Anda di halaman 1dari 14

RESUME KESALAHAN TEORITIK DALAM PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI YANG MEMBERLAKUKAN NORMA INKONSTITUSIONAL


BERSYARAT

A. Alasan Filosofis Pemberlakuan Undang-Undang Cipta Kerja.

Berbicara mengenai alasan filosofis (philosophical reasons)

pemberlakuan sebuah norma, maka setidak-tidaknya harus mencakup tiga

hal penting yakni:

a. Ontologi, hakekat pemberlakuan suatu norma hukum.

b. Epistimologi, mencakup bagaimana cara atau metodologi yang

digunakan untuk memvisualisasikan hakekat norma dalam

implementasinya.

c. Aksiologi, mengacu pada nilai (value) apa yang didapatkan dalam

pemberlakuan suatu norma hukum.

Jika dikaitkan dengan undang-undang cipta kerja, maka sudah

seharusnya memuat ketiga unsure ini. Undang-undang cipta kerja bukan

hanya menciptakan lapangan pekerjaan atau menarik sebanyaknya

investasi, namun dapat dilhat dari persepektif bagaimana

mengkonstitusionalisasikan peraturan perundang-undangan sebagai

sebuah bangunan (fundamental frame work) di dalam tatanan

1
kebernegaraan melalui metode coherence, karena secara filosofis ideal

state of social order harusnya bersandar kepada konstitusi. Secara

teoritik, konstitusi ini sebagai fondasi dengan memandang setiap

peraturan perundang-undangan sebagai bangunan rumah, atap sebagai

layers tertinggi bersandar pada layers di bawahnya, begitu seterusnya

hingga ditemukan suatu layers yang tidak bersandar pada layers yang lain

dan dikenal sebagai fondasi. Oleh karenanya seluruh peraturan harusnya

bersandar pada konstitusi sebagai fondasi.

B. Permasalahan Dalam Perumusan Undang-Undang Cipta Kerja.

Membahas undang-undang cipta kerja melalui pendekatan omnibus

law sebetulnya telah dilakukan prkatek – praktek omnibus law tersebut

bertahun-tahun sejak tahun 1819 sampai dengan dihadirkannya Pokok-

Pokok Haluan Negara (PPHN) dengan disederhanakannya lebih dari tujuh

ribu peraturan perundang-undangan. Merupakan langkah dan pekerjaan

yang luar biasa. Namun ini menjadi masalah ketika beberapa waktu yang

lalu Pof. Satjipto Rahardjo telah mengingatkan pemerintah yang

melakukan deregulasi-deregulasi peraturan perundang-undangan dalam

rangka melakukan pengguntingan atau penghapusan terhadap problem-

problem yang terdapat dalam hukum masa kolonial yang dianggap tidak

2
relevan atau dianggap tidak dapat mengakomodir kepentingan bangsa.

Prof. Sunaryati Hartono menyatakan bahwa ada persoalan-persoalan

yang harus di address dalam mengadopsi atau mentransformasi undang-

undang yang berasal dari luar termasuk di dalamnya metodenya.

Mengacu pada esensi pemberlakuan undang-undang cipta kerja,

pertanyaan yang timbul adalah apa tujuannya permberlakuan undang-

undang ini. Pembuat undang-undang menyatakan bahwa tujuan

diberlakukannya undang-undang cipta kerja adalah untuk menciptakan

lapangan pekerjaan seluas-luasnya dengan membuka keran investasi

selebar-lebarnya. Tujuan ini sebagai pembanding saja jika melihat

pemberlakuan undang-undang ini dari persepektif yang berbeda dengan

tujuan semata-mata sebagai balancing dalam rangka memperkuat strategi

pelaksanaannya. Hanya saja yang perlu diingat adalah bahwa ketika

berbicara mengenai filosofi, dalam ideal state of social order bersandar

pada konstitusi sehingga seharusnya metode yang diperkenalkan bukan

hanya pengguntingan, penyederhanaan, penggabungan dengan

menggunakan metode eklektif tetapi dapat dilihat sebagai sebuah peluang

untuk memberlakukan atau membadankan atau konstitusionalisasi

peraturan perundang-undangan. Kenapa konstitusionalisasi? Karena

konstitusionalisasi merupakan sebuah bangunan ( fundamental frame

3
work) di dalam tatanan kebernegaraan. Artinya apa lebih dari dari 1.250

pasal yang menjadi objek undang-undang cipta kerja tinggal

dikoherensikan saja dengan konstitusi sebagai dasar / fondasi bernegara,

karena konstitusi merupakan sumber dari segala sumber peraturan

perundang undangan sehingga sudah seharusnya setiap undang-undang

menyandarkan dirinya pada konstitusi sebagai sebuah fondasi tadi.

C. Kontroversi Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Undang-

Undang Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat.

