Anda di halaman 1dari 13

BAB I

1. PENDAHULUAN

Setiap orang memiliki keinginan atau cita-cita dalam hidup ini. Tidak ada

orang yang pasrah menerima nasib tanpa berbuat apa-apa atas kondisi yang

menimpanya. Cita-cita terhadap suatu kemajuan merupakan harapan mulia

yang melekat dalam diri setiap orang yang hidup bermasyarakat dan

bernegara.

Harapan terhadap kemajuan adalah keinginan atas perubahan yang lebih

baik dari realitas yang terjadi sebelumnya. Harapan yang lebih baik ini

merupakan bentuk keinginan untuk keluar dari problem yang menghimpitnya.

Dalam kehidupan bernegara. Cita-cita kita dalam bernegara adalah untuk

mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Untuk mewujudkan cita-cita

yang mulia itu, maka kita perlu melaksanakan pembangunan. Melalui

pembangunan, kita bermaksud meningkatkan kemakmuran masyarakat

secara bertahap dan berkesinambungan, yaitu dengan cara meningkatkan

konsumsinya. Karena peningkatan konsumsi sangat bergantung pada

peningkatan pendapatan, dan peningkatan pendapatan tergantung produksi.

Maka sebagai pelaku ekonomi, setiap anggota masyarakat selayaknya turut

serta dalam proses pembangunan. Secara teoritis bila semua itu

menghasilkan, maka semuanya akan ikut menikmati. Dengan demikian, akan

terwujud masyarakat yang adil dan makmur seperti yang kita cita-citakan.

Pembangunan ekonomi memberikan potensi yang lebih besar bagi suatu

masyarakat untuk memperbaiki kualitas hidupnya. Motivasi untuk

memperbaiki dan meningkatkan kehidupan pasti ada pada setiap diri manusia

yang normal, walaupun pada suatu saat dalam keadaan tertentu motivasi itu
tampaknya terlambat atau ada aspek-aspek lain yang menghalangi seperti

yang terlihat dalam sikap “nerimo” atau prinsip “mangan ora mangan

ngumpul” (Bersama-sama berkumpul dalam suatu keluarga atau tidak harus

perlu bekerja kemana-mana seperti keluar daerah, jika di rumah atau di

daerah sendiri masih ada sumber pendapat yang bisa digali dan

menguntungkan secara ekonomi).

Dengan motivasi memperbaiki kualitas hidup tersebut, maka untuk

membangkitkan kembali tidaklah seberapa susah, tetapi tentunya tidak

dengan teori teori dan rumusan kata-kata saja. Semua itu harus dilakukan

dengan tindakan-tindakan nyata yang konsumtif. Sayangnya tidak sedikit

diantara kita yang berani melakukan tindakan-tindakan konstruktif dan tindak

berani memperbarui tindak atau prinsipnya.

Kemiskinan merupakan salah satu bentuk penyakit dan gambaran

mentalitas masyarakat Indonesia yang disebabkan kurang memiliki etos kerja

tinggi. Etos kerja inilah yang mengakibatkan kondisi ini bisa terjadi.

Manusia memenuhi kebutuhan hidup untuk kelangsungan hidupnya di

dunia. Untuk itu, manusia perlu bekerja. Sebab dengan bekerja, manusia

akan memanusiakan dirinya sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna

dari seluruh ciptaannya. Bekerja merupakan hak setiap manusia dewasa

sebagai upaya menjaga derajat kemanusiaan dan untuk memenuhi

kebutuhan hidup. Negara dan masyarakat harus menjamin hak setiap

manusia, atau warga negara untuk bekerja dan tidak membedakan hak

tersebut antar satu dengan yang lainnya. Hal itu menunjukan bahwa dalam

hidup ini manusia membutuhkan pekerjaan. Dengan pekerjaan yang

dilaksanakan, manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, sebab dari


pekerjaan yang dilakukan itu, manusia mendapatkan penghasilan sebagai

hak manusia, maka pekerjaan dapat menentukan penghasilan. Sedangkan

penghasilan ini juga menjadi hak yang harus dimilikinya setelah menjalankan

pekerjaanya.

