Anda di halaman 1dari 13

Snouck Hurgronje menempati posisi tersendiri di kalangan jajaran orientalis yang meneliti Islam, baik

dari sisi Islam sebagai agama maupun syari'at. Dia adalah seorang ilmuwan sekaligus politikus ulung
yang Iahir pada 8 Februari 1857 di desa Osterhout yang terletak di Timur Laut kota Breda, Belanda.
Pendidikan dasarnya dilalui di kampungnya, kemudian melanjutkan Sekolah Menengah di Breda. Dia
belajar bahasa Latin dan Yunani pada guru khusus, sebagai persiapan masuk universitas, dan berhasil
menempuh ujian masuk universitas pada Juni 1874. Kemudian pada musim sedang tahun 1874 dia
mendaftar ke Fakultas Teologi di Universitas Leiden, Belanda, dan pada Mei 1876 ia menempuh ujian
kandidat dalam filologi klasik Yunani dan Latin, lalu pada April 1878 ia mengikuti ujian kandidat
dalam Teologi. Namun, dia tetap menekuni Filologi, dan pada September 1878 berhasil menempuh
ujian Filologi Semit. Pada bulan November 1879 dia berhasil memperoleh gelar doktor dengan risalah
berjudul Musim Haji di Makah.
Dalam disertasinya itu, Snouck mengemukakan urgensi Haji dalam Islam dan berbagai acara
seremonial serta ritualnya, akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa Haji dalam Islam merupakan
peninggalan dari ajaran pagan (watsaniah) bangsa Arab.
Pada tahun ajaran 1880/1881, Snouck menghadiri perkuliahan Theodore Noldeke di Strassburg
bersama koleganya, di antaranya adalah dua orientalis terkenal, C. Bezold, yang meninggal tahun 1922
di Hedelburg, dan R. Bunnow, yang meninggal tahun 1917 di Amerika. Sekembalinya dari Strassburg
pada tahun 1881 ia ditugasi menjadi pengajar ilmu-ilmu Keislaman di Sekolah Calon Pegawai di
Hindia Timur, Indonesia, yang bertempat di Leiden. Dari sini ia mulai menaruh perhatian pada
masalah-masalah baru yang terjadi di negeri-negeri Islam.
Pada tahun 1884 Snouck mengadakan petualangan ke Jazirah Arab, dan menetap di Jeddah sejak
Agustus 1884 hingga Februari 1885, sebagai persiapan menuju Makah, yang merupakan tujuan utama
dari petualangannya. Snouck sampai di Makah pada 22 Februari 1885 dengan menggunakan nama
samaran Abdul Ghafar. Dia menetap di Makah selama enam bulan, dan menghasilkan karya berjudul
Makah. Namun akhirnya, pada bulan Agustus, Snouck dipaksa keluar dari Makah oleh konsul Prancis.
Dia pulang dengan empat ekor unta yang membawa barang-barang yang dikumpulkan selama mukim
di sana. Yang disesalkan adalah bahwa perintah untuk meninggalkan Makah bertepatan dengan awal
musim Haji. Padahal risalah doktor yang pernah ditulisnya berkaitan dengan musim Haji, meskipun
hanya berdasarkan pada sumber-sumber literatur, manuskrip-manuskrip, dan pengalaman orang yang
berziarah ke sana, bukan atas dasar pengalamannya sendiri.
Snouck memulai kegiatan mengajarnya di Leiden dan Delf di Sekolah Calon Pegawai di Indonesia.
Dengan meninggalnya A.W.T. Joynboll tahun 1887, Snouck ditugasi menggantikan posisinya di Delf,
namun Snouck lebih memilih mengajar bidang syari'at Islam di Universitas Leiden.
Sejak tahun 1889, Snouck memulai kegiatannya sebagai penasihat kolonial Belanda di Indonesia.
Pertama kali ia menetap di Indonesia selama dua tahun, sebagai penasihat umum pemerintah kolonial
Belanda dalam masalah Islam yang bertempat di Pulau Jawa. Pada Maret 1891 ia menjadi penasihat
dalam bahasa-bahasa Timur dan Syari'at Islam bagi pemerintah kolonial Belanda, dan menetap di Aceh
sejak tahun 1891-1892. Di samping tugas utamanya sebagai penasihat pemerintah kolonial, Snouck
juga mengumpulkan bahan-bahan untuk menyusun karya besarya tentang Aceh yang berjudul De
Acehers. Pada tahun-tahun berikutnya, Snouck meneliti ragam bahasa, penduduk, dan negeri-negeri
yang terdapat di Indonesia sesuai dengan tugasnya sebagai penasihat pemerintah Belanda. Snouck juga
yang menyusun undang-undang perkawinan khusus di kepulauan Indonesia. Karena mengetahui selukbeluk masalah Aceh, dia juga diangkat sebagai penasehat di daerah Aceh. Selain itu, Snouck juga

