Anda di halaman 1dari 29

TUGAS KELOMPOK

Konsep Eco-Drainage untuk Mereduksi Banjir di Kota Semarang

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Drainase Perkotaan
yang Dibimbing Oleh

Prof. Dr. Ir. Suhardjono, MPd., Dipl. HE

Disusun oleh :

Dewi Amalia (226060400011001)


Yunita Ayu Setiyowati (236060400111006)

Kelas A

PROGRAM MAGISTER TEKNIK PENGAIRAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
November, 2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Banjir adalah kejadian ketika aliran air melimpah dan menutupi daratan. Pengelolaan
sumber daya air selalu menjadi perhatian utama bagi masyarakat dan pemerintah saat musim
hujan tiba. Banjir dapat menyebabkan kerugian dalam bentuk kehilangan nyawa, harta
benda, dan properti. Meskipun bencana banjir tidak dapat dihindari sepenuhnya, upaya
pengendalian dapat dilakukan. Perubahan dalam tata guna lahan, keterbatasan saluran
drainase kota, perilaku masyarakat yang membuang sampah ke saluran air, dan dampak
perubahan iklim global semakin memperberat upaya pengendalian banjir.
Sebagai ibu kota provinsi Jawa Tengah dan pusat industri, Kota Semarang sering
menghadapi banjir selama musim hujan. Terutama, genangan banjir sering terjadi di
sejumlah titik di Kota Semarang, terutama di daerah aliran Kali Tenggang Semarang. Tanah
yang kurang mampu menyerap air hujan karena pembatasan lahan penyerapan menjadi
penyebab utama. Secara geografis, Kota Semarang terletak di pantai utara Pulau Jawa
dengan luas wilayah 373,7 km2, terbagi menjadi 16 kecamatan dan 177 kelurahan.
Seperti kebanyakan kota pantai lainnya, Kota Semarang menghadapi tantangan yang
serupa. Karakteristik fisik alam Kota Semarang tidak mendukung penuh untuk mencegah
banjir dan rob. Kota ini terbagi menjadi kota atas (daerah selatan) yang berbukit-bukit dan
kota bawah (daerah Utara) yang datar, sehingga rentan terhadap banjir dan genangan akibat
rob. Berdasarkan Gambar 1, topografi Kota Semarang di bagian Selatan sebagian besar
merupakan daerah pegunungan dengan perubahan kemiringan dataran yang cukup tajam.
Wilayah ini merupakan kawasan resapan yang telah mengalami perubahan fungsi lahan,
dengan tinggi curah hujan rata-rata mencapai 3.758 mm/tahun.
Sementara itu, bagian utara Kota Semarang adalah kawasan pantai utara yang datar
dengan tinggi curah hujan rata-rata sebesar 2.835 mm/tahun. Wilayah ini rentan terhadap
banjir dan rob karena kondisinya datar dengan elevasi yang sangat rendah. Akibat subsiden
tanah, sebagian dataran ini memiliki elevasi lebih rendah dari muka air laut, dan kenaikan
tinggi muka air laut (TMA) terjadi akibat pengaruh pemanasan global (Kodoatie, 2008).
Kondisi tersebut semakin rumit dengan adanya kombinasi antara banjir kiriman dan rob,
serta ketidakmampuan Sistem Tata Air Perkotaan dalam mengendalikan banjir karena tidak
dirancang untuk mengantisipasi perkembangan tata ruang.
1.2. Rumusan Masalah
Banjir di Kota Semarang disebabkan oleh sejumlah faktor yang saling terkait. Pertama,
karakteristik geografis dan topografi kota memberikan dampak signifikan. Bagian utara kota
yang cenderung datar membuat daerah ini rentan terhadap genangan air, terutama saat curah
hujan tinggi. Keterbatasan dalam sistem drainase merupakan penyebab kedua, di mana
saluran air yang kurang memadai dan terkadang tersumbat oleh sampah menyulitkan
pengaliran air hujan dengan lancar. Pertumbuhan kota yang tidak terkendali juga
memberikan kontribusi, dengan pembangunan yang cepat dan tanpa perencanaan yang baik
mengubah tata guna lahan dan meningkatkan area impermeabel, mengurangi kemampuan
tanah untuk menyerap air.
Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur di Kota Semarang memiliki peran strategis
dalam mitigasi risiko banjir. Banjir Kanal Barat, yang membentang sepanjang 5,5 kilometer,
berfungsi sebagai saluran utama untuk mengalirkan air dari Sungai Baru ke Laut Jawa,
membantu mengurangi tekanan banjir di bagian barat kota. Di sisi lain, Banjir Kanal Timur,
dengan panjang 3,8 kilometer, menghubungkan Sungai Banjir Kanal Barat dengan
Pelabuhan Tanjung Emas. Banjir kanal masih menerapkan sistem drainase yang lama, yakni
mengalirkan air secepat - cepatnya ke laut.
Land subsidence, atau penurunan tanah, menjadi faktor lain yang memperparah situasi,
terutama di beberapa bagian kota, di mana tanah yang mengalami penurunan elevasinya
lebih rentan terhadap risiko rob dan banjir saat pasang laut. Perubahan iklim dengan
intensitas hujan yang meningkat dan kurangnya ruang terbuka hijau yang mampu menyerap
air juga menjadi penyebab banjir yang signifikan di Kota Semarang. Upaya terpadu untuk
meningkatkan sistem drainase, melibatkan partisipasi aktif masyarakat, dan memperkuat
infrastruktur perlu ditempuh untuk mengurangi risiko banjir yang berulang di kota ini.

