Anda di halaman 1dari 12

HUBUNGAN INDONESIA-BELANDA A

HINDIA BELANDA DALAM KAARTENALBUM LAURENTIUS


WALTHERUS KLERKX

Disusun Oleh :

Nastiti Swasiwi Nurfiranti

2106655803

PROGRAM STUDI SASTRA BELANDA

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

UNIVERSITAS INDONESIA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seorang penulis asal Belanda, Thera de Jonge (2008), mewarisi sebuah kaartenalbum
milik kakeknya yang bernama Laurentius Waltherus Klerkx. Ia lahir pada 6 April 1894,
tepatnya di desa Besoyen yang kini adalah Waalwijk, Brabant Utara. Ia pernah singgah dan
tinggal di Hindia Belanda bersama dengan istri dan kedua anaknya. Melalui kaartenalbum
tersebut, dapat dilihat kembali suasana Hindia Belanda pada masa itu dan perjalanan hidup
dari sang kakek yang berprofesi sebagai seorang guru di Batavia.
Dalam kaartenalbum milik Laurentius Waltherus Klerkx, terdapat beberapa
dokumentasi keluarga yang diabadikan di berbagai daerah Hindia Belanda. Selain itu,
terdapat juga foto reisbiljet (karcis perjalanan), asuransi, hingga paspor untuk perjalanan
ke Hindia Belanda.

1.2 Penelitian Sebelumnya


Sophie Junge (2019) melakukan penelitian mengenai praktik pertukaran produksi dan
penerimaan picture postcards dari Hindia Belanda. Selain itu, penelitian tersebut juga
menjelaskan fungsi dari picture postcard, yang mana serupa dengan kaartenalbum. Picture
postcard bertujuan untuk menyebarluaskan politik Kerajaan Belanda pada masanya. Di
samping itu, picture postcard juga menggambarkan suatu negara koloni dan memenuhi
ekspektasi masyarakat Eropa mengenai sebuah negara koloni yang sempurna di Asia
Tenggara. Hal tersebut terjadi pada kisaran tahun 1880-1930.
Kesimpulan dari penelitian Sophie Junge (2019) adalah picture postcards sebagai
pencetak uang bagi bisnis lokal seperti studio foto dan toko percetakan pada masa itu. Pada
penelitian yang telah dilakukan Sophie Junge (2019), terdapat beberapa foto yang
merupakan picture postcards dari Surabaya, tetapi tidak disertai dengan kisah dari gambar-
gambar tersebut.

2
1.3 Rumusan Masalah
Penulis merumuskan permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan atau kisah dari
suatu dokumentasi pada kaartenalbum milik Laurentius Waltherus Klerkx. Permasalahan
tersebut adalah “Bagaimana Laurentius Waltherus Klerkx Mengisahkan Hindia
Belanda dalam Sebuah Kaartenalbum?”, yang kemudian akan diikuti pula dengan
beberapa pertanyaan penelitian.

1.4 Pertanyaan Penelitian


Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, terdapat pula beberapa pertanyaan
penelitian. Pertanyaan tersebut terdiri atas :
• Bagaimanakah kisah Laurentius Waltherus Klerkx selama menetap di Hindia
Belanda?
• Apakah kaartenalbum milik Laurentius Waltherus Klerkx memiliki arti tersendiri
bagi keluarganya?

1.5 Data dan Metode yang Digunakan


Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis menggunakan sumber sekunder
berupa buku yang berjudul “De lange schaduw van Nederlands-Indië: over het leven van
Laurentius Waltherus Klerkx (1894-1983)” karya Thera de Jonge (2008). Buku tersebut
membahas lengkap mengenai perjalanan Laurentius Waltherus Klerkx dari Belanda
menuju Hindia Belanda. Metode yang akan digunakan dalam menganalisis data adalah
metode sejarah.