Begitu pentingnya bekerja atau pekerjaan bagi kehidupan manusia

hingga kompetensi memperebutkannya sangat ketat, bahkan tidak sedikit

diantaranya yang terpaksa ditempuh dengan cara-cara yang melanggar

norma seseorang menempuhnya dengan cara menyuap atau menjual harga

diri.

Vitalnya persoalan pekerja itu dapat dengan tanggung jawab pekerja

yang tidak hanya untuk kepentingan dirinya, tetapi juga untuk kepentingan

atau kelangsungan hidupnya banyak pihak, seperti ada anak, istri, dan orang

lain yang menjadi tanggung jawabnya dan mengharapkan peran-perannya

secara ekonomi.
1. Baharuddin Lopa, Al-Qur’an dan Hak Asasi Manusia, Jakarta 1996. Hal. 92. Diakses tanggal 03 Desember
2022, Pukul 11.00 WIB
2. Mariladi Fakih, Perlindungan Keselamatan Tenaga Kerja (Perspektif Islam dan HAM), Jurnal ilmiah
dinamika hukum thx, No.20, Februari 2004, Hal 69. Diakses 03 Desember 2022, Pukul 11.00 WIB
Di dalam UDHR (Universal Declaration of Human Right) pasal 23 ayat (1),

(2), (3), dan (4) disebutkan :

1. Setiap orang berhak menerima pekerjaan, syarat-syarat yang adil dan

menyenangkan dari suatu lingkungan pekerjaan dan mendapat perlindungan

dari pengangguran.

2. Setiap orang tanpa dibeda-bedakan berhak memperoleh upah yang sama

atas pekerjaan yang sama.

3. Setiap orang yang bekerja berhak akan imbalan yang adil dan

menyenangkan, yang menjamin dirinya sendiri dan keluarganya, sesuai

dengan kemuliaan martabat manusia dan ditambah pula bila perlu dengan

bantuan-bantuan sosial lainnya.

4. Setiap orang berhak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat-

serikat pekerja untuk melindungi kepentingan-kepentingannya.

Lingkungan dan kondisi yang menyenangkan bagi tenaga kerja

merupakan salah satu kebutuhan vitalnya. Tenaga kerja akan bisa

menjalankan pekerjaannya atau kewajibannya dengan baik jika didukung oleh

lingkungan kerja yang baik pula. Ketika kondisi lingkungan pekerjaan tidak

menyenangkan, apalagi rawan dengan ancaman yang membahayakan

kesehatan serta keselamatan, maka hal ini dapat dinilai sebagai kondisi yang

tidak mendukung.

Fenomena diseputar ketenagakerjaan dewasa ini masih banyaknya

lingkungan kerja, termasuk di dalam manajemen kerja yang mengandung

potensi kerawanan yang membahayakan atau menimbulkan berbagai bentuk.

3. Khilda R. Fatma. Tantangan Dunia Kerja di Indonesia, Benteng media, Jakarta 2004 hal 4. Diakses 03 Desember
2022 pkl 11.00 WIB
Peraturan perundang-undangan yang ada, dari zaman Hindia Belanda

sampai era reformasi sekarang ini sebenarnya sudah menyiapkan perangkat

hukum yang mengatur mengenai kemungkinan menuju

kehidupanketenagakerjaan yang serasi dan seimbang, yaitu :

1. Undang -undang pada zaman Hindia Belanda

Pada abad ke-19 pemerintah Hindia Belanda mulai ikut campur dalam

mengatur masalah budak,meskipun dalam hal yang terbatas. Misalnya :

a. Peraturan tentang pendaftaran budak (1819);

b. Peraturan tentang pajak atas pemilihan budak (1820);

c. Peraturan tentang larangan menyangkut budak yang masih anak-

anak (1892) dan beberapa peraturan lainnya;

d. Pada tahun 1954, perbudakan dinyatakan dilarang;

e. Regeringsreglement pasal 115 sampai dengan pasal 171 indische

staatsregeling dengan tegas menetapkan bahwa paling lambat 1

Januari 1860 perbudakan di seluruh Indonesia (Hindia Belanda) harus

dihapuskan.

f. Selama dalam proses penghapusan perbudakan tersebut, oleh

pemerintah Hindia Belanda, juga dikeluarkan beberapa peraturan

mengenai ketenagakerjaan, baik peraturan yang khusus mengatur

tentang masalah ketenagakerjaan maupun peraturan bidang lain.