menjelajah Pulau Sumatera di pedalaman Gayo dan mempelajari penduduknya. Hasilnya, Snouck
menguasai bahasa Melayu, di samping menguasai bahasa Arab dengan baik.
Ketika gurunya, De Goeje, meninggal pada tahun 1906, Snouck menggantikan posisinya di Universitas
Leiden. Pada Januari 1907 Snouck ditugasi menjadi Penasihat Pemerintah Kolonial Belanda Masalah
Bahasa Arab dan Intern. Dengan begitu, perhatian Snouck terpecah dua, yaitu mengajar di Universitas
Leiden dan sebagai penasihat pemerintah. Oleh karena itu, sejak tahun 1906 hingga meninggalnya,
tahun 1936, Snouck tidak menghasilkan karya yang besar, hanya menulis makalah-makalah sederhana.
Dia meninggal di Leiden pada 26 Juni 1936.
Karya ilmiah Snouck terbagi dalam dua jenis, yaitu karya dalam bentuk buku dan dalam bentuk
makalah-makalah kecil. Di antara hasil karya besarnya ialah, tulisannya tentang kota Makah, terdiri
atas dua bagian, bagian pertama terbit di kota Den Hag pada tahun 1888 dan bagian kedua juga terbit di
kota yang sama pada tahun 1889. Kemudian karyanya yang berjudul De Atjehers, dalam dua bagian,
terbit di Batavia (sekarang Jakarta) dan Leiden (cet I, 1893) dan (cet II. 1894); Daerah Gayo dan
Penduduknya (Batavia,1903). Bagian kedua dari buku Makah, dan bagian pertama dan kedua dari buku
De Atjehers, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Karya-karyanya dalam bentuk makalah
adalah Munculnya Islam', "Perkembangan Agama Islam", "Perkembangan Politik Islam", dan "Islam
dan Pemikiran Modern". Semua makalah itu telah dikumpulkan oleh muridnya, A.J. Wensinck, dengan
judul Bunga Rampai dari Tulisan Christian Snouck Hurgronje dalam enam jilid, jilid keempat terdiri
atas empat bagian (Bonn dan Leiden, 1923 -1927). Sistematika kumpulan tulisan itu adalah sebagai
berikut; jilid pertama tentang Islam dan sejarahnya, jilid kedua tentang syari'at Islam, jilid ketiga
tentang Jazirah Arab dan Turki, jilid keempat tentang Islam di Indonesia, jilid kelima tentang bahasa
dan sastra, dan jilid keenam tentang kritik buku, dan tulisan-tulisan lain dan daftar indeks, serta
rujukan-rujukan.
KEJAHATAN SNOUCK HURGRONJE: (1857-1936 M)
Seorang peneliti Belanda kontemporer, Koenings Veld, menjelaskan bahwa realitas budaya di
negerinya membawa pengaruh besar terhadap kejiwaan dan sikap Snouck selanjutnya. Pada saat itu,
para ahli perbandingan agama dan ahli perbandingan sejarah sangat dipengaruhi oleh Teori Evolusi
Darwin. Hal ini membawa konsekuensi khusus dalam teori peradaban di kalangan cendekiawan Barat
bahwa peradaban Eropa dan Kristen adalah puncak peradaban dunia. Sementara itu, Islam yang datang
belakangan, menurut mereka, adalah upaya untuk memutus perkembangan peradaban ini. Bagi
kalangan Nasrani, kenyataan ini dianggap hukuman atas dosa-dosa mereka.Ringkasnya, agama dan
peradaban Eropa adalah lebih tinggi dan lebih baik dibanding agama dan peradaban Timur. Teori
peradaban ini berpengaruh besar terhadap sikap dan pemikiran Snouck selanjutnya.
Pada tahun 1876, saat menjadi mahasiswa di Leiden, Snouck pernah berkata, "Adalah kewajiban kita
untuk membantu penduduk negeri jajahan -maksudnya warga Muslim Indonesia - agar terbebas dari
Islam." Sejak itu, sikap dan pandangan Snouck terhadap Islam tidak pernah berubah.
Snouck pernah mengajar di Institut Leiden dan Delf, yaitu lembaga yang memberikan pelatihan bagi
warga Belanda sebelum ditugaskan di Indonesia. Saat itu, Snouck belum pernah datang ke Indonesia,
namun ia mulai aktif dalam masalah-maasalah penjajah an Belanda. Pada saat vang sama, Perang Aceh
mulai bergolak.

Saat tinggal di Jedah, ia berkenalan dengan dua orang Indonesia yaitu Raden Abu Bakar Jayadiningrat
dan Haji Hasan Musthafa. Dari keduanya Snouck belajar bahasa Melayu dan mulai bergaul dengan
para jamaah haji dari Indonesia untuk mendapatkan in formasi yang ia butuhkan.
Pada saat itu pula, ia menyatakan keislamannya dan mengucapkan syahadat di depan khalayak dengan
memakai nama Ahdul Ghaffar. Seorang Indonesia berkirim surat kepada Snouck yang isinya
menyebutkan "Karena Anda telah menyatakan masuk Islam di hadapan orang banyak dan ulama-ulama
Mekah telah mengakui keislaman Anda." Seluruh aktivitas Snouck selama di Saudi tercatat dalam
dokumen-dokumen di Universitas Leiden, Belanda. Snouck menetap di Mekah selama enam bulan dan
disambut hangat oleh seorang ulama besar Mekah, yaitu Waliyul Hijaz. Ia lalu kembali ke negaranya
pada tahun 1885. Penyambutan hangat seperti ini sering juga dilakukan oleh umat/tokoh di Indonesia
terhadap para mantan non muslim, bahkan mendadak menjadi Ustad/Ustadzh yang kondang. Tidak
sedikit dengan ilmu yang seadanya menerbitkan tulisan-tulisan yang membahas tentang keislaman
terkait dengan masalah aqidah, seperti layaknya seorang ulama. Kadang namanya lebih dikenal dari
ustadz/ustadzah yang sebenarnya.
Selama di Saudi, Snouck memperoleh data-data penting dan strategis bagi kepentingan pemerintah
penjajah. Informasi itu ia dapatkan dengan mudah karena tokoh-tokoh Indonesia yang ada di sana
sudah menganggapnya sebagai saudara seagama kesempatan ini digunakan oleh Snauck untuk
memperkuat hubungan dengan tokoh-tokoh yang berasal dari Aceh yang menetap di negeri Hijaz saat
itu.
Snouck kemudian menawarkan diri kepada pemerintah penjajah Belanda untuk ditugaskan di Aceh.
Saat itu, Perang Aceh dan Belanda mulai berkecamuk. Snouck masih terus melakukan surat menyurat
dengan ulama asal Aceh di Mekah.
Snouck tiba di Jakarta pada tahun 1889. Jendral Beraker Hourdec dengan hidden missionnya
menyiapkan tokoh-tokoh Islam untuk dapat membantunya. Seorang di antaranya adalah tokoh
keturunan Arab, yaitu Sayyid Utsman Yahya bin Aqil Al Alawi. Tentunya beliau dan juga seperti
banyak tokoh lainnya tidak menyadari misi terselubung Snouck ini.
Selain itu, ia juga dibantu sahabat lamanya ketika di Mekah, Haji Hasan Musthafa yang diberi posisi
sebagai penasihat untuk wilayah Jawa Barat. Karena kelihaiannya, tentunya kedua orang tokoh Islam
ini tidak menyadari Snouck yang sebenarnya. Snouck sendiri memegang jabatan sebagai penasihat
resmi pemerintah penjajah Belanda dalam bidang bahasa Timur dan Fikih Islam. Jabatan ini masih
dipegangnya hingga setelah kembali ke Belanda pada tahun 1906. Misi utama Snouck adalah
"membersihkan" Aceh. Setelah melakukan studi mendalam tentang semua yang terkait dengan
masyarakat ini, Snouck menulis laporan panjang yang berjudul Kejahatan-Kejahatan Aceh. Laporan ini
kemudian menjadi acuan dan dasar kebijakan politik dan militer Belanda dalam menghadapai masalah
Aceh.
Pada bagian pertama, Snouck menjelaskan tentang kultur masyarakat Aceh, peran Islam, ulama, dan
peran tokoh pemimpinnya. la menegaskan pada bagian ini bahwa yang berada di belakang perang
dahsyat Aceh dengan Belanda adalah para ulama. Sedangkan tokoh-tokoh formalnya bisa diajak damai
dan dijadikan sekutu karena mereka hanya memikirkan bisnisnya.
Snouck menegaskan bahwa Islam harus dianggap sebagai faktor negatif karena dialah yang
menimbulkan semangat fanatisme agama di kalangan Muslimin. Pada saat yang sama, Islam
membangkitkan rasa kebencian dan permusuhan rakyat Aceh terhadap Belanda. Jika dimungkinkan

