah.

Rasulullah SAW juga memerintahkan para sahabat untuk tidak

hanya menghafal, tetapi juga mencatat dan mengumpulkan wahyu

3
H.A.Muhaimin Zen, Al-Qur‟an 100% Asli; Sunni-Syiah Satu Kitab Suci, cet. 1 (Jakarta:
Nur Al-Huda, 2012), h. 11.
4
Muhammad Ahsin Sakho, Afif Zarkasi. Al-Qur‟an dan Terjemahnya. Cet. 12 (Tangerang
Selatan: Forum Pelayan Al-Qur‟an, 2018), h. 262.

2
yang turun kepada beliau. Umat Islam sejak awal mencatat Al-Qur‟an

dan menyimpannya di dalam peti atau kantong khusus di rumah

mereka masing-masing. Penghafalan dan pencatatan Al-Qur‟an

menjadi kegiatan populer pada zaman tersebut. Para sahabat yang

menghafal Al-Qur‟an sekaligus mencatat dan mengumpulkannya

dalam mushaf-mushaf mendapatkan posisi terhormat di kalangan

kaum muslimin.

Oleh sebab itu, Al-Qur‟an sampai ke tangan kita sekarang ini

melalui proses periwayatan yang mutawatir (diriwayatkan sangat

banyak orang). Umat Islam dalam jumlah yang banyak meriwayatkan

Al-Qur‟an dari hafalan ke hafalan dan dari catatan ke catatan.

Sehingga, periwayatan yang dilakukan perorangan langsung tertolak.

Inilah salah satu faktor mengapa umat Islam harus meyakini keaslian

dan kemurnian Al-Qur‟an. Tak pernah ada perubahan, baik itu

penambahan maupun pengurangan yang terjadi dalam Al-Qur‟an.

Ada beberapa ahli tafsir (mufassir) yang menerangkan dan

menjelaskan tentang maksud “ḥāfiẓūn” atau penjagaan Al-Qur‟an

serta perkembangan maknanya dari abad pertama sampai abad ke 15.

Pada awalnya hanya Allah yang menjaga Al-Qur‟an, ini berada pada

abad pertama, kemudian abad pertengahan muncul perluasan makna

“ḥāfiẓūn” yaitu keterjagaan Al-Qur‟an melibatkan pihak lain selain

Allah, dan kemudian diperkuat sampai abad 14, sehingga

berkesimpulan berdasarkan perluasan makna dari ahli tafsir

3
(mufassir) abad 15 bahwa keterjagaan al-Qur‟an telah melibatkan

banyak pihak.

Bagi kaum muslimin, Al-Qur‟an merupakan kalam Allah yang

suci dari generasi ke generasi, berbagai usaha dilakukan umat Islam

untuk memahami kandungan Al-Qur‟an hingga bermunculan berbagai

kitab tafsir. Indonesia sebagai negara muslim terbesar dan jumlah

umat muslim terbanyak di dunia, mempunyai korelasi signifikan

dalam kebutuhan untuk memahami isi al-Qur‟an. Perkembangan

penafsiran al-Qur‟an di Indonesia cenderung berbeda dengan yang

terjadi di negara Arab karena perbedaan latar belakang budaya dan

bahasa.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, penulis

menemukan beberapa masalah yang dapat diajukan bahan untuk

penelitian ialah sebagai berikut:

Sebagai umat Islam, kita harus mempunyai pikiran bahwa

akan sangat berguna memelihara ayat-ayat al-Qur‟an bagi generasi

mendatang, sehingga dibutuhkan kajian yang mendalam terhadap

teks al-Qur‟an sebagaimana telah dilakukan terhadap kitab-kitab

sebelumnya. Oleh karena itu penulis ingin mengkaji bagaimana

pandangan para mufassir menyikapi keterjagaan al-Qur‟an

tersebut. Dalam hal ini penulis mengambil rujukan dari 3 kitab

4
tafsir yang banyak dipelajari di Indonesia.

Pertanyaannya adalah bagaimana para mufassir tersebut

memaknai “ḥāfiẓūn” atau penjagaan al-Qur‟an, apakah penjagaan

al-Qur‟an hanya oleh Allah semata atau ada keterlibatan dari

pihak-pihak lain? Disini penulis akan mengkaji lebih dalam tentang

metode penjagaan al-Qur‟an tersebut.

Selama ini, kajian dan pembahasan mufassir Indonesia

belakangan ini hanya membahas dan mengkaji pada ayat-ayat

terkait hukum, fiqih, toleransi, tawasul, pendidikan, persoalan

rumah tangga dan yang lainya. Jarang sekali yang membahas

penjagaan al-Qur‟an, sehingga penulis menemukan adanya ruang

untuk mengkaji bagaimana para ahli tafsir menafsirkan penjagaan

al-Qur‟an yang diturunkan 14 abad yang lalu, dan kajian penjagaan

al-Qur‟an yang cenderung membahas tentang penjagaan al-Qur‟an

dari bentuk penghafalan quran (tahfizhul quran).

2. Pembatasan Masalah

Untuk melengkapi kajian atas tema besar tersebut, penulis

pun hanya memfokuskan dan membatasi penelitian terkait

penjagaan al-Qur‟an dengan rujukan 3 kitab tafsir yang banyak

dipelajari di Indonesia, yaitu Tafsir Ibnu Katsir karya Abul Fida

Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyi al-Bushrawi ad-

Dimasyqi (ulama madzhab Syafii awal abad ke 8 H atau abad 14

Masehi. Lahir 700 H/1301 M wafat 1372 M), Tafsir Al-Ibriz karya

5
KH Bisri Musthofa (ulama Jawa dengan latar belakang pesantren /

1915-1977 M), dan Tafsir Al-Mishbah karya Prof. Dr. M Qurais

Shihab yang lahir 1944 M, seorang cendekiawan muslim abad 20

M alumni Universitas Al-Azhar Mesir yang masih hidup sampai

sekarang.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan hal tersebut, penulis dapat merumuskan masalah

sebagai berikut: “Bagaimana ahli tafsir menafsirkan makna

“ḥāfiẓūn” tentang proses penjagaan al-Qur‟an?”

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah di atas,

maka tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:

1. Memaparkan hasil penelitian atas penafsiran mufasir tentang

proses Penjagaan al-Qur‟an.

2. Mengetahui pemahaman mufasir terkait makna “ḥāfiẓūn” dalam

kaitannya dengan keterjagaan al-Quran.

3. Memaparkan persamaan dan perbedaan dalam menafsirkan kata

“ḥāfiẓūn” tentang proses penjagaan al-Qur‟an berdasarkan 3 kitab

tafsir tersebut di atas.

D. Manfaat Penelitian

Fokus penelitian ini adalah mengkaji lebih jauh pemahaman

mufassir terhadap proses penjagaan al-Qur‟an. Secara garis besar

6
kegunaan penelitian ini adalah:

1. Secara Teoritis

a. Penelitian ini untuk menambah dan melengkapi ataupun

menguatkan hasil di dalam penelitian sebelumnya yang

mengkaji proses penjagaan al-Qur‟an dalam sebagaimana

termaktub dalam QS. al-Hijr/15: 9 terutama memaknai lafadz

“ḥāfiẓūn”.

b. Penelitian ini diharapkan dapat menambah sumbangan pemikiran

keilmuan tentang proses penjagaan al-Qur‟an dalam pemahaman

para ahli tafsir di Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur‟an Miftahul Huda

Rawalo.

c. Memperluas pemahaman di bidang tafsir bagi mahasiswa

Sekolah Tinggi Ilmu Al- Quran Miftahul Huda Rawalo.

2. Secara Praktis

Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi tugas akhir

perkuliahan guna memperoleh gelar strata 1 dalam keilmuan

Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur‟an Miftahul Huda Rawalo, khususnya

program Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir.

E. Definisi Operasional

Agar tidak terjadi kesalahpahaman arti dalam menjelaskan

istilah dalam judul, maka penulis perlu memberikan penjelasan

sebagai berikut.

1. Konsep

7
Secara istilah konsep berasal dari bahasa Inggris concept

secara umumnya berarti ide pokok yang mendasari suatu gagasan

atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa kongkrit. Dengan

kata lain, konsep juga berkaitan dengan obyek yang abstrak atau

universal.5 Dilihat dari sudut subjektif, konsep berarti suatu

kegiatan akal untuk menangkap sesuatu. Sedangkan dari sudut

objektif, konsep adalah suatu yang ditangkap oleh kegiatan akal

manusia yang timbul dari pemahaman dan pengalaman yang

komplek.6 Jadi, penggunaan istilah konsep di sini sesuai dengan

tujuan pembahasan yaitu untuk memaparkan hasil penelitian atas

penafsiran mufassir tentang proses penjagaan al-Qur‟an.

2. Penjagaan al-Qur‟an

Penjagaan al-Qur‟an berasal dari dua kata yatu penjagaan dan

al-Qur‟an. Penjagaan berasal dari kata jaga yang berarti berkawal

atau bertugas menjaga, yang diberi imbuhan pe-dan-an yang berarti

proses, pemeliharaan, dan pengawasan. Sementara al-Qur‟an

berasal dari bahasa Arab qara‟a yaqra‟u qur‟ānan yang berarti

bacaan. Sedangkan menurut istilah al-Qur‟an adalah kalam Allah

yang merupakan mu‟jizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada

Nabi Muhammad SAW. dan membacanya adalah ibadah. Maka

penjagaan al-Qur‟an ialah segala proses dan cara yang dilakukan

5
Tim Editor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.
456.
6
James Brewer, Kamus Psikologi, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1986), h. 71.

8
untuk penjagaan dan pemeliharaan kitab suci al-Qur‟an,

dikhususkan untuk kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad SAW.

3. Kajian

Kajian berasal dari kata kaji dan -an. Kaji yang berarti

pelajaran (terutama dalam hal agama dan sebagainya),

penyelidikan dan telaah (dengan pikiran); penelitian. Maka kajian

adalah hasil mengkaji (menyelidiki, menguji, menelaah) tentang

sesuatu.7 Jadi, penggunaan istilah kajian disini digunakan untuk

meneliti dan menelaah makna kata “ḥāfiẓūn” dalam tiga kitab tafsir

yang digunakan sebagai rujukan penulis.

4. Tafsir Ibn Katsir

Pada umumnya para penulis sejarah menyebut Tafsir Ibn

Katsir dengan nama Tafsȋr al-Qur‟ānil al-Adzȋm. Namun,

berdasarkan literatur-literatur yang ada, tafsir yang ditulis oleh Ibn

Katsir ini belum ada kepastian mengenai judulnya. Karena

nampaknya Ibn Katsir tidak pernah menyebut secara khusus nama

kitab tafsirnya. Oleh karena itu, ada dua kemungkinan yang bisa

terjadi bahwa bisa jadi nama tafsirnya dibuat oleh ulama-ulama

setelahnya, yang tentunya judul tersebut bisa menggambarkan

tentang isi dari kitab tafsir itu. Dan bisa jadi juga Tafsȋr al-Qur‟ānil

al-Adzȋm ditulis oleh Ibn Katsir sendiri.

7
Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 13 (Jakarta: Pusat Bahasa,
2008), h. 617-618.

9
Terlepas dari kesimpangsiuran tersebut, karena tidak adanya

bukti secara empirik tentang nama kitab tafsir ini, yang pastinya

ada kitab tafsir yang ditulis oleh ibn katsir. Dan tafsir tersebut

digolongkan ke dalam tafsir era pertengahan. Bentuk tafsirnya

yakni menggunakan pemetaan tafsȋr bil ma‟tsūr (berdasarkan

riwayat) dan bisa dikatakan bahawa bentuk tafsir ini merupakan

bentul yang pertama lahir dalam penafsiran al-Qur‟an.8

5. Tafsir Al-Ibriz

Merupakan tafsir karya KH. Bisri Mustofa sebagai salah satu

mufassir Indonesia, yang mampu menulis tafsir al-Qur‟an 30 juz yang

dicetak dalam 30 cetakan. Tafsir al-Ibriz menyusun tafsirannya dengan

tatanan penulisan yang runtut sesuai dengan ayat dan surat yang tersusun

dalam al-Qur‟an atau disebut dengan sistematika Mushafi. Dengan

susunan Mushafi, tafsir ini secara gamblang menafsirkan ayat sesuai

urutannya pada mushaf. Tafsir al-Ibriz ini cenderung menggunakan ra‟yu

dalam menafsirkan ayat, meskipun demikian bukan berarti tafsir al-Ibriz

ini murni tafsir bi ra‟yu karena ada beberapa bagian penafsiran ayat

dengan menampilkan atsar seperti asbabul nuzul atau riwayat hadis.

Banyak penafsiran ayat al-Qur‟an yang terlihat kekinian dalam

memandang pemaknaan kata dan konteks dalam ayat al-Qur‟an yang

disandingkan dengan fenomena modern seperti saat ini. Sehingga tafsir al-

Ibriz dapat dikatakan bercorak tafsir kontekstual. Meski begitu, tafsir Al-

8
Maliki, Tafsir Ibn Katsir: Metode dan bentuk penafsirannya, (Yogyakarta: Jurnal Ilmu al-
Qur‟an dan Tafsir) vol.1, Nomor 1 Januari-Juni 2018, h.78.

10
Ibriz tidak dapat dikatakan sebagai tafsir kontekstual saja karena memiliki

corak penafsiran kombinasi antara qiraat, fiqih, dan tasawuf. Khas yang

dimiliki al-Ibriz adalah KH. Bisri Musthofa menulis penafsirannya dengan

bahasa jawa yang ditulis dengan tulisan arab.9

6. Tafsir Al-Misbah

Merupakan tafsir karya M.Quraish Shihab sebagai salah satu

mufassir Indonesia, yang mampu menulis tafsir al-Qur‟an 30 juz

dari volume 1 sampai 15. Dalam penyusunan tafsirnya beliau

menggunakan urutan tafsir usmani yaitu dimulai dari surah al-

Fātihah sampai dengan surah an-Nās. Corak karya tafsir beliau

adalah quasi obyektifitas modern dimana nuansa penafsirannya

adalah masyarakat dan sosial, dan beliau menyertakan kosa kata,

munasabah antar ayat dan asbabun Nuzul, walaupun dalam

melakukan penafsiran ayat demi ayat beliau selalu mendahulukan

riwayat bukan ra‟yu, tetapi pendekatan kajian sains menjadi salah

satu pertimbangan dalam beberapa penafsirannya.10

F. Telaah Pustaka

Tinjauan pustaka menguraikan penelitian dan karya-karya tulis

lainnya yang dikerjakan atau diteliti oleh terdahulu, yang sesuai

ataupun keterkaitan dengan apa yang akan diteliti oleh penulis, baik

kajian ataupun literatur tafsir yang terkait. Penulis menemukan

9
Dinda Setya Melina, Penafsiran KH. Bisri Musthofa tentang ayat-ayat Pelestarian
Lingkungan, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin IAIN Ponorogo, 2020), h. 50-51.
10
Arifka, konsep tawakal dalam perspektif M.Quraih Shihab (Kajian Tafsir Tarbawi)”,
(Skripsi S1 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh, 2017), h. 7.

11
beberapa buku ataupun penelitian terdahulu yang termasuk berkaitan

dengan pembahasan di antaranya:

Ali Muharom,11 Konsep Keterjagaan al-Qur‟an menurut al-

Syaʻrāwī (kajian atas Makna “laḥāfiẓūn”), dalam penelitian ini Ali

memaparkan sebuah konsep keterjagaan al-Qur‟an merujuk pada QS.

al-Hijr/15: 9 di dalamnya menerangkan bahwa di abad 15 masih

terdapat mufassir yang memaknai “laḥāfiẓūn” atau penjagaan al-

Qur‟an disimpulkan dengan hanya Allah-lah yang menjaga dan

memelihara al-Qur‟an hanya saja al-Syaʻrāwī mengategorikan

penghafal al-Qur‟an dan yang menjaga lainnya tidak termasuk dalam

pihak yang menjaga al-Qur‟an, karena pada dasarnya mereka yang

menghafal dan menjaga al-Qur‟an tidak terlepas dari kehendak Allah

SWT.

Nurul Hidayat,12 “Penjagaan al-Qur‟an menurut mufassir

Indonesia (Kajian Makna ḥāfiẓūn) Skripsi S1 fakultas Ushuluddin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2020, didalamnya dijelaskan tentang

pendapat para mufassir mengenai penjagaan Allah terhadap al-Qur‟an

yang merujuk pada QS. Al-Hijr/15: 9. Jika dilihat dari penggunaan

metodologi para mufassir, mereka yang berpandangan ijmali

berpandangan bahwa penjagaan al-Qur‟an hanya Allah semata,

sehingga tidak seorangpun dapat menyelewengkan apalagi

11
Ali Muharrom, Konsep Keterjagaan Al-Qur‟an Menurut Al-Syarawi(Kajian atas Makna
Lahafizhun), (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), h. 60.
12
Nurul Hidayat, Penjagaan al-Qur‟an menurut mufassir Indonesia (Kajian Makna ḥāfiẓūn),
(Skripsi S1 fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020), h. 55

12
menghapusnya. Sedangkan mereka yang bermetode tahlili

berpandangan bahwa penjagaan al-Qur‟an itu ada pada Allah dan

pihak-pihak lain yang terlibat didalamnya.

Maliki, “Tafsir Ibn Katsir: Metode dan Bentuk Penafsirannya”

Jurnal terbitan el-Umdah ini berisi bahwa tafsiir Ibn Katsir muncul

atau masuk dalam abad pertengahan (abad ke-8 H/ abad ke-15 M),

akan tetapi jika dilihat dari sisi metode dan bentuk tafsirnya Ibn

Katsir berada dalam posisi “tengah-tengah”, artinya dari sisi bentuk ia

berada dalam posisi klasik karena menggunakan bentuk tafsir bil

ma‟tsur, sedangkan jika dilihat dari sisi metode Ibn Katsir berada di

posisi era pertengahan dengan menggunakan metode tahlili.13

H.M. Daniel Alwi, “Membumikan al-Qur‟an (Membedah gaya

penafsiran al-Qur‟an Quraisy Shihab)”. Dalam artikel ini Daniel

menjelaskan bahwa teknik penafsiran yang digunakan dalam buku

Membumikan al-Qur‟an, adalah berdasarkan sejarah turun dan tujuan

pokok al-Qur‟an serta meneknkan aspek korelasi antara satu ayat atau

surat, sebelum dan sesudahnya, disamping itu juga menekankan pada

aspek kosakata dalam memahami al-Qur‟an.14

Ahmad Kusaini, “Pemeliharaan kemurnian al-Qur‟an” Skripsi

S1 Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya 1991, di dalamnya

dijelaskan tentang sejarah perkembangan penjagaan kemurnian al-

13
Maliki, Tafsir Ibn Katsir: Metode dan Bentuk Penafsirannya (Yogyakarta: el-Umdah,
2018), h.85.
14
H.M. Daniel Alwi, “Membumikan al-Qur‟an (Membedah gaya penafsiran al-Qur‟an
Quraisy Shihab)”,….

13
Quran dari masa ke masa, dari masa Rasulullah SAW, kemudian Abu

Bakar, dan terakhir ada masa Usman sehingga al-Qur‟an yang dikaji,

digunakan dan diperjualbelikan pada saat sekarang ini, terus terjaga

kemurnian dan keotentikannya sama seperti pada masa Rasulullah

SAW.

Muhamad Fajar Pramono, “Pola-pola pemeliharaan al-Qur‟an

dalam tinjauan historis.” Dalam artikel ini, Fajar mencoba

mengungkapkan bagaimana pola-pola bentuk penjagaan Allah dari

masa ke masa Fajar menjelaskan ada tiga pola Allah SWT dalam

menjaga al-Qur‟an, di antaranya kekuatan al-Qur‟an sendiri kemudian

terdapat umat muslim yang menjaga al-Qur‟an dan terakhir jaminan

Allah SWT sampai akhir jaman.

Sulaiman, Pemeliharaan Otentisitas al-Qur‟an dan Relasinya

dengan QS. al-Ḥijr/15l: 9 Perspektif Mufasir Klasik dan Modern,

menjelaskan tentang pemeliharaan autentisitas al-Qur‟an sejak masa

Nabi sampai sekarang serta media pemeliharaannya. Dalam skripsi ini

juga dijelaskan tentang pendapat mufasir klasik dan modern atas

penafsiran QS. al-Hijr/15: 9. Skripsi ini lebih menitik beratkan

permasalahan pada penafsiran lafal “ḥāfiẓūn” pada ayat tersebut. Hal

itu terlihat dari pembahasannya tentang pemeliharaan al-Qur‟an dan

media dalam memelihara al-Qur‟an dari masa Nabi sampai saat ini

sehingga al-Qur‟an terjaga dan terjamin keautentikkannya.

Dinda Setya Melani, Penafsiran KH. Bisri Musthofa tentang

14
ayat-ayat Pelestarian Lingkungan. Dalam skripsi ini terdapat biografi

dan penjelasan mengenai Tafsir Al-Ibriiz karya KH. Bisri Musthofa,

yang dapat digunakan penulis sebagai rujukan mengenai Tafsir al-

Ibriiz.

Dengan tidak mengabaikan hasil penelitian tersebut, maka

disimpulkan bahwa penelitian diatas sama-sama berbicara mengenai

penjagaan dan pemeliharaan al-Qur‟an menurut para mufassir.

Meskipun penelitian yang dilakukan penulis ini sama-sama berbicara

tentang konsep penjagaan dan pemeliharaan al-Qur‟an menurut para

mufassir namun penulis memiliki karakteristik tersendiri yaitu

menjelaskan bagaimana penjagaan dan pemeliharaan al-Qur‟an

menurut pandangan mufassir dari 3 kitab tafsir yang digunakan oleh

penulis.