Tetapi di dalamnya terdapat peraturan tentang ketenagakerjaan.

Misalnya koeli ordonanties.

g. Burgerlick Wetboek (Kitab Undang-undang hukum perdata) dan

wetboek van koophandel (Kitab Undang-undang Hukum Dagang),

yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848 (staatblad 1847 nomor
13) dan dengan staatblad 1879 nomor 256 yang mulai berlaku 21

Agustus 1879, pasal 1601 sampai dengan 1603 (lama). Burgerlick

Wetboek diberlakukan terhadap golongan bukan Eropa.

Pada awal abad ke-20 dikeluarkan peraturan-peraturan yang pada

dasarnya mencontoh peraturan-peraturan yang berlaku di negeri

Belanda. Misalnya ;

a. Veiligheids Reglement ;

b. Reglement stoomketels ;

c. Mijn wetgeving ;

d. Peraturan tentang pembatasan kerja anak-anak dan wanita di

waktu malam (staatblad 1925 nomor 647) ;

e. Peraturan tentang ganti rugi bagi pelaut yang mendapat

kecelakaan (ongevallen Regeling tahun 1939) ;

f. Peraturan tentang ganti kerugian bagi pelaut yang mendapatkan

kecelakaan (schepen ongevallenreelin tahun 1940) ;

g. Peraturan yang membatasi tenaga kerja asing (crisis ordohantive

vreem delingenarbeid staatsblad tahun 1935 nomor 426 junto staat

tahun 1940 nomor 573);

h. Peraturan mengenai pengawasan khusus terhadap hubungan-

hubungan hukum antara majikan dengan buruh hubungan kerja, yaitu

Bijzondertoezi op de rechtverhoudingan tussen wergelers en

aebeiders, staatsblad tahun 1940 nomor 569, yang berlaku surut

mulai 10 Mei 1940 ;

i. Undang - undang gangguan tahun 1927 ;

2. Undang-undang dasar 1945, yaitu ;


a. Pasal 27 ayat 2 yang berbunyi : “Tiap-tiap warga negara berhak

atas, pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan ;

b. Pasal 33 :

 Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas

kekeluargaan.

 Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang

menguasai hajat hidup orang banyak yang dikuasai oleh

negara.

 Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat.

3. Undang-undang no.33 tahun 1947 tentang kecelakaan ;

4. Undang-undang no.3 tahun 1992 tentang program jaminan sosial tenaga

kerja ;

5. Undang-undang no.13 tahun 2013 tentang ketenagakerjaan ;

6. Undang-undang no.21 tahun 2001 tentang serikat pekerja atau serikat

buruh ;

7. Undang-undang no.2 tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan

hubungan industrial ;

8. Peraturan pemerintah no.7 tahun 1948 tentang permohonan istirahat bagi

buruh wanita ;

9. Konvensi I.L.O no.120 dalam perniagaan dan kantor-kantor ;

10. Peratusan perundang-undangan lainnya yang meratifikasi konvensi

organisasi ketenagakerjaan internasional (International Labour Organization).


