Anda di halaman 1dari 16

HUBUNGAN ISLAM DAN GLOBALISASI

Makalah
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Pembelajaran Al-Qur’an

Oleh:

KELOMPOK 12 (DUA BELAS)


Husnul Amalia (21011361)
Eliza Fitra (21011359)
Syarifatun Sholehah (21011367)

DOSEN PEMBIMBING
LINDAWATI, M.A

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYYAH (STIT)


MUHAMMADIYAH ACEH BARAT DAYA
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah swt., Tuhan Yang Maha
Segalanya, karena atas kehendak-Nya, sehingga kami dapat menyusun makalah ini
dengan baik serta tepat pada waktunya dengan bahasan mengenai “Hubungan
Islam dan Globalisasi”. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada
Baginda Nabi Muhammad Saw., para keluarga dan para sahabatnya.
Makalah ini telah dibuat dengan berbagai observasi dengan berbagai
bantuan dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan
hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah ini. Oleh karena itu, kami mengundang pembaca untuk memberikan saran
serta kritik yang dapat membangun kami. Konstruktif dari pembaca sangat kami
harapkan untuk penyempurnaan Makalah kami.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya
kepada Dosen pembimbing mata kuliah Metodologi Studi Islam yang telah
membimbing dalam menulis makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Susoh, 25 Juli 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1


A. Latar Belakang .......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ........................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 3


A. Definisi Globalisasi..................................................................... 3
B. Respons Muslim Terhadap Globalisasi ...................................... 3
C. Modernisme dan Reformisme Islam ........................................... 4
D. Fundamentalisme dan Radikalisme Islam .................................. 6
E. Tradisionalisme Islam ................................................................. 8
F. Post-Tradisionalisme dan Liberalisme Islam .............................. 9

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 12


A. Kesimpulan ................................................................................. 12
B. Saran ........................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kemampuan bangsa barat (benua Eropa) dalam pengembangan potensi diri
tidak terlepas dari perkenalannya dengan buku-buku dari bangsa timur tengah
(bangsa Arab). Pengenalan tersebut memberikan dampak yang sangat besar dan
menjadikan bangsa barat memasuki zaman pencerahan. Selanjutnya zaman
pencerahan tersebut memberikan kesadaran dan peran yang istimewa dalam diri
manusia sebagai makhluk otonom yang bertanggung jawab.
Peran aktif yang dijalaninya mengakibatkan manusia bersentuhan dengan
realitas yang ada sehingga ditemukannya ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek).
Penemuan demi penemuan yang terjadi di bidang Iptek mengakibatkan
berkembangnya bidang-bidang tertentu misalnya bidang industri dan ekonomi.
Penemuan serta pengembangan yang terjadi tersebut berdampak pada perubahan
cara hidup manusia secara cepat, dari cara hidup yang masih kuno dan tidak maju
menjadi cara hidup yang baru dan maju atau biasanya disebut modern.
Sulit rasanya meletakkan proses perubahan sosial, budaya dan politik
dewasa ini lepas dari perkembangan dinamika global. Kemajuan teknologi,
informasi, komunikasi dan transportasi memberikan pengaruh yang signifikan
dalam kehidupan sehari-hari. Globalisasi ekonomi dan budaya berpengaruh pada
penciptaan kultur yang homogen dan mengarah pada penyeragaman selera,
konsumsi, gaya hidup, identitas dan kepentingan individu. Sebagai produk
modernitas, globalisasi tidak hanya memperkenalkan masyarakat di pelosok dunia
akan kemajuan dan kecanggihan sains dan teknologi serta prestasi lain seperti
instrumen dan institusi modern hasil capaian peradaban Barat sebagai dimensi
institusional modernitas, tetapi juga mengintrodusir dimensi budaya modernitas,
seperti nilai-nilai demokrasi, pluralisme, toleransi, dan hak-hak asasi manusia.
Dengan demikian, jika dicermati ternyata ada beberapa cara hidup yang
maju dan modern yang semakin menjauhkan manusia dari nilai-nilai agama dan
budaya. Masyarakat muslim tidak dapat menghindari diri dari proses globalisasi
apabila ingin bertahan dan berjaya di tengah perkembangan dunia yang makin