G. Metode Penelitian

Metodologi dalam sebuah karya ilmiah sangat mutlak

digunakan untuk landasan dalam melakukan penelitian, oleh

karenanya skripsi ini disusun menggunakan metodologi sebagai

berikut:

1. Jenis Penelitian

Agar penelitian ini terarah dan hasil optimal, maka penulis

akan menggunakan penelitian ini yang bersifat kajian pustaka

(library research), penelitian ini mengumpulkan data informasi dan

bantuan dengan macam-macam material yang terdapat di ruang

15
perpustakaan, seperti: buku-buku, majalah, dokumen, catatan, dan

kisah-kisah sejarah dan lain-lain,15 karena penelitian ini

kepustakaan dan berupa tafsir al-Qur‟an maka jenis penelitiannya

kualitatif.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan

latar ilmiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi

dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada

(Denzin dan Lincoln 1987).16

2. Sumber Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini diambil dari beberapa

sumber sebagai berikut:

a. Data primer, data yang diperoleh dari sumber dasar yaitu tafsir

al-Qur‟an karya mufassir para ahli tafsir seperti Tafsir Milik

Departemen Agama RI, Terjemah Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-

Ibriz karya KH. Bisri Musthofa serta Tafsir Al-Misbah karya

Prof. Dr. Quraish Shihab dan karya-karya ilmiah lain yang

membahas tentang proses penjagaan Al-Qur‟an.

b. Data sekunder, data yang diperoleh dari buku-buku sejarah,

jurnal, surat kabar atau laporan peneliti terdahulu yang dapat

mendukung dalam penelitian ini.

3. Terknik Pengumpulan Data

15
Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007),
cet. 9, h. 28.
16
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif edisi revisi, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2009), cet. 26, h.5.

16
Penelitian ini adalah penelitian literatur, maka metode yang

digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini adalah telaah

dokumentasi.17 Yang mana proses pengumpulan data dilakukan

melalui dokumen-dokumen dari sumber primer dan sekunder yang

berkaitan dengan judul penelitian ini.

Setelah data terkumpul, proses selanjutnya adalah analisis

data. Penulis menganalisa dengan menggunakan Qualitative

Conten Analysis (Kajian isi dokumen secara kualitatif). Dalam

penelitian ini analisis isi data diperlukan untuk mengkategori dan

mengklasifikasikan terhadap ayat-ayat dan penafsiran para ahli

tafsir, sehingga dapat dipetakan satu tema tertentu yaitu

keterjagaan al-Qur‟an.

Penulis juga menggunakan pendekatan deskriptif analitik,

yaitu menggambarkan data selengkap-lengkapnya dan kemudian

disertai analisis antara satu variabel dengan variabel yang lain,

metode perbandingan juga diterapkan guna menganalisis adanya

kesamaan atau perbedaan penafsiran antar para mufassir yang kitab

tafsirnya diteliti.

4. Teknik Analisis Data

Keseluruhan data yang diambil dan dikumpulkan penulis

yaitu dengan cara pengutipan, baik secara langsung maupun secara

tidak langsung. Kemudian ditetapkan dengan cara metode muqarin

17
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta 1998), h. 149.

17
dan disusun secara sistematis sehingga menjadi satu paparan yang

jelas tentang: Konsep Penjagaan Allah terhadap Al-Qur‟an

Menurut Tafsir Ibn Katsir, Tafsir al-Ibriz dan Tafsir al-Misbah.

Adapun langkah-langkah yang harus terapkan untuk

menggunakan metode muqarin:

a. Menentukan tema apa yang akan diriset,

b. Mengidentifikasi aspek-aspek yang hendak diperbandingkan,

c. Mencari ketertarikan dan faktor-faktor yang mempengaruhi

antar konsep.

d. Menunjukkan kekhasan dari masing-masing pemikiran tokoh,

madzhab atau kawasan yang dikaji.

e. Melakukan analisis secara mendalam dan kritis dengan disertai

argumentasi data.

f. Membuat kesimpulan-kesimpulan untuk menjawab problem

risetnya.

Maka langkah awal penulis yang digunakan yaitu fokus

menganalisa ayat yang berhubungan dengan penjagaan Allah

terhadap al-Qur‟an menurut tafsir Ibn Katsir, Al-Ibriz dan Al-

Misbah, kemudian membuat kesimpulan atas analisis dari 3 kitab

tafsir tersebut.

H. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudan dan mendapatkan gambaran hasil yang

meruntut sistematis, maka dalam skripsi ini penulis membaginya

18
menjadi lima bab, masing-masing terdiri dari uraian yang saling

keterkaitan, agar mengetahui penelitian Ini kemana arah dan

tujuannya.

Bab I merupakan pendahuluan Pada bab ini akan dikemukakan

tentang judul skripsi, latar belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan

skripsi, dan fungsi kedudukan bab ini ialah menguraikan

permasalahan yang harus penulis teliti.

Bab II pada bab ini penulis akan menyambungkan latar

permasalahan pada bab I ialah mengemukakan penjelasan penjagaan

al-Qur‟an secara umum, yaitu meliputi pengertian “ḥāfiẓūn”,

penjagaan al-Qur‟an, makna “ḥāfiẓūn” dalam al-Qur‟an, sejarah

pemeliharaan al-Qur‟an dan bentuk pemeliharaan secara umum.

Bab III agar dapat terarah penulis memaparkan biografi singkat

para ahli tafsir yang kitab tafsir penulis teliti serta mengklasifikasi

term penjagaan dan pemeliharaan dalam al-Qur‟an agar meneruskan

kerangka teori pada bab sebelumnya.

Bab IV adalah argumen penjagaan al-Qur‟an, yang merupakan

hasil analisis penulis berdasarkan pendekatan kualitatif berupa telaah

atas makna penjagaan al-Qur‟an menurut para mufassir dari tiga kitab

tafsir.

Bab V berisi tentang kesimpulan atas penelitian penulis dari bab

IV dan untuk menjawab dari rumusan masalah yang ada di bab I atau

19
di dalam rumusan masalah.

20
BAB II

GAMBARAN UMUM PENJAGAAN AL-QUR‟AN DAN KLASIFIKASI

AYAT-AYAT PENJAGAAN AL-QUR‟AN

Pada bab ini penulis akan menjelaskan secara umum penjagaan al-Qur‟an

diantaranya meliputi pengertian “ḥāfiẓūn”, argumen pemaknaan penjagaan al-

Qur‟an, sejarah penjagaan al-Qur‟an dari masa ke masa, dan pendapat para

mufasir terhadap keterjagaan al-Qur‟an.

A. Pengertian dan Argumen Pemaknaan Penjagaan Al-Qur‟an

1. Pengertian Penjagaan Al-Qur‟an

Penjagaan al-Qur‟an terdiri dari dua kata yaitu penjagaan dan al-

Qur‟an. Penjagaan berasal dari kata jaga yang berarti berkawal atau

bertugas menjaga, yang diberi imbuhan pe-dan-an yang berarti proses,

pemeliharaan, pengawasan.18

Definisi al-Qur‟an yang disampaikan Abdul Wahab Khallaf, Guru

Besar Hukum Islam di Universitas Kairo, Mesir; al-Qur‟an adalah firman

Allah yang diturunkan kepada hati Rasulullah Muhammad bin Abdullah

melalui Ruhul Amin (Jibril) dengan mempergunakan lafadz-lafadznya

yang berbahasa Arab, dan maknanya yang benar, agar ia menjadi hujah

bagi Nabi Muhammad, bahwa ia benar-benar Rasulullah dan menjadi

undang-undang bagi manusia, yang memberi petunjuk kepada mereka,

yang menjadi sarana pendekatan diri dan ibadah kepada Allah dengan
18
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa “Kamus Besar Bahasa Indonesia” Daring :
Jaga dalam https://kbbi.web.id/jaga. Diakses pada 20 Oktober 2019 pukul 07.30

21
membacanya. Al-Qur‟an itu terhimpun dalam mushaf yang dimulai

dengan surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas, yang

disampaikan kepada kita secara Mutawattir dari generasi ke generasi, baik

secara tulisan maupun lisan. Ia terpelihara dari perubahan atau penggantian

sesuai dengan firman Allah Swt. “Sesungguhnya Kami telah menurunkan

al-Qur‟an dan Kami pula yang memeliharanya”19 Dari definisi tersebut,

jika dilihat dari sudut pembawanya; al-Qur‟an untuk pertama kali

disampaikan kepada umat manusia oleh Nabi Muhammad SAW.

beliaupun dikenal sebagai “al-Amin”, yakni yang terpercaya. Hal ini

semakin mendorong kita untuk meyakini bahwa al-Qur‟an hingga kini

benar-benar murni dan autentik. Begitu pula dari segi turunnya; al-Qur‟an

disampaikan melalui malaikat terpercaya (Ruhul Amin), yakni Jibril. Ini

menunjukkan bahwa al-Quran benar-benar terpelihara. Inipun dibuktikan

dari keadaan malaikat Jibril selaku malaikat terpercaya. 20

Adapun definisi al-Qur‟an menurut para ulama ushul fikih dan

bahasa, yaitu:

“Firman (Allah) yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada

Nabi (Muhammad), dituliskan didalam mushaf, diriwayatkan secara

mutawattir, dan membacanya adalah ibadah.”21

Dalam bahasa Arab, term penjagaan dan pemeliharaan al-Qur‟an ini

19
Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh (Kairo: Maktabah Al-Dakwah Al-Islamiyyah,
1968), Cet. VIII, h.15.
20
Dr.H.A.Muhaimin Zen, “Al-Qur‟an 100% Asli: Sunni Syiah Satu Kitab Suci” (Jakarta:
Nur Al-Huda), h.53-55.
21
Shubi As-Shalih, Mabahits fii Ulum Al-Qur‟an, cet. 4 (Beirut Dar Al-Ilm li Al-
Malaayiin,2000), h. 21

22
diambil dari diksi potongan ayat al-Qur‟an “Laḥāfiẓūn” yang berasal dari

ḥāfiẓā yaḥfaẓū ḥifẓan ḥāfiẓūn merupakan kata bahasa Arab yang berakar

dari huruf (ḥa-fa-ẓa), artinya memelihara sesuatu dan dimaknai pula

sebagai kebalikan dari lupa.22 Maka dari itu, penjagaan al-Qur‟an ialah

segala proses dan cara yang dilakukan untuk penjagaan dan pemeliharaan

kitab suci al-Qur‟an, dikhususkan untuk kalam Allah yang diturunkan

kepada Nabi Muhammad SAW.

2. Pemaknaan dan Argumen Para Mufasir atas Penjagaan Al-Qur‟an

Al-Qur‟an merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah

dan ia adalah kitab yang selalu terpelihara. “Innā nahnu nazzalnā al-ẓikra

wa innā lahū laḥāfiẓūn” Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-

Qur‟an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya. 23 Ayat ini merupakan

jaminan pemeliharaan dari cacat dan cela, dan dari tangan-tangan usil yang

mencoba untuk mengurangi atau mengubahnya, sehingga tidak ada

seorangpun yang sanggup menyelewengkan dan menambahkan apa lagi

menghapusnya. Menurut Hamka karena Allah yang menurunkannya dan

Allah pula yang akan menjaganya. Tidak ada satu kekuatanpun yang akan

sanggup menghambat.24

Demikianlah Allah menjamin keontetikan atas dasar kemahakuasaan

dan kemahatahuan-Nya, serta berkat upaya-upaya yang dilakukan oleh

22
Eva Nugraha, “Diseminasi, Komodifikasi, dan Sakralisasi Kitab Suci; Studi Kasus Usaha
Penerbitan Mushaf al-Qur‟an di Indonesia Kontemporer” (Disertai S3., Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), h. 165.
23
M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Mizan Pustaka, 2007), h. 21.
24
Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 175

23
makhluk-makhluk-Nya, terutama oleh manusia. Dengan jaminan ayat di

atas, setiap muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan didengarnya

sebagai al-Qur‟an tidak berbeda sedikitpun dengan apa yang pernah dibaca

Rasulullah dan yang didengar serta dibaca oleh para sahabat Nabi SAW. 25

Merujuk pada Q.S.Al-Hijr/15: 9, ayat ini dengan tegas menyatakan

bahwa al-Qur‟an berasal dari Allah berikut dengan komitmen-Nya untuk

menjaga dari berbagai perubahan baik pengurangan ataupun penambahan

isinya.26 Dengan demikian Qur‟an tidak mengalami penyimpangan,

perubahan dan keterputusan sanad seperti terjadi pada kitab-kitab

terdahulu.27

Berdasarkan penjelasan awal, term keterjagaan ini diambil dari kata

lahafizun pada potongan ayat Q.S.Al-Hijr/15:9 Innā nahnu nazzalnā al-

ẓikra wa innā lahū laḥāfiẓūn. Pertanyaan kemudian adalah: Siapa dan

bagaimana penjagaan al-Qur‟an dilakukan? Pada bab ini penulis akan

memaparkan beberapa pendapat tentang penjagaan al-Qur‟an.

B. Sejarah Ringkas Penjagaan atau Pemeliharaan Al-Qur‟an

Dua metode pemeliharaan al-Qur‟an dalam literatur klasik ulum al-

Qur‟an dikenal dengan istilah jum‟u al-Qur‟an yang berarti pengumpulan.28

Pengumpulan al-Qur‟an dalam arti menghafal sudah berlangsung pada masa

Nabi Muhammad SAW., tepatnya ketika Allah menyemayamkan ke dalam

25
M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Mizan Pustaka, 2007), h. 21.
26
Eva Nugraha, “Diseminasi, Komodifikasi, dan Sakralitas Kitab Suci”, h. 163
27
An-Naba‟ul „Azim,(Kuwait: Darul Qalam),h. 12-13
28
Muhammad Baqir Hakim, Ulumul Qur‟an, terj. Nashirul Haq, Abdul Ghafur, et all, cet. 2,
(Jakarta: al-Huda, 2012), h. 166

24
lubuk hati Nabi secara mantap sebelum orang lain menghafalnya terlebih

dahulu.29 Bahkan, pada tahun kewafatan Nabi Muhammad SAW., Jibril

menyampaikan bacaan al-Qur‟an dua kali, sehingga beliau dapat

memahaminya pada waktu menjelang akhir kehidupannya. 30 Hingga

kemudian Nabi membacakannya kepada sejumlah sahabat agar terjaga di hati

mereka.

Selain pemeliharaan dengan hafalan, upaya pengumpulan al-Qur‟an

dalam arti penulisan juga sudah berkembang pada masa itu, meskipun belum

terkodifikasi seperti sekarang. Adapun penulisannya variatif dan dalam

lembaran-lembaran yang terpisah atau dalam bentuk ukiran pada beberapa

jenis benda yang dapat dijadikan sebagai alat menulis ketika itu. 31 Kemudian

pasca wafatnya Rasulullah, penjagaan al-Qur‟an berpindah kepada khalifah

pilihan, yang mampu menjaga dan menstandarisasikan bacaan al-Qur‟an

sampai sekarang.

Penjagaan dan pemeliharaan al-Qur‟an melalui usaha penulisan dan

pembukuan pada masa awal Islam, terjadi dalam tiga periode, yakni periode

Nabi Muhammad SAW., periode Abu Bakar As-Shidiq, dan periode Usman

bin Affan. Berikut sejarah al-Qur‟an dari masa ke masa.

1. Periode Nabi Muhammad SAW.

Ada dua cara penjagaan dan pemeliharaan al-Qur‟an pada masa Nabi

Muhammad SAW., pertama yaitu dengan menghafal dan

29
Shubhi al-Shalih, Mabahis fii Ulum al-Qur‟an (Beirut: Dar al-Malayin, 1977), h. 71
30
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Studi Ulumul Qur‟an, terj. Drs.
Taufiqurrahman,M.Ag., cet. 1,(Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 11.
31
Anshori, Ulum al-Qur‟an; Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan, (ed), M. Ulinnuha
Khusnan (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h. 81.

25
meriwayatkannya kepada yang lain, dan yang kedua dengan cara menulis

dan menghafalkannya, kemudian mendokumentasikannya ke dalam

lembaran-lembaran.

a. Penjagaan dan pemeliharaan al-Qur‟an dengan Hafalan

Ketika al-Qur‟an al-Karim turun kepada Nabi Muhammad SAW.,

beliau menyampaikannya kepada para sahabatnya secara perlahan-lahan

agar mereka menghafal lafadznya dan mampu memahami maknanya.

Nabi Muhammad SAW., sangat perhatian dalam menghafal

(memelihara) al-Qur‟an dan dalam memperolehnya. Begitu besar

perhatian dan kemauannya untuk menghafal dan memelihara al-Qur‟an,

beliau senantiasa menggerakkan lidahnya untuk mengucapkan dan

melatihnya hingga diluar batas kebiasaan, yakni dengan menyegerakan

penghafalannya karena khawatir akan luput walau satu kalimat atau

menghilangkan satu huruf saja dari al-Qur‟an.32

Rasulullah amat menyukai wahyu, ia senantiasa mengunggu

penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan

memahaminya, persis seperti dijanjikan Allah: Sesungguhnya Kami

yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan membacakannya (al-

Qiyamah/75: 17). Oleh sebab itu, ia adalah hafiz (penghafal) Qur‟an

pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam

menghafalnya, sebagai realisasi kecintaan mereka kepada pokok agama

dan sumber risalah. Qur‟an diturunkan selama dua puluh tahun lebih.
32
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Studi Ulumul Qur‟an, terj. Drs.
Taufiqurrahman, M.Ag., cet. 1,(Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 10.

26
Proses penurunannya terkadang hanya turun satu ayat dan terkadang

turun sampai sepuluh ayat. Setiap kali sebuah ayat turun, dihafal dalam

dada dan ditempatkan dalam hati, sebab bangsa Arab secara kodrati

memang mempunyai daya hafal yang kuat.33

Dengan bimbingan Allah beliau menjadi kuat hafalannya dan

diperintahkan untuk mengajarkan al-Qur‟an kepada umatnya.

Rasulullah selama menerima al-Qur‟an tidak langsung tetapi secara

berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun. Hal ini adalah untuk

menguatkan hati Rasulullah. Karena sebagian ayat-ayat yang

diturunkan berdasarkan kejadian dan kebutuhan.34 Begitu selesai

Rasulullah menyuruh para sahabat untuk menghafal dan

mempelajarinya dengan sungguh-sungguh.

Asy-Syatibi mengatakan bahwa sejak masa diturunkan hingga

seterusnya, al-Qur‟an senantiasa dihafal oleh para sahabat, mereka

terus-menerus mentashihkan hafalannya, tajwid dan cara qira‟atnya.

Sehingga mereka menjadi para penghafal al-Qur‟an.35

b. Penjagaan dan pemeliharaan al-Qur‟an dengan Tulisan

Nabi Muhammad SAW., tidak hanya menghafalkan al-Qur‟an

dan membacakannya kepada para sahabat dan kemudian dihafalkan

oleh mereka, melainkan juga beliau menuliskannya dalam lembaran-

33
Mannā‟ Khalīl al-Qaţţān, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an, terj. Mudzakir AS., cet. 17,(Bogor:
Litera AntarNusa, 2016), h. 176.
34
Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), cet. 4,
h. 53.
35
Hasbi Ash-Shiddieqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur‟an/Tafsir (Jakarta: penerbit
Bulan Bintang, 1980), h. 85-89.

27
lembaran.36 Rasulullah secara rutin memanggil para penulis untuk

menyampaikan wahyu yang disampaikan oleh malaikat Jibril, terdeteksi

tidak kurang dari enam puluh lima orang sahabat yang bertindak

sebagai penulis wahyu. 37

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Apabila turun satu

surat (Al-Qur‟an) kepada Rasulullah SAW., beliau memanggil sebagian

orang yang akan menuliskannya, lalu bersabda:

Artinya:

“Letakkan surat ini pada tempat yang disebutkan di dalamnya

ungkapan ini dan itu.”38

Diantara faktor yang mendorong penulisan al-Qur‟an pada masa

Nabi adalah: mem-back up hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan

para sahabat, dan mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling

sempurna, karena bertolak dari hafalan para sahabat saja tidak cukup,

karena adakalanya luput dari hafalannya atau sebagian dari mereka

sudah wafat. Sehingga dengan adanya pindahan berupa tulisan, akan

tetap terpelihara walaupun pada masa Nabi wahyu al-Qur‟an masih

ditulis di tempat-tempat tertentu yang masih tercecer.39

Rasulullah telah mengangkat para penulis wahyu Qur‟an dari

sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali, Mu‟awiyah, „Ubay bin Ka‟b

36
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Studi Ulumul Qur‟an, terj. Drs.
Taufiqurrahman, M.Ag., cet. 1,(Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 24.
37
M. Musthafa Al-A‟zami, Sejarah teks al-Qur‟an dari wahyu sampai Komplikasi, terj.
Sohirin Solihin, dkk. (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 72.
38
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Studi Ulumul Qur‟an, terj. Drs.
Taufiqurrahman, M.Ag., cet. 1,(Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 24
39
Rosihan Anwar, Ulum al-Qur‟an, cet. 6 (Bandung: Pustaka Setia, 2015), h. 39.

28
dan Zaid bin Sabit. Bila turun ayat, ia memerintahkan mereka

menuliskannya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah,

sehingga penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan di dalam

hati. Disamping itu sebagian sahabat pun menuliskan Qur‟an yang

turun itu atas kemauan mereka sendiri, tanpa diperintah oleh Nabi;

mereka menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu, daun

lontar, kulit dan kayu, pelana, potongan tulang-belulang.40

Faktor penyebab Nabi tidak menghimpun/mengkodifikasi al-

Qur‟an secara utuh antara lain;

1. Wahyu masih proses turun secara berangsur-angsur dan terkadang

ayat yang turun berikut menghapus ayat sebelumnya.41

2. Belum ada kebutuhan mendesak untuk melakukan upaya tersebut.

Sebab penghafal al-Qur‟an masih banyak, tidak ada fitnah perbedaan

bahasa, dan sarana tulis menulis masih sangat sulit. 42

3. Penertiban atau sistematisasi ayat dan surat-surat al-Qur‟an tidaklah

berdasar pada urutan penurunannya, melainkan berdasarkan

kesesuaian atau hubungan antar ayat. Kadang-kadang suatu ayat atau

suatu surat turun setelah ayat atau surah tertentu, tetapi ayat atau

surat tersebut ditulis dan diletakkan sebelumnya (pemutarbalikkan

40
Mannā‟ Khalīl al-Qaţţān, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an, terj. Mudzakir AS., cet. 17,(Bogor:
Litera AntarNusa, 2016), h. 183.
41
Mannā‟ Khalīl al-Qaţţān, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an, terj. Mudzakir AS., cet. 16,(Bogor:
Litera AntarNusa, 2013), h. 187.
42
Mawardi Abdullah, Ulum al-Qur‟an,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 22.