Berangkat dari pengertian inkonstitusional bersyarat ( conditionally

unconstitusional) yang dipahami sebagai suatu peraturan perundang-

undangan itu dinyatakan inkonstitusional apabila tidak dapat memenuhi

persyaratan tertentu pada waktu yang ditentukan. Jika melihat pada

struktur putusan Mahkamah Konstitusi, undang-undang cipta kerja yang

dirumuskan melalui metode omnibus law dinyatakan inkonstitusional

tetapi masih tetap diberlakukan. Jika dalam jangka waktu dua tahun

pemerintah tidak ada respon yang sepatutnya atau memadai untuk

memenuhi persyaratan yang dimaksudkan, maka undang-undang cipta

kerja diputuskan atau ditetapkan inkonstitusional. Adapun kontroversi /

4
kekeliruan undang-undang tersebut dapa dilihat dari beberapa aspek

sebagai berikut.

1) Kekeliruan dari aspek filosofis atau kekeliruan cara berfikir

hukum (juridisch denken).

Secara teoritik Putusan Mahkamah Konstitusi ini menimbulkan

ambiguitas, bagaimana mungkin bisa memberlakukan suatu norma

atau peraturan perundang-undangan yang dinyatakan inkonstitusional.

Harusnya jika mengacu pada juridisch denken (merupakan logika khas

yang digunakan oleh para sarjana hukum dengan berpondasikan pada

nilai, asas, konsep, dan sistem hukum yang ada diwilayah tertentu),

bahwa seluruh norma-norma atau peraturan yang diberlakukan di

tatanan praktek dikatakan valid apabila divalidasi oleh dogmatika

hukumnya, sebagai meta theory dari praktek hukum yang terjadi.

Dalam konteks ini, dalam tatanan dogmatika hukum, harusnya norma-

norma yang berlaku menjadi dasar Mahkamah Konstitusi dalam

memberlakukan putusan tersebut, dalam hal ini norma yang berlaku

tersebut secara normative adalah Undang-undang nomor 12 tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang

secara jelas menegaskan bahwa konstitusi adalah sebagai fondasi

5
(grundnorm) pemberlakuan undang-undang yang lain. Artinya bahwa

ketika suatu undang-undang dinyatakan inkonstitusional, maka sudah

jelas diketahui undang-undang tersebut bertentangan dengan

konstitusi. Sehingga menjadi aneh, jika suatu aturan yang

inkonstitusional tetap diberlakukan dengan persyaratan

(inkonstitusional bersyarat) yang jelas-jelas tidak sesuai dengan

konstitusi sebagai norma dasar.

Dalam teori hukum, suatu undang-undang itu tidak bisa dikatakan

berlaku sebagian ataupun berlaku dengan persyaratan atau syarat-

syarat tertentu. Menurut Jaap Hage, filsuf pada Maastricht University

Law School, harusnya suatu norma itu solid. Harus benar semunya

atau salah semuanya. Tidak bisa dinyatakan benar di dalam proses

namun salah dalam substansi ataupun sebaliknya. Konsep ini dikenal

sebagai holistik. Jika dikaitkan dengan pemberlakuan Putusan

Mahkamah Konstitusi yang inkonstitusional bersyarat tersebut, maka

cara berfikir ini tidak mendapat tempat atau tidak diapresiasi karena

adanya benturan atau ketidaksesuaian cara berfikir hukum. Mengacu

pada pandangannya Meuwissen, harusnya suatu aturan yang

diassessment atau direview oleh Mahkamah Konstitusi meletakkan

konstitusi sebagai fondasi atau batu ujinya. Undang-undang cipta kerja

6
yang dinyatakan inkonstitusional dengan tegas Mahkamah Konstitusi

menyatakan inkonstitusional. Tidak ada free area atau keragu-raguan

di dalamnya.

2) Kekeliruan dari aspek epistimologi.