2. LATAR BELAKANG

Peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan di Indonesia

yang sudah dibuat oleh pemerintah, sering sekali diabaikan oleh banyak

perusahaan swasta. Pengertian hukum ketenagakerjaan yaitu hukum positif

masing-masing negara sangat memengaruhi pengertian hukum

ketenagakerjaan.yang dikemukakan oleh para ahli, definisi mengenai hukum

ketenagakerjaan yang dikemukakan oleh para ahli hukum juga berlainan

terutama menyangkut keluasan cakupan hukum ketenagakerjaan tersebut di

masing-masing negara. Pada kenyataannya pada masa sebelum

pemerintahan Hindia Belanda, sudah ada orang yang memiliki budak /

pekerja. Kenyataan ini memberikan indikator kepada kita, bahwa ada orang

yang memberikan pekerjaan, memimpin pekerjaan, meminta pekerja, dan ada

orang yang melakukan pekerjaan. Meskipun secara hukum, budak / pegawai

bukan melakukan subjek hukum, melainkan objek hukum, namun faktanya

budak / pegawai melakukan sesuatu (pekerjaan) sebagaimana layaknya

subjek hukum. Budak / pegawai mempunyai kewajiban melakukan pekerjaan

sesuai dengan perintah pemilik budak dan pegawai. Pemilik budan atau

pegawai mempunyai hak untuk menerima pekerjaan, mengatur pekerjaan dan

lain sebagainya.

4. Abdul Rachmad Budiono, “HUkum Perburuhan Nasional”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hal. 19.
Diakses pada 03 Desember 2022 pkl 11.00 WIB
5. Sudilno Mertokusumo, mengenal hukum (suatau pengantar), penerbit liberty Yogyakarta 1988, hal 63. Diakses
pada 03 Desember 2022, pkl 12.00 WIB
6. Budiono, Abdul Rachmad, Op Cit HAL 13. Diakses pada 03 Desember 2022, pkl 12.00 WIB
Hukum ketenagakerjaan di Indonesia berada dibawah naungan Undang-

Undang Ketenagakerjaan yang sudah di sah kan oleh pemerintah. Pada

Undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, “Setiap tenaga


kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih,

mendapatkan atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang

layak di dalam atau di luar negeri.” Penempatan tenaga kerja dilaksanakan

berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa

diskriminasi.

Hukum ketenagakerjaan di Indonesia juga terdapat perjanjian kerja

merupakan salah satu bentuk perjanjian untuk melakukan pekerjaan

sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1601 kitab undang-undang hukum

perdata. Perjanjian kerja yang akan ditetapkan oleh pekerja buruh dengan

majikan / pengusaha tidak boleh bertentangan dengan perjanjian perburuhan

yang telah dibuat oleh majikan / pengusaha dengan serikat buruh yang ada

pada ‘perusahaannya” Sebagaimana termaksud dalam pasal 50 UU

ketenagakerjaan disebutkan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya

perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja atau buruh (karyawan)

dengan pengusaha antara pengusaha dengan pekerja / buruh (karyawan)

dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memenuhi syarat-syarat kerja,

hak dan kewajiban para pihak sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1

ayat (14) uu ketenagakerjaan. Selanjutnya ditegaskan dalam pasal 51 ayat

(1) Undang-undang ketenagakerjaan bahwa perjanjian kerja dapat dibuat

secara lisan.

Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mempekerjakan tenaga

kerja seminimal mungkin untuk dapat memberi kontribusi maksimal sesuai

dengan tuntutan perusahaan. Untuk itu, perusahaan berupaya fokus

menangani pekerjaan dan mendayagunakan tenaga pekerja kontrak dalam

melaksanakan kegiatan perusahaan, pelaksanaan perjanjian kerja waktu


tertentu (PKWT), terkadang melanggar akan pemenuhan hak-hak pekerja

yang “biasa disebut dengan pekerja kontrak”. Hal ini disebabkan karena

pekerja kontrak ada pada pihak yang lemah. Hubungan kerja PKWT

dilaksanakan berdasarkan suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis, akan

tetapi yang sering terjadi adalah perjanjian antara pekerja dengan

perusahaan lisan yang dianggap remeh oleh pekerja sesuai dengan syarat-

syarat perjanjian kerja yang tertuang dalam undang-undang ketenagakerjaan

yaitu pada pasal 51 - 54 terdapat ketentuan bahwa dalam membuat surat

perjanjian haruslah ada itikad baik yang melandasi setiap perjanjian sehingga

isi perjanjian kerja tersebut mencerminkan adanya keseimbangan antara hak

dan kewajiban masing-masing pihak. Dalam prakteknya pelaksanaan

pendayagunaan pekerja berdasar perjanjian kerja waktu tertentu. Lebih

merugikan pihak kerja seperti misal, pengajuan target-target pekerjaan yang

sulit dicapai untuk pekerja, ketidakadanya pesangon, uph yang kurang dari

UMK, ketidakpastian pekerja untuk ikut serta dalam serikat pekerja

dikarenakan status pekerjaannya “sebagai tidak tetap”.

