Anda di halaman 1dari 54

BAB I

PROFIL PROYEK

1.1 Latar Belakang


Sampah adalah problem yang akan selalu menghantui selama kita masih
tinggal di atas bumi ini. Semakin banyak jumlah penduduk suatu wilayah, semakin
banyak pula tingkat konsumsi akan barang/material yang digunakan sehari-hari.
Seiring dengan peningkatan konsumsi, maka volume sampah yang dihasilkan setiap
harinya juga akan bertambah. Sedangkan beberapa Tempat Pembuangan Akhir
(TPA) Sampah umumnya memiliki keterbatasan baik lahan maupun daya tampung.
Apalagi dengan kondisi rawan longsor pada musim penghujan.Akibat keterbatasan
lahan dan adanya musibah tersebut, maka diperlukan penerapan teknologi yang dapat
mereduksi sampah dengan cara-cara yang efisien, efektif dan berkesinambungan atau
jangka panjang (sustain). Upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi hal
tersebut adalah dengan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).
Selain dapat mengurangi volume sampah yang tertumpuk di Tempat Pembuangan
Akhir (TPA) Sampah yang kemudian dapat menimbulkan bahaya yang tak terduga,
panas yang dihasilkan dapat dijadikan sumber energi.
Seiring dengan perkembangan teknologi yang pesat hal ini juga berbanding
lurus kebutuhan akan energi yang besar pula. Ditambah lagi dengan semakin maju
suatu bangsa maka semakin besar pula kebutuhan akan energi terutama untuk
kebutuhan industri. Cepat atau lambat minyak bumi sebagai penghasil sumber energi
saat ini akan habis maka dari itu disamping kita menghemat penggunaan energi dari
sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, kita juga harus mencari sumber
alternatif energi baru untuk memenuhi kebutuhan energi yang tidak dapat dibendung
lagi. Sehingga ingin membuat proyek tentang salah satu energi terbarukan yaitu
dengan sampah, yang dikelola sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Sampah atau biasa
kita sebut dengan PLTsa.
Sampah telah menjadi suatu masalah baru yang menyedot banyak perhatian
terutama di wilayah Bandung ini karena banyaknya jumlah sampah yang setiap hari
kita hasilkan baik dari rumah tangga ataupun dari limbah pabrik tidak diimbangi
dengan pengolahan sampah yang terpadu sehingga membuat sampah menggunung.
Hal ini telah banyak menimbulkan akibat mulai dari pemandangan yang tidak indah
dipandang mata, pencemaran sungai Cikapundung, Bau yang menyekat dari
tumpukan sampah-sampah hingga banjir yang terjadi tiap tahun. Padahal bila sampah
ini dapat dikelola dengan baik tidak hanya lingkungan kita yang bersih dan sehat
bahkan sampah dapat mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.
Dengan sumberdaya yang mudah didapat karena sampah adalah barang yang
dibuang tiap harinya bahkan orang rela membayar uang sampah untuk membuang
sampah agar tidak mengotori rumah dan lingkungannya. Sehingga menjadikan
sampah sebagai salah satu bahan yang ideal untuk diolah menjadi energi terbarukan.
Jumlah timbulan sampah berkorelasi dengan jumlah penduduk pada suatu
wilayah. Setiap kegiatan yang dilakukan penduduk pasti akan menghasilkan sampah.
Oleh karena itu, semakin banyak penduduk dengan beragamnya kegiatan yang
dilakukan ditambah dengan perilaku penduduk yang konsumtif mengakibatkan
semakin meningkatnya jumlah timbulan sampah. Jenis sampah juga tergantung pada
jenis material yang dikonsumsi penduduk. Sehingga dapat dikatakan bahwa jenis
sampah yang dihasilkan di suatu wilayah terkait dengan gaya hidup penduduk yang
tinggal di wilayah tersebut.
Jumlah penduduk yang terus bertambah mengakibatkan semakin
meningkatnya kebutuhan lahan. Hal ini dikarenakan semakin banyak ruang yang
diperlukan untuk dapat mengakomodasi seluruh kegiatan penduduk tersebut. Di sisi
lain, lahan bersifat terbatas, tidak dapat diciptakan serta tidak dapat diperbarui,
kecuali dengan reklamasi. Dengan semakin banyaknya kawasan permukiman dan
kawasan terbangun lainnya, hal ini mengakibatkan semakin sulit untuk mencari lokasi
TPA yang memang membutuhkan lahan yang cukup luas. Selain karena keterbatasan
lahan, permasalahan lokasi TPA juga terkait dengan fenomena not in my backyard
(NIMBY). TPA dibutuhkan sebagai salah satu fasilitas pengelolaan persampahan,
namun keberadaannya tidak diinginkan, terutama disekitar tempat tinggal
masyarakat. Fenomena ini mengakibatkan semakin sulitnya mencari lahan untuk
dijadikan TPA.
Jumlah penduduk Kota Bandung setiap tahun terus mengalami pertambahan.
Berdasarkan data jumlah penduduk tahun 2003 hingga 2007, Kota Bandung memiliki
laju pertumbuhan penduduk rata-rata setiap tahun sebesar 1,88% (Kota Bandung
dalam Angka, 2007). Pertambahan jumlah penduduk yang disertai dengan semakin
banyak dan beragamnya kegiatan yang dilakukan mengakibatkan semakin
meningkatnya kebutuhan lahan di Kota Bandung.
Selain itu, Kota Bandung juga ditetapkan sebagai kota jasa, berdasarkan
RT/RW Kota Bandung Tahun 2003-2013, dimana yang dimaksud dengan kota jasa
adalah perkembangan ekonomi Kota Bandung Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
Vol 23/No.3 Desember 2012 didominasi oleh kegiatan jasa perkotaan, seperti jasa
keuangan, jasa pelayanan, jasa profesi, jasa perdagangan, pariwisata, dan lainnya. Hal
ini tentu juga mengakibatkan semakin luasnya kebutuhan lahan di Kota Bandung
untuk pembangunan fisik. Dan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dengan
penduduk yang semakin bertambah, maka jumlah timbulan sampah juga semakin
meningkat.
Permasalahan terkait dengan TPA juga terjadi di Kota Bandung, terutama
dirasakan setelah terjadinya longsor TPA Leuwigajah pada tahun 2005. Pasca
longsor, praktis Kota Bandung tidak memiliki TPA. Sampah-sampah tidak terangkut
dan banyak terabaikan di tempat-tempat yang tidak seharusnya. Pemerintah Kota
Bandung kemudian mengatasi persoalan tersebut dengan mencari lokasi baru untuk
dijadikan TPA serta berdasarkan keputusan bersama yang melibatkan instansi terkait,
TPA Pasir Impun dan TPA Cicabe diaktifkan kembali. Namun masa penggunaan
kedua TPA tersebut tidak berlangsung lama dan terbentur oleh penolakan masyarakat
sekitar kedua TPA. Lokasi yang kemudian menjadi tempat pembangunan TPA baru
adalah Desa Sarimukti, Kabupaten Bandung. Namun penggunaan TPA Sarimukti
diperkirakan hanya sampai tahun 2011.
Kebutuhan TPA bagi Kota Bandung dan ketiadaan lahan yang cukup
mengakibatkan Pemerintah Kota Bandung merencanakan membangun Pembangkit
Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Bandung Timur, tepatnya di Wilayah
Pengembangan Gedebage dan kemudian berpindah ke daerah Legok Nangka. Cara
pengelolaan sampah yang direncanakan adalah dengan menggunakan incinerator,
dari sampah sebagai bahan baku kemudian akan dihasilkan energi listrik. Pihak yang
bertindak sebagai penyedia sampah yang akan diolah di PLTSa adalah PD Kebersihan
Kota Bandung. Energi listrik yang dihasilkan rencananya akan dibeli oleh PT PLN.
Secara teknis, metode yang direncanakan akan diterapkan oleh Pemerintah
Kota Bandung tersebut sesuai dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Persampahan. Hal ini karena pada Undang-undang tersebut diamanatkan
adanya unsur pengolahan dalam penanganan sampah. Dengan PLTSa tersebut, maka
sampah yang telah dikumpulkan dari sumber sampah kemudian dipilah sesuai dengan
ketentuan dan selanjutnya diolah dalam incinerator. Karena diolah, maka sampah-
sampah yang terdapat di TPS maupun di TPA akan berkurang.
Berbagai pihak terlibat dan terkena dampak keberadaan PLTSa Legok
Nangka, terutama masyarakat sekitar lokasi PLTSa. Dampak tersebut dapat bersifat
positif maupun negatif. Jika dibedakan berdasarkan aspeknya, maka dampak tersebut
terbagi ke dalam aspek teknis/finansial, sosial ekonomi, sosial budaya, dan
lingkungan. Untuk dapat mengetahui perbandingan nilai ekonomi pengaruh positif
dan negatif keberadaan PLTSa Legok Nangka dari berbagai aspek, maka dilakukan
analisis biaya-manfaat sosial keberadaan PLTSa Legok Nangka bagi masyarakat
sekitar. Hasil analisis tersebut diharapkan menjadi alat bantu dalam membuat
keputusan publik dengan mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat terkait
dengan pembangunan PLTSa Legok Nangka.

1.2 Tujuan Pembahasan

Makalah ini menjelaskan bahwa peningkatan tumpukkan sampah di berbagai


wilayah kota-kotabesar di Jawa Barat, khususnya kota Bandung, perlu dipikirkan
solusi cara penanganannya secara menyeluruh hingga zero waste, seperti mengolah
sampah perkotaan menjadi sumber energy listrik alternative berbasis renewable
energy, mencegah kerusakan lingkungan hidup akibat pencemaran
sampah.Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTsa), tipe incinerator telah
dipraktekkan di banyak negara untuk mencapai pembuangan sampah dengan biaya
yang efektif. Keuntungan utama dari incinerator adalah pengurangan volume limbah
asli mencapai 95 ~ 96%, tergantung pada komposisi dan tingkat pemulihan bahan
seperti logam dari abu untuk daur ulang. (Speight, 2008), Pembangunan PLTSa yang
berlokasi di kawasan TPA perlu menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Kota
Bandung dan Pemerintah Kabupaten Bandung untuk mendirikan PLTSa sebagai unit
usaha pemasukan (income) bagi PAD, daripenjualan energy listrik, pupuk kompos,
fly ash, bottom ash, maupun kompensasi CDM (Clean Develompment Management)
hasil pengurangan gas emisi rumah kaca.
BAB II

PENGETAHUAN TEKNIS PROYEK

2.1 Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa)

PLTSa, didefinisikan sebagai "pemusnah sampah" (Incinerator) modern yang


dilengkapi peralatan kendali pembakaran serta sistem monitor emisi gas buang yang
kontinyu dan dapat menghasilkan energi listrik.

Tujuan akhir dari sebuah PLTSa ialah untuk mengkonversi sampah menjadi energi.
Pada dasarnya ada dua alternatif proses pengolahan sampah menjadi energi, yaitu proses
biologis yang menghasilkan gas-bio dan proses thermal yang menghasilkan panas.

Sumber energi listrik atau Watse to Energy atau yang lebih dikenal dengan PLTSa
(Pembangkit Listrik Tenaga Sampah). PLTSa yang berfungsi sebagai TPA ini nantinya
akan memakai teknologi tinggi. Sampah-sampah yang datang akan diolah dengan cara
dibakar pada temperatur tinggi 850 hingga 900 derajat Celicius. Berdasarkan
perhitungan, dari 500 - 700 ton sampah atau 2.000 -3.000 m3 sampah per hari akan
menghasilkan listrik dengan kekuatan 7 Megawatt. PLTSa dengan bahan bakar sampah
merupakan salah satu pilihan strategis dalam menanggulangi masalah sampah di
bebarbagai kota besar di Indonesia.Prinsip Sederhana dari PLTSa atau Waste to Energy
ini adalah:

1. Membakar sampah yang kemudian menghasilkan panas


2. Panas yang timbul dugunakan untuk memanaskan air
3. Uap Air yang muncul digunakan untuk menggerakkan turbin
4. Turbin menghasilkan listrik.

Manfaat utama PLTSa ini sebenarnya adalah dapat mengurangi ”volume” sampah
yang menggunung. Listrik yang dihasilkan dapat digunakan untuk membantu operasinal
pengelolaan sampah.
Bagi negara lain, khususnya di belahan Uni Eropa, pengolahan sampah dengan
teknologi PLTSa bukan hal baru lagi. Bahkan pada umumnya satu negara tidak hanya
memiliki satu PLTSa, tetapi puluhan bahkan ratusan. Seperti halnya Negara Perancis,
yang kini memiliki 130 PLTSa, lalu Italia (52) dan Jerman (61 pabrik). Sedangkan di
Singapura, terdapat 4 Incinerator Plant, masing-masing Ulu Pandan Incinerator Plant
berkapasitas 1.100 ton/hari, Tuas Incinerator Plant (1.700 ton/hari), Senoko Incinerator
Plant (2.400 ton/hari) dan Tuas South Incinerator Plant (3.000 ton/hari). Dan sebenarnya
Teknologi pengolahan sampah untuk pembangkit listrik sebenarnya juga tidak terlalu
sulit diterapkan di Indonesia. Khususnya Kota Bandung yang mempengaruhi cara,
kedisiplinan dan perlakuan masyarakatnya dalam mengolah sampah.

