Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tingginya konsumsi masyarakat serta aktivitas lainnya maka bertambah


pula buangan atau limbah yang dihasilkan. Limbah atau buangan yang
ditimbulkan dari aktivitas dan konsumsi masyarakat sering disebut limbah
domestik atau sampah. Limbah tersebut menjadi permasalahan lingkungan karena
kuantitas maupun tingkat bahayanya mengganggu kehidupan makhluk hidup
lainnya.Sampah merupakan konsekuensi dari adanya aktivitas manusia.
Semakin meningkatnya tingkat konsumsi masyarakat serta aktivitas
lainnya maka bertambah pula sampah buangan atau limbah yang dihasilkan.
Seiring peningkatan populasi penduduk dan pertumbuhan ekonomi saat ini
pengelolaan sampah sebagian besar kota masih menjadi permasalahan yang sulit
dikendalikan. Limbah sampah yang ditimbulkan dari aktivitas dan konsumsi
masyarakat sering disebut limbah domestik atau sampah. Timbunan sampah
yang tidak terkendali menjadi konsekuensi dari aktivitas manusia dan
industrialisasi yang kemudian berdampak pada permasalahan lingkungan
perkotaan seperti keindahan kota, kesehatan masyarakat, dan lebih jauh lagi
terjadinya bencana (ledakan gas metan, tanah longsor, pencemaran udara
akibat pembakaran terbuka dan lain-lain). Limbah tersebut menjadi
permasalahan lingkungan karena kuantitas maupun tingkat bahayanya
mengganggu kehidupan makhluk hidup lainnya. Di sisi lain, pengelolaan sampah
yang diselenggarakan oleh dinas terkait hanya berfokus pada pengumpulan
dan pengangkutan ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) tanpa melalui
pengolahan tertentu. Kebanyakan TPA bermasalah terhadap lingkungan hidup,
misalnya TPA tidak dilapisi oleh lapisan kedap air seperti geotextile, tidak ada
pengolahan air lindi, dan masih diizinkannya praktik open dumping dan open
burning. Sehingga menyebabkan banyak permasalahan seperti pencemaran air
lindi ke air tanah, bau busuk dan pencemaran udara. Sampah memang menjadi
masalah di kota-kota besar di seluruh dunia, belum lagi konflik antara pemerintah

1
dengan warga masyarakat yang lokasinya menjadi tempat pembuangan akhir
(TPA). Salah satu tempat pembuangan sampah akhir di Kabupaten Bekasi, Jawa
Barat yaitu TPA Burangkeng menampung sampah-sampah yang berasal dari
seluruh kabupaten Bekasi, baik limbah domestik, limbah pasar.

1.2 Tujuan Penulis

a. Mempelajari teknik pengelolaan sampah di wilayah cikarang selatan.


b. Merencanakan system pengolahan persampahan diwilayah cikarang
selatan .
c. Mengembangkan dan mengaplikasi ilmu yang didapat di perkuliahan.

1.3 Batasan Masalah

Penyusunan tugas berisi rancangan system pengolahan persampahan di


wilayah cikarang selatan meliputi hal-hal berikut :

1. Perencanaan pengolahan persampahan


2. Kondisi eksisting pengolahan persampahan di wilayah kabupaten bekasi.
3. Perancangan atau perencanaan system pengolahan persampahan yang akan
dikaitkan dengan kondisi eksisting.
4. Alternatif alternatif lain pengolahan persampahan dalam wilayah
kabupaten bekasi

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Sampah dan Pengelolaan Sampah

 . Pengelolaan sampah adalah suatu upaya untuk mengurangi


volume sampah atau merubah bentuk menjadi lebih bermanfaat antara lain dengan
cara pembakaran, pengomposan, penghancuran, pengeringan dan pendaur
ulangan. (SNI T-13-1990-F). Dalam UU No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah, disebutkan sampah adalah sisa kegiatan sehari hari manusia atau proses
alam yang berbentuk padat atau semi padat berupa zat organik atau anorganik
bersifat dapat terurai atau tidak dapat terurai yang dianggap sudah tidak berguna
lagi dan dibuang kelingkungan.

2.2.1 Jenis Jenis Sampah

Jenis –jenis sampah menurut sumbernya, yaitu:

a) Sampah Pemukiman Penduduk atau sampah domestik


Sampah yang dihasilkan biasanya berupa sisa makanan, bahan sisa dari
pengolahan makanan atau samapah basah (garbage), dan sampah kering
(rubbish).
b) Sampah Komersil
Sampah yang dihasikan dari restoran, hotel, perkantoran dan toko. Jenis
sampah yang dihasilkan berupa sampah makanan, kertas, karton, plastik,
kaca, logam, sampah khusus dsb.
c) Sampah Institusi
Sampah institusi adalah sampah yang berasal dari sekolah, rumah
sakit, rumah tahanan, dan pusat pemerintahan. Jenis sampah yang
dihasilkan berupa sampah makanan, kertas, karton, plastik, kaca, logam,
sampah khusus, dan kadang-kadang sampah B3.
d) Sampah Konstruksi

3
Sampah yang berasal dari kegiatan pembangunan/konstruksi,
renovasi perumahan, dan perbaikan bangunan komersil. Sampah yang
dihasilkan berupa batu bara, beton, plester, dan lain-lain. Sampah
kontruksi adalah sampah yang berasal dari reruntuhan bangunan, jalan
retak, trotoar, dan jembatan. Jenis sampah yang dihasilkan adalah kaca,
plastik, baja, dan juga sama dengan sampah konstruksi.
e) Sampah Pelayanan Kota
Sampah pelayanan kota terdiri atau sampah penyapuan jalan, sampah
taman, pantai, dan sampah sarana rekreasi. Lumpur instalasi pengolahan
dan sisa-sisa lain yang termasuk ke dalam jenis ini berasal dari pengolahan
air minum, pengolahan air buangan, dan pengolahan limbah indusri.
f) Sampah Industri

Macam dan jenis sampah yang dihasilkan tergantung kepada jenis industri.

g) Sampah Pertanian
Sampah jenis ini berasal dari aktifitas pertanian seperti kegiatan
penanaman, panen, peternakan, dan pemupukan. Pada umumnya sampah
jenis ini bukan merupakan tanggung jawab dari pihak persampahan kota.