29
penempatan).43

2. Periode Abu Bakar al-Shiddiq

Pasca Rasulullah wafat, perselisihan tentang penggantian kekuasaan

terjadi hingga memperoleh suatu keputusan bahwa Abu Bakar diangkat

sebagai khalifah pengganti Rasulullah. Ia di bay‟at sebagai khalifah dalam

musyawarah di Tsaqifah Bani Sa‟diyah.44

Pekerjaan pertama yang dilaksanakan olehnya ialah memerangi

orang-orang murtad dan menghapuskan penyebaran fitnah.45 Karena itu ia

segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-

orang murtad itu. Peperangan Yamamah yang terjadi tahun dua belas Hijri

melibatkan sejumlah besar sahabat yang hafal Qur‟an. Dalam peperangan

ini tujuh puluh qari dari para sahabat gugur, 46 bahkan dalam suatu riwayat

disebutkan sekitar 500 orang.47

Oleh karena itu, Umar bin Khattab khawatir dengan para ḥuffaẓ yang

berguguran di medan perang tersebut. Kemudian Umar mengusulkan agar

pembukuan al-Qur‟an dilakukan mengingat kekhawatiran kepada al-

Qur‟an jika mengandalkan hafalan semata, kebijakan Umar dalam hal ini

semakin jelas kedudukannya sebagai sahabat sekaligus penasehat Abu

43
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Studi Ulumul Qur‟an, terj. Drs.
Taufiqurrahman, M.Ag., cet. 1,(Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 28
44
Eva Nugraha, Kebijakan Utsman atas Komplikasi Al-Qur‟an (Tesis S2 Program Pasca
Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2000), h. 12
45
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Studi Ulumul Qur‟an, terj. Drs.
Taufiqurrahman, M.Ag., cet. 1,(Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 29
46
Mannā‟ Khalīl al-Qaţţān, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an, terj. Mudzakir AS., cet. 17,(Bogor:
Litera AntarNusa, 2016), h. 185
47
Muhammad Quraisy Shihab, et. Al, Sejarah & Ulum al-Qur‟an, cet. 4 (Jakarta: Pustaka
Furdaus, 2008), h. 28

30
Bakar.48 Mula-mula Abu Bakar merasa ragu mengenai usulan Umar

tersebut, tetapi Umar tetap membujuknya sehingga Allah membukakan

hati Abu Bakar untuk menerima usulan Umar tesebut.49 Kemudian dia

menetapkan bahwa pengumpulan al-Qur‟an bukanlah dari sesuatu yang

diada-ada, melainkan pengumpulan al-Qur‟an tersebut dianjurkan oleh

kaidah-kaidah agama dan syari‟at.50

Abu Bakar menunjuk Zaid bin Sabit sebagai ketua tim kodifikasi al-

Qur‟an. Awalnya Zaid bin Sabit merasa ragu dan penuh pertimbangan

dalam pemenuhan tugas ini,51 sampai akhirnya Zaid bin Sabit menerima

dengan lapang dada perintah ini. Zaid bin Sabit memulai tugasnya yang

berat ini dengan bersandar pada hafalan yang ada dalam hati para qurra

dan catatan yang ada pada para penulis. Kemudian lembaran-lembaran

(kumpulan) itu disimpan di tangan Abu Bakar. Setelah ia wafat pada tahun

13 Hijriah, lembaran-lembaran itu berpindah ke tangan Umar dan tetap

berada ditangannya hingga ia wafat. Kemudian mushaf itu berpindah ke

tangan Hafsah, putri Umar. Pada permulaan kekhalifahan Usman, Usman

memintanya dari tangan Hafsah. 52

Komplikasi al-Qur‟an pada masa ini disebut dengan istilah shuhuf,

48
Eva Nugraha, Kebijakan Utsman atas Komplikasi Al-Qur‟an (Tesis S2 Program Pasca
Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2000), h. 12
49
Mannā‟ Khalīl al-Qaţţān, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an, terj. Mudzakir AS., cet. 17, (Bogor:
Litera AntarNusa, 2016), h. 186
50
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Studi Ulumul Qur‟an, terj. Drs.
Taufiqurrahman,M.Ag., cet. 1,(Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 29
51
Mustafa Murad, Kisah Hidup Umar bin Khattab, terj. Ahmad Ginanjar & Lulu M.
Sunman, cet. 4 (Jakarta: Zaman, 2013), h. 72
52
Mannā‟ Khalīl al-Qaţţān, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an, terj. Mudzakir AS., cet. 17,(Bogor:
Litera AntarNusa, 2016), h. 186

31
merupakan kata jamak yang secara literal artinya, keping atau kertas. 53

Adapun pengumpulan Qur‟an dalam satu mushaf ini dinamakan

pengumpulan kedua setelah masa Rasulullah.54 Sebagian karakteristik

penulisan al-Qur‟an pada masa Abu Bakar yaitu mushaf ini telah

menghimpun semua ayat al-Qur‟an dengan cara yang sangat teliti, ayat

dan surah telah tersusun menurut susunan yang sebenarnya seperti yang

diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad Saw.

Pada masa Umar tidak ada kodifikasi al-Qur‟an sebagaimana pada

masa Abu Bakar. Pada masa ini hanya dilakukan penjagaan, karena al-

Qur‟an sudah tersebar ke berbagai wilayah. Sehingga al-Qur‟an pada masa

ini mengalami stagnasi, artinya tidak ada pembaruan apapun, baik

pengkodifikasian atau penggantian tulisan.

3. Periode Uṡman bin „Affan

Di masa khalifah Uṡman bin „Affan ra., pemerintahan Islam telah

sampai ke Armenia dan Azerbaijan disebelah timur dan Tripoli disebelah

barat. Maka dari itu, ketika terjadi perang Armania dan Azarbaijan dengan

penduduk Iraq, diantara orang yang ikut menyerbu kedua tempat itu ialah

Huzaifah bin al-Yaman. Ia melihat banyak sekali perbedaan dalam cara-

cara mereka membaca al-Qur‟an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan

kesalahan, namun masing-masing dari mereka mempertahankan

bacaannya dan bahkan saling mengkafirkan.

53
Mustafa Murad, Kisah Hidup Umar bin Khattab, terj. Ahmad Ginanjar & Lulu M.
Sunman, cet. 4 (Jakarta: Zaman, 2013), h. 147
54
Mannā‟ Khalīl al-Qaţţān, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an, terj. Mudzakir AS., cet. 17, (Bogor:
Litera AntarNusa, 2016), h. 186

32
Dari peristiwa inilah kemudian Abu Al-Aswad Ad-Du‟ali berinisiatif

dan memohon kepada Usman untuk menyalin kembali Al-Qur‟an,

tepatnya akhir tahun ke-24 H dan awal ke-25 H dengan menunjuk 12

orang termasuk Zaid bin Tsabit (sebagai ketua), Abdullah bin Zubair, Said

ibn Al-Ash dan Abdurrahman ibn Al-Harits ibn Hisyam 55. Kodifikasi ini

dilakukan sebagaimana pada masa Abu Bakar. Akan tetapi kodifikasi Al-

Qur‟an pada masa Usman bukan karena keberadaan Al-Qur‟an yang masih

tercecer, melainkan menyalin mushaf dalam rangka untuk menyeragamkan

bacaan. Upaya ini diawali dengan menyalin mushaf Abu Bakar yang

dijaga oleh Hafshah kedalam beberapa mushaf 56. Sebelum tim kodifikasi

bekerja sesuai kerjanya masing-masing, Usman memberikan pengarahan

kepada tim agar:

a. Berpedoman kepada bacaan mereka yang hafal Al-Qur‟an dengan baik

dan benar.

b. Bila ada perbedaan pendapat tentang bacaan yang digunakan, maka

haruslah dituliskan menurut dialek Quraisy, sebab al-Qur‟an diturunkan

menurut dialek mereka.

Setelah penyalinan Al-Qur‟an selesai dikerjakan, maka lembaran-

lembaran Al-Qur‟an yang dipinjam dari Hafshah dikembalikan kepadanya.

Adapun Al-Qur‟an yang telah dibukukan itu dinamai “al-mushaf”. Dari

55
Lihat Al-A‟zami, Sejarah Teks Al-Qur‟an,…..100, bandingkan dengan Mannā‟ Khalīl al-
Qaţţān, terj. Mudzakir, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an, cet. 18 (Bogor: Litera AntarNusa, 2017), h.
193. Usman hanya menunjuk empat orang dan ketiga diantaranya selain Zaid adalah orang
Quraisy sehingga jika terjadi perdebatan Usman memerintahkan agar yang diperselsihkan Zaid
dengan ketiga kawannya ditulis dalam dialek Quraisy.
56
Al-Hafiz Ibn Katsir, Perjalanan Hidup Empat Orang Khalifah Rasul yang Agung, terj.
Abu Ihsan Al-Asari, cet. 8, (Jakarta: Darul Haq, 2011), h. 453

33
penggandaan tersebut, mushaf digandakan sebanyak 5 buah57, 4 buah

diantaranya dikirim ke berbagai wilayah yakni mekkah, Syam (Syiria),

Basrah dan Kuffah, agar ditempat-tempat tersebut disalin pula dengan

mushaf yang sama. Sementara satu buah mushaf, ditinggalkan di Madinah

untuk Usman sendiri dan yang terakhir inilah yang disebut “mushaf Al-

Imam”. Setelah itu Usman memerintahkan untuk mengumpulkan semua

lembaran-lembaran Al-Qur‟an yang ditulis sebelum pembakuan dan

mushaf-mushaf lain yang tidak sesuai untuk dibakar. Hal ini dilakukan

untuk mencegah pertikaian dikalangan umat. Adapun masa pemberlakuan

mushaf Usmani di kalangan umat Islam terjeda rentang waktu yang cukup

lama, yakni hingga masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan.58

Dari penyalinan mushaf masa Usman ini, maka kaum muslimin di

seluruh pelosok menyalinnya dengan bentuk yang sama. Sementara model

dan metode tulisan yang digunakan di dalam mushaf Usman ini kemudian

dikenal dengan sebutan “Rasm Usmani”.59 Dengan demikian, masa

penulisan Al-Qur‟an di masa Usman memiliki manfaat besar, diantaranya

menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang seragam ejaan

tulisannya, menyatukan bacaan walaupun masih ada perbedaan tetapi

setidaknya bacaan itu tidak berlawanan dengan ejaan mushaf-mushaf

Usman. Sedangkan ejaan yang tidak sesuai dengan ejaan mushaf Usman,

57
Al-Suyuti, Jalal ad-Dīn, al-Itqan fii Ulum al-Qur‟an, (Beirut: Dar al-Fiqr, jilid I, h. 132.
Banyak perbedaan pendapat mengenai jumlah mushaf yang dikirimkan Usman ke berbagai daerah.
Manna‟ Khalil al-Qattan dalam kitabnya Mabahis Fii Ulumil Qur‟an, h. 199.
58
Zaenal Arifin Madzkur, “Legalisasi Rasmm Usmani dalam Penulisan al-Qur‟an”,
dalam Journal of Qur‟anic and Hadits Studies, Vol. 1, No. 2, (2012), h. 220.
59
Mannā‟ Khalīl al-Qaţţān, Mabahits Fii Ulum al-Qur‟an (Riyad Mansurat al-Hasr wa
al-Hadits, 1393 H/1973 M, h. 146.

34
tidak diperbolehkan penggunaannya. Kemudian menyatukan tertib

susunan surah-surah menurut urutan seprti yang terlihat pada mushaf-

mushaf sekarang.

Pengumpulan al-Qur‟an pada masa Usman memiliki kelebihan

sebagai berikut60.

1. Di dalam pengumpulan tersebut ada pembatasan pada satu huruf

(bahasa), yaitu bahasa Quraisy;

2. Di dalam pengumpulan tersebut ada pembatasan pada bacaan yang

didasarkan pada riwayat-riwayat yang mutawatir dan bacaan yang telah

dianggap tetap (settle) dalam penyajian yang terakhir, dan bukan ayat

yang mereka tulis berdasarkan riwayat ahad, dan tidak pula ayat yang

telah dihapus bacaannya;

3. Tertib (susunan) ayat-ayat dan surat-suratnya sebagaimana tertib yang

dikenal sekarang;

4. Di dalam pengumpulan tersebut terjadi penanggalan titik dan syakal

dan sesuatu yang bukan termasuk Al-Qur‟an, berbeda dengan tulisan

yang dimiliki oleh sebagian sahabat yang memuat sebagian penakwilan

dan penafsiran-penafsiran terhadap sebagian lafazhnya.

C. Klasifikasi Ayat Penjagaan

Didalam al-Qur‟an ditemukan 30 term penjagaan atau pemeliharaan,

yang berasal dari kata hafaza dan hāfaza. Diantaranya Allah sebagai penjaga,

malaikat sebagai penjaga, dan manusia sebagai penjaga.


60
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Studi Ulumul Qur‟an (Telaah Atas Mushaf
Ustmani), terj. Drs. Taufiqurrahman, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), cet. I, h. 50.

35
1. Allah Sebagai Penjaga

Berdasarkan ayat-ayat penjaga dalam al-Qur‟an dapat disimpulkan

bahwa Allah menjaga/memelihara tiga objek yaitu, alam (langit dan bumi),

makhluk-makhluk-Nya, dan Al-Qur‟an.

Penjagaan dan pemeliharaan Allah terhadap alam, langit dan bumi

dijelaskan dalam surat Al-Baqarah: 225, Al-Hijr: 17, Fushilat: 12. Dalam

ayat ini Allah menjelaskan penciptaan langit dalam dua masa dan dihiasi

bintang-bintang yang cemerlang sekaligus Allah memeliharanya dengan

baik-baik dan sempurna dari setan yang ingin merusaknya. Diksi ayat ini

menunjukkan subjeknya ialah Allah dan predikatnya menjaga dan

memelihara, objeknya ialah alam (langit dan bumi).

Berikutnya penjagaan dan pemeliharaan Allah terhadap makhluk

terdapat empat surat diantaranya surat Al-Nisa/34, As-Safat/7, Yusuf/64,

Al-Anbiya‟/82. Pada ayat-ayat ini Allah-lah yang menjadi subyeknya

untuk menjaga dan memelihara makhluknya dari setan yang hendak

merusak dan menggodanya. Selanjutnya terdapat satu ayat pada surat Al-

Hijr/9, yang menunjukkan Allah menjaga dan memelihara al-Qur‟an tetapi

Allah membahasakan dirinya sebagai Kami, masih dijadika perdebatan

dan akan menjadi fokus kajian penulis terlebih dari pandangan mufassir

dari tiga kitab tafsir rujukan penulis.

2. Malaikat sebagai Penjaga

Didalam al-Qur‟an ada empat ayat yang menunjukkan bahwa

malaikat seagai subjek penjagaan. Empat ayat ini adalah surat Al-

36
An‟am/61, Ar-Ra‟d/11, Al-Infithar/10, At-Thariq/4. Ayat-ayat tersebut

menunjukkan bahwa subjek penjagaan adalah malaikat dan dijelaskan pula

bahwa yang menjadi objek penjagaan dan pengawasan adalah manusia.

3. Manusia sebagai Penjaga

Dalam al-Qur‟an terdapat beberapa ayat yang menunjukkan manusia

sebagai penjaga beberapa objek. Namun, ada satu yang menjadi daya tarik

penulis yaitu surat Al-Maidah ayat 44. Ayat ini menunjukkan bahwa

subjek pemeliharaan al-Qur‟an adalah manusia dan objeknya adalah Kitab

Suci atau al-Qur‟an.

37
BAB III

BIOGRAFI IBN KATSIR, BISRI MUSTHOFA DAN M. QURAISH

SHIHAB

Dalam bab ini penulis menganggap penting adanya, karena pembahasan

pada bab ini akan memudahkan dalam melihat identitas pemikiran dan profil

mufasir yang dijadikan objek analisis pada bab IV. Ada dua sub bab yang penulis

anggap penting dalam bab ini, yaitu biografi singkat para mufasir dan klasifikasi

ayat penjagaan.

A. Biografi Ibn Katsir dan Tafsir Ibn Katsir

1. Riwayat Hidup dan Latar Belakang

Ibn Katsir bernama asli Isma‟il bin „Amr al-Qurasyi bin Katsir al-

Basri ad-Dimasyqi „Imaduddin Abul Fida‟ al-Hafiz al-Muhaddis asy-

Syafi‟i. Ia dilahirkan pada 705 H dan wafat pada 774 H. 61 Dalam literatur

lain disebutkan nama Ibn Katsir diberi gelar al-Basri, hal ini berkaitan

dengan tempat beliau lahir yaitu di Basrah, begitu pula dengan gelar al-

Dimasyqi, hal ini dikarenakan kota Basrah adalah bagian dari kawasan

Damaskus.62

Dalam literatur lain juga disebutkan bahwa beliau dari Bani Hashlah.

Lahir di desa Mijdal di Syam. Pada tahun 701 H. hal ini di nyatakan

sendiri oleh Ibnu Katsir dalam karyanya, Al Bidayah Wa An-Nihayah. Ibnu

61
Mannā‟ Khalīl al-Qaţţān, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, cet. 18 (Bogor: LiteraAntarNusa,
2017),h. 536.
62
Maliki, Tafsir Ibn Katsir: Metode dan Bentuk Penafsirannya (Yogyakarta: el-Umdah,
2018), h.77.

38
Katsir menceritakan bahwa ayahnya telah menikah sebanyak dua kali. Dari

istri pertama, telah lahir tiga orang putra, berturut-turut namanya, Isma‟il,

Yunus dan Idris, sedangkan dari istri kedua, yang dinikahinya sesudah

meninggal istri pertamanya, lahir beberapa orang putra dan putri, yang

tertua namanya „Abd al-Wahhab dan yang paling bungsu adalah Ibnu

Katsir sendiri.63

Berkaitan dengan keluarganya, Ibnu Katsir menerangkan bahwa

ayahnya berasal dari keturunan keluarga terhormat, dan seorang ulama

terkemuka pada masanya yang pernah mendalami fikih madzhab Hanafi,

walaupun akhirnya sesudah menjadi khatib di Bushra, ia menganut

madzhab Syafi‟i. Kemudian, Salah seorang gurunya, yang kelak menjadi

mertuanya, yakni al-Hâfizh al-Mizzi, memperlihatkan rasa kagumnya

setelah mengetahui sebagian daftar garis keturunan Ibn Katsir, sehingga ia

tuliskan atribut al-Qurasyi di belakang nama Ibn Katsir.

Peletakan predikat al-Syafi‟i, pada akhir namanya, menunjukkan

bahwa Ibnu Katsîr sejak kecil, diasuh, dibimbing dan dibesarkan dalam

lingkungan madzhab Syafi‟i.

Sejak umur tujuh tahun (ada juga pendapat yang menyebut tiga

tahun)64 Ibn Katsir sudah ditinggal oleh ayahnya yang meninggal dunia.

Sejak saat itu, ia diasuh oleh kakaknya (Kamal al-Din Abd Wahhab) di

Damaskus. Dari sinilah Ibn Katsir memulai pengembaraan keilmuannya

63
Hasan Bisri, Model Penafsiran Hukum Ibnu Katsir, cet. 1 (Bandung: LP2M UIN SGD
Bandung, 2020), h. 18.
64
Imaduddin Abu al-Fida Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Juz Amma: Kata Pengantar Khalid bin
Muhammad Abu Shalih, (Jakarta: Pustaka Azzam,2012), h XV.

39
dengan banyak bertemu dengan para ulama-ulama besar pada saat itu,

termasuk Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah, dan juga Baha al-Dīn al-Qasimy

bin Asakir (w. 723), Ishaq bin Yahya al-Amidi (w. 728).65

Dalam bidang hadīṣ, beliau banyak belajar dari ulama-ulama Hijaz.

Beliau memperoleh ijazah dari al-Wani. Beliau juga dididik oleh pakar

hadits terkenal di Suriah yakni Jamal ad-Din al-Mizzi, yang kemudian

menjadi mertuanya sendiri. Ia pun mendalami bidang Rijāl al-Hadīṣ di

bawah bimbingan al-Hāfidh al-Kabīr Abū al-Hajjāj al-Mizzi, penulis kitab

Tahdzīb al-Kamāl, sebuah kitab standar dalam bidang rijāl al-Hadīṣ.

Kelihatannya, keuntungan yang diperoleh Ibn Katsir dari guru besarnya,

al-Hāfidh al-Mizzi ini, tidak hanya terbatas pada masalah keilmuan saja,

akan tetap juga menyangkut istri pendamping hidupnya kelak, dengan

keberhasilannya mempersunting Zainab, putri kesayangan al-Mizzi sebagai

istrinya.66

Demikian pula, perhatian Ibn Katsir terhadap bidang studi fikih.

Dalam hal ini, ada dua orang guru terkemuka yang membimbingnya, yakni

al-Syeikh Burhan al-Dîn al-Fazari dan Kamal al-Din ibn Qadhi Syuhbah.

Kitab al-Tanbîh karya al-Syairazi, sebuah kitab furu‟ madzhab al-Syafi‟i

dan Mukhtashar ibn al-Hājib dalam bidang studi ushul fikih telah selesai

dihafalnya. Di samping itu, ada dua bidang studi keilmuan yang justru

paling besar artinya dalam mengangkat pamor Ibn Katsir sebagai ilmuwan

yang terkenal di seluruh dunia Islam pada masa-masa sesudahnya. Kedua

65
Maliki,Tafsir Ibn Katsir: Metode dan Bentuk Penafsirannya, h.76.
66
Hasan Bisri, Model Penafsiran Hukum Ibnu Katsir, h. 21.