2.1.1 Pengolahan Sampah

Pada umumnya, sebagian besar sampah yang dihasilkan di Indonesia


merupakan sampah basah, yaitu mencakup 60-70% dari total volume sampah.
Selama ini pengelolaan persampahan, terutama di perkotaan, tidak berjalan
dengan efisien dan efektif karena pengelolaan sampah bersifat terpusat, di buang
ke sistem pembuangan limbah yang tercampur.

Seharusnya sebelum sampah dibuang dilakukan pengelompokkan sampah


berdasarkan jenis dan wujudnya sehingga mudah untuk didaurulang dan/atau
dimanfaatkan (sampah basah, sampah kering yang dipilah-pilah lagi menjadi
botol gelas dan plastik, kaleng aluminium, dan kertas). Untuk tiap bahan
disediakan bak sampah tersendiri, ada bak sampah plastik, bak gelas, bak logam,
dan bak untuk kertas. Pemilahan sampah itu dimulai dari tingkat RT (Rumah
tangga), pasar dan aparteme. Bila kesulitan dalam memilih sampah tersebut
minimal sampah dipisahkan antara sampah basah (mudah membusuk) dan
sampah kering (plastik,kaleng dan lain-lain)

Pemerintah sendiri menyediakan mobil-mobil pengumpul sampah yang


sudah terpilah sesuai dengan pengelompokkannya. Pemerintah bertanggung
jawab mengorganisasi pengumpulan sampah itu untuk diserahkan ke pabrik
pendaur ulang. Sisa sampahnya bisa diolah dengan cara penumpukan (dibiarkan
membusuk), pengkomposan (dibuat pupuk), pembakaran. Dari ketiga cara
pengelolaan sampah basah yang biasa dilakukan dibutuhkan TPA (Tempat
Pembuangan Akhir) yang cukup luas. Selain itu efek yang kurang baikpun sering
terjadi seperti pencemaran lingkungan, sumber bibit penyakit ataupun terjadinya
longsor.

2.2 External Analysis (PESTEL & 5 Forces)


2.2.1 Analisis PESTEL
Analisis PESTLE adalah suatu teknik dalam manajemen strategis yang digunakan
untuk melihat faktor-faktor lingkungan luar/eksternal bisnis yang berpengaruh
terhadap suatu hal (perusahaan, proyek, masalah, dan lain-lain).
Faktor-faktor tersebut meliputi bidang : Political, Economic, Social,
Technological, Legal, dan Environment.
1) Political
Faktor politik meliputi hukum yang berlaku, kebijakan pemerintah, dan aturan
formal atau informal di lingkungan perusahaan (Contoh : kebijakan pajak dan
peraturan daerah).
2) Economic
Faktor ekonomi meliputi semua faktor yang mempengaruhi daya beli dari
customer dan mempengaruhi iklim berbisnis suatu perusahaan (Contoh :
standar nilai tukar, suku bunga, pertumbuhan ekonomi dan menambah
lapangan pekerjaan).
3) Social
Faktor sosial meliputi semua faktor yang dapat mempengaruhi kebutuhan dari
pelanggan dan mempengaruhi ukuran dari besarnya pangsa pasar yang ada
(Contoh : tingkat kesadaran masyarakat, kondisi lingkungan sosial dan
lingkungan kerja).
4) Technological
Faktor teknologi meliputi semua hal yang dapat membantu dalam
menghadapi tantangan bisnis dan mendukung efisiensi proses bisnis
perusahaan (Contoh : penemuan dan pengembangan baru, biaya dan
penggunaan teknologi, perubahan dalam ilmu pengetahuan, dan dampak dari
perubahan teknologi).

5) Legal
Faktor legal meliputi pengaruh hukum seperti perubahan undang-undang
yang ada atau yang akan datang (Contoh : kesehatan dan keselamatan, arahan
pekerjaan, hak asasi manusia, tata kelola perusahaan, dan tanggung jawab
lingkungan).
6) Environment
Faktor lingkungan dapat digunakan ketika melakukan perencanaan strategis
atau mencoba mempengaruhi keputusan pembeli seperti faktor lokasi
geografis.
(contoh: wilayah yang masih memiliki lahan yang memenuhi spesifikasi
pembangunan PLTSa dan mempunyai kuantitas sampah sesuai yang
dibutuhkan).

2.2.1.2 Manfaat Analisis PESTEL


Analisis PESTLE memiliki beberapa manfaat yang diantaranya :
a. Tool yang sangat berguna dalam memahami gambaran menyeluruh
lingkungan dimana usaha beroperasi serta kesempatan maupun ancaman yang
ada disekitarnya. Sehingga kesempatan yang ada dapat diambil serta dapat
meminimalisir resiko atau ancaman.
b. Tool untuk memahami segala resiko terkait dengan pertumbuhan atau
penurunan usaha, dan juga posisi, potensi serta arahan strategis untuk bisnis
maupun organisasi.
c. Tool orientasi generik untuk mencari tahu apakah organisasi di dalam suatu
konteks lingkungan dengan segala hal terjadi di luar sana pada saat bersamaan
memberi pengaruh ke dalam organisasi.
Subyek dalam PESTLE bisa dilihat dari berbagai sudut pandang :
1) Sebuah organisasi yang melihat bagaimana posisi di pasar
2) Sebuah produk terlihat dalam suatu pasar
3) Sebuah merk dan hubungannya di dalam suatu pasar
4) Sebuah unit bisnis lokal atau fungsinya dalam suatu grup bisnis
5) Sebuah opsi strategis, seperti memasuki pasar baru atau meluncurkan
produk baru
6) Sebuah akuisisi potensial
7) Sebuah kemitraan potensial
8) Sebuah kesempatan investasi

2.2.2 5 Forces

Five Forces Model atau yang lebih dikenal dengan Porter Five
Forces adalah suatu metode untuk menganalisis industri dan pengembangan
strategi bisnis atau lingkungan persaingan yang dipublikasikan oleh Michael E
Porter, seorang profesor dari Harvard Business School pada tahun 1979. Menurut
Five Forces Model ada lima hal yang dapat menentukan tingkat persaingan dan
daya tarik pasar dalam suatu industri. Daya tarik dalam konteks ini mengacu pada
profitabilitas industri secara keseluruhan. Hasilnya, setelah analisis dilakukan
maka akan dapat di nilai apakah industri tersebut masih “menarik” atau “tidak
menarik”.
Menurut Five Forces Model, sebuah industri disebut “tidak menarik” bila
kombinasi dari five forces menurunkan profitabilitas secara keseluruhan. Sebuah
industri disebut menarik bila kombinasinya menunjukkan profitabilitas yang
menjanjikan. Tiga dari lima Five Forces merujuk pada persaingan dari sumber
eksternal. Sisanya adalah ancaman internal.

Five Forces Model:

1) Threat of New Entrants


Hambatan masuk (entry barriers) merupakan berbagai faktor yang akan
menghambat pendatang baru (potential new entrants) memasuki suatu
industri di Five Forces Model. Hambatan masuk yang rendah akan
mengakibatkan suatu industri mengalami penurunan profitabilitas dengan
cepat karena semakin meningkatnya persaingan di antara perusahaan dalam
satu industri. Sebaliknya dalam Five Forces Model hambatan masuk industri
yang tinggi, diasumsikan akan dapat mempertahankan daya tarik industri
untuk jangka waktu yang panjang. Sebagai contoh, identitas merek (brand
identity) yang kuat seperti yang dimiliki Teh Botol Sosro dan Coca-Cola
telah turut melindungi produk-produk tersebut dari serangan pesaing baru
sehingga kedua produk tersebut masih dapat mempertahankan posisinya di
pasar. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam hal ini antara lain :
A. Skala Ekonomi (Economies of Scale)
Apakah produk bisa dibuat dalam jumlah kecil atau harus dalam jumlah yang
besar, misal: dalam pabrik kertas, nilai efisiensi yang menguntungkan baru
bisa dicapai dalam skala yang besar sehingga sulit bagi pesaing baru jika
ingin masuk dengan skala industri yang kecil).
B. Kurva Pembelajaran (Learning or Experience Effect)
Dalam proses produksi, semakin lama akan semakin diperoleh tingkat
efisiensi yang semakin tinggi. Sehingga dengan demikian akan didapat biaya
yang semakin murah dalam memproduksi. Sehingga perlu dipertimbangkan
apakah hal ini dapat dicapai dalam waktu yang cepat atau lama karena akan
mempengaruhi biaya produksi secara keseluruhan.
C. Cost Disadvantages Independent of Scale
Adalah keuntungan yang tidak terkait dengan skala produksi. Misalnya: hak
patent, kemudahan akses ke bahan baku, hak pengelolaan / perijinan,
kemudahan dari pemerintah, dll
D. Diferensiasi Produk.
Adalah keunikan yang dimiliki baik dalam bentuk fisik produk atau
positioning produk yang membedakannya dari produk pesaing yang berada
dalam industri yang sama. Perlu dipertimbangkan pula oleh new
entrant untuk mengantisipasi loyalitas merek dari produk yang telah ada.
E. Kebutuhan Modal (Capital Requirement)
Adalah biaya yang dibutuhkan untuk memasuki bisnis ini. Untuk industri
dengan skala yang massif (contoh: semen) maka dibutuhkan modal yang luar
biasa besar.
F. Switching Cost
Adalah biaya yang dibutuhkan untuk melakukan perpindahan dari satu pos
ke pos lain. Biaya ini termasuk pula biaya psikologis akibat perpindahan yang
terjadi. Misalnya: ketika melakukan ‘pemindahan’ dari suplier A ke suplier
B.
G. Akses ke Jalur Distribusi (Access to Distribution Channels)
Dalam industri tertentu akses ke jalur distribusi memegang peranan yang
krusial. Dalam bisnis distribusi minuman ringan menurut Five Forces Model
misalnya, bagi pemain baru akan sulit untuk meminta space lebih ke armada
distribusi (pihak III) bila pemain yang sudah mapan menggunakan distributor
yang sama. Sehingga dengan demikian pengaruhnya di dalan five forces
model akan sangat besar.
H. Antisipasi Pertumbuhan (Anticipated Growth)
Perlu diantisipasi pula dalam kerangkan five forces model ini kemungkinan
pertumbuhan industri yang dapat terjadi dengan melihat data-data pendukung
yang ada. Karena, bagi pemain yang baru memasuki bisnis tersebut dapat
besar sekali pengaruhnya atau malah sangat kecil. Pengaruhnya akan besar
bisa pertumbuhan industri kecil dan pemainnya banyak sehingga kue yang
sedikit akan dibagi menjadi bagian yang lebih kecil. Semantara jika baru ada
sedikit pemain dan pasarnya cukup besar maka pengaruhnya akan kecil
terhadap pendatang baru.

2) Bargaining Power of Suppliers


Dalam Five Forces Model Pemasok memiliki posisi tawar-
menawar (bargaining position) yang berbeda-beda terhadap perusahaan di
dalam Five Forces Model. Kemampuan pemasok untuk menentukan syarat-
syarat perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak sangat
dipengaruhi oleh elemen-elemen struktur industri sebagai
berikut: differentiation of inputs, switching costs of supplier and firms in the
industry, presence of substitute inputs, supplier concentration, importance of
volume to supplier, cost relative to total purchases in the industry, impact of
inputs on cost or differentiation, threat of forward integration. Apabila
perusahaan dapat memperoleh pasokan bahan baku dari beberapa pemasok
maka kedudukan perusahaan relatif lebih kuat dibandingkan pemasok
sehingga pemasok tidak akan memberikan ancaman berarti bagi perusahaan
di Five Forces Model. Tetapi apabila perusahaan bergantung hanya kepada
satu pemasok maka kedudukan pemasok menjadi kuat dan dapat
menimbulkan ancaman bagi perusahaan.

3) Bargaining Power of Buyers/Consumers


Dalam Five Forces Model pembeli memiliki posisi penting terhadap
keberlangsungan hidup perusahaan karena sales revenue yang diperoleh
perusahaan berasal dari penjualan produk perusahaan kepada buyer. Posisi
tawar menawar pembeli terhadap perusahaan yang menjual barang dan jasa
ditentukan oleh dua hal utama yakni bargaining leverage dan price
sensitivity. Bargaining Leverage pembeli selanjutnya ditentukan oleh
beberapa faktor sebagai berikut: buyer concentration vs firm concentration,
buyer volume, buyer integrate, substitute products.
Para pengusaha hasil bumi di daerah Lampung akan memiliki bargaining
power yang rendah seandainya mereka menjual hasil buminya seperti kopi,
cengkeh, lada hitam maupun damar hanya kepada satu pembeli besar di
Jakarta, karena dengan struktur perdagangan seperti ini para pengusaha hasil
bumi tidak memiliki alternatif harga jual selain yang ditetapkan oleh pembeli
besar dari Jakarta tersebut.
Faktor lain yang menjadi determinan kekuatan pembeli adalah sensitivas
harga yang ditentukan oleh beberapa faktor seperti: price/total purchases,
product differences, brand identity, buyer profits & decision makers’
incentives.

