Disusun oleh :
Kelas A
1.3. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis keberhasilan implementasi eco-drainage di daerah lain
Menilai pengalaman daerah-daerah lain yang telah menerapkan konsep eco-drainage
dalam upaya penanganan banjir. Mengidentifikasi faktor kunci yang mendukung
keberhasilan implementasi.
2. Mengkaji konsep eco-drainage sebagai solusi penanganan banjir
Mengeksplorasi konsep eco-drainage sebagai pendekatan berkelanjutan untuk
mengurangi risiko banjir. Meninjau prinsip-prinsip eco-drainage dan penerapannya
dalam konteks Kota Semarang.
3. Memberikan rekomendasi kebijakan dan tindakan lanjut
Merumuskan rekomendasi kebijakan dan tindakan lanjut bagi pemerintah, lembaga
terkait, dan masyarakat untuk mendukung implementasi eco-drainage sebagai strategi
berkelanjutan dalam penanganan banjir di Kota Semarang.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Banjir
Banjir Menurut Suripin (2003) adalah suatu kondisi di mana tidak tertampungnya air
dalam saluran pembuang (palung sungai) atau terhambatnya aliran air di dalam saluran
pembuang, sehingga meluap menggenangi daerah (dataran banjir) sekitarnya. Ada tiga jenis
banjir yang umum yakni banjir fluvial, juga dikenal sebagai banjir sungai, banjir pluvial atau
banjir bandang, dan banjir pesisir, yang sering disebut gelombang badai. Setiap jenis banjir
terjadi dan diperkirakan dengan cara yang berbeda-beda. Dampak dari setiap jenis banjir
juga berbeda-beda, begitu pula tindakan yang perlu dilakukan untuk menghindari atau
meminimalkan kerusakan akibat banjir.
2.1.1. Banjir Fluvial
Banjir fluvial, atau banjir sungai, terjadi ketika permukaan air di sungai, danau, atau
sungai kecil naik dan meluap ke daratan di sekitarnya. Naiknya permukaan air sungai bisa
jadi disebabkan oleh hujan berlebihan.Kerusakan yang diakibatkan oleh banjir sungai dapat
meluas karena luapan air tersebut mempengaruhi sungai-sungai kecil di bagian hilir, yang
dapat menyebabkan jebolnya bendungan dan tanggul dan membanjiri daerah sekitarnya.
Prasarana dan sarana drainase perkotaan terdiri dari bangunan-bangunan seperti berikut:
1. Saluran terbuka;
2. Saluran tertutup;
3. Gorong-gorong;
4. Siphon drainase;
5. Bangunan terjun;
6. Tanggul;
7. Bangunan penangkap air;
8. Pintu air;
9. Kolam retensi;
10. Kolam tandon;
11. Kolam detensi;
12. Pompa;
13. Rumah pompa;
14. Trash rack;
15. Sumur resapan;
16. Kolam resapan;
17. Jalan inspeksi;
18. Daerah sempadan;
19. Bak pemeriksaan/ man hole;
20. Tali air/ inlet street;
2.4.1. Fungsi Drainase Perkotaan
Fungsi Drainase Perkotaan menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 12 Tahun
2014 yaitu:
a. Fungsi drainase perkotaan secara umum, yaitu:
1. Mengeringkan bagian wilayah kota dari genangan air sehingga tidak menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan sekitar;
2. Mengalirkan air permukaan ke badan air penerima terdekat secepatnya;
3. Mengendalikan kelebihan air permukaan yang dapat dimanfaatkan untuk persediaan
air dan kehidupan akuatik;
4. Meresapkan air pemukaan untuk menjaga kelestarian air tanah (konservasi air);
5. Melindungi prasarana dan sarana perkotaan yang sudah terbangun.
Luas DAS (ha) Kala Ulang (tahun) Metode Perhitungan Debit Banjir
<10 2 Rasional
Terlihat bahwa pada DAS Nanjing, kemiringan lereng cenderung datar. Hal ini
menjadi sangat sesuai dengan kondisi Kota Semarang yang kemiringan lerengnya juga
cenderung datar.
Gambar 3.6 Peta Kemiringan Lereng Kota Semarang
Jenis tanah di Kota Semarang secara umum terbentuk dari aktivitas gunung berapi
(Gunung Ungaran) dan sedimentasi di daerah pantai serta batuan induk penyusunnya.
