Anda di halaman 1dari 2

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, diketahui bahwa Ny.

MP
hamil klien ketika berusia 39 tahun. Pada usia tersebut, organ reproduksi
mengalami penurunan produktivitas. Oleh karena itu, pada beberapa kasus
kehamilan direntang usia tersebut bayi yang dilahirkan sangat berisiko tinggi
mengalami kecacatan fisik dan permasalahan pertumbuhan. Pada kasus Down
Syndrome terbukti bahwa usia ibu ketika masa kehamilan sangat berpengaruh
terhadap munculnya Down Syndrome pada bayi. Hal ini diperkuat oleh pendapat
dari Astuti dan Ertiana (2018), menjelaskan bahwa usia ibu ketika hamil yaitu 20
sampai 35 tahun. Kelompok usia ibu kurang dari 20 tahun berisiko rendah
melahirkan bayi dengan Down Syndrome dan gangguan lainnya. Sedangkan,
kelompok usia ibu di atas 35 tahun sangat berpotensi tinggi melahirkan bayi
Down Syndrome. Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rayyman,
dkk (2017) menyimpulkan terdapat hubungan antara usia ibu dan kelahiran anak
dengan Down Syndrome. Usia ibu lebih dari 35 tahun meningkatkan risiko
kelainan pada bayi yang dilahirkan sebesar 12 kali lebih besar dibandingkan usia
ibu kurang dari 35 tahun ketika hamil. Hal ini diakibatkan penurunan fungsi
organ reproduksi perempuan. Pada usia perempuan menjelang fase menopause,
ovum yang dikeluarkan saat ovulasi merupakan hasil dari oosit pada siklus
meiosis yang terhenti cukup lama. Menurut Irwanto, dkk (2019) menjelaskan
bahwa terdapat dua cara pembelahan sel pada manusia yaitu mitosis
(pembelahan sel biasa) dan meiosis (pembelahan sel yang terjadi di dalam
ovarium dan testis). Mitosis bekerja dengan membelah satu sel menjadi dua sel
anakan yang identik dengan sel induk. Sedangkan, meiosis merupakan
pembelahan yang memiliki jumlah kromosom setengah dari kromosom sel
induk.
Berdasarkan observasi yang telah dilakukan, diketahui bahwa klien
memiliki karakteristik fisik hidung kecil, lidah tebal dan pendek, mata sipit, jari
kaki dan jari tangan terkesan pendek, lidah selalu menjulur, leher pendek, serta
posisi daun telinga lebih rendah. Ciri fisik tersebut sering disebut dengan wajah
Mongoloid. Hal ini sesuai dengan pendapat yang ditulis oleh Irwanto (2019)
bahwa karakteristik anak dengan Down Syndrome yaitu bentuk kepala kecil,
ubun-ubun berukuran besar, mata sipit, mulut kecil, lidah besar, leher pendek,
dan jari berukuran pendek.
Berdasarkan tes kemampuan bahasa yang telah dilakukan, didapatkan
data bahwa kemampuan bahasa klien setara dengan anak-anak berusia 4 samapai
5 tahun. Hasil Tes Receptive One-Word Picture Vocabulary Test (ROWPVT),
didapatkan hasil bahwa kemampuan bahasa reseptif klien Raw Score 37,
Language Age 4-6, Standart Score 84, Precentile 14, Stanine 3. Dari hasil data
tersebut, dapat disimpulkan bahwa kemampuan bahasa reseptif klien below
average atau di bawah rata-rata dan usia bahasa klien setara dengan anak usia 4
tahun 6 bulan. Sedangkan, berdasarkan hasil Tes Expressive One-Word Picture
Vocabulary Test (EOWPVT) didapatkan hasil Raw Score 38, Language Age 3-8,
Language Standart Score 68, Precentile 2, dan Stanine 1. Maka, dapat
disimpulkan bahwa kemampuan bahasa ekspresif klien berada di level Low
(rendah) dengan kemampuan bahasa ekspresif setara dengan anak 3 tahun 8
bulan. Data tersebut sesuai dengan pendapat Law dan Bishop 2003 dalam Paul
2012, menyatakan bahwa permasalahan bahasa yang sering terjadi pada anak
dengan Down Syndrome yaitu bahasa ekspresif lebih buruk daripada bahasa
reseptifnya.
Berdasarkan hasil Tes Artikulasi yang sudah dilakukan, diketahui bahwa
klien memiliki kesalahan artikulasi dengan konsistensi kesalahan terletak pada
fonem /p/, /b/, /m/, /n/, /h/ dan /r/. Substitusi pada fonem /h/ diganti menjadi
fonem /d/ dan fonem /r/ diganti menjadi fonem /l/. Omisi pada fonem /p/, /b/,
/m/. Pada aspek resonansi terkesan normal, klien tidak hipernasal maupun
hiponasal. Prosodi klien terkesan normal. Klien bernapas menggunakan mulut
dibandingkan hidung. Kondisi ini diperkuat dengan pendapat Baihaqi (2014),
yang menyatakan bahwa anak Down Syndrome mengalami keterlambatan
perkembangan bahasa dan bicara yang dinyatakan dalam bentuk kekurangan
perbendaharaan kata, kelemahan artikulasi, dan kebiasaan berbicara
menggunakan kata yang terpisah.
Berdasarkan wawancara dengan ibu klien, didapatkan hasil bahwa klien
memiliki riwayat penyakit Hipertiroid sejak lahir. Hipertiroid merupakan kondisi
ketika kelenjar tiroid terlalu aktif memproduksi atau melepaskan hormon tiroid
ke aliran darah, sehingga mempercepat metabolisme di dalam tubuh. Hal ini
sejalan dengan pendapat Beatrice (2016) yang menyatakan bahwa kelainan tiroid
(Hipertiroid) umum terjadi pada anak Down Syndrome dengan presentase 15%
sampai 30% diakibatkan oleh kelainan genetik.
Pada fase perkembangan motoriknya, klien tidak melewati fase
merangkak, kemampuan duduk di usia lebih dari satu tahun, kemampuan
berjalan di usia 2 tahun 3 bulan, mampu memakai baju sendiri di usia 2 tahun 5
bulan, dan keterampilan toilet training di usia tiga tahun. Selain itu, klien
mengalami keterlambatan dalam mengujarkan kata. Kemampuan klien dalam
mengujarkan satu kata dimulai saat klien berusia dua tahun. Sedangkan,
kemampuan klien dalam mengujarkan dua kata dimulai ketika klien berusia tiga
tahun. Kondisi ini sesuai dengan pendapat dari Dekayati et.al (2014), Down
Syndrome akan mempengaruhi pertumbuhan anak terutama perkembangan
kemampuan motoriknya.

Anda mungkin juga menyukai