Anda di halaman 1dari 20

TANTANGAN UMAT ISLAM DI MASA MODERN

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas kelompok


Mata kuliah : Islamic Building
Dosen Pengampu : Muhammad Iqbal J, S,Sy., M.H

Disusun oleh:
Kelompok 12
1. Nafi’udin Faiz Ashari NIM : 1917301084
2. Nama 2 NIM
3. Nama 3 NIM
4. dst

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
PURWOKERTO
2019
KATA PENGANTAR

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena dengan rahmat,
karunia serta taufik dan hidayah-Nya, kami dapat menyusun makalah tentang “TANTANGAN
UMAT ISLAM DI MASA MODERN”.
Kami juga menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan dan jauh dari kata
yang sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan adanya kritikan dan saran serta usulan
demi perbaikan makalah ini di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami oleh siapapun yang membacanya.
Sebelumnya kami mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan mohon kritikan dan sarannya yang membangun.

27 November 2019

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ………………….................……………………………….……… i
DAFTAR ISI ………..…………………………..................……………….……………… ii
BAB I PENDAHULUAN ………………………........................…………………………. 1
A. Latar Belakang ........................................................................................………....… 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................……….…... 1
C. Tujuan .....................................................................................................…….……... 2
D. Manfaat ....................................................................................................……….…... 2

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................... 3


A. Islam dan Problematika Sosial .................................................................………......... 3
B. Islam dan Modernisasi ….………………………………………………………..….. 4
C. Penyebab modernisasi dalam perkembangan islam …...…………….....……...…... 12
D. Tantangan dakwah di era digital ………….....…………......................................….. 15

BAB III PENUTUP ............................................................................................................. 15


A. Kesimpulan ..............................................................................................……….….. 15
B. Saran ........................................................................................................……….….. 16

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agama "ditantang" untuk bisa hidup secara eksistensial. Agama pun
diharapkan memiliki signifikansi moral dan kemanusiaan bagi keberlangsungan hidup
umat manusia. Secara realistik, tugas semacam itu masih dibenturkan dengan adanya
kehadiran modernitas yang terus- menerus berubah dan menari-nari di atas pusaran dunia
sehingga menimbulkan gesekan bagi agama.
Dalam penampakan dunia yang sangat kompleks ini, peran agama tidak bisa
dipandang sebelah mata. Kehidupan yang sangat dinamis ini merupakan realitas yang tidak
bisa dihindarkan dan perlu direspon dalam konstruksi pemahaman agama yang dinamis
pula. Tarik-menarik antara tradisi (agama) dan modernitas menjadi wacana yang masih
hangat untuk selalu diperdebatkan. Ada kesan bahwa agama itu bertolak belakang dengan
modernitas.
Agama Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, terdapat berbagai petunjuk
tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan. Islam yang
diakui pemeluknya sebagai agama terakhir dan penutup dirangkaikan petunjuk
Tuhan untuk membimbing kehidupan manusia, mengklaim dirinya sebagai agama yang
paling sempurna. Peradaban Islam dipahami sebagai akumulasi terpadu antara normanitas
Islam dan historitas manusia di muka bumi yang selalu berubah-ubah. Maka setiap
zaman akan selalu terjadi reinterpretasi dan reaktualisasi atas ajaran Islam yang
disesuaikan dengan tingkat pemikiran manusia zaman ini. Nasib agama Islam di zaman
modren ini sangat ditentukan sejauh mana kemampuan umat Islam merespon secara tepat
tuntutan dan perubahan sejarah yang terjadi di era modern ini.
Secara teologis, Islam merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat ilahiah
(transenden). Pada posisi ini Islam adalah pandangan dunia (weltanschaung) yang
memberikan kacamata pada manusia dalam memahami realitas. Secara sosiologis, Islam
merupakan fenomena peradaban, realitas sosial kemanusiaan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah yang akan kami angkat
dalam makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Apa itu Islam dan Problematika Sosial ?
2. Apa itu Islam dan Modernisasi?
3. apa penyebab modernisasi dalam perkembangan islam?
4. Bagaimana Tantangan dakwah di era digital ?

C. Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah diatas dapat di simpulkan tujuannya yaitu:

1
1. Mengetahui bagaimana islam dalam menghadapi Problematika Sosial
2. Mengetahui bagaimana Islam dengan Modernisasi itu
3. Mengetahui bagaimana penyebab modernisasi dalam perkembangan islam.
4. Mengetahui bagaimana Tantangan dakwah di era digital .

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Islam dan Problematika Sosial

Dari pada sekedar merespon fenomena teologis, agama sesungguhnya lebih berperan besar
dalam mersepon fenomena sosiologis. Artinya, agama kerap diturunkan melalui seorang
hamba Tuhan yang disebut nabi seiring dengan konteks sosial di mana sang nabi tersebut
dirisalahkan. Nabi Muhammad misalnya, hadir membawa ajaran Islam empat belas abad yang
lalu untuk merespon fenomena kehidupan sosial masyarakat Arab ketika itu yang hidup dalam
kondisi “jahiliyah”. Jika ajaran yang disampaikan nabi Muhammad sampai hari ini disepakati
sebagai ajaran Islam, dan dalam perjalanannya Islam awal hadir untuk merespon
masyarakat jahiliyah Arab sebagai gejala sosial ketika itu, maka pertanyaan yang mungkin
dapat dikedepankan adalah: bagaimana posisi Islam dalam merespon problematika sosial saat
ini?.