"pembersihan" ulama dari tengah masyarakat, Islam takkan lagi punya kekuatan di Aceh. Setelah itu,
para tokoh-tokoh adat bisa menguasai dengan mudah.
Bagian kedua laporan ini adalah usulan strategis soal militer. Snouck mengusulkan dilakukannya
operasi militer di desa-desa di Aceh untuk melumpuhkan perlawanan rakyat yang menjadi sumber
kekuatan ulama. Bila ini berhasil, terbuka peluang untuk membangun kerjasama dengan pemimpin
lokal.
Perlu disebut di sini bahwa Snouck didukung oleh jaringan intelijen/mata-mata dari kalangan pribumi.
Cara yang ditempuh sama dengan yang dilakukannya di Saudi dulu, yaitu membangun hubungan dan
melakukan kontak dengan warga setempat untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Orangorang yang membela dan membantunya baik dari tokoh/aktifis/umat muslim berasumsi bahwa Snouck
saat itu adalah seorang saudara seagama yang sedang berjuang membela Islam. Dalam suatu
korespondensinya dengan ulama Jawa, Snouck menerima surat yang bertuliskan "Wahai Fadhilah
Syekh Allamah Maulana Abdul Ghaffar, sang mufti Negeri Jawa."
Lebih aneh lagi, Snouck menikah dengan putri seorang kepala daerah Ciamis, Jawa Barat pada tahun
1890. Dari pernikahan ini ia memperoleh empat anak: Salamah, Umar, Aminah, dan Ibrahim.
Akhir abad 19 ia menikah lagi dengan Siti Saidah, putri Khalifah Apo, seorang ulama besar di
Bandung. Anak dari pernikahan ini bernama Raden Yusuf. Luar biasa memang, orang disekelilingnya,
baik mertua, istri, anak-anaknya dan orang-orang disekeliling yang lainnya, PASTI semua orang-orang
yang ada dekat denganya menyatakan dengan penilaian mereka sehari-hari, mustahil Snouck hanya
berpura-pura masuk islam. Jika saat ini ada pihak yang menyatakan lain, maka sudah pasti akan jadi
musuh bersama orang islam lainnya.
Snouck melakukan surat menyurat dengan gurunya Theodor Noeldekhe, seorang orientalis Jerman
terkenal. Dalam suratnya, Snouck menegaskan bahwa keislaman dan semua tindakannya adalah
permainan untuk menipu orang Indonesia demi mendapatkan informasi. la menulis, "Saya masuk Islam
hanya pura-pura. Inilah satu- satunya jalan agar saya bisa diterima masyarakat Indonesia yang fanatik."
Temuan lain Koenings Veld dalam surat Snouck mengungkap bahwa ia meragukan adanya Tuhan. Ini
terungkap dari surat yang ia tulis pada pendeta Protestan terkenal, Herman Parfink, yang berisi, "Anda
termasuk orang yang percaya kepada Tuhan. Saya sendiri ragu pada segala sesuatu."
Dr. Veld berkomentar tentang aktivitas Snouck sebagai berikut. "la berlindung di balik nama 'penelitian
ilmiah dalam melakukan aktivitas spionase, demi kepentingan penjajah." Veld yang merupakan peneliti
Belanda yang secara khusus mengkaji biografi Snouck menegaskan bahwa dalam studinya terhadap
masyarakat Aceh, Snouck menulis laporan ganda. la menuliskan dua buku tentang Aceh dengan satu
judul, namun dengan isi yang bertolak belakang.
Dari laporan ini, Snouck hidup di tengah masyarakat Aceh selama tiga puluh tiga bulan dan ia purapura masuk Islam. Dalam rentang waktu itu, ia menyaksikan budaya dan watak masyarakat Aceh
sekaligus memantau peristiwa yang terjadi. Semua aktivitasnya tak lebih dari pekerjaan spionase
dengan mengamati dan mencatat.
Sebagai hasilnya ia menulis dua buku: pertama, berjudul Aceh, memuat laporan ilmiah tentang
karakteristik masyarakat Aceh dan buku ini diterbitkan. Buku ini bernada membela islam dan rakyat

