Anda di halaman 1dari 11

ANALISA KASUS CROSS OWNERSHIP DAN PELANGGARAN

PERSAINGAN USAHA YANG DILAKUKAN


TEMASEK DALAM INDUSTRI SELULER DI INDONESIA

M. Sabeth Abilawa
Dosen Ekonomi ; Departemen Ekonomi Pembangunan
FE UNTIRTA Serang BANTEN

I. LATAR BELAKANG KASUS

Kasus kepemilikan silang Temasek terhadap dua operator seluler di Indonesia mencuat
pada tahun 2007. Kasus yang ditangani KPPU ini menyita perhatian publik secara luas dan
cukup berkepanjangan. Mungkin ini disebabkan karena reputasi temasek di duinia internasional
sebagai sebuah company besar. Debat akademis dikalangan praktisi hukum dan ekonomi pun
cukup hangat menyelimuti kasus ini. Pro-kontra, thesis dan anti thesis yang cukup sehat turut
menyuburkan khazanah teori dan tradisi kajian akademis dan yang berbobot terutama pengayaan
di bidang ekonomi kelembagaan.

Sebagaimana dipahami bahwa kepemilikan saham pada satu atau beberapa perusahaan
yang bisnisnya sejenis atau tidak lewat anak-anak perusahaan merupakan hal yang lazim dan
secara yuridis tidak terlarang dalam berbisnis, baik secara nasional maupun multinasional. Yang
dilarang adalah apabila kepemilikan saham pada suatu perusahaan, baik secara langsung maupun
lewat anak perusahaannya, menimbulkan penguasaan pasar pada satu jenis barang atau jasa
tertentu secara dominan sebagaimana diatur di Pasal 27 UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.1

Bagi ekonom, suatu perusahaan dikatakan berpangsa pasar dominan dan secara yuridis
terlarang bila memiliki pangsa pasar lebih dari 50 persen. Rasionalisasi di balik larangan itu

1
Artikel opini di harian republika edisi selasa 29 januari 2008 oleh Abdul Salam Taba, www. Republika.co.id
karena perusahaan dengan pangsa pasar lebih dari 50 persen memiliki market power mendikte
pasar dan cenderung mempraktikkan perilaku bisnis yang antikompetisi dan persaingan usaha
tidak sehat. Kecenderungan ini lazim dipraktikkan di negara-negara yang belum menjunjung
tinggi nilai-nilai kompetisi sehat.

Dalam kasus ini, KPPU telah mengeluarkan keputusannya di tahun 2007 melalui putusan
perkara bernomer 07/KPPU-L/2007 yang mengharuskan Temasek melepaskan sahamnya di
Telkomsel atau Indosat. Keputusan ini merupakan keputusan yang paling rasional dan
acceptable baik secara ekonomi dan yuridis. Keputusan itu merupakan wujud nyata sanksi
administrasi KPPU atas Temasek untuk menghentikan posisi dominannya (Pasal 25 UU No.
5/1999) yang tidak hanya dapat menciptakan persaingan usaha sehat, tetapi juga berpotensi
mendorong terjadinya penurunan tarif dan peningkatan kualitas layanan. Kebijakan ini juga
dapat mengatasi perilaku buruk operator dan mengurangi kerugian masyarakat (konsumen).

Sehubungan dengan hal tersebut, keputusan KPPU yang mengharuskan Temasek


melepaskan sahamnya di Telkomsel atau Indosat dan menghukum Telkomsel menurunkan
tarifnya sebesar 15 persen merupakan refleksi kebijakan intervensi pasar pemerintah yang secara
yuridis tidak melampaui kewenangan KPPU dan selaras dengan tujuan Pasal 2 UU Nomor
5/1999.

