Anda di halaman 1dari 97

SKRIPSI

PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR NOMOR


16 TAHUN 2015 TENTANG KETERTIBAN UMUM DALAM WILAYAH
KABUPATEN FLORES TIMUR (STUDI DI KECAMATAN LARANTUKA)

Diajukan Untuk Melengkapi dan Memenuhi Syarat


Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh:
ALFATIHAH DJAIZ APEREKO
NIM: 1602010219

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2022
LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini telah Disetujui dan Dipertahankan pada hari/tanggal:


Jumad, 08 April 2022.

Menyetujui :

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Kotan Y. Stefanus, S.H., M.Hum. Hernimus Ratu Udju, S.H., M.H.
NIP: 19601227 198702 1 001 NIP: 19610428 198901 1 001

Mengetahui :

Koordinator Program Studi Ilmu Hukum,

Dr. Rudepel Petrus Leo, S.H., M.Hum.


NIP: 19640612 199003 1 003

i
LEMBAR PENGESAHAN

Telah diterima oleh Panitia Ujian Sarjana dan Dewan Penguji Fakultas Hukum
Universitas Nusa Cendana Kupang dalam Ujian Skripsi yang diselenggarakan
pada:

Hari/Tanggal : Jumad, 08 April 2022


Pukul : 10:00 WITA - Selesai
Tempat : Ruang Virtual Zoom Integrasi E-learning Ujian Skripsi
Bagian Hukum Tata Negara
Dinyatakan : Lulus
Dengan Predikat : Sangat Memuaskan

Ketua/Dekan

Dr. Reny Rebeka Masu, S.H., M.H. ..............................................


NIP: 19630203 199003 2 002

Sekretaris/Wakil Dekan I Bidang Akademik

Dr. Jeffry A. Ch. Likadja, S.H., M.H., CIQaR. ..............................................


NIP: 19770912 200604 1 002

Koordinator Program Studi Ilmu Hukum

Dr. Rudepel Petrus Leo, S.H., M.Hum. .............................................


NIP: 19640612 199003 1 003

Penguji Utama

Dr. Ebu Kosmas, S.H., M.Hum. .............................................


NIP: 19580225 198703 1 001

Penguji I

Dr. Kotan Y. Stefanus, S.H., M.Hum. ..............................................


NIP: 19601227 198702 1 001

Penguji II

Hernimus Ratu Udju, S.H., M.H. .............................................


NIP: 19610428 198901 1 001

ii
LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Alfatihah Djaiz Apereko

NIM : 1602010219

Bagian : Hukum Tata Negara

Fakultas : Hukum

Judul Skripsi : Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor


16 Tahun 2015 Tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah
Kabupaten Flores Timur (Studi di Kecamatan Larantuka).

Dengan ini saya menyatakan, bahwa skripsi ini adalah benar-benar karya saya
sendiri. Sepanjang pengetahuan saya, tidak terdapat karya yang ditulis atau diterbitkan
orang lain kecuali sebagai acuan atau kutipan dengan mengikuti tata penulisan karya
ilmiah yang lazim. Apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam penulisan skripsi
ini, maka saya bersedia untuk mematuhi peraturan yang berlaku di Universitas Nusa
Cendana.
Demikian Pernyataan ini saya buat sebagai tanggung jawab formal agar dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya.

Kupang, 28 April 2022

Alfatihah Djaiz Apereko

iii
PERSEMBAHAN

Atas Berkat Kasih dan Karunia ALLAH SWT, Skripsi ini saya persembahkan untuk:
1. Kedua orang tuaku tercinta, Ayahanda Sayman Peten Sili dan Ibunda Fatimah Ina
Duli, yang telah dengan penuh kasih merawat, membesarkan, membimbing dan
selalu mendoakan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.
2. Untuk semua teman-teman seperjuangan pada Fakultas Hukum Angkatan 2016
kelas B: Sakti, Yakob, Adit, Jefri, Hendrik, Fanto, Arfac, Ferdi, Kidon, Eras,
Rahman, Faiz, Ray, Satria, Adi, Vhany, Mertin, Vita, Eva, Rahmi, Ria, Titin, Erlin,
Merlin, Selvi, Reta dan teman-teman lain yang tidak sempat penulis sebutkan
namanya. Terimakasih atas persahabatan yang terjalin selama kita bersama
menuntut ilmu di almamater kita.
3. Untuk semua yang terkasih: Alm. Bapak Alamsyah Amareko, Alm. Bapak
Muhammad Saleh Tokan, Alm. Nana Muhammad Amin Nuen, Alm. Nana Nurdin
Doni, Bapak Ahmad Peten Sili, Nana Liku Sang, Kakak Ina Buan, Kakak Ekhon,
Kakak Perada Roman, Opu Goran dan Kaka Duran, Mama Emi, Nenba Tokan,
Kodrat Tokan, Alfi Tokan, Miden Tokan, Aditya Peten Sili, Alvares Tokan, Rijal
Tokan, Hadjar, Ama Luli, Bapa Dia, Eba Belolo, Rate Riantoby, Hergan, Longa
Tokan, Haji Tokan, Ema Kiwan, Uat, Atika Syafira, Anisa, Ayuwinda, Nona Mey,
Memen Dai, Bunga Riantoby, Alamsyah Tokan dan Sely Eke yang masing-masing
dengan caranya sendiri memberi dukungan kepada penulis. Terimakasih atas doa
dan dukungan selama ini.
4. Teman-teman: Alm. Maggie Hikon, Randi Keraf, Rian Keraf, Tristan, Esti Keraf,
Oji Belaga, Fitrah Engga, Djody, Arif Jakra, Reza, Andi Udjan, Sherin, Fatmi, Siti,
Rugaya, Ita Uran, Hatib, Dede, Karlos, Oncu Solle, Exel, Xavi, Yanto, ade
Eltoladia, ade Edwina serta semua yang tidak sempat disebutkan namanya.
Terimakasih atas doa, dukungan dan kebersamaan yang terjalin selama ini.
5. Alamamater tercinta Universitas Nusa Cendana Kupang yang telah mengasuh dan
membesarkanku. Termakasih untuk semua jasamu.

iv
MOTTO

Saya tidak mengenal kata menyesal, putus asa maupun berhenti, karena saya
meyakini bahwa ALLAH berikan kita kehidupan, maka ALLAH percaya kita
mampu.

Alfatihah Djaiz Apereko

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT patut penulis panjatkan atas selesainya

penyusunan Skripsi ini, karena penulis menyadari bahwa penulis tidak memiliki

kekuatan sendiri untuk menyelesaikan Skripsi ini. tetapi ada satu kekuatan besar yang

membantu, membimbing dan mendorong penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan

Skripsi ini sebagai tugas akhir yang wajib dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat

guna memperoleh gelar Sarjana Hukum. Kekuatan besar itu berasal dari-Nya. Untuk itu,

penulis hanya mampu memuji kepada-Nya dengan do’a sebagai hamba yang berbilang,

walau disadari RahmatNYA tak terbilang.

Penulis memanfaatkan tempat ini sebagai ruang emosional untuk

mengungkapkan rasa terima kasih penulis kepada pihak-pihak yang telah berperan

dalam membantu penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini, antara lain:

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada:

1. Rektor Universitas Nusa Cendana Kupang, Dr. drh. Maxs U. E. Sanam, M.Sc. beserta

jajaran Pembantu Rektor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

mengikuti program S1 di Universitas Nusa Cendana Kupang.

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang, Dr. Reny Rebeka Masu,

S.H., M.H. bersama para Pembantu Dekan, Ketua Bagian Hukum Tata Negara dan

Koordinator Program Studi Ilmun Hukum yang telah memberikan bimbingan dan

perhatian kepada penulis hingga dapat menyelesaiakan studi.

3. Dr. Dhesy Arisandielis Kase, S.H., M.H. selaku Dosen Penasehat Akademik yang

selalu setia memperhatikan dan melayani kebutuhan akademik penulis.

vi
4. Dr. Kotan Y. Stefanus, S.H., M.Hum. sebagai Pembimbing I dan Bapak Hernimus

Ratu Udju. S.H., M.H. sebagai Pembimbing II yang telah banyak membimbing dan

mengarahkan penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.

5. Dr. Ebu Kosmas, S.H., M.Hum. yang telah berkenan menjadi Penguji Utama Skripsi

ini.

6. Para staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang yang telah

dengan ikhlas dan profesional membagi ilmu dan penegetahuannya kepada penulis

selama menimba ilmu sampai selesai.

7. Kepada para Karyawan/ti Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang yang

telah melancarkan segala urusan adminstrasi penulis selama proses perkuliahan.

Semua telah memberi perhatian kepada penulis untuk menyelesaikan jenjang

pendidikan ini, untuk itu penulis sekali lagi mengucapkan terima kasih. Skripsi ini

adalah karya dari berbagai pihak yang berpartisipasi sesuai dengan kapasitasnya masing-

masing. Selain ucapan terimakasih, penulis selalu memanjatkan DO'A semoga Tuhan

Yang Maha Kuasa dapat membalasnya.

Penulis menyadari pula bahwa tulisan ini masih jauh dari kata sempurna, karena

keterbatasan kemampuan penulis, oleh karena itu penulis akan menerima segala kritik

yang bersifat membangun dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan tulisan ini.

Kupang, April 2022.


Penulis,

ALFATIHAH DJAIZ APEREKO.

vii
ABSTRAK

PELAKASANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN FLORES TIMUR


NOMOR 16 TAHUN 2015 TENTANG KETERTIBAN UMUM DALAM
WILAYAH KABUPATEN FLORES TIMUR (STUDI DI KECAMATAN
LARANTUKA), oleh Alfatihah Djaiz Apereko, dibimbing oleh Kotan Y. Stefanus
sebagai pembimbing I dan Hernimus Ratu Udju sebagai pembimbing II.
Masalah ketentraman dan ketertiban umum merupakan suatu masalah umum
yang selalu terjadi sebagai suatu ciri masyarakat yang sedang maju. Hal ini juga terjadi
di wilayah Kabupaten Flores Timur, khususnya di wilayah kecamatan Larantuka yaitu
pada empat kelurahan yang menjadi sampel penelitian, yaitu kelurahan Ekasapta,
kelurahan Postoh, kelurahan Lohayong dan kelurahan Lewolere. Untuk mengatasi
masalah ketertiban umum ini, Pemerintah Kabupaten Flores Timur telah membentuk
Peraturan Daerah, yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun
2015 tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Kabupaten Flores Timur, yang
ditetapkan pada tanggal 21 Agustus 2015. Maksud dan tujuan ditetapkannya Peraturan
Daerah ini dapat dilihat dalam Bab II Pasal yang menyatakan bahwa Peraturan Daerah
ini ditetapkan dengan maksud sebagai pedoman dalam penyelenggaraan ketertiban
umum.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan Peraturan
Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum
Dalam Wilayah Kabupaten Flores Timur di Kecamatan Larantuka dan menganalisis
faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan Peraturan Daerah ini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten
Flores Timur Nomor 16 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Kabupaten
Flores Timur belum efektiv dalam pelaksanaannya, dikarenakan tidak adanya sosialisasi kepada
para pelaku usaha, tidak dilakukan penegakkan atas pelanggaran peraturan daerah ini karena
belum adanya peraturan pelaksanaan Peraturan Daerah sepanjang mengatur tentang tata
cara penegakan peraturan daerah ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 36,
kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan tugas Polisi Pamong
Praja, kurangnya anggaran untuk mendukung pelaksanaan tugas, dan kurangnya Sumber
Daya Manusia yang melaksanakan tugas.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka saran peneliti adalah Pemerintah
Kabupaten Flores Timur melakukan sosialisasi secara massif kepada seluruh lapisan
masyarakat bekerjasama dengan pihak pemerintah kelurahan, melakukan penegakan
hukum atas pelanggaran Peraturn Daerah dengan memberikan sanksi kepada mereka
yang melakukan pelanggaran, dan menetapkan Peraturan Bupati tentang Tata Cara
Penegakan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun 2015
sebagaimana diatur dalam Pasal 36 Peraturan Daerah ini.

Kata Kunci: “Pelakasanaan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16


Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Kabupaten Flores Timur
(Studi di Kecamatan Larantuka).

viii
ABSTRACT

IMPLEMENTATION OF EAST FLORES REGENCY REGULATION NUMBER 16


YEAR 2015 CONCERNING PUBLIC ORDER IN EAST FLORES REGENCY
(STUDY IN LARANTUKA DISTRICT), by Alfatihah Djaiz Apereko, supervised by
Kotan Y. Stefanus as supervisor I and Hernimus Ratu Udju as supervisor II.
The problem of peace and public order is a common problem that always occurs
as a characteristic of a developing society. This also happened in the area of East
Flores Regency, especially in the Larantuka sub-district, namely in the four villages that
were the research sample, namely Ekasapta village, Postoh village, Lohayong village
and Lewolere village. To overcome this public order problem, the East Flores Regency
Government has established a Regional Regulation, namely the East Flores Regency
Regional Regulation Number 16 of 2015 concerning Public Order in the East Flores
Regency Region, which was stipulated on 21 August 2015. The purpose and objectives of
the enactment of this Regional Regulation can be seen in Chapter II Article which states
that this Regional Regulation is stipulated with the intention of being a guide in the
administration of public order.
This study aims to identify and analyze the implementation of the East Flores
Regency Regional Regulation Number 16 of 2015 concerning Public Order in the East
Flores Regency Region in Larantuka District and analyze the factors that hinder the
implementation of this Regional Regulation.
The results of this study indicate that the implementation of the East Flores
Regency Regulation Number 16 of 2015 concerning Public Order in the East Flores
Regency has not been effective in its implementation, due to the absence of socialization
to business actors, enforcement of violations of this regional regulation is not carried
out because there are no implementing regulations. Regional regulations as long as they
regulate the procedures for enforcing these regional regulations as regulated in Article
36, lack of facilities and infrastructure to support the implementation of the duties of the
Civil Service Police, lack of budget to support the implementation of tasks, and lack of
Human Resources to carry out tasks.
Based on the results of the research, the researcher's suggestion is that the East
Flores Regency Government conducts massive socialization to all levels of society in
collaboration with the village government, carries out law enforcement for violations of
Regional Regulations by giving sanctions to those who violate them, and stipulate the
Regent's Regulation on Procedures for Enforcement of Regional Regulations of East
Flores Regency Number 16 of 2015 as regulated in Article 36 of this Regional
Regulation.

Keywords: “Implementation of the Regional Regulation of East Flores Regency No.


16 of 2015 concerning Public Order in the District of East Flores (Study in Larantuka
District).

ix
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... iii

PERSEMBAHAN .................................................................................................... iv

MOTTO ................................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ............................................................................................. vi

ABSTRAK ............................................................................................................... viii

ABSTRACK .............................................................................................................. ix

DAFTAR ISI ............................................................................................................ x

DAFTAR TABEL .................................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .............................................................................. 17

C. Tujuan dan Manfaat ............................................................................ 18

1. Tujuan Penelitian ..................................................................... 18

2. Manfaat Penelitian ................................................................... 18

D. Metode Penelitian ............................................................................... 19

1. Lokasi Penelitian ..................................................................... 19

2. Spesifikasi Penelitian .............................................................. 20

3. Aspek Yang Diteliti ................................................................. 20

x
4. Jenis dan Sumber Data ............................................................ 21

5. Populasi, Sampel dan Responden ............................................ 21

6. Teknik Pengumpulan Data ...................................................... 23

7. Tektik Pengolahan Data dan Analisis ..................................... 24

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 26

A. Konsep Otonomi Daerah dan Konsep Pemerintahan Daerah ................. 26

B. Konsep Ketertiban Umum dan Konsep Ketertiban Masyarakat ............. 33

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...................................... 43

A. Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16

Tahun 2015 Tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Kabupaten Flores

Timur ........................................................................................................ 43

1. Faktor Hukum atau Peraturan Perundang-Undangan ............. 45

2. Faktor Penegak Hukum ........................................................... 47

3. Faktor Sarana atau Fasilitas .................................................... 50

4. Faktor Kesadaran Hukum Masyarakat .................................... 51

5. Faktor Budaya Hukum ............................................................ 54

B. Faktor-Faktor Penghambat Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Flores

Timur Nomor 16 Tahun 2015 Tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah

Kabupaten Flores Timur ......................................................................... 56

1. Faktor Sumber Daya Manusia ................................................. 56

2. Faktor Hukum ......................................................................... 60

3. Faktor Masyarakat ................................................................... 61

xi
BAB IV PENUTUP ................................................................................................. 72

A. Simpulan ............................................................................................. 72

B. Saran ................................................................................................... 73

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 73

LAMPIRAN ............................................................................................................. 80

xii
DAFTAR TABEL

3.1 Perbandingan Aparat Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Flores Timur

Menurut Status Kepegawaian Tahun 2020 ................................................... 58

3.2 Tingkat Pendidikan Aparat Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Flores Timur

2020 ............................................................................................................... 59

xiii
i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kecamatan Larantuka sebagai Ibu Kota Kabupaten Flores Timur yang

terdiri atas 18 (delapan belas) buah Kelurahan dan 2 (dua) buah desa1 memiliki

masalah ketertiban umum sebagai suatu ciri kota atau wilayah yang sedang

berkembang. Dalam upaya untuk memelihara ketertiban umum di Kecamatan

Larantuka ini khususnya dalam mengatasi para pelaku usaha dagang dalam

melakukan aktivitasnya yang seringkali mengganggu ketertiban umum maka perlu

adanya sistem pengelolaan dan penertiban yang baik dan benar yang bertujuan untuk

mengatur serta mengawasi pelaksanaan aktivitas masyarakat.