aceh. Akan tetapi, pada saat yang sama, ia juga menulis laporan rahasia untuk pemerintah Belanda
berjudul "Kejahatan, Aceh." Buku ini memuat alasan-alasan memerangi rakyat Aceh.
Dua buku ini bertolak belakang dari sisi materi dan prinsipnya. Buku ini menggambarkan sikap Snouck
yang sebenarnya. Di dalamnya, Snouck mencela dan merendahkan masyarakat dan agama rakyat Aceh.
Laporan ini bisa disebut hanya berisi cacian dan celaan sebagai provokasi penjajah untuk memerangi
rakyat Aceh.
Komentar tentang aktivitas spionase Snouck Hurgronje pada masa penjajahan juga muncul dari
cendekiawan putra Aceh, yaitu Prof. A. Hasymi. la menuIis, "Belanda mulai memerangi Aceh dalam
upaya menguasai daerah jajahannya sejak 1873. Perang berlangsung selama dua puluh tahun, namun
tentara Belanda tak berhasil menaklukkan rakyat Aceh. Belanda menghadapi perlawanan rakyat yang
sengit dalam tiap pertempuran. Rahasia perlawanan ini adalah padunya ulama dan pemimpin setempat.
Snouck sangat paham hal ini dan melihat Islam sebagai penggerak paling kuat dalam jiwa kaum
Muslim."
Snouck ingin menyerang dan meruntuhkan perlawanan ini dari akarnva. la belajar Islam, datang ke
Mekah, dan pura-pura masuk Islam. Bahkan, untuk tujuan busuk ini, Snouck memakai nama Abdul
Ghaffar.
Dengan cara ini, Snouck bisa mengenal ulama-ulama Aceh yang berada di Mekah, seperti Syekh AI
Habib Abdul Rahman Azh Zhahir. la membangun hubungan erat dengan orang-orang Indonesia di sana,
khususnya asal Aceh, sehingga tak seorang pun dari mereka yang membayangkan ia adalah seorang
musuh lslam yang sangat berbahaya. Snouck bahkan pernah berjanji akan membantu rakyat Aceh
dalam perang melawan penjajah Belanda (membela islam).
Kedatangannya ke Aceh pada tahun 1893 disambut hangat oleh kaum Muslimin. Ia dianggap sebagai
bagian dari mereka karena di mana pun kaum Muslimin bersaudara. Hal ini makin diperkuat dengan
kemampuan Snouck yang bisa bicara bahasa Arab dengan fasih. Mereka membantu segala keperluan
Snouck dan memuliakannya sebagai tamu Muslim yang hidup di tengah keluarganya sendiri.
Bahkan, penduduk daerah Ulee Lheue membantunya dalam mempelajari bahasa lokal agar ia mudah
berhubungan dengan warga setempat. Dari sinilah Snouck mulai bekerja diam-diam dengan melakukan
kajian dan menulis laporan demi kepentingan penjajah Belanda.
Setelah kajian mendalam terhadap masyarakat Aceh, Snouck menemukan bahwa rahasia kekuatan
adalah persatuan ulama dan tokoh pemimpin masyarakat. Inilah yang dihancurkan oleh Snouck dengan
memecah barisan umat dan menumbuhkan pertentangan antara dua pihak yang berpengaruh ini. la
menjalankan politik devide at impera, pecah dan kuasai. Inilah yang membuat Belanda sanggup
menundukkan rakyat Aceh.
Politikus dan Sejarawan Indonesia, Ridwan Saidi dalam bukunya Fakta dan Data Yahudi di Indonesia
memberikan komentar bahwa apa yang dilakukan oleh Snouck sangat licik, ia berpura-pura masuk
Islam, atau dalam istilah lain dikatakan ia melakukan IZHARUL ISLAM, yaitu suatu sikap yang
diperagakan oleh orientalis abad ke-19 di negeri-negeri jajahan. Cara ini amat ampuh dalam upaya
mengorek kelemahan Islam yang menjadi agama mayoritas di tanah jajahan tersebut. Dengan berpurapura Islam, bersyahadat, shalat, bahkan ke Mekkah, kemudian menjadi Mufti tentang masalah Islam,
maka hubungan dengan umat Islam dapat dibina dengan akrab.

Belakangan, Snouck Hurgronje diketahui telah melakukan kejahatan Izharul Islam, meski ia bukan
orang pertama karena sebelumnya seorang orientalis Perancis dengan Izharul Islam nya telah mencapai
sukses melestarikan penjajahan Perancis atas bumi Afrika Utara.
Izharul Islam, sebagai metodologi, kini sudah tidak dipergunakan lagi, boleh dikata sejak Perang Dunia
II berakhir, setelah bangsa-bangsa terjajah memerdekakan diri, maka "zaman keemasan" Izharul Islam
berakhir. Para mantan penjajah yang masih ingin mempertahankan kepentingannya di bekas negeri
jajahan, mempraktekkan penampilan baru, yaitu "bersimpati" kepada Islam, antara lain dengan
memberi bantuan untuk kepentingan "pembangunan" Islam.
Berdasarkan observasi penulis, bukan berarti Izharul Islam mati total, bisa jadi hanya mati suri saja.
Sejarah akan berulang, Snouck jilid kedua bisa terjadi. Mengamati kenyataan di lapangan menunjukkan
betapa banyak kasus ini menimpa umat Islam di bumi Nusantara. Mereka dihormati karena status
sebagai muallaf, tetapi ternyata hal tersebut hanya sebagai kedok untuk melanggengkan misinya. Mulai
dari maksud sederhana ingin mendapatkan hak zakat dan belas kasihan orang, sampai kepada
kepentingan besar dalam misi memurtadkan Muslimin dari agamanya..
Kasus populer di zaman ini beredarnya Qur'an Van Der Plas di Jawa Timur dan Kalimantan Selatan
(daerah Hulu Sungai). Harian Kalimantan Berjuang (23 Maret 1950) memberitakan keterangan Kyai
Widjaja yang melaporkan beredarnya Qur'an palsu yang dibagikan oleh Van Der Plas. Van Der Plas
adalah kuasa pemerintah Belanda yang ditempatkan di "daerah pendudukan". Qur'an palsu itu
diberikan kepada para ulama, dan ternyata setelah diteliti isinya mengandung dongeng Israiliyat. Sudah
barang tentu hal ini menghebohkan. Diduga Van Der Plas sengaja melakukan ini untuk mengacaukan
pemahaman umat terhadap agamanya.
Pola Van Der Plas memang terlalu kotor, dibanding dengan pola yang dijalankan Snouck Hurgronje.
Yang belakangan ini menjalankan misi spionasenya dengan berkedok penelitian ilmiah.
Agar memudahkan membina akses dengan informan Muslim, Snouck ber-Izharul Islam. Ternyata,
menurut penelitian Dr. Van KoningsveId, Snouck membuat laporan penelitian ganda, misalnya tentang
Aceh, Snouck menulis dua jilid buku tebal De Atjehers berisi laporan ilmiah mengenai masyarakat
Aceh, dan buku ini dipublikasikan. Tetapi Snouck juga menulis Verslag Aceh sebagai laporan kepada
Pemerintah Belanda tentang alasan mengapa Aceh harus diperangi. Verslag Aceh berbeda dengan The
Atjehers.
Pendirian Snouck yang paling asli tentang Islam terdapat dalam Verslag Aceh. Di situ Snouck
mencibiri orang Aceh dan Islam. Celaan terhadap Aceh dan Islam mewarnai laporannya itu sehingga
memotivasi pemerintah Belanda untuk meneruskan perang menaklukkan Aceh.
Pada tahun 1906, Snouck Hurgronje kembali ke negeri Belanda setelah bertugas di Indonesia selama
17 tahun. Perpisahan dengan keluarga, menurut sumber terdekat penulis, berlangsung secara
mengharukan, tentunya dengan tetap memiliki paradigma, papahku adalah sosok yang telah membela
islam.
Keempat anaknya yang sudah besar diajaknya ke Stasiun Gambir. Sambil melihat-lihat peninggalan
masa lalu, Snouck berkata kepada anaknya, "Anak-anakku,, papa akan kembali ke negeri Belanda buat
selamanya, keperluan kamu akan papa kirim dari negeri Belanda, dan kamu semua akan papa ikutkan
dalam asuransi jiwa. Bila besar kelak, janganlah kamu menggunakan nama fam Hurgronje, itu mungkin
dampaknya tidak bagus buat kamu."

