Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH TARIKH TASYRI’

KONDISI TASYRI DI ERA KONTEMPORER

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tarikh Tasyri’

Dosen pengampu:

Moh. Abd Jawad Nabih, S.Hi M.H

Disusun oleh Kelompok 9:

Tuhfatul Mardiyyah (220203110008)

Tolhah Hasan Saiful Rizal (220203110027)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM


MALANG

2023

i
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang. Kami
panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Tarikh Tasyri’ Era
Modern.
Makalah Tarikh Tasyri’ tentang Kondisi Tasyri Di Era Kontemporer yang telah kami
susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terimakasih
kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari
semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu kami sangat
membutuhkan dan menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah Kondisi Tasyri Di Era Kontemporer ini
dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Malang, 3 November 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................................... ii

DAFTAR ISI ................................................................................................................................... iii

BAB I ............................................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ............................................................................................................................ 1

A. Latar Belakang ................................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah.................................................................................................................. 2

C. Tujuan ............................................................................................................................... 2

BAB II .............................................................................................................................................. 3

PEMBAHASAN ............................................................................................................................... 3

A. Pengertian Kontemporer ..................................................................................................... 3

B. Dinamika Masyarakat Periode Kontemporer .......................................................................... 3

C. Pemikiran-Pemikiran Yang Terjadi Di Era Kontemporer .................................................... 4

D. Faktor Yang Yang Mendasari Perbedaan Pemikiran ............................................................... 6

BAB III ........................................................................................................................................... 11

PENUTUP ...................................................................................................................................... 11

A. KESIMPULAN ...................................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 12

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum Islam dan dinamika masyarakat sering dipersepsikan sebagai dua hal yang
sangat berbeda dan bahkan dikatakan saling bertentangan. Dalam satu sudut pandang,
hukum Islam merupakan sesuatu yang tidak akan mungkin mengalami perubahan, karena
berdasarkan wahyu Allah yang bersifat qadim. Setiap yang qadim, bersifat statis tidak
berubah. Sebaliknya, masyarakat secara substansial mengalami perubahan yang cukup
besar dan bersifat dinamis. Sesuatu yang bersifat dinamis tidak mungkin dihubungkan
kepada sesuatu yang bersifat stabil dan statis, namun hukum Islam tidak statis tetapi
mempunyai daya lentur yang dapat sejalan dengan sesuatu yang berubah dan bergerak.

Pemikiran hukum Islam yang merupakan produk pemikiran ulama-ulama terdahulu


bukanlah merupakan hal yang absolut atau tidak perlu diperbaharui. Sebaliknya, hasil
pemikiran yang tidak sesuai dengan zaman kekinian perlu ditinjau ulang dan ini
menunjukkan bahwa daya lentur dan dinamika pemikiran tersebut kurang mampu
mempertahan-kan diri dalam perkembangan zaman.

Menurut Ernest Gellner, Islam adalah agama yang paling dekat dengan modernitas
dibanding agama Yahudi dan Kristen. Yaitu dipandang dari sudut semangat Islam
tentang universalisme, skripturalisme, egalitarianism spiritual, perluasan partisipasi
dalam masyarakat suci yang meliputi semua anggotanya tanpa kecuali, dan sistematisasi
rasional kehidupan sosial.

Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika hukum Islam dengan dinamika
masyarakat kontemporer selalu menimbulkan pertanyaan ulang terhadap produk-produk
pemikiran ulama terdahulu, terutama jika dikaitkan dengan dinamika masalah dewasa ini
yang semakin kompleks dan luas. Salah satu masalah yang mendasar adalah apakah hukum
Islam mampu mengantisipasi perkembangan dinamika masyarakat kontemporer atau tidak?
Dalam konteks ini tentunya dibutuhkan terobosan baru dalam perumusan hukum Islam.
Salah satu terobosan tersebut adalah mengin-tegrasikan pemikiran hukum Islam dan
dinamika masyarakat kontemporer yang terus berkembang.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian kontemporer?