40
bidang studi itu adalah studi sejarah dan tafsir al-Qur‟an. Dalam bidang

sejarah, peran al-Hafidh al-Birzali (w. 739 H) yang oleh Ibn Katsir disebut

sebagai Muarrikh as-Syam cukup besar, bahkan dalam mengupas

peristiwa-peristiwa yang terjadi sampai tahun 738 H, seperti yang

dinyatakan Brocklmann, Ibn Katsir berpegangan pada kitab Tārīkh karya

al-Birzali.67

Dalam literatur lain disebutkan bahwa dalam bidang fiqih, karyanya

tidak terselesaikan. Ia berencana untuk membuat sebuah kitab fiqih yang

berlandaskan al-Qur‟an dan hadīṣ, tetapi hanya satu bab yang mengenai

ibadah dalam persoalan haji yang ditulis dalam satu bab.68

Popularitasnya dikenal mulai ketika ia terlibat dalam penelitian

untuk menemukan hukuman terhadap seorang zindiq yang didakwa

menganut paham hulul (inkarnasi). Yang dimana penelitian ini diprakarsai

oleh Gubernur Suriah yaitu Altunbuga al- Nasiri di akhir tahun 741 H/

1341 M).69

Sejak saat itu, berbagi jabatan penting lainnya mulai didudukinya

sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Dalam bidang ilmu hadiṣ, pada

tahun 748 H/ 1348 M ia menggantikan gurunya, yaitu Muhammad ibn

Muhammad al-Zhabi, sebagai guru di Turba Umm Salih (sebuah lembaga

pendidikan), dan pada tahun 756 H / 1355 M, setelah Hakim Taqiuddin al-

Subki wafat, beliau diangkat menjadi kepala Dar al-Hadīṣ al-Asyrafiyah

67
Hasan bisri, Model Penafsiran Hukum Ibnu Katsir, 21.
68
Maliki, Tafsir Ibnu Katsir: Metode dan Penafsirannya, h.77.
69
Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab
Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004), h. 132.

41
(sebuah lembaga pendidikan hadits). Kemudian pada tahun 768 H/1366 M

beliau diangkat menjadi guru besar oleh Gubernur Mankali Buga di Masjid

Umayah Damaskus.70

Ibn Katsir adalah seorang ahli fikih yang sangat ahli, ahli hadis yang

cerdas, sejarawan ulung dan mufassir paripurna. Al-Hafiz Ibn Hajar

menjelaskan, “Ia adalah seorang ahli hadis yang faqih. Karangan-

karangannya tersebar luas di berbagai negeri semasa hidupnya dan

dimanfaatkan orang banyak setelah wafatnya”.71

Beliau wafat di Damaskus pada usia 74 tahun tepatnya pada bulan

Sya‟ban 774 H / Februari 1373 M. Jenazahnya di makamkan di samping

makam Ibn Taimiyah (gurunya). 72 Di pemakaman ash-Shufiyah, kawasan

Damaskus sebagaimana yang telah beliau wasiatkan.73

2. Karya-Karya Ibn Katsir

Karya-karyanya sebagian dalam bidang hadits diantaranya adalah

Pertama, Kitab Jami‟ al-Masanid wa al-Sunan (Kitab Koleksi Musnad dan

Sunan). Kitab ini terdiri dari delapan jilid, yang berisi nama-nama sahabat

periwayat hadis yang terdapat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Kutub

al-Sittah dan sumber-sumber lainnya. Kedua, Al-Kutub al-Sittah (Enam

Kitab Koleksi Hadis). Ketiga, At-Takmilah fi Ma‟rifat al-Siqat wa ad-

70
Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab
Tafsir, h. 132-133.
71
Mannā‟ Khalīl al-Qaţţān, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, cet. 18 (Bogor: Litera AntarNusa,
2017), h. 537
72
Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab
Tafsir, h. 134.
73
Imaduddin Abu al-Fida Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Juz Amma: Kata Pengantar Khalid bin
Muhammad Abu Shalih, h. xvii.

42
Du‟afa wa al-Mujahal (Pelengkap untuk Mengetahui Para Periwayat yang

Terpercaya, Lemah dan Kurang Dikenal). Kitab ini terdiri dari lima jilid.

Keempat, Al-Mukhtasar (Ringkasan), dari Muqaddimah li „Ulum al-Hadis

karya Ibn Salah. Pendapat lain mengatakan ada kitab lain lagi yaitu Adillah

al-Tanbīh li „Ulūm al-Hadīṣ. Di samping itu, Ibnu Katsir juga mensyarahi

kitab Shahih Bukhāri yang penyelesaiannya dilanjut oleh Ibn Hajar al-

Asqalani.74

Dalam bidang sejarah, sekurangnya ada lima buku yang ditulisnya,

yaitu: Pertama, Qasas al-Anbiyā‟ (Kisah-kisah Para Nabi). Kedua, Al-

Bidayah wa al-Nihayah (Permulaan dan Akhir), kitab ini menjadi rujukan

terpenting para sejarawan.75 Ketiga, Al-Fusul fi Sirah al-Rasul (Uraian

Mengenai Sejarah Rasul. Keempat, Tabaqat al-Syafi‟iyah (Pengelomokan

Ulama Madzhab Syafi‟i). Kelima, Manaqib al-Imam al-Syafi‟i (Biografi

Imam Syafi‟i).76

Dalam literatur lain, di bidang sejarah ada juga buku Al-Kawākibud

Darāri yang merupakan cuplikan dari al-Bidāyah wan Nihāyah.77

Dalam bidang fiqih, karyanya tidak terselesaikan. Ia berencana untuk

membuat sebuah kitab fiqih yang berlandaskan al-Qur‟an dan al-hadiṣ,

tetapi hanya satu bab yang mengenai ibadah dalam persoalan haji yang

74
Maliki, Tafsir Ibnu Katsir: Metode dan Penafsirannya, h.77.
75
Mannā‟ Khalīl al-Qaţţān, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, cet. 18 (Bogor: Litera Antar Nusa,
2017), h. 537
76
Abd Haris Nasution dan Muh Mansur, Studi Kitab Tafsir Al-Qur‟an Al-Azim, dalam
jurnal Ushuluddin Adab dan Dakwah. Vol 1(1): 1-14 (Agustus 2018), h.4
77
Mannā‟ Khalīl al-Qaţţān, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, cet. 18 (Bogor: Litera Antar Nusa,
2017),h. 537

43
ditulis dalam satu bab.78

Dalam bidang tafsir ia menulis kitab tafsir 30 juz yang berjudul

Tafsīr al-Qur‟ān al-Adzīm atau yang disebut juga Tafsīr Ibn Katsīr.79

Tafsīr Ibn Katsīr ini diterbitkan bersama (digabung) dengan Mā‟alimut

Tanzīl, karya al-Bagawi. Juga diterbitkan secara terpisah dalam empat jilid

berukuran besar.80

3. Tafsir Ibn Katsir

Mengenai nama tafsir yang dikarang oleh Ibn Katsir, tidak ada data

yang dapat memastikan berasal dari pengarangnya. Hal ini karena dalam

kitab tafsir dan karya-karya lainnya, Ibn Katsir tidak menyebutkan

judul/nama bagi kitab tafsirnya, padahal untuk karya-karya lainnya ia

menamainya. Para penulis sejarah tafsir al-Qur‟an, seperti Muhammad

Husain al-Zahabi dan Muhammad „Ali al-Sabuni, menyebut tafsir karya

Ibn Katsir ini dengan nama Tafsir al-Qur‟ān al-„Azīm. Dalam berbagai

naskah cetakan yang terbit pun pada umumnya diberi judul Tafsīr al-

Qur‟ān al-„Azim, namun ada pula yang memakai judul Tafsīr Ibn Kasīr.

Perbedaan nama/judul hanyalah pada namanya saja, sedangkan isinya

sama.81

Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azim merupakan tafsir paling terkenal di antara

78
Maliki, Tafsir Ibnu Katsir: Metode dan Penafsirannya, h.77.
79
Maliki, Tafsir Ibnu Katsir: Metode dan Penafsirannya, h.77.

80
Mannā‟ Khalīl al-Qaţţān, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, cet. 18 (Bogor: Litera Antar Nusa,
2017), h. 513.
81
Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab
Tafsir, h. 135.

44
sekian banyak tafsir bil-ma‟tsur yang pernah ditulis orang dan menduduki

peringkat kedua sesudah kitab Ibn Jarir. Ibn Kasir menafsirkan Kalamullah

dengan hadis dan atsar yang didasarkan kepada pemiliknya, serta

membicarakan pula masalah jarh dan ta‟dil yang diperlukan, mentarjihkan

sebagian pendapat atas yang lain, menetapkan “lemah” pada sebagian

riwayat dan menyatakan “sahih” pada riwayat lain.82

Tafsir ini disusun oleh Ibn Katsir berdasarkan sistematika tertib

susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf al-Qur‟an, yang lazim

disebut sebgai sistematika tartib mushafi. Urutan tafsir terdiri dari empat

jilid ini adalah sebagai berikut: jilid I berisi tafsir surat al-Fātihah sampai

dengan surat an-Nisā‟, jilid II berisi tafsir surat al-Māidah sampai dengan

surat al-Nahl, jilid III berisi tafsir surat al-Isra sampai dengan surat Yāsīn,

jilid IV berisi tafsir surat al-Saffat sampai dengan surat an-Nās.

Kitab ini telah diringkas dan diteliti ulang oleh Muhammad „Ali al-

Sabuni, guru besar tafsir fakultas hukum dan studi Islam Universitas King

„Abd al-„Aziz, Mekah. Ringkasan kitab ini berjudul Mukhtasar Tafsīr Ibn

Katsīr (tiga jilid). Jilid I memuat tafsir surat al-Fātihah sampai dengan

surat al-An‟ām, jilid II memuat tafsir surat al-A‟rāf sampai dengan surat

al-Naml, jilid III memuat tafsir surat al-Qasās sampai dengan surat an-

Nās.83

Kitab ringkasan ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia

oleh H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy dengan judul Terjemah


82
Mannā‟ Khalīl al-Qaţţān, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, cet. 18 (Bogor: Litera Antar Nusa,
2017), h. 512.
83
Abd Haris Nasution dan Muh Mansur, Studi Kitab Tafsir Al-Qur‟an Al-Azim, h.5.

45
Singkat Tafsīr Ibn Katsīr (delapan jilid).84

Dalam hal ini Muhammad Rasyid Rida menjelaskan: tafsir ini

merupakan tafsir paling masyhur yang memberikan perhatian besar

terhadap riwayat-riwayat dari pada mufassir salaf, menjelaskan makna

ayat dan hukumnya, menjauhi pembahasan masalah i‟rab dan cabang-

cabang balaghah yang pada umumnya dibicarakan secara panjang dan

lebar oleh kebanyakan para mufassir, menghindar dari pembicaraan yang

lebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak diperlukan dalam memahami al-

Qur‟an secara umum atau hukum dan nasehat-nasehatnya secara khusus.85

Diantara ciri khusus tafsirnya ialah perhatiannya yang besar kepada

masalah tafsīr alqur‟ān bil qur‟ān (menafsirkan ayat dengan ayat). tafsir

ini merupakan tafsir yang paling banyak memuat atau memaparkan ayat-

ayat mutasyabihat, kemudian diikuti dengan penafsiran ayat dengan

hadits-hadits marfu‟ yang relevan dengan ayat yang sedang ditafsirkan,

menjelaskan apa yang menjadi dalil dari ayat tersebut. Selanjutnya diikuti

dengan atsar para sahabat, pendapat tabi‟in dalam ulama salaf

sesudahnya.86

Keistimewaan Ibn Kasir terletak pada seringnya ia memperingatkan

akan riwayat-riwayat Isra‟iliyat munkar (tertolak) yang terdapat dalam

tafsir bil ma‟tsur. Juga pada pengungkapan berbagai pendapat ulama

84
Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab
Tafsir, h. 137
85
Mannā‟ Khalīl al-Qaţţān, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, cet. 18 (Bogor: Litera Antar Nusa,
2017), h. 537
86
Mannā‟ Khalīl al-Qaţţān, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, cet. 18 (Bogor: Litera Antar Nusa,
2017), h. 537

46
tentang hukum fiqih yang kadang-kadang, disertai pendiskusian atas

mazhab dan dalil yang dikemukakan mereka masing-masing.87

4. Corak dan Metode Penafsiran

Kitab ini dapat dikategorikan sebagai salah satu kitab tafsir dengan

corak dan oriental (al-laun wa al-ittijah) tafsīr al-ma‟sūr/ tafsīr bi al-

riwāyah, karena dalam tafsir ini beliau sangat dominan memakai

riwayat/hadis, pendapat sahabat dan tabi‟in. Dapat dikatakan bahwa dalam

tafsir ini yang paling dominan ialah pendekatan normatif-historis yang

berbasis utama kepada hadis/riwayah. Ibnu Katsir pun terkadang

menggunakan rasio atau penalaran ketika menafsirkan ayat.88

Adapun metode (manhaj) yang ia tempuh dapat dikategorikan

sebagai manhaj tahlili (metode analitis). Hal ini karena pengarangnya

menafsirkan ayat demi ayat secara analitis menurut urutan mushaf al-

Qur‟an. Metode lain juga yang terdapat dalam tafsir ini adalah semi

tematik (maudu‟i), karena ketika menafsirkan ayat ia mengelompokkan

ayat-ayat yang masih dalam satu konteks pembicaraan ke dalam satu

tempat baik satu atau beberapa ayat, kemudian menampilkan ayat-ayat

lainnya yang terkait untuk menjelaskan ayat-ayat yang sedang ditafsirkan

itu.89

Metode tersebut, ia aplikasikan dengan metode-metode atau

87
Mannā‟ Khalīl al-Qaţţān, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, cet. 18 (Bogor: Litera Antar Nusa,
2017), h. 513
88
Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab
Tafsir, h. 137-138.
89
Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab
Tafsir, h. 138.

47
langkah-langkah penafsiran yang dianggapnya paling baik (ahsan turūq al-

tafsīr). Langkah-langkah dalam penafsirannya secara garis besar ada tiga:

Pertama, menyebutkan ayat yang ditafsirkannya dengan bahasa yang

mudah dan ringkas. Kadang ia menjelaskan ayat tersebut dengan ayat lain,

kemudian membandingkannya hingga makna dan maksudnya jelas.

Kedua, mengemukakan berbagai hadits atau riwayat yang marfū‟ (yang

disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik sanadnya bersambung

maupun tidak), yang berhubungan dengan ayat yang sedang ditafsirkan.

Ketiga, mengemukakan berbagai pendapat mufasir atau ulama

sebelumnya. Dalam hal ini, ia terkadang menentukan pendapat yang paling

kuat di antara pendapat para ulama yang dikutipnya, atau mengemukakan

pendapatnya sendiri dan terkadang ia sendiri tidak berpendapat.90

Adapun tahap-tahap tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:91

a. Menafsirkan dengan alquran (ayat-ayat lain)

Dalam Tafsir Ibnu Katsir ditemukan ayat-ayat al-Qur‟an lainnya

yang terkait dengan ayat yang sedang ditafsirkan. Ayat-ayat itu adalah

yang menurutnya dapat menopang penjelasan dan maksud ayat-ayat

yang sedang ditafsirkan, atau ayat-ayat yang mengandung kesesuaian

arti.

b. Menafsirkan dengan hadits

Ibn Katsir, selain menafsirkan ayat dengan ayat yang lain, ia juga

menafsirkan ayat dengan hadits. Metode ini ia gunakan ketika tidak


90
Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab
Tafsir. . .h. 139.
91
Abd Haris Nasution dan Muh Mansur, Studi Kitab Tafsir Al-Qur‟an Al-Azim, . . .h.6-7.

48
terdapat penjelasan dalam ayat lain, atau untuk melengkapi penjelasan

dari ayat tersebut.

c. Menafsirkan dengan pendapat shahabat dan tabi‟in

Ibn Katsir mempunyai asumsi bahwa sahabat adalah orang yang

lebih mengetahui penafsiran karena sahabatlah yang menyaksikan

langsung turunnya ayat-ayat al-Qur‟an. Dari sinilah kemudian ia

perpendapat bahwa pendapat sahabat juga merupakan rujukan selain al-

Qur‟an dan Hadits. Kemudian pendapat tabi‟in ia gunakan sebagai

hujjah setelah pendapat tersebut telah menjadi kesepakatan diantara

para sahabat. Pendapat yang sering ia gunakan adalah pendapat Ibnu

Abbas dan Qatadah. Sedangkan pendapat tabi‟in dijadikan hujjah bila

pendapat tersebut telah menjadi kesepakatan di antara mereka, jika

tidak maka ia tidak mengambilnya sebagai hujjah.

d. Menafsirkan dengan pendapat para ulama‟

Dalam berbagai pendapat menyangkut aspek kebahasaan, teologi,

hukum, kisah atau sejarah, Ibnu Katsir banyak mengutip dari pendapat

para ulama atau mufassir sebelumnya, dan yang paling banyak ia kutip

adalah pendapat Ibnu Jarir at-Thabari. Ia sangat banyak mengutip

riwayat-riwayat dari periwayatan at-Thabari lengkap dengan sanadnya.

Ia pun sering mengkritik atau menilai kualitas hadis yang dikutipnya

itu. Dengan demikian, secara substansial Ibnu Katsir telah melakukan

perbandingan penafsiran.

e. Menafsirkan dengan pendapatnya sendiri

49
Metode ini ia gunakan setelah melakukan metode-metode yang

telah disebutkan di atas (yaitu: ayat dengan ayat, ayat dengan hadīṣ,

ayat dengan pendapat sahabat, dan ayat dengan pendapat ulamā‟).

Setelah menganalisis dan membandingkan penafsiran, ia kemudian

menyatakan pendapatnya sendiri di akhir penfsiran. Namun, metode ini

tidak selalu ia gunakan dalam penafsiran ayat.

5. Berbagai Sikap Penafsiran Ibn Katsir92

a. Sikapnya terhadap israiliyyat

Dalam menafsirkan ayat-ayat, Ibn Katsir ada yang menggunakan

riwayat-riwayat Israiliyyat dan ada yang tidak ia gunakan. Ibn Katsir

tidak membenarkan dan juga tidak menolak riwayat- riwayat tersebut

kecuali jika sejalan dengan kebenaran syari‟at Islam. Dengan riwayat

yang ia nilai tidak dapat dicerna oleh akal, ia meriwayatkan dengan

disertai peringatan, dan demikian juga ada kalanya ia sama sekali tidak

menggunakan riwayat israiliyyat yang nyata-nyata tidak sejalan atau

bertentangan dengan ajaran Islam.

b. Penafsiran ayat-ayat hukum

Sebagai seorang ahli hukum Islam, Ibn Katsir telah memberikan

penjelasan yang relatif lebih luas dalam menafsirkan ayat-ayat yang

bernuansa hukum, apalagi ketika menafsirkan ayat-ayat yang dipahami

secara berbeda-beda di kalangan para ulama. Dalam hal ini, ia sering

menyajikan diskusi dengan mengemukakan argumentasi masing-

92
Abd Haris Nasution dan Muh Mansur, Studi Kitab Tafsir Al-Qur‟an Al-Azim, . . .h.7-12.

50
masing ulama, termasuk pendapatnya sendiri.

c. Tentang Naskh (Penghapusan)

Dalam hal ini, Ibn Katsir termasuk yang berpendapat bahwa

naskh dalam al-Qur‟an itu ada. Menurutnya, naskh adalah penghapusan

hukum atau ketentuan yang terdahulu dengan hukum yang terdapat

dalam ayat yang muncul kemudian. Adanya penghapusan ini

merupakan kehendak Allah sesuai kebutuhan demi kemaslahatan,

sebagaimana al-Qur‟an banyak me-nasakh ajaran-ajaran sebelumnya.

Contohnya adalah penghapusan hukum pernikahan antara saudara

kandung sebagaimana yang dilakukan oleh putra-putri Nabi Adam;

penghapusan penyembelihan Ibrahim atas putranya, Ismail; dan

sebagainya.

d. Tentang Muhkam dan Mutasyabih

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa dalam hal ini ia mengikuti

pendapat Muhammad Ibn Ishaq Ibn Yasar, yang berpendapat bahwa

ayat-ayat al-Qur‟an yang muhkam merupakan argumentasi Tuhan,

kesucian hamba, dan untuk mengatasi perselisihan yang batil. Pada

ayat-ayat tersebut tidak ada perubahan dan pemalsuan.

e. Tentang Ayat-Ayat Tasybih (Antropomorfosis)

Dalam menafsirkan ayat-ayat tasybih, nampaknya ia mengikuti

pendapat ulama salafus-shalih, yang berpendapat tidak adanya

penyerupaan (tasybih) perbuatan Allah dengan hamba-hamba-Nya. Ia

memilih “membiarkan” atau tidak mengartikan lafadz-lafadz tasybih

51
dalam al-Qur‟an, seperti kursiy, „arsy, dan istawa. Di sini terlihat

dominasi riwayat atau hadis sangatlah kuat mempengaruhi

penafsirannya, ia tidak menakwilnya sama sekali.

f. Tentang Ayat-Ayat yang Dipahami

Secara berbeda-beda pada banyak ayat, khususnya ayat yang

menyangkut pembahasan hukum atau fiqih, perbedaan penafsiran dapat

saja bahkan seringkali terjadi. Namun, disini ingin ditegaskan kembali

bahwa kontroversi dan terkadang kontradiksi penafsiran di kalangan

para ulama biasanya dideskripsikan, didiskusikan, dan dianalisis secara

rinci oleh Ibnu Katsir.

Menurut Ibn Katsir dalam muqaddimah tafsirnya menyebut

bahwa metode tersebut adalah metode yang terbaik dalam penafsiran al-

Qur‟an. Metode menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, al-Qur‟an

dengan hadist dan seterusnya adalah merupakan prinsip-prinsip yang

dipakai pada bentuk tafsir bil ma‟tsūr. Walupun sebenarnya tidak

menutup kemungkinan ada bentuk-bentuk bil ra‟yī dalam

penafsirannya, sebagai contoh penakwilannya tentang ayat

antropomorphisme di atas menunjukkan bahwa Ibn Katsīr juga

menggunakan ra‟yu dalam penafsirannya. Akan tetapi dengan melihat

tafsirannya secara keseluruhan, bentuk bil matsūr lebih mendominasi.