Pemerintah Kabupaten Flores Timur menyadari bahwa ketertiban

masyarakat sesungguhnya merupakan suatu kebutuhan dasar warga negara. Realita

menunjukan bahwa di wilayah Kabupaten Flores Timur umumnya, khususnya

wilayah Kecamatan Larantuka masih terdapat banyak persoalan yang muncul sebagai

akibat dari pelanggaran ketentraman dan ketertiban umum yang menggangu

ketertiban masyarakat. Hal ini dapat dijumpai di wilayah Kecamatan Larantuka, di

mana warga masyarakat masih melakukan aktivitas jual beli barang dagangannya

pada tempat-tempat yang dapat mengganggu ketertiban masyarakat.

Manusia dilahirkan dan hidup secara berkelompok, dan tidak terpisahkan satu

sama lain. Hidup secara berkelompok ini merupakan kodrat manusia dalam

memenuhi kebutuhannya. Selain itu juga untuk mempertahankan hidupnya terhadap


1
Sumber: Sekretariat Kecamatan Larantuka, Kantor Camat Larantuka Tahun 2020.

1
bahaya yang datang dari luar maupun dari dalam. Setiap manusia akan berusaha

untuk menghindari atau melawan dan mengatasi bahaya-bahaya itu, dan terjadilah

suatu fenomena sosial, yang menurut Koentjaraningrat 2 disebut saling berinteraksi

antar manusia.

Sifat dasar dari manusia adalah selalu menuntut terpenuhi jaminan

kehidupannya, karena manusia adalah makhluk sosial atau zoon politicon menurut

Aristoteles, yang kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh Hans Kelsen yang menyebut

manusia sebagai makhluk sosial yang dikodratkan hidup dalam kebersamaan dengan

manusia lainnya dalam masyarakat3.

Kehidupan dalam kebersamaan berarti adanya hubungan antara manusia

yang satu dengan yang lainnya, yang disebut hubugan sosial atau relasi sosial.

Hubungan sosial merupakan interaksi antar individu, individu dengan kelompok, dan

antara kelompok dengan lingkungannya yang saling mempengaruhi satu dengan

yang lainnya dalam kehidupannya. Hubungan sosial ini sering kali dikonotasikan

dengan interaksi sosial, keduanya memang terkait erat sebagai bentuk paling dasar

dari hubungan sosial. Tidak ada hubungan sosial tanpa adanya interaksi sosial.

Interaksi sosial adalah hubungan timbal balik (sosial) berupa aksi saling

mempengaruhi antar individu, antara individu dan kelompok, dan antara kelompok.

Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya interaksi sosial yaitu imitasi, sugesti,

identifikasi, simpati, empati dan motivasi4.


2
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2009,
hal. 116.
3
http://amaholugeneration.blogspot.com/2012/08/makalah-ketertiban.html

4
https://www.kelaspintar.id/blog/tips-pintar/pengertian-individu-kelompok-dan-hubungan-
sosial-6789/

2
Dalam hubungan sosial itu, selalu terjadi interaksi sosial sebagai wujud

jaringan-jaringan relasi sosial yang dikenal dengan sebutan masyarakat. Dinamika

kehidupan masyarakat menuntut cara berperilaku antara satu dengan yang lainnya

untuk mencapai suatu ketertiban.

Ketertiban didukung oleh tatanan yang mempunyai sifat yang berlain-lainan

atau saling berbeda, karena norma-norma yang mendukung masing-masing tatanan

mempunyai sifat yang tidak sama. Oleh karena itu, dalam masyarakat yang teratur,

setiap manusia sebagai anggota masyarakat harus memperhatikan norma atau kaidah

maupun peraturan yang ada dan hidup dalam masyarakat. Ketertiban dapat membuat

seseorang disiplin, karena merupakan landasan kemajuan suatu bangsa. Tertib dan

disiplin merupakan matra yang sangat menentukan keberhasilan suatu bangsa

menuju kesejahteraan.

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa manusia sebagai makhluk sosial

yang selalu berinteraksi dan membutuhkan bantuan dengan sesamanya. Hal penting

yang dibutuhkan dalam hubungan antar sesama ini, yaitu adanya keteraturan

sehingga individu dapat berhubungan secara harmonis dengan individu lainnya. Oleh

karena itu diperlukan aturan yang disebut Hukum.

Secara umum diketahui bahwa tujuan hukum itu berbeda-beda, tetapi yang

pasti bahwa tujuan dari hukum sesungguhnya adalah menciptakan keteraturan dalam

masyarakat. Hukum yang ada kaitannya dengan masyarakat itu dapat direduksi untuk

ketertiban. Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya Konsep-Konsep Hukum Dalam

Pembangunan5, menyatakan bahwa ketertiban merupakan tujuan pokok dan pertama

5
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Pusat Studi
Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan, bekerjasama dengan Penerbit Alumni Bandung,

3
dari segala hukum. Kebutuhan terhadap ketertiban ini merupakan syarat pokok

(fundamental) bagi adanya suatu masyarakat yang teratur. Ketertiban sebagai tujuan

hukum merupakan fakta objektif yang berlaku bagi segala masyarakat dalam segala

bentuknya. Untuk mencapai ketertiban ini diperlukan adanya kepastian dalam

pergaulan antar manusia dalam masyarakat.6

Setiap aspek kehidupan masyarakat, terdapat aturan atau norma hukum yang

mengatur. Adanya aturan atau norma hukum ini, akan menciptakan ketertiban dan

membuat keadaan kehidupan masyarakat akan menjadi lebih baik, tenang, damai,

aman dan nyaman sehingga aktivitas setiap warga masyarakat dalam berusaha untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya tidak mengalami gangguang ketertiban. Aturan

hukum ini akan dijadikan patokan atau ukuran untuk membandingkan sesuatu hal

yang hakikat, ukuran dan kualitasnya diragukan. Aturan atau hukum hakikatnya

adalah untuk membatasi tindakan masyarakat sehari-hari, untuk menilai suatu

tindakan seseorang itu melanggar ketertiban atau tidak. Dari sini dapat dikatakan

bahwa dengan adanya hukum maka akan tercipta ketertiban dalam kehidupan

masyarakat.

Sejalan dengan uraian tersebut dan berdasarkan pengamatan penulis,

fenomena tentang masalah ketertiban masyarakat dalam menjalankan usaha dagang

ini terjadi di hampir sepanjang jalan dari Pasar Inpres Larantuka ke arah barat

melintasi Kelurahan Ekasapta, Kelurahan Amagarapati sampai Kelurahan Postoh

sebagai pusat perniagaan di Kecamatan Larantuka, di mana pada trotoar sepanjang

jalan yang melintasi 3 (tiga) kelurahan tersebut para pedagang menjual barang

Tahun 2002, hal. 3.


6
Ibid.

4
dagangannya di atas trotoar jalan, dan bahkan di emperan toko. Hal ini tentu sangat

mengganggu warga masyarakat lainnya dalam beraktivitas.

Dari fenomena tersebut, tidak nampak adanya upaya penertiban yang

dilakukan oleh pejabat penegak hukum dalam hal ini Satuan Polisi Pamong Praja

yang mempunyai tugas antara lain melakukan upaya penertiban umum. Dalam upaya

penanggulangan masalah ini, Pemerintah Kabupaten Flores Timur telah membentuk

Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun 2015 tentang Ketertiban

Umum Dalam Wilayah Kabupaten Flores Timur 7. Pembentukan Peraturan Daerah

Kabupaten Flores Timur ini, dipandang perlu untuk mengatur ketertiban umum

dalam wilayah Kabupaten Flores Timur, termasuk di dalamnya wilayah kecamatan

Larantuka. Namun peraturan yang dipandang sebagai salah satu aspek penting dalam

masyarakat untuk merealisasikan terbentuknya sebuah masyarakat yang nyaman dan

berkeadilan, terkadang oleh segelintir orang tidak diindahkan sebagaimana tujuan

pembentukannya. Tidak jarang hukum atau aturan itu dicederai, dilanggar bahkan

dimanipulasi fungsinya oleh orang yang memang mempunyai kepentingan, atau

orang yang masih menganggap tidak pentingnya sebuah hukum dalam masyarakat.

Para pelaku pelanggaran ataupun pencedera hukum inilah yang dalam tulisan ini

disebut sebagai orang yang tidak taat pada hukum.

Ruang lingkup pengaturan ketertiban umum dalam Peraturan Daerah

Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum Dalam

Wilayah Kabupaten Flores Timur ini dapat dilihat dalam Pasal 4, yaitu:8

1. Pemanfaatan Barang Milik Daerah.


7
Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2015 Nomor 16, Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0123).
8 ?
Ibid.

5
Dalam memanfaatkan Barang Milik Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 5,

setiap orang dan atau badan wajib memanfaatkan barang milik Daerah sesuai

peruntukannya, dan larangan memanfaatkan barang milik daerah berupa; tanah,

gedung/bangunan, dan atau barang milik daerah lainnya baik yang bergerak

maupun tidak bergerak tanpa ijin dari Bupati atau Pejabat yang berwenang.

Apabila barang milik daerah tersebut tidak dimanfaatkan sesuai peruntukannya,

maka sebagai sanksinya Bupati dapat memerintahkan Satuan Polisi Pamong Praja

Kabupaten Flores Timur untuk melakukan penertiban dan mengambil secara

paksa barang milik Daerah yang dikuasai oleh orang atau badan tanpa

pemberitahuan sebelumnya.

2. Pemanfaatan Jalan.

Pemanfaatan jalan ini diatur dalam Pasal 6 sampai Pasal 7, yang mengatur:

1) kewajiban pejalan kaki untuk berjalan di atas trotoar apabila jalanan

dimaksud telah dilengkapi dengan trotoar; dan

2) kewajiban pemakai jasa angkutan umum untuk menunggu kendaraan di

tempat pemberhentian yang telah ditetapkan.

Selain mengatur kewajiban di atas, diatur pula larangan-larangan, seperti:

a. larangan memasang portal/palang pintu perlintasan;

b. larangan menutup terobosan atau putaran jalan;

c. larangan merusak jalan dan bangunan pendukung;

d. larangan membuang sampah atau kotoran lainnya di jalan;

e. larangan menumpuk bahan bangunan dan/atau sisa bahan bangunan di

trotoar dan jalan yang dapat mengganggu lalu lintas umum;

6
f. larangan memarkir kendaraan di tempat yang bukan peruntukannya;

g. larangan melakukan bongkar muat barang di tepi atau badan jalan pada

jam 06.00 Wita sampai dengan jam 22.00 Wita;

h. larangan melakukan tindakan yang dapat mengganggu kelancaran berlalu

lintas;

i. larangan mengangkut bahan yang dapat membahayakan keselamatan

umum;

j. kendaraan yang rusak di jalan harus dipindahkan selambat-lambatnya 1 x

24 jam.

3. Bangunan.

Bangunan diatur dalam Pasal 9 sampai Pasal 10, yang antara lain menyatakan

bahwa:

1). suatu bangunan harus memenuhi persyaratan adminstrasi dan teknis sesuai

ketentuan Peraturan Perundang-undangan;

2). kewajiban pemilik atau penghuni bangunan, antara lain:

a. menjaga keamanan dan ketertiban dalam rumah, perumahan dan

lingkungannya;

b. membuat bak penampung tinja;

c. membuat, menjaga dan memelihara saluran air tanpa menganggu

kepentingan tetangga/lingkungan; dan

d. membuang sampah pada tempatnya.

3). selain mengatur tentang kewajiban, diatur juga larangan-larangan, seperti:

7
a. larangan membuat gaduh/keributan yang dapat mengganggu ketentraman

dan ketertiban di lingkungan sekitar tempat tinggal;

b. larangan menyimpan dan menyebarkan benda yang berbau busuk yang

dapat menganggu keselamatan umum atau dapat menimbulkan bahaya

bagi orang lain; dan

c. larangan menanam pohon atau tumbuhan yang dapat menganggu

keselamatan umum atau dapat menimbulkan bahaya bagi orang lain.

4. Usaha Dagang.

Usaha Dagang diatur dalam Pasal 11 sampai Pasal 12 yang antara lain

menyatakan bahwa:

1). setiap orang yang menjalankan usaha dagang harus memenuhi dan mentaati

ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan

2). selain itu, Peraturan Daerah ini juga melarang orang untuk melakukan

kegiatan jual beli di:

a. badan jalan;

b. trotoar;

c. emperan toko;

d. jalur hijau;

e. taman; dan

f. fasilitas umum.

5. Kebersihan.

Kebersihan diatur dalam Pasal 13 sampai Pasal 16, yang antara lain mengatur:

1). kewajiban setiap orang untuk:

8
a. menjaga kebersihan di fasilitas umum dan fasilitas khusus; dan

b. membuang sampah pada tempat pembuangan sampah.

c. orang yang memiliki pabrik, bengkel, rumah makan/restoran,

penginapan/hotel, dan usaha catering serta usaha lainnya wajib

menyediakan tempat penampung sampah.

d. pengelola fasilitas umum dan fasilitas khusus wajib menyediakan tempat

penampung sampah.

2). kewajiban Pemerintah Daerah untuk menyediakan tempat penampung sampah

pada tempat yang telah ditentukan.

6. Penumpukan, Pengangkutan dan Pemusnahan Sampah.

Penumpukan, Pengangkutan dan Pemusnahan Sampah ini diatur dalam Pasal 17

sampai Pasal 19, yang antara lain mengatur:

1). Sampah yang berasal dari rumah, fasilitas umum dan fasilitas khusus wajib

ditumpuk pada TPS dan diangkut oleh petugas ke TPA.

2). sampah yang sudah ada di TPA wajib dimusnahkan.

7. Jalur Hijau, Taman dan Fasilitas Umum.

Jalur Hijau, Taman dan Fasilitas Umum diatur dalam Pasal 20 yang mengatur

larangan dalam hal:

1). membangun rumah tinggal di jalur hijau, taman dan fasilitas umum;

2). membuang sampah di jalur hijau, taman, fasilitas umum; dan

3). melakukan perbuatan dengan alasan apapun yang dapat merusak jalur hijau,

taman dan fasilitas umum.

8. Sosial.

9
Ketentuan yang mengatur tentang Sosial ini diatur dalam Pasal 21 yang mengatur

larangan bagi orang atau badan dalam hal:

1). meminta bantuan atau sumbangan berupa uang atau barang dengan cara atau

alasan apapun tanpa ijin tertulis dari Bupati;

2). melakukan tindakan yang meresahkan masyarakat; dan

3). menggunakan, menyediakan bangunan atau rumah serta melakukan tindakan

a-usila di fasilitas umum dan fasilitas khusus.

9. Pemakaman.

Pengaturan tentang Pemakaman diatur dalam Pasal 22 sampai Pasal 23 yang

mengatur tentang:

1). kewajiban masyarakat untuk memakamkan jenazah di tempat pemakaman

umum, pemakaman khusus dan pemakaman keluarga yang telah disediakan

yang tidak bertentangan dengan rencana tata ruang wilayah; dan

2) kewajiban Pemerintah Daerah mendorong Pemerintah Desa untuk

menyediakan anggaran dan lokasi untuk dijadikan tempat pemakaman umum

pada setiap desa yang belum memiliki tempat pemakaman umum.

10. Sungai, Pantai dan Drainase.

Sungai, Pantai dan Drainase diatur dalam Pasal 24 yang mengatur larangan bagi

orang/badan untuk:

1). melakukan aktivitas yang dapat mengganggu atau merusak fungsi ekosistem

pada sungai dan bantaran sungai;

2). melakukan aktivitas yang dapat mengganggu atau merusak fungsi ekosistem

pantai; dan

10
3). melakukan aktivitas yang dapat mengganggu atau merusak fungsi drainase.

Dalam ketentuan ini juga diatur tentang pengecualian terhadap larangan-

larangan tersebut, yaitu untuk ritual/seremoni adat dan agama.

11. Kependudukan.

Kependudukan diatur dalam Pasal 25 yang mengatur tentang kewajiban bagi

setiap warga masyarakat yang telah memenuhi persyaratan sesuai ketentuan

Peraturan Perundang-undangan memiliki dokumen kependudukan, dan larangan

bagi warga masyarakat untuk memiliki dokumen kependudukan ganda.

Selain itu, diatur juga kewajiban warga masyarakat yang telah memiliki Kartu

Tanda Penduduk untuk membawanya pada saat bepergian

12. Peternakan.

Ketentuan tentang Peternakan terdapat di dalam Pasal 27 sampai Pasal 29, yang

antara lain mengatur kewajiban warga masyarakat atau badan hukum yang

melakukan usaha peternakan, untuk memenuhi persyaratan sesuai ketentuan

Peraturan Perundang-undangan, seperti wajib membuat kandang dan tidak

membiarkan ternaknya berkeliaran, dan kandang tersebut harus berlokasi di luar

pemukiman warga, serta kewajiban untuk selalu menjaga kebersihan kandang

sehingga tidak mengganggu lingkungan sekitarnya.

13. Anak Sekolah.

Pengaturan tentang Anak Sekolah ini terdapat dalam Pasal 30 yang mengatur

tentang larangan bagi anak sekolah untuk berkeliaran di luar lingkungan sekolah

pada jam sekolah, seperti seperti pasar, pertokoan dan/atau tempat umum lainnya.