2. Bagaimana dinamika masyarakat pada periode kontemporer?
3. Pemikiran-pemikiran apa yang terjadi di era kontemporer?
4. Apa faktor yang mendasari perbedaan pemikiran?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pemikiran kontermporer.


2. Untuk mengetahui dinamika yang terjadi pada masyarakat periode kontemporer.
3. Untuk mengetahui pemikiran-pemikiran yang terjadi di era kontemporer.
4. Untuk mengetahui faktor yang mendasari pemikiran.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kontemporer

Kontemporer adalah sesuatu yang terjadi pada masa kini. Dalam konteks persamaan,
kontemporer dapat dianggap sama dengan modernitas, yaitu pandangan dan sikap hidup yang
bersangkutan dengan kehidupan masa kini. Namun, jika ingin dipisahkan, kontemporer dapat
diartikan sebagai "kekinian atau kini", sementara modern adalah "kini" yang sudah lewat tapi
masih mempunyai citra modern.

Perbedaan paling jelas antara yang modern dengan yang kontemporer adalah bahwa
yang pertama merujuk kepada era modernisasi secara umum, sedangkan kontemporer merujuk
kepada era sekarang atau yang berlaku kini.

B. Dinamika Masyarakat Periode Kontemporer

Masyarakat kontemporer mengalami perubahan yang sangat dinamis. Perubahan ini


disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu modernitas dan globalisasi. Modernitas adalah suatu
keadaan yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan ini
menyebabkan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti ekonomi, sosial,
budaya, dan politik. Globalisasi adalah proses saling keterkaitan antarnegara di dunia. Proses
ini ditandai dengan meningkatnya interaksi dan komunikasi antarnegara, baik dalam bidang
ekonomi, politik, budaya, maupun sosial. Modernitas dan globalisasi menyebabkan terjadinya
perubahan dan pergolakan yang besar dalam seluruh segi kehidupan. Perubahan ini dapat
berupa perubahan positif maupun negatif.

Perubahan positif dari modernitas dan globalisasi antara lain:

 Peningkatan kesejahteraan masyarakat

 Peningkatan akses terhadap informasi

 Peningkatan mobilitas masyarakat

 Peningkatan toleransi antarbudaya

3
Perubahan negatif dari modernitas dan globalisasi antara lain:

 Kemerosotan moral

 Peningkatan kesenjangan sosial

 Pencemaran lingkungan

 Penyebaran budaya asing

Modernitas dan globalisasi adalah dua faktor utama yang menyebabkan perubahan
dinamis dalam masyarakat kontemporer. Perubahan ini dapat berupa perubahan positif maupun
negatif. Masyarakat perlu mewaspadai dampak negatif dari modernitas dan globalisasi, serta
memanfaatkan dampak positifnya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup. 1

C. Pemikiran-Pemikiran Yang Terjadi Di Era Kontemporer

Hadirnya era kontemporer tidak hanya diperuntukan bagi dunia global saja, namun
terjadi juga pada dunia Islam. Hal ini secara umum menunjukan semangat baru sebagai bentuk
dialektika historis. Pada era kontemporer ini tentunya tidak hanya sebatas eksistensi yang
diperlihatkan; tetapi dilengkapi dengan banyaknya perangkat yang diperlukan, semisal
landasan filosofis bahkan sampai kepada gerakan-gerakan praktis. Dalam sejarahnya, proses
keilmuan Islam telah mengalami alternasi sehingga memunculkan berbagai persfektif baru.
Yang mana bila dikaji secara serius perkembangan keilmuan Islam telah diwarnai oleh
berbagai realitas untuk memunculkan modernitas. Pada dasarnya kajian Islam kontemporer ini
adalah hasil sintesis dari tradisi Islam tradisional dan tradisi Islam Kontemporer.

Jika disiplin ilmu Islam pada umumnya yang kita kenal bersifat normatif, seperti
mengkaji fiqh, ushul fiqh, hadits, ulumul hadits, ilmu mantik, tasawuf, ilmu kalam dan lain-
lainnya. Maka pada disiplin ilmu Islam kontemporer tidak hanya konsen terhadap hal tersebut;
akan tetapi orientasi yang dihadirkanya lebih kepada menghadapi problematika yang lebih
global, seperti permasalahan feminis, gender, pluralisme, sosio-kultural, politik dan masih
banyak lagi.