1
kompetitif di segala bidang. Globalisasi yang berlangsung dan melanda masyarakat
muslim Indonesia sekarang ini menampilkan sumber dan watak yang berbeda.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah disebutkan di atas, maka hal yang
patut dikaji adalah sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud dengan globalisasi ?
2. Bagaimana respons muslim terhadap globalisasi ?
3. Bagaimana yang dimaksud dengan modernisme dan reformisme Islam?
4. Bagaimana yang dimaksud dengan fundamentalisme dan radikalisme
Islam?
5. Bagaimana yang dimaksud dengan tradisionalisme Islam?
6. Bagaimana yang dimaksud dengan post-tradisionalisme dan liberalisme
Islam?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi globalisasi.
2. Untuk mengetahui respons muslim terhadap globalisasi.
3. Untuk mengetahui maksud modernisme dan reformisme Islam.
4. Untuk mengetahui maksud fundamentalisme dan radikalisme Islam.
5. Untuk mengetahui maksud tradisionalisme Islam.
6. Untuk mengetahui maksud post-tradisionalisme dan liberalisme Islam.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Globalisasi
Term globalisasi bukan istilah yang asing bagi telinga, dikarenakan istilah
ini sering digunakan dalam berbagai aspek; politik, ekonomi, dan budaya. meskipun
istilah globalisasi begitu populer, tetapi kita tetap kesulitan untuk
mendefinisikannya. Hal ini dikarenakan istilah ini mengandung makna yang saling
terkait dengan berbagai bidang, baik ekonomi, sosial budaya, politik, dan ideologi.1
Ungkapan globalisasi diambil dari kata global yang maknanya adalah
universal. globalisasi merupakan sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan
peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di
seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer dan lain
sebagainya. Secara umum, kata globalisasi dipahami sebagai dominasi negara-
negara besar atas tata niaga dan sistem keuangan internasional.
Istilah globalization pertama kali terdengar di Amerika, pada saat itu arti
globalization adalah menjadikan sesuatu menyebar secara menyeluruh. Amerika
sangat gentar mempromosikan istilah ini ke seluruh dunia. Tidak berlebihan, kalau
kita menaruh curiga terhadap propaganda ini. Biasanya, apabila sebuah negara
memperkenalkan suatu ajaran atau gaya hidup tertentu, pasti negara tersebut
menginginkan agar gaya Amerika bisa diterima dan ditiru oleh seluruh dunia.2
Globalisasi merupakan sebuah fenomena perubahan yang tidak mungkin
dihindari dan dicegah. Perkembangan teknologi informasi begitu cepat, semenjak
teknologi satelit dan internet ditemukan, jagat raya ini menjadi bagai sebuah desa
kecil. Satu biji jarum jatuh di salah satu belahan dunia, maka belahan dunia lain
akan dapat segera mengetahuinya.3
B. Respons Muslim Terhadap Globalisasi
Respons umat Islam terhadap modernisasi dan globalisasi adalah berbeda
ada yang setuju ada pula yang menolak yang setuju beralasan bahwa modernisasi

1
Rasyidin Muhammad, “Islam dan Globalisasi; dari Ambiguitas Konsep hingga Krisis
Identitas”, Jurnal At-Tafkir. Vol. 10 (1), Juni 2017, hlm. 1.
2
Rasyidin Muhammad, “Islam dan Globalisasi; dari Ambiguitas Konsep hingga Krisis
Identitas”, hlm. 2.
3
Rasyidin Muhammad, “Islam dan Globalisasi; dari Ambiguitas Konsep hingga Krisis
Identitas”, hlm. 1.

