Anda di halaman 1dari 7

Lie Kim Hok1

1 November 1853
Lahir
Buitenzorg, Hindia Belanda
6 Mei 1912 (umur 58)
Meninggal
Batavia, Hindia Belanda
Sebab meninggal Tifus
Suku Peranakan Tionghoa
Pekerjaan Penulis, jurnalis
Tahun aktif 1870-an – 1912
 Sair Tjerita Siti Akbari
 Malajoe Batawi
Karya terkenal
 Tjhit Liap Seng

Gaya Realisme
 Oey Pek Nio (1876–1881)
Pasangan  Tan Sioe Nio (1891– meninggal)

Anak 4
Ini adalah nama Tionghoa; marganya adalah Lie.

Lie Kim Hok (Tionghoa: 李金福; Pinyin: Lǐ Jīnfú, lahir di Bogor, Jawa Barat, 1 November
1853 – meninggal di Batavia -sekarang Jakarta, 6 Mei 1912 pada umur 58 tahun), adalah
seorang penulis Indonesia, perintis Sastra Melayu Tionghoa yakni Masa Rintisan (1875-
1895), pada periode ini telah ditulis karya-karya sastra berbahasa Melayu Rendah baik oleh
orang-orang Belanda maupun Tionghoa peranakan. Namun hasilnya masih berupa
terjemahan atau saduran dari karya-karya sastra barat atau Tiongkok. Termasuk dalam
periode ini adalah Lie Kim Hok. Lahir di Buitenzorg (sekarang Bogor), Jawa Barat, Lie
menempuh pendidikan formalnya di sekolah-sekolah misionaris dan pada 1870-an ia dapat
berbicara dalam bahasa Sunda, Melayu, dan Belanda, meskipun ia tak dapat memahami
bahasa Mandarin. Pada pertengahan 1870-an, ia menikah dan mulai bekerja sebagai
penyunting selama dua periode yang dipublikasikan oleh gurunya dan mentornya D. J. van
der Linden. Lie meninggalkan posisi tersebut pada 1880. Istrinya wafat pada tahun
berikutnya. Lie menerbitkan buku-buku pertamanya, termasuk yang diklaim sebagai syair
Sair Tjerita Siti Akbari dan buku tata bahasa Malajoe Batawi, pada 1884. Ketika van der
Linden wafat pada tahun berikutnya, Lie baru mencetak surat kabar tersebut dan membuka
perusahaannya sendiri.

Selama dua tahun, Lie menerbitkan sejumlah buku, termasuk Tjhit Liap Seng, yang dianggap
sebagai novel Melayu Tionghoa pertama. Ia juga mendapatkan hak pencetakan untuk
Pembrita Betawi, sebuah surat kabar yang bermarkas di Batavia (sekarang Jakarta), dan
berpindah ke kota tersebut. Setelah menjual percetakan surat kabarnya pada 1887, selama tiga
tahun penulis tersebut mengambil berbagai pekerjaan sampai ia menemukan pekerjaan tetap

1
https://id.wikipedia.org/wiki/Lie_Kim_Hok
pada 1890 di sebuah penggilingan yang dioperasikan oleh seorang temannya. Pada tahun
berikutnya, ia menikahi Tan Sioe Nio, keduanya kemudian memiliki empat anak. Lie
menerbitkan dua buku pada 1890-an dan, pada 1900, ia menjadi anggota pendiri sebuah
organisasi Tionghoa yang bernama Tiong Hoa Hwe Koan, yang ia tinggalkan pada 1904. Lie
berfokus pada penerjemahan dan karya sosial pada sisa-sisa hidupnya, sampai kematiannya
karena tifus pada usia 58 tahun.

Lie dianggap mempengaruhi jurnalisme, linguistik, and sastra di koloni tersebut. Menurut
sarjana Malaysia Ahmad Adam, ia paling diingat karena karya-karya sastranya. Beberapa
tulisannya telah dicetak beberapa kali, dan Sair Tjerita Siti Akbari diadapsi menjadi drama
panggung dan film layar lebar. Namun, sebagai hasil dari politik bahasa di Hindia Belanda
dan Indonesia saat merdeka, karya-karyanya digabungkan. Ketika beberapa tulisannya yang
terungkap sebagai adaptasi karya yang ada tanpa disebutkan namanya, Lie dikritik karena
karyanya tidak asli. Walaupun begitu, Kritikus lainnya menemukan bukti inovasi dalam gaya
penulisan dan penanganan alurnya.