Keputusan itu tidak hanya berdampak menciptakan iklim usaha yang kondusif dan
persaingan usaha yang sehat antaroperator. Tetapi juga memicu penurunan tarif dan peningkatan
kualitas layanan dalam bertelekomunikasi

II. ANALISA KASUS

Dalam menganalisa kasus yang telah diputuskan oleh KPPU ini, kami memakai
pendekatan Joskow melalui Transaction Cost Economy. Kenapa pendekatan joskow yang
dipakai untuk menganalisa kasus ini? Sebagaimana kita ketahui, kasus Temasek ini terbilang
berjalan sampai cukup lama, karena adanya tuntutan atau lebih tepatnya ancaman dari Temasek
untuk melakukan gugatan balik kepada KPPU dan memperkarakan. Ini semakin menguatkan
hipotesa Joskow bahwa sebuah kebijakan anti trust tidak ditujukan untuk “memperbaiki”
ketidaksempurnaan dalam pasar2. Sebagai deterrence system, kebijakan antitrust perlu
disosialisasikan dengan baik, sehingga pasar dapat membuat batasan perilaku dan struktur pasar
yang legal dan illegal. Menurut Joskow kemampuan pengadilan untuk mengevaluasi analisa
ekonomi yang kompleks sangat terbatas. Dalam kasus temasek ini memang sangat kompleks
permasalahan yang dihadapi. Maka diperlukan tidak hanya pendekatan hukum semata tapi juga
harus mencakup analisa ekonomi industry secara lebih akurat.

Jangan sampai kebijakan yang telah dikeluarkan KPPU kontra produktif terhadap pasar
dan konsumen seluler di Indonesia. Karena seperti kita ketahui telkomsel dan Indosat adalah dua
pemimpin pasar seluler di negeri ini, yang setiap keputusan akan berdampak pada proses bisnis
di dalam internal mereka.

Baiklah kita akan mulai bagaimana rancang bangun Joskow dalam menganalisa sebuah
kasus anti trust. Ada beberapa tahapan yang dipakai Joskow dalam pendekatannya :

1. Menentukan apakah perusahaan tersangka memiliki pangsa pasar dominan.

2. Menentukan apakah ada significant barriers to entry kedalam pasar terkait.

3. Jika kondisi poin 1 (satu) dan 2(dua) terjadi maka disimpulkan ada market power
atau monopoly power.

4. Kemudian dilakukan test apakah ada perilaku eksklusif (exclusionary behavior)


yang membatasi persaingan.

5. Jika perilaku eksklusif adalah predatory pricing maka kemudian diuji apakah
perusahaan dominan tersebut dapat mengambil keuntungan di masa depan dari
menaikan harga saat kompetisi tereduksi (recoupment test).

A. Analisa pangsa pasar

Langkah pertama yang dilakukan sebagai analisa adalah menentukan posisi pasar kedua
operator seluler tersebut dalam struktur persaingan pasar seluler di Indonesia. Sesuia data yang
ada (KPPU 2007), PT Telkomsel merupakan pemimpin pasar seluler di Indonesia dengan
penguasaan pasar sampai dengan tahun 2006 sebesar 55,6% dan PT Indosat menguasai 26,18%

2
Bahan kuliah Ekonomi kelembagaan, MPKP FEUI, Yohana Gultom M.Phill
pasar seluler di Indonesia. Artinya tingkat penguasaan pasar dari dua operator tersebut saja jika
digabungkan sudah mencapai 80% lebih. Analisa tahap pertama ini tidak selesai cukup sampai
disitu, karena asumsi penggabungkan pangsa pasar ini harus berdasar pada dugaan awal bahwa
kepemilkan keduanya adalah pada pihak yang sama. Maka ditelusurilah dari data-data
kepemilikan didapatkan kenyataan bahwa PT Indosat sahamnya dikuasai oleh STT Telemedia
melalui ICL dan IC sejumlah 38% dan 0,9%. Sedangkan Telkomsel sahamnya sebanyak 35%
dikuasai oleh SingTel. Kedua perusahaan tersebut STT Telemedai dan SingTel sahamnya
dikuasai 100% oleh Temasek Holding Inc. Dalam konteks analisa tahap pertama maka terbukti
bahwa kedua operator tersebut menguasai pasar secara dominan. Temasek Holdings Pte. Ltd
(selanjutnya disebut Temasek) memiliki saham mayoritas pada dua perusahaan yang melakukan
kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, sehingga
melanggar pasal 27 huruf a UU No 5 Tahun 1999.3
Tabel Market Share Berdasarkan Jumlah Pelanggan
Operator Telepon di Indonesia