11
Apabila terdapat anak sekolah yang berada di luar lingkungan sekolah pada jam

pelajaran, maka Bupati dapat memerintahkan Polisi Pamong Praja untuk

melakukan penertiban terhadap anak sekolah tersebut.

Dari berbagai pengaturan ketertiban umum sebagaimana diuraikan di atas,

masyarakat relatuf belum memahami fungsi atau tujuan pengaturan, yang dapat

dikatakan sebagai tujuan hukum. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Lawrence M.

Friedman dalam bukunya American Law an Introduction (Hukum Amerika, Sebuah

Pengantar)9 bahwa tidak ada cara lain untuk memahami suatu hukum selain melihat

perilaku hukum (legal behavior). Selanjutnya dijelaskan oleh Lawrence M. Friedman

bahwa yang dimaksudkan dengan perilaku hukum adalah perilaku masyarakat yang

dipengaruhi oleh aturan, keputusan, perintah atau undang-undang yang dikeluarkan

oleh pejabat yang berwenang10.

Selanjutnya, menurut C.S.T Kansil, dalam buku Pengantar Ilmu Hukum dan

Tata Hukum Indonesia, mengatakan bahwa timbulnya pemahaman sebagian

masyarakat yang tidak mematuhi hukum tersebut, karena masing-masing warga

masyarakat mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, namun bagaimanapun juga

kepentingan bersama mengharuskan adanya ketertiban dalam kehidupan

bermasyarakat itu11.

Selanjutnya C.S.T. Kansil, menyatakan bahwa:

9 ?
Laurence M Friedman; American Law Introduction, Second Edition, diterjemahkan oleh
Wishnu Basuki dengan judul Hukum Amerika, Sebuah Pengantar, Penerbit PT. Tatanusa, Jakarta,
2001, hal. 280.
10
Loc. Cit.

10

11
C.S.T. Kansil; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, P.N. Balai Pustaka,
Jakarta, 1983, hal. 81.

12
“ada tata aturan atau kaidah atau norma yang mengatur tata kehidupan
manusia dalam suatu masyarakat yang memiliki dua macam isi, yaitu:
1. Perintah, yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk berbuat
suatu oleh karena akibat-akibatnya dipandang baik;
2. Larangan, yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk tidak
berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dipandang tidak baik”12

Untuk mempertahankan atau menjamin pelaksanaan dari kaidah atau aturan

atau norma, maka perlu adanya sanksi-sanksi yaitu ancaman hukuman terhadap

barang siapa atau setiap orang atau badan yang melakukan pelanggaran atasnya.

Sanksi ini merupakan reaksi dari negara terhadap perbuatan yang melanggar norma.

Hal ini, sejalan dengan pendapat dari Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya

Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan13 yang menyatakan bahwa dalam

hukum terdapat pengaturan ketentuan-ketentuan yang dapat dipaksakan dengan suatu

cara yang teratur, yaitu pemaksaan guna menjamin penaatan ketentuan-ketentuan

hukum itu sendiri, tunduk pada aturan-aturan tertentu. Dalam penegakan ketentuan-

ketentuan sebagaimana dimaksud oleh Mochtar Kusumaatmadja tersebut, maka

dalam suatu negara pemaksaan itu berada di tangan negara melalui alat-alat atau

aparaturnya yang diberi kewenangan untuk melakukan penertiban.

Sesuai dengan pendapat di atas, maka kebijakan yang dilakukan oleh

Pemerintah Daerah Kabupaten Flores Timur dalam membentuk Peraturan Daerah

Kabupaten Flores Timur tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Kabupaten

Flores Timur untuk mengatur ketertiban yang antara lain mengatur tentang

kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Flores Timur dalam

melaksanakan tugas penegakkan Peraturan Daerah, termasuk di dalamnya

kewenangan untuk melakukan atau menegakkan ketertiban umum.


12
Ibid.
13
Mochtar Kusumaatmadja, Ibid, hal. 4.

13
Satuan Polisi Pamong Praja pada hakekatnya mempunyai tugas memberikan

perlindungan kepada masyarakat, sehingga dapat terwujud rasa tenteram dan tertib di

tengah-tengah masyarakat. Upaya menciptakan ketenteraman, ketertiban dan

memberikan perlindungan kepada masyarakat ini sesuai dengan tugas dari Satuan

Polisi Pamong Praja yang secara normatif diatur dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah

Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi Pamong Praja yang menyatakan bahwa

Satuan Polisi Pamong Praja mepunyai tugas:14

a. Menegakkan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah;

b. Menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman; dan

c. Menyelenggarakan perlindungan masyarakat.

Sebagai aparatur pemerintah daerah yang diberi kewenangan oleh peraturan

perundang-undangan untuk melakukan tugas sebagaimana tersebut di atas, salah

satunya adalah menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman maka Satuan

Polisi Pamong Praja harus mampu melakukan fungsi penegakkan Peraturan Daerah

Kabupaten Flores Tmur Nomor 16 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum Dalam

Wilayah Kabupaten Flores Timur.

Dalam Bab VII Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur tersebut yang

mengatur tentang Usaha Dagang dan dalam Pasal 11 menyebutkan 15: “Setiap orang

yang menjalankan usaha dagang harus memenuhi dan mentaati ketentuan peraturan

perundang-undangan”.

14
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi Pamong Praja,
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 72, Tambahan Lambaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6205).
15
Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2015 Nomor 16, Tambahan Daerah
Kabupaten Flores Timur Nomor 0123), op. cit.

14
Selanjutnya, dalam Pasal 1216 disebutkan:

(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan jual beli di:


a. badan jalan;
b. trotoar;
c. emperan toko;
d. jalur hijau;
e. taman; dan
f. fasilitas umum.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f,
dapat dikecualikan atas ijin Bupati atau pejabat yang ditunjuk.

Dari ketentuan Pasal 12 di atas, diketahui bahwa di dalam Peraturan Daerah

Kabupaten Flores Timur yang mengatur tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah

Kabupaten Flores Timur secara normatif sudah diatur tentang larangan untuk

melakukan aktivitas usaha dagang pada beberapa tempat. Pengaturan mengenai

larangan ini tidak akan efektif apabila tidak disertai dengan upaya penegakan hukum.

Menurut Wicipto Setiadi17 dalam tulisannya berjudul: “Sanksi Administratif

Sebagai Salah Satu Instrumen Penegakkan Hukum Dalam Peraturan Perundang-

undangan”, menyebutkan bahwa suatu peraturan perundang-undangan tidak akan

efektif apabila tidak disertai dengan penegakan hukum atas pelaksnaannya18.

Penegakan hukum terhadap suatu peraturan perundang-undangan dalam konteks

penelitian ini adalah adanya sanksi administratif bagi setiap orang atau badan usaha

yang melakukan pelanggaran.

Sejalan dengan pendapat dari Wicipto Setiadi tersebut dan dihubungkan

dengan konteks penegakkan hukum dalam Peraturan Daerah Kabupaten Flores

16 ?
Ibid.
17
Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-undangan, Departemen Hukum dan HAM.
18
Tulisan ini pernah dimuat dalam Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 6 No. 4 - Desember 2009
dikutip dari e-jurnal.go.id, diakses tanggal 27 Juli 2020.

15
Timur Nomor 16 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Kabupaten

Flores Timur ternyata sudah sejalan, karena secara tegas sudah diatur dalam Pasal 32

ayat (1)19 yang isinya menyatakan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan

antara lain Pasal 1220 dikenakan sanksi administratif. Selanjutnya dalam Pasal 32

ayat (2)21 diatur mengenai bentuk sanksi administratif yaitu:

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa:


a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. pencabutan Ijin Mendirikan Bangunan;
d. pencabutan Ijin Usaha; dan
e. rekomendasi pencabutan Ijin Usaha.

Walaupun dalam Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur tentang

Ketertiban Umum Dalam Wilayah Kabupaten Flores Timur sudah mengatur

mengenai larangan melakukan aktivitas usaha dagang di beberapa tempat dan juga

sudah mengatur sanksi tegas bagi setiap orang yang melanggarnya, namun larangan

dan sanksi tegas tersebut sepertinya belum dipatuhi oleh para pelaku usaha dagang di

Kecamatan Larantuka Kabupaten Flores Timur sebagai obyek penelitian. Adanya

ketidakpatuhan masyarakat atas norma yang telah ditetapkan ini, menurut Mochtar

Kusumaatmadja dalam bukunya Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan 22

telah mengabaikan tujuan pokok dari hukum, yaitu ketertiban (order), karena

ketertiban adalah tujuan pokok dan pertama dari segala hukum. Kebutuhan terhadap

ketertiban ini merupakan syarat pokok bagi adanya suatu masyarakat manusia yang

teratur.

19
Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2015 Nomor 16, Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0123), op.cit.
20
Loc.Cit.
21
Loc. Cit.
22
Op.Cit.

16
Dari uraian tersebut, peneliti tertarik melakukan penelitian untuk

mengetahui faktor-faktor apasajakah yang menjadi penyebab dari masalah ketertiban

masyarakat dalam kaitannya dengan perilaku para pelaku usaha dagang di kecamatan

Larantuka Kabupaten Flores Timur dan menuangkannya dalam bentuk karya tulis

ilmiah berupa skripsi dengan judul:

Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun

2015 Tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Kabupaten Flores Timur

(Studi Di Kecamatan Larantuka).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan

masalah pokok dalam penelitian ini, yaitu:

1. Seberapajauhkah pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor

16 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Kabupaten Flores

Timur di Kecamatan Larantuka?

2. Apasajakah faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan Peraturan Daerah

Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum

Dalam Wilayah Kabupaten Flores Timur di Kecamatan Larantuka?

C. Tujuan Dan Manfaat

1. Tujuan Penelitian.

17
a. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan Peraturan Daerah

Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun 2015 tentang Ketertiban

Umum Dalam Wilayah Kabupaten Flores Timur di Kecamatan Larantuka.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang menghambat

pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun

2015 tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Kabupaten Flores Timur

di Kecamatan Larantuka.

2. Manfaat Penelitian.

Dengan melihat tujuan penelitian di atas, maka dapat dirumuskan manfaat

dari penelitian ini adalah:

a. Manfaat Teoretis

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan

studi Hukum Tata Negara pada umumnya, khususnya studi Hukum

Pemerintahan Daerah.

b. Manfaat Praktis.

Adapun manfaat praktis penelitian ini adalah:

1). Bagi Pemerintah Kecamatan Larantuka khususnya dan bagi pemerintah

Kabupaten Flores Timur secara umum dalam mengatasi masalah

ketertiban umum di Kecamatan Larantuka Kabupaten Flores Timur untuk

menciptakan rasa aman bagi masayarakat di wilayah ini.

2). Bagi masyarakat yang menjalankan Usaha Dagang, sebagai bahan

informasi kepada masyarakat umum khususnya kepada para pelaku usaha

dagang yang menjalankan aktivitas usahanya bersama pemeritah untuk

18
selalu menjaga ketertiban umum agar senantiasa dapat tercipta suasana

yang tertib dan nyaman dalam wilayah Kecamatan Larantuka Kabupaten

Flores Timur.

D. Metode Penelitian

1. Lokasi Penelitian.

Penelitian ini dilakukan di Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten

Flores Timur dan Kantor Camar Larantuka, juga akan dilakukan di 4 (empat)

kelurahan dalam wilayah Kecamatan Larantuka Kabupaten Flores Timur,

yaitu:

a. Kelurahan Ekasapta;

b. Kelurahan Postoh;

c. Kelurahan Lohayong; dan

d. Kelurahan Lewolere.

Kelurahan Ekasapta dan Kelurahan Postoh dipilih karena pada kedua wilayah

kelurahan ini terdapat aktivitas masyarakat yang menjalankan usaha

dagangnya pada tempat-tempat yang dapat mengganggu ketertiban

masyarakat, sedangkan kelurahan Lohayong dan kelurahan Lewolere dipilih

karena pada kedua kelurahan ini tidak nampak adanya kegiatan masyarakat

yang dapat mengganggu ketertiban masyarakat.

2. Spesifikasi Penelitian.

Spesifikasi penelitian sebagaimana yang berlaku dalam penelitian hukum

pada umumnya, maka penelitian ini adalah jenis penelitian yuridis-empiris,

19
yaitu mengkaji pelaksanaan ketentuan atau peraturan perundang-undangan

yang mengatur tentang ketertiban masyarakat dalam melakukan usaha dagang

di wilayah Kecamatan Larantuka Kabuaten Flores Timur.

3. Aspek yang Diteliti.

Aspek-aspek yang diteliti dalam penelitian ini adalah:

1). Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor

16 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Kabupaten

Flores Timur, yang terdiri dari faktor-faktor:

a. Faktor hukum atau peraturan perundang-undangan;

b. Faktor penegak hukum;

c. Faktor Sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan hukum;

d. Faktor kesadaran hukum masyarakat; dan

e. Faktor budaya hukum masyarakat.

2). Faktor-faktor Penghambat Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Flores

Timur Nomor 16 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah

Kabupaten Flores Timur, yang terdiri dari:

a. Faktor Sumber Daya Manusia;

b. Faktor hukum atau Peraturan Perundang-undangan; dan

c. Faktor Masyarakat.

4. Jenis dan Sumber Data.

a. Data Primer.

Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung di lokasi penelitian.

b. Data Sekunder.

20
Data Sekunder merupakan bahan-bahan hukum yang dapat dijadikan

sebagai obyek penelitian dalam studi dokumen atau studi kepustakaan ini.

5. Populasi, Sampel dan Responden.

a. Populasi.

Sugiyono, dalam bukunya Metode Penelitian Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif mendefinisikan Populasi adalah wilayah generalisasi yang

terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik

tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian

ditarik kesimpulanya.23

Adapun populasi dalam penelitian ini adalah para penyelenggara

pemerintahan tingkat Kabupaten Flores Timur, penyelenggara

pemerintahan tingkat Kecamatan Larantuka dan penyelenggara

pemerintahan tingkat Kelurahan dalam wilayah kecamatan Larantuka.

b. Sampel.

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi tersebut. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin

mempelajari semua yang ada pada populasi misalnya karena keterbatasan

dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang

diambil dari populasi itu24.

23
Sugiyono, Metode Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Alfabeta, Bandung, 2010,
hal. 90.
24
Ibid, hal. 91.

21
Teknik penarikan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah

berdasarkan penunjukan langsung (Purposive Sampling).

c. Renponden/Interval.

Penelitian ini membatasi jumlah responden dan dibatasi pula pada sample

tertentu yang berhubungan langsung dengan penelitian ini. Walau

demikian, kualitas data dan informasi dari responden akan sangat

membantu peneliti dalam melakukan analisis data yang diperoleh untuk

mencapai tujuan penelitian ini, dengan menggunakan teknik pengambilan

purposive sampling proposif.

Untuk memperoleh data yang sesuai dengan tujuan penelitian,

maka responden dalam penelitian ini ditetapkan sebagai berikut:

1. Kasat Pol PP Kabupaten Flores Timur .................................... 1 Orang

2. Lurah Postoh ............................................................. 1 Orang

3. Lurah Ekasapta ............................................................. 1 Orang

4. Lurah Lohayong ............................................................. 1 Orang

5. Lurah Lewolere ............................................................. 1 Orang

Jumlah ............................................................. 5 Orang

6. Teknik Pengumpulan Data.

Metode penelitian ini, sesuai dengan yang dikenal dalam kepustakaan penelitian

hukum (legal research), menggunakan penelitian hukum normatif.25 Karena itu,

upaya untuk memperoleh data dalam penelitian ini dilakukan dengan mengadakan

25
Data dasar dalam penelitian hukum normatif ini adalah bahan pustaka yang digolongkan
sebagai data sekunder yang: a. ada dalam keadaan siap pakai, b. bentuk dan isinya telah disusun oleh
peneliti-peneliti terdahulu, c. dapat diperoleh tanpa terikat waktu dan tempat. (Baca: Soerjono
Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Penerbit PT. Raja
Grafindo Persada, 1995, hal. 37.

22
penelitian kepustakaan, yaitu mengumpulkan data sekunder, baik yang bersifat

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tertier dan

melakukan penelitian lapangan, dengan cara sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan/Penelitian Kepustakaan (library research).

Studi kepustakaan atau sering disebut juga studi dokumen, di sini peneliti

akan meneliti atau menggali bahan-bahan hukum atau data tertulis berupa

dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah (peraturan

perundang-undangan), buku-buku hasil penelitian, dan juga melalui internet

serta bahan tertulis lainnya yang ada hubungannya dengan permasalahan yang

akan diteliti.

b. Penelitian Lapangan (field research).

Dalam penelitian hukum normatif ini, peneliti juga menggunakan metode

pengumpulan data melalui penelitian lapangan untuk memperoleh data

empiris dengan cara wawancara,26 dan observasi lapangan dengan titik

beratnya tetap pada penelitian kepustakaan, oleh karena itu metode

pengumpulan data melalui wawancara dan observasi lapangan akan

digunakan sebagai sarana untuk mengetahui realitas yang ada. Dengan

demikian wawancara yang dilakukan dalam rangka memperoleh gambaran

dan pembuktian mengenai sikap, pandangan dan persepsi para responden atau

narasumber tentang berbagai permasalahan yang berkaitan dengan masalah

yang diteliti. Dalam kaitannya dengan teknik penelitian ini, peneliti akan

26
Wawancara adalah teknik penelitian yang paling sosiologis karena bentuknya yang berasal
dari interaksi verbal antara peneliti dengan responden, dalam James A. Black dan Dean J. Champion,
Metode dan Masalah Penelitian Sosial, diterjemahkan oleh E. Koeswara, Dira Salam dan Alfin
Ruzhendi, PT. Refika Aditama, Bandung, Cet. Kedua, 1999, hal. 305.

