Anda di halaman 1dari 25

Global Warming

dan Pentingnya
Infrastruktur
Hijau

Muslim Muin Ph.D.


Ketua Kelompok Keahlian Teknik Pantai ITB
TGUPP DKI
8 Februari 2022
• Model 3D Hidrodinamika Non-Orthogonal Curvilinear Coordinate
in Spherical Coordinate (MuHydro3D)
• Oil Spill Modeling, MoTuM
• Sediment Transport Model, MuSed3D
• Sea Water Quality Model, MuQual3D
• Heat Dispersion Model, MuHeat3D
MuTeknologi • Tsunami Model, MuTsunami

Software

www.muteknologi.musmuin.com
3D Non-Orthogonal Hydrodynamics
Model Spherical Coordinate
• Dikembangkan oleh Muslim Muin 1993
sebagai disertasi di University of Rhode
Island
• Banyak dipakai di dunia. Terutama di USA
dan Australia
Hujan Ekstrim 370 mm/hari

Memahami Hujan

• Anda dikurung dalam ruang


tertutup tapi tanpa atap
• Datang Hujan Ekstrim 370
mm. Banjir Jakarta Januari
2020
• Apakah anda akan tewas?
Global Warming

• Kenaikan Muka Air Laut (Sea Level Rise)


• Perubahan Cuaca Ekstrim (Climate Change)
• Perubahan Arus Laut
• Green Infrastructure vs Hard Infrastructure
(Normalisasi vs Naturalisasi). Pilih yang mana?
Sea Level Rise
• Semua negara akan mengalami nilai Sea Level Rise
yang hampir sama.
• Belum ada negara di dunia ini yang menyiapkan
tanggul menghadapi Sea Level Rise.
• Nilainya sangat kecil, berkisar antara 16 cm sampai 21
cm dalam 100 tahun. Sekitar 0,21 cm per tahun.
• 50 tahun ke depan hanya naik 10 cm. Membangun
tanggul 10 cm bukan masalah besar.
• Tanah yang turun bukan laut yang naik.
• Bukan Ancaman dan Bukan Penyebab Banjir
Pasang Surut dan Storm Surge Pasang Surut Korea > 8 meter
Tidak perlu pompa
• Tiap jam elevasi air laut naik turun secara teratur.
• Pasang Surut adalah naik turunnya muka air laut akibat gaya tarik menarik bumi dengan
planet lain. Tarik menarik bumi tidak akan pernah berubah kecuali ada perubahan geometri
yang signifikan dan dunia mendekati kiamat.
• Pasang surut suatu daerah tidak akan dipengaruhi oleh Global Warming.
• Makin tinggi tunggang pasang surut akan lebih mudah mengendalikan banjir dan kualitas
air di Teluk Jakarta.
• Di Jakarta nilai tunggang pasang surut hanya sekitar 1,2 meter, jauh lebih rendah
dibandingkan di Korea yang bisa mencapai > 8 meter.
• Korea menutup teluk karena bisa memanfaatkan pasang surut. Tanggul laut Saemangum
Korea hanya memerlukan pintu air untuk mengendalikan banjir. Pasang Surut Jakarta 1,1 meter
• Pintu Air dibuka saat air laut surut yang kemudian ditutup saat air laut pasang. Selisih Perlu pompa Raksasa
tinggi muka air ini dimanfaat sebagai tampungan air banjir. Jadi tanggul laut Saemangum
tidak memerlukan pompa raksasa, biaya operasi sangat murah.
• Berbeda dengan Teluk Jakarta, apabila teluk ditutup maka diperlukan pompa raksasa
terbesar di dunia, besarnya ribuan m3/det.
• Selain pasang surut, muka air laut juga bisa naik karena dorongan gaya angin atau badai
yang dikenal sebagai Storm Surge. Beruntung, Indonesia berada di jalur equator, badai
angin kencang yang menenggelamkan Kota New Orleans Amrika Serikat, hampir tidak
mungkin terjadi di Indonesia. Dengan perubahan iklim sekalipun nilai Storm Surge di
Indonesia masih jauh lebih kecil dibandingkan negara subtropis.
Climate Change
• Suhu makin tinggi
• Anomali cuaca.
• Musim hujan yang kan lebih singkat.
• Debit Banjir makin besar.
• Erosi Sungai akan makin besar.
• Membuang air hujan ke laut secepatnya adalah pemikiran yang keliru.
• Musim Kering lebih lama:
• Kebakaran hutan
• Terganggunya ketersediaan air minum akan menjadi masalah besar.
Manusia tidak bisa hidup tanpa air.
• Pertanian rusak. Ketersediaan makanan pokok akan terganggu
• Ancaman Serius dan Penyebab Banjir.
Perubahan Arus Laut

