Anda di halaman 1dari 9

Analisis Wilayah Pembangunan Di Tangerang Selatan Banten

Terhadap Bencana Banjir Untuk Kawasan Permukiman

PENDAHULUAN

Saat ini, banjir yang terjadi di beberapa daerah tidak hanya disebut bencana alam, tetapi juga
bisa disebut budaya. karena peristiwa ini terjadi secara turun-temurun, seperti sebuah tradisi.
Tradisi banjir ini biasa terjadi di Jakarta, Bogor dan kota-kota besar. Namun, bukan berarti di
desa-desa yang tidak memiliki tradisi banjir ini, daerah pedesaan bisa menerima
"pengiriman" banjir setiap tahun. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), banjir
adalah peristiwa terendamnya daratan (biasanya daerah kering) karena bertambahnya jumlah
air.
Banjir yang merupakan bencana alam ini dinilai telah merugikan banyak pihak dengan
jumlah korban yang belum pernah terjadi sebelumnya. Orang selalu berpikir bahwa banjir
hanya bisa disebabkan oleh hujan lebat, tetapi tidak demikian, masih banyak penyebab banjir
yang sebenarnya disebabkan oleh campur tangan manusia.
Beberapa penyebab Banjir yang sering terjadi di daerah permukiman antara lain :

1. Hujan

Hujan merupakan faktor utama penyebab banjir, terutama hujan lebat. Hujan deras
dengan debit air sekitar 20100 mm/jam atau hujan lebat yang terjadi di berbagai
wilayah Indonesia jelas dapat menyebabkan genangan air dan kemungkinan banjir.

2. Rusaknya bendungan / saluran air

Penyebab ini tidak selalu terjadi, namun jika terjadi tentu akan mengakibatkan banjir
di kawasan pemukiman, terutama pada musim hujan deras yang berkepanjangan.

Banyak daerah pemukiman terendam banjir karena rusaknya bendungan dan saluran
air. Misalnya, banjir di Padang selain disebabkan oleh hujan deras, juga disebabkan
oleh rusaknya bendungan irigasi Kasang II Sikayan yang terletak di Desa Balai
Gadang pada September 2021.
Jika bendungan dan pipa air rusak, maka jelas tidak akan mampu menahan hujan
lebat yang akan datang, sehingga akan membanjiri daratan.

3. Pembangunan secara besar-besaran

Konstruksi skala besar dari daerah pemukiman secara alami dapat menghilangkan
lahan kosong di mana air hujan menumpuk, yang secara tidak langsung menyebabkan
banjir.

Bahkan, membangun permukiman ini diyakini dapat meningkatkan risiko banjir


hingga enam kali lipat ...

Masalah ini biasa terjadi di kota-kota besar yang pembangunannya tidak


direncanakan dengan baik. Selain itu, peraturan pembangunan sumur lindi yang
ditemukan di daerah perkotaan seringkali kurang diawasi.

Akibatnya daerah yang dimaksudkan untuk berfungsi sebagai hidrologi, yaitu daerah
yang dapat menahan air dan menyerapnya ke dalam tanah, berkurang atau bahkan
hilang. Lahan yang biasanya berfungsi sebagai ahli hidrologi adalah hutan, kebun
campuran, dan tanah.

4. Penyumbatan sampah di sungai

Penyebab banjir lainnya adalah tersumbatnya aliran sungai atau selokan. Kemacetan
dapat terjadi karena kebiasaan masyarakat membuang sampah ke sungai. Akumulasi
sampah menjadi penyebab banjir.

Berdasarkan jenis-jenis penyebab banjir di daerah permukiman diatas, yang sangat di


sorot adalah rusaknya bendungan air situ gintung pada tahun 2009 silam. Beberapa
pihak menilai, jebolnya bendungan berusia 76 tahun tersebut disebabkan oleh faktor
iklim yang ekstrim, yaitu tingginya intensitas hujan pada saat musim hujan. Selain itu
ketidakstabilan lereng disebabkan oleh beberapa faktor yang dapat berperan secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Runtuhnya badan bendungan juga dapat
dipengaruhi oleh kemungkinan rusaknya lapisan tanah bawah akibat erosi alang-
alang. Situ Gintung merupakan kawasan resapan air yang sangat penting
keberadaanya dalam menahan debit air limpasan yang berlebih. Dampak dari hal
tersebut adalah meningkatnya aliran permukaan langsung sekaligus menurunnya daya
resap air kedalam tanah.

Peta Lokasi Bendungan Situ Gintung


Sumber : Analisis Faktor Penyebab Jebolnya Tanggul Situ Gintung, oleh : Budi Harsoyo tahun 2010.

Selian bendungan air yang jebol, terdapat juga sungai yang kerap meluap akibat
intensitas curah hujan yang tinggi dan penyumbatan oleh sampah. Sungai adalah
tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air
sampai muara dengan dibatasi kanan dan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh
garis sempadan. Sungai juga bisa diartikan sebagai bagian permukaan bumi yang
letaknya lebih rendah dari tanah disekitarnya dan menjadi tempat mengalirnya air
tawar menuju ke laut, danau, rawa atau ke sungai yang lain. Sungai adalah bagian dari
permukaan bumi yang karena sifatnya, menjadi tempat air mengalir . Dapat
disimpulkan bahwa sungai adalah bagian dari daratan yang menjadi tempat tempat
aliran air yang berasal dari mata air atau curah hujan. Sungai juga bisa menjadi
pengaruh dalam pembangunan wilayah permukiman, karena jika sering terjadi hujan
yang cukup deras, sungai bisa saja meluap dan menyebabkan runoff ke area
permukiman dengan jarak yang dekat dengan badan sungai, oleh karena itu jarak dari
sungai dapat dijadikan pertimbangan dalam rencana pembangunan wilayah
permukiman, agar permukiman tersebut tidak terkena dampak runoff dari sungai, dan
juga jika permukiman terlalu dekat dengan sungai akan menyebabkan terganggunya
sistem kerja sungai.

● Permukiman
Pemukiman merupakan bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan hutan lindung, baik
yang berupa kawasan perkotaan atau pedesaan. Pemukiman memiliki fungsi sebagai hunian
atau lingkungan tempat tinggal dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan
penghidupan (UU RI No. 4/1992). Kawasan pemukiman didominasi oleh lingkungan hunian
dengan fungsi utama sebagai tempat tinggal yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana
lingkungan, tempat bekerja yang memberi pelayanan dan kesempatan kerja terbatas yang
mendukung perikehidupan dan penghidupan. Satuan lingkungan pemukiman adalah kawasan
perumahan dalam berbagai bentuk ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan
sarana lingkungan terstruktur yang memungkinkan pelayanan dan pengelolaan yang optimal.

Pemilihan pada lokasi permukiman merupakan suatu hal yang sangat penting, beberapa
lokasi permukiman yang tepat diantaranya adalah :

Tidak terletak pada daerah rawan bencana alam seperti bantaran sungai, Banjir aliran
lahar, tanah longsor, gelombang tsunami, daerah gempa, dan sebagainya.
Tidak terletak pada daerah bekas tempat pembuangan akhir (TPA) sampah atau bekas
tambang;
Tidak terletak pada daerah rawan kecelakaan dan daerah kebakaran seperti alur
pendaratan penerbangan.

WILAYAH PENELITIAN

Kota Tangerang Selatan

Kota Tangerang Selatan berada di bagian timur Provinsi Banten yang merupakan daerah
pemekaran dari Kabupaten Tangerang. Secara administratif, wilayah Kota Tangerang Selatan
terdiri dari 7 (tujuh) kecamatan dan 54 (lima puluh empat) kelurahan. Menurut Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2008, luas Kota Tangerang Selatan adalah 147,19 km2 atau 14.719
hektar. Pada tahun 2017, Badan Informasi Geospasial (BIG) melakukan pengukuran delineasi
atas peta rupa bumi, dihasilkan luas wilayah Kota Tangerang Selatan menjadi 16.485,47
hektar pada koordinat 106º 38’- 106º47’ bujur timur dan 06º 13’30” - 06º 22’00” lintang
selatan dengan batas wilayah sebagai berikut:

• Sebelah utara berbatasan dengan Kota Tangerang


• Sebelah timur berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta

• Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor & Kota Depok

• Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tangerang.

METODE
Metode yang digunakan dalam menentukan wilayah kesesuaian pemukiman salah satunya
yaitu dengan menggunakan metode SMCE (Spatial Multi Criteria Evaluation). SMCE
merupakan metode yang digunakan untuk menganalisis tingkat kerentanan. Metode ini sangat
ideal digunakan dalam pengambilan keputusan dengan penentuan bobot pada karakteristik
yang digunakan untuk mencapai tujuan secara menyeluruh. Hasil yang diperoleh dari
penelitian ini berupa peta wilayah kesesuaian yang dapat digunakan oleh pemerintah maupun
masyarakat dalam menentukan wilayah perencanaan pembangunan yang ada di Kota
Tangerang Selatan.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan analisis menggunakan metode SMCE, dapat diketahui klasifikasi curah hujan di
Kota Tangerang Selatan relatif rendah, sehingga aman dari bencana banjir yang disebabkan
oleh hujan.

Selanjutnya beralih ke badan air yaitu sungai yang telat distandarisasi, peta hasil
menunjukkan Jarak yang ideal untuk Permukiman di Kota Tangerang Selatan.

Klasifikasi dan kriteria jarak terhadap sungai

Kelas Kriteria Skor

>300 Meter Sangat Sesuai 3

100-200 Meter Sesuai 2

0-100 Meter Kurang Sesuai 1


Hasil Spatial Multi-Criteria Analysis variabel jarak dari sungai

Selanjutnya Analisis Kawasan Rawan Banjir yang berada di Kota Tangerang Selatan
Dapat dilihat pada peta diatas, Kota Tangerang Selatan merupakan wilayah yang aman untuk
dijadikan area permukiman karena wilayahnya memenuhi standar untuk membangun wilayah
permukiman yaitu Kawasan bebas banjir. Hanya beberapa Kawasan di bagian utara barat laut
yang merupakan Kawasan dengan rawan banjir tinggi.

KESIMPULAN

Pada penelitian kali ini metode yang digunakan adalah metode SMCA, dimana
metode ini memiliki fungsi dalam mengambil keputusan. Dari hasil penelitian ini
disimpulkan bahwa Kota Tangerang Selatan merupakan wilayah yang sesuai untuk menjadi
kawasan permukiman, Selain curah hujannya yang relatif rendah, kawasan permukiman
berada pada jarak cukup jauh dari sungai, sehingga Kota Tangerang Selatan tergolong aman
selama masyarakat dan pemerintah dapat bekerja sama dengan baik untuk mengelola
lingkungan, menjaga dan merawat fasilitas umum seperti bendungan air situ gintung yang
dikelola dengan baik agar kualitasnya selalu memenuhi standar agar tidak ada lagi kejadian
2009 silam, dan alam nya yang dijaga seperti sungai yang dirawat dengan bersih.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Umar, Iswandi., Widatmaka., dkk. (2017). EVALUASI KESESUAIAN LAHAN


UNTUK KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN METODE MULTI CRITERIA
EVALUATION DI KOTA PADANG Kadriansari, Riski., Sawitri Subiyanto., dkk. (2017).
[2] ANALISIS KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN DENGAN DATA CITRA
RESOLUSI MENENGAH MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi
Kasus : Semarang Bagian Barat dan Semarang Bagian Timur)
[3] Alfianto, Fedelis. (2017). ANALISA KESESUAIAN LAHAN UNTUK LOKASI
PENGEMBANGAN PERMUKIMAN MENGGUNAKAN METODE SCORING (STUDI
KASUS: SURABAYA TIMUR)
[4] Peraturan Pemerintah RI No. 35 Tahun 1991 tentang sungai
[5] Harsoyo, B. (2010). ANALISIS FAKTOR PENYEBAB JEBOLNYA TANGGUL SITU
GINTUNG.
[6] Sadisun, I. A. (2009, Maret 30). BELAJAR DARI SITU GINTUNG. Fakultas Ilmu Dan
Teknologi Kebumian.

Sumber Data:

[1] Shapefile Kota Tangerang Selatan didapatkan dari Indonesia Geospasial Portal
(https://tanahair.indonesia.go.id/)

Anda mungkin juga menyukai