1
Imam Mustofa, Kajian Fiqih Kontemporer, (Yogyakarta: Idea Press, 2017),h.201

4
Adapun hakikat dan corak Pemikiran Kontemporer adalah sebagai berikut:2

1. Fundamentalis yaitu model pemikiran yang sepenuhnya percaya pada doktrin Islam sebagai
satu-satunya alternatif bagi kebangkitan Islam dan manusia. Mereka biasanya dikenal
sangat commited pada aspek religius budaya Islam. Bagi mereka, Islam telah mencakup
segala aspek kehidupan sehingga tidak memerlukan segala teori dan metode dari luar,
apalagi Barat. Garapan utamanya adalah menghidupkan kembali Islam sebagai agama,
budaya sekaligus peradaban, dengan menyerukan untuk kembali pada sumber asli (al-
Qur'an dan Sunnah) dan mempraktekkan ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan Rasul
dan Khulafa' al- Rasyidin. Tradisi dan Sunnah Rasul harus dihidupkan kembali dalam
kehidupan modern sebagai bentuk kebangkitan Islam. 3

2. Tradisionalis (salaf) yaitu model pemikiran yang berusaha berpegang pada tradisi- tradisi
yang telah mapan. Bagi mereka, segala persoalan umat telah diselesaikan secara tuntas oleh
para ulama terdahulu. Tugas kita sekarang hanyalah menyatakan kembali atau merujukkan
dengannya. Perbedaan kelompok ini dengan fundamentalis terletak pada penerimaannya
pada tradisi. Fundamentalis membatasi tradisi yang diterima hanya sampai pada khulafa'
al-rasyidin , sedang tradisionalis melebarkan sampai pada salaf al-shalih , sehingga mereka
bisa menerima kitab-kitab klasik sebagai bahan rujukannya. 4 Hasan Hanafi pernah
mengkritik model pemikiran ini.Yaitu, bahwa tradisionalis akan menggiring pada
ekslusifisme, subjektivisme dan diterminisme.

3. Reformis yaitu model pemikiran yang berusaha merekonstruksi ulang warisan budaya
Islam dengan cara memberi tafsiran baru. Menurut mereka, Islam telah mempunyai tradisi
yang bagus dan mapan. Akan tetapi, tradisi ini tidak dapat langsung diaplikasikan
melainkan harus harus dibangun kembali secara baru dengan kerangka berpikir modern dan
prasyarat rasional, sehingga bisa survive dan diterima dalam kehidupan modern. Karena

2
Achmad Jainuri. 2004. Orientasi Ideologi Gerakan Islam. Surabaya: LPAM. Dan Riza Sihbudi, et.al. 2005. Islam
dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.
3
Shepard, William. “What is ‘Islamic Fundamentalism’?,” Studies in Religion 17, 1 (1988): 5- 25. Dan Riza
Sihbudi, et.al. 2005. Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.
4
Mona Abaza. 1991. “The Discourse on Islamic Fundamentalism in the Middle East and Southeast Asia: A
Critical Perspective,” Sojourn 6: 203-239. Dan Anwar-ul-Haq Ahady. 1992. “The Decline of Islamic
Fundamentalism,” Journal of Asian andAfrican Studies XXVII, 3-4 : 231.

5
itu, mereka berbeda dengan tradisionalis yang menjaga dan menerima tradisi seperti apa
adanya.

