Anda di halaman 1dari 4

Yuk!

Bank Bikin “Celengan Semar” di Tengah Wacana


Jabatan Presiden Tiga Periode
 Rezkiana Nisaputra
 September 7, 2021
Oleh: Eko B Supriyanto, chairman Infobank institute
MENCEGAH bahaya lebih baik dari mengejar manfaat. Demikian kata seorang bijak yang sering
kita dengar. Janganlah mengobral kredit jika risikonya besar, yaitu macet. Bank-bank sekarang
memang sedang tak terlihat sakit. Semua tampak baik-baik saja. Tampak cantik berkat “lipstick”
berupa relaksasi restrukturisasi kredit.

Itu tak lain karena relaksasi kredit yang diluncurkan OJK. Apalagi situasi mendatang juga penuh
ketidakpastian akibat kapan pandemi COVID 19 ini berakhir. Plus wacana amandemen UUD
1945 — yang kabarnya akan memperpanjang jabatan presiden hingga tahun 2026. Atau,
menjadi tiga periode. Jelas ini juga akan menambah risiko ketidak pastian bagi bank. Ada yang
menyebut anti reformasi, dan tentu jika benar akan menimbulkan banyak tantangan dari mereka
yang pro demokrasi, dan tentu ini menjadi risiko bagi dunia usaha dan tentunya bank.

Awalnya setahun. Lalu dua tahun, dan akhirnya tiga tahun hingga Maret 2023. Tulisan ini
membayangkan akhir cerita restru di Maret 2023 mendatang. Apa yang bakal terjadi? Tidak ada
yang tahu pasti, karena Pandemi COVID-19, meski sudah landai di awal Agustus 2021 ini,
namun belum dikatakan sebagai endemic. Masih Pandemi. Jadi masih was-was, penuh
ketidakpastian.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali membuat balied baru perpanjangan


restrukturisasi kredit. Balied ini adalah penolong penting dalam bisnis perbankan.
Tanpa restru, banyak bank yang akan “lempar handuk” minta tambah modal.
Apalagi, dengan PSAK 71 diperlukan bantalan modal yang sudah tentu lebih besar
dari sebelum adanya Pandemi COVID-19 ini.

Jika memperhatikan kinerja bank, tampaknya tak perlu dirisaukan. Dibandingkan


krisis sebelumnya, baru kali ini kondisi perbankan tampak adem ayem, taka da yang
kekeringan likuiditas. Semua tambah basah likuiditas meski suku bunga sangat
rendah. Jadi, kinerja perbankan sekarang ini jauh lebih baik.

Tidak hanya soal likuiditas. Tapi, juga soal modal, rentabilitas yang masih mampu
mencetak net interest margin (NIM) meski kredit seret adanya. Satu-satunya
problem perbankan adalah disfungsi intermediasi. Juga, soal bahaya laten non
performing loan (NPL) dari kondisi ekonomi yang masih belum pulih.

Menurut catatan Infobank Institute, angka NPL bank masih rendah dan terkendali.
Angka NPL tak sampai 4%. Hanya yang paling menakutkan adalah soal besarnya
Loan At Risk (LAR). Potensi LAR yang akan menjadi NPL bisa saja rendah, dan bisa
saja tinggi, atau moderat. Tergantung kondisi ekonomi mendatang.

Ekonomi yang membaik sudah pasti akan membuat bank-bank aman. Namun jika
kondisi ini sampai pertengahan tahun 2022 mendatang, maka dag-dig-dug akan
kembali muncul. Soalnya, mendekati batas akhir program restru kredit. Jika tidak
dilakukan perpanjangan maka ada dua kemungkinan besar. Posisi LAR akan
menjadi NPL dan atau bank-bank akan menambah kredit baru agar bisa kembali
hidup.
Lihat saja loan at risk (LAR) bank-bank, meski mulai menurun angka restrukturisasi
kredit, tapi angkanya masih membuat was-was para bankir. Angka LAR mencapai
22%-23% (baik karena Covid-19 maupun tidak). Jika menghitung LAR karena Covid-
19 mencapai 14-15% selama tahun 2020-2021 (Juli 2021). Angka LAR itulah yang
menjadi bom waktu. Rasa dag-dig-dug selalu saja ada, karena bisa turun menjadi
non performing loan (NPL).

Meski LAR turun menjadi NPL, tapi jika kondisi ekonomi normal tak masalah. Bank-
bank bisa menambah kredit dengan deras. Akibatnya tentu NPL juga akan mengecil
dengan sendirinya. Tidak perlu tehnik yang canggih – menambah kredit artinya
menambah penyebut sehingga NPL turun secara otomatis.

Skenario  Kredit Bank: Moderat

Pertanyaannya; apakah kredit akan mengucur deras sepanjang tahun 2023 – ketika
batas akhir restrukturisasi kredit?

Ada tiga skenario. Satu, kredit akan mengucur tidak sampai 5% hingga akhir tahun
2022 mendatang. Alasannya, kerusakan dunia usaha akibat Pandemi jika sampai
triwulan I tahun 2021 belum selesai, tidak serta merta dunia usaha kembali
bergairah. Selama kenormalan baru membuat dunia usaha juga sangat selektif
melakukan ekspansi. Jadi, kredit akan moderat di angka 5% hingga akhir tahun
2022.

Skenario dua, LAR akan menjadi NPL ketika dunia usaha benar-benar remuk –
dimana skenarionya tetap akan menjalankan PPKM. Ketidak pastian yang tinggi,
dan dunia usaha yang sudah direstru tiga kali  sulit hidup kembali. Adanya
penambahan kredit yang dilakukan akan sia-sia.