Jumlah Jumlah Pelanggan


Operator Pelanggan Persentase Pemilik saham Berdasarkan Besar
Terdaftar Saham
Telkom (Wireline & Flexy) 11.496.000 17,12% 100% telkom 11.496.000
Telkomsel 29.987.000 55,6% Pemerintah 65% 19.491.550
Singtel 35 % 10.495.450
Indosat Cell Pemerintah 15% 2.233.541,1
(Satelindo IM3) 14.655.238
26.18 % ICL /STT 41 % 6.105.012,34
Indosat FWA 235.036
(CDMA) Publik 44 % 6.551.720,56

Excelcomindo 8.233.774 12.27 % T. Malaysia 85% 6.998.707,9


Grup Rajawali 15% 1.235.066.1
Bhakti Investama 100%
Mobile – 8 1.450.000 2.16 % 1.450.000
Bakrie Telecome (CDMA) 1.073.228 1.60 % Bakrie 100% 1.073.228
Jumlah Total 67.130.806 100 %
Sumber : Putusan Perkara KPPU Nomer : : 07/KPPU-L/2007 diambil dari www.kppu.or.id

3
Pasal 10 UU No 36 Tahun 1999 :(1) Dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan
yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di antara
penyelenggara telekomunikasi. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan
perundang- undangan yang berlaku. Penjelasan atas pasal ini adalah: Pasal ini dimaksudkan agar terjadi
kompetisi yang sehat antarpenyelenggana telekomunikasi dalam melakukan kegiatannya. Peraturan
perundang-undangan yang berlaku dimaksud adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat serta peraturan pelaksanaannya.
Maka struktur pasar mayoritas dikuasai dua kelompok yang notabene sahamnya dipegang
oleh satu pihak dalam hal ini pihak yang diduga melakukan monopoli, Temasek. Dengan pangsa
pasar sebesar itu, dapat dipastikan Temasek memiliki market power dan market dominance
untuk mengendalikan pasar. Hasil studi Bank Dunia (InfoDev, 2000) menyimpulkan operator
dengan karakteristik seperti itu berkemampuan mengendalikan pasar (para operator), khususnya
dalam penentuan tarif secara eksesif.

Berikut adalah gambaran struktur kepemilikan saham di PT.Telkomsel dan PT indosat :

TEMASEK

100% 100%
Singapore Singtel PT.TELKOM, Tbk
Technology Pirvate
Ltd

100% 35% 65%


Singapore PT TELKOMSEL
Technologies
Telemedia (STT)

41,94%
PT INDOSAT,Tbk

100 %
SATELINDO

Sumber : diolah dari kppu.or.id


B. Analisa Hambatan Masuk Pasar

Tahap kedua analisa adalah menguji apakah terjadi barriers entry dalam industry seluler
di Indonesia. Dugaan awal adalah PT. Telekomunikasi Selular (selanjutnya disebut Telkomsel)
mempertahankan tarif seluler yang tinggi, sehingga melanggar pasal 17 ayat(1) UU No 5 Tahun
1999. Telkomsel menyalahgunakan posisi dominannya untuk membatasi pasar dan
pengembangan teknologi sehingga melanggar pasal 25 ayat (1) huruf b UU No 5 Tahun 1999.
Analisa dilakukan dengan menggunakan model-model grafis pasar oligopoly dengan penerapan
teori cournot dll.
Untuk menggambarkan kasus ini kita akan menggunakan salah satu model ekonomi
dalam teori oligopoly. Model Oligopoli Stackelberg menggambarkan perilaku pelaku usaha
menentukan nilai output yang diproduksi tidak dalam waktu yang bersamaan namun berurutan.
Dengan model ini, dapat digambarkan bahwa terdapat leader dan terdapat follower; Pada model
Cournot, perusahaan bereaksi secara pesimis atas perubahan output pesaingnya. Dengan kata
lain, ketika pesaing menurunkan output, perusahaan akan menaikkan outputnya, namun lebih
kecil dibandingkan penurunan output pesaingnya. Begitu pula sebaliknya. Pada akhirnya, akan
tercipta Cournot equilibrium (titik A), yang besarnya lebih kecil dibandingkan keseimbangan
kompetitif (titik B) dan lebih besar dibandingkan keseimbangan kolusif (titik C);
Gambar.1
Model Keseimbangan Cournot

Kurva reaksi perusahaan 1

Kurva reaksi perusahaan 2

Bila perusahaan-perusahaan oligopoli bekerjasama, misalnya dengan melakukan kartel,


kesejahteraan konsumen akan menjadi rendah. Hal ini dapat juga mengikuti logika Game Theory
atau The Prisonners’ Dillema. Bila perusahaan tidak kooperatif satu sama lain, maka keduanya
akan beresiko kehilangan konsumen secara signifikan bila kebijakan harga dan kuantitasnya
salah, sehingga jalan terbaik adalah berkompetisi. Namun, ketika perusahaan
bekerjasama/melakukan perjanjian dengan pesaingnya, maka perusahaan akan dapat menaikkan
harga secara bersamaan dan menaikkan keuntungannya masing-masing dari total revenue yang
meningkat. Dengan begini, maka collusive oligopoly akan menjadikan harga keseimbangan lebih
tinggi dengan kuantitas produk yang lebih rendah dibandingkan non-cooperative oligopoly.
Karena itu collusive oligopoly akan berdampak besar pada menurunnya kesejahteraan konsumen.
Dari data yang ada didapti kenyataan bahwa Telkomsel selalu unggul dalam penguasaan
investasi BTS. Inilah factor yang bisa diduga sebagai perilaku barriers entry dalam pasar seluler
Indonesia.
Telkomsel selalu konsisten menjaga investasinya dalam pengembangan BTS-BTS baru
sejak masa cross ownership terjadi. Kenaikan cukup signifikan dalam penguasaan pangsa pasar
dialami oleh Telkomsel, sebaliknya bagi Indosat agak mengalami penurunan. Hal ini
menunjukan bahwa agresivitas follower sulit mengejar first mover secara langsung. Dibutuhkan
waktu yang cukup lama untuk dapat menciptakan kondisi head to head competition antara first
mover dan follower yang menjadi penentu kompetisi yang sehat.

Perlunya investasi yang cukup besar serta waktu yang lama untuk dapat menyaingi first
mover, menjadi entry barier yang cukup signifikan dalam industri seluler. Strategi pemerintah
untuk menciptakan persaingan dengan meminimalisir entry barier dengan memberikan
kemudahan izin bagi new entrant tidak akan terlalu berarti. Karena new entrant tidak dapat
mengejar first mover dalam waktu terlalu lama. Banyaknya kompetitor dalam industri tersebut
justru tidak dapat diartikan adanya kompetisi. Karena faktor waktu menjadi sangat krusial.
Adanya jangka waktu lama upaya new entrant tersebut akan membuat first mover memiliki
posisi dominan dengan market power yang mudah digunakan untuk mengakumulasi monopolis
profit.