Perjanjian pekerja waktu tertentu (PKWT) sudah diatur pada pasal 50 - 59

UU Ketenagakerjaan. Peraturan pelaksanaannya diatur dalam keputusan

menteri tenaga kerja dan transmigrasi nomor KEP 160/MEN/X/2004 yang

mengatur tentang ketentuan pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu.

Begitu juga dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang

diperuntukan untuk para karyawan tetap. Jika mengacu pada peraturan,

PKWTT sudah diatur pada pasal 60 ayat (1) UU ketenagakerjaan dan hanya

akan berakhir apabila karyawan sudah memasuki masa pensiun, meninggal

dunia, atau mengajukan resign.


Dalam hal ini, surat keterangan kerja sangat penting. Surat keterangan

kerja merupakan dokumen yang berfungsi sebagai bukti bahwa seorang

karyawan masih atau pernah bekerja di perusahaan tersebut. Surat

keterangan kerja tidak bisa dibuat oleh karyawan itu sendiri. Dengan mewakili

perusahaan, HRD atau manager dengan karyawan yang bersangkutan

berhak membuat surat ini. Dari segi hukum keberadaan, SK ini diperkuat

salah satu pasal yang termuat dalam Kitab undang-undang Hukum Perdata

(KUHPer) pada pasal 1602y, poin yang ditekankan adalah kewajiban

perusahaan dalam memberi Surat keterangan terkait pekerjaan karyawan,

baik diminta ataupun tidak diminta.

3. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat

diambil suatu masalah. Yaitu :

1. Bagaimana masalah status kedudukan hukum undang-undang

ketenagakerjaan no.13 tahun 2003, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

(PKWT), Perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), Surat keterangan

kerja.

2. Bagaimana perbandingan undang-undang ketenagakerjaan no.13

tahun 2003, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Perjanjian kerja

waktu tidak tertentu (PKWTT), Surat keterangan kerja.

4. METODE PENELITIAN

a. Spesifikasi Penelitian

b. Sumber Data : Data Sekunder

c. Metode Pengumpulan Data : Studi ke Perpustakaan

d. Metode Penyajian Data : Teks Naratif


e. Metode Analisis Data

5. TUJUAN PENULISAN

Dari latar belakang tersebut maka penulis dapat memberitahukan tujuan

penelitian kami sebagai berikut :

a. Menjelaskan bahwa kita dapat mempelajari apa itu UU

Ketenagakerjaan ‘

b. Mengerti tentang apa itu PKWT dan PKWTT

c. Jurnal ini diharapkan menjadi pengetahuan bagi teman-teman apa saja

itu tentang kontrol-kontrol kerja yang ada pada perusahaan-perusahaan

di Indonesia.

7. Iman Soepomo, Penghantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1981, hal. 2-3. Diakses pada 03
Desember 2022. Pkl 17.00 WIB
8. Hukum ketenagakerjaan Indonesia R.A. De Rozarie. (Anggota Ikatan Penerbit Indonesia). Diakses pada 05
Desember 2022. Pkl 21.40 WIB
9. Basni Situmorang, 2010. Laporan Pengkajian hukum tentang menghimpun dan mengetahui pendapat ahli
mengenai pengertian sumber-sumber hukum mengenai ketenagakerjaan, badan pembinaan hukum nasional
departement hukum dan ham. Diakses pada 05 Desember pkl 23.00 WIB
10. Liferal.co.id , Diakses pada 05 Desember 2022, pkl 03.00 WIB

Anda mungkin juga menyukai