Putusan Mahkamah Konstitusi ini juga bertentangan dengan

konsep foundationalism in epistemology. Menurut konsep ini, norma

dapat dilihat sebagai sebuah bangunan rumah yang utuh. Ada atap

dan bidang-bidang yang lainnya. Atap sebagai bagian tertinggi

bersandar pada layers di bawahnya, layers di bawahnya bersandar

pada layers berikutnya, begitu seterusnya hingga ditemukan ada satu

layers yang tidak bersandar atau bergantung pada layers manapun,

layers ini dekenal sebagai fondasi. Menurut Jaap Hage, fondasi dalam

norma adalah sumber hukum. Mengacu pada system norma di

Indonesia, harusnya konstitusi ditempatkan sebagai fondasi dari

segala norma, sehingga suatu norma atau undang-undang dinyatakan

inkonstitusional, maka secara jelas dan pasti bertentangan dengan

konstitusi karena tidak mengacu pada fondasi atau tidak bersandar

pada sumber hukum sebagai fondasi. Jika dianalogikan ke dalam

sebuah bangunan rumah, jika salah satu bagian dari beberapa bagian

7
rumah itu tidak sesuai dengan fondasi atau fondasinya tidak kuat,

maka bisa dipastikan bangunan rumah tersebut akan runtuh. Demikian

halnya dengan undang-undang cipta kerja yang memiliki derivat-

derivat karena sebelum dinyatakan inkonstitusional telah dilakukan

penyesuaian dari norma-morma yang ada ditingkat pusat hingga

daerah. Keadaan seperti ini akan menimbulkan masalah ketidakpastian

hukum yang berakibat pada terjadinya inkonsistensi, inkoherensi dan

anarkisme pada tataran praktis. Tentu hal ini berimplikasi sangat

serius bagi tatanan hukum di Indonesia.

Mengacu pada konsep foundationalism in epistemology, harusnya

Mahkamah Konstitusi sebagai the truth guardian of constitution

menegakkan konstitusi bukannya memberikan ruang-ruang

interpretasi baru (free area) terhadap undang-undang cipta kerja atau

peraturan lainnya yang baik secara proses maupun substansi

dinyatakan inkonstitusional.

3) Kekeliruan dari aspek aksiologi atau tidak sesuai dengan

konsep koherensi.

Kata kunci untuk menemukan atau menguji kebenaran dari sebuah

norma adalah adanya kekoherensian. Hal ini erat kaitannya untuk

8
menguji kevaliditasan suatu norma. Mengapa harus norma valid?

Karena norma yang validlah yang memiliki keefektivitasan dan

keberlakuan. Norma yang memiliki efektivitas keberlakuan yang

harusnya diuji. Ukuran dari norma memiliki efektivitas keberlakuan

adalah adanya validitas. Validitas yang dimaksudkan disini memiliki

satu karakteristik tunggal dalam teori hukum yang dikenal sebagai self

explanatory, yang merupakan kemampuan dari norma untuk

menjelaskan kepada publik bahwa ia benar dalam dirinya sendiri.

Didalam hukum, self explanatory ditandai dengan adanya

kekoherensian yang mengandung tiga elemen penting yakni adanya

konsistensi, comprehensiveness, adanya korelasi antar komponen

yang saling mendukung atau saling menguatkan.

Melihat putusan undang-undang cipta kerja yang dinyatakan

inkonstitusional namun masih berlaku, ini menunjukkan tidak adanya

konsistensi, karena dalam struktur putusannya sendiri saling

menegasikan satu sama lain. Dengan kata lain antara komponen

konstitusi dengan komponen pelaksanaannya tidak berkorelasi untuk

saling mendukung dan menguatkan antar komponen. Undang –

undang cipta kerja selaku objek yang diuji bertentangan dengan

konstitusi sebagai “batu” pengujinya sehingga menimbulkan

9
ambiguitas. Bagaimana mungkin dalam struktur suatu putusan disatu

sisi dinyatakan inkonstitusional namun disisi yang lain dinyatakan tetap

berlaku. Sehingga seperti disampaikan sebelumnya, situasi ini dapat

menimbulkan multi tafsir, ketidakpastian hukum, dan potensi

timbulnya anarkisme di dalam pengembanan dan pelayanan publik

ditingkat bawah terkait dengan penerapan undang-undang cipta kerja

ini.

Di dalam menetapkan atau menguji sebuah norma harus dilakukan

secara solid. Sebuah norma jika dinyatakan benar harus benar

semuanya atau jika dinyatakan salah maka harus salah seluruhnya.

Tidak bisa sebuah norma dinyatakan salah diproses kemudian benar

disubstansi atau sebaliknya. Sebuah norma tidak saja pada proses dan

substansi atau tujuannya yang benar, namun harus dilihat lebih jauh

mulai dari tahap perumusannya. Jika pada tahap perumusan saja

ditemui ada persoalan, seharusnya dapat disimpulkan bahwa tidak

mungkin dapat ditemukan kebenaran pada proses selanjutnya. Dalam

sebuah norma berlaku konsep holistik. Tidak bisa berlaku sebagian

atau tidak berlaku sebagian, tidak bisa benar sebagian atau salah

sebagian. Keberlakuannya harus menyeluruh.