Keempat anaknya itu terperangah belaka. Hanya air mata yang meleleh di pipi disaksikan area-area
yang membisu. Snouck membujang di Belanda selama empat tahun. Pada tahun 1900 ia kawin lagi
dengan seorang gadis Belanda beragama Roma Katolik, Maria Otter. Tahun 1922 ia dikaruniai seorang
puteriyang diberi nama Christien. Christien rupanya menjadi puteri tunggal dari isteri Belanda satusatunya itu. Menurut sumber-sumber penulis di negeri Belanda, ternyata Christien tidak pernah dididik
secara Islam. Ia tumbuh dan berkembang sebagai gadis Katolik, sampai kelak ia bertemu jodoh dengan
seorang Belanda mantan karyawan De Javasche Bank. Pernikahannya juga berlangsung secara Katolik.
Menjelang wafatnya, Snouck Hurgronje selama tiga bulan terbaring saja di kamar tidurnya di Leiden,
Belanda. Ia tidak bercakap-cakap, sampai suatu hari ia memanggil isteri dan anaknya. Seraya terbaring
di tempat tidur, Snouck meminta agar testamen yang telah dibuatnya diubah. la menginginkan agar
anak-anaknya yang berada di Indonesia diberi bagian warisan. Konon, Christien terlongong-longong,
dan baru pada detik itu ia mengetahui bahwa ia mempunyai saudara seayah di Indonesia. Snouck
dimakamkan satu lahat dengan ibu kandungnya di TPU- Leiden.
Itulah seorang intelijen sebenarnya, kadang sampai masuk liang lahatpun, istri/suami, anak-anaknya
dan orang-orang disekelilingnya tidak akan menyangka sosok yang sebenarnya yang mereka cintai
tersebut.
Tatkala Sejarawan Ridwan Saidi pada tahun 1989 berkunjung ke Belanda, yang ditemani intelektual
Belanda Dr. Kareel Steenbreenk dan Dr. Martin Van Bruinesen, menyempatkan diri menengok makam
Snouck di Leiden. Tampaknya sangat jarang orang berziarah ke situ, kalau pun ada pengunjung,
mereka lebih tertarik berziarah ke makam ibunda pelukis terkenal Van Gogh. Snouck Hurgronje tidak
dimakamkan Secara Islam.
Spion Intelektual
Di negeri Beianda sekali pun, ajaran mikul duwur mendem jero ternyata diamalkan oleh sebagian
ilmuwan Belanda, baik angkatan tuanya seperti F. Schroder dan L.l Graaf maupun yang lebih muda
seperti W.G.J. Ramelink. Karena itu ketika Van Koningsveld (VK) untuk pertama kalinya pada tanggal
16 November 1979 merobek topeng intelektual Snouck Hurgronje (SH), timbul polemik sengit
sepanjang tahun 1980 -1981 dalam pelbagai media massa Belanda.
VK sebagai sarjana ahli bahasa Arab dan keislaman yang lahir pada tahun 1943, berasal dari almamater
yang sama dengan Snouck Hurgronje (SH) yakni Universiteit Kerajaan Leiden. Seperti diketahui,
Snouck Hurgronje (SH) -1857-1936- selama 17 tahun, 1869-1906, menjadi penasehat Islam
pemerintahan Hindia Belanda. Selama itu SH bertindak selaku arsitek "politik Islam" Hicdia Belanda.
Staatblad-staatblad yang dikeluarkan pemerintah jajahan "Perkara boemipoetera jang bersangkoetan
dengan agama Islam" di sepanjang dasawarsa (akhir) abad ke 19 dan abad ke-20 sebelum masa Jepang,
berasal dari pemikiran SH yang intinya menjadikan Islam sebagai agama "ibadat" saja (Islam itu cukup
di masjid saja)
Dan dengan politik asosiasie, SH menginginkan secara kultural boemipoetera beroreintasi kepada
Belanda, "...cukup dengan kesatuan budaya antara kawulanegara Ratu Belanda di Pantai Laut Utara
dan di Insulinde," sebagai cara untuk memecahhkan masalah Islam Belanda, kata SH dalam Nederland
en de Islam. Semua peran yang dibawakannya ini, termasuk dalam Perang Aceh, meninggalkan luka
bernanah pada relung hati umat Islam, sampai kini.

