Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Tarikh Tasyri’
Dosen pengampu:
FAKULTAS SYARIAH
2023
i
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang. Kami
panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Tarikh Tasyri’ Era
Modern.
Makalah Tarikh Tasyri’ tentang Kondisi Tasyri Di Era Kontemporer yang telah kami
susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terimakasih
kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari
semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu kami sangat
membutuhkan dan menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah Kondisi Tasyri Di Era Kontemporer ini
dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I ............................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................. 2
C. Tujuan ............................................................................................................................... 2
BAB II .............................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN ............................................................................................................................... 3
PENUTUP ...................................................................................................................................... 11
A. KESIMPULAN ...................................................................................................................... 11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Islam dan dinamika masyarakat sering dipersepsikan sebagai dua hal yang
sangat berbeda dan bahkan dikatakan saling bertentangan. Dalam satu sudut pandang,
hukum Islam merupakan sesuatu yang tidak akan mungkin mengalami perubahan, karena
berdasarkan wahyu Allah yang bersifat qadim. Setiap yang qadim, bersifat statis tidak
berubah. Sebaliknya, masyarakat secara substansial mengalami perubahan yang cukup
besar dan bersifat dinamis. Sesuatu yang bersifat dinamis tidak mungkin dihubungkan
kepada sesuatu yang bersifat stabil dan statis, namun hukum Islam tidak statis tetapi
mempunyai daya lentur yang dapat sejalan dengan sesuatu yang berubah dan bergerak.
Menurut Ernest Gellner, Islam adalah agama yang paling dekat dengan modernitas
dibanding agama Yahudi dan Kristen. Yaitu dipandang dari sudut semangat Islam
tentang universalisme, skripturalisme, egalitarianism spiritual, perluasan partisipasi
dalam masyarakat suci yang meliputi semua anggotanya tanpa kecuali, dan sistematisasi
rasional kehidupan sosial.
Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika hukum Islam dengan dinamika
masyarakat kontemporer selalu menimbulkan pertanyaan ulang terhadap produk-produk
pemikiran ulama terdahulu, terutama jika dikaitkan dengan dinamika masalah dewasa ini
yang semakin kompleks dan luas. Salah satu masalah yang mendasar adalah apakah hukum
Islam mampu mengantisipasi perkembangan dinamika masyarakat kontemporer atau tidak?
Dalam konteks ini tentunya dibutuhkan terobosan baru dalam perumusan hukum Islam.
Salah satu terobosan tersebut adalah mengin-tegrasikan pemikiran hukum Islam dan
dinamika masyarakat kontemporer yang terus berkembang.
1
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kontemporer
Kontemporer adalah sesuatu yang terjadi pada masa kini. Dalam konteks persamaan,
kontemporer dapat dianggap sama dengan modernitas, yaitu pandangan dan sikap hidup yang
bersangkutan dengan kehidupan masa kini. Namun, jika ingin dipisahkan, kontemporer dapat
diartikan sebagai "kekinian atau kini", sementara modern adalah "kini" yang sudah lewat tapi
masih mempunyai citra modern.
Perbedaan paling jelas antara yang modern dengan yang kontemporer adalah bahwa
yang pertama merujuk kepada era modernisasi secara umum, sedangkan kontemporer merujuk
kepada era sekarang atau yang berlaku kini.
3
Perubahan negatif dari modernitas dan globalisasi antara lain:
Kemerosotan moral
Pencemaran lingkungan
Modernitas dan globalisasi adalah dua faktor utama yang menyebabkan perubahan
dinamis dalam masyarakat kontemporer. Perubahan ini dapat berupa perubahan positif maupun
negatif. Masyarakat perlu mewaspadai dampak negatif dari modernitas dan globalisasi, serta
memanfaatkan dampak positifnya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup. 1
Hadirnya era kontemporer tidak hanya diperuntukan bagi dunia global saja, namun
terjadi juga pada dunia Islam. Hal ini secara umum menunjukan semangat baru sebagai bentuk
dialektika historis. Pada era kontemporer ini tentunya tidak hanya sebatas eksistensi yang
diperlihatkan; tetapi dilengkapi dengan banyaknya perangkat yang diperlukan, semisal
landasan filosofis bahkan sampai kepada gerakan-gerakan praktis. Dalam sejarahnya, proses
keilmuan Islam telah mengalami alternasi sehingga memunculkan berbagai persfektif baru.