23
berupaya untuk memperoleh data primer, yaitu data yang diperoleh langsung

dari pihak-pihak yang berhubungan dengan masalah yang menjadi obyek

penelitian27.

7. Teknik Pengolahan Data dan Analisis.

Bahan-bahan yang telah diperoleh akan dikumpulkan dan kemudian akan

diseleksi untuk diambil data khusus, yaitu data yang berkaitan dengan

permasalahan yang diteliti. Data tersebut lalu diklasifikasikan sesuai dengan

sub-sub bahasan dalam penelitian ini, dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Memilih peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan obyek

penelitian;

b. Memilih kembali seluruh informasi yang diperoleh berdasarkan hasil

wawancara dan observasi; dan

c. Melakukan klarifikasi terhadap peraturan perundang-undangan maupun

hasil wawancara dan observasi lapangan yang diperoleh.

Data yang telah diperoleh tersebut, akan diolah dan dianalisis dengan cara

sebagai berikut:

a) Pengolahan Data.

Data yang diperoleh selanjutnya akan diolah melalui tahapan sebagai

berikut:

1. Editing, yaitu suatu proses meneliti dan memeriksa data yang

diperoleh serta melakukan perbaikan data yang diperoleh sehingga

sesuai dengan data yang diteliti di lapangan.


27
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, Cet. Pertama, 1996,
hal. 123.

24
2. Klasifikasi atau pengelompokan yaitu proses pengelompokan data

yang diperoleh sesuai dengan substansi permasalahan dalam

penelitian ini.

3. Tabulasi data, yaitu proses penyusunan data sesuai dengan

kualifikasinya dalam bentuk tabel sederhana.

b) Analisis Data.

Data yang telah diolah, dianalisis secara deskriptif, yuridis dan

kualitatif dalam bentuk uraian-uraian yang menjelaskan hal-hal pokok

yang diteliti sesuai dengan arah dan kaidah hukum yang berlaku.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Otonomi Daerah dan Pemerintahan Daerah

1. Konsep Otonomi Daerah

Esensi dasar penyelenggaraan pemerintahan adalah untuk menegakkan

ketertiban dan keamanan masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Sementara itu, esensi otonomi daerah adalah mendistribusikan kewenangan

penyelenggaraan pemerintahan tersebut kepada daerah provinsi, kabupaten/kota

dalam rangka melayani kebutuhan masyarakat yang meliputi kebutuhan pokok

25
(basic needs) dan kebutuhan pengembangan sektor unggulan guna mewujudkan

kesejahteraan masyarakat setempat.

Otonomi Daerah di Indonesia mulai timbul sebagai dampak dari adanya

reformasi tahun 1998 seiring terjadinya pergeseran paradigma bernegara dari

sistem pemerintahan yang bercorak sentralistik mengarah kepada sistem

pemerintahan yang desentralistik dengan memberikan keleluasaan kepada daerah

dalam wujud “Otonomi Daerah” yang luas, nyata dan bertanggungjawab untuk

mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri menurut prakarsa dan

kreativitas sendiri berdasarkan aspirasi, kondisi dan potensi wilayahnya.

Otonomi daerah sebagai wujud pelaksanaan asas desentralisasi pada

hakekatnya merupakan upaya pemberdayaan masyarakat serta upaya

membangkitkan prakarsa dan kreativitas masyarakat daerah. Hal ini sejalan

dengan ditetapkannya salah satu hasil Sidang MPR Tahun 1998 yaitu Ketetapan

MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah,

Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka

Negara Kesatuan Republik Indonesia28.

Sebagaimana diketahui bahwa istilah otonomi berasal dari dua kata dalam

bahasa Yunani: outos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti undang-undang.

Secara harfiah, otonomi dapat berarti perundang-undangan sendiri. Secara

normatif, rumusan Otonomi Daerah dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 6 Undang-

28 ?
Republik Indonesia; Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998. Dalam Pasal 1 TAP MPR
tersebut dikemukakan mengenai kebijakan nasional di bidang otonomi daerah, bahwa
“Penyelenggaraan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung
jawab di daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan
sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”.

26
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah 29 yang berbunyi

“Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan

masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, terdapat

perbedaan persepsi tentang otonomi daerah di kalangan cendekiawan dengan

pejabat birokrasi. Ada yang mempresepsikan otonomi daerah sebagai prinsip

penghormatan terhadap kehidupan regional sesuai riwayat, adat istiadat dan sifat-

sifatnya dalam kadar Negara kesatuan, sebagaimana yang dimaksudkan oleh

Soepomo30 dan oleh karena itu maka otonomi dianggap sebagai upaya

pembangunan berkelanjutan31. Selain itu, ada juga yang mempresepsikan otonomi

sebagai suatu upaya yang berpresektif otonomi di bidang ekonomi dan politik di

mana daerah diberikan peluang untuk berdemokrasi dan berprakarsa memenuhi

kepentingannya sehingga mereka akan semakin menghargai dan menghormati

kebersamaan dan persatuan dan tidak bakal menuntut pemisahan diri sebagaimana

dialami oleh Negara Yugoslavia dan Uni Sovyet.32

Untuk menyamakan persepsi tentang Otonomi Daerah ini, maka berikut ini

penulis mengutip beberapa pendapat dari para pakar, antara lain:

1. Bagir Manan, dalam bukunya Hubungan Antar Pusat dan Daerah Menurut

UUD 1945, berpendapat bahwa otonomi dikatakan sebagai kebebasan dan

29
Republik Indoneia; LN RI Tahun 2014 No. 244, TLN No. 5587.
30
Abdullah, H.R. Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme Sebagai Suatu
Alternatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hal. 11.
31
Suara Pembaruan; Otonomi Daerah: Peluang dan Tantangan, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1995, hal. 83.
32
Ibid. hal. 45–79.

27
kemandirian (vrijheid dan zelfstandigheid) satuan pemerintahan lebih

rendah untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan.33

2. Joko Widodo dalam bukunya Good Governance, Telaah dari Dimensi:

Akuntabilitas dan Kontrol Birolrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi

Daerah memberi definisi Otonomi Daerah sebagai Kewenangan daerah

otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat

menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan

peraturan perundang-undangan34.

Selain pendapat para ahli di atas, penulis juga mengutip pendapat dari

beberapa ahli sebagaimana yang dikutip oleh penulis pada link

https://www.seputar pengetahuan.co.id/2020/03pengertian-otonomi-

daerah.html#15Pengertian Otonomi DaerahMenurutParaAhli35, dapat dilihat

sebagai berikut:

1. Benyamin Hoesein.

Otonomi Daerah adalah pemerintahan oleh rakyat dan untuk rakyat di

bagian wilayah nasional suatu negara dan secara informal berada di luar

pemerintah pusat.

2. Philip Mahwood.

Otonomi Daerah ialah suatu pemerintah daerah yang memiliki

kewenangan sendiri dimana keberadaannya terpisah dengan otoritas yang


33
Bagir Manan. Hubungan Antar Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1994, hal. 2.
34
Joko Widodo; Good Governance, Telaah dari Dimensi: Akuntabilitas dan Kontrol
Birolrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Penerbit Insan Cendekia, Surabaya, 2001,
hal. 47.
35
https://www.seputarpengetahuan.co.id/2020/03/pengertian-otonomi-daerah.html#15_
Pengertian_Otonomi_Daerah_Menurut_Para_Ahli, diakses tanggal 30 Oktober 2020.

28
diserahkan pemerintah guna untuk mengalokasikan sumber material yang

sifatnya substansi berkenaan dengan fungsi yang berbeda.

3. Mariun.

Otonomi daerah adalah kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah yang

memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri dalam rangka mengelola

dan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki oleh daerahnya sendiri

dalam suatu negara. Otonomi daerah diartikan juga sebagai kebebasan

yang diberikan untuk bisa berbuat apapun sesuai dengan kebutuhan

masyarakat di lingkungan setempat.

Dari beberapa pengertian atau definisi Otonomi Daerah sebagaimana

diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa otonomi daerah itu merupakan

desentralisasi kewenangan yang sebelumnya tersentralisasi (terpusat) di tangan

pemerintah (pusat). Hal ini sejalan dengan pendapat Bhenyamin Hoessein yang

mengatakan bahwa perwujudan desentralisasi di tingkat daerah adalah otonomi

daerah atau disingkat otonomi.36

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya

otonomi daerah itu mengandung elemen wewenang mengatur dan mengurus

yang lazim disebut sebagian urusan pemerintahan. Dari sinilah terjadi

penyerahan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom

atau terjadi distribusi urusan pemerintahan yang secara implisit merupakan

distribusi wewenang antara Pemerintah dan daerah.

36
Hossein; Prospek Resolusi Kebijakan dan Implementasi Otonomi Daerah dari Sudut
Pandang Hukum Tata Negara; Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Strategi Resolusi
Kebijakan dan Implementasi Otonomi Daerah Dalam Kerangka Good Governance, dilaksanakan oleh
Pusat Kinerja Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, 30 Oktober 2001.

29
2. Konsep Pemerintahan Daerah

Istilah Pemerintah, menurut etimologi, kata Pemerintah yang diterjemahkan

dari kata government berasal dari kata berbahasa Yunani kubernan yang berarti

nakhoda kapal, yang artinya menatap ke depan. Lalu kata “memerintah” berarti

melihat ke depan, menentukan berbagai kebijakan yang diselenggarakan untuk

mencapai tujuan masyarakat, negara, memperkirakan arah perkembangan masyarakat

pada masa yang akan datang dan mempersiapkan langkah-langkah kebijakan untuk

menyongsong perkembangan masyarakat, serta mengelola dan mengarahkan

masyarakat ke tujuan yang ditetapkan.37

Pendapat yang sama disampaikan oleh Taliziduhu Ndraha dalam Kata

Pengantar atas bukunya Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru),38 di mana

disebutkan bahwa konsep government adalah derivate konsep governance,

sedangkan governance berasal dari kata Gerik kybern, kybernan yang artinya

pengemudian kapal bersama semua isinya sampai pada tujuan dengan selamat.

Menurut Ramlan Surbakti, istilah Pemerintah dan Pemerintahan berbeda

artinya. Pemerintahan menyangkut tugas dan kewenangan, sedangkan Pemerintah

merupakan aparat yang menyelenggarakan tugas dan kewenangan Negara. 39 Menurut

Sri Soemantri Martosoewignjo sebagaimana yang dikutip oleh Pipin Syarifin dan

Dedah Jubaedah dalam buku Pemerintahan Daerah di Indonesia, istilah

37
Ramlan Surbakti; Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta, Cetakan Keempat, 1999, hal. 167–168.
38
Taliziduhu Ndraha; Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru), Jilid 1, Rineka Cipta,
Jakarta, Cetakan Pertama, 2003, hal. vii.
39
Surbakti; op. cit. hal. 168.

30
Pemerintahan diartikan dengan perbuatan (cara, hal, urusan dan sebagainya)

memerintah.40

Kata Pemerintahan dapat diartikan secara luas dan sempit. Pemerintahan

dalam arti luas, berarti seluruh fungsi Negara, seperti legislatif, eksekutif dan

yudikatif. Sedangkan pemerintahan dalam arti sempit meliputi fungsi eksekutif

saja.41 Sedangkan pengertian Pemerintah dalam arti luas adalah seluruh aparat yang

melaksanakan fungsi-fungsi Negara, sedangkan pemerintah dalam arti sempit

menyangkut aparat eksekutif.42

Sejalan dengan pendapat di atas, Jimly Asshiddiqie,43 mengatakan bahwa:

“Pemerintahan dalam arti luas adalah segala urusan yang dilakukan oleh
Negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan, memelihara keamanan
dan meningkatkan derajat kehidupan rakyat serta dalam menjamin
kepentingan Negara itu sendiri. Dalam konteks fungsi legislatif, eksekutif
dan yudikatif, pengertian pemerintahan menyangkut semua fungsi di
atas, sedangkan dalam arti sempit hanya menyangkut fungsi eksekutif
saja”.

Secara normatif, pengertian Pemerintahan Daerah dapat ditemukan dalam

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah, di mana dikatakan bahwa:44

“Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan


oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”.
40 ?
Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah; Pemerintahan Daerah di Indonesia, Pustaka Setia,
Bandung, Cetakan I, 2006, hal 72.
41
Ibid; hal. 169.
42
Ibid.
43
Jimly Asshiddiqie; Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah,
Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, UI Press, Jakarta, 1996, hal. 59.
44
Republik Indoneia; LN RI Tahun 2014 No. 244, TLN No. 5587, ps. 1 angka 2.

31
Pengertian Pemerintahan Daerah ini tidak berbeda dengan pengertian

Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah45.

“Merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 23


Tahun 2014 di atas, Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah menyatakan
bahwa: Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tersebut mengandung pengertian pemerintahan dalam arti luas.
Hal tersebut dikarenakan arti Pemerintahn Daerah pada ketentuan
Undang-Undang di atas, menunjuk pada penyelenggaraan pemerintahan
daerah otonom secara keseluruhan, tidak hanya pada fungsi
penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan oleh pemerintah daerah
saja, tetapi juga adanya peran serta dari DPRD sebagai sendi
demokrasi”46.

Sejalan dengan pendapat di atas, diketahui bahwa urusan pemerintahan yang

menjadi wewenang daerah otonom dilakukan oleh Pemerintah Daerah yang terdiri

atas DPRD dan Kepala Daerah. Dalam hal ini, wewenang pengaturannya melibatkan

kedua lembaga tersebut, sedangkan wewenang pengurusan dilakukan oleh Kepala

Daerah dengan instrumennya birokrasi setempat yang disebut perangkat daerah, 47

yang menyelenggarakan pemerintahan daerah yang ditujukan untuk kesejahteraan

masyarakat setempat melalui pemberian layanan.

B. Konsep Ketertiban Umum dan Ketertiban Masyarakat

1. Konsep Ketertiban Umum

45 ?
Republik Indoneia; LN RI Tahun 2004 No.125, TLN No.443.
46 ?
Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, Op.Cit, hal 76.
47
Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, perangkat daerah ini bersama Gubernur, Bupati dan Walikota adalah sama-sama sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Selanjutnya dalam angka 4 ditambahkan lagi Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

32
Secara normatif, pengertian Ketertiban Umum diatur dalam Pasal 1 angka 6

Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun 2015,48 didefinisikan

sebagai suatu keadaan dimana pemerintah dan rakyat dapat melakukan kegiatan

secara tertib, teratur, nyaman dan tentram. Rumusan ini menggambarkan bahwa

dalam suatu kondisi yang tertib, teratur, nyaman dan tentram, maka pemerintah

daerah dapat melakukan fungsinya yaitu melakukan pembinaan, pembangunan

dan pelayanan kemasyarakatan.

Untuk menjelaskan konsep Ketertiban Umum ini, perlu dijelaskan

pengertian dari kata ketertiban, sebagaimana dapat dilihat berikut ini. Kata

“ketertiban” berasal dari kata dasar “tertib” yang menurut W.J.S. Poerwadarminta

dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia49 berarti aturan, peraturan yang baik,

misalnya tertib acara aturan dalam sidang (rapat dan sebagainya), acara program,

tertib hukum yaitu aturan yang bertalian dengan hukum. Ketertiban artinya

aturan, peraturan, kesopanan, peri kelakuan yang baik dalam pergaulan, keadaan

serba teratur baik. Masih menurut W.J.S. Poerwadarminta, dari kata dasar tertib

ini setelah mendapat imbuhan berubah menjadi “ketertiban” yang berarti aturan,

peraturan (dalam masyarakat).50

Selain arti kata “tertib” menurut W.J.S. Poerwadarminta di atas, arti kata

"tertib" dapat ditemukan dalam Kamus Elektrik yang berarti:51

a. teratur menurut aturan, rapi;


48 ?
Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2015 Nomor 4, Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0175), op.cit.
49
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta,
Cetakan Ketujuh, 1984, hal. 1064.
50
Ibid.
51
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-lima, Aplikasi Luring Resmi Badan Pengebangan
Bahasa dan Perbukuan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

33
b. sopan, dengan sepatutnya; dan

c. aturan, peraturan yang baik.

Sedangkan Ketertiban sebagai kata turunannya menurut Kamus Elektrik ini

adalah ketertiban (dalam masyarakat dan sebagainya) dan keadaan serba teratur

baik.52

Selain arti kata ketertiban menurut Kamus sebagaimana tersebut di atas,

dalam berbagai literatur juga ditemukan kata Ketertiban yang selalu dipadukan

dengan kata Keamanan sehigga menjadi Keamanan dan ketertiban, atau

dipadukan dengan kata Umum sehingga menjadi Ketertiban Umum.

Pengertian keamanan dan ketertiban masyarakat sebagaimana tercantum

dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia53 menyatakan:

“keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis


masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses
pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang
ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban dan tegaknya hukum,
serta terbinanya ketenteraman yang mengandung kemampuan, membina
serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam
menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran
hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan
masyarakat”.