Lewat penelitian yang mendalam, sejumlah dokumen, baik Verslaag, catatan SH, surat-surat dari dan
untuk SH, kepustakaan, dan wawancara, VK menuliskan kesimpulannya tentang SH dalam tujuh
artikel yang dikumpulkan dalam buku ini.
Seperti yang diungkapkannya sendiri, minat meneliti SH bermuIa dari rasa ingin tahu remaja yang
masih duduk di bangku sekolah lanjutan terhadap SH yang namanya ketika itu sudah didengarnya.
Dalam artikel-artikel yang ditulisnya, Van Koningsveld (VK) berkesimpalan bahwa SH adalah seorang
ilmuwan yang tidak dapat dipercaya kejujurannya. Van Koningsveld (VK) membuktikan bahwa bagian
kedua buku Mecca, in the letter part of the 19 th, century, seratus halaman di antaranya merupakan
jiplakan mentah-mentah laporan pembantunya, Aboebakar Djajadiningrat, yaitu paman Husein
Djajadiningrat, tanpa disebut namanya satu kali pun dalam buku ini. Juga foto ilustrasi dibuat oleh
Abdul Gaffar, tabib terkenal di Mekkah, sedangkan SH dalam buku itu membubuhi namanya sendiri
sebagai pembuat foto.
Kelancangan lain adalah SH mengaku menulis 1.500 pepatah Arab, padahal itu merupakan salinan
pepatah Mesir yang dibuat seorang ulama bernama Abdurahman Effendi. Sementara itu, karya lain SH
berjudul The Atjehers merupakan bentuk kelancangan lain. Di samping buku ini. SH menulis Verslag
yang antara lain SH menulis bahwa manusia Aceh sebagai biadab, kotor, dan suka berhubungan seks
liar.
Maka bagi yang mau belajar, salah satu tanda kebenaran seseorang adalah jejak-jejak tulisannnya dan
coba bertanya yang mendalam tentang buku-buku yang ditulisnya, ada satu keadaan dimana yang
bersangkutan akan menjawab dengan tidak memuaskan atau dengan jawaban yang melenceng dari isi
pertanyaan atau enggan memasusi situasi tanya jawab dengan berbagai alasan.
Sejak kunjungan ke Mekkah tahun 1883 SH telah membawa tugas politik, karena perjalanannya itu
diatur dan diongkosi oleh pemerintahan kerajaan Belanda. Sejak di Mekkah, SH telah menyiapkan
konsep "anti gerilya" melawan Aceh. Ia tinggal bertetangga dengan pemukiman orang Aceh di Mekkah.
Dari tempat ini SH mulai memelihara akses dengan pribumi, seperti Hassan Mustafa, yang kelak
menjadi informan pentingnya. SH sendiri pada 1 April 1889 tiba di Penang, dan bergaul dengan
pelarian Aceh, dan dari sini berusaha memasuki Aceh secara gelap. Pemerintah Hindia Belanda
menolak "operasi intelijen" ini. Akhirnya SH langsung berlayar ke Jawa.
VK berpendapat, bukan Jenderal Van Heuz sebagai penakluk Aceh, tetapi justeru SH sendiri. Di antara
tahun 1898-1902, SH melakukan perjalanan ke Aceh sebanyak tujuh kali dan menghabiskan waktu
berdiam sebanyak 33 bulan. Selama itu SH mengambil bagian dalam sejumlah operasi militer,
termasuk memimpin suatu dinas intelijen avan la lettre (secara tidak resmi). Hasilnya SH berjaya
menawan 100 orang pejuang Aceh. Sumbangan terpenting SH dalam penumpasan Aceh adalah
merekonstruksi peta daerah Gayo yang berbukit-berlembah berdasar informasi seorang cecunguk
bernama Djambek alias Nyak Puteh yang menjadi pembantunya. Berdasarkan peta yang dibuat SH,
Jenderal Van Daalen melumpuhkan perlawanan Aceh di sini.
SH tidak akan berhasil dalam misinya yang tidak terungkap sampai terakhir ia berada di Indonesia,
tanpa bantuan orang pribumi seperti Habib Abdurrahman Al Zahir, Aboebakar Djajadiningrat, Hasan
Mustafa, Habib Osman bin Jahja, Tengku Nurdin, dan Djambek. Orang-orang ini dengan setia
membantu dan membala (tentunya tanpa disadari oleh para tokoh tsb) dari misi spionase SH yang
dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah.

Yang tidak kalah pentingnya adalah perilaku Izharul Islam, berpura-pura Islam, yang dilakukan SH
dalam rangka participating observation terhadap Islam, termasuk mengawini dua perempuan pribumi
putri penghulu terkemuka. Bagi para penyusup, menikah dengan tokoh/aktif islam adalah semacam
teori keharusan agar misinya benar-benar sulit dibongkar secara logika. Pernikahan ini tak pernah
diakuinya pada kalangan kulit putih, termasuk kepada puteri Belandanya sendiri, sampai saat
menjelang maut.
Izharul Islam sebagai "sarana riset" dilakukan SH, Seperti halnya Wyne Sergean kawin dengan
Obahorok, dari Lembah Baliem, Irian Jaya, ketika yang bersangkutan meneliti perilaku seks suku
terasing.
Dengan penelanjangan habis-habisan terhadap SH, tidak mengherankan VK menerima tuduhan
berpaham nasionalisme Arab. Sebenarnya apa sih, motif VK sehingga tega. larane (tapi juga) tega
patine terhadap SH.
Hal ini terjawab pada artikel kedelapan dalam buku ini. VK menginginkan review kebijaksanaan
Belanda dewasa ini mengenai Islam. VK mengecam pembatasan terhadap kemungkinan pengembangan
Islam di Belanda, sebagai akibat sistem hukum yang ada.
Ringkasnya, VK menginginkan keterbukaan seraya "klarifikasi intelektual" terhadap masa lampau
generasi ilmuwan Belanda di tanah jajahan.
Dengan buku ini, VK juga ingin menjernihkan misi intelektual para ilmuwan yang bekerja di mana pun
agar memegang etik intelektual dan tidak menjalankan tugas intelijen.
Berdasarkan penelitiannya, VK memastikan bahwa Snouck (SH) secara sadar beralih agama dan
berperilaku lahiriah sebagai Muslim di Mekkah maupun di Indonesia untuk tujuan politik belaka.
Berikut ini petikan pendapat Van Koningsveld (VK) yang dikutip Kompas, 16 Januari 1983:
Snouck menilai, Al Qur'an bukan sebagai wahyu Turan, tetapi lebih sebagai "harya tulis" Nabi
Muhammad SAW.yang mengandung gagasan-gagasannya tentang agama. "Menurut penilaian saya,
disertasi Snouck merupakan karya ilmiahnya yang terbaik, karena di situ. ia bersikap sebagai
ilmuwan,"ujar VK. VK menambahkan keterangan tentang situasi budaya di negeri Belanda saat itu,
yang amat berpengaruh terhadap sikap dan pandangan hidup Snouck kelak. Snouck berasal dari
keluarga pendeta Protestan (domine) terkemuka yang konvensional dan semi ortodoks. Tetapi
lingkungan dia belajar (Leiden) adalah liberal untuk zaman itu. Dan pada periode itu, ilmuwan
perbandingan agama, dan perbandingan sejarah agama amat dipengaruhi teori euolusi dari Charles
Darwin. Pengaruh itu melahirkan suatu teori kebudayaan bahwa budaya Eropa dan agama Kristen
merupakan titik puncak proses perkembangan kebudayaan. Karena itu, agama Islam dianggap sebagai
suatu bentuk "degenerasi" kebudayaan yang oleh kalangan Kristen di situ dianggap sebagai hukuman
Tuhan YME atas segala dosa kaum Nasrani. Pendeknya, agama dan budaya Eropa lebih unggul
daeipada agama dan budaya Timur (Oriental).
Teori atau konsep kebudayaan tersebut di atas amat mempengaruhi pandangan dan sikap Snouck
selanjutnya, demikian VK Pada tahun 1876, semasa Snouck masih mahasiswa di Leiden pernah
menyatakan: "Kita harus membantu. bangsa pribumi (maksudnya penduduk negara jajahan) untuk
beremansipasi dari Islam". Sejak itu, memang Snouck tidak pernah beranjak jauh dari sikap, demikian.

