2022
IMPLEMENTASI INTELEKTUALITAS DALAM SPIRIT IQRO’
Oleh Nashrul Mu’minin_2100031125
Manusia terdiri dari dimensi fisik, emosi, intelektual, sosial dan spiritual
dimana setiap dimensi harus dipenuhi kebutuhannya. Berdasarkan hakikat tersebut,
maka perkembangan memandang manusia sebagai mahluk yang holistik yang terdiri
atas Aspek Fisiologis, Psikologis, Sosiologis, Kultural dan Spiritual Perubahan
diri bersifat menyeluruh yang di dalamnya mengadung aspek intelektual, mental dan
spiritual.
Dalam Zikir, doa dan tafakur, saya merasa kecil bahkan tak terlihat diantara
pengetahuan yang ada maka yang saya dapatkan bahwa inteletual saya bukanlah
sesuatu yang harus diiringi dengan emosi. Mental; Emosional adalah penghancur
dari kemampuan dalam hidup, setelah saya berzikir bahwa sekalipun kita memiliki
Perasaan marah, takut, sedih, senang, benci cinta, antusias, bosan sebagai akibat
dari peristiwa yang terjadi pada kita namun itu adalah ruang yang akan
membesarkan kita.
Saya sadar bahwa Emosional hadir sebagai perusak dari perjalanan saya
untuk memahami kehidupan yang lebih luas lagi. Saya melihat bahwa hidup sebagai
lembaran putih bersih, sehingga berbagai pengalaman atau kejadian adalah rujukan
garis yang nantinya membentuk gambar indah dalam kehidupan nanti di akhirat,
namun emosio yang ada selama ini menjadi garis perusak dari gambar yang
sedianya akan indah diatas sebuah kertas putih tersebut. Maka setelah melakukan
zikir dan tafakur, saya sadar bahwasanya emosi dalam kehidupan sekalipun menjadi
sebuah garis namun akan merusak gambaran akhir yang sedianya telah saya
dapatkan dalam kehidupan. Spiritual; Saya merasa seperti manusia yang kurang
mensyukuri, akibat terlalu membandingkan keadaan dengan orang disekitar
sehingga merasa bahwa keadaan saya lah yang terburuk dan kekurangan. Padahal
dalam tafakur saya menemjukan begitu banyak rahmat dan hiday yang telah
diberikan oleh Allah SWT kepada saya seumur hidup. Mensyukuri harusnya
menjadi cerminan saya bukan sekedar mengeluh dan berbicara tentang kekurangan
dan saya sadar bahwa kekurangan pun adalah bagian dari garis kehidupan yang
akan memperindah gambaran saya nantinya di akhirat. Menjadi orang yang
bersyukur dan mensyukuri adalah kewajiaban, karena saya sadar apapun yang saya
miliki adalah kepemilikian dan pemberian dari Ilahi dan harusnya saya manfaatkan
sebaik mungkin sekalipun itu satu desahan nafas untuk melanjutkan hidup .
Termasuk kalau kita berbicara tentang Pelajar Islam. Pelajar Islam tentu
harus menjadi contoh dalam upaya menyalakan kembali semangat membaca.
Apalagi dalam Islam juga sudah jelas landasan naqlinya yakni pada Q.S. Al Alaq
yang mengajak kita untuk membaca.
Kita sebagai pelajar menuntut kita untuk senantiasa bergelut dengan buku-
buku. Memperluas wawasan keilmuan yang sedang kita geluti ataupun wawasan
secara umum. Pelajar tentunya harus khatam dengan keilmuannya masing-masing
selain wawasan universal dan tentunya wawasan keagamaan yang harus selalu
melekat dalam dirinya. Apalagi kalau kita mengaku sebagai aktivis dakwah pelajar
yang notabene harus berdakwah di kalangan teman-teman kita, tentu kita perlu giat
membaca buku-buku agama. Ibarat sebuah teko air minum, teko tersebut akan
bisa mengisi gelas dengan air setelah teko tersebut diisi oleh air terlebih dahulu.
Begitu juga sebagai seorang kader dakwah, sebelum ia berdakwah kepada yang
lain, ia harus memiliki ilmu terlebih dahulu sebagai bahan untuk berdakwah.
Untuk memiliki ilmu disini kita kembali harus membaca, membaca, dan membaca.
Umanailo, M. C. B. (2016) Sosiologi Hukum. 1st edn, FAM Publishing. 1st edn.
Namlea: FAM PUBLISHING. doi: 10.17605/OSF.IO/KHFNU.
Said, Edward W. 2014. Peran –peran Intelektual. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Satria Dharma, Iqra’, Misteri di Balik Perintah Membaca 14 Abad yang Lalu
(Surabaya: Eureka Akademia, 2015).