3
dan globalisasi sebagai suatu hal yang tidak bisa dihindari kalau menghindar dari
modernisasi maka umat Islam akan menjadi umat yang tertinggal, yang penting arus
modernisasi itu tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Islam. Beberapa
reaksi umat Islam terhadap globalisasi secara umum terbagi kepada beberapa yang
akan dijelaskan pada poin selanjutnya yang menunjukkan bahwa umat Islam sangat
antusias dalam memikirkan hak-hak agama mereka dalam arti bagaimanapun
alirannya, pada prinsipnya setiap aliran yang merespons dampak globalisasi dan
ilmu pengetahuan sangat menginginkan eksistensi agama mereka di tengah-tengah
dunia.4
C. Modernisme dan Reformisme Islam
Pemakaian kata modern atau modernisasi selama ini sudah sangat populer
dan semua kalangan terdidik (intelektual) nampaknya sudah paham dengan
peristilahan yang dimaksud. Modernisasi secara implikatif, merupakan proses yang
cenderung mengikis dan menghilangkan pola-pola lama dan kemudian memberinya
status modern pada pola- pola yang baru.5 Sementara aspek yang paling mencolok
dari modernisasi adalah beralihnya teknik produksi dari tradisional ke teknik
modern.6 Pandangan ini berlandaskan pada terjadinya revolusi industri di Barat,
atau berarti modernisasi adalah suatu proses transformasi perubahan bentuk dari
masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Makna tradisional sendiri
diartikan sebagai pandangan hidup yang pada intinya tertutup, kaku dan tidak
mudah menerima perubahan.7
Dengan demikian, modernisasi dapat dimaknai meniru Barat, atau
setidaknya mengikuti jejak masyarakat Barat. Hal ini memang fakta-faktanya tetap,
yakni desain-desain dan peralatan yang dipakai dalam riset modernisasi adalah
dikembangkan di Barat, oleh ilmuwan Barat dan terpengaruh oleh cara-cara
berpikir Barat. Namun unsur-unsur pengetahuan modern yang mula-mula dari
Barat dapat ditransfer, di adaptasi tanpa harus menjadi seperti orang Barat, meniru

4
Muran, “Islam dan Tantangan Globalisasi”, Al-Jami: Jurnal Ilmiah Keagamaan,
Pendidikan, dan Dakwah, Vol 7 (1), 2011, hlm. 157.
5
Pardoyo, Sekularisasi dalam Polemik (Jakarta: Pustaka Utama Grafit, 1993), hlm. 40.
6
Djuritno Adi Imam Muhni, Modernisasi dan Westerenisasi dan Tanggung Jawab Etis,
dalam Slamet Sutrisno (ed), Tugas Filsafat Dalam Perkembangan Budaya, (Yogyakarta: Lebirti
1986), hlm. 49.
7
Pardoyo, Sekularisasi dalam Polemik, hlm. 40.

4
yang berlebihan misalnya: gaya bicara, pergaulan, pola hidup inilah yang sering
diistilahkan dengan westernisasi.8 Namun satu hal yang pasti bahwa Indonesia
menerima modernisasi akan tetapi menolak westernisasi. Karena modernisasi
bukanlah westernisasi.
Modernisme dan reformisme dalam pembinaan hukum Islam untuk pertama
kalinya terjadi di Timur Tengah pada masa Utsmani dan di anak Benua India pada
abad ke 19. Modernisme hukum Islam di negara-negara Islam terus dilakukan
hingga abad ke 20. Namun modernisme hukum Islam pada abad ini tetap
melanjutkan modernisme hukum pada abad ke 19 yang diidentikkan dengan
sistem hukum yang beraliran sekuler. Terlepas dari apakah modernisme hukum
tersebut berkiblat ke Barat atau Eropa, modernisme hukum Islam merupakan
kebutuhan yang harus segera direspon.
Modernisme dan reformisme hukum Islam telah menjadi wacana aktual
akhir-akhir ini, seiring dengan gencarnya isu-isu pembaharuan dalam Islam. Salah
satu wujud dari pembaharuan hukum Islam adalah modernisme dan reformisme
itu sendiri. Modernisme dan reformisme hukum Islam mempunyai pengertian
yang berbeda dari masing-masing elemen, tergantung dari paradigma yang dianut.
Di satu sisi, modernisme dimaknai sebagaimana pengertian Barat, sehingga
modernisme terkesan sebagai westernisasi. Sementara di sisi lainnya, modernisme
dimaknai sebagai uapaya perubahan paradigma terhadap hukum Islam,
sehingga modernisme terkesan sebagai rekonstruksi.
Reformisme hukum Islam pun demikian, dimaknai dan direspons oleh
umat Islam secara berbeda. Di satu sisi reformisme diartikan dengan kembali
kepada ajaran Islam sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah di
Madinah.Implikasi dari paradigma ini adalah muncul kesan bahwa reformisme
adalah puritanisasi sebagaimana yang dikembangkan dalam aliran Wahabi.
Pihak lain justru memaknai reformisme hukum Islam untuk tetap
mempertimbangkan dengan kondisi kekinian. Melalui paradigma tersebut, maka
reformisme dapat pula berarti mencari format baru tentang konsepsi hukum Islam

