Oleh:
1. ABDULLAH HUMAIDY, S.Ag.
2. ANWARI
3. FATKHUL HADI
4. HIDAYAT
5. KHOTIB
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Pada saat ini, kita telah memasuki abad global. Secara sederhana,
globalisasi mempunyai makna sesuatu yang mendunia. Mendunia
dalam arti mempunyai dampak atau pengaruh yang tidak mengenal
batas negara (borderless).1 Hal ini menuntut adanya kesadaran global
tentang peningkatan SDM melalui pendidikan dan kehendak untuk
menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan (human
centered development) tampak semakin jelas.2
Lembaga pendidikan tinggi di masa yang akan datang
mempunyai peranan yang semakin penting. Karena itu, pembinaan dan
pengembangan perguruan tinggi sangat perlu mendapatkan perhatian
dan prioritas utama dalam upaya pelaksanaan Tri Dharma Perguruan
Tinggi. Pada masyarakat global saat ini, perguruan tinggi seyogyanya
semakin otonom dalam arti mempunyai program-program pendidikan
yang fleksibel dan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta dapat mengembangkan sekaligus melestarikan nilai-
nilai pendidikan yang dikembangkan bagi kepentingan bangsa dan
negara.
Pengembangan pendidikan dan pengajaran di perguruan tinggi
berpedoman pada ”Tri Dharma Perguruan Tinggi”, yaitu Pendidikan
dan Pengajaran, Penelitian, dan Pengabdian pada Masyarakat. Untuk
itu perguruan tinggi perlu mengembangkan kebebasan akademik,
1
John Naisbit dan Patricia Aburdene, Megatrend 2000; Alvin Toffler Gelombang Ketiga.
2
Malik Fadjar, dkk. Platform Reformasi Pendidikan dan Pengembangan SDM. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 2001, hal. 10.
kebebasan mimbar akademik, dan otonomi ilmu pengetahuan (UU
No.2 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Proses menuju
otonomi perguruan tinggi antara lain berkaitan dengan pengembangan
budaya profesionalisme dengan ciri-ciri memiliki keahlian (expertise),
tanggung jawab (responsibility), dan kesejawatan (corporateness).
Budaya profesionalisme ini akan mempunyai dampak pada lulusan
perguruan tinggi, yaitu menghasilkan sarjana-sarjana profesional dan
diharapkan dapat menjadi agen perubahan dalam kehidupan masyarakat
secara luas. Otonomi Perguruan Tinggi menyangkut pula kewenangan
kelembagaan untuk menentukan tujuan-tujuan dan program-program
sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta kewenangan kelembagaan
untuk menggunakan cara-cara mencapai tujuan tersebut.
Sedangkan Otonomi Perguruan Tinggi yang paling hakiki adalah
kebebasan akademik berupa kebebasan dosen dan ilmuwan yang secara
personal mencari dan mencapai kebenaran lewat pengajaran dan
penelitian tanpa takut hukuman ataupun tindakan administratif.
Berbicara tentang Otonomi Pendidikan Tinggi dalam arti Otonomi
Kampus.
Kampus, terutama sebagai institusi pendidikan tinggi yang berstatus
negeri dalam batas tertentu, menjadi bagian dari birokrasi harus
menunjukkan ketundukannya kepada pemerintah. Namun kampus,
tanpa memandang statusnya, merupakan wilayah kekuasaan tersendiri
yang memiliki karakteristik tertentu sebagai masyarakat ilmiah. Karena
itulah kampus memiliki otonomi yang sangat tinggi, terlebih-lebih
dikuatkan dengan gerakan demokratisasi pendidikan. Kemandirian
adalah suatu kondisi ketika suatu individu atau lembaga mampu
meminimalkan ketergantungannya pada individu atau lembaga lain.