Kehidupan awal
Lie lahir di Buitenzorg (sekarang Bogor), Jawa Barat, pada tanggal 1 November 1853 sebagai
anak sulung dari tujuh bersaudara yang lahir dari Lie Hian Tjouw dan istri keduanya Oey
Tjiok Nio. Lie tua memiliki empat anak dari pernikahan sebelumnya, dengan putra sulungnya
Lie Kim Hok dari pernikahan barunya. Sebagai peranakan Tionghoa, pasangan tersebut
tinggal di Cianjur pada waktu itu namun pindah ke Buitenzorg, kampung halaman saudara
sulungnya yang bernama Lie Hian Tjouw, untuk melahirkan sebuah keluarga disana.
Keluarga tersebut kemudian kembali ke Cianjur, dimana Lie Kim Hok diberikan
homeschooling dalam budaya Tiongkok dan budaya dan bahasa Sunda. Pada usia tujuh
tahun, ia mulai dapat membaca bacaan dalam bahasa Sunda dan bahasa Melayu.

Pada pertengahan abad ke-19, penduduk beretnis Tionghoa pada koloni tersebut sangat
terdidik namun tak dapat masuk sekolah orang Eropa maupun sekolah pribumi. Pada usia
sepuluh tahun, Lie dimasukkan ke sekolah misionaris Calvinis yang dijalankan oleh
Christiaan Albers. Sekolah ini memiliki sekitar 60 murid laki-laki yang kebanyakan beretnis
Tionghoa. Dibawah pengarahan Albers, seorang penutur bahasa Sunda yang fasih, ia mengisi
pendidikan formal-nya dengan kurikulum yang meliputi ilmu pengetahuan, bahasa, dan
Kekristenan – sekolah-sekolah tersebut memang mengenalkan Kekristenan di Hindia
Belanda, dan para pelajar diminta untuk berdoa sebelum pelajaran dimulai. Lie, seperti
halnya kebanyakan pelajar, tidak berpindah agama, meskipun ahli biografi Tio Ie Soei
menyatakan bahwa pemahaman Kekristenan mungkin mempengaruhi pandangan dunianya.[8]

Lie belajar melukis dengan Raden Saleh.

Lie dan keluarganya pulang ke Buitenzorg pada tahun 1866. Pada waktu itu, disana tidak ada
sekolah yang dijalankan dengan pendidikan bergaya Eropa, dan kemudian ia dikirim ke
sebuah sekolah yang dijalankan oleh orang yang beretnis Tionghoa. Selama tiga tahun,
belajar dibawah tiga kepala sekolah yang berbeda pada masa mudanya, ia mempelajari frasa
Hokkien tradisional dan aksara Tionghoa yang tidak ia pahami. Tio berpendapat bahwa Lie
hanya mendapatkan sedikit ilmu pengetahuan di sekolah tersebut, dan sampai kematiannya,
Lie tidak pernah memahami bahasa Mandarin. Pada waktu di Buitenzorg, ia belajar menulis
dibawah pengarahan Raden Saleh, seorang teman dari ayahnya. Meskipun ia dilaporkan
menunjukan kemampuannya, ia tak melanjutkan hobinya karena ibunya menentangnya. Ia
juga menunjukan kemampuan dalam bentuk-bentuk sastra tradisional seperti pantun (sebuah
bentuk puisi) dan gemar membuatnya sendiri.

Ketika Sierk Coolsma membuka sebuah sekolah misionaris di Buitenzorg pada 31 Mei 1869,
Lie berada di kelas satu dari sepuluh kelas. Ia kembali belajar dengan menggunakan bahasa
Sunda, subyek yang sama yang ia dapatkan waktu ia berada di Cianjur. Pada waktu itu, ia
mulai mempelajari bahasa Belanda. Setelah sekolah yang dijalankan oleh pemerintah dibuka
pada 1872, kebanyakan teman sekolah Lie adalah orang-orang yang beretnis Tionghoa; para
pelajar Sunda, kebanyakan Muslim, yang ditransfer ke sekolah baru untuk dikonversi ke
agama Kristen. Pada 1873, Coolsma dikirim ke Sumedang untuk menerjemahkan Alkitab ke
dalam bahasa Sunda dan menggantikan misionaris D. J. van der Linden. Pembelajarannya
dilanjutkan di tanah Melayu, karena van der Linden belum dapat berbicara dalam bahasa
Sunda. Hubungan Lie dan kepala sekolah baru-nya kemudian menjadi tertutup.Dua tahun
kemudian, ia bekerja di sekolah van der Linden dan mendirikan rumah dan menyebarkan
pemahaman mengenai teater tradisional, termasuk wayang.