2.3.2 Klasifikasi sampah berdasarkan kandungan organik dan anorganik

a) Sampah Basah (Garbage)


Sampah basah adalah sampah yang mengandung unsur-unsur organik,
sifatnya mudah terurai dn membusuk, dan akan menghasilkan air lindi.
Sampah golongan ini merupakan sisa-sisa makanan dari rumah tangga,
hasil sampingan kegiatan pasar.
b) Sampah kering
c) Sampah kering adalah sampah yang mengandung unsur-unsur anorganik,
tidak membusuk, tidak mudah terurai, dan tidak mengandung air. Sampah
kering terdiri atas:
 Sampah yang mudah terbakar (combustible) seperti kayu, kertas,
kain, dan lain-lain.

4
 Sampah tidak mudah terbakar (non combustible) seperti logam,
kaca, keramik, dan lain-lain.
 Abu (Dust/Ash) Abu adalah sampah yang mengandung unsur
organik dan anorganik yang berasal dari proses atau kegiatan
pembakaran.

2.2.3 Klasifikasi sampah bersasarkan komposisinya

a) Sampah yang berseragam


Sampah yang berasal dari kegiatan industri pada umumnya termasuk pada
sampah seragam serta sampah perkantoran yang terdiri atas kertas, karton,
dan kertas karbon.
b) Sampah yang tidak seragam (campuran)
Sampah campuran berasal dari pasar atau sampah dari tempat-tempat
umum.

2.3 Tata Cara Pengelolaan Sampah Di Pemukiman (SNI 03-3242-1994)

Tata cara yang digunakan untuk menentukan pengelolaan sampah


di kawasan pemukiman mencakup tentang perencanaan, pengoperasian,
pembiayaan, institusi dan peran serta masyarakat. Operasional pengelolaan
sampah di permukiman disyaratkan adanya keterlibatan aktif masyrakat
pengelola sampah kota dan pengembang perumahan baru terutama dalam
mengelola dan mengadakan sarana persampahan di lingkungan
permukiman, ketentuan pengelola sampah :

a) Perencanaan
Proses perencanaan dilakukan dengan mempertimbangkan jumlah rumah,
klas dan tipe bangunan jumlah sampah yang akan dikelola
berdasarkan jumlah penduduk, jumlah dan luas bangunan/fasilitas
umum, besaran timbulan sampah berdasarkan sumbernya.
b) Teknik operasional
Teknik ini ditentukan berdasarkan kondisi topografi dan lingkungan
pelayanan, kondisi social ekonomi, partisipasi masyrakat, jumlah dan jenis

5
timbulan sampah, pola operasional dilakukan melaui pewadahan,
pengumpulan, pemindahan di transfer depo, pengangkutan ke TPA.
c) Pembiayaan
Seluruh biaya pengelolaan untuk operasi, pemeliharaan serta penggantian
alat. Cara pengerjaan dilakukan dengan menganalisa penyebaran rumah,
luas daerah yang dikelola, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan,
jumlah rumah berdasarkan tipe,timbulan sampah per hari, jumlah
bangunan fasilitas umum, kondisi jalan, topografi dan lingkungan
untuk menentukan alternative system termasuk jenis peralatan.

2.4 Tata Cara Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah


(SNI03-3241-1994)

Tempat pembuangan akhir sampah adalah sarana fisik untuk


berlangsungnya kegiatan pembuangan akhir sampah berupa tempat yang
digunakan untuk mengkarantinakan sampah kota secara aman. Kriteria lokasi
TPA harus memenuhi persyaratan/ketentuan hukum, pengelolaan
lingkungan hidup dengan AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan).

Ada beberapa kriteria lokasi tempat pembuangan sampah:

a) Kriteria penyisihan digunakan untuk memilih lokasi terbaik sebagai


tambahan meliputi iklim, utilitas, lingkungan biologis, kondisi tanah,
demografi, batas administrasi, kebisingan, bau, estetika dan ekonomi.
b) Kriteria regional digunakan untuk menentukan kelayakan zone
meliputi kondisi geologi, hidrogeologi, kemiringan tanah, jarak dari
lapangan terbang, cagara alam banjir dengan periode 25 tahun.

c) Kriteria penetapan digunakan oleh instansi berwenang untuk menyetujui


dan menetapkan lokasi terpilih sesuai kebijakan setempat. Cara pengerjaan
yaitu dengan melakukan analisis terhadap data sekunder, berupa peta
topografi, geologi lingkungan, hidrogeologi, bencana alam, peta

6
administrasi, kepemilikan lahan, tata guna lahan dan iklim, data primer
berdasarkan criteria, pembuatan peta skala 1 : 25.000 atau 1 : 50.000
dan identifikasi lokasi potersial.

2.5. Pengolahan Kompos

Kompos sangat menguntungkan karena dapat memperbaiki produktivitas


dan kesuburan tanah serta keberadaannya dapat mengatasi kelangkaan pupuk
dan harga pupuk an organik yang mahal.

 Dapat mengurangi pencemaran lingkungan


 Dapat memperbaiki produktivitas tanah
 Dapat meningkatkan kesubururan tanah
 Dapat mengatasi kelangkaan dan harga pupuk yang mahal

Mekanisme proses pengomposan ada 2 (dua) :

1) Pengomposan secara aerobik


yaitu proses perombakan bahan organik akan menghasilkan
humus, karbondioksida, air dan energi dengan memerlukan oksigen + air,
mikroba aerobic, bahan organik co2 + h2o + unsur hara + humus +
energi.
2) Pengomposan an aerobik
proses ini tanpa oksigen (hampa udara) dilakukan dalam wadah tertutup
akan menghasilkan gas metan (ch4) karbondioksida (co2) dan asam
organik. Gas metan ini bisa dimanfaatkan untuk bahan bakar.