3
BAB II

ISI

2.1 Biografi Laurentius Waltherus Klerkx


Laurentius Waltherus Klerkx dilahirkan pada 6 April 1984 di desa Besoyen, Brabant
Utara. Kedua orang tuanya memiliki sebuah toko daging. Ia merupakan anak kedua dan ia
pun dipercaya untuk menjaga seorang adik laki-lakinya yang masih sangat kecil.
Di masa kecilnya, Klerkx memiliki kebiasaan bermain sepak bola bersama dengan
teman-teman di lingkungannya. Dalam permainan tersebut, ia berperan sebagai seorang
penjaga gawang. Meskipun demikian, ia tidak melupakan kewajibannya untuk mengurus
sang adik. Ia membawa adiknya yang masih berada di kereta dorong bayi ketika ia bermain.
Saat sudah waktunya untuk mengurusi adiknya, ia pun meminta teman-temannya untuk
berhenti sebentar. Mereka lalu menunggu Klerkx kecil dengan penuh pengertian. Setelah
itu, mereka pun kembali melanjutkan permainannya.
Klerkx memiliki keahlian dalam berhitung. Di usianya yang masih berumur 6 tahun,
ia dikirim untuk mengantarkan pesanan bersama dengan kenek. Setiap hari Sabtu, ia
mengendarai kereta kuda di Langstraat. Ia juga memastikan apakah semuanya telah
dihitung dengan benar karena kenek tersebut tidak begitu pandai dalam berhitung.
Setelah mengenyam pendidikan di lagere school (sekolah dasar), Klerkx kemudian
melanjutkan pendidikannya ke kweekschool (sekolah keguruan) di Den Bosch. Ketika ia
sedang mengerjakan pekerjaan rumahnya (PR), ayahnya selalu memanggilnya untuk
membalikkan sosis sepanjang dua kilometer. Ibunya memprotes apa yang telah dilakukan
suaminya tersebut karena sang anak tengah memiliki pekerjaan rumah (PR). Namun, bagi
Klerkx, hal tersebut bukan merupakan suatu masalah dan ia tetap dapat belajar dengan baik.
Ia membawa bukunya dan kemudian membacanya sembari ia membalikkan sosis. Ia dan
adik laki-lakinya dididik untuk menjadi guru. Namun, sang adik justru membuka sebuah
toko buku bersama istrinya.
Ketika terjadi Algemene Mobilisatie1 pada peristiwa Perang Dunia I, Klerkx
ditempatkan di wilayah bagian utara Belanda. Di sana, ia merasa jenuh dan kerap kali
menjalankan perintah dengan tidak baik. Pada tahun 1917, datanglah suatu kesempatan,
yang mana ia dapat langsung meninggalkan tempat tersebut, tetapi ia harus bersedia
menjadi seorang guru di Hindia Belanda. Klerkx lalu membicarakannya dengan

1
Suatu tindakan yang dilakukan pemerintah dengan menempatkan tentara dalam kesiapan untuk perang yang
akan datang.

4
tunangannya yang bernama Anne Maria Dielissen dan mereka tidak merasa ragu sama
sekali. Kedua orang tua dari Anne merasa tidak senang dengan apa yang telah mereka
putuskan. Mereka tidak membiarkan Anne untuk berangkat dan tidak pula menyetujui
pernikahan mereka. Anne lalu mengadu kepada seorang pastor penerima pengakuan dosa.
Hal ini menunjukkan kepada kedua orangtuanya bahwa sekali mereka telah memberikan
persetujuan untuk pertunangan, maka mereka tidak dapat lagi melarang pernikahan.
Pada 15 Februari 1917, akhirnya Laurentius Waltherus Klerkx menikah dengan Anne
Maria Dielissen di Besoyen. Namun, keluarga dari sang istri tidak menghadiri acara
pernikahan tersebut.
Pada 8 Desember 1917, Klerkx dan istrinya tiba di Batavia. Dua puluh hari kemudian,
sang istri melahirkan anak pertamanya, Frans, di sebuah rumah sakit militer Weltevreden,
Batavia.

Klerkx beserta dengan istri (Anne) dan kedua anaknya (Frans en Ad)
(Thera de Jonge, 2008, h.12)

Klerkx memulai kehidupannya sebagai kepala sekolah Hollands-Indische school2 di


Meester Cornelis (Jatinegara), Batavia. Seluruh peserta didik barunya hanya berbicara
bahasa Jawa, tetapi Klerkx berbicara bahasa Belanda. Para rekan kerjanya merupakan
orang-orang pribumi yang mahir dalam kedua bahasa tersebut. Klerkx memiliki kelas enam
sendiri dan juga mengajar bahasa Belanda untuk para siswa kelas satu. Dalam sebulan,

2
Hollands-Indische school atau Hollandsch Inlandsche School (HIS) adalah sekolah Belanda untuk bumiputra di
era Hindia Belanda. HIS pertama kali berdiri pada 1914.