Terma problematika sosial sesunggunhya menjadi term yang dapat dibincangkan dari berbagai
aspek: budaya, politik, ekonomi dan aspek-aspek lainnya. Meski demikian, pembicaraan
mengenai problematika sosial agaknya lebih cendrung diarahkan pada aspek perekonomian
masyarakat seperti masalah kemiskinan yang memiliki integrasi dengan konsep zakat di dalam
Islam. Setidaknya inilah salah satu aspek yang sering disoroti beberapa tokoh ketika
membicarakan Islam dan problematika sosial, sehingga kadang kala kita hampir melupakan
aspek-aspek lain yang juga penting dibincangkan sebagai fenomena kontemporer.

Kemiskinan sebagai problem sosial pada prinsipnya telah mendapatkan jawaban yang jelas
dalam ajaran Islam dengan konsep zakat, infak dan sedekah. Namun demikian, jika kita
mencoba keluar dari persoalan ini menuju persoalan lain yang pada dasarnya juga menjadi
persoalan yang dapat disoroti sebagai problematika sosial, seperti mengenai pluralisme
misalnya, pembicaraan akan menuai kontroversi yang cukup akut. Pembicaraan lain yang
masih dirasa hangat, setidaknya di Indonesia, sebagai persoalan yang juga masih dapat
ditafsirkan sebagai problematika sosial adalah soal kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Bukankah persoalan-persoalan yang baru disebutkan merupakan sebuah perwajahan dari
problematika sosial yang dihadapi umat Islam (Indonesia) saat ini?.

3
Ada sebuah stigma yang terbangun di tengah masyarakat pada umumnya, bahwa orang-orang
muslim memiliki jiwa solidaritas yang begitu tinggi terhadap saudaranya seiman dan
sekeyakinan. Namun orang orang muslim, agaknya sulit bernegosiasi untuk komunitas yang
berada di luar keyakinannya (non-muslim). Tentu stigma semacam ini tidak dapat
digeneralisasi sebagai argumentasi untuk menyebutkan Islam sebagai demikian adanya. Sebab
dalam faktanya kita masih dapat menemukan Islam yang berwajah ramah di tengah fenomena
Islam yang berwajah “amarah”. Jika ditinjau dari sumber-sumber utama ajaran Islam sekalipun
kita dapat menemukan Islam yang benar-benar menjadi“rahmat bagi seluruh alam” dari pada
sekedar “azab bagi sebagaian alam”. Sehingga wajar jika seorang tokoh pernah mengatakan:
orang-orang dari kalangan non-muslim kecil kemungkinan untuk dapat masuk/memeluk Islam
jika melihat fenomena yang ditunjukkan umatnya, tapi kebanyakan dari mereka
masuk/memeluk Islam karena mempelajari sumbernya (Al Qur’an).

Diterbitkannya buku kontroversial Fikih Lintas Agama oleh tim penulis Paramadina beberapa
tahun lalu pada dasarnya merupakan sebuah karya bijak untuk merespon problematika sosial
yang dihadapi umat Islam kontemporer dalam hubungannya dengan komuntas keagamaan lain.
Bahwa fikih klasik yang dirumuskan ulama-ulama terdahulu memang kurang terbuka bagi
komunitas keagamaan lain merupakan fakta yang tidak terbantah, sehingga kita butuh sebuah
tafsir baru atas fikih yang lebih inklusif dan pluralis. Namun demikian, buku yang kita anggap
sebagai karya bijak tersebut ternyata belum mampu diterima oleh masyarakat Islam secara luas,
sehingga pencerahan yang dapat ditemukan pada buku tersebut tidak memiliki andil untuk
mengisi dimensi Islam di Indonesia. Buku ini dilarang beredar karena dikhawatirkan akan
meracuni pikiran umat, sehingga buku ini hanya dapat ditemukan di kantung mereka yang
berani terbuka untuk wacana-wacana keislaman baru yang lebih segar.

B. Islam dan Modernisasi

1. Pengertian modernisme islam

Kata “Modernitas” , “modernisme” Modern enurut KBBI artinya adalah sikap dan cara berpikir
serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman.

Kata modern yang dikenal dalam bahasa Indonesia jelas bukan istilah original atau asli
melainkan “diekspor” atau di amabil dari bahasa asing (modernization), berarti “terbaru” atau
“mutakhir” menunjuk kepada prilaku waktu yang tertentu (baru). Akan tetapi, dalam

4
pengertian yang luas modernisasi selalu saja dikaitkan dengan perubahan dalam semua aspek
kawasan pemikiran dan aktifitas manusia sebagaimana kesimpulan Rusli Karim, dalam
menganalisis pendapat para ahli tentang modernisaisi.