Cara pembuatan kompos dari sampah rumah tangga / pasar

A. Bahan – bahan :

1. Sampah organik (sampah rumah tangga / pasar)

 Sisa – sisa sayuran dapur


 Sampah pasar
 Kulit nenas
 Kulit durian

7
 Sortiran bahan sayuran (daun kol, daun ubi, sawi, ketimun, wortel,
 dan sisa sayuran yang tidak terpakai)

2. Bio aktifator

 Em 4
 Kapur dolomit / kapur pertanian
 Mulases / bisa dibuat dari campuran gula aren, susu
 Orgadec
 Air secukupnya

B. Alat – alat :

 Mesin pencacah
 Parang
 Kayu
 Plastik /terpal
 Bak fermentasi dari kayu atau dibuat dari batu permanen atau dari
 Drum
 Termometer
 Cangkul / garu
 Gembor
 Ember
 Polongan udara

C. Cara pembuatannya :

 Melakukan pemilahan sampah organik dan an organik


 Sampah organik dari sisa dapur / pasar yang telah dipilah
dilakukan pencacahan dengan diameter ± 5 cm
 Sampah organik yang telah dicacah dicampur dengan kapur pertanian dan
diaduk sampai merata dengan ukuran 1 ton sampah+ 50 kg kaptan
 Masukkan kedalam bak fermentasi / drum atau tempat yang
telah disiapkan

8
 Siram dengan air yang telah dicampur dengan em 4 dengan ukuran 0,5
liter ; 100 liter air ; 0,1 liter mulasis
 Tutuplah dengan plastik fermentasi yag tidak tembus sinar
matahari dengan rapat dan setiap 1 hari 1 x diukur suhunya dengan suhu
berkisar 40 - 50 ºc, dan apabila suhunya melebihi maka fermentasi tersebut
dibuka sementara hingga suhunya turun baru ditutup kembali
 Lakukan pembalikan 3 hari 1 x dan air lindi yang mengalir di tampung
untuk disiramkan kembali
 Setelah 21 s/d 30 hari telah matang kemudian dilakukan penjemuran /
diangin - anginkan, tidak boleh kena matahari langsung
 Lakukan pengayakan pupuk siap dipakai
 Lakukan pengepakan dan di simpan maka pupuk kompos telah
siap dipakai

9
BAB III

GAMBARAN UMUM WILAYAH

3.1 Profil Geografis, Administrasi dan Kondisi Fisik Wilayah


3.1.1 Letak Geografis
Kabupaten Bekasi mempunyai letak yang strategis karena dilalui oleh jalur
regional yang menjadi perlintasan antara ibu kota propinsi dan ibu kota.
Secara geografis Kabupaten Bekasi terletak antara 60 10’ 53” – 60 30’ 6”
Lintang Selatan dan 1060 48’ 28” – 1070 27’ 29” Bujur Timur. Posisi
tersebut menempatkan Kabupaten Bekasi berada di sebelah barat wilayah
Propinsi Jawa Barat yang memanjang dari utara ke selatan.

3.1.2 Wilayah Administratif


Wilayah Kabupaten Bekasi mempunyai luas 127.388 Ha, meliputi 23
Kecamatan. Secara administratif Kabupaten Bekasi mempunyai batas-batas
wilayah sebagai berikut:
Utara : Laut Jawa
Selatan : Kabupaten Bogor
Barat : DKI Jakarta dan Kota Bekasi
Timur : Kabupaten Karawang

Secara administratif Kabupaten Bekasi dikepalai oleh seorang Bupati.


Jumlah kecamatan yang ada di Kabupaten Bekasi sebanyak 23 kecamatan
yang terdiri dari 182 desa dan 5 kelurahan. Jumlah desa/kelurahan di setiap
kecamatan berkisar antara 6 sampai 13. Kecamatan dengan jumlah desa
yang paling sedikit yaitu kecamatan Cikarang Pusat, Bojongmangu dan
Muaragembong, sedangkan kecamatan yang memiliki jumlah desa
terbanyak adalah Kecamatan Pebayuran. Kecamatan terluas adalah
Muaragembong (14.009 Ha) atau 11,00 % dari luas kabupaten.

10
3.1.3 Kondisi Fisik Wilayah
A. Klimatologi
Suhu udara yang terjadi di Kabupaten Bekasi berkisar antara 280-320C.
Curah hujan tertinggi dan hari hujan terbanyak terjadi pada bulan Januari
B. Kondisi Air Tanah
Sekitar 15,5 % wilayah Kabupaten Bekasi memiliki air tanah yang
terintrusi air laut terutama di Kecamatan Muaragembong dan Tarumajaya,
20,1 % memiliki air tanah dalam dan 64,4 % memiliki air tanah dangkal.
Kondisi air tanah yang ada di wilayah Kabupaten Bekasi sebagian besar
merupakan air tanah dangkal yang berada pada kedalaman 5 – 25 meter
dari permukaan tanah, sedangkan air tanah dalam pada umumnya didapat
pada kedalaman antara 90 – 200 meter. Kondisi air tanah di 5 kecamatan
yaitu Cikarang Pusat, Cikarang Utara, Cikarang Selatan, Cikarang Barat,
dan Cikarang Timur memiliki debit sumur umumnya 5 lt/dtk. Kedalaman
akuifer dangkal dapat mencapai lebih dari 25 m. Kedalamannya bervariasi
antara 5-8 m di daerah pegunungan dan 2-4 m di daerah dataran di bawah
permukaan tanah setempat. Lapisan akuifer dalam berada pada kedalaman
40 – 140 m di bawah muka tanah setempat. Untuk Kecamatan Setu,
Serang Baru, Cikarang Selatan, Karang Bahagia, dan Pebayuran
mempunyai potensi air tanah sedang. Kecamatan Cibarusah dan
Bojongmangu umumnya potensi air tanahnya kecil, setempat dan langka.
C. Kondisi Air Permukaan
Kabupaten Bekasi merupakan SWS Citarum sepanjang 2.068 km2.
Sungai yang berada di Kabupaten Bekasi adalah Kali Cikarang, Kali
Ciherang, Kali Blencong, Kali Jambe, Kali Sadang, Kali Cikedokan, Kali
Ulu, Kali Cilemahabang, Kali Cibeet, Kali Cipamingkis, Kali Siluman,
kali Srengseng, kali Sepak, Kali Jaeran, dan Kali Bekasi. Berdasarkan
Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Barat Nomor 68 Tahun 1997 tentang
Peruntukan Air dan Baku Mutu Air, sungai-sungai di Kabupaten Bekasi
yang dimanfaatkan untuk keperluan air baku air minum dan kegiatan

11
pertanian adalah Sungai Citarum, Sungai Cibeet, Sungai Bekasi, dan
Sungai Cikarang.