Dalam mengartikan keamanan dan ketertiban masyarakat ini, R. Abdussaam

dengan mengutip pendapat Soebroto Brotodiredjo dalam buku “Fungsi Kepolisian

dalam Pelaksanaan Good Governance” oleh Sadjijono54 menyatakan bahwa:

52
Ibid.
53
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lambaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4168.
54
Sadjijono, Fungsi Kepolisian dalam Pelaksanaan Good Governance, LB Laks Bang.,
Yogyakarta, 2005, hal. 51.

34
“keamanan dan ketertiban adalah keadaan bebas dari kerusakan atau
kehancuran yang mengancam keseluruhan atau perorangan dan
memberikan rasa bebas dari ketakutan atau kekhawatiran sehingga ada
kepastian dan rasa kepastian dari jaminan segala kepentingan atau suatu
keadaan yang bebas dari pelanggaran norma-norma hukum”.

Sedangkan Ketertiban umum memiliki makna luas dan bisa dianggap

mengandung arti mendua. Dalam praktek berbagai penafsiran tentang arti dan makna

ketertiban umum, seperti Ketertiban umum dalam penafsiran sempit, sebagaimana

dikatakan oleh M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata 55 bahwa

penafsiran sempit arti dari ketertiban umum yakni ketertiban yang hanya ditentukan

oleh hukum yang sedang berlaku.

Hal ini berarti bahwa orang yang melakukan pelanggaran atau bertindak dan

berperilaku bertentangan dengan ketertiban umum, hanya terbatas pada pelanggaran

terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. Jadi masyarakat yang melakukan

kegiatan bertentangan dengan ketertiban umum sesuai peraturan perundangan-

undangan harus diberikan sanksi hukum sebagaimana yang sudah ditentukan dalam

peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa Ketertiban mengandung arti

suatu kondisi yang teratur atau tertata dengan tidak ada suatu penyimpangan dari

tatanan atau aturan hukum yang ada. Ketertiban ini terkait dengan kepatuhan, karena

dengan rasa patuh tidak akan terjadi penyimpangan, dengan tidak adanya

penyimpangan maka berarti tertib, atau dengan kata lain ketertiban adalah suasana

bebas yang terarah, tertuju kepada suasana yang didambakan oleh masyarakat yang

menjadi tujuan hukum.

55
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hal 56.

35
Ketertiban tersebut merupakan cermin adanya patokan, pedoman dan

petunjuk bagi individu di dalam pergaulan hidup. Hidup tertib secara individu

merupakan landasan terwujudnya tertib masyarakat, yang di dalamnya terkandung

kedamaian dan keadilan serta tercapainya kepasian hukum.

Berdasarkan kedua pengertian di atas terdapat keterkaitan yang erat di mana

dengan adanya rasa aman, masyarakat akan merasa tenang maka timbullah

masyarakat yang tertib hukum dengan segala peraturan yang berlaku dan begitu pula

sebaliknya dengan adanya sikap tertib terhadap sesuatu dimana saling menghormati

peraturan yang ada, saling mengerti posisi masing-masing, maka masyarakat dapat

merasa bahwa di dalam kondisi yang dihadapi masyarakat akan merasa aman secara

jasmani dan psikis, damai dan tenang tanpa adanya gangguan apapun dan itulah yang

disebut terciptanya suasana tertib. Dalam suasana yang aman, tertib, teratur, nyaman dan

tentram ini, maka pemerintah daerah dapat melakukan fungsinya yaitu melakukan

pembinaan, pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan.

Untuk melaksanakan Ketertiban masyarakat ini, perlu ada satu lembaga

pemerintah yang mempunyai tugas dan fungsi atau yang melaksanakan urusan

pemerintahan di bidang ketertiban dan ketentraman umum, yaitu lembaga Satuan

Polisi Pamong Praja, sebagaimana diamatkan dalam Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa Satuan Polisi

Pamong Praja dibentuk untuk menegakkan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala

Daerah, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman serta

menyelenggarakan perlindungan masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 256

ayat (7) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang

36
mengamanatkan pengaturan tebih lanjut mengenai Satuan Polisi Pamong Praja diatur

dalam Peraturan Pemerintah56.

Untuk memenuhi amanat Pasal 256 ayat (7) Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 ini, maka telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018

tentang Satuan Polisi Pamong Praja, sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor

6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja.

2. Konsep Ketertiban Masyarakat

Kata-kata Ketertiban Masyarakat selalu didahului dengan kata Keamanan

dalam setiap referensi, baik itu pendapat ahli maupun dalam peraturan perundang-

undangan. Hal ini antara lain dapat dilihat dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.57

Masyarakat terdiri dari beberapa orang, dan bersatu menjadi suatu kumpulan

yang hidupnya saling berhubungan satu sama lain. Kehidupan dalam masyarakat

akan berjalan tertib apabika setiap anggota masyarakat mampu bertindak sesuia

kondisi yang diharapkan dengan berpedoman pada [eraturan perundang-undangan

yang berlaku. Keamanan dan Ketertiban Masyarakat adalah suatu kondisi dinamis

masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan

nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya

keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang

mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan


56
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587.
57
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lambaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4168, Op. Cit.

37
masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk

pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan

masyarakat. Yang dimaksud dengan ketertiban masyarakat di sini adalah suatu

kondisi kondusif untuk menciptakan rasa aman, nyaman dan tenang dalam

masyarakat untuk dapat menimbulkan suasana tertib dengan mentaati segala

peraturan peundang-undangan yang berlaku.

Ketertiban masyarakat merupakan suatu kondisi yang dinamis, aman dan

tenang yang berjalan secara teratur sesuai aturan hukum dan norma yang berlaku,

atau dengan kata lain suatu keadaan yang aman, tenang dan bebas dari

gangguan/kekacauan yang menimbulkan kesibukan dalam bekerja untuk mencapai

kesejahteraan masyarakat seluruhnya yang berjalan secara teratur sesuai hukum dan

norma-norma yang ada. Hal ini menunjukkan pula bahwa ketertiban masyarakat

sangat penting dan menentukan dalam kelancaran jalannya pemerintahan,

pelaksanaan pembangunan serta pembinaan kemasyarakatan dalam suatu

wilayah/daerah sehingga tercapainya tujuan pembangunan yang diharapkan untuk

kesejahteraan masyarakat.

Berdasarkan uraian ini, dapat diketahui adanya keterkaitan yang erat dimana

dengan adanya rasa aman, masyarakat merasa tenang maka timbullah masyarakat

yang tertib hukum dengan segala peraturan yang berlaku dan begitu pula sebaliknya

dengan adanya sikap tertib terhadap sesuatu dimana saling menghormati peraturan

yang ada, saling mengerti posisi masing-masing, maka masyarakat dapat merasa

bahwa di dalam kondisi yang ia hadapi masyarakat dapat merasa aman secara

38
jasmani dan psikis, damai dan tenang tanpa adanya gangguan apapun dan itulah yang

disebut terciptanya suasana tentram.

Dengan adanya sikap tertib dan menghormati aturan hukum yang berlaku,

saling mengerti dan menghormati posisi masing-masing termasuk para pelaku usaha

dagang, maka masyarakat dapat merasa bahwa di dalam kondisi seperti ini maka

masyarakat dapat dengan tenang dan merasa aman untuk beraktivits. Suasana seperti

inilah yang diharapkan oleh setiap orang, apalagi dengan adanya penegakkan hukum

dalam hal ini penegakkan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16

Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Kabupaten Flores Timur.

Kesadaran hukum masyarakat ini berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan

hukum masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam masyarakat

modern (maju), faktor kesadaran hukum berpengaruh langsung pada kepatuhan

hukum masyarakat, karena pada dasarnya orang berkeyakinan bahwa manusia

membutuhkan hukum dan hukum itu bertujuan baik yaitu mengatur masyarakat.

Sedangkan dalam masyarakat tradisional, kesadaran hukum masyarakat berpengaruh

secara tidak langsung pada kepatuhannya, karena kepatuhan hukum 58 masyarakat ini

lebih karena diminta, bahkan dipaksa. Artinya, semakin lemah tingkat kesadaran

hukum masyarakat, semakin lemah pula kepatuhan hukumnya dan begitu pula

sebaliknya, semakin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat maka semakin

tinggi pula tingkat kepatuhan hukumnya.

58
Kepatuhan Hukum ini merupakan suatu ciri dari pada Hukum. Kepastian Hukum pertama-
tama berarti kepastian dalam pelaksanaannya. Artinya, hukum yang resmi diperundangkan dan
dilaksanakan dengan pasti oleh negara dan warganya. Baca: Frans Magnis-Suseno dalam Etika
Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Moderen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
Cetakan Ketujuh, 2003, hal. 79.

39
Dari sini dapat diketahui bahwa apabila kesadaran hukum telah terbentuk,

maka diharapkan ketertiban masyarakat akan terwujud, karena masalah kesadaran

akan hukum sudah terinternalisasi dan telah meresap dalam diri setiap anggota

masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan masyarakat dalam konteks penelitian

ini adalah setiap orang yang berjualan atau melakukan aktivitas dagangnya pada

tempat-tempat yang dilarang untuk berjualan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal

12, seperti:

1. badan jalan;

2. trotoar;

3. emperan toko;

4. jalur hijau;

5. taman; dan

6. fasilitas umum.

Selanjutnya, yang dimaksud dengan Usaha Dagang adalah sebuah aktivitas

berjualan atau aktivitas jual beli yang dilakukan oleh para pedagang dengan

membuka tempat jualannya menggunakan bangunan fisik atau tidak dengan

bangunan fisik untuk menyimpan dan menjual barang jualannya pada tempat-tempat

yang dilarang dalam Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun

2015 tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Kabupaten Flores Timur.

Pelanggaran atas ketentuan ini dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur

dalam Pasal 32 ayat (2).

Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di atas,

terhadap para pedagang yang melanggar ketentuan Pasal 12 dapat diberikan sanksi

40
lain, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) berupa sanksi

penyitaan dan pembongkaran59 dan dapat pula dipidana dengan dikenakan pidana

berupa kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak

Rp 50.000.000- (lima puluh juta rupiah) bagi yang melanggar ketentuan Pasal 12

ayat (1).60.

Oleh karena ketertiban dapat diartikan sebagai suatu keadaan di mana segala

kegiatan dapat berfungsi dan berperan sesuai ketentuan yang ada, dan ketertiban

berhubungan erat dengan keamanan dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat.

Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat

sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan yang ditandai

oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum serta terbinanya

ketenteraman yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan

potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi

segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguang lainnya. Dalam

situasi seperti ini, hukum diberlakukan secara paksa, artinya ada sanksi yang tegas

bagi para peanggarnya. Oleh karena itu, setiap orang pasti akan berpikir ulang untuk

melakukan pelanggaran hukum. Dengan minimnya kasus-kasus pelanggaran hukum,

maka akan dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat. Sanksi yang tegas selain

dapat memberikan efek jera juga dapat mewujudkan keadilan dalam masyarakat.

Oleh karena itu, dapat kita katakan bahwa hukum mempunyai keterkaitan yang erat

dengan keadilan dan ketertiban.

59
Ibid.
60
Ibid.

41
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16

Tahun 2015 Tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Kabupaten Flores

Timur

Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun 2015 tentang

Ketertiban Umum Dalam Wilayah Kabupaten Flores Timur yang ditetapkan pada

tanggal 1 Agustus 2015 dan diundangkan dalam Lembaran Daerah Kabupaten

Flores Timur Tahun 2015 Nomor 16 belum diimplementasikan atau dilaksanakan

secara optimal dalam wilayah kabupaten Flores Timur, khususnya pada 4 (empat)

kelurahan sampeldalam wilayah kecamatan Larantuka, yaitu kelurahan Ekasapta,

kelurahan Postoh, kelurahan Lohayong dan kelurahan Lewolere.

Dalam pembahasan ini, penulis akan mensinkronkan konsep-konsep yang

telah di bahas dalam Bab II dipadukan dengan hasil penelitian, untuk melihat

sejauh mana efektivitas pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur

Nomor 16 Tahun 2015 di 4 (empat) kelurahan sampel di atas.

42
Di dalam Penjelasan Umum Peraturan Daerah ini disebutkan bahwa:61

"pembentukan Peraturan Daerah ini dalam rangka mengantisipasi perkembangan


dan dinamika kegiatan masyarakat seirama dengan tuntutan era globalisasi dan
otonomi daerah, yang membutuhkan suasana kondusif dan kondisi ketentraman dan
ketertiban umum daerah yang nyaman sebagai suatu kebutuhan mendasar bagi
seluruh masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku, tanggungjawab untuk menegakkan peraturan
perundang-undangan dan memelihara Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat
adalah Kepala Daerah".

Dari penjelasan ini jelas bahwa tujuan pembentukan Peraturaan Daerah ini adalah

untuk menciptakan suasana kondusif dan nyaman, agar masyarakat dapat terhindar

dari gangguan ketertiban umum, dan yang bertanggungjawab penuh adalah kepala

daerah.

Dalam bab ini akan dibahas dan disajikan data yang diperoleh selama

penelitian di lapangan dengan cara pendekatan kualitatif yaitu data yang diperoleh

dengan komunikasi langsung bersama para narasumber yang berwenang untuk

menjawab pertanyaan yang kemudian ditarik kesimpulan. Analisis ini difokuskan

pada efektivitas pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2015 yang

dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Flores Timur yang diberikan

kewenangan oleh peraturan perundang-undangan sebagai aparatur penegak produk

hukum daerah. Sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dari mana data

dapat diperoleh melalui teknik wawancara. Wawancara dilaksanakan di Kantor

Satuan Polisi Pamong Praja, Kantor Lurah Ekasapta, Kantor Lurah Postoh, Kamtor

Lurah Lohayong dan Kantor Lurah Lewolere dalam wilayah Kecamatan Larantuka.

61
Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2015 Nomor 16, Tambahan Daerah
?

Kabupaten Flores Timur Nomor 0123), op. cit.

43
Wawancara dilakukan untuk memperoleh jawaban dari rumusan masalah

yang telah ditentukan oleh penulis dalam Bab I serta untuk memperoleh data

dukung dalam penelitian ini. Data tersebut berupa pernyataan dari narasumber

mengenai permasalahan skripsi yang digunakan untuk menjawab setiap pernyataan

atau pertanyaan yang diajukan oleh peneliti yang kemudian digunakan untuk

melakukan analisis pada bab ini.

Dalam pembahasan tentang Efektivitas Pelaksanaan Peraturan Daerah

Kabupaten Flores Timur Nomor `16 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum Dalam

Wilayah Kabupaten Flores Timur ini, penulis menggunakan teori efektivitas

hukum menurut Soerjono Soekanto dalam bukunya Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Penegakkan Hukum,62 di mana dikatakan bahwa ada 5 (lima) faktor

yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu:

1. Faktor hukum atau peraturan perundang-undangan.

Faktor hukum pada dasarnya ada yang bersifat mengatur dan ada yang

bersifat memaksa. Hukum yang bersifat memaksa dapat dilihat dari sanksi-

sanksi yang dijatuhkan terhadap para pelanggar hukum. Maka pada dasarnya

substansi hukum harus memiliki arah, sebab di sinilah peran substansi hukum

yang akan ditegakkan.

Dalam upaya menanggulangi masalah ketertiban umum dalam wilayah

Kabupaten Flores Timur, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Flores Timur

telah membentuk Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun

2015 tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Kabupaten Flores Timur, yang

62
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Penerbit PT.
?

RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cet. ke 14, 2016, hal. 8.

44
antara lain melarang setiap orang untuk melakukan kegiatan jual beli di

beberapa tempat umum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3)

Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun 2015 63 yang

menyatakan:

(3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan jual beli di:


g. badan jalan;
h. trotoar;
i. emperan toko;
j. jalur hijau;
k. taman; dan
l. fasilitas umum.

Peraturan Daerah ini sesungguhnya sudah mengatur ketentuan-ketentuan untuk

menciptakan ketertiban umum yang baik sesuai dengan amanat peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi, dan dilihat dari maksud dan tujuan

pembentukannya sangat ideal dalam upaya pemerintah daerah menciptakan

ketertiban umum dalam wiayah ini. Hal ini dapat dilihat dalam Bab II tentang

maksud dan tujuan pembentukan Peraturan Daerah ini yang menyatakan bahwa:64

”Pasal 2: Peraturan Daerah ini ditetapkan dengan maksud sebagai


pedoman dalam penyelenggaraan ketertiban umum.
Pasal 3: Peraturan Daerah ini ditetapkan dengan tujuan:
a. menjamin terwujudnya suatu kondisi yang aman dan
tertib; dan
b. meningkatkan mutu penyelenggaraan pemerintahan,
pengelolaan pembangunan dan pelayanan kepada
masyarakat".

Walaupun dilihat dari maksud dan tuuan pembentukannya yang sangat baik,

namun sejak Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur ini ditetapkan pada

63
Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2015 Nomor 4, Tambahan Lembaran
?

Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0175), op.cit.

64 ?
Ibid.

45
tanggal 21 Agustus 2015 sampai denan saat ini, belum ada penetapan peraturan

pelaksanaannya seperti Peraturan Bupati dan/atau Keputusan Bupati Flores Timur

sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (1)65 yang menyatakan bahwa

"Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif diatur dengan

Peraturan Bupati", dan Pasal 3666 yang menyatakan bahwa "Ketentuan lebih lanjut

mengenai Tata Cara Penegakan Peraturan Daerah ini diatur dengan Peraturan

Bupati".