Yang mana bila dikaji secara serius perkembangan keilmuan Islam telah diwarnai oleh
berbagai realitas untuk memunculkan modernitas. Pada dasarnya kajian Islam kontemporer ini
adalah hasil sintesis dari tradisi Islam tradisional dan tradisi Islam Kontemporer.
Jika disiplin ilmu Islam pada umumnya yang kita kenal bersifat normatif, seperti
mengkaji fiqh, ushul fiqh, hadits, ulumul hadits, ilmu mantik, tasawuf, ilmu kalam dan lain-
lainnya. Maka pada disiplin ilmu Islam kontemporer tidak hanya konsen terhadap hal tersebut;
akan tetapi orientasi yang dihadirkanya lebih kepada menghadapi problematika yang lebih
global, seperti permasalahan feminis, gender, pluralisme, sosio-kultural, politik dan masih
banyak lagi.
1
Imam Mustofa, Kajian Fiqih Kontemporer, (Yogyakarta: Idea Press, 2017),h.201
4
Adapun hakikat dan corak Pemikiran Kontemporer adalah sebagai berikut:2
1. Fundamentalis yaitu model pemikiran yang sepenuhnya percaya pada doktrin Islam sebagai
satu-satunya alternatif bagi kebangkitan Islam dan manusia. Mereka biasanya dikenal
sangat commited pada aspek religius budaya Islam. Bagi mereka, Islam telah mencakup
segala aspek kehidupan sehingga tidak memerlukan segala teori dan metode dari luar,
apalagi Barat. Garapan utamanya adalah menghidupkan kembali Islam sebagai agama,
budaya sekaligus peradaban, dengan menyerukan untuk kembali pada sumber asli (al-
Qur'an dan Sunnah) dan mempraktekkan ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan Rasul
dan Khulafa' al- Rasyidin. Tradisi dan Sunnah Rasul harus dihidupkan kembali dalam
kehidupan modern sebagai bentuk kebangkitan Islam. 3
2. Tradisionalis (salaf) yaitu model pemikiran yang berusaha berpegang pada tradisi- tradisi
yang telah mapan. Bagi mereka, segala persoalan umat telah diselesaikan secara tuntas oleh
para ulama terdahulu. Tugas kita sekarang hanyalah menyatakan kembali atau merujukkan
dengannya. Perbedaan kelompok ini dengan fundamentalis terletak pada penerimaannya
pada tradisi. Fundamentalis membatasi tradisi yang diterima hanya sampai pada khulafa'
al-rasyidin , sedang tradisionalis melebarkan sampai pada salaf al-shalih , sehingga mereka
bisa menerima kitab-kitab klasik sebagai bahan rujukannya. 4 Hasan Hanafi pernah
mengkritik model pemikiran ini.Yaitu, bahwa tradisionalis akan menggiring pada
ekslusifisme, subjektivisme dan diterminisme.
3. Reformis yaitu model pemikiran yang berusaha merekonstruksi ulang warisan budaya
Islam dengan cara memberi tafsiran baru. Menurut mereka, Islam telah mempunyai tradisi
yang bagus dan mapan. Akan tetapi, tradisi ini tidak dapat langsung diaplikasikan
melainkan harus harus dibangun kembali secara baru dengan kerangka berpikir modern dan
prasyarat rasional, sehingga bisa survive dan diterima dalam kehidupan modern. Karena
2
Achmad Jainuri. 2004. Orientasi Ideologi Gerakan Islam. Surabaya: LPAM. Dan Riza Sihbudi, et.al. 2005. Islam
dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.