• Daerah Kutub makin hangat.


• Gunung Es akan meleleh
• Ocean Conveyor Belt akan berhenti
• Colder Winter, Hotter Summer
• Tidak ada lagi sirkulasi air di laut dalam
• Air stagnan akibatnya perubahan kualitas air
• Ledakan gas beracun
• Penggunaan Energi Fosil harus dikurangi
Green Infrastructure vs Hard
Infrastructure
• Istilah Naturalisasi dan Normalisasi dalam penataan sungai di
Indonesia sebetulnya kurang lazim.
• Istilah yang lebih lazim adalah Infrastruktur Hijau (Green
Infrastructure) untuk istilah Naturalisasi, dan Infrastruktur Keras
(Hard Infrastructure) untuk istilah Normalisasi yang kita kenal
selama ini.
• Pemerintah sudah terlanjur memakai istilah Normalisasi Sungai
waktu memperlebar, mengeruk, meluruskan, dan memasang
Sheet Pile sepanjang sungai-sungai untuk mengendalikan banjir
di Indonesia. Sebetulnya yang dilakukan pemerintah ini justru
bertolak belakang dengan normalisasi sungai itu sendiri.
Normalisasi vs Naturalisasi
• Yang dimaksud dengan Normalisasi Sungai adalah
mengembalikan sungai pada kondisi semula atau kondisi
normalnya, dimana kelokan sungai tetap dipertahankan,
sungai tetap punya ruang untuk meluap, perubahan lahan
dikendalikan, dan sebagainya.
• Sementara Naturalisasi sebetulnya adalah proses perubahan
status seorang warga negara, dan tidak lazim dipakai untuk
penataan sungai.
• Kita lanjutkan saja pembahasan masalah ini, apalah artinya
sebuah istilah sepanjang kita paham apa yang dimaksud dari
kedua istilah tersebut.
Normalisasi
• Normalisasi adalah sebuah usaha untuk menormalkan sebuah kondisi
yang tidak normal menjadi normal.
• Land Subsidence atau penurunan muka tanah adalah sebuah contoh
kondisi tidak normal, perlu normalisasi.
• Melindungi daerah itu dengan tanggul, pintu air, dan pompa atau dikenal
sebagai sistim polder adalah salah satu bentuk keterpaksaan.
• Normalisasi menjadi sebuah keterpaksaan karena hampir tidak mungkin
mengembalikan Daerah Land Subsidence tersebut ke elevasi semula,
walaupun mungkin bisa menghentikannya.
• Memperbesar kapasitas saluran drainase dan sungai dengan pelebaran
dan mempertinggi tanggul juga sebuah Normalisasi jika kerusakan DTA
yang mengakibat Debit Banjir makin besar dianggap sebagai Debit
Normal
Normalisasi Drainase?
• Tidak bisa dipungkiri bahwa kita membutuhkan sistem drainase yang baik sesuai dengan rencana
dan bekerja normal atau tidak tersumbat. Jika kemiringan sama, makin ke hilir ukuran penampang
drainase seharusnya semakin besar.
• Jalan Panjaitan Jakarta yang sering tergenang. Di lokasi ini bisa kita jumpai 3 saluran drainase
besar menuju gorong-gorong kecil, sudah pasti meluap. Jika gorong-gorong ini diperbesar atau
ditambah, luapan ini akan pindah di hilir karena ukurannya juga kecil. Bisa disimpulkan bahwa
Normalisasi harus dimulai dari Hilir bukan dari Hulu.
• Intensitas hujan berapa yang bisa dianggap normal itu, curah hujan ekstrim dengan perioda ulang
10 tahunan, 20 tahunan, atau 100 tahunan?
• Banjir malam tahun baru 2020, banyak kalangan yang menyalahkan Pemda DKI tidak becus