Kondisi kualitas sungai berdasarkan hasil pemeriksaan kualitas air sungai


yang dilaksanakan oleh BPLH Kabupaten Bekasi tahun 2011 adalah
sebagai berikut :
1. Sungai Jambe, kondisi air dibawah baku mutu dan untuk beberapa
parameter melebihi ambang batas yaitu Do, Zn, COD, BOD
2. Sungai Menir, kondisi di bawah baku mutu dan parameter yang
melebihi ambang batas adalah Zn
3. Sungai Jaeran, kondisi di bawah baku mutu dan parameter yang
melebihi ambang batas Zn
4. Sungai Cikedokan, kondisi di bawah baku mutu dan parameter yang
melebihi ambang batas adalah Nitrit dan MBAS (konsentrasi deterjen)
5. Sungai Sadang, kondisi di bawah baku mutu dan parameter yang
melebihi ambang batas adalah MBAS (konsentrasi deterjen)
6. Kali Ulu, kondisi di bawah baku mutu dan parameter yeng melebihi
ambang batas Nitrit
7. Sungai Cilemahabang, kondisi di bawah baku mutu dan parameter
yang melebihi ambang batas Zn
8. Sungai CBL, kondisi di bawah baku mutu
9. Sungai Cikarang, kondisi di bawah baku mutu dan parameter yang
melebihi ambang batas MBAS (konsentrasi deterjen)

12
Tabel 2.2
Luas Wilayah dan Jumlah Desa

Jumlah Desa / Luas Wilayah / Area


Kecamatan / District
Keluarahan Ha % terhadap total
Setu 11 6.216 4,88
Serang Baru 8 6.38 5,01
Cikarang Pusat 6 4.76 3,74
Cikarang Selatan 7 5.174 4,06
Cibarusah 7 5.039 3,96
Bojongmangu 6 6.006 4,71
Cikarang Timur 8 5.131 4,03
Kedungwaringin 7 3.153 2,48
Cikarang Utara 11 4.33 3,40
Karangbahagia 8 4.61 3,62
Cibitung 7 4.53 3,56
Cikarang Barat 11 5.369 4,21
Tambun Selatan 10 4.31 3,38
Tambun Utara 8 3.442 2,70
Babelan 9 6.36 4,99
Tarumajaya 8 5.463 4,29
Tambelang 7 3.791 2,98
Sukawangi 7 6.719 5,27
Sukatani 7 3.752 2,95
Sukakarya 7 4.24 3,33
Pebayuran 13 9.634 7,56
Cabangbungin 8 4.97 3,90
Muaragembong 6 14.009 11,00

Kabupaten Bekasi /
Bekasi Regency 187 127.388 100,00

13
BAB IV

KONDISI EKSISTING SISTEM PENGOLAHAN PERSAMPAHAN

Bak
Sampah
PEMUKIMAN TPS

Bak
SPA
PASAR Sampah

Bak CONTAINER TPA


KOMERSIAL/Sampah
PERKANTORAN

Tong
Sampah

JALAN/
FASILITAS UMUM

Gambar 4.1 Pola pengangkutan sampah

Penjelasan ringkas dalam sistem tersebut, antara lain adalah :

 Truk pengangkut sampah berangkat dari pool menuju


titik sumber sampah pertama untuk mengambil sampah.
 Selanjutnya truk tersebut mengambil sampah pada titik-
titik sumber sampah berikutnya sampai truk penuh
sesuai dengan kapasitasnya.
 Sampah diangkut ke lokasi pemerosesan akhir.

 Setelah pengosongan sampah di lokasi tersebut, truk


menuju kembali ke lokasi sumber sampah berikutnya
sampai terpenuhi ritasi yang telah ditetapkan.
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya terdapat 3 jenis sistem
transfer, yaitu Tipe I, II dan III. Pengumpulan sampah melalui

14
sistem pemindahan di transfer depo Tipe I dan II, pola
pengangkutannya dapat dilihat pada gambar berikut ini.

a a b b c c

10

Pool Ke

4 7
56
2 3 8 9
TPA

Gambar 8. Pola pengangkutan dengan sistem pengosongan


kontainer cara 1

Keterangan gambar : angka 1,2,3,...,10 adalah rute alat


angkut.

a. Pola pengangkutan dengan sistem pengosongan kontainer cara 2 :

 Kendaraan dari pool menuju kontainer isi pertama


untuk mengangkut samaph ke pemerosesan atau TPA.
 Dari sana kendaraan tersebut dengan kontainer kosong
menuju ke lokasi kedua untuk menurunkan kontainer
kosong dan membawa kontainer isi untuk diangkut ke
pemerosesan.
 Demikian seterusnya sampai pada rit terakhir.

 Pada rit terakhir dengan kontainer kosong dari


pemerosesan atau TPA menuju ke lokasi kontainer

15
pertama.
 Sistem ini diberlakukan pada kondisi tertentu, misal :
pengambilan pada jam tertentu atau mengurangi
kemacetan lalu lintas.

isi

Pool

Kontain
3 4
2 5 6 Ke
TPA lokasi
7

Gambar 9. Pola pengangkutan dengan sistem pengosongan


kontainer cara 2

b. Pola pengangkutan dengan sistem pengosongan kontainer cara 3 :

 Kendaraan dari pool dengan membawa kontainer kosong


menuju lokasi kontainer isi untuk mengganti/mengambil
dan langsung membawanya ke TPA.
 Kendaraan dengan membawa kontainer kosong dari
TPA menuju ke kontainer isi berikutnya.
 Demikian seterusnya sampai dengan rit terakhir.

16
isi Kosong

Kontain
1
3 4
Pool
2 5 6
Ke

TPA

Gambar 10. Pola pengangkutan dengan sistem pengosongan


kontainer cara 3

c. Pola pengangkutan dengan sistem kontainer tetap :

Kontainer tetap biasanya untuk kontainer kecil serta alat


angkut berupa truk compactor, keterangan sistem adalah
sebagai berikut :
 Kendaraan dari pool menuju kontainer pertama,
sampah dituangkan ke dalam truk compactor dan
meletakkan kembali kontainer yang kosong.
 Kendaraan menuju ke kontainer berikutnya sehingga
truk penuh, untuk kemudian langsung ke pemerosesan
atau ke TPA.
 Demikian seterusnya sampai dengan rit terakhir.

Pengangkutan sampah hasil pemilahan yang bernilai


ekonomi dilakukan sesuai dengan jadwal yang telah
disepakati.

17
isi Kosong
KontainerR

Truk pemadat TPA


Dari Pool

Gambar 11. Pola pengangkutan dengan sistem kontainer tetap

Penentuan rute pengangkutan sampah dimaksudkan agar


kegiatan operasional pengangkutan sampah dapat terarah dan
terkendali dengan baik. Untuk menentukan rute pengangkutan
ini, maka perlu diperhatikan :
 Lebar jalan yang akan dilalui.

 Peraturan lalu lintas yang berlaku.

 Waktu-waktu padat.

Dengan selalu mengikuti peraturan lalu lintas yang berlaku,


diusahakan agar rute pengangkutan adalah yang sependek
mungkin. Untuk Indonesia yang menggunakan peraturan lalu
lintas jalur kiri (left way system), maka rute pengangkutan
diusahakan untuk menghindari belokan ke kanan, namun karena
penjangnya rute, maka belokan melawan sistem ini seringkali
tidak dapat dihindari. Akan tetapi diusahakan agar hal tersebut
terjadi sesedikit mungkin.

2.3.2 Beberapa jenis kendaraan angkut

Beberapa jenis kendaraan angkut yang biasa digunakan dalam


sistem pengelolaan sampah di kota, khususnya di negara maju,
adalah sebagai berikut :

18
a. Truk terbuka

 Hanya sebagai pengangkut sampah, tanpa ada perlakuan lain.

 Perlu penutupan timbunan sampah di truk agar tidak


bertebaran.

 Tidak dianjurkan kecuali bila dana terbatas


b. Dump truck

 Truck pengangkut sampah yang dilengkapi dengan penutup kontainer.

 Dianjurkan, karena lebih mudah dalam pembongkaran sampah di


tujuan.

c. Arm-roll truck, Roll-on truck, Multi- loader truck


 Truk pengangkut yang dilengkapi mesin pengangkat
kontainer.
 Dianjurkan untuk daerah pasar dan sumber sampah besar
lainnya.

19
BAB V

EVALUASI SISTEM PENGOLAHAN PERSAMPAHAN

5.1 Kondisi Pengelolaan


Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat dalam kurun waktu 10 tahun
terjadi peningkatan jumlah penduduk Kabupaten Bekasi lebih dari 1 juta jiwa.
Pada tahun 2004  jumlah penduduk Kabupaten Bekasi 1.950.209 jiwa kemudian
pada 2014 melonjak menjadi 3.122.698 jiwa atau meningkat sebanyak 1.172.489
jiwa. Sedangkan pada 2015, penduduk Kabupaten Bekasi berjumlah 3.246.000
jiwa atau terbesar ketiga di Jawa Barat setelah Kabupaten Bogor dan Kabupaten
Bandung.
Hingga saat ini, penanganan dan pengelolaan sampah tersebut masih
belum optimal. Baru 11,25% sampah di daerah perkotaan yang diangkut oleh
petugas, 63,35% sampah ditimbun/dibakar, 6,35% sampah dibuat kompos, dan
19,05% sampah dibuang ke kali/sembarangan. Sementara untuk di daerah
pedesaan, sebanyak 19% sampah diangkut oleh petugas, 54% sampah
ditimbun/dibakar, 7% sampah dibuat kompos, dan 20% dibuang ke
kali/sembarangan (BPS, Tahun 1999). Berdasarkan data di atas, kurang dari 20 %
sampah yang ditimbulkan, baik itu di perkotaan maupun di pedesaan yang
ditangani oleh pemerintah. Sesampainya di TPA pun, sampah tersebut pada
umumnya dibuang pada TPA yang menggunakan metoda Open dumping.
Sampai dengan akhir Pelita V, baru 1,33% dari seluruh TPA yang ada di
perkotaan di Indonesia yang menggunakan metoda pembuangan akhir sampah
Sanitary Landfill (Adipura 1997) dan hingga saat ini pengoperasiannya telah
berubah menjadi metoda Open Dumping akibat

20
keterbatasan dana operasi dan pemeliharaannya.

a. Pewadahan Sampah. Tidak ada ketentuan tentang


pewadahan sampah yang harus digunakan oleh masyarakat, baik
bentuk, ukuran maupun bahan wadah sampah. Pengadaan dan
pemeliharaan wadah sampah merupakan tanggung jawab
masing- masing penghasil sampah baik kelompok masyarakat
dalam pemukiman ataupun di pusat kegiatan yang lain.
Pemeirntah daerah atau Dinas Kebersihan hanya menyediakan
dan memelihara wadah sampah yang ada di jalan.

b. Pengumpulan Sampah. Fasilitas pengumpulan yang


digunakan oleh kota-kota yang disurvai dibedakan atas fasilitas
yang diletakkan di suatu lokasi dan fasilitas yang bergerak.
Fasilitas yang diletakkan di suatu lokasi bisa berbentuk Bak,
Tong, Dipo atau Kontainer. Sedangkan fasilitas pengumpulan
yang bergerak bisa berfungsi pula sebagai sarana pemindahan
(transfer) dan juga sarana pengangkutan (transport). Bentuk
sarana pengumpulan yang digunakan oleh dinas pengelola
sampah di kota- kota di Indonesia adalah Becak sampah,
Gerobak, mobil pick-up, dan truk. Tingkat pelayanan
pengumpulan sampah sampai dengan TPA bervariasi dari
60,98% sampai dengan 89,22%.

c. Pemindahan dan
Pengangkutan Sampah.
Fasilitas transfer dan transport
yang digunakan oleh kota-
kota yang disurvai bervariasi,
yaitu Typer truk, Mobil Pick-
up, Compactor truck, Dump

21
truck dan Arm roll truck.

d. Tempat Pembuangan akhir


(TPA). Seluruh kota di
Indonesia, telah memiliki TPA
sebagai lokasi pembuangan
akhir sampah. Namun tidak
semua lokasi TPA tersebut
berada di dalam wilayah
administrasi kota penghasil
sampah, misalnya TPA
Bantar Gebang di Kota Bekasi, TPA Namo Bintang di
Kabupaten Deli Serdang dan TPA Jelengkong di Kabupaten
Bandung. Luasan TPA yang dimiliki pemerintah daerah
untuk skala kota berkisar antara 11,7 ha sampai dengan 30,8 ha.

e. Sistem Kelembagaan. Dari hasil survai yang dilakukan oleh


Departemen PU ke beberapa kota di Indonesia, diperoleh data
dan informasi tentang instansi yang bertanggung jawab atas
pengelolaan persampahan. Bentuk institusi beragam sesuai
dengan kebijakan daerah masing-masing yang kemudian
dituangkan dalam bentuk peraturan daerah. Adanya perbedaan
bentuk institusi pengelola persampahan ini juga berakibat pada
perbedaannya fungsi dan wewenang masing-masing tersebut.
Kegiatan pemantauan pengelolaan persampahan di TPS atau
TPA dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup, Bapedalda atau
BPLHD.