3
Shepard, William. “What is ‘Islamic Fundamentalism’?,” Studies in Religion 17, 1 (1988): 5- 25. Dan Riza
Sihbudi, et.al. 2005. Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.
4
Mona Abaza. 1991. “The Discourse on Islamic Fundamentalism in the Middle East and Southeast Asia: A
Critical Perspective,” Sojourn 6: 203-239. Dan Anwar-ul-Haq Ahady. 1992. “The Decline of Islamic
Fundamentalism,” Journal of Asian andAfrican Studies XXVII, 3-4 : 231.
5
itu, mereka berbeda dengan tradisionalis yang menjaga dan menerima tradisi seperti apa
adanya.
5. Moderinis yaitu model pemikiran yang hanya mengakui sifat rasional ilmiah dan menolak
kecenderungan mistik. Menurutnya, tradisi masa lalu sudah tidak relevan, sehingga harus
ditinggalkan. Karakter utama gerakannya adalah keharusan berpikir kritis dalam soal
keagamaan dan kemasyarakatan. Mereka ini biasanya banyak dipengaruhi cara pandang
marxisme. Meski demikian, mereka bukan sekuler. Sebaliknya, mereka bahkan mengkritik
sekuler selain salaf. Menurutnya, kaum sekuler telah bersalah karena berlaku eklektif
terhadap Barat, sedang kaum salaf bersalah menempatkan tradisi klasik pada posisi sakral
dan shalih likulli zaman wa makan. Sebab, kenyataannya, tradisi sekarang berbeda dengan
masa lalu. Modernis menjadikan orang lain (Barat) sebagai model, sedang salaf menjadikan
masa lalu sebagai model. Keduanya sama-sama ahistoris dan tidak kreatif, sehingga tidak
akan mampu membangun peradaban Islam ke depan. 6
5
Achmad Jainuri. 2004. Orientasi Ideologi Gerakan Islam. Surabaya: LPAM. Dan Riza Sihbudi, et.al. 2005. Islam
dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.
6
ibid
6
Elastisitas hukum Islam dalam merespon dinamika zaman akan dapat terealisasi, sebab
kondisi hukum Islam sendiri sangat memungkinkan untuk menjawab problematika
kontemporer, karena memiliki faktor-faktor:
7
Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 13-14.
7
cocok untuk daerah tertentu saja, atau sesuai untuk kondisi tertentu saja. Dengan
keuniversalan hukum-hukum itu, maka hukum Islam mampu merespon dinamika zaman. 8
3. Adanya faktor nash menerima keragaman pemahaman.
Faktor ketiga tercermin dari kenyataan bahwa sebagian nash yang memuat hukum
secara kongkret dan terperinci dinyatakan dalam suasana kalimat yang memungkinkan
beragam pemahaman dan penafsiran. Faktor ini, di samping dua faktor sebelumnya, sangat
mendukung munculnya berbagai aliran pemikiran dalam fikih Islam.
Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau fikih begitu terbuka terhadap berbagai
watak tokoh, yang keras seperti Umar, yang lunak seperti Ibn Abbas, yang rasional seperti
Abu Hanafiyah, yang tradisional seperti Ahmad Ibn Hanbal, dan yang harfiah seperti
Dawud Ad-Dhahiri. Karena itu pula diikuti munculnya berbagai mazhab rakyu, mazhab
hadits, para ahli tafsir, dan kaum moderat. Dari tipelogi yang dimiliki para tokoh tersebut,