8
Koentjara Ningrat, Apakah Modernisasi Memerlukan Westernisasi?, Kebudayaan
Metalitas Dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 140-142.

5
yang digali dari al-Qur’an dan hadis serta dikombinasikan dengan perkembangan
dunia modern.9
D. Fundamentalisme dan Radikalisme Islam
Term fundamentalisme berasal dari kata fundamen yang berarti asas, dasar
hakikat, fondasi.10 Dalam bahasa Inggris disebut fundamentalis yang berarti
pokok.11 Dalam bahasa Arab, kata fundamentalisme ini diistilahkan dengan
ushuliyyah. Kata ushuliyyah sendiri berasal dari kata ushul yang artinya pokok.
Dengan demikian, fundamentalisme adalah paham yang menganut tentang ajaran
dasar dan pokok yang berkenaan ajaran keagamaan atau aliran kepercayaan.
Istilah fundamentalis tersebut juga menjadi salah paham atau kelompok
dalam Islam, baik yang bermazhab Sunni maupun Syi’ah. Dalam Sunni, kaum
fundamentalis menerima al-Qur’an secara literal, sekalipun dalam hal-hal tertentu,
mereka pun memiliki ciri-ciri khas lainnya. Mazhab Syi’ah (Iran), kaum
fundamentalis, tidak menginterpretasikan al-Qur’an secara literal (harfiah).12
Berdasarkan batasan ini, maka dapat dirumuskan bahwa mereka yang memahami
nash-nash secara literal, maka ia disebut kaum fundamentalis atau berpaham
fundamentalisme.
Pengertian kaum fundamentalis dari segi istilah sudah memiliki muatan
psikologis dan sosiologis, dan berbeda dengan pengertian fundamentalis dalam arti
kebahasaan sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Dalam pengertian yang
demikian itu, kelahiran kaum fundamentalis ada hubungannya dengan sejarah
perkembangan ajaran Islam, kaum fundamentalis ada kaitannya dengan masalah
politik, sosial, kebudayaan dan selainnya. Kaum fundamentalis tersebut, tidak mau
menerima perubahan dalam arti mereka menentang pembaruan. Jadi, mereka
dengan berhati-hati menegaskan bahwa bahwa pemakluman kenabian Muhammad

9
Abdul Latif, “Modernisme dan Reformisme Muhammadiyah dalam Pembinaan Hukum
Islam di Indonesia”, Al-Syakhshiyyah: Jurnal Hukum Keluarga Islam Dan Kemanusiaan, Vol. 3 (2),
2021, hlm. 187.
10
Tim Penyusun Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm. 281.
11
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Bahasa Inggris Indonesia (Jakarta:
Gramedia, 1979), hlm. 260.
12
M. Abduh Wahid, “Fundamentalisme dan Radikalisme Islam: Telaah Kritis tentang
Eksistensinya Masa Kini”, dalam Sulesana, Vol 12 (1), 2018, hlm. 63.