Hal itu dibuktikan banyaknya hadis-hadis yang digunakan oleh Ibn

Katsīr dalam penafsirannya.

B. Biografi KH. Bisri Musthofa dan Tafsir Al-Ibriz

52
1. Riwayat hidup dan latar belakang

KH. Bisri Musthofa lahir di Kampung Sawahan Gg. Palen,

Rembang, Jawa Tengah pada tahun 1915 M. Ia adalah anak dari H. Zainal

Mustofa dan Chodijah yang telah memberi nama Mashadi. Mashadi adalah

nama asli KH. Bisri Musthofa.93 Nama Bisri ia peroleh setelah

menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekah - Madinah pada tahun 1923

M.

Mashadi atau KH. Bisri Musthofa merupakan anak pertama dari

empat bersaudara, yaitu: Mashadi, Salamah, Misbah, dan Ma‟shum.

Mereka berempat adalah saudara kandung, anak-anak dari pasangan H.

Zainal Mustofa dan Chodijah. Mashadi juga memiliki saudara tiri karena

sebelumnya, sang ayah H. Zainal Mustofa pernah menikah dengan Dakilah

dan mendapatkan dua orang anak, yaitu H. Zuhdi dan H. Maskanah.

Sedangkan ibunya, Chodijah juga memiliki anak dari pernikahan

sebelumnya yaitu Ahmad dan Tasmin.94

Ayahnya H. Mashadi yaitu H. Zainul Mustofa merupakan anak dari

Padjoyo atau H. Yahya. Ia bukan dari kalangan kiai namun beliau

merupakan pribadi yang mencintai dan memuliakan kiai dan para alim

ulama. H. Zainul Musthofa merupakan seorang pedagang kaya yang

dermawan. Sedangkan dari keluarga Ibu (Chodijah), Mashadi masih

memiliki darah Makassar karena ibunya, Chodijah merupakan anak dari

pasangan Aminah dan H. Zajjadi adalah pria kelahiran Makassar dari ayah
93
A. Zainal Huda, Mutiara Pesantren; Perjalanan Khidmah KH. Bisri Musthofa,
(Yogyakarta: Pustaka Kita. 2003), h. 8.
94
Ibid, h. 11.

53
bernama H. Syamsuddin dan Ibu Datuk Djijjah.

Pada tahun 1923, H. Zainul Mustofa mengajak istrinya, Chodijah

dan keempat anaknya untuk menunaikan ibadah haji bersama-sama.

Kepergian mereka sekeluarga ke tanah suci mengendarai kapal haji milik

Chasan-Imazi, Bombay, dan naik ndari pelabuhan Rembang. Namun

dalam serangkaian kegiatan ibadah Haji, H. Zainul Mustofa sering sakit-

sakitan, sehingga dalam pelaksanaan ibadah haji beliau harus ditandu.

Dalam perjalanan pulang ke Indonesia, ayah Mashadi, H. Zainul Mustofa

sakit keras dan meninggal di perjalanan. H. Zainal Mustofa wafat pada

usia 63 tahun. Sejak pulang dari ibadah haji, Mashadi mengganti namanya

dari Mashadi menjadi Bisri dan kemudian ia dikenal dengan nama Bisri

Musthofa.

Sejak ayahandanya wafat pada tahun 1923 merupakan babak

kehidupan baru bagi KH. Bisri Mustofa. Sebelumnya ketika ayahnya

masih hidup seluruh tanggung jawab dan urusan-urusan serta keperluan

keluarga termasuk keperluan beliau menjadi tanggung jawabnya. Oleh

karena itu sepeninggal H. Zainal Mustofa (ayahnya), tanggung jawab

keluarga termasuk berada di tangan H. Zuhdi.95

Zuhdi kemudian mendaftarkan Bisri ke sekolah HIS (Holland

Inlands School) di Rembang. Bisri diterima di HIS karena diketahui

sebagai salah satu saudara Mantri di sekolah tersebut. Namun mengetahui

Bisri diterima di HIS karena dikenali sebagai saudara petinggi HIS, KH.

95
Rizkiyatul Imtyas, Tafsîr Al-Ibrîz Lima‟rifati Tafsîr Al-Qur‟ân, h. 64.

54
Cholil melarang Bisri bersekolah di HIS. Karena HIS merupakan sekolah

yang didirikan oleh Belanda.96

Pada akhirnya Kiai Bisri melanjutkan studinya di sekolah Jawa

Ongko Loro di Kabupaten Rembang atas saran KH. Cholil, beliau lulus

pada tahun 1926. Kiai Bisri juga pernah menjadi santri di Pesantren Kajen

selama tiga hari, juga di Pesantren Kasingan Rembang yang diasuh oleh

KH. Cholil. Ia pulang ke rumahnya setiap seminggu sekali untuk

mengambil bekal. Ia juga belajar membaca kitab suci al-Qur‟ân dan

menulis Arab kepada beliau dan kepada H. Zuhdi.

Selama bersekolah Ongko Loro, sebelum berangkat Bisri biasanya

belajar mengaji al-Qur‟an kepada KH. Cholil terlebih dahulu. Dan setelah

ia masuk sekolah Ongko Loro ia tidak bisa mengaji lagi dikarenakan

waktunya yang bersamaan. Oleh karena itu Bisri memilih belajar mengaji

kepada kakaknya, H. Zuhdi97.

Setelah lulus sekolah Ongko Loro di tahun 1926 M, Bisri diperintah

oleh kakaknya, H. Zuhdi untuk belajar mengaji pada KH. Cholil Kasingan.

Namun pada awalnya Bisri tidak berminat belajar di pesantren, sehingga

hasil yang dicapai Bisri sangat tidak memuaskan di awal-awal ia mondok.

Setelah tidak kerasan di pondok, Bisri keluar pesantren KH. Cholil dan

menghabiskan waktu untuk bermain-main dengan teman di kampungnya.

Setelah tidak mondok beberapa bulan, di permulaan tahun 1930 M,

96
Dinda Setya Melina, Penafsiran KH. Bisri Musthofa tentang ayat-ayat Pelestarian
Lingkungan, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin IAIN Ponorogo, 2020), h. 36
97
A. Zainal Huda, Mutiara Pesantren; Perjalanan Khidmah KH. Bisri Musthofa,
(Yogyakarta: Pustaka Kita. 2003). hlm, 11.

55
Bisri diperintahkan untuk kembali ke Kasingan untuk belajar mengaji al-

Qur‟an kembali kepada KH. Cholil. Kemudian Bisri dipasrahkan kepada

ipar KH. Cholil yang bernama Suja‟i. Sebelum mengaji kepada KH.

Cholil, Bisri terlebih dahulu belajar mengaji pada Suja‟i. Hal tersebut

dikarenakan Bisri belum siap jika mengaji langsung kepada KH. Cholil.

Namun ia mulai memiliki tekad yang besar untuk membuktikan kepada

teman-temannya dan KH. Cholil bahwa ia mampu memahami dan mengaji

dengan baik sehingga suatu hari nanti akan langsung mengaji pada KH.

Cholil.98

Saat mengaji bersama Suja‟i, Bisri tidak diajari macam-macam

kitab, melainkan ia hanya diajari Suja‟i kitab Alfiyah Ibnu Malik. Setiap

harinya Bisri hanya mempelajari kitab itu, dan lama kelamaan ia menjadi

santri yang sangat menguasai kitab Alfiyah Ibnu Malik.

Satu tahun kemudian, ia belajar kitab Fath al-Mu‟în (berisi kajian

ilmu fiqh dan hukum Islam). Setelah ia hafal dan paham betul terhadap

kedua kitab tersebut, ia lalu belajar kitab-kitab lainnya, antara lain; Tafsîr

al-Jalâlain, Tafsîr al-Baidawi, Tafsîr al-Manâr, Tafsîr al-Marâghi, Fath

al-Wahab, Iqna‟, Jam‟ul Jawami‟, Uqud al-Juman, Sahîh Muslim, Sahîh

al-Bukhâri, Latâiful Irsyâd, Sullâm al-Mu‟âwanah, Nuhbah al-Fikr dan

lain sebagainya. Sejalan dengan lamanya ia belajar dan memiliki

kepercayaan diri yang lebih kuat, Bisri menjadi sosok santri yang

diperhitungkan dan seringkali dijadikan rujukan atas teman-temannya

98
Saifulloh Ma‟sum, Kharisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, (Bandung:
Mizan, 1998), h. 322.

56
untuk memahami sebuah pelajaran keilmuan. Kemudian diangkat menjadi

Buroh Pondok (ketua pondok pesantren dan kaki tangan pengasuh Kiai

Cholil).

Pada tahun 1932 Bisri meminta restu KH. Cholil untuk pindah

pondok ke Termas, pada saat itu diasuh oleh K. Dimyati. Namun

permintaan itu ditentang keras oleh KH. Cholil, menurutnya di Pondok

Kasingan pun Bisri tidak akan kehabisan ilmu untuk dipelajari. Karena

KH. Cholil tidak meridhoi Bisri untuk pindah pondok, maka Bisri

mematuhi titah sang Kyai untuk tetap belajar di Pondok Kasingan.

Selain menempuh pendidikan formal, KH. Bisri Musthofa juga

pernah menempuh pendidikan non-formal di Mekkah. Pendidikan ini

bermula dari kepergiannya ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji

bersama dengan beberapa anggota keluarganya dari Rembang saat setahun

setelah ia menikah. Seusai menunaikan ibadah haji, KH. Bisri Musthofa

tidak langsung pulang, namun ia memilih bermukim di Mekkah untuk

menuntut ilmu di sana99.

Selama di Mekkah, KH. Bisri Musthofa berguru dari satu guru ke

guru lain secara langsung. Diantara guru-gurunya di Mekkah, ada

beberapa ulama asal Indonesia yang telah lama menetap di Mekkah.

Adapun secara keseluruhan, guru-guru KH. Bisri Musthofa selama di

Mekkah adalah: (1) Syaikh Baqir asal Yogyakarta, kepadanya KH. Bisri

Musthofa belajar kitab Lubb al-Ushul, Umdat al-Abrar, Tafsir al-Khashaf,

99
A. Zainal Huda, op.cit, h. 16.

57
(2) Syaikh Umar Hamdan al-Maghribi, kepadanya KH. Bisri Musthofa

belajar kitab Hadis Shahih Bukhori dan Shahih Muslim, (3) Syaikh Hassan

Massat. Kepadanya KH. Bisri Musthofa Minhaj Dzawi al-Nadar, (4)

Sayyid Amin, kepadanya KH. Bisri Musthofa belajar kitab Ibn „Aqil, (5)

Syaikh „Ali al-Maliki, kepadanya KH. Bisri Musthofa belajar kitab al-

Asybah wa al-Nada‟ir, (6) KH. Abdullah Muhaimin, kepada beliau KH.

Bisri Musthofa belajar kitab Jam‟u al-Jawami‟.100

2. Karya-Karya KH. Bisri Musthofa

Karya KH. Bisri Musthafa umumnya mengenai masalah keagamaan

yang meliputi berbagai bidang, diantaranya; ilmu tafsir dan tafsir, ilmu

hadis dan hadis, ilmu nahwu, sharaf, akidah, syari‟ah, akhlak dan

sebagainya. Kesemua hasil karya KH. Bisri Musthofa kurang lebih

berjumlah 176 judul karya. Salah satu keunikan dari karya KH. Bisri

Musthofa adalah variasi bahasa yang digunakan di berbagai karyanya, ada

yang berbahasa Jawa bertuliskan Arab Pegon101, ada yang berbahasa

Indonesia yang ditulis dengan Arab Pegon, ada yang berbahasa Indonesia

bertuliskan huruf latin, dan ada juga yang menggunakan bahasa Arab 102.

Dalam bidang tafsir selain Tafsîr al-Ibrîz lima‟rifati Tafsîr al-

Qur‟ân, KH. Bisri Musthofa juga menyusun kitab Tafsîr Surat Yâsîn.

100
Maslukhin, Kosmologi Budaya Jawa Dalam Tafsir Al-Ibriz Karya KH. Bisri Musthofa,
Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis, Vol V, Nomor 1 (Juni 2015), h. 31
101
Arab Pegon, yaitu sebuah tulisan, aksara atau huruf arab tanpa lambang atau tanda baca
dan bunyi. Dalam kamus bahasa Jawa-Indonesia, pegon berarti tidak bisa mengucapkan. Kata lain
dari pegon adalah gundhul atau polos. Sedangkan istilah huruf Arab Pegon digunakan untuk
menuliskan terjemahan maupun makna yang tersurat di dalam kitab kuning dengan menggunakan
bahasa tertentu. Purwadi, Kamus Jawa-Indonesia, (Jakarta: Pustaka Widyatama, 2003), h. 278.
102
Mafri Amir dan Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia, h. 130.

58
Tafsir ini bersifat sangat singkat dapat digunakan para santri serta para da‟i

di pedesaan. Termasuk karya beliau dalam bidang tafsir ini adalah Kitab

al-Iktsir yang berarti “Pengantar Ilmu Tafsir” ditulis sengaja untuk para

santri yang sedang mempelajari ilmu tafsir.

Dalam bidang hadits terdapat tiga buku yang ditulisnya; pertama,

Sullâmul Afhâm li Ma‟rifati al-Adillati al-Ahkâm fî Bulûgh al-Marâm,

terdiri atas 4 jidil, berupa terjamah dan penjelasan. Di dalamnya memuat

hadits-hadits hukum syara‟ secara lengkap dengan keterangan yang

sederhana. Kedua, al-Azwâd al-Mustofawiyah, berisi tafsiran Hadits

Arba‟in an-Nawaiy untuk para santri pada tingkatan Tsanawiyah. Ketiga,

al-Mandumah al-Baiqûniyyah, berisi ilmu Mustalah al-Hadits yang

berbentuk nazam yang diberi nama.

Dalam bidang aqidah, ada dua karyanya yaitu; pertama, Rawihât al-

Aqwâm fî „Azmi „Aqîdah al-Awwâm. Kedua, Durar al-Bayân fî Tarjamati

Syu‟bah al-Îmân. Keduanya merupakan karya terjemahan kitab

tauhid/aqidah yang dipelajari oleh para santri pada tingkat pemula (dasar)

dan berisi aliran Ahlu al-Sunnah wa al-Jamâ‟ah. Karyanya di bidang

aqidah ini terutama ditujukan untuk pendidikan tauhid bagi orang yang

sedang belajar pada tingkat pemula.

Dalam bidang syari‟ah ada beberapa karya yaitu; Sullâmul Afhâm li

Ma‟rifati al-Adillati al-Ahkâm fî Bulûgh al-Marâm, Qawâ‟id al-Bahîyah,

(Tuntunan Shalat dan Manasik Haji), Islam dan Shalat.

Dalam bidang akhlak/tasawuf ada empat karyanya yaitu; Washâya

59
al-Abâ‟ lî al-Abnâ‟, Syi‟ir Ngudi Susilo, Mitra Sejati, Qasîdah al-Ta‟liqât

al-Mufîdah (Syarah dari Qasidah al-Munfarijah karya Syeikh Yusuf al-

Tauziri dari Tunisia).

Dalam bidang Ilmu Bahasa Arab ada beberapa karyanya yaitu;

pertama, Tarjamah Syarah al-Jurumiyah, kedua, Tarjamah Nazam

„Imriti, ketiga, Nazam al-Maqsûd, kelima, Syarah Jauhar al-Maknûn.

Dalam bidang Ilmu Mantiq/Logika karyanya yaitu, Tarjamah Sullâm

al-Munawwaraq memuat dasar-dasar berpikir yang sekarang lebih dikenal

dengan ilmu Mantiq atau logika. Isinya sangat sederhana tetapi sangat

jelas dan praktis. Mudah dipahami, banyak contoh-contoh yang dapat

ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam bidang Sejarah ada kitab Al-Nabrasy, Târikh al-Anbiyâ‟,

Târikh al-Awliyâ‟. Bidang-bidang Lain; Tiryâq al-Aghyâr merupakan

terjemahan dari Qasidah Burdah al-Mukhtâr. Kitab kumpulan do‟a yang

berhubungan dengan kehidupan sehari-hari berjudul al-Haqîbah (dua

jilid). Buku kumpulan khutbah al-Idâmah al-Jumu‟iyyah (enam jilid),

Islam dan Keluarga Berencana, buku cerita humor Kasykûl (tiga jilid),

Syi‟ir-syi‟ir, Naskah Sandiwara, Metode Berpidato, dan lain-lain.

Karya-karya KH. Bisri Musthofa tersebut pada umumnya ditujukan

pada kelompok sasaran yang menjadi target dakwah KH. Bisri Musthofa.

Pertama, kelompok santri yang sedang belajar di pesantren. Adapun karya-

karya beliau yang seringkali dijadikan bahan belajar ataupun rujukan ialah

karya yang bertema ilmu tauhid, ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu mantiq,

60
dan ilmu balaghah. Kedua, masyarakat umum di pedesaan yang giat dalam

acara pengajian di masjid atau langgar. Dalam hal ini, karya-karya KH.

Bisri lebih menonjolkan ilmu-ilmu praksis yang dapat diterapkan dalam

hal ibadah.

Karya-karya KH. Bisri Musthofa tersebut dicetak oleh beberapa

perusahaan percetakan yang biasa mencetak berbagai buku pembelajaran

untuk santri dan kitab kuning, adapun perusahaan percetakan yang

menerbitkan karya-karya KH. Bisri Musthofa diantaranya percetakan

Salim Nabhan Surabaya, Progresif Surabaya, Toha Putera Semarang, Raja

Murah Pekalongan, al-Ma‟arif Bandung dan yang terbanyak dicetak oleh

Percetakan Menara Kudus. 103

3. Tafsir Al-Ibriz

a. Latar Belakang Penulisan

Tafsir al-Ibriz dicetak dalam 30 jilid cetakan, sejumlah juz di Al-

Qur‟an. Tidak ada literatur yang menuliskan data akurat tentang kapan

dimulainya al-Ibriz ditulis oleh KH. Bisri Musthofa. Namun untuk

waktu diselesaikannya al-Ibriz yaitu pada tanggal 29 Rajab tahun 1379

H, bertepatan dengan tanggal 8 Januari tahun 1960 M. Ma‟rufah, istri

KH. Bisri Musthofa menuturkan bahwa al-Ibriz selesai ditulis pada

masa setelah kelahiran puteri mereka yang ke empat, Atikah pada tahun

1964 M. Pada tahun ini pula al-Ibriz untuk pertama kalinya dicetak oleh

103
Maslukhin, Kosmologi Budaya Jawa Dalam Tafsir Al-Ibriz Karya KH. Bisri Musthofa,
Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis, Vol V, Nomor 1 (Juni 2015), h. 79.

61
percetakan Menara Kudus104. Secara fisik, kitab Tafsir al-Ibriz tidak

nampak seperti kitab tafsir pada umumnya. Keunikan kitab Tafsir al-

Ibriz ini sudah terlihat dari kondisi fisik dari luarnya. Ketika membuka

kitab Tafsir al-Ibriz juga melihat keunikan pada penomoran

halamannya. Ketika memulai membaca kitab tafsir ini, kita akan

menemukan kalimat berbahasa Arab gandul di dalam kotak dipinggir

muka halaman (biasa disebut hamish).

KH. Bisri Musthafa berkata dalam mukaddimah kitabnya 105;

“Al-Qur‟ân al-Karîm sampun katah dipun terjemah dineng poro

ahli terjemah, wonten ingkang mawi boso Walondi, Inggris,

Jerman, Indonesia, lan sanes-sanesipun. Malah ingkang mawi

tembung daerah, Jawi, Sunda lan sak pinunggalanipun ugi

sampun katah. Kanti terjemah-terjemah wahu, umat Islam

sangking sedoyo bongso lan suku-suku, lajeng katah ingkang

saget mangertos ma‟na lan tegesipun. Kangge nambah khidmah

lan usaha ingkang sahe lan mulyo meniko, dumateng ngersanipun

poro mitro muslimin ingkang sami ngertos tembung daerah jawi,

kawulo segahaken terjamah tafsir al-Qur‟ân al-„Azîz mari coro

ingkang persojo, enteng, serto gampil pahaminipun”.

Begitulah ungkapan beliau dalam mukaddimah kitab al-Ibrîz.

Dari keterangan tersebut kita dapat mengetahui bahwa beliau ingin agar

104
Abu Rokhmad,. Telaah Karakteristik Arab Pegon Al-Ibriz, (Jurnal “Analisa” Volume
XVIII No. 01, Januari-Juni 2011), h. 58.
105
Bisri Musthafa, al-Ibrîz lima‟rifati Tafsîr al-Qur‟ân bi al-Lughah al-Jawiyyah,
(Rembang: Menara Kudus, 1959), h. 2.

62
pembaca al-Qur‟ân khususnya orang Jawa, paham akan maksud al-

Qur‟ân. Sebagaimana langkah penerjemahan ini sudah dilaksanakan

oleh pendahulu-pendahulunya, baik dengan bahasa Inggris, Jerman,

Belanda, Indonesia, Jawa dan Sunda. Beliau ingin menghadirkan

penjelasan tafsir tersebut dengan bahasa yang ringan dan mudah

dipahami, terutama kepada rakyat Nusantara.

Sebelum disebarluaskan kepada khalayak ramai, karya tafsir ini

terlebih dahulu dikoreksi secara mendalam oleh beberapa ulama

terkenal, seperti; al-„Allamah al-Hâfidz KH. Arwani Amin, al-

Mukarram KH. Abu „Umar, al-Mukarram al-Hâfidz KH. Hisyam, dan

al-Âdib al-Hâfidz KH. Sya‟roni Ahmadi. Yang mana semuanya adalah

ulama kenamaan asal Kudus Jawa Tengah. Dengan demikian

kandungannya dapat dipertanggunggjawabkan baik secara moral

maupun ilmiah.