Peraturan pelaksanaan dari suatu Peraturan Daerah seperti Peraturan

Bupati, merupakan salah satu syarat efektifnya suatu Peraturan Daerah, namun

diketahui bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun

2015 ini tidak memiliki Peraturan pelaksanaannya, sehingga dapat dikatakan

bahwa Peraturan daerah tersebut tidak efektif. Oleh karena Peraturan daerah ini

tidak efektif, mengakibatkan kegiatan penertiban terhadap para pelaku usaha

dagang yang melakukan kegiatan usahanya di tempat-tempat yang dilarang dalam

Peraturan Daerah menjadi sulit untuk ditindak, sebagaimana disampaikan oleh

Kepala Bidang Penegakkan Produk Hukum Daerah pada Satuan Polisi Pamong

Praja Kabupaten Flores Timur saat diwawancarai oleh penulis67 mengatakan

bahwa pihaknya kesulitan untuk melakukan penertiban dan memberikan sanksi

terhadap pelanggaran Peraturan Daerah ini karena belum ada Peraturan Bupati

yang mengatur tata cara pengenaan sanksi administratif dan belum ada peraturan

bupati yang mengatur tentang tata cara penegakkan peraturan daerah .

65 ?
Ibid..
66 ?
Ibid.
67 ?
Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Penegakan Produk Hukum Daerah pada Satuan
Polisi Pamong Praja Kabupaten Flores Timur tanggal 06 September 2021.

46
2. Faktor penegak hukum.

Faktor ini meliputi pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan

hukum. Namun dalam tulisan ini, penulis akan membatasinya pada pihak yang

menerapkan hukum atau aparatur penegak hukum, karena dari sisi pembentuk

peraturan perundang-undangan atau hukumnya sendiri melalui persetujuan

bersama antara Bupati yang mewakili unsur pemerintah dengan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah yang memiliki fungsi legislasi sudah sesuai dengan

kewenangan masing-masing.

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa yang dimaksudkan dengan

penegak hukum dalam tulisan ini adalah pihak yang memiliki kewenangan dalam

penegakan produk hukum daerah, yaitu aparat Satuan Polisi Pamong Praja

sebagai ujung tombak pelaksaan penegakan peraturan daerah. Hal ini sesuai

dengan hasil wawancara penulis dengan Kepala Bidang Penegakkan Produk

Hukum Daerah, yang mengatakan bahwa sampai saat ini belum ada kasus

pelanggaran peraturan daerah yang dilimpahkan ke pihak penyidik umum

(penyidik polri) dari Satuan Polisi Pamong Praja68. Hal ini disebabkan oleh tidak

adanya mekanisme penegakan hukum deperti tata cara penegakan peraturan

daerah ini dengan Peraturan Bupati, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 36

Peraturan Daerah. yang diharapkan mampu memberikan kepastian, keadilan, dan

kemanfaat hukum secara proporsional. Aparatur penegak hukum inilah yang

diharapkan dapat menentukan efektif atau tidaknya suatu aturan hukum dapat

ditegakkan. Dalam hubungan ini dikehendaki adanya aparatur yang handal

sehingga aparat tersebut dapat melakukan tugasnya dengan baik. Kehandalan di


68 ?
Ibid.

47
sini meliputi keterampilan profesional, jumlah dan kemampuan inteligensia yang

baik. Faktor penegak hukum ini memiliki peran yang sangat strategis dalam

menegakkan aturan hukum yang berlaku. Berbicara tentang penegak hukum tentu

tidak terlepas dari penegakkan hukum, karena penegakan hukum tidak dapat

dipisahkan dari peran para penegak hukum. Dikatakan demikian karena nantinya

para penegak hukum tersebut yang akan menegakkan norma atau aturan hukum

yang telah diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16

Tahun 2015. Apabila peran penegak hukum berjalan dengan baik, maka

penegakan hukum dapat berjalan dengan baik pula., karena penegakkan hukum

merupakan tujuan dari kinerja penegak hukum Tujuan penegakkan hukum juga

diartikan bagaimana memberikan rasa aman dan damai dalam kehidupan

bermasyarakat, karena pada hakikatnya penegakkan hukum merupakan upaya

menyelaraskan nilai-nilai hukum dengan merefleksikannya dalam tindak laku

sehari-hari guna mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan

keadilan dengan menerapkan sanksi-sanksi.

Penegakkan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun

2015 merupakan usaha mengejawantah nilai dan norma yang terkandung di

dalamnya guna terciptanya keseluruhan maksud dan tujuan pembentukan

peraturan daerah ini. Menurut Titik Triwulan Tutik dalam bukunya Pengantar

Ilmu Hukum69 antara lain menyebutkan bahwa yang utama dari penegakan hukum

adalah Wewenang penegakkan aturan hukum yang berlaku, yang menurut

69 ?
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Prestasi Pustaka, Jakarta, 2006,
hal. 226.

48
ketentuan Pasal 3170 antara lain menyatakan bahwa Pemerintah Daerah

menyelenggarakan pembinaan dan pengawasan terhadap ketentraman dan

ketertiban umum di Daerah yang dilaksanakan oleh Satuan Polisi Pamong Praja

Kabupaten Flores Timur.

3. Faktor Sarana atau fasilitas yang mendukung.

Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung secara sederhana dapat

dirumuskan sebagai sarana untuk mencapai tujuan pelaksanaan Peraturan Daerah

Nomor 16 Tahun 2015. Ruang lingkupnya terutama adalah sarana fisik yang

berfungsi sebagai faktor pendukung, peralatan yang memadai, keuangan yang

cukup dan sebagainya. Jika fasilitas pendukung tidak terpenuhi maka mustahil

penegakan hukum akan nencapai tujuannya.

Faktor ini berupa tersedianya fasilitas yang berwujud sarana dan

prasarana bagi aparat pelaksana di dalam melakukan tugasnya. Sarana dan

prasarana yang dimaksud adalah prasarana atau fasilitas yang digunakan sebagai

alat untuk mencapai efektivitas hukum. Prasarana tersebut secara jelas memang

menjadi bagian yang memberikan kontribusi untuk kelancaran tugas-tugas aparat

di tempat atau lokasi kerjanya. Adapun elemen-elemen tersebut adalah ada atau

tidaknya prasarana, cukup atau kurangnya prasarana, baik atau buruknya.

Menurut Kepala Bidang Penegakan Produk Hukum Daerah saat diwawancrai

terkait fsktor hal ini mengatakan bahwa71 banyak hal yang mempengaruhi

efektivitas pelaksanaan penegakan Peraturan Daerah dari aspek sarana dan

fasilitas, seperti:
70
Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2015 Nomor 4, Tambahan Lembaran
?

Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0175), op.cit.


71 ?
Ibid.

49
a. kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan tugas;

b. kurangnya anggaran untuk mendukung pelaksanaan tugas;

c. kurangnya Sumber Daya Manusia yang melaksanakan tugas;

d. Tidak ada Peraturan Bupati Flores Timur yang mengatur mengenai tata cara

penegakan peraturan daerah ini.

4. Faktor Kesadaran Hukum Masyarakat.

Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk

menciptakan kedamaian dalam masyarakat, sehingga masyarakat memiliki peran

yang sangat strategis dalam upaya penegakan hukum. Tegaknya hukum

bergantung pada pemahaman dan anggapan masyarakat dalam memaknai hukum

tersebut.

Masalah utama dalam penegakan hukum terkait efektivitas

pelaksanaan ketertiban umum dalam wilayah Kabupaten Flores Timur adalah

kurangnya pengetahuan masyarakat tentang Peraturan Daerah ini. Aktivitas usaha

dagang yang dilakukan oleh para pelaku usaha di tempat-tempat yang dilarang

dalam Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ini sudah

dilakukan sejak puluhan tahun lalu, jauh sebelum adanya Peraturan Daerah

Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun 2015 ini ditetapkan. Hal ini sesuai

dengan hasil wawancara penulis dengan Lurah Ekasapta72 dan dibenarkan oleh

Lurah Postoh73 yang mengatakan bahwa kebiasaan warga kelurahan mereka sudah

lama dilakukan yaitu melakukan jual beli di beberapa tempat yang menurut

Peraturan Daerah itu dilarang.


72 ?
Hasil wawancara dengan Lurah Ekasapta pada tanggal 13 September 2021, Ibid.
73 ?
Hasil wawancara dengan Lurah Postoh pada tanggal 08 September 202, Ibid.

50
Sebagaimana diuraikan di ataas, bahwa Peraturan Daerah Kabupaten

Flores Timur Nomor 16 Tahun 2015 ini belum maksimal dilaksanakan. Hal ini

sesuai dengan observasi penulis di mana pada beberapa tempat seperti trotroar,

badan jalan dan emperan toko di sepanjang jalan kelurahan Ekaspta dan di

sepanjang Jalan Niaga dalam kompleks pertokoan di kelurahan Postoh, masih

nampak masyarakat atau para pelaku usaha dagang yang berjualan. Selain itu,

masih nampak pula para pelaku usaha yang berjualan di emperan toko, bahkan

sampai di badan jalan, yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 12 Peraturan

Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun 2015.74

Setelah penulis melakukan konfirmasi dengan pihak urah Ekasapta 75 dan

urah Postoh76, diketahui bahwa masyarakat yang berjualan di tempat-tempat yang

dilarang dalam Peraturan Daerah karena hal ini sudah dikakukan secara turun

temurun sejak puluhan tahun yang lalu sebelum adanya Peraturan Daerah yang

melarang mereka tidak tau jika ada larangan karena belum mendapat sosialisasi

terkait adanya Peraturan Daerah ini.

Lebih lanjut para lurah mengatakan kepada penulis bahwa mereka akan

saling berkoordinasi untuk melakukan upaya persuasif dengan atau tanpa

kehadiran aparat Satuan Polisi Pamong Praja, sambil memberi keyakinan bahwa

masyarakat kelurahannya yang menjalankan usaha dagang dan berjualan pada

tempat-tempat yang dilarang dalam Peraturan Daerah akan dapat menerimanya,

sepanjang dapat dicari tempat-tempat lain untuk berjualan.77

74 ?
Ibid.
75 ?
Hasil wawancara dengan Lurah Ekasapta pada tanggal 13 September 2021.
76 ?
Hasil wawancara dengan Lurah Postoh pada tanggal 08 September 202, Ibid.
77 ?
Ibid.

51
Lebih lanjut, menurut Lurah Postoh saat diwawancarai terkait apakah

pihak kelurahan sudah mengetahui adanya Peraturan Daerah ini, mengatakan

bahwa pihaknya mengetahui ada Peraturan Daerah ini saat melakukan konsultasi

terkait ketentraman dan ketertiban umum di wilayah kelurahannya.78 Lebih lanjut

Lurah Postoh menjelaskan bahwa pihak Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten

Flores Timur tidak pernah melakukan sosialisasi tentang adanya larangan

berjualan di beberapa tempat seperti badan jalan, trotoar, emperan toko dan

sebagainya.

Hal yang sama disampaikan oleh Lurah Lewolere 79, bahwa Lurah

Lewolere mengetahui adanya Peraturan Daerah ini dari Sistem Jaringan,

Dokumentasi dan Informasi Hukum (SJDIH) milik Pemerintah Kabupaten Flores

Timur yang dikelola oleh Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Flores

Timur. Hal yang sama juga dikatakan oleh Lurah Ekasapta 80 bahwa belum tau jika

ada Peraturan Daerah tersebut karena belum disosialisasikan.

Selain itu, masih menurut para lurah tersebut bahwa sejak Peraturan

Daerah ini ditetapkan pada tahun 2015, pihak Satuan Polisi Pamong Praja sebagai

instansi pemerintah yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan penegakan

produk hukum daerah tidak pernah melakukan sosialisasi kepada masyarakat

melalui kelurahan.

Sehubungan dengan hasil wawancara penulis dengan para lurah di atas,

diketahui bahwa selain peran serta masyarakat dalam masalah penegakan hukum

terhadap Peraturan Daerah, aparat penegak hukum dalam hal ini Satuan Polisi
78 ?
Hasil wawancara dengan Lurah Postoh padatanggal 08 September 2021.
79 ?
Hasil wawancara dengan Lurah Lewolere pada tanggal 16 September 2021.
80 ?
Hasil wawancara dengan Lurah Ekasapta pada tanggal 13 September 2021.

52
Pamong Praja perlu memberikan sosialiasasi kepada masyarakat untuk memahami

dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya menjaga ketertiban umum.

5. Faktor Budaya Hukum.

Faktor budaya hukum ini pada dasarnya mencangkup nilai-nilai yang

mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi

abstrak mengenai apa yang dianggap baik (hingga dianuti) dan apa yang diangap

buruk (sehingga dihindari).

Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto81, mempunyai fungsi yang sangat

besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu untuk mengatur agar manusia dapat

mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya

ketika berhubungan dengan orang lain. Pada dasarnya, kebudayaan mencakup

nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana yang merupakan

konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa saja yang dianggap baik (sehingga

dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).

Sebenarnya, faktor kebudayaan memiliki kemiripan dengan faktor

masyarakat. Hanya saja, di dalam faktor kebudayaan lebih ditekankan mengenai

masalah sistem nilai-nilai yang ada di tengah masyarakat. Hubungan antara faktor

masyarakat dengan faktor kebudayaan ini adalah tingkat kepatuhan masyarakat

terhadap ketataan aturan masyarakat masih rendah. disebabkan antara lain karena

adanya budaya kompromistis sering terjadi di masyarakat. Kenyataannya, akan

terdapat kecenderungan budaya masyarakat untuk meloloskan diri dari aturan

yang ada.

81 ?
Soerjono Soekanto, Ibid.

53
Faktor kebudayaan atau budaya hukum masyarakat sesungguhnya sangat

mempengaruhi penegakan produk hukum. Masalahnya sekarang adalah Peraturan

Daerah Nomor 16 Tahun 2015 ini pada saat pembentukannya tidak

mempertimbangkan budaya atau kebiasaan masyarakat, sebagaimana diuraikan

sebelumnya bahwa masyarakat yang berualan pada tempat-tempat yang dilarang

dalam Peraturan Daerah ternyata sudah melakuka aktivitasnya jauh sebelum

peraruran daerah ini dibentuk.

Budaya hukum merupakan sikap manusia terhadap hukum yang lahir

melalui sistem kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya yang berkembang

menjadi satu di dalamnya. Budaya hukum menjadi suasana pemikiran sosial

dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu dipergunakan,

dihindari atau disalahgunakan. Budaya hukum ini sangat erat kaitannya dengan

kesadaran hukum masyarakat, sebagaimana dikatakan oleh Romli Atmasasmita82

bahwa jika masyarakat sadar akan peraturan tersebut dan mau mematuhi maka

masyarakat akan menjadi faktor pendukung, dan jika sebaliknya masyarakat

akan menjadi faktor penghambat dalam penegakkan peraturan terkait.

B. Faktor-Faktor Penghambat Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Flores

Timur Nomor 16 Tahun 2015 Tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah

Kabupaten Flores Timur

82 ?
Romli Atmasasmita, , Reformasi Hukum Hak Asasi Manusia & Penegakkan Hukum,
Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2001, hal. 55.

54
Penerapan suatu peraturan perundang-undangan pada dasarnya selalu

terdapat kendala atau hambatan yang menjadi masalah keberhasilan dalam upaya

penegakkannya. Tentu setiap peraturan yang telah dibuat tidak akan dapat berjalan

secara maksimal bila tidak disertai dengan pelaksanaan yang tepat. Perlu ada

kerjasama dari pihak pemerintah dan masyarakat untuk bersama-sama untuk

menjalani aturan secara baik dan benar,

Berbicara mengenai implementasi atau pelaksanaan Peraturan Daerah

Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum Dalam

Wilayah Kabupaten Flores Timur ini, penulis menemukan beberapa faktor yang

menghambat efektivitas implementasi atau pelaksanaan Peraturan Daerah ini yaitu

faktor Sumber Daya Manusia, faktor hukumnya itu sendiri dan faktor masyarakat

yang dapat diuraikan secagai berikut:

1. Faktor Sumber Daya Manusia.

Maksud dari Sumber Daya Manusia di sini adalah Sumber Daya

Manusia aparatur Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Flores Timur yang

memiliki kewenangan berdasarkan pereaturan perundang-undangan sebagai

penegak produk hukum daerah.

Oleh karena itu, pada bagian ini akan dibahas faktor-faktor yang

menghambat pelaksanaan penegakkan Peraturan Daerah oleh aparatur Satuan

Polisi Pamong Praja, dilihat dari faktor Sumber Daya Manusia penegak produk

hukum daerah, seperti:

a. Kurangnya aparat Satuan Polisi Pamong Praja.

55
Menurut Kepala Bidang Penegakan Produk Hukum Daerah pada

Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Flores Timur, faktor yang paling

berpengaruh terhadap efektivitas pelaksanaan Peraturan daerah Nomor 16

Tahun 2015 adalah faktor Sumber Daya Manusia83. Secara keseluruhan

sampai dengan saat ini, Sumber Daya Aparatur Satuan Polisi Pamong

Praja Kabupaten Flores Timur berjumlah 129 (Seratus Dua Puluh

Sembilan) orang, yang terdiri dari personil Pegawai Negeri Sipil (PNS)

sebanyak 59 orang dan Tenaga Pendukung Teknis Perkantoran (tenaga

kontrak) sebanyak 70 orang.