1.3. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis keberhasilan implementasi eco-drainage di daerah lain
Menilai pengalaman daerah-daerah lain yang telah menerapkan konsep eco-drainage
dalam upaya penanganan banjir. Mengidentifikasi faktor kunci yang mendukung
keberhasilan implementasi.
2. Mengkaji konsep eco-drainage sebagai solusi penanganan banjir
Mengeksplorasi konsep eco-drainage sebagai pendekatan berkelanjutan untuk
mengurangi risiko banjir. Meninjau prinsip-prinsip eco-drainage dan penerapannya
dalam konteks Kota Semarang.
3. Memberikan rekomendasi kebijakan dan tindakan lanjut
Merumuskan rekomendasi kebijakan dan tindakan lanjut bagi pemerintah, lembaga
terkait, dan masyarakat untuk mendukung implementasi eco-drainage sebagai strategi
berkelanjutan dalam penanganan banjir di Kota Semarang.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1. Banjir
Banjir Menurut Suripin (2003) adalah suatu kondisi di mana tidak tertampungnya air
dalam saluran pembuang (palung sungai) atau terhambatnya aliran air di dalam saluran
pembuang, sehingga meluap menggenangi daerah (dataran banjir) sekitarnya. Ada tiga jenis
banjir yang umum yakni banjir fluvial, juga dikenal sebagai banjir sungai, banjir pluvial atau
banjir bandang, dan banjir pesisir, yang sering disebut gelombang badai. Setiap jenis banjir
terjadi dan diperkirakan dengan cara yang berbeda-beda. Dampak dari setiap jenis banjir
juga berbeda-beda, begitu pula tindakan yang perlu dilakukan untuk menghindari atau
meminimalkan kerusakan akibat banjir.
2.1.1. Banjir Fluvial
Banjir fluvial, atau banjir sungai, terjadi ketika permukaan air di sungai, danau, atau
sungai kecil naik dan meluap ke daratan di sekitarnya. Naiknya permukaan air sungai bisa
jadi disebabkan oleh hujan berlebihan.Kerusakan yang diakibatkan oleh banjir sungai dapat
meluas karena luapan air tersebut mempengaruhi sungai-sungai kecil di bagian hilir, yang
dapat menyebabkan jebolnya bendungan dan tanggul dan membanjiri daerah sekitarnya.

Gambar 2.1 Banjir Fluvial


2.1.2. Banjir Pluvial
Banjir pluvial terjadi ketika curah hujan ekstrem menyebabkan banjir yang tidak
bergantung pada luapan badan air. Kesalahpahaman umum tentang banjir adalah bahwa
harus berada di dekat perairan agar berisiko. Namun banjir besar dapat terjadi di mana saja,
baik perkotaan maupun pedesaan, bahkan di wilayah yang tidak terdapat sumber air di
dekatnya.

Gambar 2.2 Banjir Pluvial

Ada dua jenis banjir pluvial yang umum:


1. Banjir Air Permukaan
Banjir air permukaan terjadi ketika sistem drainase perkotaan kewalahan dan air
mengalir keluar ke jalan-jalan dan bangunan-bangunan di sekitarnya. Hal ini terjadi secara
bertahap sehingga memberikan waktu bagi masyarakat untuk berpindah ke lokasi yang
aman, dan permukaan air biasanya dangkal (jarang yang kedalamannya lebih dari 1 meter).
Hal ini tidak menimbulkan ancaman langsung terhadap kehidupan namun dapat
menyebabkan kerusakan ekonomi yang signifikan.
2. Banjir Bandang
Banjir bandang dicirikan oleh semburan air yang deras dan berkecepatan tinggi yang
dipicu oleh hujan deras yang turun dalam waktu singkat di sekitar atau di dataran tinggi di
dekatnya. Hal ini juga dapat terjadi melalui pelepasan air secara tiba-tiba dari tanggul hulu
atau bendungan. Banjir bandang sangat berbahaya dan merusak bukan hanya karena
kekuatan airnya, tetapi juga puing-puing yang sering terbawa arus.
2.1.3. Banjir Pesisir
Banjir pantai adalah tergenangnya wilayah daratan di sepanjang pantai oleh air laut.
Penyebab umum banjir pesisir adalah peristiwa badai angin hebat yang terjadi bersamaan
dengan air pasang (gelombang badai), dan tsunami.

Gambar 2.3 Banjir Pesisir

2.2. Pengendalian Banjir


Pengendalian banjir merupakan bagian dari pengelolaan sumber daya air yang lebih
spesifik untuk mengendalikan debit banjir, umumnya melalui dam pengendali banjir, atau
peningkatan sistem pembawa (sungai, drainase) dan pencegahan hal-hal yang berpotensi
merusak dengan cara mengelola tata guna lahan dan daerah banjir (Kodoatie, 2008, p.185).
Kegiatan pengendalian banjir menurut lokasi atau daerah pengendaliannya dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu (Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan
Konstruksi, 2017, pp. 3-4):
1) Bagian hulu, yaitu dengan membangun dam pengendali banjir yang dapat
memperlambat waktu tiba banjir dan menurunkan besarnya debit banjir, pembuatan
waduk lapangan yang dapat merubah pola hidrograf banjir dan penghijauan di daerah
aliran sungai (DAS).
2) Bagian hilir, yaitu dengan melakukan perbaikan alur sungai dan tanggul, sudetan pada
alur yang kritis, pembuatan alur pengendali banjir atau floodway, pemanfaatan daerah
genangan untuk kolam retensi, dsb.
Berdasarkan Center for International Forestry/CIFOR (2002) dalam Novan (2013)
dapat diketahui bahwa metode penanganan atau pengendalian banjir dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu secara struktural dan non struktural. Metode struktural dilakukan dengan
kegiatan rekayasa teknis melalui penyediaan sarana dan prasarana banjir sedangkan metode
non struktural dilakukan dengan pemanfaatan ruang dengan tujuan meminimalkan jumlah
kerugian sebagai dampak dari banjir.
Pengendalian banjir pada dasarnya dapat dilakukan dengan berbagai cara, namun yang
penting adalah dipertimbangkan secara keseluruhan dan dicari sistem yang paling optimal
sesuai dengan situasi, kondisi dan kebijakan yang ada terutama menyangkut program
penanganannya.

