Anda di halaman 1dari 4

MAKALAH

WAHYU DALAM PARADIGMA PENELITIAN ILMIAH


DiSUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH METODOLOGI STUDI
ISLAM

DOSEN PENGAMPU :
Dr. Tedi Kholiludin, M. Si

Disusun oleh :
1. YULIA SEPTIVIANA 22106051053
2. RAHMA LINDA 22106051043
3. NAFA MAULIDATUL ISNA 22106051060
4. ANNISA SALSABIL 22106051045

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS WAHID HASYIM 2022
PEMBAHASAN

Wahyu dalam Paradigma Studi Ilmiah

Dalam logika formal maupun dalam sistem logika matematik yang deduktif kita bertolak dari
Premis mayor atau aksioma. Pengaruh ilmu pengetahuan alam mendorong kita menolak
berpikir deduktif dan mengalihkan perhatian pada berfikir empirik-deduktif.
Memang perlu diakui bahwa sementara kita, para sarjana Muslim masih tetap menggunakan
sistem berfikir deduktif, dan menduduk- kan wahyu sebagai premis mayor. Logika matematik
sampai abad ke-17 pun menggunakan berfikir deduktif; meskipun berfikir induktif dan teori
probabilitas telah dikenal.
Pada akhir uraian tentang “Postulat dan Premis Mayor” tersebut di atas, kami mengemukakan
bahwa asumsi, aksioma, dan postulat dapat berbeda dengan premis mayor. Secara implisit
terkandung isi bahwa asumsi, aksioma dan postulat dapat berfungsi sebagai premis mayor.
Dalam berfikir deduktif asumsi, aksioma dan postulat berfungsi sebagai premis mayor.
Dalam berpikir induktif: asumsi aksioma dan postulat tidak difungsikan sebagai premis
mayor.
Dalam Raker PTM seluruh Indonesia di UMS tahun 1986 kami telah mengetengahkan
stratifikasi studi berbagai masalah ilmu. Da- sar stratifikasi adalah tingkat kompleksitas
obyeknya. Kompleksitas ilmu sosial dan ilmu kebudayaan menuntut implisitnya nilai
(“values”) dalam konseptualisasi teoretik maupun dalam pemaknaan suatu kesimpulan.
Kompleksitas studi agama menuntut implisitnya nilai insani (hasil budaya manusia) dan nilai
Ilahi (wahyu Allah) dalam konseptualisasi teoretik maupun dalam pemaknaan suatu
kesimpulan. Pada waktu itu, kami belum mengetengahkan paradigma studi ilmiahnya.
Sehingga bukan mustahil tercerna oleh yang terbiasa pada sistem logika deduktif dan
mendudukkan nilai (baik insani maupun dan lebih-lebih yang Ilahi) sebagai premis mayor.
Di antara promovendi ada yang kami dorong untuk memasukkan ayat Qur’an dan Hadis Nabi
dalam konseptualisasi teori disertasinya. Yang bersangkutan langsung bertanya: “Apakah
ayat dan Hadis dipakai untuk “justifikasi”? Langsung kami jawab: “ayat Qur’ an dan Hadis
tidak dipakai sebagai Premis mayor dan juga tidak dipakai untuk “justifikasi”.
Penanya tidak salah, karena dalam persepsinya (yang menggunakan sistem logika deduktif)
memaknai: agar menggunakan ayat Al-Qur’an sebagai postulat atau premis mayor.
Konsekuensinya: pendapat para ahli berdasar hasil penelitian maupun hasil telaahan

Metodologi Kualitatif Berlandaskan Fenomenologi dan Etnometodologi

Postulat dasar etnometodologi adalah: bahwa ilmu yang disajikan oleh para ahli itu bukan
realitas sebenarnya, melainkan realitas artifisial, merupakan tafsiran dari yang sebenarnya.
Bila kita lacak lebih jauh, dasar filsafat etnometodologi adalah fenomenologi yang berkait
dengan pandangan Katolik. Penulis belum menemukan apakah pemaknaan realitas
sebenarnya itu diilhami oleh keyakinan pada kebenaran ajaran agama. Studi dengan
metodologi kualitatif yang berlandaskan etnometodologi biasa disebut penelitian etnografik.
Kami membagi tahap-tahap kerja penelitian menjadi enam, yaitu telaahan awal, persiapan
penelitian, terjun ke lapangan, perekaman hasil temuan, analisis, dan pemaknaan.
Dalam penelitian etnografik, telaah awal, sebagaimana "grounded research tidak ingin
membawa apa-apa, tidak ingin membawa prakonsepsi. Tetapi menurut hemat kami,
setidaknya harus berbekalan dua hal, yaitu: telah membaca pustaka yang relevan dan
mempunyai perkerangkaan masalah (belum perumusan masalah). Persiapan penelitian pada
penelitian etnografik tidak akan sesibuk dan sepenting penelitian berlandaskan positivisme.
Memahami konteks daerah penelitian mungkin diperlukan untuk penelitian etnografik, untuk
memperlancar proses membaur pada tahap terjun ke lapangan.
Pada tahap terjun ke lapangan, metodologi penelitian etnografik hanya mengenal dua metode
pengumpulan data, yaitu: metode observasi partisipan dan metode wawancara bebas. Robert
Bogdan menambah dengan "dokumen pribadi". Penelitian etnografik mendudukkan tahap ini
sebagai tahap kunci. Pendapat warga masya- rakat (yang mungkin nampak naif) dipandang
sebagai realitas naturalistik atau fenomenologik, sedangkan pendapat yang ditampilkan
Ilmuwan itu produk artifisial manusia, merupakan penafsiran subyektif ilmuwan. Sehingga
penganut etnometodologi memberi petun juk: agar suatu ilmu menjadi bermakna, janganlah
dilihat maknanya dari kita ilmuwan melainkan dicari bagaimana segala sesuatu itu bermakna
bagi orang kebanyakan.
Tahap keempat aktivitas penelitian adalah penyajian rekaman temuan. Setidak-tidaknya ada
dua cara penyajian rekaman temuan, yaitu menggunakan matriks (yang dapat diisi data
kuantitatif atau kualitatif dan menggunakan narasi verbal. Narasi verbal oleh Mishler
dibedakan menjadi tiga, yaitu: pendekatan struktural, pendekatan kultural, dan pendekatan
kontekstual.
Ada dua sifat yang harus dipenuhi dalam rekaman temuan etnometodologik, yaitu:
indeksikalitas dan refleksikalitas. Indeksikalitas adalah keterkaitan makna kata, perilaku, dan
lain-lain pada konteksnya. Refleksikalitas adalah tata hubungan atau tata susunan sesuatu
dengan/dalam sesuatu lain. Bila kedua tata tersebut diubah akan terjadi makna yang berbeda.
Tuntutan syarat indeksikalitas dan refleksikalitas menjamin terhindarnya penemuan
etnografik menjadi penafsiran sosial. Perlu menjadi perhatian penganut etnometodologi untuk
berhati-hati dalam proses klasifikasi, reduksi, dan abstraksi hasil temuan.
Pada tahap analisis, untuk etnometodologi haruslah difokuskan pada
terjaminnya/terpenuhinya syarat indeksikalitas dan refleksikalitas. Pemaknaan hasil analisis
dan kesimpulan penelitian mencakup pemaknaan penafsiran dan pemaknaan ekstrapolasi.
Kita banyak berhenti atau berhenti pada pembuatan kesimpulan. Pemaknaan berusaha
memperluas kembali cakrawala abstraksi dan generalisasi.
Penutup
Ragam alternatif landasan filsafat untuk metodologi penelitian masih cukup banyak; yang
menurut hemat penulis jangan dicampuradukkan. Dalam tahap studi, kepada para mahasiswa
perlu diajar untuk ajeg dan konsekuen mengikuti metodologi tertentu dengan satu landasan
filsafat; pada kesempatan penelitian lain boleh saja yang bersangkutan berlatih menggunakan
metodologi lain lagi dengan menggunakan landasan filsafat yang berbeda, dengan syarat:
ajeg dan konsekuen.
Bagi para pakar metodologi penelitian memang sebaiknya membangun suatu konsep
filosofik, teoretik, dan operasional bagi metodologi penelitiannya.

Anda mungkin juga menyukai