5
Klerkx menerima gaji sebesar 200 gulden3. Dari gaji tersebut, ia menyisihkan 100 gulden
untuk biaya sewa tempat tinggalnya. Selain itu, Klerkx juga harus memiliki enam setelan
linen putih. Ia dan sang istri kerap membeli sekeranjang penuh buah-buahan khas Jawa,
misalnya dukuh, dengan harga sepeser pun untuk menyenangkan hati.
Ketika wabah kolera melanda Hindia Belanda, Klerkx tertular penyakit tersebut dan
kondisinya cukup parah. Berbulan-bulan ia harus dirawat di rumah sakit. Setelah sekian
lama berjuang melawan penyakit kolera, Klerkx akhirnya pulih. Namun, tak lama setelah
itu, ia terjangkit penyakit disentri.
Selama di Hindia Belanda, Klerkx dan keluarganya kerap kali berpindah dari suatu
daerah ke daerah yang lain. Pada hari itu, Klerkx dan keluarganya berpindah ke Salatiga
dan di sanalah lahir anak kedua mereka yang bernama Ad. Selanjutnya, mereka berpindah
lagi ke Wonogiri dan akhirnya memiliki rumah di Magetan sebelum Klerkx mengambil
cuti pertamanya di tahun 1923.
Ketika zaman penjajahan Jepang, Klerkx sempat dibawa ke penjara Bubutan4 di
Surabaya. Setelah itu, ia dibawa lagi menuju Ngawi, Fort Van den Bosch5 dan tempat
tahanan terakhirnya berada di Cimahi.
Pada 1946, Klerkx kembali pulang ke Belanda. Setibanya di Amsterdam, ia lalu
dibawa dengan taksi menuju ke Nijmegen. Di sana, Klerkx menjadi seorang pria yang sakit-
sakitan. Ia bahkan tidak bisa lagi duduk di kursi. Klerkx sangat kekurangan gizi dan tidak
memiliki penghasilan. Pada 6 Maret 1983, akhirnya ia menghembuskan napas terakhirnya
dan jasadnya pun dikremasi.

3
Mata uang resmi yang digunakan oleh Belanda sebagai alat pembayaran sah hingga tahun 2002 sebelum
digantikan Euro.
4
Bernama lain Tangsi koblen yang didirikan pada tahun 1930 oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Di era
penjajahan Jepang digunakan sebagai benteng pertahanan dan penjara tawanan bagi tentara Belanda serta
masyarakat pribumi yang tidak mau tunduk kepada Jepang.
5
Bernama lain Benteng Pendem yang berdiri pada tahun 1839-1845 dan dibangun pada masa kekuasaan
Jendral Johanes Van Den Bosch.

6
2.2 Kisah dari Kehidupan Laurentius Waltherus Klerkx di Hindia Belanda
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Klerkx mendapatkan cuti pertamanya di
penghujung tahun 1923. Ia dan keluarganya lalu memutuskan untuk kembali ke Belanda.
Dari Magetan, mereka menuju ke sebuah pelabuhan di Semarang dan kemudian berlayar
dengan perahu K.P.M. (Koninklijke Paketvaart Maatschappij)6 ke Batavia. Klerkx beserta
keluarganya akan menginap di suatu hotel sebelum akhirnya meninggalkan Hindia
Belanda. Mereka berangkat dengan menaiki kapal uap Koningin der Nederlanden jurusan
Amsterdam.
Pada Juli 1924, Klerkx dan keluarganya melakukan perjalanan lagi menuju Batavia.
Setibanya di sana, mereka lalu berlayar ke Kupang, pulau Timor. Baboe Sina, seorang
pelayan yang mengabdi untuk keluarga Klerkx, juga ikut serta pergi ke Kupang bersama
dengan keluarganya. Namun, ia tidak terbiasa dengan Timor dan merindukan kampung
halamannya di Jawa. Akhirnya, baboe Sina dan keluarganya memutuskan untuk kembali
ke Jawa. Klerkx membiayai perjalanannya tersebut. Anak dari Klerkx, Frans, harus
mengucapkan salam perpisahan kepada baboe Sina yang tercinta. Setelah berpisah, Klerkx
dan keluarganya hilang kontak alias tak pernah lagi berkomunikasi dengan baboe Sina
karena ia tidak dapat membaca dan menulis.