Guru dan penerbit


Pada usia dua puluh tahun, Lie fasih berbahasa Sunda dan bahasa Melayu; ia juga fasih
berbicara dalam bahasa Belanda, suatu hal yang jarang untuk etnis Tionghoa pada waktu itu.
Lie membantu van der Linden di sebuah sekolah misionaris, dan pada pertengahan 1870-an,
ia mengoperasikan sebuah sekolah umum untuk anak-anak Tionghoa yang miskin. Ia juga
bekerja pada tempat percetakan milik misionaris, Zending Press, dengan gaji empat puluh
gulden per bulan sementara ia menjabat sebagai penyunting dua majalah keagamaan,
mingguan berbahasa Belanda De Opwekker dan dwiminggu berbahasa Melayu Bintang
Djohor. Ia menikahi Oey Pek Nio, yang berjarak tujuh tahun, pada 1876. Tio, dalam sebuah
wawancara dengan sarjana sastra Tionghoa Melayu Claudine Salmon, menyatakan bahwa Lie
sebenarnya bertunangan saudara sulung Oey, namun karena ia melarikan diri pada malam
hari sebelum upacara pernikahan, ia disuruh kepada orangtuanya untuk menikahi Oey Pek
Nio untuk menyelamatkan muka. Meskipun ia tidak senang dengan perintah tersebut, ia tetap
menaatinya. Hubungan pasangan ini semakin bertambah dekat. Tahun berikutnya, mereka
melahirkan anak pertama mereka, meskipun bayi tersebut kemudian meninggal setelah lahir.
Ibu Lie wafat pada 1879, dan ayahnya wafat pada tahun berikutnya.

Sampul Sair Tjerita Siti Akbari, syair pertama yang diterbitkan oleh Lie.

Ia kemudian menjual sekolahnya kepada Oey Kim Hoat dan meninggalkan posisinya sebagai
Zending Press untuk mengambil pekerjaan sebagai pengawas lahan. Pada empat tahun
berikutnya, ia mengambil berbagai pekerjaan. Pada 1881, Oey Pek Nio mengandung lagi. Ia
meninggal setelahnya dan bayi tersebut diserahkan untuk tinggal bersama kakek pihak ayah-
nya di Gadog, sebuah desa yang berada di sebelah tenggara Buitenzorg, untuk dibesarkan.
Anak tersebut wafat pada 1886. Lie menerbitkan buku pertamanya pada 1884. Dua
diantaranya, Kitab Edja dan Sobat Anak-Anak, diterbitkan oleh Zending Press. Yang pertama
adalah sebuah buku pelajaran untuk membantu para pelajar memahami penulisan Melayu,
sementara yang kedua adalah kumpulan cerita untuk anak-anak yang, menurut Aprinus Salam
dari Universitas Gadjah Mada, dianggap sebagai karya sastra populer pertama di Hindia
Belanda. Dua buku lainnya diterbitkan oleh W. Bruining & Co., yang bermarkas di ibukota
kolonial di Batavia (sekarang Jakarta). Salah satu diantaranya, Malajoe Batawi, adalah buku
mengenai tata bahasa Melayu yang mengatur standardisasi pengucapan bahasa. Karya yang
lainnya adalah syair empat volume (sebuah bentuk puisi Melayu tradisional) Sair Tjerita Siti
Akbari; buku ini, yang menceritakan pasukan yang menyamarkan jenis kelaminnya pada
Kesultanan Hindustan untuk melindungi suaminya, menjadi salah satu karya terbaik Lie.