6
saw bukanlah suatu hal yang baru, melainkan hanya menyambung rentetan nabi dan
rasul yang mendahuluinya.13
Sejalan dengan itu, Zianuddin Alavi menyatakan bahwa pada
perkembangan selanjutnya penggunaan istilah fundamentalisme dimaksudkan
untuk fenomena lain. Istilah itu menimbulkan suatu citra tertentu, misalnya
ekstrimisme, fanatisme, dalam mewujudkan atau mempertahankan keyakinan
keagamaan.14 Mereka yang disebut kaum fundamentalis sering disebut sebagai
tidak rasional, tidak moderat dan cenderung untuk melakukan tindakan kekerasan
apabila diperlukan.
Kemudian term radikalisme berasal dari kata radikal yang berarti prinsip
dasar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa radikal dapat
berarti; secara menyeluruh; habis-habisan; amat keras; dan menuntut perubahan.
Juga di temukan beberapa pengertian radikalisme yang dijumpai dalam kamus
bahasa, yakni; (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau
aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan
cara kekerasan; (3) sikap ekstrem di suatu aliran politik.15
Menurut Yusuf Qardhawi, istilah radikalisme tersebut berasal dari kata al-
tatharuf yang berarti berdiri di ujung, jauh dan pertengahan. Bisa juga diartikan
berlebihan dalam menyikapi sesuatu, seperti berlebihan dalam beragama, berpikir
dan berprilaku.16 Adapun Azyumardi Azra menyatakan bahwa Istilah radikal
mengacu kepada gagasan dan tindakan kelompok yang bergerak untuk
menumbangkan tatanan politik mapan; negara-negara atau rejim-rejim yang
bertujuan melemahkan otoritas politik dan legitimasi negara-negara dan rejim-rejim
lain; dan negara-negara yang berusaha menyesuaikan atau mengubah hubungan-
hubungan kekuasaan yang ada dalam sistem internasional. Istilah radikalisme

13
M. Abduh Wahid, “Fundamentalisme dan Radikalisme Islam: Telaah Kritis tentang
Eksistensinya Masa Kini”, hlm. 63.
14
M. Abduh Wahid, “Fundamentalisme dan Radikalisme Islam: Telaah Kritis tentang
Eksistensinya Masa Kini”, hlm. 64.
15
Tim Penyusun Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, hlm. 808.
16
Hawin Murthado,, Islam Radikal: Analisis terhadap Radikalisme dalam Ber-islam (Solo:
Era Intermedia, 2004), hlm. 23.

7
karenanya, secara intrinsik berkaitan dengan konsep tentang perubahan politik dan
sosial pada berbagai tingkatan.17
Dengan kaitan ini, agaknya dapat dipahami bahwa radikalisme adalah suatu
kelompok yang sering dipandang Barat sebagai teroris yang bertujuan melemahkan
otoritas politik dengan jalan jihad. Artinya, gerakan-gerakan keagamaan radikal ini
menjadikan jihad sebagai salah satu metode untuk mencapai cita-citanya, yakni
tatanan sistem Islam.
Dengan batasan pengertian antara fundamentalisme dan radikalisme dalam
Islam yang telah dipaparkan, terlihat adanya persamaan yang sangat prinsipil, yakni
keduanya sama-sama bertumpu pada ajaran dasar Islam. Atau dengan kata lain,
sama-sama menjadikan rukun iman dan rukun Islam sebagai ajaran dasar dan
pokok. Walaupun antara fundamentalisme dan radikalisme memiliki kesamaan,
namun pada sisi lain terdapat perbedaan di antara keduanya. Fundamentalisme
domainnya secara umum mengacu pada paham keagamaan, sedangkan radikalisme
mengacu pada paham politik. Atau dengan kata lain, fundamentalisme bisa
dikatakan merupakan bentuk paham dalam Islam yang sering bersifat eksoteris,
yang sangat menekankan batas-batas pemahaman tentang kebolehan dan
keharaman berdasarkan fikih, sementara radikalisme menekankan pada sikap jiwa
yang membawa kepada tindakan-tindakan yang bertujuan melemahkan dan
mengubah tatanan politik mapan dan biasanya dengan cara-cara kekerasan.18
E. Tradisionalisme Islam
Pemikiran Islam secara tradisionalis berasal pada Aliran Ahlu al-Sunnah wa
al-Jami’ah, teruna aliran Asy’ariyah yang juga merujuk kepada aliran Jabariyah
yang mengenal paham predeterminisme (takdir), yakni paham bahwa manusia
harus menerima ketentuan dan rencana Tuhan yang telah dibentuk sebelumnya.
Paham Jabariyah yang kemudian dilanjutkan oleh aliran Asy’ariyah ini
menjelaskan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan untuk keinginan dalam
menciptakan sejarahnya sendiri, meskipun manusia didorong untuk berusaha pada
akhirnya Tuhan jualah yang menentukan hasil akhir dari usahanya