Klerkx beserta dengan istri (Anne) dan kedua anaknya (Frans en Ad) di beranda rumah
(Thera de Jonge, 2008, h.23)

Di tahun-tahun ketika Klerkx memberikan pelajaran di Europese school, ia


memperhatikan bahwa anak-anak berdarah Cina mahir dalam berhitung. Di sisi lain, anak-
anak berdarah Jawa memiliki kelebihan dalam menggambar atau melukis. Mereka dapat

6
Perusahaan pelayaran Belanda yang memegang hak monopoli atas pelayaran antarpulau di Indonesia sejak
1890.

7
membuat suatu gambar yang luar biasa indah dibandingkan dengan gambar yang dibuat
oleh anak-anak Eropa.
Sekitar tahun 1926, Klerkx dan keluarganya kembali ke Jawa. Mereka berpindah ke
daerah Majalengka, Jawa Barat. Di sana, mereka merupakan keluarga Belanda satu-
satunya. Daerah itu cukup menegangkan bagi Klerkx karena mereka tinggal tidak begitu
jauh dari kediaman Soekarno, yang selalu menginginkan kemerdekaan. Majalengka juga
merupakan tempat dimana anak ketiga dari Klerkx, Laura (ibu dari Thera de Jonge),
dilahirkan pada 13 Februari 1927.
Di Jawa, bahasa Jawa digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari. Bahasa Jawa
terbagi menjadi Hoog Javaans7 dan Laag Javaans8. Pada hari itu, Klerkx meminta kepada
kawan-kawan dan rekan-rekannya yang berdarah Jawa untuk berbicara dalam bahasa Laag
Javaans. Hal tersebut membutuhkan usaha yang cukup keras bagi Klerkx. Ia mempelajari
kata-kata dalam bahasa Jawa dengan cara menghafalkannya dan kemudian
mengucapkannya dengan keras. Sembari menggendong anak ketiganya, Laura, ia juga
membawa sebuah buku untuk mempelajari bahasa Jawa.
Setelah memperoleh ijazah berbahasa Jawa, Klerkx lalu mengajar di sekolah Jawa. Di
sana, ia mengajar sepenuhnya dalam bahasa Jawa. Pada mulanya, semua terasa sulit dan
Klerkx harus menuliskan kata demi kata di rumah sebelum ia memulai kelasnya.
Pada akhir tahun 1927, seperti biasanya, Klerkx dan keluarganya berpindah ke daerah
Purwokerto, Jawa Tengah. Namun, mereka hanya menetap selama setahun saja dan setelah
itu berpindah lagi ke Probolinggo, Jawa Timur. Ketika anak pertama dari Klerkx, Frans,
berusia dua belas tahun, ia mengalami penyakit tuberkulosis ringan. Karena hal tersebut
dapat berakibat fatal bagi anak-anak Eropa di daerah tropis, akhirnya Frans dipulangkan ke
Belanda bersama dengan seorang kawan dari keluarga Klerkx dan kemudian tinggal di
kediaman kakek dan neneknya.
Setahun kemudian, Klerkx beserta keluarganya berpindah kembali ke Purwokerto. Di
sana, mereka tinggal di sebuah rumah yang berada tepat di seberang sekolah Jawa. Di
sekolah tersebut, Klerkx menjadi seorang kepala sekolah. Ketika waktu istirahat, para siswa
di sekolah itu kerap membeli makanan dari pedagang lokal yang berada di halaman
sekolah. Klerkx lalu memberi tahu kepada para pedagang untuk menjajakan makanan yang

7
Bahasa Jawa dengan tingkatan tertinggi dan digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tinggi,
baik secara usia maupun kedudukannya.
8
Bahasa Jawa dengan tingkatan paling dasar dan digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih
muda atau yang kedudukannya setara dengan kita.

