Anda di halaman 1dari 4

Program Pelatihan Merangkai Bunga (Ikebana) di Jepang

1. Analisis Komponen Pelatihan


a) Warga Belajar : Kegiatan ini bisa diikuti oleh laki – laki maupun perempuan.
Jumlah warga belajar di Ikebana Internasional Karachi Chapter sebanyak 34
orang, terdiri dari 30 perempuan dan 4 laki – laki dari Singapura dan Vietnam.
Adapun rentang usia warga belajar kursus ini adalah usia 30 – 60 tahun.
b) Sumber Belajar : Pengajar (Anggita senior dan guru sekolah Sogetsu)
c) Media : Jenis media yang digunakan adalah media serbaneka seperti bahan –
bahan alam.
d) Sarana prasarana : Alat dan bahan yang digunakan saat pelatihan ikebana antara
lain : 1). Hasami (Gunting)/alat pemotong dahan/bunga. 2). Kabin adalah
vas/tempat untuk merangkai, biasanya disesuaikan oleh musim yang ada di Jepang
dalam pemilihan Jenis vas. 3). Utsuwa merupakan wadah kecil yang digunakan
untuk tempat Kenzan/air jika vas berupa anyaman. 4). Air bersih digunakan untuk
menjaga kesegaran tanaman/bunga. 5). Kenzan yang berupa besi berpaku yang
berguna sebagai pemberat sekaligus tempat peletakan bunga/tanaman yang akan
digunakan. 6). Tanaman/ bunga yang akan digunakan, untuk ini biasanya yang
dipergunakan adalah tanaman atau bunga yang masih segar.
e) Metode : Metode ceramah, metode diskusi, metode ekspresi bebas, dan metode
demonstrasi eksperimen
f) Waktu : Tanggal 2 September 2016
g) Tempat : Di Karachi, Pakistan
h) Kurikulum : Kelompok Belajar Ikenobo, Karachi adalah murni sebuah organisasi
pendidikan yang telah mengadakan kelas Ikebana mingguan terus menerus sejak
saat itu. Kepala Guru Kelompok Studi Ikenobo di Karachi adalah Profesor Senior
Asifa Ataka yang telah mendapatkan pelatihan Ikebana beberapa kali di Markas
Besar Ikenobo, Kyoto, Jepang dan merupakan master Ikebana paling berkualitas
di Pakistan. Materi belajar berupa instruksi tertulis dijadikan acuan oleh pengajar
untuk menyampaikan pengetahuan kepada murid-murid yang diajar. Penyampaian
materi tidaklah cukup dengan mengandalkan pengalaman pribadi pengajar secara
lisan, tetapi juga dari kurikulum yang sudah disusun sebelumnya. Pada kurikulum
IIKC menggunakan gaya gaya Moribana yang menampilkan pemandangan alam
dalam wadah lebar rendah. Hari ini Moribana adalah gaya populer yang diajarkan
oleh semua sekolah ikebana.
2. Analisis Komponen Penyelenggaraan
a) Perencanaan
Program yang seperti dikutip Morohira disebut dengan content culture itu. Dengan
disokong subsidi pemerintah Jepang, kursus Ikebana diselenggarakan setiap tahun
di Pakistan. Pada prakteknya Ikebana mengandung nilai budaya Jepang yang
kental dengan adat istiadat dan kehidupan rakyat Jepang, misalnya antara lain
Ikebana ini selalu hadir pada peristiwa-peristiwa penting seperti pernikahan,
kelahiran, maupun kematian. Pengajaran Ikebana dimaksudkan tidak hanya untuk
mendapatkan keterampilan yang dibutuhkan, yaitu kemampuan merangkai yang
bisa didapat melalui observasi, pengalaman, dan latihan, tetapi juga diiringi
dengan usaha menginternalisasikan etika. Dengan latar belakang tersebut,
tergambar bagaimana sesungguhnya seni ini diterima oleh masyarakat non-Jepang
yang relatif tidak sefamiliar orang Jepang terhadap aspek tersebut?. Oleh sebab
itu, penelitian ini berdasarkan pada pertanyaan-pertanyaan
sebagai berikut:
1. Bagaimana pengetahuan mengenai praktik merangkai bunga yang di“impor”
dari luar itu diterima oleh praktisinya di Pakistan, dan
2. Bagaimanakah proses belajar yang dialami oleh peserta murid yang sekaligus
termasuk dalam Perhimpunan Ikebana Ikenobo Pakistan?
Faktor latar belakang seperti suasana, lingkungan, latar belakang pengajar dan
murid, turut mempengaruhi berjalannya proses belajar, khususnya dalam lingkup
studio. Selain itu materi kultural yang diajarkan pun berbeda bukan hanya dari
teknik dan suasana, tetapi juga berdasarkan nilai yang disampaikan. Pada seni
mematung metal, sejak awal telah atau tahap pemula telah mengutamakan
interpretasi individu terhadap pembuatan
karya. Sedangkan Ikebana mengharuskan mengikuti aturan-aturan baku tertentu
yang juga membawa budaya suatu masyarakat. Persamaannya ada pada sikap
peserta belajar, sementara perbedaannya adalah seni mematung tidak mengandung
signifikansi budaya masyarakat yang satu yang dipelajari oleh masyarakat dari
budaya lain. Seperti yang telah dikemukakan, Ikebana memiliki aturan serta
karakter kultural yang berusaha direpresentasikan.
b) Pelaksanaan Pelatihan
1. Pemberian intsruksi awal
Kursus dimulai dengan instruksi pengantar dari Sensei Tati, berupa
penyampaian thema hari itu, serta informasi jenis tanaman yang
digunakan. Instruksi tertulis yang disampaikan di kursus Ikenobo adalah
yang disebut instruksi bertahap. Instruksi bertahap termasuk instruksi
hirarkis yang mengikuti logika. Pada kertas handout yang dibagikan
terdapat instruksi pembuatan rangkaian melalui tahap-tahap, seperti
contohnya pada pembuatan rangkaian Shoka. Materi belajar berupa
instruksi tertulis dijadikan acuan oleh pengajar untuk menyampaikan
pengetahuan kepada murid-murid yang diajar.
Di kelas Ikenobo, Sensei dipandang sebagai agen penyampaian materi
ajar, termasuk berperan dalam menyampaikan esensi nilai (value) dari
Ikebana, walaupun aspek tersebut tidak disampaikan secara eksplisit atau
tertulis.
2. Interaksi antar Guru dan Murid
Interaksi yang terjadi antar sensei dan murid merupakan bagian yang
integral dalam kursus Ikebana. Etika dalam pengajaran dan kegiatan
belajar turut mempengaruhi penyampaian budaya yang terkandung di
dalamnya, serta pelestarian materi kultural tersebut.
Interaksi yang terjadi saat itu hanya melibatkan murid-murid yang
menonton di sekitar karya murid yang dikoreksi, tetapi pada saat inilah
interaksi personal antar
Sensei dan murid mengenai karya murid kerap terjadi. Keduanya bersifat
formal sebab masih terjadi dalam lingkup penyampaian materi. Interaksi
non-formal adalah interaksi yang terjadi di luar konteks materi belajar.
Pada kursus IIKC, interaksi sosial dapat terjadi baik di dalam dan di luar
kelas.
3. Intervensi (Koreksi oleh Pengajar)
Fase lain dalam interaksi Sensei dengan murid adalah ketika dilakukannya
koreksi.
Pada paruh kedua berjalannya kegiatan belajar, yaitu ketika sebagian besar
murid
sudah selesai merangkai karyanya, para Sensei menghampiri rangkaian
setiap murid yang sudah selesai secara bergantian untuk memulai evaluasi.
Murid yang mulanya duduk di hadapan karyanya ketika mengerjakan, saat
sudah selesai dan dihampiri Sensei, beranjak dari kursinya lalu Sensei
duduk dan mulai menghadapi karya murid tersebut. Beliau seringkali diam
terlebih dahulu memperhatikan karya ketika mengevaluasi, dengan murid
sesekali menjelaskan dengan sukarela bagaimana ia mengerjakan karya
tersebut. Setelah berpikir dan membuat keputusan, barulah Sensei mulai
mengoreksi rangkaian murid.
4. Interaksi Antar Murid
Interaksi sosial antar peserta murid kursus Ikenobo Japan Foundation
terjadi dalam sesi Intervensi dan juga di luar kelas.Ketika sesi merangkai
dimulai, murid-murid dapat bebas mengobrol dengan peserta lain di
berbagai sisi mejanya (work desk). Bahkan pada paruh waktu saat
sebagian sudah selesai merangkai, mereka pindah ke meja murid lain yang
berjauhan letaknya untuk melihat proses rangkaian mereka dan mengobrol.
Dalam obrolan tersebut, mereka berbagi pengalamannya merangkai,
sekaligus di saat bersamaan, bertukar ide dan untuk beberapa peserta
menyarankan dengan tegas ide rangkaian.
c) Evaluasi
Ketika proses koreksi tersebut berlangsung, Sensei tidak memberitahu murid
secara verbal kesalahan apa yang mereka lakukan, tetapi Sensei hanya
menyesuaikan letak tanaman sesuai dengan skema yang diketahuinya. Sesekali
Sensei berkomentar seperti: “daunnya terlalu banyak”, “bentuknya tidak jelas,
mau hongatte, mau gyakutatte,”, tetapi ada juga saat ketika Sensei langsung
mencabut batang-batang yang ditancap terlalu mengumpul di tengah kenzan, lalu
beliau menyusunnya dengan lebih menyebar. Batang yang terlalu mengumpul di
tengah bukanlah sifat Moribana, sehingga dapat disimpulkan,
kesalahan murid tersebut cukup besar, tetapi Sensei tidak berkomentar apapun
tentang hal itu dan hanya memperbaikinya saja. Asumsi penulis saat itu adalah
mungkin dia mengira murid tersebut sudah menyadari apa yang salah atau akan
‘mengerti’ juga nanti.
d) Feedback
 Output : Kurikulum materi yang sudah disusun oleh sensei, bukan saja
merupakan pedoman bahkan berperan sebagai alat dalam menyampaikan
materi ajar, akan tetapi dalam penyampaian Ikebana sebagai seni tradisional
Jepang terdapat pesan yang hanya bisa disampaikan melalui interaksi dengan
guru. Oleh sebab itu, dalam kelas Ikenobo, pelaku Ikebana dapat saling
mensosialisasikan perspektifnya. Bila murid dapat bertanya kepada Sensei
atau menyarankan perspektifnya, seorang Sensei dapat menyesuaikan
pemahaman muridnya ke dalam konsep Ikebana. Sementara konsep Ikebana
itu sendiri dapat disesuaikan dengan inovasi pelaku, dan tidak
menghalanginya.
 Outcome : Bagi peserta yang hampir semuanya merupakan orang Indonesia,
budaya Jepang yang terkandung dalam Ikebana memberi nilai tambah
tersendiri bagi beberapa individu. Hal itu berupa penambahan wawasan
terhadap proses cipta; menghasilkan karya cipta yang berwawasan inter-
kultural; dan bisa juga sebagai nilai tambah untuk karya cipta Indonesia.
Semua itu muncul sebagai hasil dari sosialisasi yang mentransmisikan
pengetahuan.

Anda mungkin juga menyukai