4) Threat of Subtitute Products


Dalam Five Forces Model Persaingan terhadap produk dihasilkan perusahaan
tidak hanya berasal dari perusahaan yang memproduksi produk yang sama
sehingga menimbulkan persaingan langsung(direct competition), melainkan
bisa juga berasal dari perusahaan yang memproduksi produk yang memiliki
kesamaan fungsi dengan produk yang dihasilkan perusahaan. Produk seperti
itu dinamakan produk subsitusi (substitute products).
Contoh: Perusahaan bis yang melayani rute AKAP (Antar Kota Antar
Propinsi) tidak hanya menghadapi persaingan dari perusahaan bis lainnya,
namun juga menghadapi persaingan dari moda transportasi lainnya seperti
kereta api, perusahaan penerbangan, maupun perusahaan travel. Saat ini
perusahaan otobis seperti Prima Jasa, Kramat Jati, dan sebagainya yang
melayani rute Bandung-Jakarta saingannya tidak hanya maskapai
penerbangan yang melayani rute penerbangan Bandung-Jakarta,tapi jua
memperoleh saingan yang sangat berat dari berbagai perusahaan travel seperti
Cipaganti, Baraya, dan lain-lain yang melayani rute yang sama.

5) Competitive Rivalry Within the Industry


Di dalam industri Five Forces Model sendiri, terjadi persaingan antara satu
perusahaan dengan perusahaan lainnya. Menurut Porter pencetus Five Forces
Model, intensitas persaingan (intensity of rivalry) antar perusahaan dalam
satu industri sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: industry
growth, fixed costs/value added, intermitten overcapacity, product
differiencies, brand identity, switching costs, concentration & balance,
informational complexity, diversity of competitors, corporate stakes, dan exit
barriers. Perusahaan yang melakukan inovasi dapat menikmati profit yang
besar pada saat pesaing lain belum memasuki pasar yang sama. Tetapi
sebagaimana dinyatakan oleh Hermawan Kartajaya,, persaingan saat ini
sudah memasuki tahap wild. Hal ini ditandai dengan semakin cepatnya
pesaing memperoleh akses teknologi sehingga dalam waktu yang relatif
singkat mereka akan dapat menghasilkan produk yang serupa dengan produk
yang dihasilkan oleh perusahaan innovator.
 Pure Monopoly
 Avoided Competition
 Hypercompetition
 Perfect Competition

2.3 Internal Analysis


2.3.1 Business Model Project
1) Customer Segments
a. Sampah rumah tangga
b. Sampah instansi (sekolah, hotel, terminal, pelabuhan, kawasan industri,
dan lain-lain).
c. Seluruh wilayah Indonesia
2) Value Proposition
Pengelolaan sampah agar mempunyai nilai tambah sebagai pembangkit
tenaga listrik.
3) Channels
a. Pemerintah
b. Perusahaan Listrik Negara (PLN)
c. Investor Luar Negeri, contohnya Jepang dan Korea
4) Customer Relationship
Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
5) Revenue Streams
Penjualan sampah yang dihasilkan per-KWH ke PLN.
6) Key Resources
a. Teknologi Dranco
b. Sumber Daya Manusia (SDM)
7) Key Partners
Tempat Penampungan Akhir (TPA) seluruh Indonesia khususnya Jawa Barat
8) Key Activities
a. Pemilihan sampah
b. Pembakaran sampah
c. Pemanfataan panas
d. Pemanfaatan abu sisa pembakaran
9) Cost Structure
a. Biaya penjualan sampah ke PLN
b. Biaya teknologi untuk mengolah sampah
c. Biaya SDM (Gaji Karyawan)
d. Biaya investasi
e. Biaya pemeliharaan
f. Biaya operasional
2.3.2 List of cost possibility
a. Biaya penjualan listrik ke PLN
b. Biaya teknologi untuk mengolah sampah
c. Biaya SDM (Gaji Karyawan)
d. Biaya investasi
e. Biaya pemeliharaan
f. Biaya operasional
BAB III
STUDI KELAYAKAN PROYEK

3.1 Analisis Eksternal


Analisis eksternal merupakan penelaahan peluang dan ancaman suatu keadaan yang
berasal dari luar perusahaan. Dalam studi kelayakan Pembangkit Listrik Tenaga
Sampah (PLTSa) di Legok Nangka ini, metode analisis eksternal yang kami gunakan
adalah:
3.1.1 Analisis PESTLE
1) Political
Stabilitas politik adalah syarat penting bagi sebuah negara, di mana
aspek politik dapat mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan,
terutama untuk pembangunan bisnis. Pada saat ini, tidak ada peristiwa
politik yang benar-benar penting di Indonesia sehingga para investor
tertarik untuk berinvestasi pada proyek di Indonesia, khusunya
pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang
merupakan proyek yang baru dikembangkan di Indonesia.
Proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa)
Legok Nangka merupakan proyek pihak swasta, sehingga keberadaan
investor dalam proyek ini sangat dibutuhkan. Kondisi politik Indonesia
yang saat ini stabil sangat mendukung kelancaran proyek pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka karena
adanya keberadaan para investor.
Di sisi lain dalam aspek politik pembangunan Pembangkit Listrik
Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka, tidak memiliki jaminan bahwa
situasi politik saat ini akan menjamin kondisi regulasi pemerintah pusat
dan pemirintah daerah, tentang pembangkit listrik di masa mendatang.
Serta tidak adanya jaminan bahwa PT Perusahaan Listrik Negara
(Persero) akan seterusnya membeli produk listrik dari Pembangkit
Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka.
2) Economic
Faktor ekonomi memiliki dampak besar dalam bagaimana proyek
pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok
Nangka beroperasi dan membuat keputusan. Investasi negara untuk
membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) paling tinggi
dibandingkan dengan investasi pembangkit energi dari sumber daya
lainnya. Hal lain yang menjadi pertimbangan Pemerintah adalah harga
listrik yang berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa)
lebih mahal dari pembangkit listrik energi lain.
Selain itu, saat ini tidak ada jaminan bahwa situasi politik di
Indonesia akan stabil dan Pemerintah akan menerapkan kebijakan
ekonomi yang kondusif dan tidak berdampak negatif terhadap kondisi
regulasi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) pada saat ini.
3) Social
Kondisi sosial masyarakat kota besar Indonesia, khususnya
masyarakat kota Bandung dalam sikap konsumtif masih tinggi dan juga
kebiasaan dalam daur ulang sampah sehari-hari masih sangat rendah.
Hal tersebut sangat mempengaruhi tingginya tingkat volume sampah di
kota Bandung yang dintunjukkan oleh volume sampah kota Bandung
mencapai 1.500 ton atau 2.785 m3 setiap harinya. Keadaan tersebut
sangat mendukung proses kerja dari Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
(PLTSa) dimana dalam proses pengolahan sumber energi tersebut
membutuhkan volume sampah yang tinggi pula. Kondisi sosial
masyarakat kota Bandung tersebut tepat untuk pengembangan
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka.
Tinjauan aspek sosial pada Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
(PLTSa) Gedebage tidak hanya dari sisi kebiasaan masyarakat Bandung
dan sekitar Kabupaten Bandung, tetapi kami meninjau dari sisi
tanggapan masyarakat sekitar terhadap proyek pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka. Proyek
pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok
Nangka menuai banyak kontra dari masyarakat sekitar maupun aktivis
lingkungan berupa protes yang disampaikan. Technology
Faktor teknologi sangat dipertimbangkan dalam pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) karena proses kerja
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Indonesia khusunya
Gedebage menggunakan teknologi Refuse Inseneratio yang merupakan
teknologi pengolahan sampah sederhana dimana ketersediaan mesin-
mesin yang digunakan cukup tersedia di pasaran sehingga
mempengaruhi kemudahan dalam pembagnunan Pembangkit Listrik
Tenaga Sampah (PLTSa) Gedebage.
Tetapi di sisi lain, teknologi Refuse Inseneratio mendapat penolakan
dari masyarakat dan komunitas aktivis lingkungan karena menghasilkan
zat dioksin. Maka dari itu teknologi pengolahan sampah lain seperti
teknologi Landfill Gas Recovery (LFG) dan teknologi Dry Aerobic
Convertion (Dranco) dapat dipertimbangkan sebagai teknologi
pengganti Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Indonesia.

4) Legal
Dasar hukum Indonesia yang berhubungan dengan pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) adalah:
1. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi dan
sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor
5 Tahun 2006 yang mengamanatkan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) menetapkan blueprint dalam pengelolaan
energi nasional.
2. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
Nomor 12 Tahun 2017 Tentang Pemanfaatan Sumber Energi
Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
3. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2016 Tentang
Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah Di
Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota
Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya Dan Kota Makassar.
4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Thaun 1999 Tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
6. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Pengendalian Pencemaran Udara.
7. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan
Sampah.
8. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2015 Tentang Kesehatan dan
Ratifikasi Konvensi Stockholm.
9. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
Selanjutnya, dasar hukum yang menjadi pedoman dalam
pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) secara
teknis, metode yang direncanakan akan diterapkan oleh Pemerintah
Kota Bandung tersebut sesuai dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun
2008 tentang Pengelolaan Persampahan

5) Environment
Saat ini isu lingkungan menjadi fokus utama berbagai pihak terhadap
semua aspek bisnis tidak terkecuali pembangunan Pembangkit Listrik
Tenaga Sampah (PLTSa). Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga
Sampah (PLTSa) Legok Nangka memiliki dua sudut pandang bagi
lingkungan yang saling bertentangan, yaitu:
1. Postif
Sudut pandang positif pembangunan Pembangkit Listrik
Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka bagi lingkungan antara
lain:
a. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa)
Legok Nangka dianggap sebagai jawaban atas
permasalahan tidak tersedianya ruang di Kota Bandung
untuk membuang sampah sebagai Tempat Pembuangan
Akhir (TPA).
b. Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok
Nangka merupakan solusi untuk memangkas volume
sampah yang dihasilkan oleh penduduk Kota Bandung
setiap harinya yang mencapai 1.500 ton atau 2.785 m3 setiap
harinya.
2. Negatif
Pembanguan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa)
Legok Nangka tidak lepas dari kontroversi sudut pandang negatif
bagi lingkungan, antara lain:
a. Teknologi thermal yang digunakan oleh Pembangkit Listrik
Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka meliputi
gasifikasi, incinerator dan pirolisis yang merupakan
teknologi kotor (dirty technology) tidak sesuai dengan
pendekatan zero waste.
b. Lepasan pencemar berbahaya dan beracun dari Pembangkit
Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), termasuk pemcemar yang
bersifat persisten dan sulit dipulihkan kembali.
c. Menghasilkan zat dioksin yang merupakan hasil sampingan
dari proses pembakaran sampah dengan teknologi Refuse
Inceneratio.
3.1.2 Five Forces
1) Threat of New Entrants (Ancaman Pendatang Baru)
Dalam aspek threat of new entrants proyek pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka membahas
tentang kekuatan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok
Nangka terhadap kemunculan pembangkit listrik energi lain sebagai
pendatang baru. Dalam analisis aspek threat of new entrants, kami
menggunakan beberapa variabel dan indikator pada Tabel 3.1 berikut.
Tabel 3.1 Variabel dan Indikator Threat of New Entrants
Variabel Indikator
Kebutuhan modal yang dibutuhkan oleh
Kebutuhan Modal
pendatang baru besar
Pendatang baru tidak memiliki diferensiasi
Diferensiasi Produk
produk
Harga jual produk dari pendatang baru
Harga Jual
lebih murah.

a. Kebutuhan Modal
Untuk memasuki industri pembangkitan tenaga listrik
pendatang baru membutuhkan modal yang besar karena biaya
investasi yang dibutuhkan dalam pembangunan pembangkit
listrik besar. Sehingga diperlukan investor luar negeri untuk
membantu keuangan.
b. Diferensiasi Produk
Pendatang baru untuk memasuki industri ini akan
mengalami kesulitan karena tidak ada diferensiasi produk yang
dihasilkan. Hal tersebut dikarenakan Pembangkit Listrik
Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka maupun pendatang
baru menghasilkan produk yang sama yaitu listrik.
c. Harga Jual
Pendatang baru memiliki keunggulan dalam industri ini
dalam hal harga jual produknya. Produk pembangkit listrik
energi lain memiliki harga jual yang rendah daripada harga
jual produk Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa)
Legok Nangka. Hal tersebut berhubungan dengan teknologi
yang digunakan dalam menghasilkan produk.
Dengan demikian kesimpulan dalam threat of new entrants adalah
SEDANG.

2) Threat of Subtitues
Dalam aspek threat of subtitues proyek pembangunan Pembangkit
Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka membahas tentang
kekuatan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka
terhadap ancaman produk pengganti yang menawarkan manfaat yang
sama kepada konsumen. Dalam analisis aspek threat of subtitues, kami
menggunakan beberapa variabel dan indikator pada Tabel 3.2 berikut.
Tabel 3.2 Variabel dan Indikator Threat of Subtitues
Variabel Indikator
Produk Pengganti Ada produk pengganti
Tarif Produk Pengganti Tarif produk pengganti lebih murah
Pangsa Pasar Produk Produk pengganti memiliki pangsa pasar
Pengganti yang sama

1. Produk Pengganti
Dalam persaingan industri pembangkitan tenaga listrik,
produk Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok
Nangka memiliki produk pengganti yaitu listrik yang
dihasilkan oleh pembangkit listrik energi lain.
2. Tarif Produk Pengganti
Tarif produk pengganti yaitu listrik yang dihasilkan oleh
pembangkit listrik energi lain memiliki nilai yang lebih murah
dibandingkan dengan tarif produk listrik yang dihasilkan oleh
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka.
6) Pangsa Pasar Produk Pengganti
Produk listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik
energi lain memiliki pangsa pasar yang sama dengan produk
listrik yang dihasilkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga
Sampah (PLTSa) Legok Nangka yaitu PT PLN (Persero).
Dengan demikian kesimpulan dalam threat of new entrants adalah
TINGGI.
3) Bargaining Power of Buyers
Dalam aspek bargaining power of buyers proyek pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka membahas
tentang kekuatan tawar-menawar pembeli terhadap produk yang
dihasilkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok
Nangka. Dalam analisis aspek bargaining power of buyers, kami
menggunakan beberapa variabel dan indikator pada Tabel 3.3 berikut.
Tabel 3.3 Variabel dan Indikator Bargaining Power of Buyers
Variabel Indikator
Pembeli memiliki beberapa pilihan pangsa
Pangsa Pasar Pembeli
pasar
Pembeli memiliki informasi mengenai
Informasi Produk
produk

1. Pangsa Pasar Pembeli


Produk listrik yang dihasilkan oleh Pembangkit Listrik
Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka hanya memiliki
pembeli tunggal yaitu PT PLN (Persero). Sedangkan PT PLN
(Persero) memiliki beberapa pilihan pangsa pasar produk
listrik yaitu berbagai macam pembangkit listrik energi lain.
2. Informasi Produk
PT PLN (Persero) sebagai pembeli tunggal memiliki
informasi tentang produk listrik yang dihasilkan oleh
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka
secara detail.
Dengan demikian kesimpulan dalam threat of new entrants adalah
TINGGI.

4) Bargaining Power of Supplier


Dalam aspek bargaining power of supplier proyek pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka membahas
tentang kekuatan tawar-menawar pemasok terhadap produk yang dibeli
oleh Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka.
Dalam analisis aspek bargaining power of supplier, kami menggunakan
beberapa variabel dan indikator pada Tabel 3.4 berikut.
Tabel 3.4 Variabel dan Indikator Bargaining Power of Supplier
Variabel Indikator
Produk supplier merupakan produk yang
Produk Supplier
penting bagi pembeli
PLTSa Legok Nangka bukan merupakan
Pasar Supplier
pelanggan yang penting bagi supplier

1. Produk Supplier
Supplier terpenting dalam industri Pembangkit Listrik
Tenaga Sampah (PLTSa) Gedebage yaitu supplier mesin yang
digunakan sebagai pengolahan sampah dan supplier bahan
bakar. Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok
Nangka sangat bergantung terhadap pasokan produk supplier
nya.
2. Pasar Supplier
Supplier Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa)
Legok Nangka merupakan supplier yang dominasi produknya
digunakan oleh beberapa perusahaan. Sehingga Pembangkit
Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka bukan
merupakan pelanggan yang penting bagi supplier.
Dengan demikian kesimpulan dalam threat of new entrants adalah
TINGGI.

5) Rivalry Among Competitors


Dalam aspek rivalry among competitors proyek pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka membahas
tentang persaingan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok
Nangka dengan para kompetitornya. Dalam analisis aspek rivalry
among competitors, kami menggunakan beberapa variabel dan indikator
pada Tabel 3.5 berikut.
Tabel 3.5 Variabel dan Indikator Rivalry Among Competitors
Variabel Indikator
PLTSa Legok Nangka memiliki
Jumlah Pesaing
pesaing yang banyak
Diferensiasi Produk Tidak ada perbedaan produk
Biaya Tetap Memiliki biaya tetap yang rendah
Hambatan Pengunduran Hambatan pengunduran diri dari
Diri industri rendah

1. Jumlah Pesaing
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok
Nangka memiliki jumlah pesaing yang banyak yaitu
pembangkit listrik-pembangkit listrik energi lain di Indonesia.
2. Diferensiasi Produk
Produk yang dihasilkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga
Sampah (PLTSa) Legok Nangka dengan pembangkit listrik
energi lain tidak memiliki diferensiasi produk karena sama-
sama menghasilkan listrik.
3. Biaya Tetap
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok
Nangka memiliki biaya tetap yang rendah jika dibandingkan
dengan kompetitornya karena bahan baku utama Pembangkit
Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka berasal dari
sampah se-Bandung Raya dan wilayah kota kabupaten
Bandung, dimana sampah tersebut dihasilkan secara gratis.
4. Hambatan Pengunduran Diri
Hambatan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa)
Legok Nangka dalam pengunduran diri dari industri
pembangkitan tenaga listrik terbilang rendah karena kebutuhan
listrik Indonesia masih tinggi serta Pembangkit Listrik Tenaga
Sampah (PLTSa) Legok Nangka merupakan jawaban atas
penurunan volume sampah kota Bandung dan Kabupaten
Bandung
Dengan demikian kesimpulan dalam threat of new entrants adalah
SEDANG.

3.2 Analisis Internal


Analisis internal merupakan penelaahan untuk mengetahui tingkat daya saing
perusahaan berdasarkan kondisi internal perusahaan. Dalam studi kelayakan
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Legok Nangka ini, metode analisis
internal yang kami gunakan adalah Business Model Canvas yang dijelaskan sebagai
berikut.
3.2.1 Internal Analysis
3.2.1.1 Business Model Project
1) Customer Segments
a. Sampah rumah tangga
b. Sampah instansi (sekolah, hotel, terminal, pelabuhan, kawasan industri,
dan lain-lain).
c. Seluruh wilayah Indonesia
2) Value Proposition
Pengelolaan sampah agar mempunyai nilai tambah sebagai pembangkit
tenaga listrik.
a. Menghasilkan Produk Sampingan yang Dapat Dijual
Teknologi incinerator yang digunakan dalam proses pembakaran
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Gedebage tidak hanya
menghasilkan listrik sebagai produk utamanya, tetapi juga menghasilkan
produk sampingan yang dapat dijual berupa:
i. Debu bawah (bottom ash) atau terak dari sisa pembakaran yang
cukup kering dan bebas dari pembusukan yang dapat digunakan
sebagai bahan pengurug untuk penimbunan lahan kosong, rawa
maupun daerah rendah.
ii. Debu terbang (fly ash) atau sisa pembakaran sampah di tungku
yang dapat digunakan sebagai bahan campuran material
bangunan seperti semen dan batako maupun sebagai material
pengganti pasir.
b. Limbah Pembakaran Tidak Mencemari Lingkungan
Teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Gedebage
dilengkapi dengan pengolahan emisi gas buang dan limbah lainnya
beserta sistem monitoringnya sehingga tidak mencemari lingkungan
sekitarnya. Sistem kendali pembakaran dan sistem pengolahan gas buang
yang digunakan di Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa)
Gedebage menghilangkan secara signifikan dampak-dampak buruk
terhadap lingkungan.
c. Depresiasi Mesin Relatif Lama
Mesin-mesin yang digunakan dalam teknologi incinerator
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Gedebage memiliki masa
depresiasi yang terbilang relatif lama yaitu 15 tahun.

3) Channels
d. Pemerintah
e. Perusahaan Listrik Negara (PLN)
f. Investor Luar Negeri, contohnya Jepang dan Korea
4) Customer Relationship
Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
5) Revenue Streams
a) Penjualan Produk
Penjualan produk Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok
Nangka terdiri dari dua jenis yaitu produk utama dan produk sampingan
yang dijelaskan sebagai berikut.
1. Produk Utama
Produk utama yang dijual oleh Pembangkit Listrik Tenaga
Sampah (PLTSa) Legok Nangka adalah tenaga listrik bertegangan
rendah, menengah dan tinggi yang dijual kepada PT PLN (Persero).
Harga dari produk utama yang dijual oleh Pembangkit Listrik
Tenaga Sampah (PLTSa) Gedebage telah diatur dalam Permen
ESDM Nomor 44 Tahun 2015, yaitu sebesar 18,77 sen USD per
kWh untuk tegangan tinggi dan menengah, serta 22,43 sen USD per
kWh untuk tegangan rendah. Dalam kegiatan operasionalnya
volume sampah yang diproses pada Pembangkit Listrik Tenaga
Sampah (PLTSa) Gedebage sebesar 1.500 ton per hari dengan 5%
total volume sampah akan hilang pada setiap produksinya.
Sehingga volume sampah bersih yang dapat menghasilkan listrik
yaitu sebesar 1.425 ton dimana 1 ton sampah menghasilkan 240
kWh. Jadi, total listrik yang dapat dihasilkan oleh Pembangkit
Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Gedebage adalah 342.000 kWh.
2. Produk Sampingan
Produk sampingan yang dihasilkan oleh pengolahan sampah
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Gedebage terdiri dari
debu bawah (bottom ash) dan debu terbang (fly ash). Jumlah
produksi debu bawah dan debu terbang yang dihasilkan oleh
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Gedebage sebesar 5%
dari berat sampah yang diolah. Sehingga setiap proses produksi,
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Gedebage jumlah
yang diolah adalah 1.500 ton maka jumlah bottom ash dan fly ash
yang dihasilkan adalah 75 ton atau 47,875 m3 per hari. Kami
menggunakan asumsi bahwa bottom ash dan fly ash memiliki
kuantitas yang sama. Konversi debu/rit adalah 8 m3, maka jumlah
bottom ash dan fly ash yang dapat dijual adalah 8 rit per hari.
Penetapan harga penjualan debu disesuaikan dengan penjualan
pasir pasang yaitu per-ritasi (rit) truk, dimana harga pasir pasang
sebesar Rp275.000 per rit.
b) Tipping fee
Tipping fee adalah pendapatan yang diperoleh dari kompensasi yang
diberikan oleh pemerintah pusat/daerah kepada Pembangkit Listrik
Tenaga Sampah (PLTSa) Gedebage sebagai pembayaran jasa dari
pegolahan sampah yang diambil dari biaya pelayanan yang selama ini
dibayarkan masyarakat (retribusi).
Biaya tipping fee Tempat Pengelolaan dan Pemrosesan Akhir Sampah
(TPPAS) Legoknangka yang ditetapkan Pemprov Jawa Barat sebesar Rp
386.000 per/ton mulai 2019 mendatang bakal membebani anggaran
daerah Kota Cimahi. Masyarakat khawatir pelayanan sampah jadi tidak
optimal karena keterbatasan anggaran kerap jadi alasan, dan mereka
berharap pelayanan tidak menurun.
Saat ini, untuk biaya pengangkutan sampah ke TPA Sarimukti Pemkot
Cimahi mengeluarkan anggaran sebesar Rp 4,45 miliar. Sedangkan
estimasi biaya ke TPA Legok Nangka membuat anggaran bengkak
hingga 3 kali lipat yaitu sekitar Rp 14.590.800.000 per tahun.

6) Key Resources
a. Teknologi Dranco
b. Sumber Daya Manusia (SDM)
7) Key Partners
Tempat Penampungan Akhir (TPA) seluruh Indonesia khususnya Kota
Bandung dan Kabupaten Bandung.
8) Key Activities
a. Pemilihan sampah
b. Pembakaran sampah
c. Pemanfataan panas
d. Pemanfaatan abu sisa pembakaran
9) Cost Structure
a. Biaya penjualan sampah ke PLN
b. .Biaya teknologi untuk mengolah sampah
c. Biaya SDM (Gaji Karyawan)
d. Biaya investasi
e. Biaya pemeliharaan
f. Biaya operasional

3.3 Cara Kerja Teknologi Landfill


Teknologi yang digunakan untuk membangkitkan listrik dengan bahan bakar gas
landfill adalah gas engine. Salah satu contoh gas engine yang digunakan adalah tipe
Jenbacher J320 GS. Gas Engine ini adalah mesin yang di impor dari Austria. Proses
yang terjadi pada saat membangkitkan listrik sama halnya dengan mesin pada umumnya.
Namun, Gas Engine ini bisa membangkitkan listrik dengan menggunakan gas landfill
yang mengandung gas CH4,C02, Nitrogen, dan juga O2.
Penggunaan gas dapat digunakan tanpa perlu adanya pemurnian dari gas- gas
tersebut, yang tetap dapat membangkitkan listrik. Namun, gas tersebut harus memiliki
kandungan metan sekitar 27-60%. Atau sekitar 600 m3 per jam untuk dapat
menghasilkan listrik sebesar 1MW.

Gambar 1.1 Teknikal Gas Engine Jenbacher (J320 GS )


(Sumber : Jenbacher gas engine Technical Specification Jenbacher Energy)

Gambar 1.1 menunjukkan spesifikasi teknikal dari gas engine Jenbacher J320 GS.
Jenbacher J320 GS memiliki panjang sebesar 5.700 mm, lebar 1.700 mm, dan tinggi
2.300 mm. Terdapat beberapa penghubung pada genset, yaitu Jacket Water inlet dan
outlet, Exhaust gas outlet, Fuel Gas (at gas train), Intercooler water connection, dan
Low Temperature Circuit.
Selain itu, gambar dari mesin Jenbacher sendiri adalah sebagai berikut:

Gambar 1.2 Gas Engine Jenbacher (J320 GS)


(Lokasi: TPST Bantar Gebang)

Gambar 1.2 menunjukkan bahwa sistem penghubung mesin gas Jenbaher J320 GS
sebagai alat pembangkit listrik berbahan bakar LFG. Dalam membangkitkan listrik, gas
engine bekerja seperti mesin motor bakar yang lainnya. Pada sistem motor bakar
perubahan LFG menjadi energi listrik dilakukan dengan memasukkan LFG kedalam
conversion kit yang berfungi menurunkan tekanan gas dari tabung penyimpanan sesuai
dengan tekanan operasional mesin dan mengatur debit gas yang bercampur dengan
udara didalam mixer, dari mixer LFG bersama dengan udara masuk kedalam mesin dan
terjadilah pembakaran yang akan menghasilkan daya untuk menggerakkan generator
yang mengahasilkan listrik. Motor bakar terdiri dari motor kerja bolak- balik
(reprocating engines), motor bensin (otto) dan motor diesel, dengan sistem 2 tak
maupun 4 tak. Berikut prinsip kerja motor bakar 4 tak pada gas engine:

Gambar 1.3 Prinsip Kerja Motor Bakar

(Sumber : Landfill Gas Energy Technologies Krakow 2010)


A. Intake
Disebut langkah intake karena langkah pertama adalah menghisap
melalui piston dari karburator. Pasokan bahan bakar tidak cukup hanya dari
semprotan karburator. Cara kerjanya adalah sbb. Piston pertama kali berada
di posisi atas (atau disebut Titik Mati Atas). Lalu piston menghisap bahan
bakar yang sudah disetting/dicampur antara bensin dan udara di karburator.
Piston lalu mundur menghisap bahan bakar. Untuk membuka, diperlukan
klep atau valve inlet yang akan membuka pada saat piston turun/menghisap
ke arah bawah.
B. Kompres
Langkah ini adalah lanjutan dari langkah di atas. Setelah piston
mencapai titik terbawah di tahapan intake, lalu valve intake tertutup, dan
dilakukan proses kompresi. Yakni, bahan bakar yang sudah ada di ruang
bakar dimampatkan. Ruangan sudah tertutup rapat karena kedua valve
(intake dan exhaust) tertutup. Proses ini terus berjalan sampai langkah
berikut yakni meledaknya busi di langkah ke 3.
C. Combustion (Pembakaran)
Tahap berikut adalah busi pada titik tertentu akan meledak setelah piston
bergerak mencapai titik mati atas dan mundur beberapa derajat. Jadi, busi tidak
meledak pada saat piston di titik paling atas (disebut titik 0 derajat), tetapi piston
mundur dulu, baru meledak. Hal ini karena untuk menghindari adanya energi
yang terbuang sia-sia karena pada saat piston di titik mati atas, masih ada energi
laten (yang tersimpan akibat dorongan proses kompresi). Jika pada titik 0
derajat busi meledak, bisa jadi piston mundur tetapi mengengkol crankshaft ke
arah belakang. Setelah proses pembakaran, maka piston memiliki
energy untuk mendorong crankshaft yang nantinya akan dialirkan
melalui gearbox dan sproket, rantai, dan terakhir ke roda.
D. Exhaust (Pembuangan)
Langkah terakhir ini dilakukan setelah pembakaran. Piston akibat pembakaran
akan terdorong hingga ke titik yang paling bawah, atau disebut Titik Mati
Bawah. Setelah itu, piston akan mendorong ke depan dan klep exhaust
membuka sementara klep intake tertutup. Oleh karena itu, maka gas buang
akan terdorong masuk ke lubang Exhaust Port (atau kita bilang lubang
sambungan ke knalpot). Dengan demikian, maka kita bisa membuang semua
sisa gas buang akibat pembakaran. Dan setelah bersih kembali, lalu kita akan
masuk lagi mengulangi langkah ke 1 lagi.
Didalam gas engine J320 GS ini, generator tersusun didalamnya sehingga
tidak memerlukan generator lagi. Setelah mengalami proses diatas, motor
bakar kemudian akan memnggerakkan generator. Sehingga energi mekanis
yang dihasilkan oleh generator dapat menghasilkan listrik.
Gambar 1.4 Sistem Pembangkit Listrik Gas Engine
(Sumber: Landfill Gas Energy Technologies, Krakow 2010)

Gambar 1.4 menunjukkan skema dimana gas yang digunakan sebagai sistem
pembangkitan listrik dengan menggunakan Jenbacher berbahan bakar LFG yaitu
melewati sistem pengkompresian dan juga pendinginan. Agar tekanan gas sama dengan
tekanan yang dibutuhkan mesin. Yang kemudian akan menggerakkan generator di dalam
gas engine.

Modifikasi mesin bensin hampir sama dengan mesin disel (di Indonesia genset
berbahan bakar diesel biasa disebut Pembangkit Listrik Tenaga Diesel atau PLTD),
yaitu dengan cara menambah conversion kit dan mixer. Perbedaannya adalah pada mesin
bensin bahan bakar LFG dapat digunakan 100%, hal ini dikarenakan adanya busi
sehingga bahan bakar LFG akan cepat terbakar.

3.4 Teknologi Konversi LFG Untuk Listrik


Dalam pemanfaatan landfill gas ini, dilakukan dengan cara penutupan sampah yang
sudah tertimbun di lahan TPA (Sanitary Landfill Gas Collection). Cara tersebut
digunakan untuk memperoduksi landfill gas (LFG) yang secara alami dibentuk oleh
senyawa organik dengan proses anaerobik. Setelah sampah mencapai ketinggian
tertentu, akan dibangun sanitary landfill gas collection. sanitary landfill gas collection
ini terdiri dari pengeboran sumur gas, pemasangan lapisan geomembran, pemipaan
pengumpul lindi (leachate) dan pemipaan pengumpul gas.
Dalam pembuatan sanitary landfill gas collection, sebelum sampah ditimbun
dikedalaman bagian dasar dari TPA dilapisi juga oleh lapisan geomembran seluas 25497
m2 dan sistem pemipaan leachate sepanjang 585 meter. Ini dihitung berdasarkan pada
kebutuhan TPA Sei Beringin dengan luas lahan sebesar 2,55 Ha. Hal tersebut
difungsikan agar air lindi (leachate) sampah tidak mencemari tanah, sehingga leachate
dapat dikontrol dan diolah sedemikian rupa agar kadar dari pencemaran limbah bisa
dikurangi dan bisa dibuang ke sungai dengan aman.
Selain itu pengeboran sumur gas sendiri digunakan untuk menghisap gas yang sudah
terbentuk melalui proses anaerobik yang kemudian gas-gas tersebut dinaikkan ke atas
dan untuk kemudian dimanfaatkan menjadi bahan baku pembangkit listrik. Untuk
sumur-sumur gas ini 1 sumur gas ditempatkan setiap 1 Acre atau 0,405Ha dengan
kedalaman sepanjang 10 meter. Hal ini dikarenakan tingkat kemampuan smur-sumur gs
tersebut untuk menghisap gas adalah seluas 1 Acre atau 0,405Ha.

Gambar 1.5 Pemasangan Sumur Gas


(Sumber: PT.NOEI)
Gambar 1.5 menunjukkan pemasangan sistem pemipaan pada landfill. Setelah
sumur gas terpasang pada tempatnya, maka kemudian lahan TPA tersebut dilapisi oleh
capping yang terbuat dari geomembran. Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya tentang
fungsi dan kagunaan masing-masing teknologi yang digunakan untuk sanitari landfill
gas collection. Untuk TPA Sei Beringin, Capping dipasang seluas 2,55 Ha. Ini
digunakan sebagai penutup landfill agar gas-gas yang ada didalam landfill tersebut tidak
lepas ke atmosfer atau udara bebas, dan juga untuk menghalangi air yang masuk ke
dalam landfill akibat hujan.
Gambar 1.6 Pemasngan Capping
(Sumber: PT.NOEI)

Gambar 1.6 adalah Pemasangan Capping pada landfill. Setelah dilakukan proses
tersebut, maka dipasang sistem pemipaan untuk gas. Hal ini difungsikan untuk
mengalirkan gas yang diperolah dari landfill untuk kemudian dimanfaatkan untuk
proses selanjutnya yaitu sebagai bahan baku pembangkit lisrik.

Gambar 1.7 Konstruksi Sistem Pemipaan


(Sumber: PT.NOEI)
Gambar 3.4 adalah proses konstruksi sistem pemipaan. Setelah proses pemasangan
semua fasilitas, langkah selanjutnya adalah LFG dialirkan menuju tempat pembangkit
listrik. Sebelum digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik, LFG mengalami
beberapa proses. Berikut adalah proses yang dilakukan untuk menjadikan LFG menjadi
bahan bakarpembangkit listrik.
Gambar 1.8 Aliran Proses Pembangkit Listrik

(Sumber: Green Power International)

Gambar 3.5 menunjukkan aliran proses pembangkit listrik. Setelah dialirkan melalui
pipa-pipa gas tersebut, gas akan masuk ke dalam sistem kondensator atau pemisahan
antara gas landfill dengan air, maka gas-gas landfill yang bergerak dari sistem perpipaan
akan menjadi gas murni yang terdiri dari CH4, CO2, Nitrogen, dan O2. Setelah itu, gas
akan bergerak menuju tempat pembangkitan listrik. Berikut adalah skema pengumpulan
LFG:

Gambar 1.9 Skema Stasiun Pengumpulan LFG


(Sumber: Krakow, Landfill Gas Energy Technologies, 2010)
Untuk mengalirkan gas ke dalam mesin pembangkit melalui pipa, digunakan mesin
yang blower. Mesin ini berfungsi sebagai penghisap gas-gas tersebut agar terus dapat
mengalir dan tidak berhenti. Hal ini dikarenakan, untuk mengambil gas yang berada di
dalam landfill sangat susah dikarenakan landfill.
Setelah proses pemurnian oleh kondensator, maka gas akan melewati mesin chiller
(pendingin) Hal ini dilakukan agar gas tersebut menjadi stabil dan tidak berbahaya,
karena gas yang terkandung adalah gas metana yang dapat meledak apabila memiliki
suhu dan tekanan yang tinggi. Oleh karena itu suhu gas dengan suhu 600C didinginkan
agar tidak terjadi ledakan menjadi suhu sekitar 230-270C. Sehingga gas menjadi aman
untuk melanjutkan proses pembakaran.
Setelah gas tersebut didinginkan, maka proses selanjutnya adalah gas masuk ke
dalam gas engine (pembangkit listrik). Gas engine ini adalah alat yang paling penting
Gambar 3.4 adalah proses konstruksi sistem pemipaan. Setelah proses
Gambar 3.4 adalah proses konstruksi sistem pemipaan. Setelah proses
pemasangan semua fasilitas, langkah selanjutnya adalah LFG dialirkan menuju
pemasangan semua fasilitas, langkah selanjutnya adalah LFG dialirkan menuju
tempat pembangkit listrik. Sebelum digunakan sebagai bahan bakar pembangkit
tempat pembangkit listrik. Sebelum digunakan sebagai bahan bakar pembangkit
listrik, LFG mengalami beberapa proses. Berikut adalah proses yang dilakukan
listrik, LFG mengalami beberapa proses. Berikut adalah proses yang dilakukan
dikarenakan dengan gas engine inilah gas tersebut dimanfaatkan sebagai bahan bakar
pembangkit listrik. Prinsip kerja untuk gas engine sendiri telah dijelaskan pada bab
sebelumnya, dimana terjadi proses pembakaran yang mengakibatkan tenaga gerak.
Udara yang bercampur dengan gas didalam karburator masuk melalui saluran intake ke
ruang pembakaran, pada saat bersamaan melalui percikan bunga api spark plug (busi)
yang kemudian menghasilkan tenaga gerak. Kemudian, tenaga gerak diubah menjadi
tenaga listrik yang akan menghasilkan energi listrik.

Gambar 1.12 Pembangkit Listrik Menggunakan Gas Engine


(Sumber: TPST Bantar Gebang)
Setelah listrik dihasilkan, listrik kemudian dijual kepada PLN. Oleh karena itu, trafo
yang digunakan untuk menyimpan listrik dari LFG, disambungkan dengan sistem yang
ada di PLN. Sehingga, seluruh listrik yang dihasilkan langsung didistribusikan dan di
jual ke PLN
3.5 Luas Tanah yang dibutuhkan
TPA Legok Nangka terletak di kabupaten Bandung, kecamatan Nagreg Provinsi
Jawa Barat. TPA Legok Nangka memiliki luas 12,5 Ha, dimana saat ini 2,55 Ha lahan
digunakan sebagai pengolahan sampah secara timbunan terbuka (Open Dumping). Dan
sebesar 10 Ha disiapkan untuk dapat diterapkan sistem control landfill, dimana sampah
yang ada di TPA akan di control polusi yang dihasilkan oleh sampah yang berupa gas,
dan juga air lindi.

3.6 Sampah yang dibutuhkan


 Skenario 1
Skenario 1 adalah dengan menggunakan komposisi sampah sawit di TPA Legok
Nangka lebih banyak 2 kali lipat dengan sampah kota. Dalam perbandingan
komposisi ini, digunakan asumsi bahwa sampah sawit lebih banyak dibandingkan
sampah kota. Sehingga, nilai k untuk komposisi tersebut adalah
Tabel 3.6 Perhitungan Nilai K Skenario 1 Dalam Model EPA
Perhitungan Nilai k
Karakteristik Persentase Bobot Nilai k
Organic Waste (sisa makanan) 0,3 0,4 0,12
Medium Decay (Tumbuhan,dll) 0,6 0,08 0,048
Slow Decay (Plastik,dll) 0,1 0,02 0,002
Total 0,17
Tabel 1.1 menunjukkan komposisi sampah adalah 30% sampah terurai cepat
(sisa makanan,dll), 60% adalah terurai secara perlahan, (tumbuhan,dll), dan 1%
adalah terurai dengan lambat (plastik,dll).
 Skenario 2
Untuk skenario 2, komposisi ini menggunakan rata-rata kompisisi sesuai dengan
komposisi sampah di kota-kota di Indonesia.
Tabel 3.7 Perhitungan Nilai K Skenario 2 Dalam Model EPA
Perhitungan Nilai k
Karakteristik Persentase Bobot Nilai k
Organic Waste (sisa makanan) 0,58 0,4 0,23
Medium Decay (Tumbuhan,dll) 0,15 0,08 0,01
Slow Decay (Plastik,dll) 0,27 0,02 0,01
Total 0,25

3.6.1 Jumlah sampah yang dibutuhkan secara keseluruhan


Tabel 3.8 Rata-Rata Jumlah Sampah Di TPASa Legok Nangka Per Tahun
Jumlah Sampah di TPA Legok Nangka
Jenis Jumlah Satuan
Sampah Kec. Tembilahan 54283 Mg/Tahun
Sampah Kec. Kempas 28892 Mg/Tahun
Sampah Kec. Mandah 56208 Mg/Tahun
Total 139382 Mg/Tahun

3.7 Berapa watt yang dihasilkan dari sampah ini


Potensi daya listrik yang dihasilkan dengan menggunakan bahan bakar gas
metan di TPA Sei Beringin adalah sebagai berikut:
Tabel 3.9 Potensi Pembangkit Listrik
Skenario 1 Skenario 2
Tahun
kWh MW kWh MW
1 9.000.356 2,50 12.707.430 3,53
2 4.500.178 1,25 6.353.715 1,76
3 3.000.119 0,83 4.235.810 1,18
4 2.250.089 0,63 3.176.857 0,88
5 1.800.071 0,50 2.541.486 0,71
6 1.500.059 0,42 2.117.905 0,59
7 1.285.765 0,36 1.815.347 0,50
8 1.125.044 0,31 1.588.429 0,44
9 1.000.040 0,28 1.411.937 0,39
10 900.036 0,25 1.270.743 0,35
11 818.214 0,23 1.155.221 0,32
12 750.030 0,21 1.058.952 0,29
13 692.335 0,19 977.495 0,27
14 642.883 0,18 907.674 0,25
15 600.024 0,17 847.162 0,24
16 562.522 0,16 794.214 0,22
17 529.433 0,15 747.496 0,21
18 500.020 0,14 705.968 0,20
19 473.703 0,13 668.812 0,19
20 450.018 0,13 635.371 0,18
21
22
23
24
25
26
27
29
30

Dari tabel 1.4 dapat diketahui berapa besar potensi listrik yang dihasilkan.
Pembangkit listrik yang digunakan adalah dengan menggunakan gas engine. Menurut
(Zietsmann, Project Report Prepared for U.S. EPA Methane to Markets Partnership,
2009), kapasitas pembangkit tenaga listrik yang baik dan mungkin untuk dilakukan
adalah sesuai dengan rata-rata 5 tahun pertama yaitu sebesar 1,14MW atau 1140kW
untuk skenario 1, dan 1,61MW atau 1610kW. Hal ini dikarenakan tahun 5 tahun adalah
masa-masa paling produktif dari landfill dalam menghasilkan gas

3.7 Analisis Kelayakan Finansial


Analisis kelayakan finansial adalah alat yang digunakan untuk mengkaji
kemungkinan keuntungan yang diperoleh dari suatu penanaman modal. Dalam
penyusunan analisis kelayakan finansial Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa)
Gedebage, kami menggunakan tiga komponen yaitu:
1. Asumsi Dasar Perhitungan
Biaya-biaya yang termasuk ke dalam asumsi dasar perhitungan Pembangkit
Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka adalah:
a. Pembelian Bahan Baku
Untuk saat ini, Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok
Nangka dalam kegiatan opersionalnya belum memerlukan pengeluaran
biaya untuk pembelian bahan baku dikarenakan bahan baku Pembangkit
Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka yakni sampah, dimana
volume sampah kota se-Bandung Raya adalah 1.500 ton per hari dan
volume sampah yang dibutuhkan untuk kegiatan produksi hanya 1.500 ton
per hari.
b. Biaya Pemeliharaan
Biaya pemeliharaan yang dikeluarkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga
Sampah (PLTSa) Legok Nangka meliputi biaya man power gasification,
maintenance, fuel cost equipment, fuel cost gasification dan biaya lain-lain.
Escalation rate biaya pemeliharaan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
(PLTSa) Legok Nangka sebesar 7,5% setiap tahunnya. Biaya pemeliharaan
dapat dilihat pada tabel 3.6 dan tabel 3.7 berikut.
c. Biaya Penyusutan
Biaya penyusutan yang dikeluarkan oleh Pembangkit Listrik Tenaga
Sampah (PLTSa) Legok Nangka terdapat 9 jenis biaya dalam 2 kelompok
biaya yaitu kelompok biaya equipment dan vehicle. Dalam kelompok biaya
equipment terdapat biaya penyusutan untuk gasification machine (tahun
penyusutan dalam 30 tahun), shredder (tahun penyusutan dalam 10 tahun),
drying (tahun penyusutan dalam 10 tahun), conveyor (tahun penyusutan
dalam 10 tahun) dan metal separator (tahun penyusutan dalam 10 tahun).
Sedangkan dalam kelompok biaya vehicle terdapat biaya penyusutan untuk
dump truck (tahun penyusutan dalam 10 tahun), backhoe (tahun
penyusutan dalam 10 tahun), mobil operasional (tahun penyusutan dalam
10 tahun) dan mobil dinas (tahun penyusutan dalam 10 tahun).
2. Pendapatan
Setiap tahunnya Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka
mendapat pemasukan dari penjualan listrik, penjualan bottom ash, penjualan fly
ash dan tipping fee. Escalation rate untuk pendapatan Pembangkit Listrik Tenaga
Sampah (PLTSa) Legok Nangka sebesar 4% setiap tahunnya.
3. Analisis Biaya
Terdapat tiga jenis biay yang termasuk ke dalam komponen analisis biaya
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka. Ketiga jenis biaya
tersebut adalah:
a. Biaya Investasi
Biaya investasi juga biasa disebut dengan capital expenditure (CAPEX).
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka mengeluarkan
biaya untuk CAPEX sebanyak 4 kali dalam 30 periode yakni pada periode
0, periode 10, periode 20 dan periode 30. CAPEX yang dikeluarkan oleh
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka meliputi
pembelian lahan untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
(PLTSa), pembelian mesin dan pembelian kendaraan operasional
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka.
b. Gaji Pegawai
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka
membedakan gaji pegawai ke dalam 2 macam yaitu gaji untuk pegawai site
office dan gaji untuk pegawai office. Escalation rate dalam gaji pegawai
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka adalah
sebesar 7,5% setiap tahunnya.

3.8 Kelayakan Investasi


Dalam studi kelayakan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka
ini untuk perhitungan kelayakan investasi berdasarkan nilai uang, kriteria investasi yang
kami hitung adalah Net Present Value (NPV), sedangkan untuk perhitungan kelayakan
investasi berdasarkan nilai waktu, kriteria investasi yang kami hitung adalah Break Event
Point (BEP).
a) Perhitungan Net Present Value (NPV)
Net present value (NPV) Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok
Nangka berdasarkan perhitungan income statement dalam 30 periode. Perhitungan
income statement Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka dapat
dilihat pada tabel 3.10, tabel 3.11, tabel 3.12, tabel 3.13, tabel 3.14, dan tabel 3.15
berikut.
Tabel 3.10 Perhitungan Income Statement Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka

KETERANGAN
0 1 2 3 4
sales
Penjualan listrik ke PLN Rp 2.025.000.000.000,00 Rp 2.106.000.000.000,00 Rp 2.190.240.000.000,00 Rp 2.277.849.600.000,00
Typing Fee Rp 386.000,00 Rp 401.440,00 Rp 417.497,60 Rp 434.197,50
Penjualan limbah abu Rp 792.000.000,00 Rp 823.680.000,00 Rp 856.627.200,00 Rp 890.892.288,00
Total Sales Rp 2.025.792.386.000,00 Rp 2.106.824.081.440,00 Rp 2.191.097.044.697,60 Rp 2.278.740.926.485,50
COGS Rp - Rp - Rp - Rp -
gross profit Rp 2.025.792.386.000,00 Rp 2.106.824.081.440,00 Rp 2.191.097.044.697,60 Rp 2.278.740.926.485,50
biaya-biaya operasional
biaya gaji karyawan site office Rp 516.773.747.000,00 Rp 516.773.747.000,00 Rp 516.773.747.000,00 Rp 516.773.747.000,00
biaya gaji karyawan office Rp 62.714.992.086,00 Rp 62.714.992.086,00 Rp 62.714.992.086,00 Rp 62.714.992.086,00
biaya maintenance Rp 10.701.294.994,27 Rp 10.701.294.994,27 Rp 10.701.294.994,27 Rp 10.701.294.994,27
biaya lain-lain Rp 666.650.000,00 Rp 666.650.000,00 Rp 666.650.000,00 Rp 666.650.000,00
total biaya operasional Rp 74.082.937.080,27 Rp 74.082.937.080,27 Rp 74.082.937.080,27 Rp 74.082.937.080,27
EBITDA Rp 1.951.709.448.919,73 Rp 2.032.741.144.359,73 Rp 2.117.014.107.617,33 Rp 2.204.657.989.405,23
akumulasi penyusutan
Gasification Machine Rp 34.630.476.438,67 Rp 34.630.476.438,67 Rp 34.630.476.438,67 Rp 34.630.476.438,67
equipment Rp 2.772.570.684,00 Rp 2.772.570.684,00 Rp 2.772.570.684,00 Rp 2.772.570.684,00
vehicle Rp 348.949.942,70 Rp 348.949.942,70 Rp 348.949.942,70 Rp 348.949.942,70
total akumulasi penyusutan Rp 37.751.997.065,37 Rp 37.751.997.065,37 Rp 37.751.997.065,37 Rp 37.751.997.065,37
EBIT Rp 1.913.957.451.854,36 Rp 1.994.989.147.294,36 Rp 2.079.262.110.551,96 Rp 2.166.905.992.339,87
interest
pajak Rp 151.934.428.950,00 Rp 158.011.806.108,00 Rp 164.332.278.352,32 Rp 170.905.569.486,41
net income Rp 1.762.023.022.904,36 Rp 1.836.977.341.186,36 Rp 1.914.929.832.199,64 Rp 1.996.000.422.853,45

CAPEX 0 1 2 3 4
pembebasan lahan Rp 1.000.000.000,00
Gasification Machine Rp 1.038.914.293.160,00
equipment Rp 27.725.706.840,00
vehicle Rp 3.489.499.427,00
total CAPEX Rp 1.071.129.499.427,00 Rp - Rp - Rp - Rp -
FCF Rp (1.071.129.499.427,00) Rp 1.808.162.640.030,65 Rp 1.883.116.958.312,65 Rp 1.961.069.449.325,93 Rp 2.042.140.039.979,74
cumulatif FCF Rp (1.071.129.499.427,00) Rp 737.033.140.603,65 Rp 2.620.150.098.916,31 Rp 4.581.219.548.242,24 Rp 6.623.359.588.221,98
Diskonto Cash Flow Rp (1.071.129.499.427) Rp695.708.080.615,12 Rp 2.334.566.417.725 Rp 3.853.019.432.888 Rp 5.258.216.450.373
NPV Rp 382.613.823.781.113
maksimal beroperasi tahun ke30
Tabel 3.11 Perhitungan Income Statement Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka (Lanjutan)

KETERANGAN
5 6 7 8 9
sales
Penjualan listrik ke PLN Rp 2.368.963.584.000,00 Rp 2.463.722.127.360,00 Rp 2.562.271.012.454,40 Rp 2.664.761.852.952,58 Rp 2.771.352.327.070,68
Typing Fee Rp 451.565,40 Rp 469.628,02 Rp 488.413,14 Rp 507.949,67 Rp 528.267,65
Penjualan limbah abu Rp 926.527.979,52 Rp 963.589.098,70 Rp 1.002.132.662,65 Rp 1.042.217.969,15 Rp 1.083.906.687,92
Total Sales Rp 2.369.890.563.544,92 Rp 2.464.686.186.086,72 Rp 2.563.273.633.530,19 Rp 2.665.804.578.871,40 Rp 2.772.436.762.026,25
COGS Rp - Rp - Rp - Rp - Rp -
gross profit Rp 2.369.890.563.544,92 Rp 2.464.686.186.086,72 Rp 2.563.273.633.530,19 Rp 2.665.804.578.871,40 Rp 2.772.436.762.026,25
biaya-biaya operasional
biaya gaji karyawan site office Rp 516.773.747.000,00 Rp 516.773.747.000,00 Rp 516.773.747.000,00 Rp 516.773.747.000,00 Rp 516.773.747.000,00
biaya gaji karyawan office Rp 62.714.992.086,00 Rp 62.714.992.086,00 Rp 62.714.992.086,00 Rp 62.714.992.086,00 Rp 62.714.992.086,00
biaya maintenance Rp 10.701.294.994,27 Rp 10.701.294.994,27 Rp 10.701.294.994,27 Rp 10.701.294.994,27 Rp 10.701.294.994,27
biaya lain-lain Rp 666.650.000,00 Rp 666.650.000,00 Rp 666.650.000,00 Rp 666.650.000,00 Rp 666.650.000,00
total biaya operasional Rp 74.082.937.080,27 Rp 74.082.937.080,27 Rp 74.082.937.080,27 Rp 74.082.937.080,27 Rp 74.082.937.080,27
EBITDA Rp 2.295.807.626.464,65 Rp 2.390.603.249.006,45 Rp 2.489.190.696.449,92 Rp 2.591.721.641.791,13 Rp 2.698.353.824.945,98
akumulasi penyusutan
Gasification Machine Rp 34.630.476.438,67 Rp 34.630.476.438,67 Rp 34.630.476.438,67 Rp 34.630.476.438,67 Rp 34.630.476.438,67
equipment Rp 2.772.570.684,00 Rp 2.772.570.684,00 Rp 2.772.570.684,00 Rp 2.772.570.684,00 Rp 2.772.570.684,00
vehicle Rp 348.949.942,70 Rp 348.949.942,70 Rp 348.949.942,70 Rp 348.949.942,70 Rp 348.949.942,70
total akumulasi penyusutan Rp 37.751.997.065,37 Rp 37.751.997.065,37 Rp 37.751.997.065,37 Rp 37.751.997.065,37 Rp 37.751.997.065,37
EBIT Rp 2.258.055.629.399,29 Rp 2.352.851.251.941,08 Rp 2.451.438.699.384,55 Rp 2.553.969.644.725,76 Rp 2.660.601.827.880,62
interest
pajak Rp 177.741.792.265,87 Rp 184.851.463.956,50 Rp 192.245.522.514,76 Rp 199.935.343.415,36 Rp 207.932.757.151,97
net income Rp 2.080.313.837.133,42 Rp 2.167.999.787.984,58 Rp 2.259.193.176.869,79 Rp 2.354.034.301.310,41 Rp 2.452.669.070.728,65

CAPEX 5 6 7 8 9
pembebasan lahan
Gasification Machine
equipment
vehicle
total CAPEX Rp - Rp - Rp - Rp - Rp -
FCF Rp 2.126.453.454.259,71 Rp 2.214.139.405.110,87 Rp 2.305.332.793.996,08 Rp 2.400.173.918.436,70 Rp 2.498.808.687.854,94
cumulatif FCF Rp 8.749.813.042.481,69 Rp 10.963.952.447.592,60 Rp 13.269.285.241.588,60 Rp 15.669.459.160.025,30 Rp 18.168.267.847.880,30
Diskonto Cash Flow Rp 6.556.905.590.665 Rp 7.755.455.882.485 Rp 8.859.878.163.874 Rp 9.875.844.838.455 Rp 10.808.708.549.447
NPV
maksimal beroperasi tahun ke30
Tabel 3.12 Perhitungan Income Statement Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka (Lanjutan)

KETERANGAN
10 11 12 13 14
sales
Penjualan listrik ke PLN Rp 2.882.206.420.153,51 Rp 2.997.494.676.959,65 Rp 3.117.394.464.038,03 Rp 3.242.090.242.599,55 Rp 3.371.773.852.303,54
Typing Fee Rp 549.398,36 Rp 571.374,29 Rp 594.229,27 Rp 617.998,44 Rp 642.718,37
Penjualan limbah abu Rp 1.127.262.955,44 Rp 1.172.353.473,66 Rp 1.219.247.612,60 Rp 1.268.017.517,11 Rp 1.318.738.217,79
Total Sales Rp 2.883.334.232.507,30 Rp 2.998.667.601.807,60 Rp 3.118.614.305.879,90 Rp 3.243.358.878.115,10 Rp 3.373.093.233.239,70
COGS Rp - Rp - Rp - Rp - Rp -
gross profit Rp 2.883.334.232.507,30 Rp 2.998.667.601.807,60 Rp 3.118.614.305.879,90 Rp 3.243.358.878.115,10 Rp 3.373.093.233.239,70
biaya-biaya operasional
biaya gaji karyawan site office Rp 516.773.747.000,00 Rp 516.773.747.000,00 Rp 516.773.747.000,00 Rp 516.773.747.000,00 Rp 516.773.747.000,00
biaya gaji karyawan office Rp 62.714.992.086,00 Rp 62.714.992.086,00 Rp 62.714.992.086,00 Rp 62.714.992.086,00 Rp 62.714.992.086,00
biaya maintenance Rp 10.701.294.994,27 Rp 10.701.294.994,27 Rp 10.701.294.994,27 Rp 10.701.294.994,27 Rp 10.701.294.994,27
biaya lain-lain Rp 666.650.000,00 Rp 666.650.000,00 Rp 666.650.000,00 Rp 666.650.000,00 Rp 666.650.000,00
total biaya operasional Rp 74.082.937.080,27 Rp 74.082.937.080,27 Rp 74.082.937.080,27 Rp 74.082.937.080,27 Rp 74.082.937.080,27
EBITDA Rp 2.809.251.295.427,03 Rp 2.924.584.664.727,33 Rp 3.044.531.368.799,63 Rp 3.169.275.941.034,83 Rp 3.299.010.296.159,43
akumulasi penyusutan
Gasification Machine Rp 34.630.476.438,67 Rp 34.630.476.438,67 Rp 34.630.476.438,67 Rp 34.630.476.438,67 Rp 34.630.476.438,67
equipment Rp 2.772.570.684,00 Rp 2.772.570.684,00 Rp 2.772.570.684,00 Rp 2.772.570.684,00 Rp 2.772.570.684,00
vehicle Rp 348.949.942,70 Rp 348.949.942,70 Rp 348.949.942,70 Rp 348.949.942,70 Rp 348.949.942,70
total akumulasi penyusutan Rp 37.751.997.065,37 Rp 37.751.997.065,37 Rp 37.751.997.065,37 Rp 37.751.997.065,37 Rp 37.751.997.065,37
EBIT Rp 2.771.499.298.361,67 Rp 2.886.832.667.661,96 Rp 3.006.779.371.734,26 Rp 3.131.523.943.969,46 Rp 3.261.258.299.094,06
interest
pajak Rp 216.250.067.438,05 Rp 224.900.070.135,57 Rp 233.896.072.940,99 Rp 243.251.915.858,63 Rp 252.981.992.492,98
net income Rp 2.555.249.230.923,62 Rp 2.661.932.597.526,39 Rp 2.772.883.298.793,27 Rp 2.888.272.028.110,83 Rp 3.008.276.306.601,08

CAPEX 10 11 12 13 14
pembebasan lahan
Gasification Machine
equipment Rp 27.725.706.840,00
vehicle Rp 1.070.129.499.427,00
total CAPEX Rp 1.097.855.206.267,00 Rp - Rp - Rp - Rp -
FCF Rp 1.503.533.641.782,91 Rp 2.708.072.214.652,68 Rp 2.819.022.915.919,56 Rp 2.934.411.645.237,12 Rp 3.054.415.923.727,37
cumulatif FCF Rp 19.671.801.489.663,20 Rp 22.379.873.704.315,90 Rp 25.198.896.620.235,40 Rp 28.133.308.265.472,50 Rp 31.187.724.189.199,90
Diskonto Cash Flow Rp 11.047.002.371.576 Rp 11.863.094.139.672 Rp 12.608.455.837.778 Rp 13.287.436.838.814 Rp 13.904.139.758.122
NPV
maksimal beroperasi tahun ke30
Tabel 3.13 Perhitungan Income Statement Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka (Lanjutan)

KETERANGAN
15 16 17 18 19
sales
Penjualan listrik ke PLN Rp 3.506.644.806.395,68 Rp 3.646.910.598.651,50 Rp 3.792.787.022.597,56 Rp 3.944.498.503.501,47 Rp 4.102.278.443.641,52
Typing Fee Rp 668.427,11 Rp 695.164,19 Rp 722.970,76 Rp 751.889,59 Rp 781.965,17
Penjualan limbah abu Rp 1.371.487.746,50 Rp 1.426.347.256,36 Rp 1.483.401.146,62 Rp 1.542.737.192,48 Rp 1.604.446.680,18
Total Sales Rp 3.508.016.962.569,29 Rp 3.648.337.641.072,06 Rp 3.794.271.146.714,94 Rp 3.946.041.992.583,54 Rp 4.103.883.672.286,88
COGS Rp - Rp - Rp - Rp - Rp -
gross profit Rp 3.508.016.962.569,29 Rp 3.648.337.641.072,06 Rp 3.794.271.146.714,94 Rp 3.946.041.992.583,54 Rp 4.103.883.672.286,88
biaya-biaya operasional
biaya gaji karyawan site office Rp 516.773.747.000,00 Rp 516.773.747.000,00 Rp 516.773.747.000,00 Rp 516.773.747.000,00 Rp 516.773.747.000,00
biaya gaji karyawan office Rp 62.714.992.086,00 Rp 62.714.992.086,00 Rp 62.714.992.086,00 Rp 62.714.992.086,00 Rp 62.714.992.086,00
biaya maintenance Rp 10.701.294.994,27 Rp 10.701.294.994,27 Rp 10.701.294.994,27 Rp 10.701.294.994,27 Rp 10.701.294.994,27
biaya lain-lain Rp 666.650.000,00 Rp 666.650.000,00 Rp 666.650.000,00 Rp 666.650.000,00 Rp 666.650.000,00
total biaya operasional Rp 74.082.937.080,27 Rp 74.082.937.080,27 Rp 74.082.937.080,27 Rp 74.082.937.080,27 Rp 74.082.937.080,27
EBITDA Rp 3.433.934.025.489,02 Rp 3.574.254.703.991,79 Rp 3.720.188.209.634,67 Rp 3.871.959.055.503,27 Rp 4.029.800.735.206,61
akumulasi penyusutan
Gasification Machine Rp 34.630.476.438,67 Rp 34.630.476.438,67 Rp 34.630.476.438,67 Rp 34.630.476.438,67 Rp 34.630.476.438,67
equipment Rp 2.772.570.684,00 Rp 2.772.570.684,00 Rp 2.772.570.684,00 Rp 2.772.570.684,00 Rp 2.772.570.684,00
vehicle Rp 348.949.942,70 Rp 348.949.942,70 Rp 348.949.942,70 Rp 348.949.942,70 Rp 348.949.942,70
total akumulasi penyusutan Rp 37.751.997.065,37 Rp 37.751.997.065,37 Rp 37.751.997.065,37 Rp 37.751.997.065,37 Rp 37.751.997.065,37
EBIT Rp 3.396.182.028.423,65 Rp 3.536.502.706.926,42 Rp 3.682.436.212.569,30 Rp 3.834.207.058.437,90 Rp 3.992.048.738.141,24
interest
pajak Rp 263.101.272.192,70 Rp 273.625.323.080,40 Rp 284.570.336.003,62 Rp 295.953.149.443,77 Rp 307.791.275.421,52
net income Rp 3.133.080.756.230,95 Rp 3.262.877.383.846,02 Rp 3.397.865.876.565,68 Rp 3.538.253.908.994,14 Rp 3.684.257.462.719,73