Dalam masyarakat Barat kata modernisasi mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha
untuk mengubah paham-paham, adat-istiadat, isntitusi-institusi lama dan sebagainya agar
semua itu dapat disesuaikan dengan pendapat- pendapat dan keadaan-keadaan baru yang
ditimbulkan ilmu pengetahuan modern. Secara teoritis di kalangan sarjana Muslim
mengartikan modernisasi lebih cenderung kepada suatu cara pandang meminjam defenisi
Harun Nasution, modernisasi adalah mencakup pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk
merubah faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainnya untuk disesuaikan
dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam perspektif posmodernis yang berasal dari tradisi filsafat, bahwa modernisasi bisa
disebut sebagai semangat (elan) yang diandaikan ada pada menyemangati masyarakat
intelektual dan semangat yang dimaksud adalah semangat untuk progress Dalam perspektif
posmodernis., semangat untuk meraih kemajuan, dan untuk humanisasi manusia yang dilandasi
oleh semangat keyakinan yang sangat optimistik dari kaum modernis akan kekuatan rasio
manusia. Sedangkan Fazlur Rahman, sarjana asal Pakistan mendefenisikan modernisasi
dengan “usaha-usaha untuk melakukan hormonisasi antara agama dan pengaruh modernisasi
dan westernisasi yang berlangsung di dunia Islam”. Mukti Ali, tepat disebut sebagai orang yang
mewakili sarjana Indonesia mengartikan modernisasi sebagai “upaya menafsirkan Islam
melalui pendekatan rasional untuk mensesuaikannya dengan perkembangan zaman dengan
melakukan adaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dunia modern yang sedang
berlangsung”.

2. Lahirnya Pemikiran Moderen Dalam Islam

Sekurang-kurangnya sejak abad ke-19 M., pemikiran moderen dalam Islam muncul di kalangan
para pemikir Islam yang menaruh perhatian pada kebangkitan Islam setelah mengalami masa
kemunduran dalam segala bidang sejak jatuhnya kekhilafahan bani Abbasiyah di Baghdad pada
1258 M. akibat serangan Hulagu yang meluluhlantakan bangunan peradaban Islam yang pada
waktu itu merupakan mercusuar peradaban dunia.

5
Lahirnya pemikiran moderen dalam Islam ini dilatarbelakangi oleh 2 (dua) faktor, yaitu faktor
eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal meliputi Imperialisme Barat dan kontak dunia
Islam dengan dunia Barat. Sedangkan faktor internal meliputi kemunduran pemikiran Islam
dan bercampurnya unsur non Islam kedalam Islam.

a. Faktor Eksternal

1) Imperialisme Barat

Imperialisme dan kolonialisme Barat terjadi akibat disintegrasi atau perpecahan yang terjadi di
kalangan umat Islam yang terjadi jauh sebelum kehancuran peradaban Islam pada pertengahan
abad ke-13 M., yaitu ketika munculnya dinasti-dinasti kecil yang melepaskan diri dari
pemerintahan pusat pada masa kekhilafahan bani Abbasiyah.

Setelah runtuhnya bangunan peradaban Islam, perpecahan yang terjadi di tubuh umat Islam
bertambah parah dengan maraknya pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintahan
pusat Islam yang mengakibatkan pudarnya kekuatan politik Islam dan lepasnya daerah-daerah
yang sebelumnya menjadi bagian dari kekuasaan Islam.

Karena lemahnya politik Islam disertai dengan motivasi pencarian daerah baru sebagai pasar
bagi perdagangan di dunia Timur yang sebagian besar penduduknya adalah umat Islam, Barat,
sejak abad ke-16 M. menduduki daerah-daerah yang disinggahinya untuk dijadikan daerah
penjajahan. Spanyol akhirnya menjajah Filipina, Belanda menjajah Indonesia selama ratusan
tahun hingga memasuki abad 20 M. Inggris menjajah India, Malaysia dan sebagian negara-
negara di Afrika dan Perancis menjajah banyak negeri di Afrika.

Karena imperialisme inilah, lahir para pemikir Islam yang berusaha membangunkan umat
Islam dan mengajak mereka untuk bangkit menentang penjajahan, seperti Jamaluddin Al
Afghani dengan ide Pan Islamismenya di India dan Khairuddin Pasya at-Tunisi dengan konsep
negaranya di Tunisia.

2) Kontak dengan modernisme di Barat

Sejak abad 16 M. Barat mengalami suatu babak sejarahnya yang baru, yaitu masa moderen
dengan lahirnya para pemikir moderen yang menyuarakan kemajuan ilmu pengetahuan dan
berhasil menumbangkan kekuasaan gereja (agama). Karena keberhasilannya inilah dicapai
peradaban Barat yang hingga kini masih mendominasi dunia.

6
Sementara itu, dunia Islam yang pada waktu itu sedang berada dalam kemundurannya, karena
interaksinya dengan modernisme di Barat mulai menyadari pentingnya kemajuan dan
mengilhami mereka untuk memikirkan bagaimana kembali memajukan Islam sebagaimana
yang telah mereka capai di masa sebelumnya sehingga lahirlah para pemikir Islam seperti At
Thahthawi dan Muhammad Abduh di Mesir, Muhammad Ali Pasya di Turki, Khairuddin At
Tunisi di Tunisia dan Sayyid Ahmad Khan di India.

b. Faktor Internal

1) Kemunduran Pemikiran Islam

Kemunduran pemikiran Islam terjadi setelah ditutupnya pintu ijtihad karena pertikaian yang
terjadi antara sesama umat Islam dalam masalah khilafiyah dengan pembatasan madzhab fikih
pada imam yang empat saja, yaitu madzhab Maliki, madzhab Syafi’i, madzhab Hanafi dan
madzhab Hambali. Sementara itu, bidang teologi didominasi oleh pemikiran Asy’ariah dan
bidang tasawwuf didominasi oleh pemikiran imam Al-Ghazali.

Penutupan pintu ijtihad ini telah menimbulkan efek negatif yang sangat besar di mana umat
Islam tak lagi memiliki etos keilmuan yang tinggi dan akal tidak diberdayakan dengan
maksimal sehingga yang dihasilkan oleh umat Islam hanya sekadar pengulangan-pengulangan
tulisan yang telah ada sebelumnya tanpa inovasi-inovasi yang diperlukan sesuai dengan
kemajuan jaman.

Berkenaan dengan kemunduran pemikiran Islam ini, para pemikir Islam di jaman moderen
dengan ide-ide pembaharuannya, menyuarakan pentingnya dibuka kembali pintu ijtihad.

2) Bercampurnya ajaran Islam dengan unsur-unsur di luarnya.

Selain kemunduran pemikiran Islam, yang menjadi latar belakang lahirnya pemikiran moderen
dalam Islam adalah bercampurnya agama Islam dengan unsur-unsur di luarnya.

Pada masa sebelum abad ke-19 M., umat Islam banyak yang tidak mengenal agamanya dengan
baik sehingga banyak unsur di luar Islam dianggap sebagai agama. Maka tercampurlah agama
Islam dengan unsur-unsur asing yang terwujud dalam bid’ah, khurafat dan takhayul.

Abduh yang dilanjutkan dengan muridnya Muhammad Rasyid Ridha dan KH. Ahmad Dahlan
di Indonesia adalah para pemikir pembaharuan Islam yang penuh perhatian terhadap
pemberantasan takhayul, bid’ah dan khurafat di kalangan umat Islam.

7
Satu hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa faktor eksternal adalah yang paling
utama, sedangkan faktor internal, telah ada sebelum masa moderen Islam yang telah lebih
dahulu melatarbelakangi lahirnya pemikiran-pemikiran pembaharuan dalam Islam, karena
pemikiran moderen dalam Islam tidak lain adalah kelanjutan pemikiran pembaharuan yang
telah ada sebelumnya atau pemikiran pembaharuan pada masa klasik.

C. Penyebab modernisasi dalam perkembangan islam

1. Gerakan Fundamentalisme

Istilah fundamentalisme muncul pertama kali di kalangan agama Kristen di Amerika Serikat.
Isilah ini pada dasarnya merupakan istilah Inggris kuno kalangan Protestan yang secara khusus
diterapkan kepada orang-orang yang berpandangan bahwa al-Kitab harus diterima dan
ditafsirkan secara harfiah ( William Montgomery W., 1997: 3 ).

Di kamus besar bahasa Indonesia menyebutkan kata “fundamental” sebagai kata sifat yang
memberikan pengertian “bersifat dasar (pokok); mendasar”, diambil dari kata “fundament”
yang berarti dasar, asas, alas, fondasi, ( Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990:245 ). Dengan
demikian fundamentalisme dapat diartikan dengan paham yang berusaha untuk
memperjuangkan atau menerapkan apa yang dianggap mendasar.

Istilah fundamentalisme pada mulanya juga digunakan untuk menyebut penganut Katholik
yang menolak modernitas dan mempertahankan ajaran ortodoksi agamanya, saat ini juga
digunakan oleh penganut agama-agama lainnya yang memiliki kemiripan, sehingga ada juga
fundamentalisme Islam, Hindu, dan juga Buddha.

Sejalan dengan itu, pada perkembangan selanjutnya penggunaan istilah fundamentalisme


menimbulkan suatu citra tertentu, misalnya ekstrimisme, fanatisme, atau bahkan terorisme
dalam mewujudkan atau mempertahankan keyakinan agamanya. Mereka yang disebut kaum
fundamentalis sering disebut tidak rasional, tidak moderat, dan cenderung melakukan tindakan
kekerasan jika perlu.

Berbagai pendapat dari para cendekiawan bermunculan terkait dengan istilah


fundamentalisme, salah satunya pendapat M. Said al-Ashmawi. Beliau berpendapat bahwa
fundamentalisme sebenarnya tidak selalu berkonotasi negatif, sejauh gerakan itu bersifat
tasional dan spiritual, dalam arti memahami ajaran agama berdasarkan semangat dan

8
konteksnya, sebagaimana ditunjukkan oleh fundamentalisme spiritualis rasionalis yang
dibedakan dengan fundamentalisme aktifis politis yang memperjuangkan Islam sebagai entitas
politik dan tidak menekankan pembaharuan pemikiran agama yang autentik ( M. Said al
Asymawi, 2004:120 ).

a. Lahirnya Gerakan Islam Fundamentalis

Secara historis, istilah fundamentalisme muncul pertama dan populer di kalangan tradisi Barat-
Kristen. Namun demikian, bukan berarti dalam Islam tidak dijumpai istilah atau tindakan yang
mirip dengan fundamentalisme yang ada di barat.

Pelacakan historis gerakan fundamentalisme awal dalam Islam bisa dirujukkan kepada gerakan
Khawarij, sedangkan representasi gerakan fundamentalisme kontemporer bisa dialamatkan
kepada gerakan Wahabi Arab Saudi dan Revolusi Islam Iran ( Azyumardi Azra, 1996:107 ).

Secara makro, faktor yang melatarbelakangi lahirnya gerakan fundamentalis adalah situasi
politik baik tingkat domestik maupun di tingkat internasional. Ini dapat dibuktikan dengan
munculnya gerakan fundamentalis pada masa akhir khalifah Ali bin Abi Thalib, di mana situasi
dan kondisi sosial politik tidak kondusif. Pada masa khalifah Ali, perang saudara berkecamuk
hebat antara kelompok Ali dan Muawiyah karena masalah pembunuhan Utsman.

Dalam keadaan runyam, Khawarij yang awalnya masuk golongan Ali membelot dan muncul
secara independen ke permukaan sejarah klasik Islam. Dengan latar belakang kekecewaan
mendalam atas roman ganas dua kelompok yang berseteru, mereka berpendapat bahwa Ali dan
Muawiyah kafir dan halal darahnya. Kemudian Ali mereka bunuh, sedangkan Muawiyah masih
tetap hidup. (as-Syahrustani,t.t.:131-137)

Begitu juga dengan gerakan muslim fundamentalis Indonesia, lebih banyak dipengaruhi oleh
instabilitas sosial politik. Pada akhir pemerintahan Soeharto, Indonesia mengalami krisis
multidimensi yang cukup akut. Bidang ekonomi, sosial, politik, dan moral semuanya parah.
Sehingga masyarakat resah dan kepercayaan kepada pemerintah dan sistemnya menghilang.
Hal ini dirasakan pula oleh golongan muslim fundamentalis. Setelah reformasi, kebebasan
kelompok terbuka lebar dan mereka keluar dari persembunyian. Mendirikan kubu-kubu dan
mengkampanyekan penerapan syariat sebagai solusi krisis. Dari latar belakang ini, tidak heran
jika banyak tudingan yang mengatakan bahwa gerakan fundamentalisme Islam merupakan
bagian dari politisasi Islam.

b. Empat Mazhab Besar Fundamentalisme Islam di Indonesia

9
Di Indonesia terdapat banyak kelompok atau mazhab yang menganut fundamentalisme.
Berikut ini adalah empat mazhab besar fundamentalisme Islam.

1) Mazhab Ikhwanul Muslimin

Ikhwanul Muslimin ini menganut ideologi Abduh dan Rasyid Ridha tapi dalam versi yang lebih
ekstrim. Penganut mazhab Abduh di Indonesia dalam versi yang lebih soft adalah
Muhammadiyah. Maka dari itu mereka agak dekat dengan Muhammadiyah. Dan para mantan
DI/TII rata-rata masuk Muhammadiyah. Di Indonesia sendiri aliran ini bermetamorfosis
menjadi PKS, KAMMI, dan sejenisnya dan menjadi kelompok fundamentalis terkuat di
Indonesia.

Kalau merunut sejarahnya, organisasi ini merupakan salah satu sempalan Negara Islam
Indonesia (NII). NII merupakan kelanjutan DI/TII yang kelahirannya di-backing-i Ali
Moertopo c.s. Organisasi ini terlihat cukup soft misal jarang melakukan kekerasan fisik, tapi
mereka melakukan kekerasan dalam wacana. Dari segi penampilan untuk pria biasa saja tapi
rata-rata berjenggot sementara perempuannya berjubah dan berjilbab model lebar dan panjang.

Politik mereka cukup mahir, tapi sebagaimana kelompok radikal lainnya mereka sangat
eksklusif dan menjadikan politik identitas seperti penampilan, baju maupun bahasa yang
dicampur dengan kosakata bahasa Arab sebagai identitas untuk membedakan dan memisahkan
mereka dengan ”yang lain”. Walaupun terlihat kurang begitu menakutkan tapi sebagaimana
kelompok radikal lain mereka sangat tidak mampu bertoleransi. Maka dari itu, di jangka
panjang mereka akan sangat berbahaya jauh berbahaya dari “preman” macam Front Pembela
Islam (FPI). Basis utama mereka adalah Bogor sehingga IPB bisa dikatakan menjadi kampus
yang dikuasai mereka.

2) Mazhab Salafi atau Wahabi

Mereka ini cukup rasis, nyaris semua pucuk pimpinannya selalu orang Arab/ keturunan Arab
yang didukung oleh sejumlah dalil mengenai keutamaan Arab. Laskar Jihad dan Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI) adalah bagian dari mereka, juga teroris bom Bali, Abu Bakar
Ba’asyir, Ja’far Umar Thalib, Abdullah Sungkar dan lain-lain adalah orang Arab. Kelompok
inilah yang paling radikal.

Kekhususan mereka adalah mereka golongan Arab masaikh. Kebanyakan dari mereka
mengikuti jalur al-Irsyad. Mereka memliki dua golongan besar berdasar mazhab ulama
acuannya, yaitu kelompok Saudi dan kelompok Kuwait. Walaupun radikal dan berbahaya,

10
kelompok ini sebenarnya cukup lemah karena mereka terlalu radikal sehingga suka berkelahi
sendiri. Misal, tradisi mubahallah atau saling melaknat atas nama Allah seringkali dijadikan
solusi bagi mereka untuk menyelesaikan perbedaan pendapat/ paham. Dan kebiasaan inilah
yang seringkali memicu mereka terpecah jadi fraksi-fraksi kecil. Basis utama mereka di daerah
Solo dimana mereka mendirikan banyak pesantren di sana.

3) Mazhab Hizbut Tahrir

Mazhab Hizbut Tahrir ini merupakan kelompok underground. Mereka menginginkan khilafah
tapi menolak menempuh jalur politik. Konsep ideologi mereka lebih condong soft dengan
dasar pemikiran adalah “mengislamkan” masyarakat umum di mana bila tercapai maka
khilafah akan terbentuk dengan sendirinya. Kelompok kami tidak punya data cukup memadai
tentang kelompok ini dan jalurnya dengan organisasi di Indonesia.

4) Mazhab Habib

Habib, Sayyed, Syarif adalah julukan/ gelar bagi Klan Keturunan Nabi. Mereka sangat rasis,
misal perempuan dari golongan ini dilarang menikah dengan non Sayyid jika tidak maka
mereka akan dibunuh. Kelompok formal tertua golongan ini adalah Jamiat Kheir. FPI
merupakan bagian dari golongan ini. Doktrin utama kelompok-kelompok ini sama, yaitu klaim
kebenaran tunggal. Secara mazhab mereka sebenarnya lebih dekat dengan paham khawarij,
paham ekstrim Islam yang pertama kali muncul dalam sejarah, walaupun mereka mengaku
pengikut Ahlus Sunnah.

Contoh paling mudah adalah dengan melihat wacana fiqh mereka. Dalam kitab-kitab fiqh
standart kaum Aswaja, semua pendapat mereka akan dianggap sebagai pendapat pribadi,
misal ”berdasar pendapat ulama mazhab syafi’i”, atau ”berdasar pendapat Imam Hanafi dst”,
sedangkan di kalangan kelompok ekstrim ini dari yang paling soft sampai paling ekstrim
memiliki kecondongan mengklaim pendapatnya sebagai pendapat Islam , atau kehendak Allah
dst. Klaim fiqh mereka selalu didahului kata-kata ”menurut Islam ….”, ”berdasarkan ajaran
Islam…” dst, dan kelompok mazhab yang gemar menggunakan klaim seperti ini adalah
golongan Khawarij. Ini mungkin tidak terlalu bermasalah bila dilihat sekilas tapi klaim seperti
inilah yang paling berpengaruh untuk membawa seseorang menjadi ekstrim.

Kesamaan lain adalah mereka condong menganjurkan bahkan mewajibkan


perkawinan ”dalam” bagi anggotanya. Alasannya biasanya tidak sefikrah untuk menolak
perkawinan luar kelompok. Semakin radikal semakin ketat mereka mengatur nikah ini.

11
Pernikahan anggotanya melalui perjodohan yang diatur imam kecil mereka yang diistilahkan
murrabi, mursyid, syaikh, dll.

Di tanah air terdapat beberapa contoh gerakan yang dikategorikan sebagai fundamentalis.
Diantaranya adalah Jamaah Darul Arqam, Jamaah Tabligh, Jamaah Tarbiah, Front Pembela
Islam, Forum Komunikasi Ahlusunnah Wal Jamaah, serta Laskar Jihad.

c. Karakteristik Islam Fundamentalis

Dari sekelumit paparan deskriptif historis kemunculan fundamentalisme Islam, dapat


dinyatakan bahwa memang ada beberapa karakter / ciri khas yang bisa dilekatkan kepada kaum
fundamentalis. Karakteristik fundamentalisme secara umum adalah skriptualisme, yaitu
keyakinan harfiah terhadap kitab suci yang merupakan firman Tuhan dan dianggap tanpa
kesalahan. Dengan keyakinan itu, dikembangkanlah gagasan dasar yang menyatakan bahwa
suatu agama tertentu dipegang secara kokoh dalam bentuk literal dan bulat tanpa kompromi,
pelunakan, reinterpretasi, dan pengurangan (Azyumardi Azra, 1993: 18-19).

Dalam beberapa kelompok Islam, di dalamnya terdapat karakteristik gerakan Islam


fundamentalis, diantaranya :

1) mereka cenderung melakukan interpretasi literal terhadap teks-teks suci agama dan
menolak pemahaman kontekstual atas teks agama karena pemahaman seperti itu dianggap
mereduksi kesucian agama.

Kaum fundamentalis mengklaim kebenaran tunggal. Menurut mereka, kebenaran hanya ada
di dalam teks dan tidak ada kebenaran di luar teks bahkan kebenaran hanya ada pada
pemahaman mereka terhadap apa yang dianggap sebagai prinsip-prinsip agama. Mereka tidak
memberi ruang kepada pemahaman dan penafsiran selain mereka. Sikap yang demikian ini
adalah sikap otoriter.

2) mereka menolak pluralisme dan relativisme. Bagi kaum fundamentalis, pluralism


merupakan produk yang keliru dari pemahaman terhadap teks suci. Pemahaman dan sikap yang
tidak selaras dengan pandangan kaum fndamentalis merupakan bentuk dari relativisme
keagamaan, yang terutama muncul tidak hanya karena intervensi nalar terhadap teks kitab suci,
tetapi juga karena perkembangan sosial kemasyarakatan yang telah lepas dari kendali agama.

3) mereka memonopoli kebenaran atas tafsir agama. Kaum fundamentalis cenderung


menganggap dirinya sebagai penafsir yang paling benar sehingga memandang sesat aliran yang

12
tidak sepaham dengan mereka. Di dalam khasanah Islam perbedaan tafsir merupakan suatu
yang biasa, sehingga dikenal banyak mazhab. 4 mahzab terbesar di Indonesia adalah Ikhwanul
Muslimin, Salafi atau Wahabi, Hizbut Tahrir, dan Habib.

Sikap keagamaan yang seperti ini berpotensi untuk melahirkan kekerasan. Dengan dalih atas
nama agama, atas nama membela Islam, atas nama Tuhan mereka melakukan tindakan
kekerasan, pengrusakan, penganiayaan, dan bahkan sampai pembunuhan.

4) setiap gerakan fundamentalisme hampir selalu dapat dihubungkan dengan fanatisme,


eksklusifisme, intoleran, radikalisme, dan militanisme. Kaum fundamentalisme selalu
mengambil bentuk perlawanan yang sering bersifat radikal teradap ancaman yang dipandang
membahayakan eksistensi agama.

2. Modernisasi

Modernisasi merupakan suatu proses perubahan yang menuju pada tipe sistem-sistem
sosial, ekonomi, dan politik yang telah berkembang di Eropa Barat dan Amerika Utara pada
abad ke-17 sampai 19. Sistem sosial yang baru ini kemudian menyebar ke negara-negara Eropa
lainnya serta juga ke negara-negara Amerika Selatan, Asia, dan Afrika.
Menurut Wilbert E Moore modernisasi mencakup suatu transformasi total kehidupan bersama
yang tradisional atau pra modern dalam arti teknologi serta organisasi sosial ke arah pola-pola
ekonomi dan politis yang menjadi ciri negara-negara barat yang stabil. Karakteristik umum
modernisasi yang menyangkut aspek-aspek sosio-demografis masyarakat dan aspek-aspek
sosio-demografis digambarkan dengan istilah gerak sosial (social mobility). Artinya suatu
proses unsur-unsur sosial ekonomis dan psikologis mulai menunjukkan peluang-peluang ke
arah pola-pola baru melalui sosialisasi dan pola-pola perilaku.

D, Tantangan dakwah di era digital

Di zaman millennial, pengertian sekaligus pemahaman masyarakat tentang dakwah


mengalami perkembangan dan kemajuan yang cukup penting. Dakwah tidak hanya dibatasi
dengan pengertian sebagai langkah untuk penyampaian nilai-nilai keislaman melalui Tabligh
Akbar, Maulid Nabi, Khutbah Jumat dan sebagainya tetapi pemahaman dakwah di era
millennial ini lebih dari itu. Pemahaman mengenai dakwah yang lebih progesif adalah dakwah
merupakan tindakan seseorang yang memiliki tujuan untuk mewujudkan kebersamaan dan
solidiritas umat. Meminjam pendapatt Ujang Mahadi, yakni pemahaman dakwah bukanlah
pemahaman konvensional yang berisikan rutinitas spiritual yang kolektif, melainkan dakwah

13
juga bisa berupa tindakan pemberian santuan kepada panti asuhan,memberantas kemiskinan,
penanggulangan bencana dan berbagai aktivitas kemanusiaan lainnya.

Proses komunikasi dan pertukaran informasi di era modern ini sudah sangat pesat dengan
adanya teknologi, siapapun dan dimanapun mereka dapat mengakses informasi dengan sangat
mudah. Karena kemudahan ini juga, terdapat cela atau kesempatan bagi orang-orang yang
memiliki kepentingan untuk mengubah jalan dakwah di era millennial untuk kepentingan
pribadi. Salah satu tantangan dakwah di era digital yakni, penyebaran konten hoax yang sering
terjadi di masyarakat. Istilah hoax bukanlah kata yang baru muncul di era milineal ini,
melainkan sudah muncul sejak lama. Ada yang mengatakan istilah hoax sudah ada sejak tahun
1808, berasal dari bahasa Inggris yang artinya berita bohong atau palsu. Banyak orang
menganggap kata hoax berasal dari kata „hocus‟ diambil dari „hocus pocus‟ kata yang sering
digunakan para pesulap (semacam sim salabim). Istilah hoax merupakan serapan dari bahasa
Inggris yang belakangan ini santer digunakan oleh para netizen, media massa cetak maupun
media massa elektronik, yang berkenaan dengan marak beredarnya berita palsu.5

Di era milenial ini salah satu yang perlu menjadi perhatian adalah maraknya berita hoax.
Hoax bukanlah fenomena yang baru-baru ini muncul, berita palsu ini sudah muncul di zaman
Nabi Adam yang menjadi korban dari kebohongan kabar iblis, di zaman Rasulullah, kabar
burung berupa penyebaran fitnah atas Aisyah istri Rasul, hingga saat ini berita bohong
semakin menjamur. Adanya berita di zaman Rasul ini menandakan bahwa hoax bukan
fenomena yang baru muncul, melainkan sudah lama ada.
Al-Qur‟an menyikapi kemunculan hoax, atas kejadian fitnah yang menimpa Aisyah istri Nabi
dalam surat An-Nur: 11.

‫ص بَ ةٌ ِم إن ُك إم ۚ ََل ََتإ َس بُوهُ َش ًّرا لَ ُك إم ۖ بَ إل ُه َو َخ إْيٌ لَ ُك إم ۚ لِ ُك ِل‬ ِ ‫إِ َّن ا لَّ ِذ ين ج اء وا ِِب إ ِْل فإ‬
‫ك عُ إ‬ ُ َ َ
‫يم‬ ِ ِ ِ ٰ َّ ‫اْل إِْث ۚ وا لَّ ِذ ي تَ و‬
ِ ‫إام رِ ٍئ ِم نإ ُه إم َم ا ا إك تَ س ب ِم ن إ‬
ٌ ‫اب َع ظ‬
ٌ ‫َّل ك إْبَهُ م نإ ُه إم لَ هُ َع َذ‬ َ َ َ َ َ
Yang artinya :” Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari
kamu (juga). Janganlah kamu mengira berita itu buruk bagi kamu. Setiap orang dari mereka
akan mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya. Dan barang siapa di antara mereka yang
mengambil bagian terbesar (dari dosa yang diperbuatnya), dia mendapat azab yang besar
(pula).

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Modernitas yang melanda dunia Islam, dengan segala efek positif-
negatifnya,menjadi tantangan yang harus dihadapi umat Islam di tengah kondisi
keterpurukannya.Umat Islam dituntut bekerja ekstra keras mengembangkan seagala
potensinya untukmenyelesaikan permasalahannya. Tajdid sebagai upaya menjaga dan
melsetarikan ajaranIslam menjadi pilihan yang harus dimanfaatkan secara maksimal oleh
umat Islam. Upayatajdid harus terus dilakukan, tidak boleh berhenti meski memerlukan
cost yang besar.Sejalan dengan perkembangan budaya dan pola berpikir masyarakat yang
materialistisdan sekularis, maka nilai yang bersumberkan agama belum diupayakan secara
optimal.Agama dipandang sebagai salah satu aspek kehidupan yang hanya berkaitan
denganaspek pribadi dan dalam bentuk ritual, karena itu nilai agama hanya menjadi salah
satubagian dari sistem nilai budaya; tidak mendasari nilai budaya secara keseluruhan.
Fungsisosial agama adalah memberi kontribusi untuk mewujudkan dan mengekalkan suatu
ordesosial (tatanan kemasyarakatan). Secara sosiologis memang tampak ada korelasi
positifantara agama dan integrasi masyarakat; agama merupakan elemen perekat dalam
realitasmasyarakat yang pluralistik.
Sebenarnya modernisasi bukanlah sesuatu hal yang substansial untuk ditentang
kalaumasih mengacu pada ajaran Islam. Sebab Islam adalah agama universal yang tidak
akanmembelenggu manusia untuk bersikap maju, akan tetapi harus berpedoman kepada
Islam.Dalam Islam yang tidak dibenarkan adalah Westernisasi, yaitu total way of life di
manafaktor yang paling menonjol adalah sekularisme, sebab sekulraisme selalu
berkaitandengan ateisme dan sekularisme itulah sumber segala imoralitas.Secara historis
Islam sebenarnya tidak memiliki masalah dengan modernitas. Dalamsoal ilmu
pengetahuan, banyak sekali Hadist Nabi yang secara langsung menganjurkanumat Islam
untuk menuntut ilmu. Al-Qur’an juga selalu menyerukan manusia untukberpikir, menalar
dan sebagainya. Dalam hal filsafat, misalnya, meski tafsiran para filsufatas beberapa noktah
ajaran agama tidak bisa diterima kalangan ulama ortodoks, namunpara filsuf Muslim itu
berfilsafat tentu karena dorongan keagamaan, untuk membela danmelindungi keimanan
agama.

15
Dengan demikian, kaum Muslim klasik telah dengan bebasmenggunakan bahan-
bahan yang datang dari dunia Hellenis tanpa mengalami Hellenisasi,kaum Muslim saat
sekarang juga sebenarnya dapat menggunakan bahan-bahan modernyang datang dari Barat
tanpa mengalami pembaratan (Westernisasi).Inti dari modernisasi yang kemudian menjadi
esensial dan sejalan dengan ajaranagama Islam adalah rasionalisasi yakni usaha untuk
menundukkan segala tingkah laku. kepada kalkulasi dan pertimbangan akal. Rasionalisasi
pada selanjutnya akan mendorongummat Islam untuk bisa bersikap kritis dan
meninggalkan taqlid yang dikecam dalamIslam.Dengan demikian, pada dasarnya
modernisasi bukanlah sebuah esensi yangbertentangan dengan ajaran dasar agama
Islam.

B. Saran
1. Dalam mempelajari makalah ini, diharapkan tidak hanya sekedar diketahui namun
benar-benar dipahami dan menjadi pegangan bagi para mahasiswa mahasiswi agar
dapat menerapkan menjalankan sesuai syariat islam dalam Menghadapi Tantangan
Modernisasi.
2. Selanjutnya, penulis menyadari kekurangan dari makalah ini sehingga diharapkan
adanya masukan berupa kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaan
pembuatan makalah ini dan bermanfaat khususnya untuk penulis dan umumnya untuk
pembaca.

16
DAFTAR PUSTAKA

Hajar, Nopian Artika. 2015. Bagaiman Islam Menghadapi Tantangan Modernisasi.


https://dokumen.tips/documents/bagaimana-islam-menghadapi-tantangan-modernisasi.html.
23 November 2019. Pukul; 18.20
Nasruloh, Agan. 2015. Bagaimana Islam Menghadapi Tantangan Modernisasi.
https://documents.tips/documents/bab-8pdf.html. 24 November 2019. Pukul;16.25

Asep Shodiqin.” Reposisi Muballigh: Dari ‘Personal’ Menuju ‘Agent of Change’”,


Jurnal Dakwah Vol 06. No. 02. 2012.
Dahlia Lubis. .” Persepsi Mubaligh Dan Mubalighah Terhadap Kesetaraan Dan
Keadilan Gender Di Kota Medan”. Jurnal Dakwah .Vol. 3, No. 4, 2015.
Muslimin Ritonga. 2019. Penerapan Metode Dakwah Mau’idzah Hasanah di Era
Hoax Millenial (Pemuda Warga Puri Domas SlemanYogyakarta). Jurnal Komunikasi.
Volume 12, No.
01. Yogyakarta: Program Magister UIN Sunan Kalijaga.
Yosal, Irianta, 2009, Literasi Media; Apa, Mengapa, Bagaimana, Bandung:
Simbiosa Rekatama Media.

17

Anda mungkin juga menyukai