merupakan aset yang sangat besar dalam menjawab beberapa masalah yang berkembang
belakangan ini. 9
4. Adanya faktor melindungi hal darurat dan keadaan tertentu.
Faktor keempat yang menjadikan syariat elastis dan luas adalah fakta bahwa syariat ini
sangat memperhatikan kebutuhan-kebutuhan, hak-hak darurat, dan keadaan-keadaan sulit
dalam kehidupan manusia. Syari’at meletakkan semua pada tempat masing-masing dan
menetapkan hukum-hukum khas yang bersangkut paut dengan itu. Hukum-hukum seperti
itu selaras dengan tujuan umum syariat, yakni mempermudah kehidupan manusia dan
menghilangkan kesulitan serta beban berat kehidupan, hal-hal yang terdapat pada kitab-
kitab terdahulu. 10
Dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. “Beban berat akan menarik kemudahan”, kaidah dasar yang telah disepakati dan
termuat dalam kitab qawaid fiqhiyyah ialah al-masyaqqah tajlib al-taisir (keadaan
sulit atau beban berat akan menarik kemudahan). Berdasarkan kaidah ini banyak
sekali kemudahan dan keringanan dalam hukum Islam yang dapat ditetapkan bagi
mereka yang sakit, sedang berpergian, atau uzur. Ini dinyatakan dalam hadits,
8
Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 27.
9
Ibid hal. 46-47
10
Jalal al-Din al-Suyuthi, Asybah wa Nadzair, (Semarang : Toha Putra, tt.), hlm. 37.
8
“Sesungguhnya Allah senang apabila kemudahan-Nya (rukhsah) dikerjakan
sebagaimana ia benci apabila larangannya dilanggar”.
2. Adanya prinsip “keadaan darurat memperbolehkan hal-hal yang dilarang”. Hukum
Islam menetapkam ketentuan khusus berkenaan dengan hal-hal yang dilarang bagi
manusia, karena terjadinya keadaan darurat dan mengancam kelangsungan hidup,
berupa kaidah hukum yang sangat terkenal, yaitu al-dlarurat tubih al-Mahdhurat
(keadaan darurat memperbolehkan hal-hal yang sebelumnya dilarang). Kaidah ini
dilengkapi dengan kaidah-kaidah pendukungnya, misalnya ma abiha li al-dlarurat
yuqaddaru biqadriha (sesuatu yang diperbolehkan karena desakan, dibatasi sesuai
dengan kadar kebutuhannya) dan al-Hajh tanzilu manzilah al-dlarurat khash-shah
kanat au ammah (kebutuhan dapat menempati kedudukan darurat, baik yang
bersifat umum maupun khusus).
3. Adanya pemaksaan dengan ancaman. Keadaan yang dipandang darurat dibenarkan
seseorang untuk mengerjakan sesuatu yang dilarang dalam keadaan normal,
antara lain terjadinya pemaksaan dengan ancaman. Apabila seseorang dipaksa
disertai ancaman untuk mengerjakan sesuatu tanpa pilihan lain, ia tidak berdosa
atas pekerjaannya, sekalipun itu kufur, yang merupakan kejahatan terbesar dalam
pandangan Islam.
4. Adanya keadaan tidak mampu karena uzur atau lemah. Keadaan darurat lain yang
keluar dari kaidah umum fikih adalah seseorang atau sekelompok muslim tidak
berdaya sehingga terpaksa menampakkan sikap setia kepada orang-orang non-
muslim. Namun, itu dilakukannya bukan karena tertarik dengan agama mereka atau
mengkhianati agama dan umatnya sendiri, melainkan karena khawatir akan
keselamatan diri.
5. Keharusan adanya jamaah dan kelangsungannya. Syariat sangat memperhatikan
kelangsungan hidup pribadi, sehingga memperbolehkan seseorang melakukan
banyak hal yang sebelumnya dilarang, sesuai dengan kadar kebutuhannya.
Demikian pula terhadap kelangsungan hidup umat. Syari’at sangat memperhatikan
hal itu berikut hal apa pun yang akan membawa keselamatan dan memelihara
kelangsungan hidup serta kepimpinan umat.
5. Adanya faktor perubahan ruang, waktu, dan tradisi.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap teks-teks dalil (nushush) telah diketahui bahwa
tujuan utama hukum-hukum syariat adalah mewujudkan kemaslahatan semesta,
menegakkan keadilan, dan menghilangkan kezaliman serta kerusakan dari kehidupan
9
dunia. Ini harus selalu diperhatikan oleh ahli ushul dalam usaha menafsirkan nushush dan
menerapkan hukum. Sehingga, ia terhindar dari sikap bersikukuh atau terpaku berpegang
pada satu pendapat seumur hidup, sekalipun situasi, kondisi dan tradisi terus berubah,
ketika memberikan fatwa atau merumuskan hukum. Ahli fikih harus senantiasa bersandar
pada tujuan-tujuan utama syariat, yang bersifat umum, ketika menetapkan hukum dalam
masalah-masalah tertentu. Sebagai realita adanya perubahan fatwa.