22
f. Sistem Pembiayaan. Sistem pembiayaan pengelolaan persampahan
meliputi:

 Sumber dana yang digunakan untuk pengelolaan persampahan


kota,

 Besarnya dana yang diterima serta besarnya beaya yang


harus dikeluarkan untuk pengelolaan persampahan dan
Cara pembayaran iuran/retribusi kebersihan
5.2 Permasalahan dalam Pengelolaan Sampah di Indonesia
Permasalahan berdasarkan pelaku pengelolaan sampah

Persampahan pengelolaan sampah di Indonesia telah


sedemikian kompleks yang melibatkan pelaku-pelaku utama
pengelolaan sampah, yaitu:

 Masyarakat: orang perorang maupun komunitas masyarakat.

 Pemerintah: Pemerintah dan pemerintah daerah.

 Pelaku Usaha: produsen, penjual, pedagang, jasa.

Permasalahan-permasalahan tersebut saling terkait


sehingga memerlukan pendekatan komprehensif dan melibatkan
semua pelaku utamanya. Permasalahan pengelolaan sampah
yang ada pada setiap pelaku utama tersebut dapat dilihat pada
tabel berikut:

23
Tabel 8 Permasalahan Pengelolaan Sampah Yang Ada pada
Setiap Pelaku Utama

24
Kendala yang ditemukan untuk pengoperasian secara sanitary
landfill adalah:

a) Kurangnya alat berat yang dimiliki

b) Sulit/mahal tanah untuk penutup sampah

c) Kolam pengolah lindi tidak berfungsi

d) Sumber daya manusia tidak memadai.

Berhubungan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk


pengelolaan persampahan, di kota-kota yang disurvai menyatakan
keterbatasan dana sebagai salah satu kendala peningkatan pelayanan
pengelolaan persampahan. Keterbatasan dan dana tersebut dapat
berakibat kepada:
a. Ketidakmampuan melakukan pemeliharaan terhadap
sarana dan prasarana pengelolaan sampah yang ada,
b. Ketidakmampuan melakukan penggantian terhadap

25
sarana dan prasarana pengelolaan sampah yang telah
rusak.
c. Ketidak mampuan melakukan pengadaan sarana dan
prasarana pengelolaan sampah yang baru untuk
mencapai target pelayanan yang baik.
d. Ketidakmampuan melakukan pengelolaan persampahan
sesuai dengan standar operasional yang seharusnya
(missal: rencana TPA = Sanitary landfill, namun yang
dilaksanakan hanya open dumping atau maksimal
control dumping).
Adanya ketentuan pembayaran iuran dan retribusi, masyarakat
merasa bahwa untuk pengelolaan persampahan mereka harus membayar
dua kali yaitu kepada pengurus RT/RW dan DINAS. Hal ini terjadi
karena masyarakat tidak mengetahui secara pasti bagaimana aliran
sampah setelah tidak mereka butuhkan sehingga mereka tidak memiliki
informasi atau pengetahuan besarnya beaya yang diperlukan untuk
menyingkirkan sampah dan lingkungan dirinya. Yang mereka inginkan
adalah setelah membayar iuran dan retribusi kebersihan, sampah sudah
menjadi tanggung jawab DINAS/PD Kebersihan.
Dalam upaya mengurangi jumlah sampah baik pemerintah
maupun masyarakat melakukan kegiatan pem,buatan kompos, Namun
untuk memanfaatkan sampah sebagai industri kompos mereka
menemukan kendala dan tantangan, yaitu:
a. Kendala Kualitas

b. Kendala Pemasaran

c. Kendala kuantitas dan kontinuitas

d. Kendala pendanaan

Dari uraian di atas terlihat bahwa permasalahan dalam


pengelolaan persampahan semakin kompleks. Permasalahan yang harus

26
dihadapi oleh pemerintah daerah juga cukup berat. Sedangkan
permasalahan yang dihadapi oleh Pelaku usaha bersifat nasional (lintas
batas administrasi kota/propinsi). Oleh karena itu, untuk mengatasi
permasalahan tersebut sudah saatnya disusun suatu peraturan perundang-
undangan Pengelolaan Sampah menjadi dasar hokum peraturan-
peraturan teknis di bidang pengelolaan sampah serta menjadi dasar
tindak pengelolaan sampah yang mengikat masyarakat, baik orang
perorang maupun komunitas, pemerintah, dan Pelaku Usaha.

Permasalahan berdasarkan aspek terkait dengan pengelolaan persampahan

 Permasalahan Institusi dan Organisasi

 Keterbatasan bentuk, status, wewenang (Pemerintah/ Swasta)

 Belum ada mekanisme pengawasan, monitoring dan evaluasi

27
 Pada tahap pengembangan

 Tidak mempunyai unit perencanaan

 SDM terbatas

 Banyaknya kriteria pembatas (note: dengan


diberlakukannya PP 8/2003 adanya perampingan
organisasi dsb)

Permasalahan Teknis Operasional

 Kapasitas sarana terbatas

 Tidak adanya pengembangan perangkat lunak yang


memberikan feedback pada persoalan sarana dan
prasarana
 Pemeliharaan peralatan terbatas

 Tenaga teknis THL

 Jangkauan pelayanan terbatas

 Kurang padannya subsistim pengumpulan, pemindahan dan


pengangkutan

 Metoda pengolahan/pembuangan kurang sesuai kondisi daerah

 Teknologi pembuangan akhir terbatas pada landfill,


open dumping; belum menjangkau teknologi alternatif.

Permasalahan Pembiayaan

 Retribusi yang terkumpul terbatas, biaya operasional tinggi (cost


center)

 Sumber dana dari APBD, bukan/belum dari masyarakat

28
 Pola pengelolaan padat karya dan bukan padat modal

 Prioritas investasi persampahan kalah dengan investasi sektor


ekonomi lain

 Kewenangan pengelolaan pendanaan yang terbatas (kewenangan


anggaran)

 Biaya pemeliharaan peralatan terbatas

 Penyusunan struktur tarif tidak didasarkan pada metoda


ekonomi yang pas dan tidak aktual pada kondisi
ekonomi eksisting
 Siklus pengelolaan retribusi tidak menggunakan prinsip
manajemen
Permasalahan Peraturan/perundangan

 Perda banyak yang kadaluwarsa dan harus disesuaikan


dengan waktu dan konteks kebijakan
 Perda banyak yang tidak mempunyai Peraturan ‘payung’

 Materi pokok tidak disesuaikan dengan kemampuan


‘menegakkan’

 Produk hukum sering tidak disertai dengan juknis yang


diperlukan

 Secara substansial Perda baru memuat: (i) struktur


pembentukan kelembagaan (ii) ketentuan tentang
kebersihan bagi masyarakat luas, (iii) struktur tarif dan
tarif dasar pengelolaan kebersihan

Permasalahan Peranserta Masyarakat

 Pengertian dan pemahaman peranserta (keterlibatan:


ide/gagasan, kontribusi fisik dan keuangan/retribusi)

29
 Pendidikan dan pemahaman masyarakat masih terbatas;

 pendidikan tidak merefleksikan pemahaman membuang


sampah yang baik dan benar Peranserta masyarakat dan
organisasi kemasyarakatan belum sepenuhnya
dioptimalkan dalam simpul-simpul pengelolaan
persampahan
Peranserta belum/sedikit merefleksikan: (i) keterlibatan dalam upaya
pemilahan/daur ulang ii) keterlibatan dalam permodalan, (iii) keterlibatan dalam
perencanaan & pengawasan

30
BAB VI

RENCANA DETAIL SISTEM PENGOLAHAN PERSAMPAHAN

Berdasarkan Rencana Aksi Nasional Bidang Persampahan yang


telah dibuat oleh Pemerintah pada tahun 2005, maka kondisi yang
diinginkan adalah sebagai berikut :

1. Semua sampah yang dihasilkan di pusat-pusat wilayah kota/


kabupaten harus dikumpulkan, diangkut, diolah atau dibuang
dengan cara yang benar sehingga tidak menimbulkan masalah bagi
lingkungan dan manusia; serta efektif dan efisien dengan
memperhatikan kelayakan secara teknis dan finansial khususnya
pada kagiatan pengumpulan dan pengangkutan yang bersifat padat
modal.
2. Prioritas pelayanan kebersihan perlu diberikan lebih kepada daerah
permukiman padat, daerah komersial dan high income, tempat-
tempat umum dan unsur wajah kota dengan pertimbangan
kesehatan lingkungan, potensi dukungan pembiayaan, dan
pandangan atau image kota yang positif.
3. Sampah di daerah perdesaan dan wilayah yang tidak terjangkau
oleh pelayanan kebersihan harus diolah setempat dengan benar
sesuai ketentuan yang berlaku agar tidak mengganggu kesehatan
lingkungan.
4. Prioritas pelayanan juga perlu diberikan pada kawasan strategis
seperti wisata, industri, dan lain-lain untuk memacu perkembangan
kawasan/sektor tersebut .
5. Penerapan teknologi pengolahan perlu diupayakan untuk
mengurangi ketergantungan pada TPA; dengan memperhatikan
kelayakan secara teknis, ekonomis, maupun lingkungan
6. Tempat Pembuangan Akhir merupakan tempat dimana seluruh
sampah terkonsentrasi dan berpotensi tinggi mengganggu

31
lingkungan, sehingga harus direncanakan dan disiapkan dengan
baik, dioperasikan dan dikelola secara aman dan sehat Kondisi
pengelolaan yang diharapkan tersebut di atas direncanakan akan
dicapai secara bertahap sesuai kemampuan dan ketersediaan
sumber daya yang ada. Sasaran peningkatan secara umum dapat
dibedakanpadasarana. peningkatan yang bersifat kuantitatif
misalnya tingkat pelayanan terhadap penduduk; tetapi juga
peningkatan kualitatif pelayanan misalnya peningkatan metode
pembuangan akhir dari control landfill menjadi sanitary landfill.
Peningkatan keduanya dalam sistem pelayanan persampahan
bersifat lebih komprehensif untuk melihat kondisi peningkatan
yang sebenarnya dan merupakan peningkatan kinerja dari
pelayanan persampahan.

Sasaran peningkatan pengelolaan persampahan di Indonesia


direncanakan dibagi ke dalam 3 tahapan peningkatan yaitu Jangka
Pendek/Mendesak, Jangka menengah, dan Jangka Panjang.

1. Sasaran Jangka Pendek/Mendesak (2005)

Merupakan tahapan peningkatan dengan batasan waktu sampai dengan


akhir tahun 2005 yang merupakan tahapan jangka pendek/mendesak dalam
peningkatan sistem pengelolaan ini.
Komponen sasaran yang ingin dicapai meliputi :

1. Tingkat pelayanan mencapai 50% jumlah penduduk Indonesia

2. Peningkatan frekwensi pengumpulan hingga maksimal tiap 3


hari dan pengangkutan tiap hari; serta efisiensi pengoperasian
dump truck hingga minimal 3 trip/hari serta arm roll truck
minimal 4 trip per hari.
3. Kapasitas pengolahan ditingkatkan hingga mencapai 10 % timbulan.

4. TPA dilaksanakan dengan metode Sanitary Landfill untuk kota

32
metropolitan dan kota besar, serta Control Landfill untuk kota
lainnya dengan penutupan sampah paling lambat setiap bulan
sekali.
5. Status Pengelola dipertahankan berupa PD/Dinas atau minimal
Sub Dinas untuk kota metropolitan dan Kota Besar, sementara
kota Sedang minimal berupa Seksi dan Kota Kecil minimal Sub
Seksi.
6. Fungsi pengawasan dijalankan disamping fungsi pelaksanaan.