17
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga
Postmodernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 147-148.
18
M. Abduh Wahid, “Fundamentalisme dan Radikalisme Islam: Telaah Kritis tentang
Eksistensinya Masa Kini”, hlm. 64-65.

8
Sedangkan aliran tradisionalis sendiri menganut kepercayaan bahwa
kemunduran umat Islam adalah ketentuan dan rencana Allah dan hanya Allah yang
tahu Hilman dan arti dibalik dari semua kemunduran dan keterbelakangan umat
Islam tersebut.19 Cara berpikir tradisionalis tidak hanya diidentikkan pada kalangan
muslim di pedesaan atau di kalangan NU, akan tetapi sesungguhnya pemikiran ini
juga terdapat di berbagai organisasi dan berbagai tempat. Banyak diantara mereka
yang di dalam kehidupan sehari-hari mengasosiasikan diri mereka sebagai
golongan modernis, namun ketika kembali kepada persoalan teologi serta kaitan
dengan usaha manusia, mereka berpikir lebih tradisionalis.20
F. Post-Tradisionalisme dan Liberalisme Islam
Post-tradisionalisme sebagai sebuah produk pemikiran meniscayakan
adanya intervensi, baik dalam bentuk muatan ideologi maupun orientasi pemikiran
dan praksis dari sang subyek yang melahirkannya. Gerakan post-tradisionalisme
Islam berada di dalam tubuh Nahdlatul Ulama (NU) yang sebelumnya tidak pernah
ada. K.H. Abdurrahman Wahid, yang dikenal dengan nama Gus Dur, merupakan
tokoh dibalik munculnya wacana ini di kalangan NU. Modal intelektual dan
keturunan darah biru yang dimiliki oleh Gus Dur, seolah memberi perlindungan
terhadap kelompok post-tradisionalisme tersebut. Munculnya tokoh-tokoh muda
NU seperti Abdul Mun’im DZ, Ulil Abshar Abdalla, Rumadi, Moqsith Ghazali,
Ahmad Baso, dan lain-lain, seolah memberikan ruang berkembangnya post-
tradisionalisme di tubuh NU. Kalangan post-tradisionalisme Islam yang memang
fokus terhadap gerakan sosial dan gerakan kultural intelektual pada akhirnya terjun
ke dalam dunia politik praktis. Padahal sebelumnya mereka adalah orang yang
paling istiqomah bergerak di bidang kultural dan sosial intelektual terutama ketika
Gus Dur berhasil terpilih menjadi presiden.21
Pos-tradisionalisme sebagai wacana perkembangan pemikiran Islam di
Indonesia bukan merupakan proses yang langsung menjadi, tetapi didahului oleh
suatu proses pembentukan pemikiran yang panjang. Pos-tradisionalisme lahir dari

19
Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam (Bandung: Remaja Rasda
Karya, 2000), hlm. 194.
20
Muran, “Islam dan Tantangan Globalisasi”, 154.
21
Bindaniji dan Fuadi, “Post-Tradisionalisme: Membincang Basis Epistemologi dan
Transformasi Gerakan Moderasi Beragama Nahdlatul Ulama”, Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu
Ushuluddin, Vol. 24 (1), 2022, hlm 59.