Kondisi itu direspon oleh oleh Ibnu Qayyim, yang menegaskan, “fatwa (yang diberikan
mesti) berubah-ubah dan berbeda-beda sesuai dengan perubahan waktu, ruang, kondisi, dan
motivasi”. Ibnu Qayyim mempertegas gagasannya dalam karyanya yang terkenal I’lam al-
Muwaqqi’in. ia mengeluarkan pernyataan, yang kemudian menjadi titik tolak pemikiran
selanjutnya, yang dicantumkan dalam mukadimah.
Hal itu nampak, hukum yang tetap dan yang berubah, tidak semua perubahan waktu,
ruang, dan tradisi sebagai bahan fatwa. Di antara hukum-hukum syariat itu ada pula yang
bersifat tetap dan abadi, tidak terbuka terhadap perubahan dan perbedaan pendapat
walaupun zaman, kondisi dan situasi terus berubah. Dalam konteks ini, Ibnu Qayyim
menegaskan bahwa dalam syariat itu ada dua macam bentuk: pertama, hukum yang sama
sekali tidak berubah dari ketentuan tunggalnya sejak semula, tidak terpengaruh oleh
perkembangan ruang dan waktu atau ijtihad para imam fikih. Hukum yang semacam ini
antara lain adalah beberapa kewajiban, larangan, dan ketetapan syarat mengenai bentuk
hukuman dalam perkara kriminal. Hukum-hukum ini tidak menerima perubahan atau
ijtihad yang menyalahi ketentuan yang ada. Kedua, hukum yang menerima perubahan
sesuai dengan tuntutan kemaslahatan yang ada, selaras dengan perkembangan waktu,
ruang dan kondisi. Umpamanya, ukuran dan bentuk sanksi untuk kasus-kasus tertentu.
Dalam hal ini, syariat terbuka terhadap perbedaan ketentuan hukum sesuai dengan tuntutan
kemaslahatannya.11
11
Ibnu Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, jilid 3, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hlm. 14-15.
10
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Perkembangan pemikiran Islam kontemporer yang luar biasa saat ini, sesungguhnya,
dapat diklasifikasikan dalam 5 model kecenderungan yakni fundamentalis, tradisionalis,
reformis, postradisionalis dan modernis.
11
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Jainuri. 2004. Orientasi Ideologi Gerakan Islam. Surabaya: LPAM. Dan Riza Sihbudi, et.al. 2005.
Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.
Achmad Jainuri. 2004. Orientasi Ideologi Gerakan Islam. Surabaya: LPAM. Dan Riza Sihbudi, et.al. 2005.
Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.
Ibnu Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, jilid 3, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hlm. 14-15.
Imam Mustofa, Kajian Fiqih Kontemporer, (Yogyakarta: Idea Press, 2017),h.201
Jalal al-Din al-Suyuthi, Asybah wa Nadzair, (Semarang : Toha Putra, tt.), hlm. 37.
Mona Abaza. 1991. “The Discourse on Islamic Fundamentalism in the Middle East and Southeast Asia: A
Critical Perspective,” Sojourn 6: 203-239. Dan Anwar-ul-Haq Ahady. 1992. “The Decline of Islamic
Fundamentalism,” Journal of Asian andAfrican Studies XXVII, 3-4 : 231.
Shepard, William. “What is ‘Islamic Fundamentalism’?,” Studies in Religion 17, 1 (1988): 5- 25. Dan Riza
Sihbudi, et.al. 2005. Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.
Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 13-14.
Yusuf Qardhawi, Ijtihad Kontemporer, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 27.
12