8
kaya akan vitamin. Ia merasa khawatir karena penyakit beri-beri masih mewabah akibat
kekurangan vitamin B pada masa itu. Klerkx memeriksa makanan yang dibawa para
pedagang tersebut secara teratur dan memastikan bahwa anak-anak mendapatkan makanan
yang mengandung vitamin.
Memasuki masa cuti kedua, Klerkx dan keluarganya pergi ke Belanda. Jika masa cuti
tersebut telah berakhir, mereka akan kembali lagi ke Jawa, tepatnya di daerah Blitar, Jawa
Timur. Di Blitar, mereka tinggal di sebuah rumah yang berada di samping sekolah guru
untuk para pemuda. Di belakang rumah Klerkx, terdapat sebuah asrama untuk para siswa
yang berasal dari daerah yang jauh. Di samping itu, terdapat halaman rerumputan di depan
sekolah, yang mana halaman tersebut dipelihara oleh orang-orang dari penjara dan berada
di bawah pengawasan seorang pengawas berdarah Jawa. Klerkx pernah bertanya kepada
salah seorang laki-laki mengenai penyebab ia ditahan di penjara. Laki-laki tersebut lalu
menjawab karena ia telah mencuri seekor kuda. Keduanya terlihat begitu akrab dan saling
bercerita. Sang pengawas hanya memerhatikan mereka dari kejauhan.
Klerkx selalu menghindari hal-hal yang berkaitan dengan politik. Ia berkata kepada
anak-anaknya bahwa masyarakat pribumi kelak akan menjadi masyarakat yang mandiri.
Oleh karena itu, penting bagi mereka untuk membaca dan menulis. Jika tidak, mereka akan
menjadi korban kediktatoran. Selain itu, Klerkx juga memiliki ketertarikan terhadap
budaya. Berdasarkan sistem pendidikan yang ada waktu itu, setiap siswa diberi kesempatan
dalam bidang kebudayaan. Mereka memiliki kelompok gamelan sendiri dan pertunjukan
wayang diadakan secara teratur di aula sekolah.
Pada tahun 1935, Klerkx dan keluarganya berpindah ke Makassar, Celebes (Sulawesi
Selatan). Ia juga membawa dua pelayannya, yakni baboe Mi dan djongos Karto. Di sana,
Klerkx tengah melanjutkan pendidikannya untuk mendapatkan sertifikat Tanah dan
Etnologi. Ia lalu mengikuti ujian di Batavia.
Pada tahun 1936, mereka tiba di Surabaya. Di sana, Klerkx menjadi seorang inspektur
yang bekerja untuk memeriksa sekolah-sekolah. Ia bekerja dari rumah selama seminggu
dan di luar rumah selama dua minggu. Pada suatu hari, Klerkx pergi ke Blitar untuk bekerja.
Setibanya ia di stasiun, terlihat seorang kusir yang melambaikan tangan kepadanya. Kusir
tersebut adalah orang yang kerap mengantar Laura, anak ketiga dari Klerkx, dengan
dokarnya. Mereka lalu saling berbincang. Sang kusir menanyakan kabar dari Laura. Klerkx
lalu memperlihatkan foto-foto anaknya kepada kusir. Begitu senangnya ia karena juga
diperbolehkan untuk menyimpan foto-foto tersebut di rumahnya.

9
Baboe Mi dan djongos Karto juga ikut bersama Klerkx ke Surabaya. Namun, mereka
harus kembali ke Blitar karena djongos Karto sedang sakit. Mengetahui hal tersebut, Klerkx
lalu mengatur dan membiayai perjalanan pulang mereka. Ketika baboe Mi dan djongos
Karto mengucapkan salam perpisahan, Laura merasakan kesedihan yang mendalam.
Seiring berjalannya waktu, Klerkx telah menjadi kepala Departemen Pendidikan,
yang secara struktur posisinya tepat di bawah gubernur Jawa Timur. Ia mengembangkan
sebuah metode untuk mengajari orang dewasa yang buta aksara agar mampu membaca dan
menulis. Ia melatih para guru yang dikhususkan pada bidang tersebut serta mendirikan
perpustakaan dan sekolah.
Ketika Laura berusia sebelas tahun, sang ibu alias Anne, memiliki masalah dengan
penyakit jantungnya. Di samping itu, Klerkx merasa ragu untuk menyerahkan Laura ke
sekolah asrama karena satu tahun kemudian ia akan pensiun dan enggan untuk
menyerahkan anaknya ke sebuah asrama. Keluarga tersebut juga telah membuat keputusan
untuk pergi dari Hindia Belanda. Pada tahun 1938, mereka pun berangkat menaiki kapal
dari pelabuhan Tanjung Perak, melewati Semarang, dan menuju ke pelabuhan Tanjung
Priok di Batavia. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan dengan tujuan Rotterdam.