Terdapat 4 jenis tanah yang mendominasi di wilayah Kota Semarang, antara lain:
a. Tanah mediteran merah tua, dimana jenis tanah ini merupakan hasil pelapukan batuan
kapur keras dan batuan sedimen dengan warna tanah antara merah sampai dengan
kecoklatan yang merupakan jenis tanah pertanian yang subur. Jenis tanah ini berada di
Kecamatan Tugu, Kecamatan Gunungpati dan Kecamatan Banyumanik dengan
pemanfaatan berupa tanaman keras/tahunan, tanaman holtikultura dan tanaman palawija.
b. Tanah grumusol kelabu dan litosol, dimana jenis tanah grumusol memiliki sifat lempung
dan sedikit keras, sedangkan tanah litosol merupakan jenis tanah muda dengan tekstur
kasar berbatu. Jenis tanah ini berada di Semarang bagian tengah, mulai dari Kecamatan
Tembalang, Kecamatan Gunungpati, Kecamatan Candisari, Kecamatan Gajahmungkur
dan Kecamatan Ngaliyan. Pemanafaatan dari tanah jenis ini dapat digunakan untuk
budidaya padi, tanaman holtikultura dan tanaman tahunan.
c. Tanah aluvial kelabu dan kecoklatan, dimana jenis tanah ini terbentuk dari hasil
pengendapan dengan bentuk menyerupai tanah liat dan sedikit mengandung unsur hara.
Tanah jenis ini berada di Kecamaatn Genuk, Kecamatan Pedurungan, Kecamatan
Gayamsari, Kecamatan Semarang Selatan, Kecamatan Semarang Tengah, Kecamatan
Semarang Timur dan Kecamatan Semarang Barat, dimana tanah ini termasuk kurang
produktif dan hanya berpotensi dimanfaatkan untuk budidaya tanaman tahunan.
d. Tanah aluvial higromorf, dimana jenis tanah ini berasal dari endapan sedimentasi sungai
yang bermuara ke pantai. Tanah jenis ini mendominasi di pesisir Kota Semarang
(Kecamatan Tugu, Kecamatan Semarang Utara da Kecamatan Genuk), dimana sebagian
dari tanah ini dimanfaatkan untuk media tumbuh ekosistem mangrove.
Gambar 3.8 Sistem Green Flood Retention Measures (GFRMs) di Houston City, Texas
Gambar 3.9 Denah Sistem Green Flood Retention Measures (GFRMs) dan Fasilitasnya di
Houston City, Texas
Dalam penerapannya green flood retention measures (GFRMs) memiliki kelebihan
dan kekurangan, hal ini disajikan pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 3.1 Kelebihan dan Kekurangan Penerapannya Green Flood Retention Measures
(GFRMs)
Kelebihan Kekurangan
GFRM berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan Penerapan GFRM mungkin memerlukan ruang
dengan meningkatkan kualitas air, meningkatkan dan investasi yang besar, yang dapat menjadi
keanekaragaman hayati, dan mengurangi dampak tantangan di daerah perkotaan yang padat
urbanisasi terhadap sistem air alami. penduduknya.
GFRM seringkali memerlukan pemeliharaan
GFRM sering kali melibatkan masyarakat dalam
berkelanjutan untuk memastikan efektivitasnya,
implementasinya, sehingga menumbuhkan rasa
yang dapat menjadi beban bagi pemerintah daerah
kepemilikan dan kepedulian terhadap lingkungan.
dan masyarakat.
GFRM dapat meningkatkan ketahanan kota terhadap
Penerapan GFRM mungkin menghadapi
dampak perubahan iklim, seperti kejadian cuaca ekstrem
hambatan peraturan dan kelembagaan, sehingga
dan kenaikan permukaan laut.
memerlukan perubahan dalam kebijakan dan
GFRM menciptakan ruang terbuka hijau yang dapat
praktik untuk diintegrasikan secara efektif ke dalam
meningkatkan daya tarik estetika kawasan perkotaan
perencanaan dan pembangunan kota.
dan menyediakan ruang rekreasi bagi Masyarakat.
Gambar 3.10 Zona Banjir yang Dimodelkan untuk Kondisi Awal (Kuning), untuk Measure
01 (Merah), dan untuk Semua Measure (Biru).
Zona genangan, produksi limpasan, jenis tanah, dan distribusi ruang terbuka hijau
merupakan hal yang dipertimbangkan pada studi ini. Selain itu, analisis tambahan
diperlukan untuk menilai kelayakan lokasi secara lebih mendalam. Mempertimbangkan
aspek sosial, perlu dilakukan evaluasi terhadap penerimaan masyarakat setempat terhadap
tindakan retensi banjir hijau, terutama ketika area tersebut digunakan untuk rekreasi atau
kegiatan lainnya. Jika ditemukan bahwa masyarakat akan ragu untuk sering mengunjungi
tempat tersebut, pemilihan dan desain lokasi harus mempertimbangkan manfaat ekologis
dan hidrologis sebagai prioritas utama. Pemeliharaan rutin sistem evakuasi harus dilakukan
dengan menguji sistem peringatan dini (early warning system) dan operasi dan
pemeliharaan tentang cara bertindak sebelum kolam retensi mulai terisi penuh.