Skenario tiga, ketika kredit akan mengucur pada angka hingga 10%. Sudah tentu
catatanya ketika tidak ada PPKM dan Covid benar-benar bablas. Pada akhir tahun
2021 asumsinya kondisi kembali normal. Namun kemungkinan skenario ketiga sulit
terjadi. Banyak yang menyebut skenario kredit tumbuh 10% sulit terjadi.
Pengalaman sejak tahun 2015 kredit sulit tumbuh di atas 10%.

Jadi, skenario yang paling memungkinkan adalah di mana kredit akan tumbuh pada
kisaran 5% hingga tahun 2022 mendatang. Bank-bank dalam kondisi mencuci kredit
macetnya dengan penuh konsentrasi. Tidak langsung gegabah mendorong kredit,
karena permintaan kredit rendah di masa-masa Pandemi dan bahkan pada posisi
pertumbuhan 7,07% di Semester I tahun 2021, kredit hanya tumbuh tak sampai 1%.

Sejak Juni 2020, pertumbuhan kredit minus. Nah, baru Juni 2021 lalu bergerak
positif 0,59%. Ada optimisme karena pertumbuhan ekonomi Semester I/2021 juga
7,07%. Sayangnya, PPKM Darurat menyebabkan mobilitas orang terganggu. Yang
mau beli takut, yang jualan tidak laku. Jadi, kegiatan ekonomi terganggu. Sejumlah
usaha gulung tikar.

Kredit pun hanya tumbuh 0,50% (YoY). Melambat dari 0,59% menjadi 0,50%. Jujur
saja perlambatan ini sangat tipis, karena PPKM Darurat dampaknya tidak seperti
ketika diberlakukan PSBB di tahun 2020 lalu. Bisa jadi masyarakat sudah
menemukan keseimbangan. Namun memang angka kredit tidak sangat leluasa
ketika Triwulan 2 yang ketika ekonomi tumbuh 7,07%, kredit hanya tumbuh 0,59%.

Menurut data Infobank Institute yang diolah dari Bank Indonesia, per Juli 2021, kredit
konsumen tetap mengamai kenaikan lebih tinggi (2,40%). Kredit komersial yang
masih dalam anjloknya minus 2,12%, dan kredit korporasi minus 0,5%. Sementara
kredit UMKM masih dapat tumbuh.

Ada hal yang perlu digaris bawahi. Selama ini pemerintah sangat konsen terhadap
kredit UMKM. Namun yang perlu dipikirkan juga kredit komersial dan korporasi yang
juga akan berdampak pada daya dorong pertumbuhan ekonomi. Pilihan sektor
korporasi yang padat karya dapat juga membantu pemerintah penciptaan lapangan
kerja.

Memperbesar “Celengan Semar”, Untuk Apa?

Namun yang paling penting dilakukan di masa-masa restrukturisasi ini. Satu, tetap
menjaga likuiditas agar ketika kenaikan suku bunga di AS tidak membuat bank-bank
tersapu karena dananya terbang. Dua, yang paling memungkinkan tetap menjaga
kualitas aset dengan baik. Jika terjadi pemburukan maka lebih penting yang
dilakukan adalah membuat “Celengan “Semar” atawa pencadangan yang lebih
besar. Pilihan, ketiga sedikit mengorbankan perolehan laba.

Dan, tentu dalam masa-masa sekarang, mencari cost of fund yang rendah juga
penting, karena dapat disekolahkan sementara di Surat Berharga Negara (SBN)
yang masih punya yield yang masih relatif tebal.

Sementara bagi bank yang modalnya cekak, selain memikirkan kredit restru juga
memikirkan tambahan modal. Apalagi bagi bank-bank yang belum memenuhi modal
minimum Rp2 triliun di akhir tahun 2021, dan 2022 sebesar Rp3 triliun. Masih ada
belasan bank yang modalnya di bawah Rp3 triliun. Sekarang saat yang tepat bagi
pemilik bank untuk memutuskan, menambah modal atau menjual banknya –
mumpung banyak investor yang menjadi alap-alap dengan membeli bank untuk
dijadikan bank digital.

Sepanjang masa restruktursasi kredit ini, mari kita menjaga agar para debitur bisa
hidup kembali dan tidak jatuh menjadi NPL secara bersama-sama. Bank-bank sudah
berkorban melakukan restrukturisasi maka debitur tidak melakukan moral hazard
dengan berpura-pura macet dengan alasan Pandemi COVID-19.

Mari sejenak melupakan untung yang besar, dan lebih baik membuat “celengan
semar” lebih besar. Cuaca bank ke depan masih samar-samar, dan cenderung berat
karena kerusakan dunia usaha akibat Pandemi COVID-19. “Celengan semar”
dibutuhkan untuk mengcover risiko kredit yang akan jatuh menjadi NPL.

Situasi makin tidak pasti – karena kalangan bankir pun juga was-was tentang kondisi
politik belakangan ini. Apa itu? Soal wacana amandemen UUD 1945 tentang masa
jabawan presiden tiga periode. Atau, melakukan amandemen masa jabatan
presiden, DPR, MPR dan DPD  hingga tahun 2026. Jelas ini akan memberi warna
penting – paling tidak menjadi tambahan risiko ketidakpastian. Terlepas dari itu
kuda-kuda yang paling baik yang membuat pertahanan dengan membuat “Celengan
Semar” yang dapat mengcover risiko yang akan muncul dengan sejenak
mengorbankan perolehan laba hingga tahun 2023 mendatang. (*)

Anda mungkin juga menyukai