Anda di halaman 1dari 5

TPA ADALAH TEMPAT PEMROSESAN AKHIR BUKAN TEMPAT PEMBUANGAN

AKHIR

 Admin dlh |  03 Oktober 2019 |  30553 kali

 GIAL DLH

Siapa yang tidak tahu atau tidak pernah mendengar jargon "Buanglah Sampah pada
Tempatnya"? Jargon kebersihan ini begitu populer bertahun-tahun melintasi
beberapa generasi.  Tidaklah mengherankan bila kebanyakan masyarakat memiliki
persepsi bahwa sampah harus dibuang.  Dimanakah tempatnya? Bila dibuat survei,
penulis yakin jawaban teratas adalah keranjang sampah.  Bila surveinya diadakan
diantara masyarakat perkotaan, maka tentu akan banyak juga yang menjawab TPS
dan TPA.  

Dari sisi pengelolaan sampah perkotaan ( urban waste management) tentu ini hal
yang menggembirakan bahwa masyarakat mengetahui alur pengolahan sampah adalah
dari sumbernya (rumah tangga, kantor, tempat publik, dsb) ke TPS dan berakhir di
TPA.  

Namun berapa banyak yang tahu bahwa kepanjangan dari TPS adalah bukan Tempat
Pembuangan Sampah dan kepanjangan dari TPA bukanlah Tempat Pembuangan
Akhir? 
Singkatan TPS dan TPA muncul dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33
Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah dan beberapa peraturan menteri
lingkungan hidup dan menteri pekerjaan umum yang merupakan peraturan pelaksana
dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.  

TPS adalah singkatan dari Tempat Penampungan Sementara yaitu tempat


sebelum sampah diangkut ke tempat pendauran ulang, pengolahan, dan/atau tempat
pengolahan sampah terpadu.  

Sedangkan TPA adalah singkatan dari Tempat Pemrosesan Akhir yaitu tempat


untuk memroses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi
manusia dan lingkungan.  

Mempersepsikan TPS dan TPA sebagai Tempat Pembuangan Sampah mengandung


bahaya dalam hal pengelolaan sampah kota yang berkelanjutan:  Warga kota
menaruh semua jenis sampah yang dihasilkannya ke TPS!  Hal ini akan berakibat
pada tingginya volume sampah dan meningkatnya beban kerja petugas pengangkut
sampah, apalagi pada kota yang memiliki personil, alat angkut dan biaya operasional
sampah yang terbatas.  

Dalam kondisi demikian, bila semua sampah dari semua TPS diangkut dan ditimbun di
TPA maka akan memperpendek umur pakai TPA tersebut karena lekas menjadi
penuh.  Bila TPA sudah menjadi penuh mau kemana lagi sampah kota dibawa? 

Mencari lokasi baru untuk membuat TPA baru? Jangan lupa bahwa  pertambahan
jumlah penduduk dan pembangunan meningkat seiring berjalannya waktu dan
berakibat pada berkurangnya ketersediaan lahan.  

Sudah terjadi seperti di Provinsi DKI Jakarta yang harus mengangkut sampahnya
ke Bantar Gebang, Bekasi di Provinsi Jawa Barat.  Di Jepang, Pemerintah Tokyo
harus mereklamasi Teluk Tokyo untuk menambah luas areal TPA-nya.  

Kalaupun suatu kota masih memiliki ketersediaan lahan untuk lokasi TPA baru,
tentulah harus membayar dengan harga yang tinggi, belum lagi harus menghadapi
masyarakat di sekitar lokasi tersebut yang belum tentu bisa menerima rencana
pembangunan TPA.

Jadi dalam hal pengelolaan sampah perkotaan yang berkelanjutan penting untuk
bukan saja mengedukasi masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya,
namun juga agar secara aktif melakukan pengurangan sampah dan penanganan
sampah. Memilih untuk menggunakan tas belanja daripada kantong kresek dan
menggunakan saputangan daripada tissue adalah contoh dari upaya pengurangan
sampah. Sementara penanganan sampah dapat masyarakat lakukan dengan
melakukan pemilahan sampah, membuat kompos dan mendaur ulang sampah. 

Dalam melakukan pengelolaan sampah perkotaan, Pemerintah Kabupaten/Kota perlu


beranjak dari pendekatan kebersihan dan keindahan kota kepada pengelolaan
sampah perkotaan yang terintegrasi mulai dari sumber sampah hingga ke TPA.
Sesuai dengan definisi TPS (Tempat Penampungan Sementara) dalam Undang-
undang Nomor 18 Tahun 2008 dan peraturan pelaksananya, tidak serta merta semua
sampah dari TPS diangkut ke TPA. Sampah yang sudah terpilah di TPS semestinya
diangkut lebih dahulu ke tempat pendauran ulang, pengolahan, dan/atau tempat
pengolahan sampah terpadu. Persoalannya kebanyakan pemerintah kabupaten/kota
tidak memiliki fasilitas pengolahan sampah antara ( intermediate waste processing
facility). 

Berbeda dengan Jepang, sebagaimana penulis saksikan selama mengikuti Staff


Enhancement Program  dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana -
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PUSBINDIKLATREN - BAPPENAS) di
Tokyo tanggal 2-28 Oktober 2017. Tidak ada TPS berupa kotak beton seperti di
Indonesia, warga kota Tokyo mengumpulkan sampahnya sesuai jenis pada hari yang
telah ditentukan ke titik pengumpulan (collection points).

Dari collection points sampah diangkut oleh petugas kebersihan kota ke beberapa


fasilitas yang berbeda sesuai jenis sampahnya. Sampah yang bisa didaur ulang
seperti botol plastik, botol kaca dan kaleng minuman dibawa ke Recycling
Center  untuk diproses dan dimanfaatkan atau dijual . Sampah berupa sisa makanan
dan sampah dari dapur dibawa ke incineration plant  untuk dibakar dengan suhu di
atas 800oC.

Sampah berukuran besar seperti ranjang, lemari dan meja yang rusak diangkut
ke large-sized waste processing center  untuk dipotong/dicacah. Material berharga
seperti alumunium dan besi dikumpulkan dan material sisa yang bisa dibakar
diangkut ke incineration plant.  Sementara untuk sampah keramik (toilet bekas,
bongkaran lantai) dan sampah logam diangkut ke incombustible waste processing
center  untuk dipotong/dicacah). Material berharga seperti alumunium dan besi
dikumpulkan.
Jadi yang dibawa ke TPA hanyalah residu yaitu sisa sampah yang tidak dapat diolah
di fasilitas-fasilitas tersebut, seperti abu sisa pembakaran dari incineration
plant  dan cacahan sampah yang tidak bisa dibakar. Itulah sebabnya Jepang bisa
mengurangi secara signifikan jumlah sampahnya yang ditimbun di TPA. Sebagai
contoh pada tahun 2015 dari total 43,98 juta ton timbulan sampah hanya 9,48%
saja yang diangkut ke TPA. Dengan demikian umur pakai TPA pun menjadi lebih
panjang.

Awalnya Jepang juga menggunakan pendekatan kebersihan dan keindahan kota


dalam mengelola sampahnya. Semua sampah kota diangkut untuk langsung dibuang di
TPA. Hingga kemudian peristiwa "GARBAGE WAR" pada tahun 1971 yang dipicu oleh
warga Kota Koto yang memprotes dan memblokade jalan yang dilalui truk-truk
pengangkut sampah dari 23 kota di Tokyo yang menuju TPA di daerah mereka.

Sejak saat itu Pemerintah Metropolitan Tokyo (membawahi 23 kota) melakukan


pengelolaan sampah kota secara terpadu dengan mengembangkan fasilitas-fasilitas
pengolahan sampah sebagaimana diuraikan di atas. Disertai dengan kesadaran
masyarakatnya untuk mengurangi dan memilah sampahnya. Saat ini Jepang telah
berhasil menekan jumlah timbulan sampah kota dan jumlah yang ditimbun di TPA
tidak sampai 10% nya saja.

Tahun ini Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah telah
berusia 10 (sepuluh) tahun. Melalui Surat Edarannya tertanggal 15 Januari 2018
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengajak seluruh Gubernur, Bupati, dan
Wali Kota se-Indonesia untuk memanfaatkan Hari Peduli Sampah Nasional 2018
yang puncak peringatannya jatuh pada tanggal 21 Februari 2018 sebagai momentum
untuk melakukan corrective action  serta aktualisasi gerakan bersama antara
pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam mewujudkan Indonesia Bersih
Sampah Tahun 2025.

Kita dapat memulai dengan mengoreksi persepsi bahwa TPS bukanlah Tempat
Pembuangan Sampah melainkan Tempat Penampungan Sementara, dan TPA bukanlah
Tempat Pembuangan Akhir melainkan Tempat Pemrosesan Akhir. Karena itu
semestinyalah dibangun fasilitas pengolahan sampah antara TPS dan TPA. Tidak
harus membangun yang baru, Pemerintah Kabupaten/kota dapat memberdayakan
Bank Sampah yang telah ada sebagai pusat daur ulang dan pembuatan kompos.
Residu yang tidak bisa diolah di Bank Sampah barulah kemudian diangkut ke TPA.
Di TPA pun dilakukan pemrosesan antara lain menutup sampah dengan tanah secara
berlapis, serta mengelola air lindi dan gas metana yang dihasilkan dari sampah
tersebut. Konsep 3R (Reduce, Reuse & Recycle) harus dipopulerkan hingga tertanam
di kesadaran pribadi warga kota. Setidaknya warga kota sadar untuk melakukan
pemilahan sampah. Untuk menjamin sampah tetap terpilah dapat ditentukan jadwal
pengumpulan sampah yang berbeda sesuai jenisnya.

Semoga tulisan ini dapat memotivasi kita untuk berbuat lebih dari hanya membuang
sampah pada tempatnya. Bila kita hanya tahu membuang saja, kasihan para petugas
kebersihan kota. Kasihan TPA kita. Ingat TPA bukan Tempat Pembuangan Akhir!

Anda mungkin juga menyukai