bekerja. Intensitas hujan tertinggi selama ini, 377 mm/hari atau hujan dengan periode ulang 300
tahun.
• Merancang Sistem Drainase untuk periode ulang 300 tahunan? Tidak ada kota di dunia yang
merancang Sistem Drainase untuk curah hujan yang demikian besar. Jakarta akan penuh dengan
saluran, tidak ada lagi ruang untuk perumahan, gedung, kantor, jalan, dan sebagainya.
• Drainase tidak dibangun untuk menerima luapan sungai tapi dirancang untuk mengalirkan air dari
DTA ke sungai. Sistim drainase akan bekerja normal kalau sungai tidak meluap atau tersumbat.
Memperlancar drainase di Jakarta, sementara muara tetap tersumbat, tetap banjir
Pompa besar bukan Solusi
• Persil di Jln. Gaya Motor DKI ini menggunakan
pompa besar agar tidak kebanjiran.
• Kapasitas pompa jauh melebihi kapasitas saluran
• Normalisasi saluran drainase bukan solusi.
• Jika saluran diperbesar, semua jalan raya disini
akan jadi saluran. Selain itu, saluran di Hilir tidak
mampu menerima debit air dari pompa ini.
• Tidak ada pilihan lain, persil-persil di daerah
industri ini harus melaksanakan GELA
Naturalisasi
• Yang dimaksud Naturalisasi disini adalah suatu usaha memperbaiki
sebuah masalah melalui cara yang lebih ramah lingkungan.
• Naturalisasi kita butuhkan dalam menghadapi ancaman Global
Warming, tidak hanya di Jakarta tapi untuk seluruh Indonesia.
• Naturalisasi dilakukan di Daerah Tangkap Air (DTA)
• Solusi presiden untuk memperbaiki DTA di Sintang merupakan
sebuah usaha Naturalisasi.
• Biaya memperbaiki DTA jauh lebih murah dan bermanfaat daripada
biaya Normalisasi Sungai.
• Dari kejadian Banjir Sintang dan Banjir Ciliwung, kita bisa lihat,
naturalisasi itu sudah menjadi sebuah keharusan apalagi menghadapi
Global Warming. Solusi yang tepat dari Presiden Joko Widodo untuk
kasus Banjir Sintang perlu menjadi landasan nasional menhadapi
Global Warming.
Naturalisasi dengan GELA
• Naturalisasi Sungai tidak bertujuan untuk mempercantik sungai dengan batu-batu alami sehingga
kelihatan lebih alami. Penyerapan air disepanjang sungai itu sangat kecil. Naturalisasi tidak
dilakukan di sungai tapi di Daerah Tangkap Air (DTA).
• Naturalisasi adalah sebuah usaha mengembalikan DTA sesuai dengan fungsi alaminya yaitu
sebagai tampungan, pengendalian debit permukaan (Runoff), penyerapan, dan penahan erosi.
Dengan mengendalikan DTA, kita bisa memangkas puncak debit banjir, menguragi erosi, dan
menabung air dalam tanah untuk dimanfaatkan saat musim kemarau.
• Naturalisasi jangan selalu diartikan sebagai keharusan untuk mengembalikan sebuah kawasan
menjadi hutan.
• Perubahan lahan tidak bisa dihindari karena manusia membutuhkan lahan untuk berladang,
beternak, dan tempat tinggal.
• Nenek moyang Indonesia/Asia sudah mewariskan kita dengan cara-cara yang cerdas dalam
mengendalikan DTA, yaitu yang dikenal dengan terasering. Sawah dan kebun di Bali, Jawa,
Sumatera, dan daerah lainnya, dibangun nenek moyang kita dengan terasering, yaitu menangkap
air hujan, mengendalikan air permukaan (Runoff), mengurangi erosi, dan memperbesar penyerapan
air ke tanah.
Gerakan Lumbung Air (GELA)

1. Tampung Air Hujan,


Flow Without
2. Gunakan Air Hujan, GELA

3. Resapkan Air Hujan ke


tanah sedapat mungkin,
With GELA Time
dan
(hour)
4. Sisanya baru dibuang 4 12
perlahan.
GELA di Industri

• Air tanah dangkal


• Pegawai sekitar 10 ribu
• GELA menguntungkan
After GELA
• Pompa besar tidak
diperlukan lagi
• Air Bersih gratis
Free Rain Water
Before GELA No more flood
Sumur Resapan dan Taman Cekung
• Membangun Sumur Resapan (SR) juga sebuah usaha untuk memperbaiki DTA.
• SR tidak bisa jadi obat untuk banjir kiriman. Air permukaan ditampung di SR dengan
harapan akan terserap ke dalam tanah.
• Disain standar pembangunan SR adalah untuk Muka Air Tanah (MAT) minimum 4 meter
dari permukaan. SR hanya untuk air hujan bukan untuk air buangan. Dengan menampung
air hujan dan menyerapkannya kedalam tanah secara perlahan, artinya kita akan
memangkas Puncak Debit Banjir.
• Jika sebuah kawasan memiliki MAT yang dangkal dan susah menyerapkan air kedalam
tanah maka tampungan air hujan yang dibangun diatas tanah akan sangat bermanfaat
dalam memangkas puncak debit banjir. Jika tampungan air hujan tersebut dilengkapi
dengan sebuah pembuangan kecil, maka air ditampungan akan dikeluarkan dalam waktu
yang lebih lama dan debit air yang mengalir ke drainase menjadi lebih kecil.
• Merubah taman perkotaan dari cembung menjadi cekung juga sebuah bentuk Naturalisasi.
Taman yang cekung akan menampung air hujan terlebih dahulu, selanjutnya meresap ke
dalam tanah. Jika tetap ada genangan karena kondisi tanah tidak menyerapkan air,
genangan ini bisa dipompa ke drainase perlahan. Menampung air hujan dan taman-taman
rumah sangat efektif dalam memangkas Puncak Debit Banjir.
• Hampir delapan puluh persen dari tataguna lahan di Jakarta merupakan gedung dan
perumahan. Sebagian besar warga Jakarta (50%) menggunakan sumur sebagai sumber
air baik dari sumur gali maupun sumur bor. Jika air dari talang atap rumah ditampung dulu
di tampungan air yang berfungsi sebagai penyaring sebelum masuk ke dalam sumur-
sumur rumah, dampaknya akan luar biasa dalam memangkas puncak debit banjir kota
GELA di Perumahan

• Air Hujan dari atap masuk Air Hujan


sumur
• Air yang masuk kedalam tanah
harus air hujan yang belum
tercampur dengan limbah
• Penting memisahkan Sewer
dan Drainage Air Hujan