C. Analisa Monopoly Power dan Eksclusionary Behaviour


Sehingga dari langkah 1(satu) dan 2 (dua) diatas bisa diambil kesimpulan sebagai
langkah ketiga yaitu telah terjadi monopoly power dalam pasar seluler di Indonesia. Namun
pertanyaan selanjutnya adalah apakah terjadi perilaku eksklusif dan kecenderungan merugikan
konsumen.
Langkah keempat dalam metodologi Joskow membuktikan bahwa dalam kasus ini
Telkomsel berusaha mempertahankan tarif seluler yang tinggi teruatama dalam biaya
interkoneksi dan sms. Sehingga dengan penguasaan jaringan dan pangsa pasar yang dimilikinya
mereka bisa semaunya mengatur tarif seluler di Indonesia yang membuat para followers mau
tidak mau berusaha mengikuti tarif tersebut. Hasil akhir adalah kesejahteraan konsumen yang
dirugikan.
Tarif yang masih tinggi ini jika kita merujuk pada data besaran tarif seluler dalam kurun
waktu lima tahun terakhir, tidak banyak penurunan yang dinikmati oleh konsumen
telekomunikasi. Kisaran tarif biaya sambungan antaroperator seluler masih berada di Rp 1.400-
1.600 per menitnya. Hal ini sungguh sulit untuk dapat diterima akal sehat. Seharusnya, dengan
ketatnya persaingan usaha, para operator seluler dapat menurunkan biaya tarif selama tidak
melanggar aturan interkoneksi. Apalagi daya tarik terbesar yang dimiliki operator seluler dalam
pasar telekomunikasi Indonesia adalah rendahnya tarif yang ditawarkan.Sulit untuk diterima
bahwa Temasek, sebagai induk perusahaan para pemegang saham kedua operator dominan
tersebut, tidak memanfaatkan penguasaan pasar Indosat dan Telkomsel untuk mengeruk untung
yang sebesar-besarnya.

Ditambah lagi, dengan adanya kondisi permintaan pasar yang tidak elastis atas layanan
telekomunikasi. Mau tidak mau, konsumen akan selalu membayar biaya yang dibebankan
operator, tidak ada sarana telekomunikasi (modern) alternatif yang secara ekonomis dapat
dimanfaatkan dan diakses oleh masyarakat secara meluas di Indonesia pada saat ini.

Bukan tidak mungkin kartel tarif yang diatur oleh jaringan pemegang saham Indosat dan
Telkomsel ini akan membentuk suatu jenis monopoli baru. Sebuah monopoli yang bersumber
bukan dari penguasaan pasar oleh satu pelaku usaha, namun dari penguasaan saham pada para
pelaku usaha dominan dalam satu industri.
D. Recoupment Test

Dalam uji ini terlihat bahwa tingkat pengembalian modal atau return on equity (ROE)
Telkomsel yang 35 persen sahamnya dimiliki Singtel mencapai 55 persen. Ini membuat operator
seluler dengan jaringan terluas di Indonesia ini meraup laba bersih Rp 11,182 triliun.

Selain itu, kalkulasi KPPU atas kerugian yang diderita konsumen akibat penerapan tarif
mahal oleh Telkomsel, Indosat, dan Excelcomindo selama periode 2003-2007 mencapai Rp 14,7
triliun hingga Rp 30,8 triliun. Keputusan KPPU yang turut menghukum Singapore Technologies
Telemedia (STT), STT Communications, AMH Company, Indonesia Communication, Singapore
Telecommunication, dan Singapore Telecom Mobile dengan alasan perusahaan-perusahaan itu
berstruktur kepemilikan silang juga tampaknya cukup beralasan.

Secara praktik bisnis, perusahaan-perusahaan itu berafiliasi dengan Temasek, baik


langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, secara yuridis mereka dapat dihukum secara
tanggung renteng. Demikian pula keberatan yang menyatakan tidak mungkin Temasek (yang
hanya menguasai 35 persen saham Telkomsel, sedang 65 persen sisanya dimiliki Telkom)
mengendalikan Telkomsel, secara praktis juga dipertanyakan. Secara operasional kelaziman
bisnis menunjukkan pengendalian suatu perusahaan tidak bergantung pada besar kecilnya saham
yang dimiliki, tetapi ditentukan kemahiran pemilik saham (Temasek) ‘menggiring’ pemilik
saham (operator) lainnya atas nama kepentingan bersama, seperti penguasan pangsa pasar dan
peningkatan laba.