2.3 Makna dari Kaartenalbum Laurentius Waltherus Klerkx bagi Keluarga


Kaartenalbum tersebut begitu bermakna untuk mendalami sejarah keluarga. Kartu pos
tua, yang mana berjumlah lebih dari dua ratus, dapat membangkitkan kembali banyak
kenangan di antara sesama penderita. Thera de Jonge (2008:4) mengatakan, “Kartu pos
yang antik dari berbagai penjuru dunia. Sebagian besar diperolehnya di pelabuhan yang
dikunjunginya dalam perjalanannya ke Hindia Belanda. Terkadang seluruh seri karena
diterbitkan dalam satu folder. Terlalu indah untuk tidak dibagikan dengan orang lain.”

10
BAB III

KESIMPULAN

Laurentius Waltherus Klerkx (1894-1983) melakukan perjalanan pertamanya ke


Hindia Belanda untuk menjadi seorang pengajar di Hollands-Indische school, tepatnya di
Meester Cornelis (Jatinegara), Batavia. Selama di Hindia Belanda, ia kerap kali berpindah dari
suatu daerah ke daerah lainnya. Klerkx sangat menggeluti bidang pendidikan, hingga pada
akhirnya ia juga membuat metode mengajar orang dewasa yang buta huruf untuk membaca dan
menulis di Surabaya, Jawa Timur.

Kisah perjalanannya di Hindia Belanda telah ia simpan dalam sebuah kaartenalbum.


Ia menyimpan dokumentasi keluarga serta beberapa dokumen penting yang berkaitan dengan
dokumen perjalanan. Kaartenalbum miliknya begitu berarti bagi keluarga untuk mengenang
kembali sejarah.

11
REFERENSI

Junge, Sophie. (2019). “Familiar Distance: Picture Postcards from Java from a European
Perspective, ca. 1880-1930”. Bijdragen en mededelingen betreffende de geschiedenis
der nederlanden, 134(3):96-121.

Jonge, Thera de. (2008). De lange schaduw van Nederlands-Indië : over het leven van
Laurentius Waltherus Klerkx (1894-1983) en de zijnen. Geesteren.

Oorlogsbronnen.nl. Bronnen over ‘Mobilisatie’. Diakses pada 13 Desember 2022, dari


https://www.oorlogsbronnen.nl/bronnen?term=Moblisatie

Adryamarthanio, Verelladevanka. (2021, 5 Oktober). Hollandsch Inlandsche School (HIS),


Sekolah Bumiputra untuk Bangsawan. Diakses pada 13 Desember 2022, dari
https://www.kompas.com/stori/read/2021/10/05/110000179/hollandsch-inlandsche-
school-his-sekolah-bumiputra-untuk-bangsawan

Tourism.surabaya.go.id. Wisata Surabaya – Penjara Koblen. Diakses pada 13 Desember


2022, dari https://tourism.surabaya.go.id/travel/detail/penjara-koblen#1

Direktoripariwisata.id. Benteng Van den Bosch. Diakses pada 13 Desember 2022, dari
https://direktoripariwisata.id/unit/2683

Abidin, Zaenal & Zuhdi, Susanto. (1993). Perkembangan Pelayaran Nasional Indonesia
(PELNI) setelah nasionalisasi Koninklijke Paketvaart Maatschappij, 1957-1975.
(Skripsi, Universitas Indonesia). https://lib.ui.ac.id/detail.jsp?id=20156671

Handayani, Tri. (2020, 17 November). Ngoko hingga Krama, Inilah 4 Tingkatan Bahasa
dalam Bahasa Jawa. Diakses pada 14 Desember 2022, dari
https://www.idntimes.com/life/education/tri-handayani-9/tingkatan-bahasa-dalam-
bahasa-jawa-c1c2#page-2

12

Anda mungkin juga menyukai