7. Kemampuan SDM meningkat dalam aspek manajemen dan teknis.

8. Rasio personil mengarah pada besaran 1/1000 penduduk dilayani.

9. Alokasi anggaran minimal 4 % terhadap total APBD.

10. Penarikan retribusi melalui PLN dilaksanakan dan mencapai 25 %


pelanggan secara bertahap sesuai kesiapan.

11. Dasar hukum nasional pengelolaan persampahan diselesaikan


minimal berupa Peraturan Pemerintah.
12. Pembinaan dan pendidikan masyarakat diprogramkan.

13. Kapasitas pelayanan swasta mencapai minimal 10 % dari total


timbulan.
14. Sistem Informasi/Database persampahan nasional tersedia.

15. Penilaian kinerja pengelolaan diperkenalkan dan diujicobakan.

2. Sasaran Jangka Menengah (2010)

Merupakan tahapan peningkatan dengan batasan waktu sampai


dengan akhir tahun 2010 yang merupakan tahapan jangka menengah
dalam peningkatan sistem pengelolaan ini. Komponen sasaran adalah
mempertahankan apa yang sudah dicapai pada tahapan mendesak dengan
peningkatan pada:
1. Tingkat pelayanan mencapai 60% dari jumlah penduduk Indonesia

33
2. Peningkatan efisiensi pengoperasian arm roll truck minimal 5 trip
per hari.
3. Kapasitas pengolahan ditingkatkan hingga mencapai 25% timbulan

4. Control landfill untuk kota Sedang dan Kecil dengan penutupan


paling lambat setiap minggu sekali
5. Fungsi perencanaan dijalankan disamping fungsi pelaksanaan dan
pengawasan
6. Rasio personil mengarah pada besaran 1,5/1000 penduduk dilayani

7. Alokasi anggaran minimal 6% terhadap total APBD

8. Penarikan retribusi melalui PLN menjangkau 50% pelanggan

9. Dasar hukum nasional terealisir berupa Undang-Undang

10. Kapasitas pelayanan swasta mencapai minimal 20% dari total


timbulan
11. Sistem Informasi/Database persampahan nasional ditingkatkan

12. Penilaian kinerja pengelolaan dilaksanakan secara nasional

3. Sasaran Jangka Panjang (2015)

Merupakan tahapan peningkatan dengan batasan waktu sampai dengan akhir


tahun 2015 yang merupakan tahapan jangka panjang dalam peningkatan sistem
pengelolaan ini. Tahapan ini juga mengacu pada sasaran Millenium Development
Goals. Komponen sasaran adalah mempertahankan apa yang sudah dicapai pada
tahapan jangka menengah dengan peningkatan pada :
1. Tingkat pelayanan mencapai 70% jumlah penduduk Indonesia

2. Kapasitas pengolahan ditingkatkan hingga mencapai 40% timbulan

3. Control landfill untuk kota Sedang dan Kecil dengan penutupan


paling lambat setiap 3 hari sekali
4. Rasio personil mengarah pada besaran 2/1000 penduduk dilayani

34
5. Alokasi anggaran mencapai 8% terhadap total APBD

6. Penarikan retribusi melalui PLN menjangkau 75% pelanggan

7. Penerapan dasar hukum nasional berupa UU secara konsisten


Kapasitas pelayanan swasta mencapai minimal 30 % dari total timbulan

35
BAB VII

PENUTUP

7.1 Kesimpulan

Upaya Pengelolan Sampah di Indonesia saat ini masih belum memberikan


hasil yang memuaskan. Menumpuknya sampah di sumber-sumber air, sampah
yang berserakan di jalan, Tempat pembuangan akhir yang merusak dan
mencemari lingkungan adalah beberapa contoh kegagalan dari upaya pengelolaan
sam[ah yang ada saat ini. Permasalahan yang ada memang amatlah kompleks.
Mulai dari masalah teknis seperti kurangnya sarana dan prasarana persampahan,
masalah kelembagaan, masalah peraturan yang tumpang tindih, hingga masalah
kecilnya partisipasi masyarakat mengerucut menjadi tidak optimalnya
pengelolaan sampah di Indonesia. Salah satu yang diharapkan dapat menjawab
masalah tersebut adalah dengan meningkatkan partisipasi masayarakat melalui
upaya pengelolaan sampah di sumbernya. Dengan mengelola sampah di
sumbernya, baik dengan cara upaya mengurangi (reduce), memakai kembali (re-
use), dan mendaur-ulang (recycling) sampah, serta mengganti (replace) diyakini
akan memperbaiki kondisi pengelolaan
sampah.

7.2 Saran

Peran serta pemerintah dalam hal penanganan dan pengolahan sampah,


baik mengenai pendanaan operasional TPA maupun kompensasi terhadap
masyarakat sekitar ataupun ketegasan dalam pemakaian pupuk organik (kompos),
mampu menghasilkan hasil pertanian yang bebas pupuk kimia.Sampah
organik yang diolah menjadi kompos di TPA Burangkeng pun mempunyai
nilai ekonomis tinggi.

36
DAFTAR PUSTAKA

Amin, A., Selintung, M., & Latupeirissa, J. (2010). Optimalisasi Pengangkutan


Sampah di Pusat Kota Ternate. Jurnal. Universitas Hasanuddin. , Diunduh dari
http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/83cbe7fa4892d1c8628ff43 cd29d8dd5.pdf,
1-11.
Damanhuri, E., & Padmi, T. (2010). Pengelolaan Sampah, Diktat Kuliah.
Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Departemen Pekerjaan Umum . (1995). Biaya Operasi Kendaraan (BOK) untuk
Jalan Perkotaan di Indonesia. Jakarta

Riadi,muchlisin.” Pengertian, Jenis dan Dampak


Sampah”.http://www.kajianpustaka.com/2015/02/pengertian-jenis-dan-dampak-
sampah.html diakses pada 4 Januari 2017
Sanitiara.2016.” Laporan+Kunjungan TPA Muara Fajar”
http://documents.tips/documents/laporankunjungan-tpa-muara-fajar.html diakases
pada 4 Januari 20167

37

Anda mungkin juga menyukai