Makin tidak tahu belaja dari pengalaman. Puji-pujian sudah terlalu
banyak diterimanya. Tapi benih-benih yang menghidupinya,Nyai, dai siapa dia akan peroleh kalau bukan dari sahabat-sahabatnya yang jujur?. Dalam dua puluh tahun,Tuan Kommer,aku yakin dia akan lebih jauh lebih behasil daripada Tuan sendiri. Mari aku ceritai, baru-baru ini orang-orang atasan pada ibut membicarakan surat Kartini, yang untuk kesekian kalinya dibacakan di depan sidang Liga Anti Maksiat di Nederland. Tetapi di Hindia ini hanya malam saja yang ada. Jangankan zaman modern, setitik sinar pun tiada nampak. Karena ketidaktahuannya, mereka banyak melakukan kebodohan yang menertawakan. Satu baris dari suratnya, sejauh yang kudengar dai kata orang: betapa senangnya bila orang bisa tidur entah sampai berapa lama, dan bangun-bangun jaman modern telah tiba. Kartini putus asa, tak tahu apa ia harus perbuat untuk bangsanya. Maka dia merasa lelah karena terlalu banyak melihat penderitaannya saja, ia mendambakan tidur, kemudian ikut menikmati jaman modern yang cerah setelah bangun. “Tuan memang pandai bepidato,” Nyai memuji. “Segala apa akan kukerjakan, Nyai, kalau berguna. Adapun Kartini ini , dia adalah satu-satunya gadis pribumi yang angkat bicara melalui surat dan karangan.” Di samping itu mulai memperlihatkan kecenderungan untuk berpidato. Di Hindia ini tak pernah ada kritik tertulis. Semua kritik disampaikan secara begini ini. Kritik boleh ditangkis, tapi harus didengarkan dulu,direnungkan, kalau perlu tidak ditangkis dan diterima sebagai saran. Makan siang itu menghentikan pembicaraan. Selesai makan kelesuan merajalela. Semangat Kommer untuk berpidato merosot. Ia duduk mengantuk di kursinya, tapi segan pulang. Menikmati pameran pengetahuannya, dan menikmati senang duduk di dekat Mama. Dan hari semakin membikin kepala berat karena panas yang lembap.