Selain itu dari 129 orang Aparatur Satuan Polisi Pamong Praja

Kabupaten Flores Timur sebagaimana terlihat pada Tabel 3.1 di atas,

terdapat 70 orang Tenaga Pendukung Teknis Perkantoran (Tenaga

Kontrak) dan sisanya sebanyak 59 orang berstatus sebagai Aparatur Sipil

Negara (ASN). Perbandingan antara aparat Satuan Polisi Pamong Praja

sesuai status kepegawaian dapat dilihat pada Tabel 3.1. di bawah ini:

Tabel 3.1.

Perbandingan Aparat Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Flores Timur


Menurut Status Kepegawaian
Tahun 2020

No. Status Kepegawaian Jumlah Persentase (%)


83 ?
Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Penegakan Produk Hukum Daerah pada Satuan
Polisi Pamong Praja Kabupaten Flores Timur tanggal 06 September 2021.

56
1. Aparatur Sipil Negara 59 46
2 Tenaga Teknis Pendukung 70 54
Perkantoran (Tenaga
Kontrak)
Jumlah 129 100
Sumber: Renstra Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten
Flores Timur Tahun 2020.

Dari Tabel 3.1. di atas, nampak perbandingan yang sangat signifikan

antara aparat Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Flores Timur yang

berstatus Aparatur Sipil Negara yang lebih rendah atau kurang (46%) jika

dibandingkan dengan yang berstatus sebagai Tenaga Kontrak atau Tenaga

Teknis Perkantoran atau Tenaga Honorer (54%). Hal ini, menurut penulis,

akan sangat berpengaruh terhadap efektivitas penegakan hukum daerah

yang berdampak pada tingkat kesadaran hukum masyarakat akan masalah

ketentraman dan ketertibanpun menurun.

b. Tingkat pendidikan aparatur Satuan Polisi Pamong Praja.

Tingkat pendidikan aparatur Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten

Flores Timur merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi faktor

efektivitas penegak hukum. Dari sumber yang diperoleh dari Dokumen

Rencana Srategis Satuan Polisi Pamong Praja Tahun 2020, timgkat

pendidikan aparatur Satuan Polisi Pamong Praja bervariasi, mulai dari yang

berpendidikan SLTP sampai dengan Magister.

Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3.2. di bawah ini:

Tabel 3.2.
Tingkat Pendidikan Aparatur Satuan Polisi Pamong Praja
Kabupaten Flores Timur
Tahun 2020
No. Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%)
1. Sekolah Dasar - -

57
2 SLTP 2 2
3 SLTA 96 74
4 Diploma 4 3
5 S1 25 19
6 S2 2 2
Jumlah 129 100
Sumber: Renstra Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten
Flores Timur Tahun 202084.

Dari Tabel 3.2. di atas, diketahui bahwa tingkat Pendidikan Sumber Daya

Aparatur Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Flores Timur yang

berpendidikan SLTA paling banyak, yaitu 96 orang (74%) dan yang

berpendidikan SLTP dan S2 masing-masing sebanyak 2 orang (2%).

Menurut penulis, tingkat pendidikan seorang aparatur Satuan Polisi

Pamong Praja, akan sangat berpengaruh dalam pemahaman untuk

menerapkan pengetahuannya dalam penegakan suatu produk hukum. Namun

dari 129 aparatut Satuan Polisi Pamong Praja, ternyata sebanyak 74% yang

berpendidikan SLTA, berturut-turut diikuti oleh yang nerpendidikan S1

sebanyak 19%, Diploma 3% dan terrendah adalah yang berpendidikan SLTP

dan S2 masing-masing 2%.

Kondisi ini menjadi relevan, jika dikaitkan dengan pendapat

Lawrence M. Friedman85 yang mengatakan bahwa sebagai sistem struktural

yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik,

apabila tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten,

dan independen. Sebagus apapun produk hukum jika aparat penegak

84 ?
Ibid.
85 ?
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System A Social
Science Perspective), Penerbit Nusamedia, Bandung, 2009, hal. 32.

58
hukum tidak memaksimalkan kinerjanya dalam melaksanakan tugas maka

ketertiban umum sebagaimana yang diharapkan tidak akan terwujud, karena

suatu penegkan hukum akan sangat berpengaruh dari personality yaitu

penegak hukum.

Faktor Sumber Daya Manusia aparatur Satuan Polisi Pamong Praja

yang relatif rendah, baik dilihat dari aspek kuantitas atau jumlah sebagaimana

terlihat pada Tabel 3.1 maupun aspek kualitas atau pendidikan sebagaimana

dapat dilihat pada Tabel 3.2 di atas, merupakan salah satu faktor yang

menghambat pelaksanaan Peraturan Daerah yang mengatur tentang ketertiban

umum.

2. Faktor hukum.

Hambatan lain dalam pelaksanaan Peraturan Daerah ini, menurut

Kepala Bidang Penegakan produk Hukum Daerah adalah belum adanya

peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah sepanjang mengatur tentang tata

cara penegakan peraturan daerah ini, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 36

yang berbunyi: "Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penegakan peraturan

daerah ini diatur dengan Peraturan Bupati."86

Hal ini berarti sepanjang belum ada regulasi yang mengatur tentang

mekanisme atau tata cara pelaksanaannya, sebagai standar operasional

prosedur di lapangan, maka semua ketentuan yang sudah diatur dalam

peraturan daerah ini tidak dapat dilaksanakan, karena Satuan Polisi Pamong

Praja Kabupaten Flores Timur tidak memiliki pedoman untuk bertindak.


86
Lembaran Daerah Kabupaten Flores Timur Tahun 2015 Nomor 04, Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 0123), op.cit.

59
Dari uraian di atas, diketahui bahwa faktor-faktor penghambat

pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun 2015

sesuai tugas dan wewenang Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Flores

Timur adalah:

a. kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan tugas;

b. kurangnya anggaran untuk mendukung pelaksanaan tugas;

c. kurangnya Sumber Daya Manusia yang melaksanakan tugas;

d. Tidak ada Peraturan Bupati Flores Timur yang mengatur mengenai tata cara

penegakan peraturan daerah ini.

3. Faktor Masyarakat.

Peraturan yang dibuat oleh pemerintah pastinya sudah mengandung

asas kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Oleh karena itu seharusanya

masyarakat wajib bekerja sama dengan pemerintah dalam hal menjaga

ketertiban umum. Kurangnya kesadaran masyarakat tentang aturan yang berlaku

dan bahkan cenderung dianggap melanggar mengakibatkan hambatan dalam

pelaksanaannya.

Menurut lurah Ekasapta dan lurah Postoh saat diwawancarai oleh

penulis mengatakan bahwa masyarakat yang berjualan di tempat-tempat menurut

Peraturan Daeah merupakan tempat yang dilarang, mengatakan bahwa warganya

sama sekali tidak mengetahui adanya larangan itu, 87 bahkan warga

masyarakatnyapun mengeluh karena kurang paham mengenai Peraturan Daerah

yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Flores Timur ini. Hal tersebut
87
Hasil wawancara dengan Lurah Postoh padatanggal 08 September 2021
?

dan Lurah Ekasapta pada tanggal 13 September 2021.

60
terjadi karena tidak ada sosialisasi dari pemerintah mengenai aturan yang sudah

dibuat yang terkesan sosialisasi ini malah diabaikan.

Faktor masyarakat ini memegang peranan yang sangat penting dalam

pelaksanaan peraturan daerah, karena masyarakat bisa memainkan dua peran, di

mana mereka bisa menjadi faktor penentu efektivitas pelaksanaan suatu

peraturan daerah, dan di sisi lain bisa menjadi faktor penghambat pelaksanaan

peraturan daerah. Faktor masyarakat dalam hal ini masyarakat kecamatan

Larantuka pada 4 (empat) kelurahan sampel akan menjadi faktor penghambat

pelaksanaan peraturan daerah karena kesadaran hukumnya yang masih lemah

terkait dengan pemahaman atau pengetahuannya tentang peraturan daerah

sebagai bagian dari lemahnya penegak hukum yang tidak memberikan sosialisasi

karena masyarakat berpengaruh besar dalam proses penegakkan hukum.

Dalam upaya mencapai sasaran yang telah ditetapkan yaitu untuk

mewujudkan masyarakat Flores Timur yang taat dan patuh terhadap Peraturan

Perundang-undangan yang berlaku, Kepala Bidang Penegakan Produk Hukum

Daerah Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Flores Timur saat diwawancarai

mengatakan bahwa “aparat Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Flores Timur

berupaya semaksimal mungkin untuk mengadakan penyuluhan/sosialisasi

kepada masyarakat tentang Peraturan Daerah yang mengatur tentang ketertiban

umum ini bersama intansi teknis lainnya, agar masyarakat dapat mengetahui,

mengerti dan memahami dengan baik sehingga tercipta ketentraman dan

ketertiban dalam masyarakat”88.

88 ?
Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Penegakan Produk Hukum Daerah pada Satuan
Polisi Pamong Praja Kabupaten Flores Timur tanggal 06 September 2021.

61
Dari keterangan para lurah ini apabila dikaitkan dengan keterangan

Kepala Bidang Penegakan Produk Hukum Daerah yang mengatakan bahwa

selalu melakuan sosialisasi kepada masyarakat di kelurahan, menjadi tidak

sinkron.

Berkenaan dengan kondisi Ketentraman dan ketertiban umum sebagai

suatu keadaan dinamis yang memungkinkan Pemerintah Daerah dan masyarakat

dapat melakukan kegiatan dengan tentram, tertib, dan teratur, maka dalam

penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban masyarakat, harus dibarengi

dengan Penegakan hukum. Terkait dengan upaya penegakkan hukum ini, masih

menurut keterangan dari Kepala Bidang Penegakan Produk Hukum Daerah pada

Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Flores Timur 89 tersebut, sanksi hukum

yang diberikan kepada para pelanggar Peraturan Daerah, dalam hal ini Perturan

Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun 2015 tentang Ketertiban

Umum Dalam Wilayah Kabupaten Flores Timur adalah sanksi administratif

berupa teguran lisan dan tertulis, sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (2)

huruf a dan huruf b, namun tidak pernah diberikan sanksi pidana sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) berupa sanksi penyitaan dan

pembongkaran dan dapat pula dipidana dengan dikenakan pidana berupa

kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,-

(lima puluh juta rupiah) bagi yang melanggar ketentuan Pasal 12 ayat (1).

Hal ini disebabkan oleh belum ada perangkat hukum sebagai pelaksanaan

pengenan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah

89 ?
Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Penegakan Produk Hukum Daerah pada Satuan
Polisi Pamong Praja Kabupaten Flores Timur pada tanggal 06 September 2021.

62
ini. Dengan tidak adanya upaya penegakan hukum yang maksimal terhadap

pelanggaran hukum ini, menurut Harkristuti Harkrisnowo90 merupakan faktor

yang memudarkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan semua

atributnya, serta mereduksi kepastian hukum sebagai pilar yang melandasi

tegaknya hukum.

Selain mengadakan sosialisasi, aparat Satuan Polisi Pamong Praja

Kabupaten Flores Timur juga mengadakan kegiatan penegakan hukum dengan

melakukan operasi penertiban baik terhadap orang-perorangan maupun Badan

Hukum yang diduga melanggar Produk-produk Hukum Daerah yang berlaku.

Hal ini, apabila disandingkan dengan pendapat dari Wicipto Setiadi91 dan

dihubungkan dengan konteks penegakkan hukum dalam Peraturan Daerah

Kabupaten Flores Timur tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Kabupaten

Flores Timur tenyata sudah sejalan, karena sudah secara tegas diatur dalam Pasal

32 ayat (1) yang isinya menyebutkan bahwa setiap orang yang melanggar

ketentuan antara lain Pasal 12 dikenakan sanksi administratif.

Terkait dengan aktivitas dari penduduk pada 4 kelurahn yang

bermatapencaharian sebagai pedagang, menurut Lurah Postoh92, dalam

wawancara bersama penulis diakui bahwa benar ada masyarakat yang berjualan

di tempat yang dilarang sesuai ketentuan dalam Pasal 12 ayat (3) Peraturan

Daerah seperti di badan jalan, trotoar jalan, di emperan toko sepanjang Jalan

Niaga sebagai pusat pertokoan (pusat niaga). Namun saat ditanyakan tentang

90
Harkristuti Harkrisnowo, Reformasi Hukum: Menuju Upaya Sinergistik Untuk Mencapai
Supremasi Hukum Yang Berkeadilan, Orasi Ilmiah, Universitas Pakuan, Bogor, 2003, hal. 4.
91 ?
Wicipto Setiadi, op.cit.
92 ?
Hasil wawancara dengan Lurah Postoh padatanggal 08 September 2021.

63
tindakan hukum yang dilakukan, jawabannya adalah tindakan yang dilakukan

adalah sebatas tindakan persuasif berupa himbauan dan tidak pernah melakukan

tindakan hukum, karena tindakan hukum bukan merupakan kewenangan pihak

kelurahan, tapi kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja melalui aparat Penyidik

Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Hal yang samapun disampaikan oleh Lurah

Ekasapta, Lurah Lohayong dan Lurah Lewolere.

Selanjutnya menurut Lurah Postoh saat ditanya tentang apakah semua

pedagang yang berjualan di tempat yang dilarang adalah penduduk kelurahan

Postoh, dijelaskan bahwa penduduk kelurahan Postoh yang bermatapencaharian

sebagai pedagang (sebanyak 122 orang hanya 10 (sepuluh) orang yang berjualan

di pusat pertokoan dan atau tempat yang dilarang dalam Peraturan Daerah 93,

sedangkan Lurah Ekasapta saat diwawancarai mengatakan bahwa penduduknya

yang bermatapencaharian sebagai pedagang sebanyak 128 orang selain berjualan

di Pasar Inpres Larantuka dan di trotoar sepanjang jalan dalam kelurahan

Ekasapta, mereka juga berjualan di badan jalan, trotoar jalan, di emperan toko

sepanjang Jalan Niaga sebagai pusat pertokoan (pusat niaga)94. Hal ini berbeda

dengan penduduk kelurahan Lohayong yang bermatapencaharian sebagai

pedagang sebanyak 3 orang, tidak berjualan di temapt-tempat yang dilarang,95

Hal yang samapun dijelaskan oleh Lurah Lewolere, bahwa penduduknya yang

bermatapencaharian sebagai pedagang sebanyak 32 orang tidak ada yang

berjualan di tempat yang dilarang dalam Peraturan Daerah.96, Dari hasil

93 ?
Hasil wawancara dengan Lurah Postoh padatanggal 08 September 2021
94 ?
Hasil wawancara dengan Lurah Ekasapta pada tanggal 13 September 2021.
95 ?
Hasil wawancara dengan lurah Lohayong.
96 ?
Hasil wawancara dengan Lurah Lewolere/

64
wawancara dengan Lurah Postoh dan Lurah Ekasapta tentang faktor-faktor yang

menyebabkan penduduk pada kedua kelurahan ini berjualan pada tempat-tempat

yang dilarang, selain dari ketidaktahuan mereka tentang adanya larangan karena

tidak pernah disosialisasikan, diketahui bahwa faktor penyebab lainnya antara

lain:

a. pemerintah tidak menyiapkan tempat untuk berjualan, selain Pasar Inpres

Larantuka;

b. para pelaku usaha tidak mengetahui jika ada larangan berjualan di sepanjang

trotoar, badan jalan maupun emperan toko karena tidak pernah ada sosialisasi

atau pemberitahuan baik dari pihak kelurahan setempat maupun dari pihak

yang berwenang seperti Satuan Polisi Pamong Praja.

Hal ini sesuai dengan pendapat dari Romli Atmasasmita,97 yang

mengatakan dalam bukunya Reformasi Hukum Hak Azasi Manusia &

Penegakan Hukum, bahwa faktor-faktor yang menghambat efektivitas

penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap mental aparatur

penegak hukum dalam hal ini aparatur Satuan Polisi Pamong Praja, akan tetapi

juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering diabaikan.

Dari uraian di atas, diketahui bahwa penduduk kelurahan Ekasapta dan

kelurahan Postoh yang bermatapencaharian sebagai pedagang, dalam melakukan

aktivitas usaha dagangnya memilih berjualan pada tempat-tempat yang dilarang

dalam Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur tentang Ketentraman dan

Ketertiban Umum Dalam Wilayah Kabupaten Flores Timur ternyata memiliki

97 ?
Romli Atmasasmita, Ibid. .

65
alasan-alasan tersendiri, dan tidak semata-mata karena ketidaktahuannya akan

larangan berjualan sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah.

Walaupun diketahu bahwa berjualan di tempat yang dilarang oleh

Peraturan Daerah, namun tidak pernah diberikan sanksi hukum sesuai ketentuan

Peraturan Daerah, sehingga mereka tetap berjualan di satu sisi, dan sisi lainnya

aparat Satuan Polisi Pamong Praja bersama pihak kelurahan tidak pernah

mensosialisasikan Peraturan Daerah kepada mereka. Hal ini mengakibatkan

gangguan ketentraman dan ketertiban umum di kecamatan Larantuka tidak dapat

dihilangkan, karena aparat Satuan Polisi Pamong Praja yang memiliki

kewenangan tidak pernah melakukan upaya penertiban dan penegakan hukum.

Berangkat dari fenomena dan pelaksanaan penegakan peraturan daerah

oleh Satuan Polisi Pamong Praja di Kabupaten Flores Timur berdasarkan hasil

penelitian, dapat digambarkan kelemahan implementasinya di lapangan terkait

pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun 2015

tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Kabupaten Flores Timur antara lain

diakibatkan oleh:

a. Minim atau bahkan tidak pernah dilakukan sosialisasi kepada pihak

kelurahan ataupun kepada masyarakat;

b. Tidak ada penegakan hukum atas pelanggaran Peraturan Daerah yang

dilakukan oleh aparat Satuan Polisi Pamong Praja; dan

c. Kurangnya partisipasi masyarakat dalam implementasi Peraturan Daerah.