10
Menurut Lon F. Fuller, seorang professor hukum berkebangsaan

Amerika, dalam bukunya morality of law menyatakan bahwa

keberlakuan norma tidak saja memenuhi moralitas kewajiban, norma

juga harus bersandar pada nilai yang lebih tinggi di atasnya. Berbicara

undang-undang cipta kerja, harusnya bersandar pada konstitusi

sebagai nilai tertinggi. Selain itu Fuller juga menyatakan bahwa norma

harus memenuhi moralitas internal yang berkaitan dengan prosedur

atau tata cara. Norma harus berlaku secara menyeluruh, termasuk

pada proses pengujiannya harus solid, sebelum sebuah norma

diberlakukan baik dalam proses maupun substansinya harus solid,

hingga dapat ditarik kesimpulan sebuah norma dapat dinyatakan

berlaku atau tidak. Jika dikaitkan dengan undang-undang cipta kerja,

oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan inkonstitusional di dalam

prosesnya, sehingga dirasa tidak mungkin untuk mencapai nilai

kebenaran pada tahap substansinya. Tujuan dan cara harus berkaitan

secara etis. Secara logis tidak mungkin dinyatakan benar pada tahap

kedua, sementara dengan secara sadar melakukan kesalahan pada

tahap pertama. Artinya bahwa pada tatanan proses atau cara telah

terbukti dan secara sadar telah dilakukan kesalahan dan pemerintah

juga telah mengakui adanya kesalahan itu, sehingga tidak mungkin

11
untuk mencapai nilai kebenaran pada tahap tujuannya. Harusnya

proses atau cara-cara itu sendiri dapat membuktikan kebenaran dari

tujuan atau substansinya itu.

D. Solusi Terhadap Kontroversi Putusan Mahkamah Konstitusi

Tentang Undang-Undang Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat.

Dalam konteks undang-undang tenaga kerja, hendaknya pemerintah

tidak menggunakan terminologi omnibus law, tetapi lebih kepada kembali

ke konstitusi. Satu-satunya cara untuk menjaga koherensi suatu peraturan

perundang-undangan adalah dengan cara mengkonstitusionalkan

peraruran perundang-undangan itu. Konstitusionalisasi merupakan upaya

yang ditujukan untuk menjaga dan memelihara kekonsistensian

pelaksanaan dari konstitusi itu sampai pada tingkat yang paling bawah.

Pemerintah memiliki cukup power untuk menjaga konstitusi sampai pada

tingkat yang paling dasar, karena konstitusi merupakan sumber hukum

yang tertinggi. Dalam konteks ini pemerintah berhak melakukan tindakan

apapun yang dirasa perlu dalam hal pencabutan, penghapusan,

penggantian atau tindakan lain untuk menjaga kekonsistensian konstitusi

12
terhadap norma-norma atau nilai-nilai yang dianggap bertentangan

dengan nilai-nilai konstitusi itu. Berdasarkan cara berfikir hukum, tidak

dikenal istilah omnibus law yang memotong-motong, menyederhanakan,

menggabungkan, memadatkan suatu norma, karena cara berfikir hukum

landasannya adalah konstitusi. Sehingga sungguh hal yang ironis jika

melihat Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi justru tidak

menggunakan konstitusi itu sebagai back bone di dalam pengembanan

amanah publik untuk menjaga dan menegakkan konstitusi.

Melihat begitu banyaknya kritikan, pertanyaan maupun masukan

terkait putusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan undang-undang

cipta kerja inkonstitusional bersyarat sehingga diperlukan suatu solusi

untuk menempatkan atau mengapresiasi putusan tersebut dalam konteks

teori. Mengukur kekonsistensian suatu undang-undang tidak cukup pada

tataran pelaksanaannya saja, tetapi mulai dari tahap penggalian,

pemformulasian, pengkonstruksian, perumusan hingga pelaksanaan

bahkan sampai kepada tahap impact dari diberlakukannya undang-

undang tersebut. Semua proses itu harusnya koheren dengan konstitusi

sebagai norma tertinggi. Tidak bisa melihat kekoherensian undang-

undang pada tahap pelaksanaannya saja namun harus holistik atau secara

menyeluruh. Walaupun semua proses ini tidak mudah.

13
Mengkonstitusionalisasi undang-undang cipta kerja dengan konstitusi

sebagai fondasi dasar terhadap seluruh cara atau proses hingga

substansinya dengan prinsip-prinsip koherensi merupakan langkah solutif

untuk mencegah ambiguitas publik, terjadinya multi tafsir hingga

mencegah terjadinya ketidakpastian hukum atau anarkisme di tataran

praktik pengembanan norma tersebut. Untuk menjaga marwah

Mahkamah Konstitusi, maka dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut :

a. Memperkuat peran dan tanggungjawab Mahkamah Konstitusi sebagai

The truth guardian of constitution.

b. Mengenalkan terminologi atau mengintrodusir konsep

mengkonstitusionalisasikan peraturan perundang-undangan yang

diametrik atau bertentangan dengan konstitusi sebagai fondasi atau

norma tertinggi melalui konsep pengkoherensian dengan tiga elemen

pentingnya yakni adanya konsistensi, comprehensiveness, adanya

korelasi antar komponen yang saling mendukung atau saling

menguatkan.

14

Anda mungkin juga menyukai