SH kemudian mengajar pada "Leiden of Delf Akademie" tempat semua calon pejabat pemerintah
kolonial Belanda dilatih sebelum berdinas di Hindia Belanda. Snouck sendiri belum pernah ke Hindia,
namun di situlah dia mulai terlibat dengan urusan kolonial Hindia Belanda di mana perang Aceh sudah
mulai berkobar.
Ketika tinggal di Jeddah, Snouck berkenalan dengan dua orang Indonesia yang kemudian menjadi amat
penting baginya, yaitu Raden Aboebakar Djajadiningrat dan Haji Hasan Moestafa, keduanya berasal
dari Priangan. Snouck belajar bahasa Melayu dari Aboebahar dan giat bergaul dertgan para jamaah dari
Hindia untuk mencari keterengan yang diperlukan.
Semua kegiatan Snouck selama di Arab Saudi ini dicatat dalam buku harian yang teliti dan sampai kini
masih tersimpan di arsip perpustakaan Universitas Leiden. Dari buhu harian itu, menurut VK banyak
ulama di Jeddah yang menganjurkan SH beralih agama menjadi Muslim. Apalagi Snouck memang
sudah banyak pengetahuannya tentang Islam. Dan ini memang dilakukan oleh SH, setelah ia tinggal di
rumuh Aboebakar ds Jeddah pada 4 Januan 1885. Peralihan agama ini pasti, karena enam bulan
sesudah itu ada sepucuk surat berbahasa Arab dari seorang penduduk Mekkah yang ditujukan kepada
SH dengan nama Abdoel Gaffar. Salah satu surat itu, menurut penuturan VK berbunyi:
"...karena anda telah beralih agama di depan khalayak ramai, maka juga para ulama di Mekkah dengan
ini mengukuhkan keabsahan peralihan agama anda ke Islam." "Tetapi, meski Snouck telah melakukan
upacara peralihan agama, tidaklah berarti. dia Muslim sejati," kata VK. "Ini pernyataan saya, dan saya
bisa membuktikannya berdasarhan. dokumen yang ada."
Kemudian Snouck alias Abdoel Gaffar tinggal selama enam bulan di Mekkah. Di situ dia diterima
dengan kehormatan oleh ulama tertinggi di Mekkah, yaitu Wali Hejaz. Tahun 1885, Snouck kembali ke
negerinya.
Jilid kedua berisi uraian tentang pelbagai segi kehidupan dan keluarga di Mekkah. Terutama tentang
peri kehidupan dan pandangan kaum `eks Djawa' yaitu masyarakat Indonesia yang bermukim di
Mekkah. Bahkan Snouck menguraikan kehidupan seks dalam keluarga di situ dan pelbagai segi pribadi
hehidupan masyarakat seperti pendidikan agama, khitanan, upacara perkawinan, penguburan. dan
sebagainya. Banyak kalangan ilmuwan yang mengagumi Snouck yang telah menjalankan metode
pengamatan dan penelitian `modern' yakni dengan metode partisipasi.
Tetapi VK berpendapat lain, "Jilid kedua itu terbukti didasarkan pada laporan tertulis berupa surat-surat
dari Aboebakar di Jeddah kepada Snouck," ujarnya. "Korespondensi ini berjalan terus setelah Snouck
pulang melalui Konjen Belanda. Bahkan ada bagian-bagian dari buku Snouck itu yang merupakan
jiplakan dari surat Aboebakar.!" Memang Aboebakar ketika itu dijadikan asisten Konjen Belanda atas
rekomendasi Snouck.
Bukan itu. saja. Bahkan atas persetujuan Snouck, Aboebakar membuat sebuah buku catatan berisi
biografi ulama Indonesia yang berada di Mekkah ketika itu. Buku (cahier) ini berjudul Risalah
Tarjamah Ulama Djawa, antara lain memuat biografi An-Nawauwi Banten. Adanya risalah ini baru
diketahui sekarang dan ditentukan oleh VK. "Ini dan semua surat-surat tadi sepatutnya diterbitkan atas
nama Aboebakar Djajadidningrat karena Snouck tidak menggunakan seluruhnya," katanya.
Selama di Jeddah dan di Mekkah, Snouck memang tidak ber-hasil mendapatkan informasi yang
bernilai politis bagi Belanda. Terutama pandangan terhadap Belanda. Keterangan ini diperoleh dengan