Buku “emas murni” ini suatu saat pernah ditawarkan ke penerbit

Salim Nabhan, Surabaya Jawa Timur. Saat bertemu pemilik percetakan,

seperti dikisahkan Yahya Staquf, cucu kiai Bisri, sang penulis

memperkenalkan diri sebagai Ahmad, utusan Kiai Bisri Musthafa

Rembang; “Saya bermaksud menjual naskah kitab untuk diterbitkan”.

Kiai Bisri terpaksa berbohong karena merasa belum punya nama

dalam peta per-kiai-an. Saat itu, harga yang diajukan beliau adalah Rp.

3.000,- “Saya sampaikan dulu tawaran Anda kepada kiai”, kata Bisri, eh

Ahmad. Keesokan harinya, beliau kembali menemui Salim untuk

63
menerima bayaran Rp. 3.000,-. Selain di penerbit Salim Nabhan, kitab-

kitab beliau juga banyak dicetak di Menara Kudus.

Dari semua karya kiai Bisri, Tafsîr al-Ibrîz merupakan kitab yang

paling laris dan terus mengalami cetak ulang tiap tahunnya. Rata-rata

hingga 1.400 set (30 juz). Sedangkan diurutan kedua adalah buku

kumpulan khutbah Jum‟at serta tuntunan haji.106

b. Sistematika Penulisan

Setiap kitab tafsir memiliki tata cara penulisan yang terkadang

berbeda antara karya tafsir satu dengan yang lainnya. Sistematika

penulisan kitab tafsir dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya latar

belakang penulis, kecenderungan, pemikiran dan lingkungan sosial

penulis kitab tafsir. Adanya akumulasi berbagai faktor dari dalam

maupun luar seorang mufassir menjadikan pengaruh yang cukup kuat

pada hasil karya pemikirannya yang dituangkan dalam teks.107

Maksud dari sistematika kitab tafsir al-Qur‟an disini adalah tata

cara penyusunan penafsiran ayat al-Qur‟an oleh seorang mufassir dalam

karya tafsirnya. Ada tiga sistematika penyusunan kitab tafsir yang

terkenal di kalangan dalam dunia tafsir yaitu mushafi, nuzuli dan

maudhui. Pertama, mushafi artinya kitab tafsir disusun dengan urutan

penafsiran ayat al-Qur‟an sesuai dengan urutan ayat dan surat di al-

Qur‟an. Kedua, Nuzuli artinya kitab tafsir disusun dengan penafsiran

106
Mafri Amir dan Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia, h. 133-134
107
Dinda Setya Melina, Penafsiran KH. Bisri Musthofa tentang ayat-ayat Pelestarian
Lingkungan, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin IAIN Ponorogo, 2020), h. 48.

64
ayat sesuai dengan waktu dan kronologi turunnya ayat, sehingga tidak

sama dengan urutan ayat dan surat di al-Qur‟an. Ketiga, maudhui

artinya kitab tafsir yang penafsiran ayatnya diurutkan sesuai tema atau

topik tertentu108.

Dalam kaitan ini, tafsir al-Ibriz menyusun tafsirannya dengan

tatanan penulisan yang runtut sesuai dengan ayat dan surat yang

tersusun dalam al-Qur‟an atau disebut dengan sistematika Mushafi.

Dengan susunan Mushafi , tafsir ini secara gamblang menafsirkan ayat

sesuai urutannya pada mushaf.

Sedangkan melihat dari aspek sumbernya, Tafsir al-Ibriz ini

cenderung menggunakan ra‟yu dalam menafsirkan ayat, meskipun

demikian bukan brarti tafsir al-Ibriz ini murni tafsir bi ra‟yu karena ada

beberapa bagian penafsiran ayat dengan menampilkan atsar seperti

asbabul nuzul atau riwayat hadis.

KH. Bisri Musthofa menafsirkan ayat al-Qur‟an dengan diawali

menuliskan ayat al-Qur‟an secara utuh, lalu menuliskan arti tiap kata

dari ayat dengan tulisan arab berbahasa Jawa dengan posisi miring ke

bawah untuk menunjukkan kedudukan dan fungsi kalimatnya, sebagai

subjek, predikat atau objek)109, kemudian menuliskan pemaparan

penafsiran ayat disamping kanan dan kiri ayat al-Qur‟an. Khas yang

dimiliki al-Ibriz adalah KH. Bisri Musthofa menulis penafsirannya

108
Maslukhin, Kosmologi Budaya Jawa Dalam Tafsir Al-Ibriz Karya KH. Bisri Musthofa,
Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis, Vol V, Nomor 1 (Juni 2015), h. 82
109
Abu Rokhmad,. Telaah Karakteristik Arab Pegon Al-Ibriz, (Jurnal “Analisa” Volume
XVIII No. 01, Januari-Juni 2011), h. 29.

65
dengan bahsa jawa yang ditulis dengan tulisan arab. Dalam adat Jawa,

tulisan ini disebut pegon. Pada masa awal perkembangan Islam di

Indonesia, khususnya tanah Jawa, mempelajari Islam di pesantren

menggunakan kitab-kitab dengan tulisan pegon. Al-Ibriz ini memang

bukan diperuntukkan khusus bagi pemenuhan pendidikan pesantren

saja, namun terlihat corak yang khas pada kitab al-Ibriz secara fisik

yaitu ke-pesantrenan. Sedangkan isi penafsirannya, menunjukkan

keistimewaan tersendiri, jika secara fisik al-Ibriz terlihat tradisional

maka isi Tafsir al-Ibriz menunjukkan modernisasi dari gaya berpikir

seorang KH. Bisri Musthofa. Banyak penafsiran ayat al-Qur‟an yang

terlihat kekinian dalam memandang pemaknaan kata dan konteks dalam

ayat al-Qur‟an yang disandingkan dengan fenomena modern seperti saat

ini. Sehingga Tafsir al-Ibriz dapat dikatakan bercorak tafsir kontekstual.

Meski begitu, Tafsir Al-Ibriz tidak dapat dikatakan sebagai tafsir

kontekstual saja karena memiliki corak penafsiran kombinasi antara

qiraat, fiqih, dan tasawuf.110

c. Corak dan Metode penafsiran

Corak tafsir yang digunakan oleh Kiai Bisri dalam menafsirkan

ayat-ayat al-Qur‟an adalah dengan menggunakan corak fiqih. Hal ini

terlihat ketika Kiai Bisri menafsirkan ayat-ayat fiqih, beliau akan lebih

dominan dalam penjelasannya dan merujuk pendapat-pendapat imam

madzhab serta pendapat penulis tafsir.

110
Ibid, h. 31

66
Contohnya ketika menafsirkan Qur‟an surat al-Mâ‟idah ayat 6.

Artinya:

...Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat

buang air (kakus) atau menyentuh perempuan,

Bahasa Jawa:

...utowo ngepuk wong wadon utowo jimak, utowo ora nemu banyu.

Bahasa Indonesia:

Atau menepuk orang perempuan atau jimak, atau tidak menemukan air.

Pada kalimat tersebut, Bisri Musthofa menafsirkannya dengan

menepuk/bersentuhan dengan wanita atau jima‟. Jika merujuk kepada

kitab-kitab fiqih, maka (awlamastumunnisa) menurut jumhur ulama

adalah menyentuh wanita, ada pula sebagian ulama tafsir berpendapat


ّ ُ َ َ
bahwa kalimat ‫ ا ْوال َم ْست َُم ال ِن َساء‬bermakna bersetubuh. Imam Syafi‟i

ّ ُ َ َ
berpendapat bahwa makna ‫ ا ْوال َم ْست َُم ال ِن َساء‬bersentuhan kulit dengan yang

ُ َ َ
bukan muhrim. Sementara imam Hanafi berpendapat makna َ‫ا ْوال َم ْست ُم‬

ّ
‫ ال ِن َساء‬di sini adalah bersetubuh.

Dari uraian tersebut, maka dapat dilihat bahwa Bisri Musthofa


ّ ُ ْ ََ ْ َ
cenderung moderat. Artinya ketika menafsirkan ‫ست َُم ال ِن َساء‬
َ ‫ اوالم‬beliau

tidak membela suatu mazhab. Namun lebih mengambil jalan tengah

antara dua pendapat, yakni menyentuh atau bersetubuh.

Kaitannya dengan metode (cara) yang ditempuh para mufassir

67
dalam menfasirkan ayat al-Qur‟an, ada banyak pendapat ulama yang

mengklasifikasikan metode penafsiran111. Dalam penelitian ini, penulis

berpijak pada pendapat al-Farmawi yang membagi metode tafsir

menjadi empat macam yaitu: 1). Ijmali (global), 2.) Tahlili (Analitik),

3.) Muqarin (Perbandingan), 4.) Maudhu‟i (Tematik)112.

Dalam kaitannya dengan sumber penafsiran, sumber kitab tafsir

ada dua macam yaitu bi al-Ma‟tsur dan bi al-Ra‟yu. Tafsir al-Ibriz

cenderung bersumber bi al-Ra‟yi dalam penafsirannya. Karena pada

kenyataannya tidak semua ayat terdapat suatu riwayat atau ada

keterkaitan dengan ayat yang lain. Sehingga langkah yang bisa

ditempuh untuk memahami ayat tersebut adalah dengan cara bi al-

Ra‟yi. Namun begitu, terkadang dalam menafsirkan ayat al-Qur‟an KH.

Bisri Musthofa juga menyebutkan riwayat seperti hadis secara langsung

dan apa adanya tanpa menyebut sanad dan status hadis.selain itu,

terkadang KH. Bisri Musthofa menampilkan qaul para sahabat.

Sehingga patut jika dikatakan Tafsir al-Ibriz bi al-Ma‟tsur. Namun

dilihat dari pendapat para ulama, cara penukilan hadis, atsar, tabi‟in

serta pendapat para ulama menunjukkan hasil pemikiran KH. Bisri

Musthofa dalam penafsiran tafsir ini. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa Tafsir ini merupakan tafsir bi al-Ra‟yi. Tafsir al-Ibriz ini

merupakan kitab tafsir yang sederhana, terlihat pada penafsiran KH.

Bisri Musthofa terhadap ayat yang memiliki makna sudah jelas, ia tidak
111
Ibid, h. 32
112
Hujair A. H Sanaky, Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau
Corak Mufassirin), (Al-Mawardi.XVIII Tahun 2008), h. 266.

68
lagi menafsirkan ayat dengan detail dan panjang, melainkan

menafsirkan ayat yang tidak jauh dari terjemahan ayat. Sedangkan pada

ayat yang berkaitan atau berpotensi mengandung ilmu pengetahuan,

KH. Bisri Musthofa menggunakan ra‟yu dalam menafsirkannya. Baidan

berpendapat bahwa Tafsir al-Ibriz menggunakan metode analitik dalam

kategori keamstalannya. Artinya penafsiran dimulai dengan pemaknaan

kata per kata lalu dilanjutkan dengan pemahaman makna secara utuh

dalam satu kalimat dan merangkain pemahaman yang lebih komplek

dalam satu konteks.

Metode penafsiran KH. Bisri Musthofa dalam Kitab tafsir al-Ibriz

ini dirasa mudah dipahami oleh kalangan yang faham keilmuan tafsir

maupun orang awam yang berupaya membacanya, karena penjelasan

dan gaya bahasa yang ditampilkan sangat sederhana. Berbeda dengan

kebanyakan kitab tafsir, Tafsir al-Ibriz tidak banyak menelaah kata

perkata dengaan kacamata i‟rab, melainkan dengan memberi kata lain

yang dimaksudkan untuk menjelaskan lebih lugas makna yang

dimaksud dalam ayat. Al-Ibriz lebih sering memberi penjelasan

tambahan dengan menandainya di bawah kalimat-kalimat tanbih,

fa‟idah, qissah atau kadang-kadang muhimmah.

Contoh penafsiran KH. Bisri Musthofa terhadap ayat lingkungan

yaitu pada Q. S Al-A‟la ayat 6-8:

“(Kacrita/Qissah) Kanjeng Nabi iku samongso-mongso nampa

wahyu Qur‟an sangking malaikat Jibril, panjenengane tansah

69
mbanterake waosane, jalaran kuwatir lali. Jalaran mengkono

iku, mula nuli katurunan ayat-ayat mau. Kaya-kaya kanjeng Nabi

didawuhi: ora susah kesusu, lan ora susah payah. Siro

ditanggung dening Allah ora bakal lali.”

Selain dengan memberikan keterangan tambahan, di

penafsirannya yang lain tentang ayat-ayat lingkungan, KH. Bisri 54

Musthofa kerap memberikan contoh nyata secara langsung sebagai

penjelasan penafsiran makna ayat yang dibahas. Metode penafsiran KH.

Bisri Musthofa yang sederhana dan mampu menggiring pembaca

seakan mengetahui peristiwa yang disebutkan dalam ayat al-Qur‟an ini

memiliki pendekatan emosional yang menarik untuk didalami dan

dihayati penafsirannya terhadap ayat-ayat Al-Qur‟an, baik oleh seorang

yang sudah ahli dan memiliki keilmuan yang mumpuni dalam

memahami al-Qur‟an maupun orang awam yang sedang berusaha

memahami makna al-Qur‟an.

C. Biografi M. Quraish Shihab dan Tafsir Al-Misbah

1. Riwayat hidup dan latar belakang

M. Quraish Shihab, nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish

Shihab, beliau lahir pada tanggal 16 Februari 1944, di Rappang, Sulawesi

Selatan,113 190 km dari kota Ujung Padang (Makassar). Ia berasal dari

keturunan Arab terpelajar. Beliau berasal dari keluarga sederhana dan

sangat kuat berpegang kepada agama. M. Quraish Shihab adalah anak

113
Mahfudz Masduki, Tafsir Al-Misbah M. Quraish Shihab: Kajian atas Amtsal Al-Qur‟an,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h.9.

70
keempat dari 12 orang bersaudara. Beliau lulusan dari Jami‟ah al-Khair

yakni sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang guru-

gurunya banyak didatangkan dari luar, di antaranya Syaikh Ahmad

Soorkati dari Sudan, Afrika.114

Adapun nama ibu M. Quraish Shihab adalah Asma Aburisah yang

meninggal pada tahun 1984, ibu beliau merupakan seorang yang taat

kepada agama dan sangat berpengaruh terhadap pendidikan anak-anaknya.

Ibu M. Quraish Shihab selalu mengingatkan beliau dan saudaranya untuk

mengamalkan ajaran agama, baik ketika mereka masih kecil maupun

ketika sudah besar.115

Shihab merupakan nama keluarganya (ayahnya) seperti lazimnya

yang digunakan di wilayah Timur (anak benua India termasuk Indonesia).

Ayahnya Habib Abdurrahman Shihab (1905-1986) seorang ulama Tafsir,

mantan Rektor (canselor) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alaudin

Ujung Pandang, Provinsi Sulawesi Selatan (1972-1977), dan ikut serta

dalam mendirikan UMI (Universitas Muslimin Indonesia) di Ujung

Pandang dan menjadi pengetuanya (1959-1965).116

Disamping ayahnya, peran seorang Ibu juga tidak kalah pentingnya

dalam memberikan dorongan kepada anak-anaknya untuk giat belajar

terutama masalah agama. Ibunya bernama Fatmawati dan dianugerahi 5

114
Arifka, Konsep Tawakal dalam Perspektif M. Quraish Shihab, Kajian Tafsir Tarbawi, h.
37
115
Arifka, Konsep Tawakal dalam Perspektif M. Quraish Shihab, Kajian Tafsir Tarbawi,
h.37-38.
116
Afrizal Nur, M. Quraish Shihab dan Rasionalisasi Tafsir dalam Jurnal Ushuluddin Vol.
XVIII No. 1, Januari 2012, h. 22.

71
orang anak, masing-masingnya bernama Najeela, Najwa, Nasyawa, Nahla

dan Ahma. 117

Sejak masa kanak-kanak, Quraish Shihab kecil dan saudara-

saudaranya biasa dikumpulkan oleh sang ayah untuk diberi nasihat dan

petuah-petuah keagamaan dari orang tuanya itu ternyata merupakan

kandungan ayat-ayat al-Qur‟an dan hadis Nabi Muhammad SAW. Ia

mengaku bahwa “hingga detik ini petuah-petuah itu masih terngiang-

ngiang ditelinganya”. 118

Di antara nasihat-nasihat itu, seperti ia tulis dalam kata pengantar

bukunya Membumikan al-Qur‟an, sebagai berikut.119

“Aku akan palingkan (tidak memberikan) ayat-ayat-Ku kepada

mereka yang bersikap angkuh di permukaan bumi.” (QS. Al-A‟raf

(7): 156) “Al-Qur‟an adalah jamuan Tuhan,” bunyi sebuah hadis.

“Rugilah yang tidak menghadiri jamuannya, dan lebih rugi lagi

yang hadir tetapi tidak menyantapnya.”

“Biarkanlah al-Qur‟an berbicara” kata Ali bin Abi Thalib.

“Bacalah al-Qur‟an seakan-akan ia diturunkan kepadamau,” kata

Muhammad Iqbal.

“Rasakanlah keagungan al-Qur‟an, sebelum kau menyentuh-nya

dengan nalarmu,”kata Syekh Muhammad Abduh.

“Untuk mengantarkanmu mengetahui rahasia-rahasia al-Qur‟an,

117
Afrizal Nur, M. Quraish Shihab dan Rasionalisasi Tafsir, h.22.
118
Mahfudz Masduki, Tafsir Al-Misbah M. Quraish Shihab: Kajian atas Amtsal Al-Qur‟an,
h.9-10.
119
Mahfudz Masduki, Tafsir Al-Misbah M. Quraish Shihab: Kajian atas Amtsal Al-Qur‟an,
h.10.

72
tidaklah cukup kau membacanya empat kali sehari,” seru al-

Mawardi.

Pada saat-saat berkumpul dengan keluarga semacam itu, sang ayah

juga menjelaskan tentang kisah-kisah dalam al-Qur‟an. Tampaknya

suasana keluarga yang serba bernuansa qur‟ani itulah yang telah

memotivasi dan menumbuhkan minat Quraish Shihab untuk mendalami al-

Quran. Sampai-sampai ketika masuk belajar di Universitas Al-Azhar,

Mesir, ia rela mengulang setahun agar dapat melanjutkan studi di jurusan

tafsir, padahal jurusan-jurusan yang lain telah membuka pintu lebar-lebar

untuk dirinya.120

M. Quraish Shihab memulai pendidikan di Kampung halamannya di

Ujung Pandang, dan melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang

tepatnya di Pondok Pesantren Dar al-Hadist al-Fiqhiyyah dengan Al-Habib

Abdul Qadir Bilfaqih.121 Beliau adalah seorang ulama besar yang sangat

luas wawasannya dan selalu menanamkan pada santri-santrinya rasa

rendah hati, toleransi, dan cinta kepada Ahlal-Bait, keluasan wawasan,

menjadikan beliau tidak terpaku pada satu pendapat. Selama disana, sesi

pagi beliau belajar di pondok, sesi petangnya mengikuti pelajaran di

sekolah. Di pesantren itulah Quraish Shihab diperkenalkan lebih dalam

lagi dengan tradisi Nahdlatul Ulama (NU) mempelajari bahasa Arab dan

120
Mahfudz Masduki, Tafsir Al-Misbah M. Quraish Shihab: Kajian atas Amtsal Al-Qur‟an, .
.h.10-11.
121
Mahfudz Masduki, Tafsir Al-Misbah M. Quraish Shihab: Kajian atas Amtsal Al-Qur‟an, .
.h.11.

73
berbagai disiplin ilmu agama lainnya.122

Pada tahun 1958 setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya di

Malang. Menurut Quraish Shihab beliau belajar di pondok tersebut selama

dua tahun lebih, dia pun berangkat ke Kairo, Mesir menjadi wakil

Sulawesi Selatan dalam seleksi nasional yang diselenggarakan oleh

Departemen Agama Republik Indonesia. Beliau juga berangkat bersama

dua saudaranya Umar Shihab dan Alwi Shihab. Disana beliau mendapat

bantuan beasiswa dari Pemerintah Daerah (Pemda) Sulawesi Selatan,

beliau belajar di Jabatan Pengajian Tafsir, Fakulti Usuluddin di Universiti

al-Azhar. Sebelumnya, ia juga menempuh pendidikan Tsanawiyah di

Mesir,123 dan ia diterima di kelas II.124

Selanjutnya pada Tahun 1967 dia meraih gelar Lc. (S1) pada

Fakultas Ushuludin Jurusan Tafsir Hadist Universitas Al-Azhar. Kemudian

dia melanjutkan pendidikanya di fakultas yang sama, sehingga tahun 1969

ia meraih gelar MA untuk spesialis Tafsir Alquran dengan judul al-I‟jāz

al-Tasyri‟ li al-Qur‟ān al-Karīm.125

Di Mesir, Quraish banyak belajar dengan Ulama-ulama besar seperti

Syaikh Abdul Halim Mahmud pengarang buku “al Tafsīr al-Falsafi fi al-

Islam”, dan “al-Islam wa al-Aql”, “Biografi Ulama Tasawuf” dan lainnya.

Abdul Halim Mahmud juga merupakan Pensyarah Quraish Shihab sewaktu

122
Afrizal Nur, M. Quraish Shihab dan Rasionalisasi Tafsir, h.22.
123
Afrizal Nur, M. Quraish Shihab dan Rasionalisasi Tafsir, h.22.
124
Mahfudz Masduki, Tafsir Al-Misbah M. Quraish Shihab: Kajian atas Amtsal Al-Qur‟an,
h. 11.
125
Mahfudz Masduki, Tafsir Al-Misbah M. Quraish Shihab: Kajian atas Amtsal Al-Qur‟an,
h. 11.

74
menuntut ilmu di Universitas al-Azhar. Gurunya ini juga lulusan

Universitas Al-Azhar kemudian melanjutkan pengajiannya ke Sorbon

University dalam bidang falsafah. M. Quraish Shihab menyatakan

keberkesanannya kepada sang guru: “Beliau adalah dosen saya yang

kemudian menjadi Syaikh Al-Azhar, saya sering naik bus bersama beliau,

beliau punya pengaruh yang besar”.126Semasa menuntut ilmu di Mesir,

beliau adalah mahasiswa yang rajin dan tekun serta banyak membaca.