4. Postradisionalis yaitu model pemikiran yang berusaha mendekonstruksi warisan Islam


berdasarkan standar modern. Model ini sesungguhnya sama dengan reformis yang
menerima tradisi dengan interpertasi baru. Perbedaannya, postadisionalis
mempersyaratkan dekonstruktif atas tradisi, bukan sekedar rekonstruktif, sehingga yang
absolut menjadi relatif dan yang ahistoris menjadi historis. 5

5. Moderinis yaitu model pemikiran yang hanya mengakui sifat rasional ilmiah dan menolak
kecenderungan mistik. Menurutnya, tradisi masa lalu sudah tidak relevan, sehingga harus
ditinggalkan. Karakter utama gerakannya adalah keharusan berpikir kritis dalam soal
keagamaan dan kemasyarakatan. Mereka ini biasanya banyak dipengaruhi cara pandang
marxisme. Meski demikian, mereka bukan sekuler. Sebaliknya, mereka bahkan mengkritik
sekuler selain salaf. Menurutnya, kaum sekuler telah bersalah karena berlaku eklektif
terhadap Barat, sedang kaum salaf bersalah menempatkan tradisi klasik pada posisi sakral
dan shalih likulli zaman wa makan. Sebab, kenyataannya, tradisi sekarang berbeda dengan
masa lalu. Modernis menjadikan orang lain (Barat) sebagai model, sedang salaf menjadikan
masa lalu sebagai model. Keduanya sama-sama ahistoris dan tidak kreatif, sehingga tidak
akan mampu membangun peradaban Islam ke depan. 6

D. Faktor Yang Yang Mendasari Perbedaan Pemikiran


Pemikiran hukum islam adalah upaya para ahli hukum Islam untuk menerapkan syariat
Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Upaya ini didasarkan pada pemahaman atas
perintah Allah yang memungkinkan mengalami pengembangan dan perubahan. Dalam hukum
Islam, terdapat dua wilayah hukum, yaitu wilayah yang tertutup dan wilayah yang terbuka.
Wilayah yang tertutup meliputi hukum-hukum yang telah pasti (qath') dan tidak dapat berubah.
Wilayah yang terbuka meliputi hukum-hukum yang tidak pasti (zanny) dan dapat berubah dan
berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Wilayah inilah yang menjadi tempat ijtihad.
Ijtihad dapat mengarahkan fikih atau pemikiran hukum Islam ke dalam dinamika,
perkembangan, dan pembaruan.

5
Achmad Jainuri. 2004. Orientasi Ideologi Gerakan Islam. Surabaya: LPAM. Dan Riza Sihbudi, et.al. 2005. Islam
dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.
6
ibid

6
Elastisitas hukum Islam dalam merespon dinamika zaman akan dapat terealisasi, sebab
kondisi hukum Islam sendiri sangat memungkinkan untuk menjawab problematika
kontemporer, karena memiliki faktor-faktor:

1. Ada ruang untuk fleksibilitas yang diperbolehkan.

Islam memberikan banyak ruang untuk fleksibilitas dan pengampunan dalam


ajarannya, memungkinkan penyesuaian dan adaptasi untuk menyesuaikan berbagai
keadaan. Ini terbukti dalam ruang lingkup yang luas dari area abu-abu atau zona netral yang
sengaja ditinggalkan oleh teks-teks agama. Area-area ini dipercayakan kepada ahli hukum
Islam (mujtahid) untuk diisi dengan putusan yang mempromosikan kesejahteraan
komunitas Muslim. Untuk melakukannya, mujtahidin harus menggunakan kreativitas
sambil tetap berpegang pada tujuan umum dan semangat hukum Islam. Fleksibilitas ini
bukanlah kebetulan tetapi desain yang disengaja, dimaksudkan untuk membuat hukum
Islam universal, abadi, dan berlaku di semua periode, lokasi, dan kondisi. Dengan tidak
adanya panduan yang eksplisit, mujtahid ditugaskan untuk mengisi celah-celah ini dengan
menyusun putusan dan peraturan yang tepat. Ini menuntut kreativitas dan ijtihad
(pengambilan keputusan hukum secara mandiri) dari pihak mereka. Ahli hukum Islam
menggunakan berbagai metode atau sistem penetapan hukum untuk memenuhi tanggung
jawab mereka. Pemilihan metode tidak dibatasi oleh hukum Islam, asalkan digunakan
secara bijaksana dan efektif. 7