mudah karena masyarakat di sana sudah rnenganggap Snouck alias Abdoel Gaffar sebagai akhu-fiddin
(saudara seagama) mereka. Ketika di situ pula Snouck membina pertemuan dengan orang-orang Aceh.
SH lalu membuat langkah penting dalam hidupnya. Dia menawarkan diri untuk ditugaskan he Aceh. di
mana Belanda sudah terlibat perang yang luas di situ. Apalagi dia masih berkorespondensi dengan
beberapa ulama Aceh yang dikenalnya di Mekkah.
"Snouck mengusulkan, dia akan pergi ke Aceh diam-diam dengan tujuan melakukan penetrasi ke Istana
Sultan di Kumala, suatu tempat di mana Sultan menyingkir dari serbuan Belanda," tutur VK "Snouek
akan mengusahakan suatu persetujuun antara Belanda dengan Sultan Aceh."
Kementerian Urusan Jajahan setuju. Snouck berangkat secara rahasia. Tetapi, sesampai di Penang, dia
dicegat Konsul Belanda dan diperintahkan melapor ke Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Ternyata
pihah militer Belamda di Aceh tidak setuju dengan rencana Snouck. Snouck mendarat di Batavia tahun
1889. Gubernur Jenderal C. Pijnaker Hordijk secara segera menunjuk beberapa orang menjadi asisten
Snouck.
Salah satu pembantu yang utama adalah yang terdahulu Sayyid Osman ibn Jahja ibn Aqil al-Alawi. Dia
ulama keturunun Arab Hadramaut, dan pembantu penasihat pemerintah masalah Islam, yang terdahulu
Mr. L.W.C. Van Den Bergh. Selain itu, Snouck juga dibantu kenalan lama di Mekhah, Haji Hasan
Moestafa, yang dijadikannya penasihat utama untuk wilayah Jawa Barat.
Melalui perbincangan di Batavia dan korespondensi dengan Den Haag, Snouck mendapat jabatan resmi
dan tetap sebagai "Officieel Adviseur voor Oostersche Talen en Mohammedaans Rechts" (Penasehat
Resmi Bahasa Timur dan Hukum Islam). Bahkan sesudah pulang kembali ke Leiden tahun 1906, dia
tetap menjabat kedudukan itu dengan nama "Adviseur voor Inlandsche Zaken" yang berhubungan
dengan kabinet Belanda.
Tugas penting pertama SH adalah mendalami cara menyelesaikan atau lebih tepat menumpas Perang
Aceh. Setelah peninjauan lapangan selama hanya delapan bulan saja, dan dibantu banyak keterangan
tertulis jaringan pembantunya.
Pada tahun 189 SH ditugaskan ke Aceh untuk menyusun saran penyelesaian Perang Aceh bagi Belanda,
karena politik pemerintah gagal total. Snouck berangkat ke Ulee Lheue yang menjadi kubu militer
Belanda. Di situ dia mendapat bantuan berharga dari Tengku Nurdin yang juga abang kepala pengulu
Ulee Lheue bernama A'koeb. Kemudian Snouck membuat laporan telab "Atjeh Verslag" yang menjadi
dasar kebijakan politik dan militer Belanda menghadapi persoalan Aceh.
Bagian pertama laporan. itu berupa uraian antropologis Aceh, pengaruh Islam, peranan ulama, dan
uleebalang. Dalam bagian ini Snouck mengemukakan bahwa Perang Aceh dikobarkan oleh para ulama,
sedang para uleebalang bisa menjadi calon sekutu Belanda karena kepentingabnya adalah berniaga.
"Islam harus dinilai sebagai faktor yang sangat negatif karena membangkitkan fanatisme anti-Belanda
di kalangan rakyat. Setelah para pemuka agama ditumpas, maka Islam akan menjadi tipis (superpicial
di Aceh sehingga para uleebalang bisa dengan mudah menguasai situasi," demikian pendapat Snouck
menurut penuturan VK.
Bagian kedua berisi saran dan tindakan strategis militer. Snouck menyarankan agar operasi militer ke
pedalaman menumpas habis gerilya dan sumber kekuatan utama, dan setelah itu baru bisa ada peluang
membina hubungan kerjasama dengan uleebalang.

Van Koningseteld (VK) menegaskan bahwa Snouck selalu dikelilingi suatu jaringan pembantu atau
pemberi keterangan yang terdiri dari orang Indonesia. "Cara kerja Snouck di Hindia Belanda persis
sama dengan ketika berada di Arab Saudi: mengadakan kontak dengan mendapatkan informasi lengkap
tertulis."
Para ulama ini membantunya dengan sukarela dan dengan keyakinan Snouck itu Muslim. Kecuali
beberapa orang seperti Sayyid Osman, yang memang digaji 100 Gulden sebulan oleh pemerintah
Belanda.
VK menemukan sejumlah surat dari banyak ulama di Jawa kepada Snouck yang disebutnya, antara lain
sebagai "al Sheikh al Allama Maulana Abdoel Ghaffar Moefti Ad-Dhiyar al Djawiya" yang artinya
"Tuan Abdoel Ghaffar sarjana yang amat terpelajar pemimpin agama tertinggi di Jawa."
Lebih istimewa lagi, Sheikh Maulana Abdoel Ghaffar itu pada bulan Januari 1890 menikah dengan
seorang puteri kepala penghulu Ciamis. Dari perkawinan ini lahir empat anak, dua perempuan dan dua
laki-laki. Yaitu Salmah, Emah, Oemar, Aminah, dan Ibrahim.
Dan dekat dengan akhir abad he-19, Abdoel Ghaffar Snouck Hurgronje menikah lagi dengan Siti
Sadiyah, putri ulama paling terkemuka di Bandung ketika itu yaitu Kalipah Apo. Perkawinan ini
melahirkan seorang putra tunggal yaitu R. Joesoef.
Snouck dalam suatu korespondensi dengan Theodor Nuldeke, orientalis terkemuka Jerman yang juga
gurunya di sebuah universitas Strassbourgh, mengaku terus terang bahwa perilakunya sebagai Muslim
adalah untuk menembus masyarakat Islam dan mendapatkan keterangan. ",...saya melakukan idharulIslam karena hanya dengan begitu saya bisa diterima di halangan primitif, seperti di Indonesia," begitu
VK mengutip surat Snouck kepada Nuldeke.
VK juga menemukan surat lain Snouck, yang menyatakan bahwa dia juga seorang agnostik (selalu
meragukan keberadaan Tuhan, tidak perduli dengan agama). Ini ternyata dari surat Snouck kepada
Teolog Protestan terkenal pada zamannya, Herman Bravinck, rekan sekuliahnya di Universitas Leiden.
"...anda memang seorang yang yakin kepada Tuhan. Sedang saya seorang yang skeptis terhadap segala
hal...," tulis Snouck.
PENUTUP Pada dasarnya. pola operasi orientalis angkatan Snouck menggunakan metode ilmiah untuk
memisahkan umat Islam dari spirit ajarannya, baik yang bersifat politik maupun hukum. Snouck
mengajukan gagasan politik asosiasi yang maksudnya mengubah orientasi budaya umat Islam ke arah
kebudayaan Barat, yang diyakini Snouck sebagai paling luhur.
Snouck sudah meninggal, tetapi Snouckisme masih terasa bekas-bekasnya. Kini banyak sarjana Islam
yang mempelajari agamanya lewat metodologi Barat di kampus-kampus ternama di dunia I3arat.
Keislaman dilihat sepenuhnya sebagai gejala profan, metodologi yang berasal dari khasanah Islam
dianggap sudah tidak aktual lagi sebagai perangkat memahami Islam. Secara tidak disadari apresiasi
mereka terhadap Islam berubah, begitu pula terhadap "kitab kuning yang merupakan produk khasanah
lama. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari anggapan bahwa keberagamaan, dalam arti luas, adalah
gejala profan. Jika pemahaman ini ditarik jauh, maka faktor wahyu Ilahi sebagai sumber keberagamaan
(Islam) menjadi nisbi. Kesimpulan ini tidak terlalu jauh dengan catatan surat-surat Snouck Hurgronje
seperti dikutip Koningsveld.

sumber : http://arimateapusat.blogspot.com/
----------------

Anda mungkin juga menyukai