Diantara buku-buku yang paling diminatinya adalah karya Abbas Mahmud

al-Aqqad. Menurut pengakuannya buku-buku karya ulama tersebut sangat

mempengaruhi diri dan membentuk kepribadiannya, kerana semua buku-

buku Abbas Mahmud al-Aqqad telah beliau baca, dan menurut M.Quraish

Shihab:”Pandangan-pandangan beliau (Abbas Mahmud alAqqad)

rasional tapi pada masa yang sama ada pada jalur, tidak

menyimpang”.127

Sekembalinya ke Ujung Padang, ia dipercaya menjabat Wakil Rektor

Bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin, Ujung

Pandang. Selain itu, ia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di kampus

maupun di luar kampus. Di kampus ia diserahi jabatan sebagai

Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia Bagian

Timur). Di luar kampus, ia di beri tugas sebagai Pembantu Pimpinan

Kepolisian Indonesia Timur Bidang Pembinaan Mental. Selama di Ujung

Pandang, ia juga melakukan berbagai penelitian, antara lain penelitian

126
Afrizal Nur, M. Quraish Shihab dan Rasionalisasi Tafsir, h. 23.
127
Afrizal Nur, M. Quraish Shihab dan Rasionalisasi Tafsir, h. 23.

75
tentang “Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur”

(1975) dan “Masalah Wakaf di Sulawesi Selatan” (1978).128

Pada tahu 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan

pendidikan di almamaternya yang lama, yaitu Universitas Al-Azhar,

Kairo. Hanya dalam jangka waktu dua tahun, ia menyelenggarakan

program doktoral dan memperoleh gelar doktoral pada tahun 1982.

Disertasinya berjudul Nazm al-Durar li al-Biqa‟iy, Tahqiq wa Dirasah.

Disertasi ini telah mengantarkannya meraih gelar doktor dengan yudisium

Summa Cum Laude dengan penghargaan tingkat I. (Mumtaz ma‟a

martabat as-syaraf al-ula). Spesialis keilmuannya adalah dalam bidang

ilmu-ilmu al-Qur‟an.129

Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984, Quraish Shihab di Fakultas

Ushuluddin dan Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Selain itu, di luar kampus, ia juga dipercaya menduduki berbagai jabatan,

antara lain Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat sejak tahun 1984,

anggota Lajnah Pentashih al-Qur‟an Departemen Agama sejak tahun 1989,

anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional sejak 1989.130

Selain itu, organisasi profesional lain yang ia pegang antara lain,

pengurus Perhimpunan Ilmu-Ilmu Sya‟riah, pengurus Konsorsium Ilmu-

Ilmu Agama Departemen Pendidikan, dan Kebudayaan, serta Asisten

128
Mahfudz Masduki, Tafsir Al-Misbah M. Quraish Shihab: Kajian atas Amtsal Al-Qur‟an,
h. 11-12.
129
Mahfudz Masduki, Tafsir Al-Misbah M. Quraish Shihab: Kajian atas Amtsal Al-Qur‟an,
h. 12.
130
Mahfudz Masduki, Tafsir Al-Misbah M. Quraish Shihab: Kajian atas Amtsal Al-Qur‟an,
h. 12.

76
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Ia juga

terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah, seminar di dalam maupun di luar

negeri.131

Quraish Shihab juga sangat aktif dalam kegiatan tulis-menulis. Ia

menulis di harian Pelita, dalam rubrik “Pelita Hati”, penulis tetap rubrik

“Tafsir al-Amanah” dalam majalah Amanah, sebagai dewan redaksi dan

penulis dalam majalah Ulumul Qur‟ān dan Mimbār Ulamā‟, dan lain-lain.

Selain menulis di media, ia juga aktif menulis buku. Tidak kurang 28 judul

buku telah ia tulis dan terbitkan yang sekarang beredar di tengah-tengah

masyarakat.132

2. Karya-karya M.Quraish Shihab

Diantara karya-karyanya, khususnya yang berkenaan dengan studi

Alquran adalah: Tafsir Al-Manar: Keistimewan dan Kelemahannya

(1984), Filsafat Hukum Islam (1987), Mahkota Tuntunan Illahi: Tafsir

Surat Al-Fātihah (1988), Membumikan Alquran: Fungsi dan Peranan

Wahyu dalam Kehidupan Maysarakat (1994), Studi Kritik Tafsir al-Manār

(1994), Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (1994), Wawasan

Alquran: Tafsir Maudhū‟i atas Berbagai Persoalan Umat (1996),

Hidangan Ayat-Ayat Tahlil (1997), Tafsir al-Qur‟ān al-Karīm: Tafsir

Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunya Wahyu (1997), Mukjizat

Alquran Ditinjau dari Berbagai Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan

131
Mahfudz Masduki, Tafsir Al-Misbah M. Quraish Shihab: Kajian atas Amtsal Al-Qur‟an,
h. 12.
132
Mahfudz Masduki, Tafsir Al-Misbah M. Quraish Shihab: Kajian atas Amtsal Al-Qur‟an,
h. 13.

77
Pemberitaan Ghaib (1997), Sahur Bersama M. Quraish Shihab di RCTI

(1997), Menyingkap Ta‟bir Illahi: al-Asma‟ al-Husna dalam Prespektif

Alquran (1998), Fatwa-Fatwa Seputar Alquran dan Hadist (1999).133

Sumber lain berupa karya lain yang telah ditulis oleh Quraish Shihab

yaitu: Untaian Permata Buat Anakku: Pesan al-Qur‟an untuk Mempelai

(1995), Haji Bersama Quraish Shihab: Panduan Praktis untuk Menuju

Haji Mabrur (1990), Fatwa-fatwa Seputar Ibadah Mahdhah (1999), Yang

Tersembunyi: Jin, Setan, dan Malaikat dalam al-Qur‟an dan as-Sunah

serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa Kini (1999),

Panduan Puasa Bersama Quraish Shihab (2000), Tafsir al-Misbah:

Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an (2000), Perjalanan Menuju

Keabadian, Kematian, Surga, dan Ayat-ayat Tahlil (2001), Panduan

Shalat Bersama Quraish Shihab (2003), Kumpulan Tanya Jawab Bersama

Quraish Shihab: Mistik, Seks, dan Ibadah (2004), Logika Agama:

Kedudukan Wahyu dan Batas-batas Akal dalam Islam (2005), Pandangan

Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer, Jilbab Pakaian Wanita

Muslimah (2006), Dia di mana-mana: ”Tangan” Tuhan di Balik Setiap

Fenomena (2006), Perempuan: dari Cinta sampai Seks, dari Nikah

Mut‟ah sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lana sampai Bias Baru (2006),

Menjemput Maut: Bekal Perjalanan Menuju Allah SWT (2006). 134

Karya-karya M. Quraish Shihab yang sebagian kecilnya telah

133
Atik Wartini, Corak Penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, dalam
Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol. 11, No. 1, Juni 2014: 109-126, h.117.
134
Mahfudz Masduki, Tafsir Al-Misbah M. Quraish Shihab: Kajian atas Amtsal Al-
Qur‟an, h. 14-15.

78
disebutkan di atas, menandakan bahwa peranannya dalam perkembangan

keilmuan di Indonesia khususnya dalam bidang Alquran sangat besar. Dari

sekian banyak karyanya, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian

Alquran merupakan Mahakarya beliau. Melalui tafsir inilah namanya

membumbung sebagai salah satu muffasir Indonesia, yang mampu menulis

tafsir Al-Qur‟an 30 Juz dari Volume 1 sampai 15.

3. Tafsir Al-Misbah

a. Latar Belakang Penulisan

Kitab suci al-Qur‟an memperkenalkan pada dirinya sebagai

petunjuk kehidupan manusia di dunia. Yang diyakini akan membawa

kebahagiaan lahir dan batin, duniawi dan ukhrawi. Selain itu,

sebagaimana yang disebut oleh Nabi sebagai Ma‟dubatullah (hidangan

Ilahi). Namun, kenyataanya hingga saat ini masih banyak manusia dan

bahkan orang-orang Islam sendiri yang belum memahami isi petunjuk-

petunjuknya dan belum bias menikmati serta “menyantap” hidangan

Ilahi itu.135

Menurut Quraish dewasa ini masyarakat Islam lebih terpesona

pada lantunan bacaan al-Quran, seakan-akan kitab suci al-Quran hanya

diturunkan untuk dibaca.136 Al-Qur‟an yang semestinya juga dipahami,

didalami, dan diamalkan, mengingat wahyu pertama turun adalah

perintah untuk membaca dan mengkaji (iqra‟). Memang, membaca pun

sudah merupakan amal kebajikan dan sudah dijanjikan padala oleh


135
Mahfudz Masduki, Tafsir Al-Misbah M. Quraish Shihab: Kajian atas Amtsal Al-Qur‟an,
h. 15-16.
136
Atik Wartini, Corak Penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, h. 118.

79
Allah SWT. Namun, semestinya disertai dengan kesadaran akan

keagungan al-Qur‟an dengan pemahaman dan penghayatan

(tadabbur).137

Menghadapi kenyataan ini, maka Quraish Shihab merasa

terpanggil untuk memperkenalkan al-Qur‟an dan menyuguhkan pesan-

pesannya sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Dan

akhirnya beliau menulis Tafsir al-Misbah, beliau berusaha

memperkenalkan al-Qur‟an dengan model dan gaya berbeda. Perbedaan

ini dimaksud ialah bahwa ia berusaha menghidangkan bahasan surat

pada apa yang disebut dengan “tujuan surat” atau “tema pokok” surat.

Sebab, setiap surat memiliki “tema pokok” nya sendiri-sendiri, dan

pada tema itulah berkisar uraian-uraian ayat-ayatnya.138

Tafsir al-Misbah merupakan karya paling monumental Quraish

Shihab. Buku ini berisi 15 volume yang secara lengkap memuat

penafsiran 30 juz ayat-ayat dan surah-surah al-Qur‟an. Penulisan tafsir

ini menggunakan metode tahlîli, yaitu menafsirkan ayat per ayat al-

Qur‟an sesuai dengan urutannya dalam mushaf. Cetakan pertama

volume satu tafsir ini adalah tahun 2000, sedangkan cetakan pertama

juz terakhir (volume 15) tertera tahun 2003. Menurut pengakuan

Quraish, ia menyelesaikan tafsirnya itu selama empat tahun; dimulai di

Mesir pada hari Jumat 4 Rabi„ul Awwal 1420 H/18 Juni 1999 dan

137
Mahfudz Masduki, Tafsir Al-Misbah M. Quraish Shihab: Kajian atas Amtsal Al-Qur‟an,
h.16.
138
Mahfudz Masduki, Tafsir Al-Misbah M. Quraish Shihab: Kajian atas Amtsal Al-Qur‟an,
h.18-19.

80
selesai di Jakarta, Jumat 5 September 2003. Sehari rata-rata Quraish

menghabiskan waktu tujuh jam untuk menyelesaikannya. 139

b. Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan tafsirnya M. Quraish Shihab menggunakan

urutan Mushaf Uṣmani yaitu dimulai dari Surah al-Fātihah sampai

dengan surah an-Nās, pembahasan dimulai dengan memberikan

pengantar dalam ayat-ayat yang akan ditafsirkannya. 140

Di awal setiap surat, sebelum menafsirkan ayat-ayatnya, Quraish

Shihab terlebih dahulu memberikan penjelasan yang berfungsi sebagai

pengantar untuk memasuki surat yang akan ditafsirkan. Pengantar

tersebut memuat penjelasan-penjelasan tentang :

1) Keterangan jumlah ayat pada surat dan tempat turunnya.

2) Penjelasan yang berhubungan dengan penamaan surat, nama lain

dari surat tersebut jika ada, serta alasan mengapa diberi nama

demikian, keterangan ayat yang dipakai untuk memberi nama surat

itu, jika nama suratnya diambil dari salah satu ayat dalam surat itu.

3) Penjelasan tentang tema sentral atau tujuan surat.

4) Keserasian atau munasabah antara surat sebelum dan sesudahnya.

5) Keterangan nomor surat berdasarkan urutan mushaf dan turunnya,

serta keterangan nama-nama surat yang turun sebelum ataupun

sesudahnya serta munasabah antara surat-surat itu.

6) Keterangan tentang asbabun nuzul surat, jika surat itu memiliki


139
Muhammad Iqbal, Metode Penafsiran M. Quraish Shihab dalam Jurnal TSAQAFAH,
Vol. 6, No. 2, Oktober 2010, h. 258
140
Atik Wartini, Corak Penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, h.119.

81
asbabun nuzul.141

Cara demikian yang telah dijelaskan diatas adalah upaya M.

Quraish Shihab dalam memberikan kemudahan pembaca Tafsir al-

Misbah yang pada akhirnya pembaca dapat diberikan gamabaran secara

menyeluruh tentang surat yang akan dibaca, dan setelah itu M. Quraish

Shihab membuat kelompok-kelompok kecil untuk menjelaskan

tafsirnya.

Adapun beberapa prinsip yang dapat diketahui dengan melihat

corak Tafsir al-Misbah adalah karena karyanya merupakan satu

kesatuan yang tak terpisahkan. Dalam Tafsir al-Misbah, beliau tidak

pernah luput dari pembahasan ilmu munāsabah yang tercermin dalam

enam hal, Pertama, keserasian kata demi kata dalam setiap surat.

Kedua, keserasian antara kandungan ayat dengan penutup ayat. Ketiga,

keserasian hubungan ayat dengan ayat sebelumnya atau sesudahnya.

Kempat, keserasian uraian muqaddimah satu surat dengan penutupnya.

Kelima, keserasian dalam penutup surah dengan muqaddimah surat

sesudahnya. Keenam, keserasian tema surah dengan nama surat.

Di samping itu, M. Quraish Shihab tidak pernah lupa untuk

menyertakan makna kosa-kata, munasabah antar ayat dan asbabun

nuzul. Ia lebih mendahulukan riwayat, yang kemudian menafsirkan ayat

demi ayat setelah sampai pada kelompok akhir ayat tersebut dan

memberikan kesimpulan.
141
Mahfudz Masduki, Tafsir Al-Misbah M. Quraish Shihab: Kajian atas Amtsal Al-Qur‟an,
h.22-23.

82
c. Corak dan Metode Penafsiran

Pemetaan corak karya tafsir yaitu dengan mengunakan teori

obyektifis tradisionalis, yang kemudian dikembangkan menjadi dua

pandangan yang pertama adalah obyektifis tradisionalis dan obyektifis

modernis:142

Pertama, Ciri dari pandangan corak obyektifis tradisionalis

adalah biasanya menggunakan diskursus pada pendekatan lingualistik

semata, kaidah kebahasaan menjadi sangat penting dan menjadi tolak

ukur penafsiran, dalam beberapa kitab tafsir klasik sering kali

pendekatan dengan kajian ini. Kedua, ciri corak obyektif revivalis

adalah metodologi penafsiran tekstualis, yang dibumbui dengan

pandangan ideologis dan menampakkan penafsiran yang keras terutama

dalam masalah jihad dan syari‟at. Ketiga, ciri corak subyektifis adalah

pendekatan tafsir dengan benar-benar meninggalkan karya klasik

sebagai sebuah pintu masuk penafsiran. Penafsiran ini adalah penafsiran

yang menggunakan pendekatan ilmu-ilmu kontemporer, semacam

eksakta maupun non eksakta. Keempat, adalah quasi obyektifis modern,

ciri dari corak karya ini adalah penafsiran yang nuansanya adalah

masyarakat dan sosial. Hal ini sebagaimana Nasarudin Baidan nyatakan

adanya tafsir maudhu‟i dengan menggunakan tema-tema tertentu

misalnya “etik berpolitik”.

Jika kita membaca corak penafsiran M. Quraish Shihab, tampak

142
Atik Wartini, Corak Penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, h.121-123.

83
bahwa beliau lebih mendekati corak penafsiran yang keempat, dalam

Tafsir al-Misbah Quraish Shihab menyertakan kosa kata, munāsabah

antar ayat dan asbābun nuzūl, walaupun dalam melakukan penafsiran

ayat demi ayat beliau selalu mendahulukan riwayat bukan ra‟yu, tetapi

pendekatan kajian sains menjadi salah satu pertimbangan dalam

beberapa penafsirannya, ini indikator bahwa corak penafsiran M.

Quraish Shihab menggunakan corak yang keempat. Dalam

penafsirannya cenderung menggunakan riwayat, bukan ra‟yu dalam al-

ijtihad al-tafsiri.143

Jika kita cermati dengan seksama, tampak bahwa metode

penafsiran M. Quraish Shihab menggunakan pendekatan al-ijtihadal-

hidā‟ī, karena tujuan penafsiran adalah untuk meluruskan kekeliruan

masyarakat terhadap al-Quran.

Dari sinilah terlihat bahwa karakter dari Quasi-Objektivis

Modernis diperlihatkan oleh M. Quraish Shihab walaupun masih belum

sempurna. Quraish Shihab berusaha menjembatani masyarakat dalam

memahami al-Quran lebih mendalam. Ini adalah upaya penafsir modern

dalam menafsirkan al-Qur‟an dengan melihat realitas apa dan

bagaimana sebenarnya yang dibutuhkan oleh masyarakat pada waktu

itu.144

Dalam menulis tafsir al-Misbah, metode tulisan M. Quraish

Shihab lebih bernuansa kepada tafsir tahlili . Ia menjelaskan ayat-ayat

143
Atik Wartini, Corak Penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, h.123.
144
Atik Wartini, Corak Penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, h. 124.

84
al-Qur‟an dari segi ketelitian redaksi kemudian menyusun

kandungannya dengan redaksi indah yang menonjolkan petunjuk al-

Qur‟an bagi kehidupan manusia serta menghubungkan pengertian ayat-

ayat al-Qur‟an dengan hukum-hukum alam yang terjadi dalam

masyarakat. Uraian yang ia paparkan sangat memperhatikan kosa kata

atau ungkapan al-Qur‟an dengan menyajikan pandangan pakar-pakar

bahasa, kemudian memperhatikan bagaimana ungkapan itu dipakai

dalam al-Qur‟an.145

Dalam berbagai karyanya, M. Quraish Shihab lebih memilih

metode maudlu‟i dalam menyajikan pemikirannya dalam menafsirkan

ayat-ayat al-Qur‟an. Hal ini dilakukan karena metode maudlū‟i

(tematik) ini dapat mengungkapkan pendapat-pendapat al-Qur‟an al-

Karim tentang berbagai masalah kehidupan, dan juga menjadi bukti

bahwa ayat-ayat al-Qur‟an sejalan dengan perkembangan iptek dan

kemajuan peradaban masyarakat. Berbeda dengan hasil karyanya yang

fenomenal tafsir al-Misbah beliau menggunakan metode tahlili.146

M. Quraish Shihab menafsirkan al-Qur‟an secara kontekstual,

maka corak penafsirannya dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an

menggunakan Adabī ijtimā‟i (sosial kemasyarakatan). Hal ini ia

lakukan karena penafsiran al-Qur‟an dari zaman ke zaman selalu

mengalami perubahan sesuai dengan perkembanagan zaman dan

kondisi yang ada. Disamping itu corak lugawi juga sangat mendominasi

145
Ali Geno Berutu, Tafsir al-Misbah: Muhammad Quraish Shihab, h. 9.
146
Ali Geno Berutu, Tafsir al-Misbah: Muhammad Quraish Shihab, h. 9.

85
karena ketinggian ilmu bahasa arabnya. Corak sufi juga menghiasi

Tafsir al-Misbah. Ketinggian bahasa arabnya dapat ditemukan kala

mengungkap setiap kata (mufradat) mengenai ayat-ayat al-Qur‟an.147

d. Sumber penafsiran

Di antara sumber-sumber yang diambil diantaranya: Shahȋh al-

Bukhari karya Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Muslim karya

Muslim bin Hajjaj, Nazm al-Durār karya Ibrahim bin Umar al-Biqa‟i,

Fi Zhilal al-Qur‟ān karya Sayyid Qutb, Tafsīr al-Mizan karya

Muhammad Husain al-Thabathaba‟i, Tafsȋr Asmā‟ al-Husnā Karya al-

Zajjaj, Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azhīm karya Ibn Katsir, Tafsīr Jalalain

karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuti , Tafsīr al-Kabīr

karya Fakhruddin ar-Razi, al-Kasyaf karya az--Zamakhsyari, Nahwa

Tafsir al-Maudhu‟i karya Muhammad al-Ghazali, al-Dūr al-Manshūr

karya al-Suyuti, at-Tabrir wa at-Tanwir karya Muhammad Thahir ibnu

Asyur, Ihya‟ „Ulumuddin, Jawahir al-Qur‟an karya Abu Hamid al-

Ghazali, Bayan I‟jaz al-Qur‟an karya al-Khaththabi, Mafatih al-Ghaib

karya Fakhruddin ar-Razi, al-Burhan karya al-Zarkasyi, Asrar Tartib

al-Qur‟ān dan Al-Itqān karya as-Suyuti, al-Nabā‟ al Azhȋm dan al-

Madkhal ila al-Qur‟an al-Karim karya Abdullah Darraz, al-Manār

karya Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Rida, dan lain-

lain.148

147
Mahfudz Masduki, Tafsir Al-Misbah M. Quraish Shihab: Kajian atas Amtsal Al-Qur‟an,
h. 36.
148
Mahfudz Masduki, Tafsir Al-Misbah M. Quraish Shihab: Kajian atas Amtsal Al-Qur‟an,
h.37-38.

86
87
BAB IV

PENJAGAAN AL-QUR‟AN MENURUT TAFSIR IBN KATSIR, TAFSIR

AL-IBRIZ DAN TAFSIR AL-MISBAH

Pembahasan utama bab ini berisi tentang uraian penulis tentang bagaimana

penjagaan al-Qur‟an menurut pandangan mufassir dari tiga kitab tafsir yaitu, tafsir

Ibn Katsir, Tafsir al-Ibriz dan Tafsir al-Misbah. Penulis akan memaparkan

pendapat para mufassir tersebut pada QS. Al-Hijr/15: 9 untuk dijadikan sentral

penelitian terhadap ayat penjagaan.

A. Penjagaan Al-Qur‟an menurut Para Ahli Tafsir

Dalam menafsirkan ayat penjagaan al-Qur‟an, beberapa kitab tafsir

memiliki makna yang berbeda-beda. Muhammad Ahsin Sakho

menterjemahkan QS. Al-Hijr/15: 9 sebagai berikut:

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur‟an, dan

Sesungguhnya Kami benar benar memeliharanya” (Al-

Hijr/15:9)”.149

Dalam ayat tersebut terdapat kata ad-dizkr yang ditafsirkan para

mufasir al-Qur‟an. Dalam ayat tersebut diyakini bahwa Allah menjaga al-

Qur‟an secara langsung. Selain Allah, para malaikat dan manusia juga ikut

menjaga keautentikan al-Qur‟an. Hal ini dapat diketahui dari penafsiran kata
َ َ
َ‫ه ْح ُن‬. Jumhur ulama menafsirkan kata ‫ن‬
َ ُ ‫ ه ْح‬sebagai keterlibatan malaikat dan

149
Muhammad Ahsin Sakho, Afif Zarkasi . Al-Qur‟an dan Terjemahnya. Cet. 12 (Tangerang
Selatan: Forum Pelayan Al-Qur‟an, 2018), h. 262.

88
manusia.150

Dalam Kitab Tafsir al-Bahr disebutkan bahwa makna dari al-Hifz ada

tiga: Pertama, Allah menjaganya dari syetan. Kedua, Allah menjaganya

dengan cara mengekalkan syariat Islam sampai hari kiamat, hal ini

sebagaimana disinggung oleh Imam Hasan al-Bashri dan Ketiga, Allah

menjaganya di dalam hati orang-orang yang menginginkan kebaikan dari al-

Quran sehingga jika ada satu huruf saja yang berubah dari al-Quran, maka

seorang anak kecil akan mengatakan “engkau telah berdusta dan yang benar

adalah demikian.” Selanjutnya dalam kitab tersebut juga disebutkan bahwa

kata “Lahu” itu kembali kepada az-Zikr atau al-Quran dan hal ini adalah

perkataan Qatadah, Mujahid yang selain keduanya.

Dan dalam kitab Tafsir al-Mawardi disebutkan bahwa ada tiga

perkataan tentang maksud dari penjagaan ini: Pertama, Kami menjaga al-

Quran sampai terjadi hari kiamat, ini adalah perkataan dari Ibnu Jarir. Kedua,

Kami menjaga al-Quran dari syetan yang ingin menambah kebatilan atau

menghilangkan kebenaran, sebagaimana tafsiran dari Qatadah dan yang

Ketiga, menjaganya pada hati orang yang menginginkan kebaikan dan

menghilangkannya dari orang yang ingin kejelekan. Dalam tafsir al-Ajibah

disebutkan juga bahwa makna al-Hifz bahwa Allah akan menjaga al-Quran

dan salah satu caranya adalah melalaui para Qurra‟, dan hati para Qurra‟

adalah tempat simpanan dari kitabullah. (https://ahmadbinhanbal.com/tafsir-

surat-al-hijr-ayat-9/ tanggal tanggal 4 Juli 2010)

150
H.A.Muhaimin Zen, Al-Qur‟an 100% Asli; Sunni-Syiah Satu Kitab Suci, cet. 1 (Jakarta:
Nur Al-Huda, 2012), h. 88-89.

89
B. Makna “Lahafidzun” Menurut Tafsir Ibn Katsir

Ibn Katsir menjelaskan dalam kitab-nya mengenai tafsir Surat Al-

Hijr/15: 9, Allah Ta‟ala menetapkan bahwa Allahlah yang menurunkan adz-

dzikru yaitu al-Qur‟an kepadanya, dan Dia pula yang menjaganya dari usaha

untuk mengubah dan menggantinya. Ada sebagian ulama yang

mengembalikan dhamir (kata ganti) lahu lahaafidzuun kepada Nabi

Muhammad SAW., bukan kepada Al-Qur'an. Pengertian tersebut oleh Ibnu

Katsir disamakan dengan pengertian “penjagaan” yang terdapat dalam firman

Allah surat Al-Maidah ayat 67 :

َّ َ َ ُ ْ َ ُ َ
َ‫اس‬
ِ ‫الن‬ ‫وهللا يع ِصمك ِمن‬

“Allah menjagamu dari (gangguan) manusia.” (QS. Al-Maidah/5:67).

Dalam menafsiri ayat tersebut, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa

pemeliharaan Allah SWT. kepada Rasul-Nya ialah Allah menjaga Rasulullah

SAW. dari perlakuan jahat penduduk Mekah, para pemimpinnya, orang-

orangnya yang dengki dan yang menentang beliau, serta para hartawannya

yang selalu memusuhi dan membenci beliau, selalu memeranginya siang dan

malam. Allah memelihara diri Nabi SAW. dari ulah jahat mereka dengan

berbagai sarana yang diciptakan oleh-Nya melalui kekuasaan dan

kebijaksanaan-Nya yang besar.

Dari penjelasan tersebut, maka sebagaimana penjagaan Allah atas

Rasulullah SAW., Allah juga menjaga dan memelihara Al-Qur‟an dengan

90
berbagai sarana yang diciptakan dengan kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya.

Diantaranya Allah mengilhamkan kepada Khalifah Utsman bin Affan untuk

membukukan Al-Qur‟an dalam satu kitab yang dinamakan Mushaf Utsmani

yang menjadi rujukan awal sehingga keotentikan Al-Qur‟an tetap terjaga

hingga sekarang, begitu juga Allah menciptakan para penghafal (hafidz) Al-

Qur‟an yang dengan sungguh-sungguh mau menghafal dan menjaga Al-

Qur‟an dalam hati dan sanubari hingga turun-temurun.

C. Makna “Lahafidzun” dalam Tafsir Al-Ibriiz

Dalam Tafsir Al-Ibriz, KH Bisri Musthofa menterjemahkan Surat Al-

Hijr/15: 9 sebagai berikut:

“Temenan ingsung (Allah) nurunaken pangeling yaiku al-Qur‟an. Lan

temenan ingsun (Allah) ngerekso marang al-Qur‟an. Ora bakal ana

owah-owahan.”

Terjemah :

“Sesungguhnya Aku (Allah) menurunkan peringatan yaitu Al-Qur‟an.

Dan sesungguhnya Aku (Allah) menjaga Al-Qur‟an dan tidak ada

perubahan.”
ْ ّ
KH. Bisri Musthofa memaknai ‫الذك ََر‬ِ sebagai peringatan yaitu al-Qur‟an.

َ
َ ُ ‫ ه ْح‬dengan arti Aku. Jadi dapat
Menurut arti diatas, beliau mengartikan kata ‫ن‬

disimpulkan secara mutlak bahwa Allahlah yang menjaga dan memelihara al-

Qur‟an dari segala perubahan dengan kekuasaan-Nya.

D. Makna “Lahafidzun” menurut M. Quraish Shihab

91
M. Quraish Shihab didalam tafsirnya mengartikan lafadz lahafidzun

sebagai “Kami benar-benar baginya adalah Pemelihara”. Dan dijelaskan pula


ْ ّ
dalam tafsirnya, Kami menurunkan ‫الذك ََر‬ِ yakni al-Qur‟an, dan sesungguhnya

Kami juga bersama kaum muslimin benar-benar baginya (al-Qur‟an) adalah

yang akan menjadi para Pemelihara otentitas dan kekekalannya. Dan bentuk

jamak yang digunakan ayat ini yang menunjuk Allah SWT., baik pada kata
َ َْ َ
َ‫ ه َّزلنا ه ْح ُن‬atau Kami menurunkan maupun dalam hal pemeliharaan al-Qur‟an

mengisyaratkan adanya keterlibatan selain Allah SWT. Yakni malaikat Jibril

as., dalam menurunkannya dan kaum muslimin dalam pemeliharaannya.

Agar dakwah Nabi tetap berlaku hingga hari kiamat, Allah tidak

menurunkan malaikat, tetapi menurunkan al-Qur'ân yang akan terus disebut

dan diingat. Allah akan memelihara al-Qur'ân itu dari berbagai perubahan dan

penggantian sampai hari kiamat nanti.

Diantaranya M. Quraish Shihab mengatakan, kaum muslimin ikut

memelihara otentitas al-Qur‟an dengan banyak cara. Baik dengan

menghafalkannya, menulis dan membukukannya, merekamnya dalam

berbagai alat seperti piringan hitam, kaset, CD dan yang lainnya. Tetapi apa

yang dilakukan kaum muslim itu, tidak terlepas dari taufik dan bantuan Allah

SWT., guna pemeliharaan kitab suci umat muslim itu. dalam tafsirnya juga

beliau menjelaskan, bahwa para ulama menggarisbawahi perbedaan antara al-

Qur‟an dan kitab suci yang lalu dari segi pemeliharaan otentitasnya. Yang

92
ditugaskan memelihara kitab suci yang lalu adalah para penganutnya (saja).151

151
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, h. 95-97

93
BAB V

PENUTUP

A. ANALISA DAN KESIMPULAN

Berdasarkan uraian penulis pada bab-bab sebelumnya, maka konsep

penjagaan Al-Qur‟an sebagaimana Q.S al-Hijr/15: 9 menurut Tafsir Ibnu

Katsir, Tafsir Al-Ibriz dan Tafsir Al-Mishbah, adalah sebagai berikut:

1. Ibnu Katsir menafsirkan kata “lahafizhun” sebagaimana penjagaan Allah

atas Rasulullah SAW., Allah menjaga dan memelihara Al-Qur‟an dengan

berbagai sarana yang diciptakan dengan kekuasaan dan kebijaksanaan-

Nya.

2. KH. Bisri Musthofa menafsirkan kata “lahafizhun” secara mutlak bahwa

Allahlah yang menjaga dan memelihara al-Qur‟an dari segala perubahan

dengan kekuasaan-Nya.

3. M Quraish Shibah menafsirkan kata “hafizhun” yang berbentuk jamak

mengisyaratkan bahwa dalam hal pemeliharaan al-Qur‟an ada keterlibatan

selain Allah SWT. yakni malaikat Jibril as. sebagai penurun wahyu dan

kaum muslimin sehingga terjaga otentitas dan kekekalannya. Baik dengan

cara menghafal, menulis, membukukan dan yang lainnya. Tetapi semua itu

tidak terlepas dari taufik dan bantuan Allah SWT.

Ketiga Ahli Tafsir tersebut sepakat bahwa faktor yang paling dominan

dalam penjagaan Al-Qur‟an adalah adanya campur tangan dan skenario Allah

sebagai pencipta (khaliq) yang menjamin otentitas dan keberadaan Al-Qur‟an

94
sebagai mu‟jizat yang tetap lestari hingga akhir zaman.

Adapun skenario Allah dalam menjaga Al-Qur‟an, antara lain: Pertama,

Allah telah menyiapkan suatu umat yang kuat dalam ingatan dan hafalannya.

Karena bangsa Arab terkenal dengan kekuatan hafalannya, mereka dapat

meriwayatkan beribu-ribu bait syair yang tidak dibukukan dan bertumpu pada

hafalan mereka. Kedua, Allah memudahkan bagi manusia untuk menghafal

al-Quran sebagaimana firman Allah: “Dan sesungguhnya Kami mudahkan al-

Quran untuk pelajaran, maka adalah orang yang mau mengambil pelajaran.”

(QS al-Qamar: 17). Ketiga, Allah menyediakan suatu generasi yang memiliki

ketajaman hafalan, kefahaman dan amanah. Para Huffadz menghafalnya

langsungdari Rasulullah SAW sehingga rekatlah hafalan mereka. Keempat,

Allah mengutus malaikat Jibril untuk memuraja‟ah hafalan Nabi SAW sekali

dalam setahun dan ditahun terakhir dari kehidupan beliau. Jibril mengoreksi

hafalan beliau dua kali. Kelima, dan setelah al-Quran dibukukan, para Huffaz

mengoreksi lembar perlembar dari mushaf ketika akan dicetak oleh

percetakan tertentu. Dengan metode seperti inilah Allah telah menpati

janjinya bahwa al-Quran adalah terpelihara.152

Dan Sayid Qutb yang telah menulis kitab Tafsir fenomenal di abad ini,

dalam kitab Tafsirnya Fi Dhilalil Quran menyebutkan bahwa al-Quran sejak

kemunculannya telah mengalami banyak usaha perubahan dan talbis dan

tahrif dan juga fitnah-fitnah dari kelompok-kelompok yang menyimpang,

sebagian mereka seperti Yahudi dan penyeru Qaumiyah bisa melakukan

152
Syaikh Mahmud bin Ahmad bin Shalih al-Dosari, Keagungan Al-Quran al-Karim, hal. 57.

95
penakwilan terhadap hadits dan ayat al-Quran atau untuk mendukung

pendapat mereka, tetapi satu yang tidak dapat mereka lakukan yaitu

mendatangkan satu ayat seperti dalam al-Quran, sehingga al-Quran tetap

terjaga sebagaimana ia diturunkan oleh Allah.153

Selanjutnya mari kita bandingkan pendapat para ilmuwan tentang al-

Quran dan bibel, pendapat para ilmuwan terhadap al-Quran: Pertama, Harry

Gaylord Dormandalam buku “Towards Understanding lslam”, New York,

1948, p.3, berkata: “Kitab Qur‟an ini adalah benar-benar sabda Tuhan yang

didiktekan oleh Jibril, sempurna setiap hurufnya, dan merupakan suatu

mukjizat yang tetap aktual hingga kini, untuk membuktikan kebenarannya

dan kebenaran Muhammad.”

Kedua, Sir William Muir dalam buku “The Life of Mohamet”, London,

1907; p. VII berkata sebagai berikut: “Qur‟an adalah karya dasar Agama

Islam. Kekuasaannya mutlak dalam segala hal, etika dan ilmu

pengetahuan…”

Ketiga, DR. J. Shiddiqy dalam buku “The Lord Jesus in the Qur‟an”, p.

111, berkata: “Qur‟an adalah Bible kaum Muslimin dan lebih dimuliakan dari

kitab suci yang manapun, lebih dari kitab Perjanjian Lama dan kitab

perjanjian Baru.”

Dan Pendapat Tokoh-tokoh Non Muslim terhadap Kitab Bibel. Pertama,

Dr. Mr. D. N. Mulder dalam bukunya “Pembimbing ke dalam Perjanjian

Lama”, tahun 1963, pagina 12 dan 13, berkata sebagai berikut: “Buku ini

153
Sayyid Quthb, Tafsir fi Dhilalil Qur’an.

96
dikarang pada waktu-waktu tertentu, dan pengarang-pengarangnya memang

manusia juga, yang terpengaruh oleh keadaan waktunya dan oleh suasana di

sekitarnya dan oleh pembawaan pengarang itu sendiri. Naskah-naskah asli

dari Kitab Suci itu sudah tidak ada Iagi. Yang ada pada kita hanya turunan

atau salinan. Dan salinan itu bukannya salinan langsung dari naskah asli,

melainkan dari salinan dan seterusnya. Sering di dalam menyalin Kitab Suci

itu terseliplah salah salin.”

Kedua, Drs. M. E. Duyverman dalam bukunya “Pembimbing ke dalam

Perjanjian Baru”, tahun 1966, pagina 24 dan 25, berkata sebagai berikut:

“Ada kalanya penyalin tersentuh pada kesalahan dalam naskah asli yang

dipergunakannya, lalu kesalahan itu diperbaikinya, padahal perbaikan itu

sering mengakibatkan perbedaan yang lebih besar dengan yang sungguh asli.

Dan kira-kira pada abad keempat, di Antiochia diadakan penyelidikan dan

penyesuaian salinan-salinan; agaknya terdorong oleh perbedaan yang sudah

terlalu besar diantara salinan-salinan yang dipergunakan dengan resmi dalam

Gereja.”154

B. SARAN-SARAN

Dari paparan dan penelitian yang dilakukan oleh penulis di atas, penulis

menyadari penelitian ini jauh dari kata sempurna, masih banyak kekurangan

dan kesalahan dari penulisan maupun kevalidan data.

Penulis berharap kepada para pecinta dan pengkaji al-Qur‟an, untuk

melakukan penelitian lebih lanjut terkait tema yang diangkat. Atau

154
Pendapat Non Muslim terhadap Al-Qur‟an dan Bibel.

97
meneruskan penjagaan kitab suci yang lainnya sehingga dapat memperkaya

dan menambah ilmu bagi pembaca.

Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga bermanfaat untuk kita

semua.

98
DAFTAR PUSTAKA

Abu Ja‟far Muhammad Ibnu Jarir al-Thabari, Jami‟ul Bayan„an Ta‟wil Qur‟an,
Beirut: Dar al-Fikr, 1988.

Al-A‟zami, M. Musthafa. Sejarah Teks al-Qur‟an dari wahyu sampai Kompilasi,


terj. Sohirin Solihin, dkk. Jakarta: Gema Insani Press, 2005.

, Muhammad Mustafa. Sejarah Teks al-Qur‟an dari wahyu sampai


kompilasi. jakarta: Gema Insani Press, 2005.

Amir, Mafri. Literatur Tafsir Indonesia Banten: Mazhab Ciputat, 2013. Anwar,
Rosihon. Ulumul Qur‟an, Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Arikunto, Suharsimi.“Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,” Rineka


Cipta, Jakarta 1998.

Baidan, Nashrudin. “Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an di Indonesia.” PT Tiga


Pustaka Mandiri Solo, 2003.

Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, CV Penerbit Jumanatul


„Ali-Art (J-Art), Bandung, 2004.

Fajar Pramono, Muhamad. “Pola-pola pemeliharaan al-Qur‟an dalam tinjauan


historis.” Jurnal Sekolah Tinggi Ilmu Agama Isy Karima, (2017).

Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufasir al-Qur‟an. Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008.

Hafsin, Abu. al-Qur‟an Kita: Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah, cet. 3,
Kediri: Lirboyo Press, (2013).

Hamidy, H. Zainuddin. Hs, Fachruddin. Tafsir Qur‟an: Naskah asli- Terjemah-


Keterangan. cetakan keenam, Jakarta wijaya, 1973.

Hamka. Tafsir Al Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.

Hasan, Ahmad. al-Furqan Tafsir Qur‟an. Jakarta: Pustaka Mantiq, Yayasan


Ambadar, 2006.

Hasbi Ash-Shiddieqi, Teungku M. Sejarah dan Pengantar ilmu Al-Qur‟an/Tafsir


Jakarta: penerbit Bulan Bintang, 1980.

99
, Ash-Shiddieqi, Teungku M. Tafsir al Qur‟anul Majid An- Nūr,
jilid 1. Jakarta: Cakrawala Publishing, 1995.

Ibn Kasir, Al-Hafiz. Perjalanan Hidup Empat Khalifah Rasul yang Agung, terj.
Abu Ihsan al-Asari, cet. 8. Jakarta: Darul Haq, 2011.

Igisani, Rithon. “Kajian Tafsir Mufassir di Indonesia”. Potret jurnal, vol.22, no.1,
Januari-Juni 2018.

Indriati, Anisah. “Ragam Tradisi Penjagaan al-Qur‟an di Pesantren.” Studi Living


Qur‟an di Pesantren Al-Munawwir Krapyak, An- Nur Ngrukem, dan Al-
Asy‟ariyyah Kalibeber. Jurnal al- Itqan Volume 3, No. 1. (Januari – Juli
2017).

Gusmian. Islah, Khazanah Tafsir Indonesia, dari hermetika hingga Ideologi. Cet.
Ke-1. Jakarta: Teraju, 2003.

Lexy J, Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif edisi revisi. cet. 26, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2009.

Madzkur, Zaenal Arifin. “Legalisasi Rasm Usmani dalam Penulisan al-Qur‟an”.


dalam Journal of Qur‟anic and Hadits Studies, Vol. 1, No. 2, 2012.

Mannā‟ Khalīl al-Qaṭṭān, Mabahis Fi Ulum al-Qur‟an. Riyad: Mansurat al-Hasr


wa al-Hadits, 1393 H/ 1973 M.

, Khalīl al-Qaṭṭān, Pengantar Studi Ilmu al-Qur‟an, terj. Aunur


Rafiq El-Mazni, cet. 6. Jakarta: Putaka al-Kautsar, 2011.

Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta: Bumi Aksara,


2007.

Rasul Ja‟fariyan, Menolak Isu Perubahan al-Qur‟an, terj. Abdurrahman. Jakarta:


Pustaka Hidayah, 1991.

Roziqin, Badiatul. Asti, Badiatul Muchlisin. Manaf, Junaidi Abdul. 101 Jejak
Tokoh Islam Indonesia. Yogyakarta: Penerbit e-Nusantara, 2009.

Shihab. M. Quraish, et. al, Sejarah & Ulūm al-Qur‟an, cet. 4 (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2008).

, M. Quraish, Tafsir Al-Misbāh, Pesan, Kesan dan Keserasian al


Qur-an vol.15, Jakarta: Lentera Hati, 2002.

100
As-Shalih, Subhi. Mabaahits fii Uluum Al-Qur‟an, cet. 4 Beirut: Daar Al-Ilm li
Al-Malaayiin, 2000.

As-Sijistani, Abu Dawud. Sunan Abi Dawud, Beirut: Al-Maktabat Al- Ashriyah,
T.Th, vol. 3.

Sybromalisi, Faizah Ali. “Urgensi lajnah pentashih al-Qur‟an di Indonesia”. UIN


Syarif Hidayatullah Jakarta 2011.

Al-Suyuti, Jalal ad-Din. al-Itqan fi Ulum al-Quran. Beirut: Dar al-Fikr. Jilid I, t.t.

Taufiqurrahman. “Kajian Tafsir Al-Qur‟an. Mutawattir: Jurnal keilmuan Tafsir


hadis.” Institut Agama Islam Al-Amin Prenduan Sumenep, Madura
Vol.2, No.1, juni 2012.

Yunus, Mahmud. Tafsir Al-Qur‟an al-Karim, Jakarta: PT. Hidakarya Agung,


2004.

101

Anda mungkin juga menyukai