Gambar 3.11 Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Kota Semarang Tahun 2011-2031
Gambar 3.11 Peta Rencana Pengendalian Banjir Kota Semarang Tahun 2011-2031
Berdasarkan peta rencana pola ruang, peta rencana pengendalian banjir, dan peta
topografi Kota Semarang, maka sistem green flood retention measures (GFRMs) dapat
diterapkan di beberapa alternatif wilayah yaitu, Kecamatan Ngaliyan, Kecamatan
Gajahmungkur, dan Kecamatan Semarang Selatan. Beberapa alternatif wilayah tersebut
dipilih karena dinilai memiliki tata guna lahan yang cocok berupa kawasan peruntukan
pertanian holtikultura dan kawasan lindung yang dekat dengan pemukiman masyarakat.
Beberapa alternatif wilayah tersebut juga cocok menjadi lokasi perencanaan GFRM karena
berdekatan dengan alur sungai dan berada di hulu lokasi yang sering mengalami banjir
akibat banjir kiriman maupun banjir akibat pasang surut. Berdasarkan peta topografi Kota
Semarang, kawasan tersebut juga memiliki kemiringan lereng 0-15% atau cukup landai
sehingga cocok menjadi lokasi penerapan sistem green flood retention measures (GFRMs).
Kesesuaian GFRM untuk mengatasi banjir di Kota Semarang tergantung pada
pemahaman mendalam tentang kondisi lokal, kerjasama lintas sektor, dan perencanaan
yang terintegrasi untuk mencapai solusi yang berkelanjutan dan efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Arthur, N., Hack, J., 2022. A multiple scale, function, and type approach to determine
and improve Green Infrastructure of urban watersheds. Urban For. Urban Green. 68, 127459.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Semarang. (2021) Laporan
Akhir Kajian Potensi Mata Air dan Kearifan Lokal Masyarakat dalam Upaya Konservasi
Sumber Daya Air di Kota Semarang. Semarang: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bappeda) Kota Semarang.
Chen, V., Bonilla Brenes, J.R., Chapa, F., Hack, J, 2021. Development and modelling
of realistic retrofitted Nature-based Solution scenarios to reduce flood occurrence at the
catchment scale.
FEMA Hazard Mitigation, 2018. Exploration Green! A Case Study in Effective
Floodplain Management. Hazard and Performance Analysis. Reseda Drive Houston, Texas,
77062.
Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air dan Penataan Ruang. 2023. Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Semarang Tahun 2011-2031. Diakses pada 20 November 2023 dari
http://pusdataru.jatengprov.go.id.
Hartmann, T., Slavikova, L., McCarthy, S., 2019. Nature-based flood risk
management on private land. Springe Int. Publ. 224.
Kodoatie, R. J., 2013. Rekayasa dan Manajemen Banjir Kota. Yogyakarta: Andi
Offset.
Kodoatie, R. J., dan Sugiyanto, 2001. Banjir (Beberapa Penyebab dan metode
Pengendalian Banjir dalam Perspektif Lingkungan). Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Kodoatie, R. J.dan Sjarief, R., 2008. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu Edisi
Revisi. Yogyakarta: Andi Offset.
Meerow, S., Newell, J. P., 2017. Spatial planning for multifunctional green
infrastructure: growing resilience in Detroit. Landsc. Urban Plan. 2017, 62-75.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 12/PRT/M/2014
Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Sistem Drainase Perkotaan.
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi. (2017). Modul
Dasar-Dasar Perencanaan Alur dan Bangunan Sungai. Bandung: Pusat Pendidikan dan
Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi.
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi. (2017). Modul
Metode Pengendalian Banjir Pelatihan Pengendalian Banjir. Bandung: Pusat Pendidikan
dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi.
SEPA, 2015. Natural Flood Management Handbook: Scottish Environment
Protectioon Agency, 142 pp.
Siswoko, 2007. Banjir, Masalah Banjir dan Upaya Mengatasinya. Jakarta: Himpunan
Ahli Teknik Hidraulika Indonesia (HATHI).
Suripin, 2004. Sistem Drainase Perkotaan Yang Berkelanjutan. Andi Offset,
Yogyakarta.
USACE, 2022. River Analysis System (HEC-RAS) website.
(https://www.hec.usace.army.mil/software/hec-ras/default.aspx).
Yanfeng Wu, et all, 2020. On how wetlands can provide flood resilience in a large
river basin: A case study in Nenjiang river Basin, China. China: Journal of Hydrology.