Kemandirian disebut pula dengan kesejajaran atau bahkan keunggulan
jika dibandingkan dengan pihak lain.3
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini untuk mendeskripsikan dan
menganalisis tentang bagaimana:
BAB II
3
Mukhtar, Merambah Manajemen Baru Pendidikan Tinggi Islam. Jakarta: Misaka
Galiza, 2003, hal.105
PEMBAHASAN
5
Mukhtar, Merambah Manajemen Baru Pendidikan Tinggi Islam. (Jakarta: Misaka Galiza,
2003), hal.109
6
Daulat P.Tampubolon, Perguruan Tinggi Bermutu. Penerbit Blantika, Jakarta: 2001,
hal. 123.
perguruan tinggi mempunyai kode etik?” Akuntabilitas suatu perguruan
tinggi merupakan hal yang sangat penting untuk menjaga mutu
lulusannya dengan masyarakat pemakainya. Adanya “keunggulan”
tertentu lulusannya, merupakan hal memberikan nilai tambah bagi
lulusannya dan citra perguruan tinggi yang bersangkutan. Apalagi dalam
pengembangan kurikulum sepenuhnya diserahkan kepada perguruan
tinggi yang bersangkutan sehingga masa yang akan datang, kompetisi
antara perguruan tinggi akan semakin ketat.
Dalam rangka menjamin akuntabilitas pengelolaan PTAI
(UIN/IAIN/STAIN/PTAIS), Kemenag melalui Keputusan Menteri
Agama RI Nomor 156 Tahun 2004 tanggal 18 Maret 2004, melakukan
pengawasan, pengendalian dan pembinaan (WASDALBIN) terhadap
Perguruan Tinggi Agama Islam yang meliputi: (1) Rencana Induk
Pengembangan (RIP); (2) Rencana Strategis; (3) kurikulum; (4) tenaga
kependidikan; (5) calon mahasiswa; (6) sarana dan prasarana; (7)
penyelenggaraan pendidikan yang meliputi kuliah, praktikum, kegiatan
terencana, pembimbingan, dan penilaian hasil belajar; (8)
penyelenggaraan penelitian; (9) penyelenggaraan pengabdian kepada
masyarakat; (10) kerjasama, meliputi tukar-menukar sumber daya,
kemahasiswaan, penelitian, penggembangan, dan penyelenggaraan
program akademik; (11) administrasi dan pendanaan program, meliputi
ketertiban administrasi, dan pendanaan; dan (12) pelaporan kegiatan
proses penyelenggaraan program studi.7
7
Keputusan Menteri Agama RI Nomor 156 Tahun 2004 tanggal 18 Maret 2004
1. Otonomi perguruan tinggi yang meliputi otonomi akademik dan
otonomi non akademik bagi perguruan tinggi. Otonomi akademik
merupakan prasyarat untuk melaksanakan tri dharma perguruan tinggi
(pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat) dalam
rangka membangun sumber daya manusia yang unggul, bermutu dan
mampu memberikan kontribusi bagi kesejahteraan umat manusia dan
peradaban dunia. Otonomi nonakademik merupakan prasyarat untuk
mewujudkan pengelolaan perguruan tinggi yang baik (good university
governance).
2. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 menjamin otonomi perguruan
tinggi juga mengatur dengan tegas tanggung jawab negara atas
penyelenggaraan pendidikan tinggi dan pendanaan pendidikan tinggi
untuk mencegah komersialisasi pendidikan, memperluas akses
mengikuti pendidikan tinggi bagi masyarakat dan pemerataan
kesempatan mengikuti pendidikan tinggi.
3. Untuk menjamin otonomi non akademik dalam rangka meningkatkan
mutu diperlukan kewenangan pengambilan keputusan secara mandiri,
pengelolaan sumber daya manusia, pengelolaan aset secara efektif dan
efisien, dan keleluasan dalam pengelolaan keuangan yang akuntabel.
Kewenangan tersebut di atas dalam sistem penyelenggaraan dan
keuangan negara hanya dapat dilakukan oleh PTN badan hukum.
Dalam PTN badan hukum masyarakat sebagai pemangku kepentingan
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pengambilan keputusan
pengelolaan perguruan tinggi.8
8
Pernyataan bersama tujuh Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri (PTN), yang terdiri dari
Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi
Bandung, Universitas Sumatera Utara, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas
Airlangga, http://www.itb.ac.id/news/3875.xhtml, 2 April 2013, diakses pada 21 Juli 2021
Secara khusus, dalam Undang-undang Pendidikan Tinggi Nomor 12
Tahun 2012, pada Pasal 62 tentang Pengelolaan Perguruan Tinggi
dinyatakan bahwa: 9
1. Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri
lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tri dharma, yaitu
pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada
masyarakat.
2. Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi dilaksanakan sesuai
dengan dasar dan tujuan serta kemampuan Perguruan Tinggi.