Hak Temasek mengangkat direksi dan komisaris di Telkomsel maupun di Indosat di


posisi strategis, secara praktis ekonomi merupakan indikasi konkret kemampuan Temasek
(melalui Singtel dan STT) mendikte Telkomsel dan Indosat yang secara operasional
mendominasi pangsa pasar seluler nasional. Bukti dominasi ini terlihat dari pangsa pasar ponsel
Telkomsel dan Indosat yang menguasai 83,7 persen, sedang Excelcomindo hanya 13,5 persen.
Sisanya diperebutkan oleh Mobile-8, Sampoerna, HCPT, dan Natrindo.sa dibaca dalam amar
putusan KPPU

Memang jika merujuk pendapat Prof.Hikmahanto Juwana, sebagai saksi ahli yang
diahdirkan dalam kasus ini menyatakan bahwa asal 27 huruf adari UU Anti Monopoli harus
dibaca berdasarkan Rule of ReasonPasal 27 huruf a dari UU Anti Monopoli merupakan Bagian
Posisi Dominan dan dalam hal ini; Pasal 27 huruf a dari UU AntiMonopoli tersebut harus dibaca
secara bersama-sama dengan penyalahgunaan spesifik dari Posisi Dominan yang dilarang oleh
Pasal 25 dari UU Anti Monopoli. Pembacaan secara luas dari Pasal27 huruf a dari UU Anti
Monopoli, bahwa keberadaan suatu posisi dominan semata-mata adalah melawan hukum akan
membuat kerancuan pada Pasal 25 dari UU Anti Monopoli karena Pasal 25dari UU Anti
Monopoli hanya diterapkan jika Posisi Dominan disalahgunakan.

III. KESIMPULAN

Berdasarkan analisa di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepemilikan secara tidak
langsung Temasek terhadap Telkomsel dan Indosat selaku pelaku usaha dalam bidang
telekomunikasi di Indonesia mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau usaha
persaingan tidak sehat di industri telekomunikasi. Sehingga, sudah tepat KPPU melakukan kajian
atas tindakan Temasek tersebut khususnya hubungan STT dengan Temasek yang menguasai
35% saham di PT Telkomsel.

Salah satu kewenangan KPPU sebagaimana diatur dalam Pasal 36 butir b dan l Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat (UU No. 5/1999): ”KPPU berwenang melakukan penelitian tentang dugaan adanya
kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat dan menjatuhkan sanksi berupa tindakan
administratif kepada pelaku usaha yang melanggar undang-undang’.

Opsi tindak lanjut KPPU sesuai Pasal 47 ayat 2 huruf e UU No. 5/1999 adalah penetapan
pembatalan atas pengambilalihan saham Indosat oleh Temasek. Selain itu, pelanggaran atas
Pasal 28 juga diancam dengan pidana denda dan pidana tambahan sebagaimana dalam Pasal 48
ayat 1 jo Pasal 49 UU No. 5/1999 pidana denda minimal Rp. 25 milyar dan maksimal Rp. 100
milyar atau pidana kurungan pengganti denda maksimal 6 bulan dan pidana tambahan berupa
pencabutan izin usaha atau larangan untuk menjadi direktur atau komisaris minimal 2 tahun dan
maksimal 5 tahun atau penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan
timbulnya kerugian pada pihak lain.

Oleh karena itu, pengambilalihan saham yang dilakukan Temasek melalui STT atas
saham Indosat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat melanggar UU No. 5/1999
sehingga harus dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam undang-undang itu. UU No. 5/1999
memang dirancang untuk mengoreksi tindakan dari pelaku ekonomi yang memiliki posisi yang
dominan karena mereka dapat menggunakan kekuatannya untuk berbagai macam kepentingan
yang menguntungkan pelaku usaha tersebut. Selain itu maksud dari diadakannya privatisasi
adalah untuk mendorong persaingan yang sehat bukannya untuk memonopoli usaha dibidang
telekomunikasi di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai