Anda di halaman 1dari 24

Sub- Tema :

1. Teknologi Terbaru Untuk Keberlanjutan Bendungan


(SMART) MICROGRID SEBAGAI ALTERNATIF SUMBER DAYA
LISTRIK UNTUK MENUNJANG OP BENDUNGAN
Oleh:
Tony Leonard (1), Heri Santoso (2), Muchamad Arifin (3) Waskito (4)

ABSTRAK
Indonesia terletak di daerah tropis yang dilewati oleh garis katulistiwa. Keuntungan letak Indonesia
yang berada di daerah katulistiwa ini salah satunya adalah mendapatkan cahaya matahari
sepanjang tahun. Kondisi ini memungkinkan Indonesia untuk memanfaatkan energi dari cahaya
matahari sebagai sumber energi alternatif, khususnya sebagai sumber energi listrik, dengan
menerapkan teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Sumber daya utama untuk
pembangunan dan pengoperasian sebuah PLTS adalah lahan terbuka untuk menempatkan panel
surya secara permanen dalam jangka waktu setidaknya 25 tahun. Adanya sumber daya lahan ini
merupakan kunci utama keberhasilan program pengembangan PLTS yang sudah dicanangkan dalam
RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) sesuai isi Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2017. Area
Bendungan yang dikelola oleh Kementrian PUPR memiliki beberapa keungggulan yang membuatnya
berpotensi sebagai lokasi untuk membangun dan mengoperasikan PLTS. Namun keberadaan sebuah
PLTS di area bendungan adalah sesuatu yang baru di lingkungan kementrian PUPR, sehingga
diperlukan sebuah kajian terhadap penerapan teknologi PLTS skala kecil di area bendungan. Kajian
tersebut diperlukan untuk mengetahui karakteristik dan kunci keberhasilan dari kegiatan
pembangunan dan pengoperasian sebuah PLTS di area bendungan. Dalam rangka melakukan kajian
tersebut, di Bendungan Jatibarang telah dilaksanakan program pembangunan dan pengoperasian
PLTS 300 kWp di lereng bendungan serta BESS (Battery Energy Storage System) untuk menyimpan
energi listrik dengan kapasitas 753 kWh. Makalah ini akan membahas hasil pengamatan terhadap
pengoperasian PLTS dan BESS tersebut untuk penyediaan energi listrik bendungan. Makalah ini
diharapkan dapat memberikan wawasan dan acuan dalam kegiatan pemanfaatan energi surya di
area bendungan yang lain maupun di lingkungan PUPR pada umumnya.

Semarang, 20 September 2019


SEMINAR NASIONAL BENDUNGAN BESAR 2019
Sub Tema: Penerapan Inovasi Teknologi

1 PENDAHULUAN

1.1 TINJAUAN UMUM


1.1.1 POTENSI ENERGI SURYA DI INDONESIA

Gambar 1 Peta Potensi Energi Surya di Indonesia (Sumber: World Bank)

Menurut data World Bank yang dikumpulkan dari tahun 2007 s.d. 2016, potensi energi surya
tahunan rata-rata di Indonesia berkisar di rentang 1095 kWh/kWp s.d. 1680 kWh/kWp untuk lokasi
yang berbeda. Beberapa lokasi di Indonesia menunjukkan lebih rendah atau lebih tinggi dari batas
bawah atau batas atas rentang tersebut. Variasi potensi energi surya di tiap lokasi digambarkan
dengan gradasi warna yang berbeda, seperti yang dapat dilihat di Gambar 1.

Potensi energi sebesar 1095 kWh/kWp berarti untuk setiap solar panel yang terpasang dengan daya
pembangkitan sebesar 1 kWp (1 kiloWatt peak), berpotensi menghasilkan 1095 kWh (kiloWatt.hour)
per tahun. Apabila diterjemahkan ke dalam periode harian, rentang tersebut berkisar antara 3
kWh/kWp s.d. 4,6 kWh/kWp, yang berarti setiap 1 kWp solar panel terpasang, berpotensi
menghasilkan antara 3 kWh1 s.d 4,6 kWh per hari di daerah yang berbeda.

Dari peta di Gambar 1 sekilas dapat dilihat daerah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara yang terletak di tepi
selatan dari wilayah Indonesia memiliki potensi yang relatif lebih tinggi (warna oranye – ungu) dari
daerah lain di Indonesia. Demikian pula di beberapa daerah di Sulawesi dan Papua. Sedangkan

1
Sebagai gambaran, energi sebesar 3 kWh (kiloWatt.hour) atau 3000 Wh (Watt.hour) adalah energi yang
dapat dipergunakan untuk menghidupkan beban listrik dengan daya 300 Watt selama 10 jam (300 Watt x 10
hour = 3000 Watt.hour), atau beban 150 Watt selama 20 jam (150 Watt x 20 hour = 3000 Watt.hour), atau
beban 125 Watt selama 24 jam (125 Watt x 24 jam = 3000 Watt.hour).

1
SEMINAR NASIONAL BENDUNGAN BESAR 2019
Sub Tema: Penerapan Inovasi Teknologi

luasan daerah yang memiliki potensi energi surya di bawah 3 kWh/kWp (warna hijau) relatif tidak
signifikan.

1.1.2 KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA TENTANG ENERGI SURYA


Dalam Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2014 terkait KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL [1], (Halaman
10, Paragraf 2, Pasal 11), disebutkan bahwa Prioritas Pengembangan Energi Nasional adalah
mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Memaksimalkan pemanfaatan energi terbarukan.


2. Meminimalkan penggunaan minyak bumi.
3. Mengoptimalkan penggunaan gas bumi dan energi baru.
4. Menggunakan batubara sebagai andalan pasokan energi nasional.
5. Menggunakan energi nuklir sebagai alternatif terakhir.

Salah satu sumber energi terbarukan yang dimaksud dalam butir pertama adalah energi surya, yang
peta potensinya dapat dilihat di Gambar 1.
Menindaklanjuti PP No. 79 Tahun 2014 tersebut, telah dikeluarkan Peraturan Presiden No. 22 Tahun
2017 terkait Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) [2], dimana pemerintah menyatakan data
potensi energi surya di tingkat provinsi seperti yang ditunjukkan dalam tabel di
Gambar 2, dengan total potensi daya pembangkitan sebesar 207.898 MWp (~207,9 GWp).

Gambar 2
Data Pontesi Energi Surya per Provinsi di Indonesia. (Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2017, Halaman 77 Tabel 44)

2
SEMINAR NASIONAL BENDUNGAN BESAR 2019
Sub Tema: Penerapan Inovasi Teknologi

Berdasarkan data tersebut dibuat rencana pengembangan energi surya per provinsi hingga tahun
2025 (PerPres 22 Tahun 2017, Hal. 78), disertai dengan 3 (tiga) langkah strategis untuk mencapai
sasaran tersebut, yaitu:

Gambar 3
Langkah Strategis untuk Memanfaatkan Potensi Energi Surya (Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2017, Halaman 79)

1.2 POTENSI AREA BENDUNGAN SEBAGAI LOKASI PLTS


Dalam rangka memanfaatkan potensi energi yang secara alami tersedia di Indonesia dan mendukung
langkah strategis pemerintah terkait RUEN, khususnya dalam hal pemanfaatan potensi energi surya,
Kementrian PUPR, khususnya Balai Bendungan, berpeluang untuk mengambil peranan terkait
langkah strategis pertama, yaitu “memanfaatkan bangunan pemerintah untuk pemanfaatan energi
surya”. Bentuk pemanfaatan energi surya yang dimaksud adalah PLTS, sedangkan bangunan
pemerintah yang terdapat di area bendungan adalah bangunan perkantoran dan konstruksi
bendungan itu sendiri.

1.2.1 KEUNGGULAN AREA BENDUNGAN SEBAGAI LOKASI PLTS


Sumber daya utama yang dibutuhkan untuk membangun sebuah PLTS adalah lahan terbuka dengan
luasan yang cukup untuk menampung panel-panel surya dan area untuk kegiatan pemeliharaan.
Area bendungan memiliki keunggulan utama sebagai lokasi pembangunan PLTS mengingat faktor-
faktor sebagai berikut:
1. Tidak ada lagi persoalan (pembebasan) lahan dan akses menuju lokasi [3], sehingga
pembangunan PLTS dapat dilaksanakan dalam jangka waktu yang relatif lebih cepat dan
terkendali.
2. Area selalu dalam pengawasan, karena bendungan termasuk obyek vital nasional, sehingga
fasilitas PLTS relatif lebih aman dari gangguan pihak-pihak yang berpotensi
mengganggu/merusak.
3. Area relatif terbuka, minim penghalang cahaya matahari, terutama di sekitar area lereng dan
permukaan air, sehingga intensitas energi surya yang ditangkap panel surya menjadi maksimal.

Dengan faktor-faktor keunggulan tersebut, area bendungan sangat potensial untuk menjadi
alternatif lokasi pembangunan PLTS, baik di atap bangunan, di lereng bendungan, maupun di
permukaan air. Apabila potensi ini direalisasikan, maka Kementrian PUPR dapat turut serta
mensukseskan program pemerintah terkait pelaksanaan kebijakan energi nasional.

3
SEMINAR NASIONAL BENDUNGAN BESAR 2019
Sub Tema: Penerapan Inovasi Teknologi

1.2.2 ALTERNATIF CARA PEMBANGUNAN PLTS DI AREA BENDUNGAN


Pembangunan PLTS di area bendungan dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain:

1.2.2.1 Membangun PLTS di Atap Bangunan.


Memanfaatkan energi surya di atap bangunan kantor bendungan memiliki beberap keuntungan,
salah satunya adalah sistem konstruksinya sudah umum, sehingga tidak sulit mencari pelaksananya.
Bahkan dapat dibuat kebijakan bahwa bangunan yang sedang/akan dibangun di area bendungan
dirancang dan dibangun untuk dapat menampung panel surya di atapnya. Tantangan utama yang
akan dihadapi dengan pendekatan ini adalah optimasi antara bentuk dan fungsi atap bangunan
dengan spesifikasi kekuatan atap dan orientasi geografisnya. Berbagai contoh alternatif
pemanfaatan atap sebagai tempat PLTS dapat dilihat di Gambar 4 berikut ini:
Atap carport Atap miring Atap datar

Gambar 4 - Alternatif Pemanfaatan Atap Bangunan untuk PLTS

Jika menggunakan cara ini, maka posisi panel surya harus menyesuaikan bentuk struktur utama atap
serta kapasitasnya akan terbatas oleh kekuatan struktur atap. Selain itu, ada kemungkinan terjadi
kehilangan potensi energi surya akibat adanya kemiringan dan arah orientasi atap yang tidak
optimal.

1.2.2.2 Membangun PLTS di Lereng Bendungan.


Lereng bendungan memberikan beberapa keuntungan sebagai lokasi pemasangan panel surya [4].
Secara teknis dapat dijajagi potensi lereng bendungan yang cocok di bendungan yang sudah/akan
dibangun. Tantangan utama yang akan dihadapi adalah optimasi antara batasan spesifikasi lereng
bendungan dan desain struktur pendukung panel surya. Berbagai contoh pemanfaatan lereng
bendungan untuk PLTS dapat dilihat di Gambar 5.
Heiso Dam – 1 MWp (JPN) Kotani Dam – 5 MWp (JPN) Jatibarang Dam - 0,3 MWp (INA)

Gambar 5 - PLTS di lereng bendungan yang pernah dibangun

4
SEMINAR NASIONAL BENDUNGAN BESAR 2019
Sub Tema: Penerapan Inovasi Teknologi

Jika menggunakan cara ini, maka posisi panel surya harus menyesuaikan dengan kemiringan dan
orientasi lereng bendungan, sehingga terdapat kemungkinan hilangnya potensi energi surya akibat
posisi dan orientasi pemasangan yang kurang optimal [4]. Selain itu, desain dan konstruksi pondasi
harus dibuat sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu stabilitas lereng bendungan, namun
cukup kuat untuk menahan beban panel surya berikut gaya angkat akibat angin yang bertiup di
permukaan lereng.

1.2.2.3 Membangun PLTS di Permukaan Air (Terapung)


Pendekatan ini dapat dilakukan untuk bendungan yang sudah/sedang/akan dibangun. Tantangan
utama yang akan dihadapi adalah optimasi antara variasi kondisi permukaan air dengan spesifikasi
struktur apung yang akan digunakan.
Singapore Reservoir China Reservoir Europe Reservoir - 17 MWp

Gambar 6 PLTS terapung di negara lain

PLTS Terapung adalah pendekatan baru yang memiliki kelebihan dibanding pendekatan
konvensional [5]. Jika menggunakan cara ini, maka posisi panel surya dapat ditempatkan dengan
orientasi dan sudut yang optimal sesuai lokasi geografisnya. Kedekatan panel surya dengan
permukaan air akan membantu menurunkan temperatur sel surya yang akan berdampak positif
terhadap kinerjanya [5]. Diperlukan struktur terapung yang secara khusus dirancang untuk mampu
mengantisipasi dinamika kondisi instalasi di permukaan air [6], terbuat dari bahan ramah lingkungan
(misal HDPE) supaya tidak merusak kualitas air namun tahan paparan sinar matahari sehingga tahan
lama [7].

1.2.3 PLTS UNTUK OPERASI DAN PEMELIHARAAN BENDUNGAN


Tenaga listrik menjadi kebutuhan mendasar untuk pengoperasian bendungan, antara lain untuk
mengoperasikan berbagai peralatan elektrik dan elektronik seperti:
 Alat Perkantoran
 Penerangan Gedung
 Penerangan Lingkungan
 Telemetri & Telekomunikasi
 Motor Penggerak (Pompa)

Pemenuhan kebutuhan tenaga listrik untuk menunjang kegiatan operasi dan pemeliharaan (OP)
bendungan selama ini adalah dari berasal sumber-sumber konvensional antara lain:
 Jaringan PLN
 Jaringan PLN + Diesel Genset (backup operation)
 Diesel Genset (continuous operation)

5
SEMINAR NASIONAL BENDUNGAN BESAR 2019
Sub Tema: Penerapan Inovasi Teknologi

 PLTA

Untuk bendungan di daerah yang terjangkau oleh jaringan PLN. Menggunakan PLN menjadi pilihan
utama. Demi meningkatkan kehandalan sistem, kebanyakan bendungan yang sudah tersambung ke
PLN tetap menggunakan Diesel Genset sebagai cadangan (backup). Sedangkan untuk daerah yang
tidak terjangkau PLN, selama ini Diesel Genset menjadi satu-satunya pilihan yang tersedia. Dalam
kasus seperti ini, PLTS dapat dipertimbangkan sebagai sumber energi utama untuk mengurangi/
menggantikan pemakaian bahan bakar minyak.
Khusus untuk bendungan yang dikerjasamakan dengan mitra swasta untuk PLTA, maka pasokan
listrik bisa didapat dari PLTA yang dikelola oleh mitra tersebut. Namun demikian, tidak semua
bendungan layak untuk dijadikan PLTA, atau realisasi pembangunan PLTA tesebut kadang
membutuhkan proses yang cukup lama sementara bendungan sudah harus beroperasi. Dalam kasus
seperti ini PLTS dapat dipertimbangkan menjadi alternatif sumber energi listrik untuk operasi dan
pemeliharaan bendungan.

1.2.4 KEBUTUHAN LAHAN UNTUK PLTS


Kebutuhan lahan untuk PLTS dapat didekati dengan mencari korelasi antara total daya
pembangkitan yang dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan energi harian (kWp) dan daya
pembangkitan per meter persegi (kWp/m2).

Gambar 7 di bawah ini adalah spesifikasi tipikal panel surya berbahan dasar monocrystalline yang
umum ada di pasaran, memiliki ukuran panjang 1,640 m, lebar 0,992 m (luas = 1,63 m2) dengan daya
pembangkitan2 sebesar 290 Wp.

2
Solar panel dalam contoh ini memiliki efisiensi konversi energi sebesar 17,8%, Makin tinggi efisiensi sebuah
solar panel, makin kecil luas area yang dibutuhkan untuk menghasilkan daya pembangkitan yang sama. Saat ini
di pasaran sudah banyak solar panel teknologi terbaru dengan efisiensi di atas 20%. Namun sebagai referensi
dalam makalah ini diambil contoh spesifikasi yang lebih umum.

6
SEMINAR NASIONAL BENDUNGAN BESAR 2019
Sub Tema: Penerapan Inovasi Teknologi

Gambar 7 Tipikal dimensi solar panel

Dari contoh tersebut, bisa didapat koefisien pembangkitan per area sebesar: 290 Wp / 1,63 m2 =
178 Wp/m2. Artinya, untuk setiap 1 kWp (1000 Wp) PLTS, dibutuhkan lahan untuk penempatan
panel surya seluas: 1000/178 = 5,62 m2.

Dengan koefisien hasil pendekatan tersebut, maka untuk setiap instalasi PLTS 100 kWp (100.000
Wp), dibutuhkan lahan efektif untuk panel surya sebesar 100 x 5,62 = 562 m2. Dengan memasukkan
kebutuhan area untuk pemeliharaan sebesar maksimum 20%, maka total kebutuhan area menjadi
berkisar di 675 m2. PLTS 100 kWp tersebut apabila dipasang di daerah dengan potensi rata-rata
harian 3,2 kWh/kWp (daerah berwarna kuning di Gambar 1), akan menghasilkan rata-rata 320 kWh
per hari. Dengan pendekatan ini, dapat diperkirakan apakah tersedia cukup lahan di area bendungan
untuk membangun PLTS yang diinginkan.

Sebagai contoh, apabila sebuah bendungan membutuhkan energi rata-rata sebesar 640 kWh per
hari, maka dengan pendekatan di atas bisa diperkirakan kapasitas PLTS yang dibutuhkan adalah
sebesar 200 kWp dengan kebutuhan lahan sekitar 1350 m2. Setelah mengetahui kebutuhan luasan
lahan, selanjutnya dapat diputuskan apakah lahan (seluas 1350 m2) tersebut akan disediakan di atap
bangunan, di lereng bendungan, atau terapung di permukaan air. Tentu akan diperlukan kajian
teknis yang lebih mendalam dan terperinci untuk setiap kasus. Namun untuk estimasi dengan cepat,
pendekatan semacam ini bisa digunakan.

1.3 STUDI PLTS LERENG BENDUNGAN JATIBARANG


Pada tahun 2017 telah dibangun PLTS di area solar inverter yang beroperasi dalam mode
lereng bendungan Jatibarang dengan ON-Grid. PLTS tersebut diperkirakan akan
kapasitas 304,2 kWp. PLTS tersebut terdiri
dari 936 x 325 Wp panel surya dan 6 x 50 kW

7
SEMINAR NASIONAL BENDUNGAN BESAR 2019
Sub Tema: Penerapan Inovasi Teknologi

menghasilkan energi rata-rata3 291,27 MWh


per tahun.

Pada akhir tahun 2018 telah disediakan pula


BESS (Battery Energy Storage System) dengan
kapasitas total 753 kWh4, untuk menampung
produksi energi listrik yang tidak langsung
terpakai di siang hari, sehingga bisa dipakai
untuk kebutuhan bendungan di malam hari.

Gambar 8 - PLTS Jatibarang di bulan April 2019

3
Hasil simulasi software dengan data meteorologi
umum untuk lokasi Semarang.
4
BESS terdiri dari Unit #1 sebesar 411 kWh dan
Unit #2 sebesar 343 kWh.

8
SEMINAR NASIONAL BENDUNGAN BESAR 2019
Sub Tema: Penerapan Inovasi Teknologi

PLTS dan BESS tersebut secara bersama-sama dirancang untuk dapat mencukupi kebutuhan energi
listrik untuk operasi dan pemeliharaan bendungan siang dan malam, dengan jatah energi sebesar
600 kWh per hari. Walaupun demikian, sebelum sepenuhnya mandiri, PLTS dan BESS akan
dioperasikan secara parallel dengan jala-jala PLN (mode On-Grid), untuk mengamati pola aliran
energi harian serta mengkonfirmasi kapasitas produksi, kapasitas penyimpanan, performansi dan
keamanannya.

Dalam makalah ini akan dibahas hasil studi terhadap pola operasi PLTS dan BESS Jatibarang beserta
identifikasi persoalannya baik yang berupa potensi risiko maupun yang sudah terjadi. Tujuan studi ini
adalah untuk menghasilkan rekomendasi terkait pemanfaatan energi surya untuk keperluan operasi
dan pemeliharaan bendungan. Dengan adanya studi ini diharapkan PLTS Jatibarang dapat menjadi
salah satu acuan terkait kebijakan pemanfaatan energi surya dalam lingkup kementrian PUPR,
khususnya di lokasi embung, waduk maupun bendungan.

9
SEMINAR NASIONAL BENDUNGAN BESAR 2019
Sub Tema: Penerapan Inovasi Teknologi

2 STUDI DAN PEMBAHASAN

2.1 SISTEM KELISTRIKAN JATIBARANG


Dengan adanya PLTS dan BESS, maka sistem kelistrikan di Bendungan Jatibarang menjadi seperti
yang dijelaskan seperti dalam Gambar 9.

Gambar 9 Sistem Kelistrikan Bendungan Jatibarang

No. Nama Subsistem Fungsi Utama Simbol

1 EMS (Energy Management System) Mengendalikan Pola Aliran Energi

2 BESS (Battery Energy Storage System) Menyimpan Energi Listrik

3 Controller PLTS Mengendalikan Output PLTS

4 PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) Memasok Listrik 380 VAC 3Fasa

5 ATS (Automatic Transfer Switch) Memutus/Menyambung Sirkuit Utama

6 Grid (Jala Jala PLN) Memasok Listrik 380 VAC 3Fasa

7 DG (Diesel Genset) Pembangkit Listrik Cadangan

8 Beban Listrik Beban

Dalam makalah ini akan dibahas hasil pengamatan terhadap kinerja sistem Jatibarang pada tahun
2019, setelah PLTS dan BESS beroperasi secara terintegrasi dalam mode operasi OFF-Grid (Mandiri).
Di dalam makalah ini, PLTS dan ESS yang terintegrasi ini akan kita sebut sebagai MICROGRID.

10
SEMINAR NASIONAL BENDUNGAN BESAR 2019
Sub Tema: Penerapan Inovasi Teknologi

2.2 SKENARIO OPERASI STANDAR


Microgrid dioperasikan di mode Dual-Mode, di mana Microgrid dapat beroperasi di mode OFF-Grid
maupun ON-Grid5 dan berpindah mode secara otomatis untuk menyesuaikan dinamika kondisi
aktual. Prioritas operasi ditetapkan di mode OFF-Grid, yang berarti Microgrid akan sedapat mungkin
beroperasi secara mandiri tanpa tersambung PLN. Hanya jika benar-benar diperlukan, Microgrid
akan berubah mode operasi menjadi ON-Grid dan beroperasi paralel dengan jaringan PLN.
Ketika beroperasi di mode OFF-Grid, mode kendali yang berjalan adalah “PV Breaker Control”, di
mana sistem akan memutus MCCB (Molded Case Circuit Breaker) PLTS sehingga PLTS berhenti
beroperasi. Pemutusan PLTS ini wajib dilakukan ketika ESS sudah “penuh” supaya ESS tidak
mengalami kondisi “overcharge”. Kriteria overcharge ditentukan sesuai pertimbangan operasional
dan rekomendasi pabrikan ESS, yang dalam kasus Jatibarang ini batas amannya adalah di SOC (State
of Charge) = 95%.
Ketika beroperasi di mode ON-Grid, mode kendali yang berjalan adalah “PCC Control” 6, di mana
sistem akan membatasi daya yang diambil dari PLN supaya bertahan di angka tertentu (sesuai
setting). Dengan skema ini, maka konsumsi dari PLN dapat atur sesuai besaran yang diinginkan.
Dalam studi ini daya yang dikonsumsi dari PLN dibatasi 2 kW. Ketika mode ini dijalankan, EMS akan
selalu memantau daya yang keluar dari jalur PLN. Apabila daya yang dikonsumsi dari PLN
menyimpang dari 2 kW, maka BESS akan mengkompensasinya, sehingga daya dari PLN kembali ke
angka 2 kW, tidak lebih dan tidak kurang. Sistem diatur supaya mengkonsumsi PLN sebesar 2 kW
(alih-alih 0 kW) supaya dalam catatan dan grafik operasi, bisa diperlihatkan kinerja sistem kendali
dalam mengatur bauran energi antara PLTS, BESS dan Grid (PLN). Pada kondisi operasi yang
sesungguhnya, konsumsi daya dari PLN ini dapat diatur di posisi 0 kW sehingga sistem akan
mengatur untuk tidak mengkonsumsi daya PLN sama sekali.
Kapasitas output PLTS dibatasi 2 x 50 kW ( = 100 kW), lebih kecil dari kapasitas trafo eksisting yang
terpasang di bendungan7, yaitu sebesar 131 kVA. Dengan kapasitas 100 kW ini, produksi PLTS
diperkirakan mencapai rata-rata tahunan sebesar 262 kWh 8 per hari. Sesuai pola pergerakan
matahari, posisi matahari di bulan Maret sudah berada di titik Equinox9 dan sedang bergerak menuju
titik Solstice Utara. Posisi matahari yang sedang menuju ke posisi Solstice Utara seperti ini akan
menghasilkan radiasi yang nilainya di atas rata-rata tahunan, mengingat permukaan panel surya di
lereng bendungan Jatibarang miring ke arah utara.

5
Mode Operasi OFF-Grid adalah mode operasi di mana PLTS beroperasi secara terputus dari jala-jala PLN.
Kebalikan dari mode operasi OFF-Grid adalah mode operasi ON-Grid, di mana Microgrid beroperasi dalam
keadaan tersambung dan sinkron dengan Grid (PLN).
6
PCC singkatan dari Point of Common Coupling, yaitu titik sambungan antara sistem kelistrikan internal di
lokasi milik pelanggan dengan jala-jala (grid) milik PLN.
7
Tujuan pembatasan ini adalah untuk keamanan jala-jala PLN ketika Microgrid beroperasi di mode ON-Grid,
mengantisipasi kondisi dimana energi listrik untuk beban sudah tercukupi dan BESS sudah penuh sehingga
kelebihan energi dari PLTS otomatis disalurkan ke jala-jala PLN. Pembatasan seperti ini menjamin kelebihan
energi PLTS tidak akan melebihi kapasitas trafo terpasang.
8
Software simulasi menghasilkan estimasi produktivitas rata-rata harian di 2,62 kWh/kWp.
9
Equinox adalah posisi matahari ketika melintasi garis katulistiwa. Solstice adalah posisi matahari ketika
berada di titik terjauh dari katulistiwa. Setiap tahun terjadi dua kali Equinox dan dua kali Solstice (Utara &
Selatan).

11
SEMINAR NASIONAL BENDUNGAN BESAR 2019
Sub Tema: Penerapan Inovasi Teknologi

2.3 SUMBER DATA DAN PENGAMATAN


Pengamatan dilakukan melalui sistem monitoring PLTS dan BESS. Sistem monitoring tersebut
mengukur langsung parameter operasi di perangkat aktif PLTS dan BESS seperti Tegangan, Frekuensi,
Arus, Daya Aktif, Daya Reaktif, Power Factor, dsb. baik di sisi PLTS, BESS, PLN maupun Beban.
Dari sistem monitoring ini bisa didapat data real-time maupun historis untuk mengetahui apa yang
sedang atau sudah terjadi di sistem dan disajikan dalam bentuk grafik maupun tabel harian,
mingguan, bulanan dan tahunan.
Dalam rangka mendapatkan data untuk memberi gambaran menyeluruh mengenai mode ON-Grid,
sistem Microgrid Jatibarang dioperasikan secara khusus dalam mode operasi ON-Grid murni (bukan
Dual-Mode) selama 3 bulan berturut-turut, yaitu selama April s.d. Juni 2019. Di bulan Juli 2019,
mode operasi dikembalikan ke Dual Mode dengan Prioritas OFF-Grid.

2.4 POLA PRODUKSI ENERGI DI MODE ON-GRID

Gambar 10 - Pola Produksi Energi di Bulan April 2019

12
SEMINAR NASIONAL BENDUNGAN BESAR 2019
Sub Tema: Penerapan Inovasi Teknologi

Gambar 11 - Pola Produksi Energi di Bulan Mei 2019

Dari Gambar 10 dan Gambar 11 dapat diamati produksi energi di bulan April dan Mei 2019. Produksi
energi selama bulan April adalah 13.165 kWh, dengan rata-rata harian (dibagi 30 hari) menjadi 439
kWh per hari, sedangkan produksi energi total sampai tanggal 31 Mei adalah 15.099 KWh, dengan
rata-rata harian (dibagi 31 hari) sebesar: 487 kWh. Ada beberapa hari dimana terjadi gangguan yang
menyebabkan produksi di bawah 260 kWh per hari. Sedangkan di hari-hari yang lain, tingkat
produksi melebihi batasan 260 kWh, dengan produksi tertinggi di bulan April mencapai 576 kWh dan
produksi tertinggi di bulan Mei mencapai angka 558 KWh. Berikut ini pola produksi energi harian
untuk kedua titik tertinggi tersebut:

576 kWh 558 kWh


Gambar 12 – Produksi Energi tertinggi di bulan April dan Mei 2019

Dari data harian terlihat adanya volume produksi energi yang lebih rendah dari rata-rata. Hal ini
disebabkan oleh berbagai faktor gangguan operasi, antara lain: Kegiatan Maintenance, Pemadaman
PLN, dan cuaca berawan.

13
SEMINAR NASIONAL BENDUNGAN BESAR 2019
Sub Tema: Penerapan Inovasi Teknologi

2.5 POLA PRODUKSI ENERGI DI MODE OFF-GRID

Gambar 13 – Pola Produksi Energi di bulan Juli 2019

Gambar 14 – Pola Produksi Energi di Bulan Agustus 2019

Dari Gambar 13 dan Gambar 14 dapat diamati produksi energi di bulan Juli dan Agustus 2019.
Produksi energi selama bulan Juli adalah 13.652 kWh, dengan rata-rata harian (dibagi 31 hari)
menjadi 440 kWh per hari, sedangkan produksi energi total sampai tanggal 31 Agustus adalah 15.027
KWh, dengan rata-rata harian (dibagi 31 hari) sebesar: 485 kWh. Ditemukan satu hari di bulan Juli
dimana dimana produksi di bawah 260 kWh per hari, disebabkan faktor cuaca. Sedangkan sepanjang
bulan Agustus tingkat produksi selalu melebihi batasan 260 kWh. Produksi tertinggi di bulan Juli

14
SEMINAR NASIONAL BENDUNGAN BESAR 2019
Sub Tema: Penerapan Inovasi Teknologi

mencapai 561 kWh dan produksi tertinggi di bulan Agustus mencapai angka 573 KWh. Berikut ini
pola produksi energi harian untuk kedua titik tertinggi tersebut:

561 kWh 573 kWh


Gambar 15 – Produksi Energi tertinggi di bulan Juli dan Agustus 2019

Di Gambar 15 sisi kiri, terlihat bentuk kurva yang terpotong vertikal. Bentuk seperti ini terjadi karena
di sekitar jam 15.00, kapasitas ESS sudah terisi penuh, sehingga mekanisme PV Breaker Control
secara otomatis menghentikan produksi PLTS dengan memutus MCCB terkait.

2.6 POLA KONSUMI ENERGI


Pola konsumsi energi di bendungan belum dapat dipantau secara langsung, karena belum ada
instrumen khusus untuk mengukur dan mencatat beban secara otomatis. Walaupun demikian, pola
konsumsi energi dapat teramati secara tidak langsung. Karakteristik beban cenderung sama dari hari
ke hari, dengan daya beban siang cenderung konstan di kisaran 8 kW, dan beban malam cenderung
konstan di kisaran 27 kW. Batas perubahan antara pola beban siang dan malam terjadi di sekitar jam
18.00 ketika lampu-lampu PJU dinyalakan, sedangkan perubahan antara pola beban malam ke beban
siang terjadi di jam 06.00 ketika lampu-lampu PJU dipadamkan. Terdapat variasi pembebanan yang
terjadi baik di siang hari maupun malam hari yang disebabkan oleh aktivasi beban (pompa / AC)
secara periodik, namun variasi ini tidak berlangsung lama dan besarnya tidak signifikan. Pola
konsumsi tersebut dapat digambarkan sbb.:

Gambar 16 – Pola Konsumsi Harian selama 24 jam (Ilustrasi)

Dengan pola konsumsi energi harian seperti ini, kebutuhan energi per hari diperkirakan berkisar di
angka (12h x 8kW) + (12h x 27 kW) = 420 kWh. Pada kenyataannya, konsumsi energi ini tidak akan
sama setiap harinya, tergantung dari aktivitas pengguna yang terjadi. Pola konsumsi harian dapat
dipantau lebih akurat apabila sistem distribusi beban mulai dari MDP s.d. SDP dilengkapi dengan
alat-alat ukur online yang selalu mengirimkan hasil pengukuran secara periodik ke sebuah pusat data
lokal sehingga data yang terkumpul bisa menggambarkan kondisi pembebanan yang sebenarnya.

15
SEMINAR NASIONAL BENDUNGAN BESAR 2019
Sub Tema: Penerapan Inovasi Teknologi

2.7 DINAMIKA ALIRAN ENERGI


Pola aliran energi ini dinamis, mengikuti kondisi aktual yang terjadi. Walaupun demikian, aliran
energi tersebut memiliki pola yang cenderung mirip untuk setiap harinya. Berikut ini adalah
gambaran dinamika aliran energi di mode operasi ON-Grid dan OFF Grid.

2.7.1 Pola aliran energi di mode ON-Grid

Gambar 17 – Pola Aliran Energi dalam 24 jam di mode ON-Grid

Gambar 17 adalah gambaran dinamika aliran energi aktual yang tercatat di tanggal 25 Juni 2019
ketika sistem beroperasi di mode ON-Grid, memperlihatkan dinamika aliran energi antara PLTS, ESS
dan PLN.

Antara jam 00.00 s.d. 06.00: beban malam cenderung konstan di kisaran 20 kW. Energi untuk beban
dipasok dari PLN yang dibatasi di kisaran 2 kW dan sisanya dipasok oleh BESS. Mendekati jam 06.00
mulai terlihat penurunan konsumsi energi dari BESS (label A) karena matahari mulai terbit dan PLTS
berproduksi, sehingga sebagian beban mulai ditanggung oleh PLTS.

Antara jam 06.30 s.d. 12.00: Beban lampu PJU mulai padam dan PLTS mulai memproduksi energi
setara dengan beban selain lampu, terjadi kesetimbangan antara beban total dan produksi total dari
PLTS (label B). Di titik ini, BESS berhenti memasok energi. Beberapa menit kemudian terjadi surplus
aliran energi dari PLTS yang langsung diserap oleh BESS untuk disimpan dalam batere, sebagai
pengganti energi yang terpakai sepanjang malam. Semakin siang, surplus ini akan membesar (atau
mengecil) sesuai dinamika cuaca di siang hari.

Antara jam 12.00 s.d. 16.00: Kondisi BESS sudah mencapai titik penuh, sehingga tidak lagi mampu
menampung surplus produksi energi dari PLTS (label C). Di kondisi ini, secara gradual surplus energi
dari PLTS disalurkan (diekspor) ke jala-jala PLN dan energi yang dimasukkan ke BESS dikurangi,
sampai akhirnya seluruh surplus energi dari PLTS disalurkan ke jala-jala PLN dan BESS berhenti
menerima energi dari PLTS (label D). Kondisi expor surplus energi ke PLN ini akan berlangsung terus
hingga tercapai titik kesetimabangan antara produksi PLTS dengan konsumsi total (label E).

Antara jam 16.00 s.d. 17.30: produksi PLTS mulai berkurang, sedangkan beban siang masih sama,
sehingga BESS mulai mengeluarkan energinya untuk menutupi kekurangan energi dari PLTS. Semakin
mendekati jam 17.30 peranan BESS memasok energi mulai membesar sampai akhirnya matahari
terbenam dan PLTS berhenti berproduksi.

16
SEMINAR NASIONAL BENDUNGAN BESAR 2019
Sub Tema: Penerapan Inovasi Teknologi

Antara jam 17.30 s.d. 00.00: Pada jam 17.30, seluruh lampu PJU sudah beroperasi bersama dengan
beban lainnya sedangkan PLTS sudah berhenti berproduksi. Di kondisi ini seluruh beban listrik
ditanggung oleh PLN sebesar 2 kW dan sisanya oleh BESS (label F). Kondisi ini berlangsung terus
hingga jam 00.00. Setelah itu siklus pun berulang kembali.

2.7.2 Pola aliran energi di mode OFF-Grid

Gambar 18 – Pola Aliran Energi dalam 24 jam di mode OFF-Grid

Gambar 18 adalah gambaran dinamika aliran energi aktual yang tercatat di tanggal 7 Juli 2019 ketika
sistem beroperasi di mode OFF-Grid, memperlihatkan dinamika aliran energi antara PLTS dan BESS.

Antara jam 00.00 s.d. 06.00: beban malam cenderung konstan10 di kisaran 25 kW. Energi untuk
beban dipasok sepenuhnya dari BESS. Mendekati jam 06.00 mulai terlihat penurunan konsumsi
energi dari BESS (label A) karena matahari mulai terbit dan PLTS berproduksi, sehingga sebagian
beban mulai ditanggung oleh PLTS.

Antara jam 06.30 s.d. 12.00: Beban lampu PJU mulai padam dan PLTS mulai memproduksi energi
setara dengan beban selain lampu, terjadi kesetimbangan antara beban total dan produksi total dari
PLTS (label B). Di titik ini, BESS berhenti memasok energi. Beberapa menit kemudian terjadi surplus
aliran energi dari PLTS yang langsung diserap oleh BESS untuk disimpan dalam batere, sebagai
pengganti energi yang terpakai sepanjang malam. Semakin siang, surplus ini akan membesar (atau
mengecil) sesuai dinamika cuaca di siang hari.

Antara jam 12.00 s.d. 17.30: Kondisi BESS sudah mencapai titik penuh, sehingga tidak lagi mampu
menampung produksi energi dari PLTS. Di kondisi ini, sistem kendali Microgrid secara otomatis akan
menghentikan produksi PLTS sehingga BESS berhenti menerima energi dari PLTS dan mulai bekerja
memasok energi secara mandiri untuk beban siang di kisaran 8 kW (label C). Kondisi ini berlangsung
terus hingga jam 17.00 dimana lampu PJU mulai beroperasi (label D).

Antara jam 17.30 s.d. 00.00: Pada jam 17.30, seluruh lampu PJU sudah beroperasi bersama dengan
beban lainnya membentuk beban malam di kisaran 25 KW. Di kondisi ini seluruh beban listrik
ditanggung sepenuhnya oleh BESS hingga jam 00.00. Setelah itu siklus pun berulang kembali.

10
Catatan untuk pengelola: Beban malam cenderung konstan setiap hari, walaupun demikian teramati adanya
peningkatan beban malam dari bulan ke bulan. Peningkatan beban ini bisa dianggap wajar apabila memang
direncanakan dan diketahui oleh pengelola. Sebaliknya, jika pengelola tidak mencatat adanya rencana atau
aktivitas penambahan beban, maka peningkatan beban yang teramati perlu ditelusuri lebih lanjut.

17
SEMINAR NASIONAL BENDUNGAN BESAR 2019
Sub Tema: Penerapan Inovasi Teknologi

2.8 TANTANGAN PEMBANGUNAN PLTS DI LERENG BENDUNGAN


Tantangan pembangunan PLTS di lereng bendungan adalah pada penentuan tipe konstruksi yang
akan dipergunakan sebagai infastruktur pendukung panel-panel surya. Tantangan berikutnya adalah
pada teknik pemasangannya, di mana kegiatan tersebut adalah tidak boleh mengganggu stabilitas
lereng. Mengingat syarat tersebut, metode kerja menggunakan alat-alat berat menjadi kurang tepat
untuk diterapkan, sehingga alternatifnya adalah metode kerja manual menggunakan SDM (padat
karya).

Gambar 19 - Pekerja Konstruksi PLTS Lereng Bendungan di Jepang

2.9 TANTANGAN OPERASI DAN PEMELIHARAAN MICROGRID


Pembangunan sebuah Microgrid di area bendungan pada akhirnya mengharuskan pihak bendungan
menjalankan sendiri kegiatan pengoperasian dan pemeliharaannya. Hal ini menimbulkan tantangan
tersendiri bagi staf dan karyawan di bendungan Jatibarang, mengingat banyaknya parameter operasi
yang terkait. Walaupun demikian, dengan pelatihan dan praktek yang cukup, tantangan ini dapat
diatasi oleh tim bendungan Jatibarang.

Smart Microgrid dapat dipantau melalui satu monitor di ruangan pusat pengendali, serta dapat
dipantau melalui internet (apabila tersedia). Sistem monitoring seperti ini memudahkan koordinasi
dalam pengoperasian banyak Microgrid di lokasi yang berbeda. Dengan demikian staff lokal dapat
didukung oleh staff pusat dalam mengoperasikan dan memeliharanya.

Sedangkan kegiatan perawatan fisik yang secara aktual perlu dilakukan secara periodik oleh staff
lokal antara lain:

1. Pembersihan area panel surya dari vegetasi: 1 bulan sekali


2. Pemeriksaan sambungan fisik kabel AC dan DC: 1 bulan sekali
3. Pembersihan permukaan panel surya dari debu: 1 tahun sekali

2.10 POTENSI GANGGUAN OPERASI PLTS


Gangguan berat yang dapat menghentikan produksi energi PLTS Jatibarang adalah Sambaran Petir
(Force Major), sedangkan gangguan-gangguan ringan yang mungkin terjadi dan mengurangi produksi
energi PLTS Jatibarang adalah:

1. Gangguan Jaringan PLN (hanya di mode operasi ON-Grid)


2. Gangguan Kegiatan Pemeliharaan
3. Gangguan Cuaca (Hujan Berkepanjangan)

18
SEMINAR NASIONAL BENDUNGAN BESAR 2019
Sub Tema: Penerapan Inovasi Teknologi

Dari segi frekuensi kejadiannya, gangguan terhadap PLTS dapat digolongkan menjadi gangguan
insidentil (kurang dari sepuluh kali dalam setahun) dan gangguan rutin (minimal sekali dalam
sebulan).

Gangguan insidentil yang ditemukan selama masa operasi dan pemeliharaan antara lain:

1. Sambaran Petir. Dalam setahun (2018) terjadi dua kali gangguan sambaran petir.
Penggantian komponen dan perbaikan sistem proteksi petir telah mengembalikan PLTS ke
kondisi normal.
2. Gangguan Monyet Ekor Panjang (MEP). Dalam setahun, terdapat satu kasus gangguan ringan
pada kabel PV (1000 Volt DC) akibat aktivitas MEP di area panel surya. Walaupun demikian
gangguan ini tidak pernah sampai menghentikan operasi PLTS maupun membunuh MEP.

Gangguan rutin yang ditemukan selama masa operasi dan pemeliharaan antara lain:

1. PLN Blackout (padam). Kejadian padamnya jala-jala PLN (grid) menyebabkan padamnya
PLTS. Hal ini bukanlah suatu kesalahan, melainkan karakteristik PLTS ON-Grid11. Ketika
beroperasi di mode OFF-Grid, gangguan jenis ini tidak pernah terjadi.
2. Pemborosan Beban Reaktif. Sistem monitoring BESS mendeteksi adanya beban reaktif (kVar)
yang nilainya relatif lebih besar dari beban aktif (kWatt), terjadi di malam hari dengan
besaran mencapai 25 kVar, di saat beban aktif mencapai 19,5 kWatt. Beban reaktif ini adalah
suatu bentuk pemborosan (rugi-rugi) energi. Dengan adanya beban reaktif tersebut, laju
pemakaian energi dari BESS di malam hari lebih cepat dari perkiraan semula. Karena terjadi
di malam hari, besar kemungkinan beban reaktif ini terkait dengan infrastruktur penerangan
jalan umum (PJU). Walaupun demikian, persoalan ini tidak sampai menghentikan operasi
PLTS.

Berikut ini adalah contoh gambaran pola produksi energi harian ketika PLTS mengalami gangguan
ringan oleh berbagai jenis penyebab:

Gangguan Jaringan PLN Gangguan Cuaca

Gangguan Jaringan PLN dan Cuaca Gangguan Kegiatan Pemeliharaan

11
PLTS “ON-Grid” wajib mengikuti status Grid dengan aturan sebagai berikut: Jika Grid hidup, PLTS boleh
hidup, sedangkan jika Grid mati, maka PLTS harus mati. Aturan ini berlaku juga untuk BESS yang beroperasi
dalam mode ON-Grid. Perilaku ini adalah standar wajib (IEEE 929-2000) untuk sistem yg bekerja secara On-
Grid.

19
SEMINAR NASIONAL BENDUNGAN BESAR 2019
Sub Tema: Penerapan Inovasi Teknologi

Gangguan akibat Perubahan Setting Gangguan akibat Hujan Lebat sejak jam 14.00

3 CATATAN

3.1 CATATAN TENTANG MANAJEMEN ENERGI


Produksi rata-rata PLTS harian di antara posisi Equinox Maret (2,67 KWh/kWp) melebihi estimasi
software (2,62 kWh/kWp) dengan selisih yang tidak terlalu besar. Dengan demikian, produktivitas
rata-rata di kondisi antara Equinox dan Solstice Selatan (Januari) kemungkinan akan berada di bawah
rata-rata 2,62 KWh/kWp. Hal ini perlu diperhatikan pada saat perencanaan penambahan beban.

Dari contoh produksi PLTS tertinggi di bulan April 2019 (Gambar 12 sisi kanan) daya output
maksimum untuk kapasitas operasi 100 kWp mencapai angka 88,91 kW. Hal ini berarti rasio kinerja
PLTS di hari tersebut berada di 88,91% dari kapasitas terpasang, dengan selisih 11,09%. Selisih ini
bervariasi setiap hari dan akan mengecil ketika matahari semakin mengarah ke utara dengan angka
terkecil diprediksi terjadi di bulan Juni (titik Solstice Utara). Rasio kinerja ini adalah karakteristik dari
desain instalasi PLTS di lereng bendungan Jatibarang, dimana lokasinya berada selatan katulistiwa
dan kemiringannya mencapai 30 derajat ke arah utara, yang menyebabkan PLTS akan berproduksi
tertinggi di sekitar bulan Juni, dan terendah di sekitar bulan Desember. Walaupun di periode antara
Equinox dan Solstice Utara diyakini produksi energi berlebih, perencanaan pembebanan harus
dilakukan berdasarkan estimasi produksi energi di kondisi terburuk (worst case), yaitu ketika
matahari berada di posisi sekitar Solstice Selatan (November – Desember – Januari).

Pola konsumsi energi yang cenderung konstan dan pola produksi PLTS yang cenderung fluktuatif,
dapat diatasi menggunakan BESS. BESS menampung produksi energi dari PLTS yang berpola
fluktuatif, menyimpannya, kemudian menyalurkannya ke beban dengan pola yang konstan maupun
fluktuatif, baik siang maupun malam hari sesuai dengan dinamika beban. Kapasitas PLTS 300 kWp
dengan rasio kinerja di 95% (maksimum) akan menghasilkan produksi rata-rata harian di 747 kWh
per hari. Kapasitas BESS sebesar 753 kWh sudah sesuai untuk menampung produktivitas energi dari
PLTS tersebut. Untuk memaksimalkan energi yang bisa disimpan ketika rasio kinerja PLTS di atas
rata-rata (bulan Maret – September), kapasitas BESS ini masih dapat ditingkatkan hingga maksimum
~1 MWh.

Kelebihan produksi energi dari PLTS perlu disalurkan. Dalam kasus PLTS Jatibarang yang beroperasi
di mode ON-Grid, kelebihan produksi dapat disalurkan ke jala-jala (grid) PLN. Apabila PLTS dan BESS
beroperasi mandiri dalam mode OFF-Grid (terlepas dari PLN), tidak ada lagi saluran pembuangan,
sehingga kelebihan ini hanya bisa ditampung oleh BESS. Supaya BESS tidak mengalami keadaan
“overcharged”, perlu sistem kendali BESS-PLTS yang terintegrasi supaya produksi PLTS bisa
dikurangi.

20
SEMINAR NASIONAL BENDUNGAN BESAR 2019
Sub Tema: Penerapan Inovasi Teknologi

3.2 CATATAN TENTANG DESAIN DAN INSTALASI PLTS


Instalasi PLTS di lereng bendungan diuntungkan dengan kondisi di mana lahan (lereng) relatif sudah
siap digunakan, sehingga tidak lagi diperlukan persiapan dan pengkondisian tanah. Namun demikian
kondisi lereng dengan kemiringan mencapai 30 derajat menambah tingkat kesulitan instalasi. Perlu
kajian lebih lanjut untuk melihat perbandingan antara PLTS di lereng bendungan dengan PLTS di atap
maupun terapung.

Lokasi lereng bendungan Jatibarang terpisah dengan lokasi rumah panel/genset/trafo dengan jarak
yang cukup signifikan (sekitar 500 meter) sehingga membutuhkan instalasi kabel transmisi tegangan
rendah (400 VAC 3 fasa) untuk menyalurkan output PLTS. Hal ini menjadi salah satu konsekuensi dari
pemasangan PLTS di lereng bendungan Jatibarang. Walaupun demikian, kebutuhan ini belum tentu
ditemui di lokasi lain sehingga tidak bisa dijadikan sebagai acuan umum dalam perencanaan PLTS
untuk lokasi lain.

3.3 CATATAN TENTANG OPERASI DAN PEMELIHARAAN PLTS


Operasi dan pemeliharaan PLTS Jatibarang cenderung mudah karena tidak mengandung komponen
mekanikal yang bergerak. Tantangan utama adalah di pembersihan panel surya sesuai luas
terpasang. Di kasus PLTS Jatibarang kondisi panel surya relatif selalu bersih dari debu karena
kemiringan yang curam dan adanya hujan, sehingga frekuensi kegiatan pembersihan panel surya
menjadi minimal.

PLTS dan BESS membutuhkan sistem kendali, di mana sistem kendali ini membutuhkan infrastruktur
komunikasi data. Mengingat bendungan juga memiliki instrumen-instrumen lain (misal: telemetri,
komputer kantor, dll.) yang membutuhkan infrastruktur komunikasi data, maka kebutuhan ini perlu
dipenuhi dalam satu manajemen yang terintegrasi.

Risiko gangguan utama terhadap operasi dan pemeliharaan PLTS adalah sambaran petir. Risiko ini
sangat spesifik terkait data frekuensi sambaran petir di lokasi masing-masing, sehingga karakteristik
di lokasi bendungan Jatibarang tidak bisa dijadikan referensi untuk lokasi lain. Walaupun demikian,
risiko ini dapat diatasi dengan menyediakan suku cadang utama dan sistem penangkal petir sesuai
standar dan ketentuan umum terkait instalasi penangkal petir.

Risiko lain adalah gangguan dari makhluk hidup seperti Monyet Ekor Panjang (MEP) dan manusia.
Risiko terkait MEP adalah spesifik terdapat di lokasi bendungan Jatibarang dan belum tentu terdapat
di lokasi lain, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai acuan untuk perencanaan di lokasi lain.
Sedangkan risiko terkait ganguan manusia, adalah risiko umum yang sudah pasti ada di setiap
instalasi apapun, sehingga dapat dikelola sesuai pedoman umum (sistem keamanan OBVIT) yang
berlaku.

4 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1 KESIMPULAN
 Area bendungan memiliki beberapa keunggulan sebagai lokasi PLTS sehingga memungkinkan
pemilihan PLTS sebagai alternatif sumber energi untuk kebutuhan internal bendungan yang
mendukung kebijakan pemerintah terhadap pengembangan Energi Terbarukan, khususnya di
daerah yang memiliki potensi energi surya berlimpah.

21
SEMINAR NASIONAL BENDUNGAN BESAR 2019
Sub Tema: Penerapan Inovasi Teknologi

 Karakteristik beban kelistrikan di bendungan yang cenderung konstan sangat menguntungkan


dari sudut pandang perencanan dan manajemen energi, karena besaran konsumsi energi yang
terprediksi akan memudahkan perencanaan kapasitas dan manajemen energi pada masa
operasi.
 Tantangan terkait operasi dan pemeliharaan sebuah PLTS dan BESS masih masuk dalam
kapasitas dan kompetensi para staf dan karyawan bendungan Jatibarang setelah dibekali dengan
pelatihan dan peralatan yang tepat.

4.2 REKOMENDASI
 Melakukan koordinasi dengan kementrian lain (misal: Kementrian ESDM) untuk menjajagi
peluang menerapkan teknologi PLTS di area bendungan dengan metode alternatif lainnya (misal:
PLTS Terapung) dengan skala kapasitas minimal untuk memenuhi kebutuhan lokal bendungan
sendiri.
 Menaikkan manfaat PLTS di bendungan Jatibarang, dengan melakukan perbaikan terhadap
beban-beban yang menimbulkan pemborosan energi dalam bentuk beban reaktif (kVar),
sehingga kapasitas PLTS dan BESS dapat dialokasikan untuk beban aktif (kWatt) yang lebih
bermanfaat.
 Mengoperasikan BESS dan PLTS Jatibarang sebagai sistem mandiri (OFF-Grid) setelah dilakukan
verifikasi terhadap keseimbangan produksi dan konsumsi energi melalui pengamatan selama
beberapa waktu, khususnya ketika matahari berada di posisi paling selatan (Solstice Selatan).
 Mengintegrasikan sistem BESS dan PLTS Jatibarang dengan Diesel Genset sebagai sumber energi
cadangan (backup), dengan pola pengoperasian secara otomatis.
 Melakukan pembagian beban menjadi beban prioritas tinggi dan beban prioritas rendah dalam
rangka menerapkan teknik “load shedding”, sehingga ketika terjadi kekurangan produksi energi,
sistem kendali dapat memutus jalur beban yang dianggap prioritas rendah guna
mempertahankan pasokan daya listrik untuk beban yang dianggap prioritas tinggi (misal:
instrumen pengukuran).

5 DAFTAR PUSTAKA

[1] Presiden Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 79 Tahun 2014
Tentang KEBIJAKAN ENERGI NASIONAL. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Tahun 2014
No. 300, Jakarta: Kementrian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2014.

[2] Presiden Republik Indonesia, Peraturan Presiden No. 22 Tahun 2017 Tentang RENCANA UMUM
ENERGI NASIONAL. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Tahun 2017 No. 43, Jakarta:
Kementrian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2017.

[3] I. Kougias, K. Bodis, A. Jager-Waldau, F. Monforti-Ferrario dan S. Szabo, “The Potential of Water
Infrastructure to Accommodate Solar PV Systems in Mediterranian Islands,” 2016.

22
SEMINAR NASIONAL BENDUNGAN BESAR 2019
Sub Tema: Penerapan Inovasi Teknologi

[4] I. Kougias, K. Bodis, A. Jager-Waldau, F. Monforti-Ferrario dan S. Szabo, “Exploiting Existing Dams
for Solar PV System Installation,” Progress in Photovoltaics Research and Applications, February
2016.

[5] S. K, “SWOT analysis of floating solar plants,” MOJ Solar and Photoenergy Systems, vol. 3, no. 1,
pp. 20-22, 2019.

[6] P. (. Sujay S, W. M.M. dan S. N.N., “A Review on Floating Solar Photovoltaic Power Plants,”
International Journal of Scientific & Engineering Research, vol. 8, no. 6, p. 789, 2017.

[7] A. K. Sahu dan K. Sudhakar, “Effect of UV exposureon bimodal HDPE floats for floating solar
application,” Journal of Material Research and Technology, p. 10, 2017.

23

Anda mungkin juga menyukai