Anda di halaman 1dari 4

Arjadi, F., Kurniawan, D. W., Nugraha, T., Febrin, F. R., Salman, E., & Wyangsari, N. P. (2017).

Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Akar Purwoceng (Pimpinella Pruatjan Molk.) Secara Akut
Terhadap Fungsi Hepar Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Jantan: Uji Toksisitas Akut. Prosiding, 7(1).

Abd-Elhady, H. K.; &Abou-Elghar, G. E. 2013. “Abamectin Induced Biochemical and Histopatological


Changes in the Albino Rat, Rattusnorvegicus.Journal of Plant Protection Research. 53(3):263-270
Arifin, H., Alwi, T. I., Aisyahharma, O., & Juwita, D. A. (2018). Kajian Efek Analgetik dan Toksisitas
Subakut Dari Ekstrak Etanol Daun Kitolod (Isotoma longiflora L.) Pada Mencit Putih Jantan. Jurnal
Sains Farmasi & Klinis, 5(2), 112-118.

Loomis, T.A. 1996. Toksikologi Dasar. Edisi Keempat. Philadhelpia: Lea and. Febiger. P 210-212.

Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang
secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat (BPOM, 2019). Bangsa Indonesia sudah lama mengenal
dan menggunakan tanaman berkhasiat sebagai salah satu upaya dalam menanggulangi
masalah kesehatan. Pengetahuan obat tradisional ini berdasarkan pada pengalaman dan turun
temurun yang telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sehingga obat
tradisional merupakan warisan budaya bangsa yang perlu terus dilestarikan dan
dikembangkan untuk menunjang pembangunan kesehatan sekaligus untuk meningkatkan
perekonomian rakyat (Notoatmodjo, 2007). Selain itu WHO (Badan Kesehatan Dunia) juga
merekomendasikan penggunaan obat tradisional termasuk obat herbal untuk digunakan
sebagai pemeliharaan kesehatan di masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit,
terutama untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker (Sukandar, 2006).

Kadar rata-rata SGPT tikus jantan pada kelompok uji dosis I (76,60 ± 13,43 U/L), dosis
II (55,40 ± 6,19 U/L) dan dosis III (56,60 ± 7,44 U/L) lebih rendah dibandingkan kelompok
kontrol negatif (83,20 ± 6,72 U/L). Sedangkan kadar rata-rata SGOT pada kelompok uji dosis
I (156,20 ± 18,21 U/L), dosis II (146,20 ± 22,61 U/L) dan dosis III (149,20 ± 19,94 U/L)
lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol negatif (178,20 ± 32,97 U/L).

Kadar rata-rata SGPT tikus betina pada kelompok uji dosis III (89,00 ± 25,77 U/L) lebih
tinggi dibandingkan kelompok kontrol negatif (82,80 ± 11,94 U/L), sedangkan pada
kelompok uji dosis I (63,40 ± 14,52 U/L)dan dosis II (63,00 ± 12,88 U/L) memiliki kadar yang
lebih rendah dari kelompok kontrol negatif. Nilai rujukan kadar SGPT tikus betina adalah 25-
50 U/L (Hall, 2016), berdasarkan hal tersebut kadar rata-rata SGPT pada seluruh kelompok
uji lebih tinggi daripada nilai rujukan. Kadar rata-rata SGOT pada kelompok uji dosis I
(195,20 ± 36,67 U/L), dosis II (164,20 ± 37,01 U/L), dan dosis III (169,40 ± 27,89 U/L) lebih
rendah dibandingkan kelompok kontrol negatif (224,60 ± 26,41 U/L). Nilai rujukan kadar
SGOT tikus betina adalah 80-250 U/L (Hall, 2016), berdasarkan hal tersebut kadar rata-rata
SGOT seluruh kelompok uji memenuhi rentang nilai rujukan.
Kadar rata-rata SGPT kelompok uji dosis I, dosis II, dan dosis III mengalami penurunan bila
dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Kadar SGOT tikus jantan dan tikus betina
masih dalam batas normal karena memenuhi rentang nilai rujukan. Selain itu kelompok uji
dosis I, dosis II, dan dosis III mengalami penurunan bila dibandingkan dengan kelompok
kontrol negatif.
Jantan : bun kontrol 33 dosis I 33, dosis II 23 dosis III 37 = menurun
Kreatinin kontrol 0,29 dosis I 0,26 dosis II 0,35 dosis III 0,26 = meningkat
Betina : bun kontrol 33 dosis I 35 dosis II 40 dosis III 36
Kreatinin kontrol 0,3 dosis I 0,3 dosis II 0,31 dosis III 0,23 = menurun
Jika kadar BUN meningkat sedangkan kadar kreatinin tetap normal, kemungkinan
terjadi uremia non-renal (prarenal). Uremia prarenal terjadi karena gagalnya mekanisme yang
bekerja sebelum filtrasi oleh glomerulus. Mekanisme tersebut antara lain penurunan aliran
darah ke ginjal akibat syok, kehilangan darah, dehidrasi serta peningkatan katabolisme
protein pada cedera fisik berat, luka bakar dan demam (Defriana et al., 2015).