2.3. Sistem Pengendalian Banjir (Flood Control System)


Sistem pengendalian banjir pada suatu daerah perlu dibuat dengan baik dan efisien,
mempertimbangkan kondisi yang ada dan pengembangan pemanfaatan sumber daya air
mendatang. Pada penyusunan sistem pengendalian banjir perlu adanya evaluasi dan analisis
atau memperhatikan hal-hal yang meliputi antara lain (Kodoatie, 2013, p.161):
1) Analisis cara pengendalian banjir yang ada atau yang sedang berjalan pada daerah
tersebut;
2) Evaluasi dan analisis daerah genangan banjir, termasuk data kerugian akibat banjir;
3) Evaluasi dan analisis tata guna lahan di daerah studi, terutama di daerah bawah atau
dataran banjir;
4) Evaluasi dan analisis daerah pemukiman yang ada maupun perkembangan yang akan
datang;
5) Memperhatikan potensi dan pengembangan sumber daya air mendatang;
6) Memperhatikan pemanfaatan sumber daya air yang ada termasuk bangunan yang ada.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas dapat direncanakan sistem pengendalian
banjir dengan menyesuaikan kondisi yang ada, dengan berbagai cara mulai dari hulu sampai
hilir yang memungkinkan untuk dilaksanakan. Cara pengendalian banjir dapat dilakukan
secara struktural dan non struktural (Kodoatie, dan Sugiyanto, 2001, p.291). Pada studi kali
ini, pengendalian banjir akan dilakukan menggunakan metode struktural.
Metode struktural pada prinsipnya dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu (Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi,2017, p. 4):
a. Bangunan pengendali banjir: bendungan atau waduk, kolam retensi (retention basin),
pembuatan check dam, pembuatan polder, dll.
b. Sistem perbaikan dan pengaturan sungai: perbaikan sungai (river improvement),
tanggul, floodway, dan sistem drainase khusus. Alternatif pengendalian banjir tersebut
dipilih sesuai dengan situasi, kondisi, dan kebijakan yang ada terutama menyangkut
program penanganannya.

2.4. Drainase Perkotaan


Drainase yang berasal dari kata bahasa inggris drainage mempunyai arti mengalirkan,
menguras, membuang, atau mengalihkan air. Drainase secara umum dapat didefinisikan
sebagai suatu tindakan teknis untuk mengurangi kelebihan air, baik yang berasal dari air
hujan, rembesan, maupun kelebihan air irigasi dari suatu kawasan/ lahan, sehingga fungsi
kawasan tidak terganggu (Suripin, 2004.p. 7). Drainase yaitu suatu cara pembuangan
kelebihan air yang tidak diinginkan pada suatu daerah, serta cara-cara penangggulangan
akibat yang ditimbulkan oleh kelebihan air tersebut. Dari sudut pandang yang lain, drainase
adalah salah satu unsur dari prasarana umum yang dibutuhkan masyarakat kota dalam rangka
menuju kehidupan kota yang aman, nyaman, bersih, dan sehat. Prasarana drainase disini
berfungsi untuk mengalirkan air permukaan ke badan air (sumber air permukaan dan bawah
permukaan tanah) dan atau bangunan resapan. Selain itu juga berfungsi sebagai pengendali
kebutuhan air permukaan dengan tindakan untuk memperbaiki daerah becek, genangan air
dan banjir. Kegunaan dengan adanya saluran drainase ini antara lain:
1. Mengeringkan genangan air sehingga tidak ada akumulasi air tanah.
2. Menurunkan permukaan air tanah pada tingkat yang ideal.
3. Mengendalikan erosi tanah, kerusakan jalan dan bangunan yang ada.
4. Mengendalikan air hujan yang berlebihan sehingga tidak terjadi bencana banjir
Prinsip dasar drainase perkotaan yaitu air hujan yang jatuh di suatu daerah perlu
ditampung, diresapkan dan dialirkan dengan cara pembuatan tampungan, fasilitas
resapan dan saluran drainase. Sistem saluran drainase di atas selanjutnya dialirkan ke sistem
yang lebih besar yaitu ke badan air penerima (Menteri Pekerjaan Umum, 2014).
Saat ini sistem drainase sudah menjadi salah satu infrastruktur perkotaan yang sangat
penting. Kualitas manaemen suatu kota dapat dilihat dari kualitas sistem drainase yang ada.
Suripin (2004. p. 8).
Drainase perkotaan merupakan sistem pengeringan dan pengaliran air dari wilayah
perkotaan yang meliputi:
1. Permukiman;
2. Kawasan industri dan perdagangan;
3. Kampus dan sekolah;
4. Rumah sakit dan fasilitas umum;
5. Lapangan olahraga;
6. Lapangan parkir;
7. Instalasi militer, listrik, telekomunikasi;
8. Pelabuhan udara.

Prasarana dan sarana drainase perkotaan terdiri dari bangunan-bangunan seperti berikut:
1. Saluran terbuka;
2. Saluran tertutup;
3. Gorong-gorong;
4. Siphon drainase;
5. Bangunan terjun;
6. Tanggul;
7. Bangunan penangkap air;
8. Pintu air;
9. Kolam retensi;
10. Kolam tandon;
11. Kolam detensi;
12. Pompa;
13. Rumah pompa;
14. Trash rack;
15. Sumur resapan;
16. Kolam resapan;
17. Jalan inspeksi;
18. Daerah sempadan;
19. Bak pemeriksaan/ man hole;
20. Tali air/ inlet street;
2.4.1. Fungsi Drainase Perkotaan
Fungsi Drainase Perkotaan menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 12 Tahun
2014 yaitu:
a. Fungsi drainase perkotaan secara umum, yaitu:
1. Mengeringkan bagian wilayah kota dari genangan air sehingga tidak menimbulkan
dampak negatif terhadap lingkungan sekitar;
2. Mengalirkan air permukaan ke badan air penerima terdekat secepatnya;
3. Mengendalikan kelebihan air permukaan yang dapat dimanfaatkan untuk persediaan
air dan kehidupan akuatik;
4. Meresapkan air pemukaan untuk menjaga kelestarian air tanah (konservasi air);
5. Melindungi prasarana dan sarana perkotaan yang sudah terbangun.

b. Fungsi drainase perkotaan berdasarkan fungsi layanan, adalah:


1. Sistem drainase lokal
Sistem drainase lokal adalah saluran awal yang melayani suatu kawasan kota tertentu
seperti komplek, areal pasar, perkantoran, areal industri dan komersial. Pengelolaan
sistem drainase lokal menjadi tanggung jawab masyarakat, pengembang/pengelola
kawasan atau instansi lainnya.
2. Sistem drainase utama
Sistem drainase utama adalah jaringan saluran drainase primer, sekunder, tersier
beserta bangunan pelengkapnya yang melayani kepentingan sebagian besar warga
masyarakat. Pengelolaan sistem drainase utama merupakan tanggung jawab pemerintah
kabupaten/kota.
3. Pengendalian banjir (Flood Control)
Pengendalian banjir adalah usaha untuk mengendalikan air sungai yang melintasi
wilayah kota, sehingga tidak mengganggu masyarakat dan dapat memberikan manfaat
bagi kegiatan kehidupan manusia. Pengelolaan/pengendalian banjir merupakan tugas dan
tanggung jawab dinas pengairan (Sumber Daya Air).
c. Fungsi drainase perkotaan berdasarkan fisiknya, yaitu:
1. Saluran primer adalah saluran drainase yang menerima air dari saluran sekunder dan
menyalurkannya ke badan air penerima;
2. Saluran sekunder adalah saluran drainase yang menerima air dari saluran tersier dan
menyalurkannya ke saluran primer;
3. Saluran tersier tersier adalah saluran drainase yang menerima air dari saluran
penangkap menyalurkannya ke saluran sekunder.
Dalam perencanaan saluaran drainase dapat dipakai standar yang telah ditetapkan, baik
debit rencana (periode ulang) dan cara analisis yang dipakai, tinggi jagaan, struktur saluran,
dan lain-lain. Berikut standar desain saluran drainase berdasarkan “Pedoman Drainase
Perkotaan dan Standar Desain Teknis” ditunjukan pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Kriteria Desain Hidrologi Sistem Drainase Perkotaan

Luas DAS (ha) Kala Ulang (tahun) Metode Perhitungan Debit Banjir

<10 2 Rasional

10-100 2-5 Rasional

101-500 5-20 Rasional

>500 10-25 Hidrograf Satuan


Sumber: Suripin (2004.p.241)

2.4.2. Konsep Drainase Berwawasan Lingkungan (Eco-Drainage)


Konsep drainase konvensional (paradigma lama) adalah upaya membuang atau
mengalirkan air kelebihan secepatnya ke sungai terdekat. Dalam konsep drainase
konvensional, seluruh air hujan yang jatuh di suatu wilayah, harus secepatnya dibuang ke
sungai dan seterusnya ke laut. Dampak dari konsep ini adalah kekeringan yang terjadi di
mana-mana, banjir, dan juga longsor. Dampak selanjutnya adalah kerusakan ekosistem,
perubahan iklim mikro dan makro serta tanah longsor di berbagai tempat yang disebabkan
oleh fluktuasi kandungan air tanah pada musim kering dan musim basah yang sangat tinggi.
Konsep pengatusan ini masih dipraktekkan masyarakat sampai sekarang. Pada setiap proyek
drainase, dilakukan upaya untuk membuat alur-alur saluran pembuang dari titik genangan
ke arah sungai dengan kemiringan yang cukup untuk membuang sesegera mungkin air
genangan tersebut. (Menteri Pekerjaan Umum, 2014).
Dalam drainase ramah lingkungan, justru air kelebihan pada musim hujan harus
dikelola sedemikian rupa sehingga tidak mengalir secepatnya ke sungai. Namun diusahakan
meresap ke dalam tanah, guna meningkatkan kandungan air tanah untuk cadangan pada
musim kemarau. Drainase ramah lingkungan (eco-drainage) didefinisikan sebagai upaya
mengelola air kelebihan dengan cara meresapkan sebanyak-banyaknya air ke dalam tanah
secara alamiah atau mengalirkan air ke sungai dengan tanpa melampaui kapasitas sungai
sebelumnya (Menteri Pekerjaan Umum, 2014).
Dalam prinsip drainase ramah lingkungan (eco-drainage) dilakukan upaya untuk
mengelola air kelebihan (air hujan) dengan berbagai metode diantaranya dengan
menampung melalui bak tandon air, menampung dalam tampungan buatan atau badan air
alamiah, meresapkan dan mengalirkan ke sungai terdekat tanpa menambah beban pada
sungai yang bersangkutan, air tersebut dapat langsung dimanfaatkan atau dimanfaatkan pada
musim berikutnya misalnya untuk sumber air bersih, dapat digunakan untuk
mengisi/konservasi air tanah, dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas ekosistem dan
lingkungan, dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengurangi genangan dan banjir
yang ada, serta senantiasa memelihara sistem tersebut sehingga berdaya guna secara
berkelanjutan.
Ada beberapa metode drainase ramah lingkungan (eco-drainage) yang dapat dipakai
di Indonesia, diantaranya adalah metode kolam konservasi, metode sumur resapan, metode
river side polder dan metode pengembangan areal perlindungan air tanah (ground water
protection area) (Menteri Pekerjaan Umum, 2014).
2.4.3. Sistem Eco-Drainage
Sistem eco-drainage dimaksudkan sebagai upaya mengelola kelebihan air dengan
cara meresapkan sebanyak-banyaknya air ke dalam tanah secara alamiah atau mengalirkan
air ke sungai dengan tanpa melampaui kapasitas sungai sebelumnya (Kementerian PU,
2011). Arahan penanganan drainase dapat dibagi menjadi 3 wilayah penanganan sebagai
berikut (Kementerian PU, 2011):
1. Wilayah Hulu
Limpasan air hujan dialirkan untuk kemudian diresapkan (pola retensi).
2. Wilayah Tengah
Limpasan air hujan dialirkan ke kolam tampungan untuk ditampung sementara atau
diresapkan bila memungkinkan (gabungan pola retensi dan detensi).
3. Wilayah Hilir
Air limpasan dialirkan melalui saluran drainase ke waduk atau kolam untuk
penampungan sementara (pola detensi) sebelum dialirkan atau dipompa ke badan air
(sungai atau laut).
BAB III
SISTEM ECO-DRAINAGE UNTUK PENANGANAN BANJIR

3.1. Sistem Pengendalian Banjir Eksisting


Banjir di Kota Semarang tidak hanya menjadi issue akhir-akhir ini saja, namun banjir
di Kota Semarang sudah banyak tercatat sejak abad 18. Usaha- usaha untuk melakukan
pengendalian banjir di Kota Semarang sudah sangat beragam, bahkan sejak jaman kolonial
Belanda. Akan tetapi pada tahun 2003, banjir masih terus terjadi. Beberapa usaha yang telah
dilakukan untuk mengurangi resiko banjir Kota Semarang adalah sebagai berikut:
3.1.1. Banjir Kanal
Kota Semarang memiliki dua kanal utama yaitu Banjir Kanal Barat (BKT) dan Banjir
Kanal Timur (BKT). Kedua kanal tersebut memiliki fungsi utama sebagai pengendali banjir
Kota Semarang. Namun, kapasitas dari kedua kanal tersebut untuk menjalankan fungsinya
dengan baik mulai berkurang. Sebagai contoh, pada Desember 2021 lalu, BKT meluap
hingga menggenangi jalan dan pemukiman setelah diguyur hujan deras dari sore hingga
malam. Berkurangnya kapasitas kanal sebagai pengendali banjir diakibatkan oleh tingginya
sedimentasi, pemanfaatan ruang sungai yang tidak tepat, serta penumpukan sampah di badan
sBanjir Kanal Timur dan Barat di Kota Semarang dirancang sebagai bagian integral dari
sistem manajemen air yang kompleks untuk mengurangi risiko banjir. Banjir Kanal Barat
memiliki peran utama dalam mengalirkan air dari Sungai Baru ke Laut Jawa, sehingga
mengurangi tekanan air di sepanjang wilayah barat kota. Sebaliknya, Banjir Kanal Timur
menghubungkan Sungai Banjir Kanal Barat dengan Pelabuhan Tanjung Emas, memberikan
jalur evakuasi air dari zona timur ke laut.
Sistem kerja keduanya terfokus pada aliran air yang efisien dan pengelolaan volume
air hujan. Dengan memiliki dimensi yang cukup besar, kanal-kanal ini mampu menampung
sejumlah besar air, mencegahnya membanjiri pemukiman dan infrastruktur perkotaan.
Sistem ini juga dilengkapi dengan pintu air atau sluice gate yang dapat diatur,
memungkinkan kontrol yang lebih baik terhadap aliran air sesuai dengan tingkat curah hujan.
Selain itu, keduanya bekerja sebagai saluran evakuasi yang cepat, memastikan air
hujan yang melimpah dapat dengan efisien dialirkan ke laut tanpa menyebabkan banjir di
kota. Melalui rancangan ini, Banjir Kanal Timur dan Barat menjelma menjadi penyeimbang
vital yang melindungi Kota Semarang dari potensi bencana banjir, mengurangi dampak
negatif yang dapat terjadi pada masyarakat, ekonomi, dan lingkungan sungai.
3.1.2. Pompa dan Kolam Retensi Waru
Rumah Pompa Waru merupakan salah satu infrastruktur Sumber Daya Air di
lingkungan BBWS Pemali Juana. Terletak di Kota Semarang, rumah pompa ini merupakan
salah satu elemen dalam pekerjaan pengendalian banjir di Kanal Banjir Timur Kota
Semarang.
Pompa ini bermanfaat untuk penanganan banjir pada Sistem Sungai Tenggang di Kota
Semarang, dengan kapasitas pompa 2×2.000 liter per detik. Di samping itu, juga dilengkapi
dengan Kolam Retensi Waru yang memiliki volume tampungan sebesar 5.000 m3.

Gambar 3.1 Rumah Pompa dan Retensi Waru

3.1.3. Bendungan Jatibarang


Pembangunan Waduk Jatibarang dilakukan pada Januari 2014. Pembangunan Waduk
Jatibarang menjadi salah satu upaya penanganan beberapa masalah yang terjadi di daerah
Semarang dan sekitarnya. Pembangunannya Waduk Jatibarang memiliki daya tampung
sebesar 2,6 juta m3/detik dan dapat mengurangi debit banjir hingga 170 m3/detik.
Gambar 3.2 Bendungan Jatibarang

3.1.4. Rumah Pompa Tenggang dan Sringin


Rumah pompa tenggang dan sringin di Kota Semarang merupakan infrastruktur vital
yang berfungsi untuk mengatasi masalah banjir dan menjaga keseimbangan air tanah.
Rumah pompa tenggang bertugas memompa air ke sungai atau saluran drainase ketika debit
air tinggi, sementara rumah pompa sringin berfungsi untuk menyedot air dari sungai atau
saluran ketika debit air rendah. Keduanya bekerja secara sinergis untuk menjaga
keseimbangan aliran air di wilayah tersebut, mencegah banjir pada musim hujan, dan
menyediakan pasokan air pada musim kemarau. Infrastruktur ini merupakan bagian integral
dari upaya pemerintah Kota Semarang dalam mengelola sumber daya air dan melindungi
warganya dari dampak ekstrem cuaca serta perubahan iklim.

Gambar 3.3 Rumah Pompa Kali Tenggang


Gambar 3.4 Rumah Pompa Kali Sringin

3.2. Rekomendasi Sistem Eco-Drainage untuk Penanganan Banjir


Pusat Litbang SDA telah mengembangkan teknologi pengendalian banjir dan rob, antara
lain:
a) Di daerah hulu dilakukan penghijauan untuk pengendalian erosi dan penurunan koefisien
run off serta pembangunan dam pengendali banjir sebagai prasarana untuk mengurangi
limpasan air permukaan;
b) Di daerah tengah dibuat tanggul, pengaturan drainase dan perbaikan sungai untuk
memperlancar pembuangan air ke laut, serta banjir kanal sebagai upaya untuk
mempercepat pembuangan air ke laut serta mencegah air agar tidak masuk ke sistem
drainase kota;
c) Di daerah hilir dilakukan pengembangan sistem polder, tanggul laut, dan dam lepas pantai
(DLP) untuk menahan luapan rob ke daratan;
d) Dengan DLP dapat dikembangkan water front city sebagai sumber daya air tawar,
sehingga land subsidence dapat dikendalikan;
e) Usaha lain untuk menghentikan land subsidence adalah dengan recharge air tanah.

Dari konsep-konsep eksisting yang ada di Kota Semarang, mayoritas menerapkan


sistem drainase tradisional dengan cara mengalirkan air secepat-cepatnya ke arah hilir.
Konsep seperti itu terbukti tidak efektif dalam usaha pengendalian banjir di Kota Semarang.
Sehingga kami merekomendasikan konsep drainase yang baru yakni tampung, manfaatkan,
resapkan, alirkan. Konsep-konsep yang kami tawarkan adalah sebagai berikut:
3.2.1. Dam Lepas Pantai Wetland
Dam lepas pantai adalah struktur pengendalian air yang terletak di lepas pantai,
dirancang untuk melindungi pesisir dari gelombang tinggi, banjir, dan erosi. Biasanya terdiri
dari sistem tanggul atau dinding beton yang ditempatkan di perairan dangkal di lepas pantai,
dam lepas pantai bertujuan untuk meredam kekuatan gelombang laut sebelum mencapai
daratan. Material yang digunakan dapat berupa beton, batu, atau gabion yang disusun dengan
presisi untuk menciptakan penghalang yang kuat. Selain memberikan perlindungan terhadap
bencana alam, dam lepas pantai juga sering kali dirancang untuk mendukung keberlanjutan
ekosistem laut dan memberikan habitat baru bagi flora dan fauna laut. Keberadaan dam lepas
pantai menjadi elemen kunci dalam upaya membangun ketahanan pesisir dan meminimalkan
dampak negatif dari cuaca ekstrem dan perubahan iklim.Lahan basah buatan (Constructed
Wetland) adalah salah satu rekayasa sistem pengolah limbah yang dirancang dan dibangun
dengan melibatkan tanaman air, tanah atau media lain, dan kumpulan mikroba terkait, yang
bertujuan untuk memperbaiki kualitas air dan mengurangi efek berbahaya dari limbah, serta
menyumbang upaya konservasi air. Constructed wetland dirancang, direncanakan, dibuat
dan dioperasikan untuk memberikan berbagai tujuan. Sesuai dengan filosofi dan
pendekatannya, Constructed wetland dibuat multi tujuan, misalnya pengolahan limbah,
penyediaan keragaman habitat dan satwa liar, mendukung kegiatan rekreasi, penyimpanan
air selama musim kering, dan menambah nilai estetika di lingkungan. Fungsi Constructed
wetland sebagai pengolah limbah bukan hanya mengolah air limbah domestik, tetapi juga
limbah industri, limbah rumah sakit maupun limbah pertambangan. Untuk masingmasing
fungsi sebagai pengolah limbah, harus dirancang sesuai dengan karakter limbah yang diolah.
Sebagai pengolah limbah domestik, maka constructed wetland harus didisain memenuhi
fungsi estetika, sehingga bisa ditampilkan sebagai taman tanaman air di lingkungan rumah.
Rekomendasi sistem eco-drainage dengan menggunakan wetland ini terinspirasi dari
jurnal yang berjudul “On how wetlands can provide flood resilience in a large river basin:
A case study in Nenjiang river Basin, China”. Studi tersebut dilakukan di sebuah cekungan
sungai yang luas, mencakup 297.000 kilometer persegi di Timur Laut Cina, di mana lahan
basah melimpah dan mencakup sekitar 12% dari luas cekungan. Studi pemodelan tersebut
menunjukkan bahwa lahan basah dapat mengurangi puncak dan aliran rata-rata, durasi
kejadian, dan volume aliran (yaitu, volume limpasan) masing-masing sebesar 24% (12,14
mm), 12% (4,37 mm), 4% (1 hari), dan 17% (18×108 m3) di cekungan sungai yang besar ini.
Hal yang membuat terjadinya efektivitas dari penanganan banjir tersebut adalah
kondisi topografi pada DAS Nenjang, Cina. Wilayah topografi yang datar cenderung
memiliki tanah yang kurang miring, sehingga air lebih cenderung bertahan di permukaan
daripada mengalir dengan cepat ke sungai atau saluran air. Lahan basah dapat berperan
sebagai tempat penyimpanan alamiah untuk air berlebih, membantu mengurangi risiko
banjir. Topografi yang datar memungkinkan lahan basah untuk lebih efektif mengendalikan
aliran air. Tanah yang landai memungkinkan air untuk tersebar dan meresap secara merata,
mengurangi kecepatan aliran permukaan yang dapat menyebabkan erosi dan banjir.

Gambar 3.5 Peta Kemiringan Lereng DAS Nanjing, China

Terlihat bahwa pada DAS Nanjing, kemiringan lereng cenderung datar. Hal ini
menjadi sangat sesuai dengan kondisi Kota Semarang yang kemiringan lerengnya juga
cenderung datar.
Gambar 3.6 Peta Kemiringan Lereng Kota Semarang

Jenis tanah di Kota Semarang secara umum terbentuk dari aktivitas gunung berapi
(Gunung Ungaran) dan sedimentasi di daerah pantai serta batuan induk penyusunnya.
Terdapat 4 jenis tanah yang mendominasi di wilayah Kota Semarang, antara lain:
a. Tanah mediteran merah tua, dimana jenis tanah ini merupakan hasil pelapukan batuan
kapur keras dan batuan sedimen dengan warna tanah antara merah sampai dengan
kecoklatan yang merupakan jenis tanah pertanian yang subur. Jenis tanah ini berada di
Kecamatan Tugu, Kecamatan Gunungpati dan Kecamatan Banyumanik dengan
pemanfaatan berupa tanaman keras/tahunan, tanaman holtikultura dan tanaman palawija.
b. Tanah grumusol kelabu dan litosol, dimana jenis tanah grumusol memiliki sifat lempung
dan sedikit keras, sedangkan tanah litosol merupakan jenis tanah muda dengan tekstur
kasar berbatu. Jenis tanah ini berada di Semarang bagian tengah, mulai dari Kecamatan
Tembalang, Kecamatan Gunungpati, Kecamatan Candisari, Kecamatan Gajahmungkur
dan Kecamatan Ngaliyan. Pemanafaatan dari tanah jenis ini dapat digunakan untuk
budidaya padi, tanaman holtikultura dan tanaman tahunan.
c. Tanah aluvial kelabu dan kecoklatan, dimana jenis tanah ini terbentuk dari hasil
pengendapan dengan bentuk menyerupai tanah liat dan sedikit mengandung unsur hara.
Tanah jenis ini berada di Kecamaatn Genuk, Kecamatan Pedurungan, Kecamatan
Gayamsari, Kecamatan Semarang Selatan, Kecamatan Semarang Tengah, Kecamatan
Semarang Timur dan Kecamatan Semarang Barat, dimana tanah ini termasuk kurang
produktif dan hanya berpotensi dimanfaatkan untuk budidaya tanaman tahunan.
d. Tanah aluvial higromorf, dimana jenis tanah ini berasal dari endapan sedimentasi sungai
yang bermuara ke pantai. Tanah jenis ini mendominasi di pesisir Kota Semarang
(Kecamatan Tugu, Kecamatan Semarang Utara da Kecamatan Genuk), dimana sebagian
dari tanah ini dimanfaatkan untuk media tumbuh ekosistem mangrove.

Gambar 3.7 Peta Jenis Tanah Kota Semarang


Jenis tanah Grumosol, Litosol, dan Aluvial memiliki kemampuan yang baik untuk
menyerap air. Sehingga secara geologis, wilayah yang disarankan untuk lokasi perencanaan
wetland adalah pada Kecamatan Tembalang, Kecamatan Gunungpati, Kecamatan Candisari,
Kecamatan Gajahmungkur, Kecamatan Ngaliyan, Kecamaatn Genuk, Kecamatan
Pedurungan, Kecamatan Gayamsari, Kecamatan Semarang Selatan, Kecamatan Semarang
Tengah, Kecamatan Semarang Timur, dan Kecamatan Semarang Barat.
3.2.2. Green Flood Retention Measures (GFRMs)
Green flood retention measures (GFRMs) adalah solusi berbasis alam yang diterapkan
untuk memitigasi banjir dengan memperlambat dan menyimpan air banjir. Green flood
retention measures (GFRMs) atau offline storage area merupakan solusi NFM (natural
flood management) yang biasa digunakan untuk mengatasi masalah genangan (Hart-mann
et al., 2019). NFM berfokus pada mengubah, memulihkan atau menggunakan fitur lanskap
untuk mengurangi risiko banjir (Hartmann et al., 2019). Konsep ini memiliki keunggulan
dibandingkan solusi konstuksi pengendalian banjir lainnya (tidak ramah lingkungan) karena
dirancang untuk memenuhi berbagai fungsi (misalnya, pengendalian banjir, penyerapan
karbon, pengendalian polusi, rekreasi (Meerow dan Newell, 2017).
Teknik-teknik ini menggunakan fitur dan sifat alami untuk mengelola asal dan rute air
banjir, dengan fokus pada proses-proses lingkungan yang juga memberikan manfaat sosio-
ekologis dan membantu dalam restorasi dan peningkatan sungai dan dataran banjir (SEPA,
2015). Dalam konteks perkotaan, persaingan yang tinggi untuk mendapatkan ruang
merupakan batasan yang signifikan untuk menerapkan GFRM (Chen et al., 2021). Untuk
menjadi pilihan yang layak, kesesuaian lokasi dan penyediaan berbagai fungsi untuk
melayani tuntutan sosial yang berbeda menjadi sangat penting (Arthur dan Hack, 2022).
Pada umumnya green flood retention measures (GFRMs) dan kolam retensi memiliki
fungsi utama yang sama yaitu untuk menampung air hujan sementara waktu dengan
memberikan kesempatan untuk dapat meresap kedalam tanah yang operasionalnya dapat
dikombinasikan dengan pompa atau pintu air. Konsep dasar dari kedua system ini adalah
menampung volume air ketika debit maksimum di sungai datang, kemudian secara perlahan
lahan mengalirkannya ketika debit di sungai sudah kembali normal. Green flood retention
measures (GFRMs) dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu GFRM yang berada di samping
badan sungai dan kolam retensi yang berada di dalam badan sungai. GFRM berfungsi
sebagai pengendali banjir dan memangkas besarnya puncak banjir yang ada di sungai,
sehingga potensi overtopping yang mengakibatkan kegagalan tanggul dan luapan sungai
tereduksi. Selain itu, manfaat lain yang bisa diperoleh dari GFRM adalah sebagai sarana
pariwisata air dan konservasi air, karena mampu meningkatkan cadangan air tanah
setempat. Elemen-elemen sistem polder yang meliputi saluran drainase, tanggul, kolam
retensi, dan pompa air, dan sistem peringatan dini (early warning system) untuk
memberitahukan jika kolam retensi mulai terisi penuh. Semua elemen-elemen tersebut harus
direncanakan secara terintegrasi sehingga dapat bekerja secara optimal.

Gambar 3.8 Sistem Green Flood Retention Measures (GFRMs) di Houston City, Texas

Gambar 3.9 Denah Sistem Green Flood Retention Measures (GFRMs) dan Fasilitasnya di
Houston City, Texas
Dalam penerapannya green flood retention measures (GFRMs) memiliki kelebihan
dan kekurangan, hal ini disajikan pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 3.1 Kelebihan dan Kekurangan Penerapannya Green Flood Retention Measures
(GFRMs)
Kelebihan Kekurangan
GFRM berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan Penerapan GFRM mungkin memerlukan ruang
dengan meningkatkan kualitas air, meningkatkan dan investasi yang besar, yang dapat menjadi
keanekaragaman hayati, dan mengurangi dampak tantangan di daerah perkotaan yang padat
urbanisasi terhadap sistem air alami. penduduknya.
GFRM seringkali memerlukan pemeliharaan
GFRM sering kali melibatkan masyarakat dalam
berkelanjutan untuk memastikan efektivitasnya,
implementasinya, sehingga menumbuhkan rasa
yang dapat menjadi beban bagi pemerintah daerah
kepemilikan dan kepedulian terhadap lingkungan.
dan masyarakat.
GFRM dapat meningkatkan ketahanan kota terhadap
Penerapan GFRM mungkin menghadapi
dampak perubahan iklim, seperti kejadian cuaca ekstrem
hambatan peraturan dan kelembagaan, sehingga
dan kenaikan permukaan laut.
memerlukan perubahan dalam kebijakan dan
GFRM menciptakan ruang terbuka hijau yang dapat
praktik untuk diintegrasikan secara efektif ke dalam
meningkatkan daya tarik estetika kawasan perkotaan
perencanaan dan pembangunan kota.
dan menyediakan ruang rekreasi bagi Masyarakat.

Ide rekomendasi sistem eco-drainage dengan menggunakan green flood retention


measures (GFRMs) menjadi alternatif pengendalian banjir di Kota Semarang ini terinspirasi
dari jurnal yang berjudul “Multi-criteria site selection and hydraulic modeling of green flood
retention measures in a highly urbanized basin in Costa Rica”. Studi kasus ini menggunakan
cekungan Quebrada Seca-Burio di Wilayah Metropolitan Costa Rica. Cekungan ini telah
mengalami urbanisasi yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir, yang mengakibatkan
banjir pluvial dan fluvial yang parah.
Penelitian ini menyelidiki potensi GFRM dalam bentuk offline storage area
multifungsi sebagai solusi pelengkap untuk mengurangi masalah banjir fluvial hilir di
lembah Quebrada Seca- Burlo. Sebagai langkah awal, penilaian multi-kriteria, berdasarkan
karakteristik cekungan, seperti area penyimpanan potensial, ketersediaan ruang hijau dan
aksesibilitas bagi penduduk, yang diidentifikasi dalam studi sebelumnya untuk
mengidentifikasi lokasi implementasi yang sesuai. Kemudian, model hidraulik dibuat
dengan menggunakan River Analysis System (HEC-RAS) yang dikembangkan oleh
Engineering Center of the US Army Corps of Engineers (USACE) untuk mengukur
efektivitasnya dalam mengurangi banjir di bagian hilir (USACE, 2022).
Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan, reduksi
aliran puncak sebesar 5,6- 15, 3% dan reduksi volume banjir sebesar 3,6-9,9%, hal tersebut
tergantung pada lokasi, jumlah GFRM, dan volume tampungan GFRM. Studi ini
mempertimbangkan manfaat hidrologis, ekologis, dan sosial dalam pemilihan lokasi untuk
memodelkan GFRM.

Gambar 3.10 Zona Banjir yang Dimodelkan untuk Kondisi Awal (Kuning), untuk Measure
01 (Merah), dan untuk Semua Measure (Biru).

Zona genangan, produksi limpasan, jenis tanah, dan distribusi ruang terbuka hijau
merupakan hal yang dipertimbangkan pada studi ini. Selain itu, analisis tambahan
diperlukan untuk menilai kelayakan lokasi secara lebih mendalam. Mempertimbangkan
aspek sosial, perlu dilakukan evaluasi terhadap penerimaan masyarakat setempat terhadap
tindakan retensi banjir hijau, terutama ketika area tersebut digunakan untuk rekreasi atau
kegiatan lainnya. Jika ditemukan bahwa masyarakat akan ragu untuk sering mengunjungi
tempat tersebut, pemilihan dan desain lokasi harus mempertimbangkan manfaat ekologis
dan hidrologis sebagai prioritas utama. Pemeliharaan rutin sistem evakuasi harus dilakukan
dengan menguji sistem peringatan dini (early warning system) dan operasi dan
pemeliharaan tentang cara bertindak sebelum kolam retensi mulai terisi penuh.
Gambar 3.11 Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Kota Semarang Tahun 2011-2031

Gambar 3.11 Peta Rencana Pengendalian Banjir Kota Semarang Tahun 2011-2031
Berdasarkan peta rencana pola ruang, peta rencana pengendalian banjir, dan peta
topografi Kota Semarang, maka sistem green flood retention measures (GFRMs) dapat
diterapkan di beberapa alternatif wilayah yaitu, Kecamatan Ngaliyan, Kecamatan
Gajahmungkur, dan Kecamatan Semarang Selatan. Beberapa alternatif wilayah tersebut
dipilih karena dinilai memiliki tata guna lahan yang cocok berupa kawasan peruntukan
pertanian holtikultura dan kawasan lindung yang dekat dengan pemukiman masyarakat.
Beberapa alternatif wilayah tersebut juga cocok menjadi lokasi perencanaan GFRM karena
berdekatan dengan alur sungai dan berada di hulu lokasi yang sering mengalami banjir
akibat banjir kiriman maupun banjir akibat pasang surut. Berdasarkan peta topografi Kota
Semarang, kawasan tersebut juga memiliki kemiringan lereng 0-15% atau cukup landai
sehingga cocok menjadi lokasi penerapan sistem green flood retention measures (GFRMs).
Kesesuaian GFRM untuk mengatasi banjir di Kota Semarang tergantung pada
pemahaman mendalam tentang kondisi lokal, kerjasama lintas sektor, dan perencanaan
yang terintegrasi untuk mencapai solusi yang berkelanjutan dan efektif.
DAFTAR PUSTAKA

Arthur, N., Hack, J., 2022. A multiple scale, function, and type approach to determine
and improve Green Infrastructure of urban watersheds. Urban For. Urban Green. 68, 127459.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Semarang. (2021) Laporan
Akhir Kajian Potensi Mata Air dan Kearifan Lokal Masyarakat dalam Upaya Konservasi
Sumber Daya Air di Kota Semarang. Semarang: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bappeda) Kota Semarang.
Chen, V., Bonilla Brenes, J.R., Chapa, F., Hack, J, 2021. Development and modelling
of realistic retrofitted Nature-based Solution scenarios to reduce flood occurrence at the
catchment scale.
FEMA Hazard Mitigation, 2018. Exploration Green! A Case Study in Effective
Floodplain Management. Hazard and Performance Analysis. Reseda Drive Houston, Texas,
77062.
Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air dan Penataan Ruang. 2023. Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Semarang Tahun 2011-2031. Diakses pada 20 November 2023 dari
http://pusdataru.jatengprov.go.id.
Hartmann, T., Slavikova, L., McCarthy, S., 2019. Nature-based flood risk
management on private land. Springe Int. Publ. 224.
Kodoatie, R. J., 2013. Rekayasa dan Manajemen Banjir Kota. Yogyakarta: Andi
Offset.
Kodoatie, R. J., dan Sugiyanto, 2001. Banjir (Beberapa Penyebab dan metode
Pengendalian Banjir dalam Perspektif Lingkungan). Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Kodoatie, R. J.dan Sjarief, R., 2008. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu Edisi
Revisi. Yogyakarta: Andi Offset.
Meerow, S., Newell, J. P., 2017. Spatial planning for multifunctional green
infrastructure: growing resilience in Detroit. Landsc. Urban Plan. 2017, 62-75.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 12/PRT/M/2014
Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Sistem Drainase Perkotaan.
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi. (2017). Modul
Dasar-Dasar Perencanaan Alur dan Bangunan Sungai. Bandung: Pusat Pendidikan dan
Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi.
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi. (2017). Modul
Metode Pengendalian Banjir Pelatihan Pengendalian Banjir. Bandung: Pusat Pendidikan
dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi.
SEPA, 2015. Natural Flood Management Handbook: Scottish Environment
Protectioon Agency, 142 pp.
Siswoko, 2007. Banjir, Masalah Banjir dan Upaya Mengatasinya. Jakarta: Himpunan
Ahli Teknik Hidraulika Indonesia (HATHI).
Suripin, 2004. Sistem Drainase Perkotaan Yang Berkelanjutan. Andi Offset,
Yogyakarta.
USACE, 2022. River Analysis System (HEC-RAS) website.
(https://www.hec.usace.army.mil/software/hec-ras/default.aspx).

Yanfeng Wu, et all, 2020. On how wetlands can provide flood resilience in a large
river basin: A case study in Nenjiang river Basin, China. China: Journal of Hydrology.

Anda mungkin juga menyukai