3. Dasar dan tujuan serta kemampuan Perguruan Tinggi untuk
melaksanakan otonomi dievaluasi secara mandiri oleh Perguruan
Tinggi.
Pada Pasal 63, Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi
dilaksanakan berdasarkan prinsip:1. akuntabilitas; 2. transparansi; 3.
nirlaba; 4. penjaminan mutu; dan 5. efektivitas dan efisiensi.
Pada Pasal 64, Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi meliputi
bidang akademik dan bidang non akademik. Otonomi pengelolaan di
bidang akademik meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional
serta pelaksanaan Tridharma. Otonomi pengelolaan di bidang non
akademik meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta
pelaksanaan: 1. organisasi; 2. keuangan; 3. kemahasiswaan; 4.
ketenagaan; dan 5. sarana prasarana.
Pada Pasal 65, Penyelenggaraan otonomi Perguruan Tinggi dapat
diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri
kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk
menghasilkan Pendidikan Tinggi bermutu.
9
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Dalam hal ini, kemandirian Perguruan Tinggi Islam mutlak
diperlukan, yakni berupa suatu kebijakan yang menempatkan aspek
pengambilan keputusan pada mereka yang terlibat langsung dalam
proses pendidikan, yaitu civitas akademika (dalam hal ini, dosen,
karyawan, dan mahasiswa) serta masyarakat selaku stakeholders
pendidikan secara luas. Kemandirian dimaksud bukan saja terkait dengan
masalah pengelolaan secara manajerial, tetapi juga kemandirian dalam
implementasi kurikulum dan proses pembelajaran yang dilaksanakan,
yaitu penentuan dan pemilihan kurikulum yang sesuai dengan dunia
kerja atau tuntutan pasar.
Jika hal ini terwujud, maka fungsi Perguruan Tinggi Islam bukan
saja untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang berilmu
amaliah, tetapi juga beramal ilmiah. Artinya, mampu menghasilkan
output pendidikan yang menguasai ilmu keagamaan dan ilmu
pengetahuan serta teknologi.
Perguruan Tinggi Islam yang mandiri tidak saja diartikan dengan
mendirikan suatu lembaga di dalam perguruan tinggi Islam tersebut yang
memiliki wewenang tertentu, seperti anggaran dan kurikulum, tetapi juga
kemandirian yang dimaksud adalah: 1. Perguruan Tinggi Islam harus
memiliki visi dan misi 2. Perguruan Tinggi Islam harus mempunyai
program yang didasarkan pada data 3. Perguruan Tinggi Islam
merupakan suatu sistem organik 4. Perguruan Tinggi Islam harus
memiliki kepemimpinan mandiri 5. Perguruan Tinggi Islam harus
mempunyai program pemberdayaan bagi seluruh civitas akademika dan
masyarakat luas 6. Perguruan Tinggi Islam merupakan kegiatan
pelayanan jasa dengan tujuan utama memberikan kepuasan maksimal
bagi pengguna (stakeholders) jasa pendidikan 7. Perguruan Tinggi Islam
harus mengembangkan kepercayaan sebagai landasan internal maupun
eksternal seluruh civitas akademika.10
15
Sutiah, Analisis Human Resource Development, Community Development, dan
Networking dalam Mempengaruhi Competitive Advantage Perguruan Tinggi Keagamaan
Islam ..., hal. 24.
16
Sutiah, Analisis Human Resource Development, Hal. 5
17
Hasbullah. Kebijakan Pendidikan dalam Perspektif Teori, Aplikasi, dan Kondisi Objektif
Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. 2016, hal. 240
4) Perhatian lebih besar diberikan pada penyebaran kekuasaan untuk
membuat keputusan politis dan teknis
5) Perhatian lebih besar diberikan pada pengembangan kebijakan
dan prioritas pendidikan yang terarah
6) Mengurangi politisasi pengetahuan
7) Harus berusaha lebih besar untuk mengetahui opini publik
terhadap perkembangan masa depan dan arah pendidikan
8) Administrator pendidikan harus lebih aktif mendorong perubahan
dalam perencanaan pendidikan
9) Ketika pemerintah tidak menguasai lagi semua aspek pendidikan
maka harus lebih diupayakan kerjasama yang saling
menguntungkan antara pemerintah swasta perguruan tinggi yang
memegang otoritas pendidikan
BAB III
KESIMPULAN
18
Hasbullah, hal 241
Dari berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan:
DAFTAR PUSTAKA