Kelemahan implementasi Peraturan Daerah tersebut menurut Kepala Bidang

Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat pada Satuan Polisi Pamong Praja

66
Kabupaten Flores Timur98 diakibatkan oleh kurangnya anggaran yang mendukung

kegiatan operasi [enegakkan produk hukum daerah.

Hal lain sebagai hambatan pelaksanaan penegakan Peraturan Daerah ini

adalah tidak adanya data yang menggambarkan kasus pelanggaran Peraturan

Daerah dalam tahun berjalan, yang diketahui saat penulis meminta data kasus

pelanggaran Peraturan Daerah dalam kurun waktu 5 (lima) lima tahun terakhir,

namun tidak ada.

Oleh karena penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum dalam

masyarakat dimaksudkan untuk mewujudkan tata kehidupan masyarakat Kabupaten

Flores Timur, khususnya masyarakat dalam wilayah Kecamatan Larantuka yang

tertib, tentram, aman dan nyaman sehingga diperlukan adanya penegakan aturan

hukum untuk dapat menciptakan ketertiban umum. Penyelenggaraan Ketertiban

umum dan ketentraman masyarakat bertujuan untuk pencapaian kondisi yang

kondusif dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat dan diharapkan implementasi

terhadap penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dapat

diterapkan secara optimal guna menciptakan ketentraman, ketertiban, dan

kenyamanan.

Dalam perspektif penegakan Peraturan Daerah, anggota Satuan Polisi

Pamong Praja dituntut untuk menunjukkan kinerjanya dengan melakukan aktivitas

kerja dalam menata dan melakukan ketertiban umum kepada masyarakat terutama

masalah aktivitas usaha masyarakat yang berjualan di tempat-tempat yang dilarang

dalam Peraturan Daerah, hal ini membutuhkan penegakan hukum karena masih

98
Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat pada
?

Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Flores Timur pada tanggal 06 September 2021.

67
banyak masyarakat berjualan pada tempat yang tidak diperuntukkan bagi usahanya

seperti trotoar, badan jalan, dan emperan toko. Walaupun sudah berulang kali

dilakukan operasi penertiban, menurut Kepala Bidang Penegakan Produk Hukum

Daerah para pedagang masih melanggar dan tetap berjualan pada tempat-tempat

yang dilarang dengan alasan tidak pernah mengetahui bahwa ada Peraturan Daerah

yang melarang para pedagang berjualan di tempat yang selama ini dijadikan mereka

sebagai tempat berjualan. Hal ini menurt penulis karena tidak pernah ada sosialisasi

dan pemberian sanksi secara tegas oleh aparat Satuan Polisi Pamong Praja.

Selanjutnya masih menurut penulis bahwa sepanjang tindakan penegakan

hukum tidak dilakukan maka para pedagangpun akan tetap melakukan aktivitas

usaha dagangnya dan beranggapan bahwa pemerintah dalam hal ini aparat Satuan

Polisi Pamong Praja tidak mampu melakukan upaya penegakan hukum atas

pelaksanaan Peraturan Daerah.

Jika dilihat kembali acuan yuridis normative dalam mendefinisikan

ketertiban umum dan ketentraman masyarakat sebagaimana diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi Pamong Praja, dikatakan

bahwa ketertiban umum dan ketentraman masyarakat adalah “suatu keadaan

dinamis yang memungkinkan pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dapat

melakukan kegiatannya dengan tentram, tertib, dan teratur”. Dari sini dapat

diketahui bahwa kondisi ketertiban umum dan ketentraman masyarakat terjadi

dalam kondisi yang dinamis. Artinya, masyarakat diharapkan memiliki kesadaran

sendiri untuk hidup dalam suasana tentram dan tertib dan pemerintah diharapkan

dapat menciptakan dan memelihara kondisi ini.

68
Dari hasil analisis yang dilakukan oleh penulis, diketahui bahwa:

1. Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun

2015 tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Kabupaten Flores Timur

belum optimal dilakukan oleh pemerintah daerah dalam hal ini Satuan Polisi

Pamong Praja;

2. Masih banyak pedagang yang berjualan pada tempat-tempat yang dilarang

dalam Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun 2015

tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Kabupaten Flores Timur

sesungguhnya bukan disebabkan oleh tingkat kesadaran hukum masyarakat

yang rendah;

3. Para pedagang di kelurahan Postoh dan Kelurahan Ekasapta belum

mengetahui adanya Peraturan Daerah yang melarang berjualan pada tempat-

tempat yang selama ini menjadi tempat jualan mereka;

4. Para pedagang yang berjualan di tempat-tempat yang dilarang dalam

Peraturan Daerah tidak pernah merasa bahwa apa yang dilakukannya telah

mengganggu ketertiban dan ketentraman masyarakat dan merugikan pihak

lain.

Masalah di atas dapat diatasi, apabila pihak pemerintah kabupaten

Flores Timur dalam hal ini Satuan Polisi Pamong Praja dapat melakukan

sosialisasi kepada masyarakat, bekerjasama dengan pihak pemeintah kelurahan

dengan melibatkan aparat TNI dan Polri, serta upaya penegakan hukum

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

69
BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dapat diambil beberapa

simpulan terkait pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor

16 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah Kabupaten Flores

Timur, antara lain:

70
1. Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun 2015 tentang

Ketertiban Umum Dalam Wilayah Kabupaten Flores Timur belum efektif

dilaksanakan dalam wilayah Kecamtan Larantuka.

2. Faktor-faktor penghambat pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Flores

Timur Nomor 16 Tahun 2015 tentang Ketertiban Umum Dalam Wilayah

Kabupaten Flores Timur antara lain:

a. Masih banyak pelaku usaha yang melakukan aktivitas usahanya pada

tempat-tempat yang di larang dalam Peraturan Daerah karena tidak ada

sosialisasi dari pejabat yang berwenang dalam hal ini Satuan Polisi

Pamong Praja.

b. Belum adanya peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini seperti

Peraturan Bupati, yang mengakibatkan penegak hukum dalam hal ini

aparat Satuan Pokisi Pamong Praja tidak memiliki dasar hukum untuk

melakukan penindakan atas pelanggaran Peraturan Daerah;

c. Keterbatasan aparatur Penegak Hukum dari Satuan Polisi Pamong Praja,

baik dilihat dari segi jumlah personil maupun tingkat pendidikan.

d. Tidak pernah dilakuan sosialisasi oleh Satuan Polisi Pamong Praja

Kabupaten Flores Timur tentang adanya larangan berjualan di tempat-

tempat seperti emperan toko, badan jalan, trotoar dan lainnya, sehingga

masyarakat tidak mengetahuinya;

e. Tidak pernah dilakukan tindakan hukum oleh Satuan Polisi Pamong Praja

kepada pedagang yang berjualn di tempat-tempat yang dilarang sesuai

71
ketentuan Peraturan Daerah atau dengan kata lain tidak ada proses

penegakan hukum untuk menimbulkan efek jera kepada masyarakat;

f. Tidak ada kewenangan pemerintah kelurahan untuk melakukan penegakan

hukum Peraturan Daerah, sehingga pemerintah kelurahan hanya dapat

melakukan himbauan kepada para pedagang.

g. Belum ada peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah Kabupaten

Flores Timur Nomor 16 Tahun 2015 yang mengatur tentang tata cara

penegakan peraturan daerah ini.

B. Saran

Berdasarkan simpulan di atas, maka penulis memberikan beberapa

rekomendasi untuk mengatasi permasalahan yang telah ditemukan, antara lain:

1. Pemerintah Kabupaten Flores Timur dalam hal ini Satuan Polisi Pamong

Praja Kabupaten Flores Timur harus dapat mengoptimalkan pelaksanaan

Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 16 Tahun 2015 tentang

Ketertiban Umum Dalam Wilayah Kabupaten Flores Timur dengan cara:

a) Melakukan sosialisasi secara massif kepada seluruh lapisan masyarakat

bekerjasama dengan pihak pemerintah kelurahan;

b) Melakukan operasi penertiban dan penegakan hukum atas pelanggaran

Peraturn Daerah dengan memberikan sanksi kepada mereka yang

melakukan pelanggaran demi tegaknya hukum;

c) Untuk mempermudah perencanaan kegiatan operasi penertiban dan

penegakan hukum, Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Flores Timur

72
harus memiliki data kasus pelanggaran Peraturan Daerah dalam kurun

waktu tahunan dan atau 5 tahunan.

d) Perlu peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur Satuan Polisi

Pamong Praja agar mampu mengatasi persoalan pelanggaran produk

hukum daerah;

2. Pemerintah Kabupaten Flores Timur dapat menetapkan Peraturan Bupati

tentang Tata Cara Penegakan Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur

Nomor 16 Tahun 2015 sebagaimana diatur dalam Pasal 36 Peraturan Daerah

ini;

3. Pemerintah kelurahan agar tetap saling berkoordinasi dan elakukan konsultasi

kepada pemerintah kecamatan untu menjaga ketertiban dalam wilayah

kelurahannya masing-masing.

4. Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Flores Timur harus melibatkan pihak

kelurahan dalam melakukan penertiban kepada para pedagang yang berjualan

pada tempat-tempat yang dilarang menurut peraturan daerah ini.

73
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Abdullah, H.R. Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme Sebagai Suatu
Alternatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.
Ashshofa, Burhan; Metode Penelitian Hukum, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, Cet.
Pertama, 1996.
Asshiddiqie, Jimly; Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah,
Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Penerbit UI Press,
Jakarta, 1996.
Atmasasmita, Romli; Reformasi Hukum Hak Asasi Manusia & Penegakkan
Hukum, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2001.
Black, James A. dan Dean J. Champion; Metode dan Masalah Penelitian Sosial,
Penerbit PT. Refika Aditama, Bandung, Cet. Kedua, 1999.
Friedman, Laurence M; American Law Introduction, Second Edition, diterjemahkan
oleh Wishnu Basuki dengan judul Hukum Amerika, Sebuah Pengantar,
Penerbit PT. Tatanusa, Jakarta, 2001.

74
----------------------, Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System A Social
Science Perspective), Penerbit Nusamedia, Bandung, 2009.
Friedmann, W; Teori dan Filsafat Hukum, Telaah Kritis Atas Teori Hukum, Susunan
I, Penerbit Rajawali Pres, Jakarta, 1990.
Harahap, M. Yahya; Hukum Acara Perdata, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2013.
Harkristuti Harkrisnowo, Reformasi Hukum: Menuju Upaya Sinergistik Untuk
Mencapai Supremasi Hukum Yang Berkeadilan, Orasi Ilmiah,
Universitas Pakuan, Bogor, 2003.
Kansil, C,S,T; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Penerbit P.N.
Balai Pustaka, Jakarta, 1983.
Koentjaraningrat; Pengantar Ilmu Antropologi, Edisi Revisi, Penerbit Rineka Cipta,
Jakarta, 2009.
Kusumaatmadja, Mochtar; Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Penerbit
Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan,
Bekerjasama dengan Penerbit Alumni Bandung, 2002.
Magnis-Suseno, Frans; Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Moderen, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan
Ketujuh, 200.
Manan, Abdul; Aspek-aspek Pengubah Hukum, Penerbit Kencana, Jakarta, 2006.
Manan, Bagir; Hubungan Antar Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka
Sinar Harapan, Jakarta, 1994.
Poerwadarminta, W.J.S; Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penerbit PN. Balai Pustaka, Cetakan ke
VII, Jakarta, 1984.
Rahardjo, Satjipto; Sosiologi Hukum, Penerbit Genta Publishing, Yogyakarta, 2010.
Ranjabar, Jacobus, Sosiologi Hukum: Perkembangan, Metode, dan Pilihan
Masalahm Penerbit Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2002.
Riwu Kaho, Josep; Prospek Otonomi Daerah di Negara REpublik Indoneia;
Identifikasi Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya,
Penerbit Rajawali Press Jakarta, Cetakan Kedua, 1991. Rosadi, Otong.
Hukum Tata Negara Indonesia: Teori dan Praktek, (Naskah Untuk
Program Penulisan Buku Teks Perguruan Tinggi), Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Ekasakti, Padang, 2004.
Sadjijono; Fungsi Kepolisian dalam Pelaksanaan Good Governance, Penerbit LB
Laks Bad ng., Yogyakarta, 2005.
Setiadi, Wicipto, Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 6 No. 4 - Desember 2009.
Soekanto, Soerjono; Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit UI Press, Jakarta, Cet.
Ketiga, 1986.
------------------------, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cet. ke 14, 2016.

75
-------------------------, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, 1995.
Suara Pembaruan; Otonomi Daerah: Peluang dan Tantangan, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1995.
Sugiyono, Metode Penelitian Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Penerbit Alfabeta,
Bandung, 2010.
Surbakti, Ramlan; Memahami Ilmu Politik, Penerbit PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia, Jakarta, Cetakan Keempat, 1999.
Syarifin, Pipin dan Dedah Jubaedah; Pemerintahan Daerah di Indonesia, Penerbit
Pustaka Setia, Bandung, Cetakan I, 2006.
Tangkilisan, Hessel Nogi S; Kebijakan dan Manajemen Otonomi Daerah, Penerbit
Lukman Offset, Yogyakarta, 2003.
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Prestasi Pustaka, Jakarta,
2006.
Widodo, Joko; Good Governance, Telaah dari Dimensi: Akuntabilitas dan Kontrol
Birolrasi pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Penerbit Insan
Cendekia, Surabaya, 2001.
Wignjosoebroto, Soetandyo; Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional, Penerbit
PT. RadjaGrafindo Persada, Jakarta, 1994.

Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia; Undang–Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU. No. 22, LN. No. 60
tahun 1999, TLN. No. 3839.
--------------; Undang-Unang tentang Pembentukan Kabupaten Lembata, UU. 52,
LN. No. 180 tahun 1999, TLN. No. 3901.
--------------; Undang–Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU. No. 23, LN. No.
244 tahun 2014, TLN. No. 5587.
--------------; Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU.
No. 2, LN. No. 2 tahun 2002, TLN No. Nomor 4168
--------------; Peraturan Pemerintah tentang Satuan Polisi Pamong Praja, PP. No.
16, LN. No. 72 tahun 2018, TLN. No. 6205.
Kabupaten Flores Timur; Peraturan Daerah tentang Ketertiban Umum Dalam
Wilayah Kabupaten Flores Timur, Perda Nomor 16 Tahun 2015, LD
Nomor 16 Tahun 2020, TLD Nomor 0123.

Makalah/Internet

76
Asshiddiqie, Jimly; dalam makalahnya berjudul: Otonomi Daerah dan Dampaknya
Terhadap Pluralisme Hukum di Indonesia,
Sofyan Lubis, M, http://www.kantorhukum-lhs.com. Artikel Kesadaran Hukum vs
Kepatuhan Hukum,diakses tanggal 12 Juli 2020.
http://jdih.jatimprov.go.id.menanamkan kesadaran hukum dan kepatuhan hukum.
diakses tanggal 2 Agustus 2020.
Maronie, S. Kesadaran dan Kepatuhan Hukum, dalam https://www.zriefmaronie.
blospot. Com, diakses pada tanggal 12 Juli 2020,
http://amaholugeneration.blogspot.com/2012/08/makalah-ketertiban.html

https://www.kelaspintar.id/blog/tips-pintar/pengertian-individu-kelompok-dan-
hubungan-sosial-6789/
https://www.seputarpengetahuan.co.id/2020/03/pengertian-otonomi-
daerah.html#15_ Pengertian_Otonomi_Daerah_Menurut_Para_Ahli,
diakses tanggal 30 Oktober 2020.
https://www.kompas.com/skola/read/2021/10/11/170000469/faktor-faktor-yang-
memengaruhi-penegakan-hukum, diakses tanggal 24 Januari 2022.

Lain-Lain
Biro Pusat Statistik Kabupaten Flores Timur: Kecamatan Larantuka Dalam Angka
Tahun 2020.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-lima, Aplikasi Luring Resmi Badan
Pengebangan Bahasa dan Perbukuan, Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan Repulik Indonesia.
Renstra Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Flores Timur Tahun 2020.

77
78
LAMPIRAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. Data Pribadi

Nama : Alfatihah Djaiz Apereko


NIM : 1602010219
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Tempat & Tanggal Lahir : Larantuka, 30 Desember 1997
Agama : Islam
Alamat : Jln. Jend. Sudirman, Kel. Weri,

79
RT/RW 012/006, Kec. Larantuka,
Kab. Flores Timur.
Nomor Hp : 0822 9964 9871
E-mail : alfatokan79@gmail.com

2. Riwayat Pendidikan

Taman Kanak-Kanak : TKK Nusa Indah, Jakarta Pusat (2002-2004)


Sekolah Dasar : SD Inpres Weri (2004-2010)
Sekolah Menengah Pertama : SMP Negeri 1 Larantuka (2010-2013)
Sekolah Menengah Atas : SMA Negeri 1 Larantuka (2013-2016)
Strata-1 (S1) : Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana
(2016-2022)

3. Keluarga

Ayah : Sayman Peten Sili, S.H., M.H.


Ibu : Fatimah Ina Duli

80
81
82

Anda mungkin juga menyukai