menunjukan bahwa kadar rata-rata leukosit tikus jantan pada kelompok uji kontrol
negatif (14,40 ± 3,02 103/mm3) mempunyai kadar yang lebih tinggi dibanding dengan
kelompok uji dosis I (14,18 ± 6,72 103/mm3), dosis II (9,70 ± 1,09 103/mm3), dan dosis III
(12,78 ± 4,99 103/mm3). Kadar leukosit yang lebih tinggi tidak berbanding lurus dengan
peningkatan dosis uji yang diberikan ke setiap kelompok uji. Pada uji statistik one way anova
diperoleh hasil sig > α sehingga dapat disimpulkan tidak ada perbedaan bermakna antar
kelompok perlakuan. Nilai rujukan kadar leukosit tikus jantan adalah 3,0-14,5 10 3/mm3 (Hall,
2016), berdasarkan hal tersebut kadar rata-rata leukosit seluruh kelompok uji memenuhi
rentang nilai rujukan. Sedangkan pada tikus betina menunjukan bahwa kelompok uji dosis III
(15,54 ± 4,19 103/mm3) mempunyai kadar leukosit rata-rata lebih tinggi dibanding dengan
kelompok uji kontrol negatif (12,90 ± 5,89 103/mm3), dosis I (12,04 ± 2,73 10 3/mm3), dan
dosis II (11,62 ± 3,68 103/mm3). Kadar leukosit yang lebih tinggi tidak berbanding lurus
dengan peningkatan dosis uji yang diberikan ke setiap kelompok uji. Pada uji statistik one
way anova diperoleh hasil sig > α sehingga dapat disimpulkan tidak ada perbedaan bermakna
antar kelompok perlakuan. Nilai rujukan kadar leukosit tikus betina adalah 2,0-11,5 10 3/mm3
(Hall, 2016), berdasarkan hal tersebut kadar rata-rata leukosit seluruh kelompok uji lebih
tinggi daripada nilai rujukan. Tingginya kadar rata-rata leukosit pada tikus betina dapat
terjadi karena pengaruh makanan, stres, perdarahan atau trauma (Kemenkes, 2011).
kadar rata-rata eritrosit tikus jantan menunjukan bahwa kelompok uji dosis II (8,14 ±
0,49 103/mm3) mempunyai kadar eritrosit rata-rata lebih tinggi dibanding dengan kelompok
uji kontrol negatif (7,20 ± 1,15 103/mm3). Nilai rujukan kadar eritrosit tikus jantan adalah 6,7-
9,0 103/mm3 (Hall, 2016), berdasarkan hal tersebut kadar rata-rata eritrosit seluruh kelompok
uji memenuhi rentang nilai rujukan. Hal yang sama juga terjadi pada tikus betina, kelompok
uji dosis II (7,82 ± 0,75 10 3/mm3) mempunyai kadar eritrosit rata-rata lebih tinggi dibanding
dengan kelompok uji kontrol negatif (7,76 ± 0,61 103/mm3). Nilai rujukan kadar eritrosit tikus
betina adalah 5,7-9,0 103/mm3 (Hall, 2016), berdasarkan hal tersebut kadar rata-rata eritrosit
seluruh kelompok uji memenuhi rentang nilai rujukan. Pada uji statistik one way anova
diperoleh hasil sig > α sehingga dapat disimpulkan tidak ada perbedaan bermakna antar
kelompok perlakuan baik pada tikus jantan dan tikus betina.

Hal ini berkaitan dengan pemeriksaan darah kimia klinis yaitu kadar SGPT dan
bilirubin pada tikus jantan yang memiliki perbedaan bermakna antara kelompok uji kontrol
negatif dengan kelompok uji dosis II dan dosis III

Parameter Satuan Jantan Betina


SGPT (U/L) 25-55 25-50
SGOT (U/L) 60-300 80-250
BUN (mg/dL) 10-16 10-19
Kreatinin (mg/dL) 0,5-0,8 0,5-0,8
Bilirubin (mg/dL) 0,0-0,2 0,0-0,2
Leukosit (103/mm3) 3,0-14,5 2,0-11,5
Basofil (%) 0,5-1 0,5-1
Eosinofil (%) 0-2,5 0-2,5
Neutrofil (%) 9-34 9-34
Limfosit (%) 65-84,5 65-84,5
Monosit (%) 0-5 0-5
Hemoglobi (g/dL) 13-17 11-17
n
Trombosit (103/mm3) 700-1500 700-1500
Hematokrit (%) 45-54 43-51
Eritrosit (103/mm3) 6,7-9,0 5,7-9,0
MCV (fL) 55-65 55-65
MCH (pg) 16-22 17-22
MCHC (g/dL) 28-34 28-34

Anda mungkin juga menyukai