CAPEX 15 16 17 18 19
pembebasan lahan
Gasification Machine
equipment
vehicle
total CAPEX Rp - Rp - Rp - Rp - Rp -
FCF Rp 3.179.220.373.357,24 Rp 3.309.017.000.972,31 Rp 3.444.005.493.691,97 Rp 3.584.393.526.120,43 Rp 3.730.397.079.846,02
cumulatif FCF Rp 34.366.944.562.557,20 Rp 37.675.961.563.529,50 Rp 41.119.967.057.221,40 Rp 44.704.360.583.341,90 Rp 48.434.757.663.187,90
Diskonto Cash Flow Rp 14.462.434.110.191 Rp 14.965.969.215.939 Rp 15.418.186.401.524 Rp 15.822.330.527.457 Rp 16.181.460.884.645
NPV
maksimal beroperasi tahun ke30
Tabel 3.14 Perhitungan Income Statement Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka (Lanjutan)

KETERANGAN
20 21 22 23 24
sales
Penjualan listrik ke PLN Rp 4.266.369.581.387,19 Rp 4.437.024.364.642,67 Rp 4.614.505.339.228,38 Rp 4.799.085.552.797,52 Rp 4.991.048.974.909,42
Typing Fee Rp 813.243,78 Rp 845.773,53 Rp 879.604,47 Rp 914.788,65 Rp 951.380,20
Penjualan limbah abu Rp 1.668.624.547,39 Rp 1.735.369.529,28 Rp 1.804.784.310,45 Rp 1.876.975.682,87 Rp 1.952.054.710,19
Total Sales Rp 4.268.039.019.178,35 Rp 4.438.760.579.945,49 Rp 4.616.311.003.143,31 Rp 4.800.963.443.269,04 Rp 4.993.001.980.999,80
COGS Rp - Rp - Rp - Rp - Rp -
gross profit Rp 4.268.039.019.178,35 Rp 4.438.760.579.945,49 Rp 4.616.311.003.143,31 Rp 4.800.963.443.269,04 Rp 4.993.001.980.999,80
biaya-biaya operasional
biaya gaji karyawan site office Rp 516.773.747.000,00 Rp 516.773.747.000,00 Rp 516.773.747.000,00 Rp 516.773.747.000,00 Rp 516.773.747.000,00
biaya gaji karyawan office Rp 62.714.992.086,00 Rp 62.714.992.086,00 Rp 62.714.992.086,00 Rp 62.714.992.086,00 Rp 62.714.992.086,00
biaya maintenance Rp 10.701.294.994,27 Rp 10.701.294.994,27 Rp 10.701.294.994,27 Rp 10.701.294.994,27 Rp 10.701.294.994,27
biaya lain-lain Rp 666.650.000,00 Rp 666.650.000,00 Rp 666.650.000,00 Rp 666.650.000,00 Rp 666.650.000,00
total biaya operasional Rp 74.082.937.080,27 Rp 74.082.937.080,27 Rp 74.082.937.080,27 Rp 74.082.937.080,27 Rp 74.082.937.080,27
EBITDA Rp 4.193.956.082.098,08 Rp 4.364.677.642.865,22 Rp 4.542.228.066.063,04 Rp 4.726.880.506.188,77 Rp 4.918.919.043.919,53
akumulasi penyusutan
Gasification Machine Rp 34.630.476.438,67 Rp 34.630.476.438,67 Rp 34.630.476.438,67 Rp 34.630.476.438,67 Rp 34.630.476.438,67
equipment Rp 2.772.570.684,00 Rp 2.772.570.684,00 Rp 2.772.570.684,00 Rp 2.772.570.684,00 Rp 2.772.570.684,00
vehicle Rp 348.949.942,70 Rp 348.949.942,70 Rp 348.949.942,70 Rp 348.949.942,70 Rp 348.949.942,70
total akumulasi penyusutan Rp 37.751.997.065,37 Rp 37.751.997.065,37 Rp 37.751.997.065,37 Rp 37.751.997.065,37 Rp 37.751.997.065,37
EBIT Rp 4.156.204.085.032,72 Rp 4.326.925.645.799,85 Rp 4.504.476.068.997,67 Rp 4.689.128.509.123,41 Rp 4.881.167.046.854,17
interest
pajak Rp 320.102.926.438,38 Rp 332.907.043.495,91 Rp 346.223.325.235,75 Rp 360.072.258.245,18 Rp 374.475.148.574,99
net income Rp 3.836.101.158.594,34 Rp 3.994.018.602.303,94 Rp 4.158.252.743.761,93 Rp 4.329.056.250.878,23 Rp 4.506.691.898.279,18

CAPEX 20 21 22 23 24
pembebasan lahan
Gasification Machine
equipment Rp 27.725.706.840,00
vehicle Rp 1.070.129.499.427,00
total CAPEX Rp 1.097.855.206.267,00 Rp - Rp - Rp - Rp -
FCF Rp 2.784.385.569.453,63 Rp 4.040.158.219.430,23 Rp 4.204.392.360.888,22 Rp 4.375.195.868.004,52 Rp 4.552.831.515.405,47
cumulatif FCF Rp 51.219.143.232.641,50 Rp 55.259.301.452.071,70 Rp 59.463.693.812.960,00 Rp 63.838.889.680.964,50 Rp 68.391.721.196.369,90
Diskonto Cash Flow Rp 16.152.246.640.529 Rp 16.449.248.061.309 Rp 16.708.311.921.829 Rp 16.931.913.734.482 Rp 17.122.386.152.765
NPV
maksimal beroperasi tahun ke30
Tabel 3.15 Perhitungan Income Statement Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka (Lanjutan)

KETERANGAN
25 26 27 28 29 30
sales
Penjualan listrik ke PLN Rp 5.190.690.933.905,79 Rp 5.398.318.571.262,02 Rp 5.614.251.314.112,51 Rp 5.838.821.366.677,01 Rp 6.072.374.221.344,09 Rp 6.315.269.190.197,85
Typing Fee Rp 989.435,41 Rp 1.029.012,82 Rp 1.070.173,34 Rp 1.112.980,27 Rp 1.157.499,48 Rp 1.203.799,46
Penjualan limbah abu Rp 2.030.136.898,59 Rp 2.111.342.374,54 Rp 2.195.796.069,52 Rp 2.283.627.912,30 Rp 2.374.973.028,79 Rp 2.469.971.949,94
Total Sales Rp 5.192.722.060.239,79 Rp 5.400.430.942.649,39 Rp 5.616.448.180.355,36 Rp 5.841.106.107.569,58 Rp 6.074.750.351.872,36 Rp 6.317.740.365.947,25
COGS Rp - Rp - Rp - Rp - Rp - Rp -
gross profit Rp 5.192.722.060.239,79 Rp 5.400.430.942.649,39 Rp 5.616.448.180.355,36 Rp 5.841.106.107.569,58 Rp 6.074.750.351.872,36 Rp 6.317.740.365.947,25
biaya-biaya operasional
biaya gaji karyawan site office Rp 516.773.747.000,00 Rp 516.773.747.000,00 Rp 516.773.747.000,00 Rp 516.773.747.000,00 Rp 516.773.747.000,00 Rp 516.773.747.000,00
biaya gaji karyawan office Rp 62.714.992.086,00 Rp 62.714.992.086,00 Rp 62.714.992.086,00 Rp 62.714.992.086,00 Rp 62.714.992.086,00 Rp 62.714.992.086,00
biaya maintenance Rp 10.701.294.994,27 Rp 10.701.294.994,27 Rp 10.701.294.994,27 Rp 10.701.294.994,27 Rp 10.701.294.994,27 Rp 10.701.294.994,27
biaya lain-lain Rp 666.650.000,00 Rp 666.650.000,00 Rp 666.650.000,00 Rp 666.650.000,00 Rp 666.650.000,00 Rp 666.650.000,00
total biaya operasional Rp 74.082.937.080,27 Rp 74.082.937.080,27 Rp 74.082.937.080,27 Rp 74.082.937.080,27 Rp 74.082.937.080,27 Rp 74.082.937.080,27
EBITDA Rp 5.118.639.123.159,53 Rp 5.326.348.005.569,12 Rp 5.542.365.243.275,09 Rp 5.767.023.170.489,31 Rp 6.000.667.414.792,09 Rp 6.243.657.428.866,99
akumulasi penyusutan
Gasification Machine Rp 34.630.476.438,67 Rp 34.630.476.438,67 Rp 34.630.476.438,67 Rp 34.630.476.438,67 Rp 34.630.476.438,67 Rp 34.630.476.438,67
equipment Rp 2.772.570.684,00 Rp 2.772.570.684,00 Rp 2.772.570.684,00 Rp 2.772.570.684,00 Rp 2.772.570.684,00 Rp 2.772.570.684,00
vehicle Rp 348.949.942,70 Rp 348.949.942,70 Rp 348.949.942,70 Rp 348.949.942,70 Rp 348.949.942,70 Rp 348.949.942,70
total akumulasi penyusutan Rp 37.751.997.065,37 Rp 37.751.997.065,37 Rp 37.751.997.065,37 Rp 37.751.997.065,37 Rp 37.751.997.065,37 Rp 37.751.997.065,37
EBIT Rp 5.080.887.126.094,16 Rp 5.288.596.008.503,75 Rp 5.504.613.246.209,73 Rp 5.729.271.173.423,94 Rp 5.962.915.417.726,72 Rp 6.205.905.431.801,62
interest
pajak Rp 389.454.154.517,99 Rp 405.032.320.698,70 Rp 421.233.613.526,65 Rp 438.082.958.067,72 Rp 455.606.276.390,43 Rp 473.830.527.446,04
net income Rp 4.691.432.971.576,17 Rp 4.883.563.687.805,05 Rp 5.083.379.632.683,07 Rp 5.291.188.215.356,22 Rp 5.507.309.141.336,30 Rp 5.732.074.904.355,58

CAPEX 25 26 27 28 29 30
pembebasan lahan
Gasification Machine Rp 1.038.914.293.160,00
equipment Rp 27.725.706.840,00
vehicle Rp 1.070.129.499.427,00
total CAPEX Rp - Rp - Rp - Rp - Rp - Rp 2.136.769.499.427,00
FCF Rp 4.737.572.588.702,46 Rp 4.929.703.304.931,34 Rp 5.129.519.249.809,36 Rp 5.337.327.832.482,51 Rp 5.553.448.758.462,59 Rp 3.641.445.022.054,86
cumulatif FCF Rp 73.129.293.785.072,40 Rp 78.058.997.090.003,70 Rp 83.188.516.339.813,10 Rp 88.525.844.172.295,60 Rp 94.079.292.930.758,20 Rp 97.720.737.952.813,10
Diskonto Cash Flow Rp 17.281.926.925.465 Rp 17.412.606.413.181 Rp 17.516.374.691.147 Rp 17.595.068.261.045 Rp 17.650.416.393.218 Rp 17.305.640.593.327
NPV
maksimal beroperasi tahun ke30
Berdasarkan hasil perhitungan income statement di atas, net present
value (NPV) dapat dihitung sebagai berikut.
𝑡=0

𝑁𝑃𝑉 = ∑ 𝐷𝐶𝐹
𝑡=30

𝑁𝑃𝑉 =
Net present value (NPV) Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
(PLTSa) Legok Nangka bernilai positif, maka dapat disimpulkan bahwa
proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Legok Nangka
layak untuk dijalankan.
b) Perhitungan Break Event Point (BEP)
Break event point kami hitung berdasarkan nilai cumulative FCFF
pada perhitungan income statement di atas. Berikut adalah perhitungan
nilai break event point (BEP) Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
(PLTSa) Legok Nangka.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai