dan radikalisme , Islam liberalisme , Islam dan sekulerisme , Islam dan demokrasi
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Studi Islam
Dosen Pengampu:
Disusun oleh:
Puji dan syukur kami ungkapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah yang telah dilimpahkan-Nya kepada kita, sehingga makalah ini dapat kami
selesaikan dengan baik yang membahas tentang Pengajaran Al Qur’an. Selanjutnya,
Shalawat dan salam kami sanjungkan kepada Rasulullah SAW dan para sahabat
beliau yang telah membimbing dan mengajarkan ummat manusia dari kebodohan
menuju ke zaman penuh ilmu pengetahuan ini. Kami berterima kasih kepada Ibu
Farida Isroani, S. Pd. I, M. Pd ., selaku dosen mata kuliah Pengantar Studi Islam yang
telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu kami. Kami menyadari bahwa masih banyak kesalahan dalam Menyusun
makalah ini, baik dari segi EYD, kosa kata, tata bahasa, etika maupun isi. Oleh
karenanya kami sebagai penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca untuk kami jadikan sebagai bahan evaluasi. Semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan bagi para pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................2
C. Tujuan Pembahasan Masalah........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................3
A. Isu- isu kontemporer dunia dalam islam .....................................................................3
B. islam dan fundamentalisme.............................................................................................
C. islam liberalisme...........................................................................................................5
D. islam dan skularisme… ……………………………… …………………………….5
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rumusan Masalah
1
B. Tujuan Pembahasan Masalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
Isu-isu global kontemporer adalah isu yang berkembang serta meluas setelah Perang
Dingin berakhir pada era 1990-an.• Pengertian mengenai isu-isu global kontemporer terkait
erat dengan sifat dari isu-isu tsb yangtidak lagi didominasi oleh hubungan Timur-Barat,
seperti, ancaman perang nuklir, persaingan ideologi antara Demokrasi-Liberal dan Marxisme-
Leninisme, diplomasi krisis, dsb.
Masyarakat internasional kini dihadapkan pada isu - isu global yang terkait dengan
“TatananDunia Baru” (New World Order). Isu2 mengenai persoalan2 kesejahteraan ini
berhubungan dengan Human Security antara negara2 maju (developed) dengan negara2
berkembang(developing countries) serta masalah lingkungan.
Isu - isu global kontemporer merupakan isu yang lahir sebagai bentuk baru ancaman
keamananyang mengalami transformasi sejak berakhirnya Perang Dingin menjadi suatu
“Agenda GlobalBaru” (New Global Agenda).
Transformasi ini erat kaitannya dengan makin besarnya perhatian dunia terhadap
bentuk baru ancaman tsb, terutama pasca tragedi 11 September 2001.
Ancaman dalam bentuk baru ini bukan berupa “serangan militer” yg dilakukan oleh
suatu negara terhadap negara lain tetapi tindakan kejahatan yang dilakukan oleh non-state
actor danditujukan kepada state actor maupun individu atau warga negara yang mengancam
keamananumat manusia (Human Security).
Bagi negara2 Dunia Ketiga, isu-isu yg terkait dgn ancaman keamanan dalam bentuk baru
(Human Security) ini merupakan “ancaman keamanan yang nyata” karena memiliki
relevansidengan kondisi domestik Negara2 Dunia Ketiga yg masih disibukkan oleh berbagai
persoalan mengenai:
3. Ketidakpastian politik,
4. Krisis ekonomi,
3
5. Masalah konflik di wilayah perbatasan,
1. Nonkonvensional,
2. Nontradisional,
3. Nonmiliter,
4. Multidimensional, dan
5. Transnasional.
Berkembangnya isu - isu global merupakan akibat dari perkembangan ancaman dan
berbagai persoalan kontemporer yang bersifat nonkonvensional, multidimensional, maupuntr
ansnasional tsb.
Dengan demikian, isu - isu global kontemporer dengan sifat2 utamanya tsb telah
mengalamitransformasi yang menggeser persepsi mengenai ancaman keamanan yang
bersifatkonvensional.
Berbeda dengan isu - isu global kontemporer yang berkembang setelah Perang
Dingin berakhir, ancaman keamanan konvensional sebelumnya telah mendominasi is -
isu politikinternasional selama era Perang Dingin dengan hanya berorientasi terhadap
ancaman militer atau perluasan ideologis dari persaingan dua negara adidaya dalam sistem
internasional.
1. Degradasi lingkungan,
2. Kesejahteraan ekonomi,
4
4. Migrasi penduduk.
• Karakterisitik isu - isu global kontemporer sbg ancaman keamanan nontradisional adalah:
2. Isu global kontemporer tidak terfokus pada suatu lokasi geografis ttt saja.
Berdasarkankarakter geografisnya, isu-isu ini sering kali sulit “dikenali” karena sifatnya yg
melewati batas - batas antarnegara hingga batas-batas regional (transnasional).
3. Isu-isu global kontemporer tidak dapat dihadapi hanya dgn kekuatan militer
semata.Memang kekuatan militer dapat digunakan dalam eskalasi yang mengarah pada
konflik bersenjata. Akan tetapi, kekuatan militer pada jangka panjang tak dapat lagi
digunakan secaraefektif untuk mengatasi ancaman isu-isu global tsb.
5
ini umat Islam karena benturan aliran keyakinan tersebut. Kaum fundamentalis ingin
kembali ke dasar dan menekankan kembali aspek "fundamental" dari tradisi Kristen, suatu
tradisi yang mereka definisikan sebagai pemberlakuan penafsiran harfiah terhadap kitab
suci serta penerimaan doktrin-doktrin inti tertentu (Rakhmat, 2008)
Sehingga dapat diartikan bahwa fundamentalisme Islam adalah suatu aliran pemikiran
didalam agama Islam yang cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid dan
literalis yang cenderung menolak pandangan-pandangan yang bertentangan dengan
pandangan golongan kaum fundamentalis.
C. Islam Liberalisme
6
1. Liberal-Progresif
Tipologi liberal progresif disini lebih merujuk pada perhatian iontelektual muslim
terhadap kultural yang ada, baik dalam politik maupun keagamaan, mengenai keadilan
sosial, keadilan gender, dan plurasime. Omit safi menyatakan kesulitannya ketika harus
menerjemahkan istilah muslim progresif atau musl;im liberal, sebab sebagian besar
intelektualyang dirujuk dalam tulisannya juga menolak disebut sebagai intelektual liberal
karena dianggap berkonotasi negative. Sekalipun demikian, pemaknaan kata liberal progresif
disini sebenarnya lebih diarahkan kepada pemaknaan tentang adannya reformasi (perubahan)
yang diarahkan pada pemahaman atasa islam. Dengan isltilah liberal progresif lenih
dekat dengan istilah yang digunakan oelh Hasan Hanafi dalam Kiri islam-nya, yaitu
melakukan transformasi masyarakat
Ada tiga aspek yang dapat dilihat daro pola pemikiran islam yang yang
bercorak liberal-progresif yang bersifat akomodatif-kritis. Pertama, islam tidak boleh
berdiri sendiri, sehingga memperhadapkan islam dengan negara. Dalam hal ini pancasila tidak
boleh dipertentangkan dengan islam. Pandangan ini didasarkan pada pemahaman religi•
politik bahwa tiap sila dalam pancasila sejalan dengan ajaran-ajaran ahama islam.
Oleh karena itu, dalam pandangan kelompok ini, tidak penting dan tidak ada alasan bagi
para pendukung islam politik untuk meragukan keabsahan Indonesia yang didasarkan
dengan idiologi non• agama (Pancasila). Sebagai implikasi dari pemahaman tersebut, aktifis
Islam politik tidak diharuskan memperjaangkan islam sebagai dasar Negara untuk
mengganti Pancasila.
2. Liberal-Radikal
7
Karakteristik yang dimiliki kaum intelektual muslim liberal dalam menyikapi norma
agama islam umum tidak terlalu memperhatikan norma keagamaan. Bagi mereka
persoalan ibadah diserahkan setiap individu. Beberapa feminis yang tergolong liberal
radikal, tidak pernah menyebutkan dirinya adalah Ruhaini Dzuyatin, Budi
Munawar Rachman, dan Nasruddin Umar. Gagasan dan karya mereka selalu berupaya
membongkar dominasi• hegemoni laki-laki atas kaum perempuan dalam tafsir kitab suci
D.DinamikaSekularisme
Pengertian istilah sekularisme yang baru ini dikenal dinegara – Negara Muslim,
umumnya ,ketika orang-orang Eropa berhasil menaklukan bangsa bangsa Muslim melalui
proses kolonialisme (Hudaeri,2016). Pemerintah colonial Belanda yang berhasil menaklukan
kekuasaan kerajaan dan kesultanan yang ada diNusantara melalui kekuatan militerisme,
kemudian mengenalkan dan menerapkan system kekuasaannya pada masyarakat Nusantara
seperti system kekuasaan yang telah berkembang dinegeri Eropa, yakni system sekular.
Namun demikian bukan berarti bahwa dibangsa-bangsa Muslim sebelumnya tidak ada
8
sesuatu yang dianggap sekular, tetapi munculnya suatu kesadaran ada entitas secular yang
menjadi dasar kesadaran berpikir dalam menata kehidupan beriringan dengan terjadi
perubahan politik. Munculnya kesadaran baru tersebut membuat institusi hukum, etika dan
otoritas keagamaan mengalami transformasi.
Munculnya pengertian baru tentang sekular, pada akhirnya juga mempengaruhi para pemikir
Eropa dalam memahami agama, moralitas, hukum, politik dan bidang• bidang kehidupan
lainnya. Proses kesejarahan yang berbeda tersebut memunculkan juga tanggapan yang
berbeda pula dalam memahami system kekuasan baru tersebut, antara para pemikir di Eropa
dengan para pemikir Muslim Indonesia.
1. Pengertian Radikalisme
Kata radikalisme berasal dari bahasa Inggris berakar dari kata radix berarti akar atau angka
pokok.Menurut Poerwodarminto, radikal artinya hilang sampai ke akar-akarnya. Atau, haluan
politik yang amat keras, menurut perubahan undangundang ketatanegaraan dan
sebagainya.Menurut Komaruddin, radikalisme berasal dari bahasa Latin radix yang berarti
akar, kaki atau dasar. Radikalisme berarti suatu paham yang menginginkan pembaharuan atau
perubahan sosial dan politik dengan ekstrem dan drastik hingga keakarnya.
Berangkat dari beberapa pendapat tersebut dapat dilihat suatu rumusan bahwa radikalisme
adalah suatu pergerakan yang mengandung beberapa unsur pelaku, yaitu seseorang yang
9
melakukannya objek, yaitu arah yang ingin dicapai pergerakannya, materi yaitu berupa
ideologi atau gagasan, tempat yaitu di mana ruang pergerakan itu terjadi, dan waktu yaitu
kesempatan pada saat tertentu pergerakan itu muncul. Enam unsur ini merupakan faktor yang
menjadikan suatu pergerakan radikalisme dapat terjadi.
Adapun radikalisme dalam Islam dapat diartikan sebagai suatu pergerakan berupa suatu
pergerakan untuk menggantikan atau merubah ideologi lama menjadi ideologi baru yang
muncul pada internal Islam. Ini dipengaruhi oleh pemahaman terhadap ajaran Islam itu
sendiri dan pengaruh dari eksternal Islam yang menjadi stimulus sehingga terjadi interaksi
sosial sehingga mengakibatkan pergerakan radikal.
Ada tiga aspek yang dapat dilihat dari pola pemikiran islam yabg bercorak liberal-progresif
yang bersifat akomodafit-kritis. Pertama, islam tidak boleh berdiri sendiri, sehingga
memperhadapkan islam dengan negara. Dalam hal ini pancasila tidak boleh bertentangan
dengan islam. Pandangan ini didasarkan pada pemahaman religi-politik bahwa setiap sila
dalam pancasila sejalan dengan ajaran-ajaran agama islam. Oleh karena itu, dalam pandangan
kelompok, tidak penting dan tidak ada alasan bagi para pendukung islam politik untuk
meragukan keabsahan Indonesia yang didasari dengan ideologi non-agama (Pancasila).
Sebagai implikasi dasri pemahaman tersebut, aktifis Islam politik tidak harus menjadikan
islam sebagai dasar negara untuk pengganti Pancasila.
Hal yang paling penting yaitu umat islam memiliki kebebasan dalam menjalankan ajaran
agamanya agar tujuan dan cita-cita islam dapat terpenuhi. Nilai-nilai yang terkandung pada
setiap sila Pancasila terbukti tidak ada yang bertentangan dengan ajaran islam. Dengan
pemahaman yang seperti ini, ada kemungkinan bagi umat islam untuk berperan lebih besar
dalam tatanan politik dan ideologi yang sudah ada seperti sekarang ini.
Kedua, sepanjang sejarah politik Orde baru, umat islam belum pernah berada dalam posisi
politik ynag kuat. Dalam kondisi yang seperti ini, umay islam tidak mampu memainkan
perannya dalam berokrasi, bahkan di Departemen Agama. Hal yang terjadi adalah adanya
adanya proses peminggiran sistematis oleh rezim Orde Baruhingga aktivis islam politik tidak
dapat berkutik. Berdasarkan pemahan yang seperti ini, tampaknya umat islam harus
melakukan redinifasi atas perspektif politiknya dihadapan negara tidak lagi dianggap musuh.
Ketiga, pemulihan citra islam terutama pada aktivis poitik muslim, sebagai musuh negara.
Dengan menampilkan diri secara elegan, komunitas islam tidak dianggap sebagai kelompok
yang harus dicurigai oleh negara.
1
0
Karakteristik yang dimiliki kaum intelektual muslim liberal dalam menyikapi norma agama
islam umum tidak terlalu memperhatikan norma keagamaan. Bagi mereka persoalan ibadah
diserahkan kepada setiap individu.
Tidaklah mudah bagi seorang untuk memberikan pemikiran tentang liberalisme, apakah dapat
diposisikan sebagai liberalisme islami atau berbau Marxisme. Hal ini terlihat dari adanya
pengaruh liberalisme Barat baik secara langsung atau tersembunyi. Dan juga telah
diungkapkan oleh Muhammad al-Bahiy yang merupakan tokoh pembaharuan islam yang
mencoba menyelidiki kebenaran liberalisme Islam.
1.Pengertian Demokrasi
Ada banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli tentang demokrasi, di antaranya seperti yang
dikutip Hamidah1 adalah sebagaimana di bawah ini: Menurut Joseph A. Schumpeter, demokrasi
adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu
memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suatu rakyat. Sidney
Hook dalam Encyclopaedia Americana mendefinisikan demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan
di mana keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung maupun tidak langsung
didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa2. Menurut
Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl, demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dimana
pemerintah dimintai pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan mereka pada wilayah publik oleh
warga negara yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan wakil
mereka yang terpilih3. Dari tiga definisi tersebut di atas jelaslah bagi kita bahwa demokrasi
mengandung nilai-nilai, yaitu adanya unsur keperacayaan yang diberikan oleh pemerintah kepada
rakyat, adanya pertanggungjawaban bagi seorang pemimpin. Sementara menurut Abdurrahman
Wahid, demokrasi mengandung dua nilai, yaitu nilai yang bersifat pokok dan yang bersifat derivasi.
Menurut Abdurrahman Wahid, nilai pokok demokrasi adalah kebebasan, persamaan, musayawarah
dan keadilan. Kebebasan artinya kebebasan individu di hadapan kekuasaan negara dan adanya
keseimbangan antara hak-hak individu warga negara dan hak kolektif dari masyarakat.4 Nurcholish
Majid, seperti yang dikutip Nasaruddin5 mengatakan, bahwa suatu negara disebut demokratis
sejauhmana negara tersebut menjamin hak asasi manusia (HAM), antara lain: kebebasan menyatakan
pendapat, hak berserikat dan berkumpul. Karena demokrasi menolak6 dektatorianisme, feodalisme
dan otoritarianisme. Dalam negara demokrasi, hubungan antara penguasa dan rakyat bukanlah
hubungan kekuasaan melainkan berdasarkan hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia
(HAM).
Di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang terkait dengan prinsip-prinsip utama demokrasi, antara
lain QS. Ali Imran: 159 dan al-Syura: 38 (yang berbicara tentang musyawarah); al-Maidah: 8; al-
Syura: 15 (tentang keadilan); al-Hujurat: 13 (tentang persamaan); al-Nisa’: 58 (tentang amanah); Ali
Imran: 104 (tentang kebebasan mengkritik); al-Nisa’: 59, 83 dan al-Syuro: 38 (tentang kebebasan
berpendapat) dst. 6 Jika dilihat basis empiriknya, menurut Aswab Mahasin7, agama dan demokrasi
memang berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran
1
1
manusia. Dengan demikian agama memiliki dialeketikanya sendiri. Namun begitu menurut Mahasin,
tidak ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi. Sebagaimana dijelaskan di
depan, bahwa elemen-elemen pokok demokrasi dalam perspektif Islam meliputi: as-syura, al-
musawah, al-‘adalah, al-amanah, al-masuliyyah dan al-hurriyyah. Kemudian apakah makna masing-
masing dari elemen tersebut? 1. As-Syura Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan
keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an. Misalnya saja disebut dalam QS. As-
Syura: 38:
“Dan urusan mereka diselesaikan secara musyawarah di antara mereka”. Dalam surat Ali
Imran:159 dinyatakan: “Dan bermusayawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”. Dalam praktik
kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai pelaksana syura adalah ahl halli wa-
l‘aqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini lebih menyerupai tim formatur yang bertugas
memilih kepala negara atau khalifah8 Jelaslah bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan
pertimbanagan dan tanggung jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan. Dengan
begitu, maka setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi tanggung jawab
bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain
karena pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama. Begitu pentingnya arti
musyawarah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara, sehingga Nabi sendiri
juga menyerahkan musyawarah kepada umatnya..
a. al-‘Adalah
Al-‘adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai
jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh kolusi dan nepotis. Arti
pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam
beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-Nahl: 90: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang berbuat keji,
kemungkaran dan permusuhan”. (Lihat pula, QS. As-Syura:15; al-Maidah:8; An-Nisa’:58 dst.).
Ajaran tentang keharusan mutlak melaksanakan hukum dengan adil tanpa pandang bulu ini, banyak
ditegaskan dalam al-Qur’an, bahkan disebutkan sekali pun harus menimpa kedua orang tua sendiri
dan karib kerabat. Nabi juga menegaskan, , bahwa kehancuran bangsa-bangsa terdahulu ialah karena
jika “orang kecil” melanggar pasti dihukum, sementara bila yang melanggar itu “orang besar” maka
dibiarkan berlalu. Betapa prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan, sehingga ada
ungkapan yang “ekstrem” berbunyi: “Negara yang berkeadilan akan lestari kendati ia negara kafir,
sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia negara (yang mengatasnamakan) Islam”
b.Al-Musawah
al-Musawah adalah kesejajaran, egaliter, artinya tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi dari yang
lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya
terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan
demi menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat. Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah
orang atau institusi yang diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur
dan adil untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh
sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian juga kepada Tuhan.
Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikap dan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan
1
2
adil. Sebagian ulama’ memahami 11 al-musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-syura
dan al-‘adalah. Diantara dalil al-Qur’an yang sering digunakan dalam hal ini adalah surat al-
Hujurat:13, sementara dalil Sunnah-nya cukup banyak antara lain tercakup dalam khutbah wada’ dan
sabda Nabi kepada keluarga Bani Hasyim. Dalam hal ini Nabi pernah berpesan kepada keluarga Bani
Hasyim sebagaimana sabdanya: “Wahai Bani Hasyim, jangan sampai orang lain datang kepadaku
membawa prestasi amal, sementara kalian datang hanya membawa pertalian nasab. Kemuliaan kamu
di sisi Allah adalah ditentukan oleh kualitas takwanya”.
c.Al-Amanah
al-Amanah adalah sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lain.
Oleh sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam konteks
kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh rakyat harus mampu
melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab. Persoalan amanah ini terkait
dengan sikap adil. Sehingga Allah SWT. Menegaskan dalam surat an-Nisa’: 58: “Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu supaya menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil”. Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa diminta, dan
orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah bersyukur atas jabatan
tersebut. Inilah etika Islam.
d. Al-Masuliyyah
al-Masuliyyah adalah tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui, bahwa kekuasaan dan jabatan itu
adalah amanah yang harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung
jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi. Dan kekuasaan sebagai amanah ini
memiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga
amanah yang harus dipertenggungjawabkan di depan Tuhan. Sebagaimana Sabda Nabi: Setiap kamu
adalah pemimpin dan setiap pemimpin dimintai pertanggung jawabannya. Seperti yang diakatakn oleh
Ibn Taimiyyah12, bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam mengurus umat manusia dan
sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya. Dengan dihayatinya prinsip
pertanggungjawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan masing-masing orang berusaha untuk
memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat luas. Dengan demikian, pemimpin/ penguasa tidak
ditempatkan pada posisi sebagai sayyid al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-
ummah (pelayan umat). Dus dengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi
pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau
umat ditinggalkan.
e. Al-Hurriyyah
al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap orang, setiap warga masyarakat diberi hak
dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang
bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf wa an-nahy ‘an
al-‘munkar, maka tidak ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus
diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik dan
kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam suatu masyarakat,
1
3
maka kezaliman akan semakin merajalela. Patut disimak sabda Nabi yang berbunyi: “Barang siapa
yang melihat kemunkaran, maka hendaklah diluruskan dengan tindakan, jika tidak mampu, maka
dengan lisan dan jika tidak mampu maka dengan hati, meski yang terakhir ini termasuk selemah-
lemah iman”. Jika suatu negara konsisten dengan penegakan prinsip-prinsip atau elemen-elemen
demokrasi di atas, maka pemerintahan akan mendapat legitimasi dari rakyat. Dus dengan demikian
maka roda pemerintahan akan berjalan dengan stabil.
1
4
prinsip-prinsip yang mereka yakini, sehingga seringkali menjadi konflik gesekan antar umat
beragama, dalam hal ini umat Islam karena benturan aliran keyakinan tersebut. Kaum
fundamentalis ingin kembali ke dasar dan menekankan kembali aspek "fundamental" dari
tradisi Kristen, suatu tradisi yang mereka definisikan sebagai pemberlakuan penafsiran
harfiah terhadap kitab suci serta penerimaan doktrin-doktrin inti tertentu (Rakhmat,
2008).
BAB III
PENUTUP
1
Kesimpulan
Isu-isu global kontemporer adalah isu yang berkembang serta meluas setelah
Perang Dingin berakhir pada era 1990-an.• Pengertian mengenai isu-isu global
kontemporer terkait erat dengan sifat dari isu-isu tsb yangtidak lagi didominasi oleh
hubungan Timur-Barat, seperti, ancaman perang nuklir, persaingan ideologi antara
Demokrasi-Liberal dan Marxisme-Leninisme, diplomasi krisis, dsb.
Menurut Joseph A. Schumpeter, demokrasi adalah suatu perencanaan institusional untuk
mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk
memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suatu rakyat, radikalisme adalah suatu
pergerakan yang mengandung beberapa unsur pelaku, yaitu seseorang yang
melakukannya objek, yaitu arah yang ingin dicapai pergerakannya, materi yaitu
berupa ideologi atau gagasan, tempat yaitu di mana ruang pergerakan itu terjadi, dan
waktu yaitu kesempatan pada saat tertentu pergerakan itu muncul. Enam unsur ini
merupakan faktor yang menjadikan suatu pergerakan radikalisme dapat terjadi.
2
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Mumtaz (ed.). 2006. Teori Politik Islam, terj. Ena Hadi.
Bandung: Mizan.