+ Filter
GELA di Perkantoran

• Kantor Kasudin P1000 di


Rawamangun
• Zero Runoff
• Semua persil seperti ini, Jakarta
bebas banjir
Normalisasi Ciliwung???
• Normalisasi harus dimulai dari hilir bukan dari hulu.
• Hilir Ciliwung, Kanal Banjir Barat, kemampuannya saat ini terbatas,
hanya sekitar 300 m3/det sedangkan debit yang akan lewat setelah
Normalisasi Ciliwung 800 m3/det. Akibatnya banjir.
• Waktu datang banjir Katulampa sekitar 12 jam. Jarak 91 km.
Kecepatan Rerata sekitar 2,1 m/det. Daerah Hulu, kecepatan air > 2,1
m/det, di Jakarta tentu < 2,1 m/det.
• Kemampuan Manggarai saat ini < 160 m3/det. Tidak heran butuh
waktu > 15 jam untuk mengeringkan Ciliwung.
• Debit rencana setelah Normalisasi Ciliwung 500 m3/det. Akibatnya
Manggarai akan meluap.
• Dengan kondisi Ciliwung tercekik saja, KBB sudah meluap apalagi
setelah Normalisasi Ciliwung.
• Kalau mau Normalisasi harus dimulai dari hilir. Muara, KBB, dan Air di KBB merendam jembatan kereta
Manggarai bukan dari Ciliwung. padahal Ciliwung belum dinormalisasi
Normalisasi Polder Kamal
• Daerah Land Subsidence
• Kajian konsultan, Debit Outlet 163 m3/det.
• Apakah pompa 163 m3/det adalah solusi? Pompa mau dipasang dimana? Butuh tempat yang luas.
Sebagai perbandingan, kapasitas Pompa Pluit sekitar 50 m3/det dan Pasar Ikan 30 m3/det
• Pompa besar butuh saluran yang besar. Apakah bisa dibangun? Apakah lahan yang tersedia
masih ada?
• Normalisasi saluran artinya memperbesar debit di hilir. Butuh pompa yang besar pula. Pompa 30
m3/det yang akan dibangun tahun ini tidak cukup. Sebelum Normalisasi, perlu membangun waduk
seluas 11 Ha dengan kedalaman 5 meter.
• Memindahkan ribuan warga bukan perkara yang mudah
• Apakah menurunkan air di teluk dengan membangun Giant Sea Wall (GSW) adalah solusi. Biaya
Operasi dan Dampak GSW sangat besar
• Air tersumbat di hulu, menurunkan air teluk tidak akan efektif.
• Jadi apa solusi yang paling jitu?
• Bangun waduk di hulu
• Penataan wilayah
• Laksanakan Program Gerakan Lumbung Air (GELA)
Normalisasi Kali Angke dan Kali
Pasanggrahan
• Debit Rencana:
• Kali Angke 290 m3/det
• Kali Pasanggrahan 290 m3/det
• Kali Mookervart 125 m3/det
• Debit Total ke Cengkareng Drain 705 m3/det
• Daerah dataran rendah, kecepatan air sekitar 1,5 m/det
• Penampang yang diperlukan 470 m3/det
• Memperlebar Cengkareng Drain tidak memungkinkan
• Untuk lebar 50 meter diperlukan tinggi penampang 9,4 meter + Freeboard 1,0
meter = 10,4 meter
• Jadi Cengkareng Drain harus ditanggul 6,4 meter diatas jalan. Bahaya!
• Land Subsidence yang tidak merata akan lebih memperparah kemampuan
Cengkareng Drain mengalirkan air ke laut
• Kalau Reklamasi dilanjutkan, Cengkareng Drain akan makin banjir
Kesimpulan
• Sea Level Rise bukan ancaman serius. Tanah yang turun disangka air laut yang naik.
• Land Subsidence merupakan ancaman serius. Cukup memperkuat tanggul pantai dan sungai
serta memperkuat pompa dan waduk (Green Infrastructre).
• Climate Change ancaman serius untuk Indonesia
• Musim hujan yang singkat dengan debit besar mengharuskan kita untuk menampung air
• Menampung air di dalam tanah akan mengurangi penguapan dan memperlambat Land
Subsidence.
• Membuang air ke laut secepatnya kebijakan yang membahayakan NKRI
• Penting untuk memahami Hidrodinamika Sungai dan Laut sebelum memutuskan untuk
melakukan program Normalisasi.
• Buruknya warisan sistim drainase, keterbatasan lahan, Land Subsidence, kemampuan
mengalirkan air ke laut kecil, dan Global Warming. Khusus untuk DKI, Green Infrastructure
(Naturalisasi) sebuah keharusan. Normalisasi sebuah keterpaksaan.
• Normalisasi harus dimulai dari Hilir bukan dari Hulu.

Anda mungkin juga menyukai