9
proses pergulatan intelektual kalangan NU dengan basis penguasaan khazanah
klasik (turāts) cukup memadai dengan melalui kesadaran akan tradisi yang mereka
pegang, kemudian mereka mencoba melakukan transformasi dan revitalisasi
terhadap tradisi tersebut. Jika nalar atau pembacaan terhadap fenomena post-
tradisionalisme dilakukan dengan kacamata teori sosial ‘kontinuitas (continuity)
dan perubahan (change)’ maka akan mengonter pelbagai bentuk pernyataan yang
mempertanyakan validasi dari istilah post-tradisionalisme yang dianggap tidak
lazim dan memandang post-tradisionalisme dengan stigma yang tidak baik.
Namun, post-tradisionalisme tidak semata mengkritik modernisme saja,
tetapi ia juga melakukan hal senada kepada tradisi. Post tradisionalisme melakukan
auto-kritik terhadap tradisi. Dengan mengacu pada pemikiran seperti al-Jābirī,
Arkoun dan lainnya, yang notabene mereka menjadikan tradisi sebagai dasar
transformasi gerakan, dan memadukan dengan disiplin ilmu sosial modern,
kelompok posttradisionalisme berusaha untuk kembali menghidupkan,
merevitalisasi, dan melakukan kontekstualisasi ajaran yang berasal dari tradisi
(turāts) untuk melakukan apa yang disebut dengan transformasi gerakan. Pada
kasus terakhir ini, kelompok post-tradisionalisme kerap memunculkan ide-ide yang
dianggap sebagai liberal ala kelompok modernis. Status liberal pada kelompok
post-tradisionalisme ini menjadi hal yang unik dalam dinamika gerakan pemikiran
di Indonesia, di mana post-tradisionalisme yang selalu berlandaskan pada tradisi
tidak segan melakukan kritik terhadap tradisi atas nama tradisi dan modernitas.22
Adapun term “liberal” diambil dari bahasa Latin liber artinya bebas dan
bukan budak atau suatu keadaan dimana seseorang itu bebas dari kepemilikan orang
lain. Makna bebas kemudian menjadi sebuah sikap kelas masyarakat terpelajar di
Barat yang membuka pintu kebebasan berfikir (The old Liberalism). Dari makna
kebebasan berfikir inilah kata liberal berkembang sehingga mempunyai berbagai
makna. Secara politis liberalisme adalah ideologi politik yang berpusat pada
individu, dianggap sebagai memiliki hak dalam pemerintahan, termasuk persamaan
hak dihormati, hak berekspresi dan bertindak serta bebas dari ikatan-ikatan agama

22
Bindaniji dan Fuadi, “Post-Tradisionalisme: Membincang Basis Epistemologi dan
Transformasi Gerakan Moderasi Beragama Nahdlatul Ulama”, hlm. 69.

10
dan ideologi.2 Dalam konteks sosial liberalisme diartikan sebagai adalah suatu etika
sosial yang membela kebebasan (liberty) dan persamaan (equality) secara umum.23
Leonard Binder menyatakan istilah “Islamic Leberalism” atau liberalisme
Islam cenderung berkonotasi radikal dan fundamentalistik. Adapun istilah dan
pengertian leberal Islam, yang dikemukakan oleh Barton dan Kurzman, merupakan
suatu bentuk pendekatan yang berupaya keluar dari kungkungan hegemoni teks dan
cenderung menekankan kontektualisasi Islam di tengah-tengah perubahan sosial.
Dengan demikian istilah dan pengertian Islamic Liberalism, yang dikemukakan
oleh Binder, lebih menggambarkan kecenderungan yang terdapat dalam gerakan
melawan hegemoni Barat yang terjadi di negara-negara berkembang yang
penduduknya mayoritas umat Islam.
Oleh karena itulah, kedua istilah ini jika diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia akan tampak perbedaan signifikan, yakni Leberal Islam berarti “Islam
yang bercorak liberal”, dan Islamic Leberalism berarti “pembebasan yang diyakini
berdasarkan doktrin atau paham keislaman”. Ini artinya jika istilah pertama
menggambarkan titik tolak dalam memahami persoalan-persoalan keislaman, maka
istilah kedua lebih menitikberatkan pada aspek keyakinan teologis dalam
menerapkan Islam terhadap berbagai kondisi sosial dan budaya.24

23
Hamid Fahmy Zarkasyi, “Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris,
Orientalis dan Kolonialis”, Jurnal TSAQAFAH, Vol. 5 (1), 1430, hlm. 3.
24
Irfan Noor,” Islam Liberal dan Tradisi Pembaharuan Islam di Indonesia”, dalam makalah
yang telah disajikan untuk Forum Diskusi Bulanan yang diselenggarakan LK-3 dengan Serambi
Ummah Banjarmasin Post pada hari sabtu 01 September 2001 di Gedung Palimasan Lt. IV Kantor
Redaksi Banjarmasin Post. Hlm. 2.

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Globalisasi diambil dari kata global yang maknanya adalah universal.
globalisasi merupakan sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan
keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia
melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer dan lain sebagainya.
Secara umum, kata globalisasi dipahami sebagai dominasi negara-negara besar atas
tata niaga dan sistem keuangan internasional.
Respons umat Islam terhadap modernisasi dan globalisasi adalah berbeda
ada yang setuju ada pula yang menolak yang setuju beralasan bahwa modernisasi
dan globalisasi sebagai suatu hal yang tidak bisa dihindari kalau menghindar dari
modernisasi maka umat Islam akan menjadi umat yang tertinggal, yang penting arus
modernisasi itu tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Islam.
B. Saran
Pembahasan terkait dengan Islam dan globalisasi itu sangat luas. Oleh
karena itu, penulis berharap akan ada pembahasan yang lebih baik lagi mengenai
tema ini kedepannya. Walaupun penulis sudah berusaha semaksimal mungkin
sesuai kemampuan untuk meneliti hubungan Islam dan globalisasi, namun tentu
masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Dengan demikian,
penulis berharap ada yang dapat menyempurnakan kajian ini.

12
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Latif. “Modernisme dan Reformisme Muhammadiyah dalam Pembinaan Hukum Islam di
Indonesia”, Al-Syakhshiyyah: Jurnal Hukum Keluarga Islam Dan Kemanusiaan, Vol. 3
(2), (2021): 186-197.
Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok. Metodologi Studi Islam. Bandung: Remaja Rasda Karya,
2000.
Azyumardi Azra. Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga
Postmodernisme. Jakarta: Paramadina, 1996.
Bindaniji dan Fuadi. “Post-Tradisionalisme: Membincang Basis Epistemologi dan Transformasi
Gerakan Moderasi Beragama Nahdlatul Ulama”, Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu
Ushuluddin, Vol. 24 (1), (2022): 58-71.
Djuritno Adi Imam Muhni. Modernisasi dan Westerenisasi dan Tanggung Jawab Etis, dalam Slamet
Sutrisno (ed), Tugas Filsafat Dalam Perkembangan Budaya. Yogyakarta: Lebirti 1986.
Hamid Fahmy Zarkasyi. “Liberalisasi Pemikiran Islam: Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis
dan Kolonialis”. Jurnal TSAQAFAH, Vol. 5 (1), (1430): 1-28.
Hawin Murthado. Islam Radikal: Analisis terhadap Radikalisme dalam Ber-islam. Solo: Era
Intermedia, 2004.
Koentjara Ningrat. Apakah Modernisasi Memerlukan Westernisasi?, Kebudayaan Metalitas Dan
Pembangunan. Jakarta: Gramedia, 1987.
M. Abduh Wahid. “Fundamentalisme dan Radikalisme Islam: Telaah Kritis tentang Eksistensinya
Masa Kini”, dalam Sulesana, Vol 12 (1), (2018): 61-75.
Muran. “Islam dan Tantangan Globalisasi”, Al-Jami: Jurnal Ilmiah Keagamaan, Pendidikan, dan
Dakwah, Vol 7 (1), (2011): 138-158.
Pardoyo. Sekularisasi dalam Polemik. Jakarta: Pustaka Utama Grafit, 1993.
Rasyidin Muhammad. “Islam dan Globalisasi; dari Ambiguitas Konsep hingga Krisis Identitas”,
Jurnal At-Tafkir. Vol. 10 (1), (2017): 1-15.
Tim Penyusun Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 1991.
John M. Echols dan Hassan Shadily. Kamus Bahasa Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1979.

13

Anda mungkin juga menyukai