Setelah kematian van der Linden pada tahun 1885, Lie membayar para janda guru-gurunya
dengan jumlah 1,000 gulden untuk memperoleh Zending Press; dana tersebut sebagian
dipinjam dari teman-temannya. Ia mengganti nama pencetak menjadi Lie Kim Hok
setelahnya. Ia menghabiskan banyak waktunya di tempat percetakan tersebut, dan
mengembangkannya dengan cepat, mencetak karya penulis lainnya dan mencetak ulang
beberapa tulisan Lie dari masa sebelumnya. Namun, tempat percetakan tersebut tidak
mendapatkan keuntungan. Pada tahun itu, ia menerbitkan syair baru, yang berisi 24 kuartet,
yang berjudul Orang Prampoewan. Ia juga menulis karya opini di berbagai surat kabar,
termasuk Bintang Betawi dan Domingoe.

Pada tahun berikutnya, Lie mendapatkan hak percetakan pada surat kabar berbahasa Melayu
Pembrita Betawi, bermarkas di Batavia dan ditulis oleh W. Meulenhoff, dengan
1,000 gulden. Ia lagi-lagi meminjam dari teman-temannya. Pada pertengahan 1886,[c] Lie
membuka sebuah tempat (ketika ia pindah ke Batavia) untuk digunakan sebagai percetakan
surat kabar.[26] Ketika bosan dengan pekerjaan pers, ia menulis atau berkontribusi dalam
dunia perbukuan. Dua karya nonfiksi, satu koleksi nubuatan Tiongkok dan yang terakhir
adalah uraian hukum penyewaan. Yang ketiga adalah sebagian terjemahan Seribu Satu
Malam, sebuah koleksi yang kemudian populer di kalangan Melayu. Yang terakhir adalah
novel pertamanya, Tjhit Liap Seng.[27] Novel tersebut menceritakan tentang sekelompok
orang terdidik di daratan utama Tiongkok, Tjhit Liap Seng yang dianggap sebagai novel
Tionghoa Melayu pertama.[28]

Lie melanjutkan penerbitan 5 novel yang berlatar belakang Tiongkok sampai 1887. Beberapa
kisahnya berdasarkan pada cerita-cerita Tiongkok yang diceritakan oleh teman-temannya
yang dapat berbicara dalam bahasa Mandarin.[29] Pelukis tersebut menjual sahamnya pada
Pembrita Betawi sampai Karsseboom & Co. pada 1887, namun ia melanjutkan pencetakan
surat kabar sampai perusahaan tersebut – dan cetakan surat kabar milik Lie – diakuisisi oleh
Albrecht & Co. pada tahun berikutnya.[30] Lie tidak lagi bekerja sebagai penerbit, meskipun ia
melanjutkan penulisan pada berbagai surat kabar, termasuk penerbitan baru Meulenhoff
Hindia Olanda.[26] Pada tiga tahun berikutnya, ia tidak memiliki pekerjaaan yang tetap,
mengambil berbagai pekerjaan, meliputi penjual bambu, kontraktor, dan kasir.[31]

Tiong Hoa Hwe Koan, penerjemahan, dan kematian


Pada tahun 1890, Lie mulai bekerja di penggilingan yang dioperasikan oleh temannya Tan
Wie Siong sebagai seorang petinggi; pekerjaan ini akan menjadi sumber utama dari
pendapatannya selama sisa hidupnya. Pada tahun berikutnya, ia menikahi Tan Sioe Nio,
juniornya yang berumur dua puluh tahun. Pasangan baru tersebut memiliki hidup dengan
nyaman: gajinya mencukupi, dan pekerjaannya tidak menghabiskan banyak tenaga. Ia
mendorong Lie agar kembali melakukan penerjemahan, bahasa Belanda ke bahasa Melayu
atau sebaliknya. Terkadang ia menerjemahkan surat tanah atau dokumen sah lainnya. Di lain
waktu, ia menerjemahkan karya-karya sastra.[32] Karya-karya tersebut meliputi De Graaf de
Monte Cristo, sebuah terjemahan dari Le Comte de Monte-Cristo pada tahun 1894 karya
Alexandre Dumas, yang ia selesaikan dalam kerjasamanya dengan jurnalis Indo F.
Wiggers.[27] Dua diantaranya meliputi catatan kaki yang mendeskripsikan aspek kebudayaan
Eropa yang mereka anggap sulit untuk dimengerti bagi para pembaca non-Eropa.[33] Tiga
tahun kemudian, Lie menerbitkan Hikajat Kong Hoe Tjoe, sebuah buku tentang pengajaran
Konghucu.[34] Isinya berasal dari penulisan orang Eropa mengenai Konfusianisme dan
pemaparan dari teman-temannya.[35]

Bekas teman sekolah Lieyang bernama Phoa Keng Hek, salah satu pendiri Tiong Hoa Hwe
Koan.

Dengan sembilan belas orang beretnis Tionghoa lainnya, termasuk bekas teman sekolah-nya
yang bernama Phoa Keng Hek, Lie adalah seorang pembentukan keanggotaan sistem sekolah
dan organisasi sosial Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) pada tahun 1900.[36] Berusaha untuk
memperjuangkan hak asasi etnis Tionghoa pada waktu itu ketika mereka dianggap sebagai
warga kelas dua[d] dan menetapkan standardisasi pendidikan formal kepada para pelajar
beretnis Tionghoa dimana Belanda tidak melakukannya, organisasi tersebut berdasarkan pada
pengajaran Konghucu dan sekolah-sekolah yang terbuka untuk laki-laki dan perempuan.
THHK bergerak cepat dan masuk ke dalam bidang-bidang yang berbeda, dan Lie membantu
pembentukan kelompok debat, kelompok olahraga, dan acara amal dan konser.[37] Dari 1903
sampai 1904 Lie menjadi anggota pada badan tersebut, utamanya bertugas sebagai
bendaharanya.[31]

Lie meninggalkan THHK pada 1904, namun ia tetap aktif dalam karya sosial. Meskipun
kesehatannya buruk,[8] ia menulis opini untuk harian Sin Po dan Perniagaan.[38] Ia juga
melakukan penerjemahan secara ekstensif. Pada 1905, Lie menerbitkan volume pertama dari
novel bertemakan Tionghoa terakhir buatannya, Pembalasan Dendam Hati. Diikuti oleh
Kapitein Flamberge, sebuah terjemahan dari Le Capitaine Belle-Humeur karya Paul
Saunière, pada tiga tahun kemudian. Pada tahun-tahun setelahnya, ia menerjemahkan
beberapa buku yang menampilkan karakter petualang fiktif yang bernama Rocambole karya
Pierre Alexis Ponson du Terrail, dimulai dengan Kawanan Pendjahat pada 1910. Dua
terjemahan terakhir diterbitkan di surat kabar dan diluncurkan sebagai sebuah novel setelah
kematian Lie: Geneviève de Vadans, dari sebuah buku yang berjudul De Juffrouw van
Gezelschap, dan Prampoean jang Terdjoewal, dari Dolores, de Verkochte Vrouw karya Hugo
Hartmann. Sisa-sisa terjemahan diselesaikan oleh seorang jurnalis bernama Lauw Giok
Lan.[27]

Di malam hari pada tanggal 2 Mei 1912, Lie diterpa penyakit, dan dua hari kemudian
dokternya mendiagnosanya mengidap tipus. Kondisinya semakin memburuk dan pada 6 Mei
1912, ia wafat. Ia dimakamkan di Kota Bambu, Batavia. Sekolah-sekolah THHK di seluruh
kota tersebut mengibarkan bendera mereka dalam keadaan setengah tiang. Lie meninggalkan
istrinya dan empat anak: Soan Nio (kelahiran 1892), Hong Nio (kelahiran 1896), Kok Hian
(kelahiran 1898), dan Kok Hoei (kelahiran 1901). Tan Sioe Nio wafat pada tahun
setelahnya.[39]

Warisan
Dalam karier jurnalisme-nya, Lie berusaha untuk menghindari taktik koran kuning yang
digunakan oleh orang-orang sezamannya[40] dan lebih memilih untuk menghindari polemik
luas dalam pers.[41] Sejarawan jurnalisme Malaysia yang bernama Ahmat Adam, ditulis pada
1995, menyatakan bahwa masuknya Lie ke dalam dunia pers memicu gelombang para
penulis peranakan Tionghoa menjadi penyunting surat kabar,[2] dan Sumardjo menyatakan
bahwa Lie masih sangat dikenal oleh kaum pribumi Indonesia melalui karyanya di media
cetak.[42]

Dari perspektif para linguis, Kasijanto Sastrodinomo dari Universitas Indonesia menyatakan
Malajoe Batawi sebagai buku teks berbahasa Melayu pertama yang ditulis oleh non-Melayu
yang "luar biasa".[43] Ia juga menyatakan bawa buku-buku tersebut tidak menggunakan
istilah-istilah sastra yang berasal dari bahasa Inggris yang biasanya muncul dalam buku teks
Indonesia pada abad ke-20.[43] Linguis Waruno Mahdi menyatakan bahwa Malajoe Batawi
karya Lie adalah "sebagian besar prestasi dari penulisan Tionghoa Melayu" dari titik
pandangan para linguis.[44] Dalam disertasi doktoralnya, Benitez berpendapat bahwa Lie
berharap agar pengucapan dalam bahasa Melayu menjadi lingua franca di Hindia Belanda.[45]
Dalam sejarah sastra Tionghoa Melayu-nya, Nio Joe Lan mendapati bahwa Lie, yang
dipengaruhi oleh pendidikan misionaris, berusaha untuk mempertahankan penggunaan
bahasa pada masa itu dimana perhatian terhadap tata bahasa tak umum dilakukan.[46] Nio
menyatakan Lie sebagai "satu-satunya penulis peranakan Tionghoa pada jaman itu yang
memperoleh pelajaran ilmu tata bahasa Melayu secara metodis" [e][47] Adam menganggap
karya-karya Lie telah meninggalkan "sebuah tanda yang tak terhapuskan pada pengembangan
bahasa Indonesia modern".[48]

Salah satu lembaran Siti Akbari karya Wong bersaudara, yang dikatakan berdasarkan pada
puisi Lie.

Adam berpendapat bahwa Lie paling diingat karena kontribusinya pada sastra Indonesia[2]
dengan terbitannya diterima dengan baik oleh orang-orang sezamannya. Tio menyatakan
bahwa "Tua-muda membaca dengan mesra tulisan-tulisannya, yang dipuji gaya-bahasanya
yang sederhana, berirama, jernih, hidup, segar dan kuat. Cermat dan tepat dipilihnya kata-
kata, tertib dan rapi disusunnya kalimat-kalimat. ... Dikatakan orang, ia terlahir mendahului
zaman. Ia diibaratkan sebuah bintang besar berkilau-kilauan, suatu kontras tajam terhadap
bintang-bintang kecil yang muram diangkasa yang gelap-gulita."[f][49] Pujian secara
berkelanjutan dianugerahkan oleh orang-orang yang sezaman lainnya, baik itu etnis pribumi
dan etnis Tionghoa, seperti Ibrahim gelar Marah Soetan dan Agus Salim.[50] Ketika penulis
beretnis Tionghoa menjadi hal umum pada 1900-an, kritikus menjuluki Lie "bapak sastra
Tionghoa Melayu" karena kontribusinya, meliputi Siti Akbari and Tjhit Liap Seng.[51]

Beberapa buku Lie, meliputi Sair Tjerita Siti Akbari, Kitab Edja, Orang Prampoewan, dan
Sobat Anak-anak, telah berkali-kali dicetak, meskipun Tio sudah tidak tercatat lagi setelah
1920-an.[27] Pada 2000. Kitab Edja dicetak ulang dari volume perdana Kesastraan Melayu
Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia, sebuah antologi sastra Tionghoa Melayu.[52] Sair
Tjerita Siti Akbari, yang menurutnya merupakan salah satu karya terbaik-nya, yang
diadaptasi pada drama panggung selama beberapa waktu. Lie menggunakan versi sederhana
dari sebuah kelompok aktor remaja, yang sukses di Jawa Barat.[53] Pada 1922, cabang
Sukabumi Shiong Tih Hui menampilkan adapatasi panggung lainnya Pembalesan Siti Akbari,
yang ditampilkan oleh kelompok teater Miss Riboet pada 1926.[g][54] Wong bersaudara
menyutradarai sebuah film yang berjudul Siti Akbari, yang dibintangi Roekiah dan Rd.
Mochtar. Film 1940 tersebut dibuat berdasarkan pada puisi Lie, meskipun pengaruhnya
diragukan.[55]

Setelah muncul gerakan nasionalis dan pemerintah kolonial Belanda memutuskan


menggunakan Balai Pustaka untuk menerbitkan karya-karya sastra untuk bacaan kaum
pribumi, karya-karya Lie mulai digabungkan. Pemerintah kolonial Belanda menggunakan
Melayu Halus sebagai bahasa administrasi, sebuah bahasa yang digunakan untuk sehari-hari
dan diajarkan di sekolah-sekolah. Melayu Halus umumnya digunakan oleh para bangsawan di
Sumatra, sementara Melayu pasaran dikembangkan sebagai Bahasa kreol untuk digunakan
dalam dalam perdagangan yang biasanya dilakukan di kepulauan Barat; Melayu pasaran lebih
umum dipakai oleh golongan kelas bawah. Nasionalis Indonesia memilih Melayu Halus
untuk membantu pembangunan budaya nasional, mempromosikannya ke dalam surat kabar
dan sastra. Sastra Tionghoa Melayu, yang ditulis dalam Melayu "rendah", kemudian
digabungkan dan dianggap berkualitas rendah.[56] Tio, yang menulis pada tahun 1958,
menemukan bahwa generasi muda tidak mempelajari tentang Lie dan karya-karyanya,[57] dan
empat tahun kemudian Nio menulis bahwa Melayu pasaran "telah beralih kedalam
museum."[58] Sejarawan sastra Monique Zaini-Lajoubert menyatakan bahwa tidak ada studi
kritik dari Sair Tjerita Siti Akbari yang dilakukan antara 1939 dan 1994.[59]

Kontroversi
Pada penulisan di sebuah surat kabar milik orang beretnis Tionghoa yang bernama Lay Po
pada tahun 1923, Tio menyatakan bahwa Sair Tjerita Siti Akbari sebetulnya dipengaruhi oleh
sebuah puisi pada tahun 1847 yang berjudul Sjair Abdoel Moeloek, mencantumkan nama
Raja Ali Haji atau saudaranya Saleha. Ia menyatakan bahwa Sair Siti Akbari, dengan
dinyatakan Lie adalah karya buatannya, terlepas dari alur awal pada karya tersebut.[60] Dalam
biografi-nya pada tahun 1958, Tio sebenarnya Tjhit Liap Seng karya Lie adalah sebuah
amalgamasi dari dua novel Eropa: Klaasje Zevenster karya Jacob van Lennep (1865) dan Les
Tribulations d'un Chinois en Chine karya Jules Verne (1879).[29] Tio menyatakan bahwa
buku ketiga, Pembalasan Dendam Hati, memiliki kesamaan yang ekstensif dengan karya
Xavier de Montépin yang diterjemahkan menjadi De Wraak van de Koddebeier.[35] Dalam
menganggapi hal-hal tersebut, kritikus sastra seperti Tan Soey Bing dan Tan Oen Tjeng
menyatakan bahwa tidak ada penulisan Lie yang asli.[61]

Dalam mengeksplorasi kesamaan antara Sjair Abdoel Moeloek dan Siti Akbari, Zaini-
Lajoubert menyatakan bahwa unsur-unsur alur utama dalam buku-buku tersebut sama,
meskipun beberapa diantaranya memperlihatkan satu cerita dan yang lainnya tidak – atau
diberikan lebih mendetail. Ia menemukan dua perbedaan besar dalam kehidupan mereka,
khususnya gaya Lie pada deskripsi dan realisme.[62] Salmon menyatakan bahwa alur utama
Tjhit Liap Seng kebanyakan menjiplak Klaasje Zevenster, dengan beberapa bagian yang
tampaknya merupakan terjemahan langsung. Namun, ia mendapati bahwa Lie juga
menambahkan, mengurangi, dan memodifikasi isinya; ia mencatat pendekatannya lebih
jarang dalam hal deskripsi dan pengenalan karakter baru, Thio Tian, yang pernah tinggal di
Jawa.[63] Kritikus sastra Indonesia Jakob Sumardjo menyatakan bahwa Lie "Boleh dikatakan
ia asli dalam gaya tetapi tidak asli dalam bahan yang digarapnya".[64

Anda mungkin juga menyukai