2. Adanya nash yang memperhatikan hukum-hukum universal.


Pengecualian terhadap hal-hal yang bersifat langgeng, nash memuat prinsip-prinsip
hukum yang terperinci, kongkrit, dan teknis. Misalnya masalah-masalah peribadatan,
perkawinan, perceraian, dan warisan diterangkan secara terperinci. Ini mencegah bid’ah
dan pembaharuan yang menyesatkan. Juga, memutuskan perselisihan dalam keluarga
sebagai pranata dasar kehidupan.
Di luar yang disebutkan itu, hukum yang diterapkan perlu disesuaikan dengan
perubahan ruang, waktu, situasi dan kondisi. Untuk itu, nash memuat ketentuan yang umum
dan luwes. Sehingga manusia tidak merasa kesempitan karena kewajiban yang sudah
sangat terperinci dan kongkret. Ada kewajiban yang relevan dengan masa tertentu saja,

7
Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 13-14.

7
cocok untuk daerah tertentu saja, atau sesuai untuk kondisi tertentu saja. Dengan
keuniversalan hukum-hukum itu, maka hukum Islam mampu merespon dinamika zaman. 8
3. Adanya faktor nash menerima keragaman pemahaman.
Faktor ketiga tercermin dari kenyataan bahwa sebagian nash yang memuat hukum
secara kongkret dan terperinci dinyatakan dalam suasana kalimat yang memungkinkan
beragam pemahaman dan penafsiran. Faktor ini, di samping dua faktor sebelumnya, sangat
mendukung munculnya berbagai aliran pemikiran dalam fikih Islam.
Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau fikih begitu terbuka terhadap berbagai
watak tokoh, yang keras seperti Umar, yang lunak seperti Ibn Abbas, yang rasional seperti
Abu Hanafiyah, yang tradisional seperti Ahmad Ibn Hanbal, dan yang harfiah seperti
Dawud Ad-Dhahiri. Karena itu pula diikuti munculnya berbagai mazhab rakyu, mazhab
hadits, para ahli tafsir, dan kaum moderat. Dari tipelogi yang dimiliki para tokoh tersebut,
merupakan aset yang sangat besar dalam menjawab beberapa masalah yang berkembang
belakangan ini. 9
4. Adanya faktor melindungi hal darurat dan keadaan tertentu.
Faktor keempat yang menjadikan syariat elastis dan luas adalah fakta bahwa syariat ini
sangat memperhatikan kebutuhan-kebutuhan, hak-hak darurat, dan keadaan-keadaan sulit
dalam kehidupan manusia. Syari’at meletakkan semua pada tempat masing-masing dan
menetapkan hukum-hukum khas yang bersangkut paut dengan itu. Hukum-hukum seperti
itu selaras dengan tujuan umum syariat, yakni mempermudah kehidupan manusia dan
menghilangkan kesulitan serta beban berat kehidupan, hal-hal yang terdapat pada kitab-
kitab terdahulu. 10
Dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. “Beban berat akan menarik kemudahan”, kaidah dasar yang telah disepakati dan
termuat dalam kitab qawaid fiqhiyyah ialah al-masyaqqah tajlib al-taisir (keadaan
sulit atau beban berat akan menarik kemudahan). Berdasarkan kaidah ini banyak
sekali kemudahan dan keringanan dalam hukum Islam yang dapat ditetapkan bagi
mereka yang sakit, sedang berpergian, atau uzur. Ini dinyatakan dalam hadits,

8
Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 27.
9
Ibid hal. 46-47
10
Jalal al-Din al-Suyuthi, Asybah wa Nadzair, (Semarang : Toha Putra, tt.), hlm. 37.

8
“Sesungguhnya Allah senang apabila kemudahan-Nya (rukhsah) dikerjakan
sebagaimana ia benci apabila larangannya dilanggar”.
2. Adanya prinsip “keadaan darurat memperbolehkan hal-hal yang dilarang”. Hukum
Islam menetapkam ketentuan khusus berkenaan dengan hal-hal yang dilarang bagi
manusia, karena terjadinya keadaan darurat dan mengancam kelangsungan hidup,
berupa kaidah hukum yang sangat terkenal, yaitu al-dlarurat tubih al-Mahdhurat
(keadaan darurat memperbolehkan hal-hal yang sebelumnya dilarang). Kaidah ini
dilengkapi dengan kaidah-kaidah pendukungnya, misalnya ma abiha li al-dlarurat
yuqaddaru biqadriha (sesuatu yang diperbolehkan karena desakan, dibatasi sesuai
dengan kadar kebutuhannya) dan al-Hajh tanzilu manzilah al-dlarurat khash-shah
kanat au ammah (kebutuhan dapat menempati kedudukan darurat, baik yang
bersifat umum maupun khusus).
3. Adanya pemaksaan dengan ancaman. Keadaan yang dipandang darurat dibenarkan
seseorang untuk mengerjakan sesuatu yang dilarang dalam keadaan normal,
antara lain terjadinya pemaksaan dengan ancaman. Apabila seseorang dipaksa
disertai ancaman untuk mengerjakan sesuatu tanpa pilihan lain, ia tidak berdosa
atas pekerjaannya, sekalipun itu kufur, yang merupakan kejahatan terbesar dalam
pandangan Islam.
4. Adanya keadaan tidak mampu karena uzur atau lemah. Keadaan darurat lain yang
keluar dari kaidah umum fikih adalah seseorang atau sekelompok muslim tidak
berdaya sehingga terpaksa menampakkan sikap setia kepada orang-orang non-
muslim. Namun, itu dilakukannya bukan karena tertarik dengan agama mereka atau
mengkhianati agama dan umatnya sendiri, melainkan karena khawatir akan
keselamatan diri.
5. Keharusan adanya jamaah dan kelangsungannya. Syariat sangat memperhatikan
kelangsungan hidup pribadi, sehingga memperbolehkan seseorang melakukan
banyak hal yang sebelumnya dilarang, sesuai dengan kadar kebutuhannya.
Demikian pula terhadap kelangsungan hidup umat. Syari’at sangat memperhatikan
hal itu berikut hal apa pun yang akan membawa keselamatan dan memelihara
kelangsungan hidup serta kepimpinan umat.
5. Adanya faktor perubahan ruang, waktu, dan tradisi.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap teks-teks dalil (nushush) telah diketahui bahwa
tujuan utama hukum-hukum syariat adalah mewujudkan kemaslahatan semesta,
menegakkan keadilan, dan menghilangkan kezaliman serta kerusakan dari kehidupan
9
dunia. Ini harus selalu diperhatikan oleh ahli ushul dalam usaha menafsirkan nushush dan
menerapkan hukum. Sehingga, ia terhindar dari sikap bersikukuh atau terpaku berpegang
pada satu pendapat seumur hidup, sekalipun situasi, kondisi dan tradisi terus berubah,
ketika memberikan fatwa atau merumuskan hukum. Ahli fikih harus senantiasa bersandar
pada tujuan-tujuan utama syariat, yang bersifat umum, ketika menetapkan hukum dalam
masalah-masalah tertentu. Sebagai realita adanya perubahan fatwa.
Kondisi itu direspon oleh oleh Ibnu Qayyim, yang menegaskan, “fatwa (yang diberikan
mesti) berubah-ubah dan berbeda-beda sesuai dengan perubahan waktu, ruang, kondisi, dan
motivasi”. Ibnu Qayyim mempertegas gagasannya dalam karyanya yang terkenal I’lam al-
Muwaqqi’in. ia mengeluarkan pernyataan, yang kemudian menjadi titik tolak pemikiran
selanjutnya, yang dicantumkan dalam mukadimah.
Hal itu nampak, hukum yang tetap dan yang berubah, tidak semua perubahan waktu,
ruang, dan tradisi sebagai bahan fatwa. Di antara hukum-hukum syariat itu ada pula yang
bersifat tetap dan abadi, tidak terbuka terhadap perubahan dan perbedaan pendapat
walaupun zaman, kondisi dan situasi terus berubah. Dalam konteks ini, Ibnu Qayyim
menegaskan bahwa dalam syariat itu ada dua macam bentuk: pertama, hukum yang sama
sekali tidak berubah dari ketentuan tunggalnya sejak semula, tidak terpengaruh oleh
perkembangan ruang dan waktu atau ijtihad para imam fikih. Hukum yang semacam ini
antara lain adalah beberapa kewajiban, larangan, dan ketetapan syarat mengenai bentuk
hukuman dalam perkara kriminal. Hukum-hukum ini tidak menerima perubahan atau
ijtihad yang menyalahi ketentuan yang ada. Kedua, hukum yang menerima perubahan
sesuai dengan tuntutan kemaslahatan yang ada, selaras dengan perkembangan waktu,
ruang dan kondisi. Umpamanya, ukuran dan bentuk sanksi untuk kasus-kasus tertentu.
Dalam hal ini, syariat terbuka terhadap perbedaan ketentuan hukum sesuai dengan tuntutan
kemaslahatannya.11

11
Ibnu Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, jilid 3, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hlm. 14-15.

10
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pemikiran hukum Islam yang merupakan produk pemikiran ulama-ulama terdahulu


bukanlah merupakan hal yang absolut atau tidak perlu diperbaharui. Sebaliknya, hasil
pemikiran yang tidak sesuai dengan zaman kekinian perlu ditinjau ulang dan ini menunjukkan
bahwa daya lentur dan dinamika pemikiran tersebut kurang mampu mempertahan-kan diri
dalam perkembangan zaman.

Perkembangan pemikiran Islam kontemporer yang luar biasa saat ini, sesungguhnya,
dapat diklasifikasikan dalam 5 model kecenderungan yakni fundamentalis, tradisionalis,
reformis, postradisionalis dan modernis.

Pengertian model pemikiran Islam kontemporer yakni: Pertama, fundamentalis yaitu


model pemikiran yang sepenuhnya percaya pada doktrin Islam sebagai satu- satunya alternatif
bagi kebangkitan Islam dan manusia. Kedua, tradisionalis (salaf) yaitu model pemikiran yang
berusaha berpegang pada tradisi-tradisi yang telah mapan. Bagi mereka, segala persoalan umat
telah diselesaikan secara tuntas oleh para ulama terdahulu. Ketiga, reformis yaitu model
pemikiran yang berusaha merekonstruksi ulang warisan budaya Islam dengan cara memberi
tafsiran baru. Keempat, postradisionalis yaitu model pemikiran yang berusaha
mendekonstruksi warisa Islam berdasarkan standar modern. Kelima, moderinis yaitu model
pemikiran yang hanya mengakui sifat rasional-ilmiah dan menolak kecenderungan mistik.
Menurutnya, tradisi masa lalu sudah tidak relevan, sehingga harus ditinggalkan.

11
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Jainuri. 2004. Orientasi Ideologi Gerakan Islam. Surabaya: LPAM. Dan Riza Sihbudi, et.al. 2005.
Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.

Achmad Jainuri. 2004. Orientasi Ideologi Gerakan Islam. Surabaya: LPAM. Dan Riza Sihbudi, et.al. 2005.
Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.

Ibnu Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, jilid 3, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hlm. 14-15.
Imam Mustofa, Kajian Fiqih Kontemporer, (Yogyakarta: Idea Press, 2017),h.201

Jalal al-Din al-Suyuthi, Asybah wa Nadzair, (Semarang : Toha Putra, tt.), hlm. 37.
Mona Abaza. 1991. “The Discourse on Islamic Fundamentalism in the Middle East and Southeast Asia: A
Critical Perspective,” Sojourn 6: 203-239. Dan Anwar-ul-Haq Ahady. 1992. “The Decline of Islamic
Fundamentalism,” Journal of Asian andAfrican Studies XXVII, 3-4 : 231.

Shepard, William. “What is ‘Islamic Fundamentalism’?,” Studies in Religion 17, 1 (1988): 5- 25. Dan Riza
Sihbudi, et.al. 2005. Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.

Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 13-14.

Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 27.

12

Anda mungkin juga menyukai