Anda di halaman 1dari 12

$POWR – Perusahaan padat modal yang tetap efisien pada saat krisis Covid-19

POWR telah melaporkan LK YTD Sep 2020, penjualan mengalami penurunan 28,7%, sehingga
penjualan pada periode yang sama tahun sebelumnya sebesar USD 440 juta, pada periode YTD Sep
2020 turun menjadi USD 341,8 juta. Penurunan kinerja penjualan ini menyebabkan laba bersih
mengalami penurunan yang justru lebih dalam sebesar 62,1%, sehingga jika dibandingkan pada
periode yang sama tahun sebelumnya laba bersih sebesar USD 78,9 juta, pada periode YTD Sep 2020
turun menjadi USD 48,6 juta.

Penyebab utama penurunan penjualan sudah dapat dipahami bahwa terjadi penurunan
konsumsi listrik dari pelanggan sehubungan dengan krisis pandemic covid 19. Permasalahannya
adalah apakah penurunan kinerja penjualan sebesar 28,7% dibandingkan dengan penurunan kinerja
laba bersih sebesar 62,1%, mengindikasikan terjadi ketidak efisienan biaya produksi, sehingga
penurunan kinerja laba bersih (62,1%) jauh lebih besar dibandingkan dengan kinerja penjualan
(28,7%)?

Sebagai pembanding, kita hitung terlebih dahulu Net Profit Margin (NPM) YTD Sep 2019
sebesar = 78,9 juta / 440 juta = 17,9%. Maka agar supaya tingkat efisiensi tahun 2020 sama dengan
efisiensi 2019, nilai NPM periode YTD Sep 2020 juga harus sama besar = 17,9%.

Jadi laba bersih periode YTD Sep 2020 seharusnya sebesar = NPM X penjualan = 17,9% X
341,8 juta = USD 61,3 juta. Tetapi laba bersih aktual hanya sebesar USD 48,6 juta. Sehingga seolah-
olah terjadi kinerja in-effisiensi sebesar = 61,3 – 48,6 = USD 12,6 Juta.

Tambahan beban apakah yang menyebabkan terjadi in-effisiensi dibandingkan dengan


periode sebelumnya sebesar USD 12,6 juta?

Tambahan beban tersebut langsung terilihat pada CLK 21, terjadi “Rugi selisih kurs, neto”
sebesar USD 12,2 juta. Ini adalah beban yang timbul diluar kendali management, yaitu sehubungan
penurunan nilai kurs Rupiah terhadap USD. Dimana kurs Rupiah terhadap USD tanggal 31 Desember
2020 = Rp. 13.901 / USD 1, melemah menjadi Rp. 14.918 / USD 1, atau mengalami penurunan
(terdepresiasi) sebesar 7,3%. Kerugian ini tidak dapat serta-merta dianggap sebagai kelalaian
mangement dalam mengelola sumber daya perusahaan sehingga menimbulkan ketidak-efisienan.

Untuk menganalisa dapat menggunkan tools yang telah management susun sebelumnya
mengenai dampak apresiasi/ depresiasi kurs rupiah terhadap USD atas kinerja laba bersih. Hal ini
diungkap dan dijelaskan pada CLK 26.b bahwa jika terjadi penurunan 10% exchange rate Rupiah
terhadap USD menyebabkan rugi exchange rate sebesar USD 14,8 juta. CLK ini dapat dijadikan
standard, jika kerugian masih dalam rentang nilai pada CLK 26.b, maka kerugian exchange rate
adalah faktor yang tidak dapat dihindarkan. JIka melebihi dapat dianggap sebagai kelalaian
management dalam mengelola resiko fluktuasi exchange rate.

Karena depresiasi kurs rupiah terhadap mata uang USD sebesar 7,3%, berdasarkan CLK 26.b,
seharusnya menyebabkan kerugian exchange rate sebesar = (7,3 / 10) X 14,8 = USD 10,8 juta.
Kemudian jika dibandingkan dengan rugi exchange rate aktual sebesar USD 12,2 juta, maka terjadi
kelebihan beban kerugian exchange rate sebesar = 12,2 juta – 10,8 = USD 1,4 juta. Nilai USD 1,4 juta
tersebut dapat dianggap sebagai ketidak efisienan management dalam mengelola resiko fluktuasi
exchange rate. Namun demikian, jika jumlah kerugian USD 1,4 juta dibandingkan dengan total
penjualan sebesar USD 341,8 juta, hanya menghasilkan ketidak efisienan dalam persentase sebesar =
1,4 / 341,8 = 0,4%. Menurut penulis jumlah ketidak-efisienan hanya sebesar 0,4% adalah jumlah
yang tidak material, sehingga dapat diabaikan. Oleh karena itu menurut penulis kinerja efisiensi
masih relative stabil dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Bahkan jika memfaktorkan jenis bisnis POWR yang masuk dalam kategori industri padat
modal, yang terjadi justru sebaliknya, bahwa terjadi perbaikan kinerja efisensi pada POWR, hal ini
karena sebagai perusahaan padat modal memiliki beban tetap dari beban depresiasi yang nilainya
relatif besar. Dan beban depresiasi tersebut tidak akan serta merta berkurang hanya karena terjadi
penurunan penjualan. Beban depresiasi berkurang jika terdapat aset tetap yang sudah habis masa
depresiasinya. Dan akan menjadi bonus tambahan efisiensi atas aset yang telah habis masa
depresiasi-nya tetapi masih tetap dapat digunakan.

Berdasarkan CLK 18 dan CLK 19 total beban Depresiasi YTD Sep 2019 sebesar = USD 46,8
juta, dan pada periode YTD Sep 2020 beban deresiasi turun menjadi = USD 40,6 juta, atau turun
sebesar = 46,8 – 40,6 = USD 6,2 juta. Penurunan tersebut hanya sebesar 13,1%, lebih kecil
dibandingkan dengan penurunan penjualan sebesar 28,7%.

Sehingga agar supaya kinerja laba bersih (NPM) tetap stabil dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, maka seharusnya beban depresiasi turun sebesar penurunan penjualan yaitu 28,7%
menjadi = 46,8 juta X (1-28,7%) = USD 33,3 juta.

Kemudian dibandingkan; beban depresiasi aktual sebesar = USD 40,6 juta, terjadi selisih
sebesar = 40,6 – 33,3 = USD 7,3 juta. Selisih tersebut tidak mungkin dikontrol oleh management agar
supaya beban deresiasi aktual turun sebesar USD 7,3 juta, sehingga sesuai dengan penurunan
penjualan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jumlah in-effisiensi biaya sebesar USD 12,6 juta,
seperti yang telah dijelaskan pada awal tulisan, penyebabnya adalah

- Rugi exchange rate sebesar = USD 12,2 juta

- Penurunan beban depresiasi yang tidak selaras dengan penurunan penjualan sebesar USD 7,3 juta

Keduanya dijumlahkan menjadi = 12,2 + 7,3 = USD 19,5 juta. Karena nature dari kedua beban
tersebut bukan beban yang bebas dikontrol oleh management, maka kenaikan beban ini bukan
dianggap sebagai in-effisiensi alias naik karena "nature"nya. Selain itu karena jumlahnya (USD 19,5
juta) lebih besar dari dugaan jumlah in-effisensi sebelumnya (USD 12,6 juta) maka yang terjadi
adalah sebaliknya bahwa kinerja efisiensi POWR periode YTD Sep 2020 lebih baik dibandingkan
dengan kinerja efisiensiYTD Sep 2019 sebesar = 19,5 juta - 12,6 juta = USD 6,9 juta.

Adapun sumber efisiensi sebesar USD 18,1 juta terlihat pada;

- CLK 19 : Pemakaian bahan bakar “Gas Bumi” periode YTD Sep 2019 sebesar USD 106,9 juta turun
dari periode sebelumnya sebesar USD 158,3 juta, atau turun sebesar 32,5%. Penurunan tersebut
melebihi penurunan penjualan sebesar 28,7%. Dengan demikian terjadi efsiensi sebesar = (32,5% -
28,7%) X 158,3 juta = USD 5,9 juta

- CLK 19 : Pemakaian bahan bakar “Batu Bara” periode YTD Sep 2019 sebesar USD 39,9 juta turun
dari periode sebelumnya sebesar USD 59,1 juta, atau turun sebesar 32,6%. Penurunan tersebut
melebihi penurunan penjualan sebesar 28,7%. Dengan demikian terjadi efsiensi sebesar = (32,6% -
28,7%) X 59,1 juta = USD 2,3 juta
Sanggupkah POWR melunasi Notes Payable sebesar USD 541 juta pada saat jatuh tempo?

Total current asset = USD 406,3 juta, total current liabilities = USD 39,7 juta, artinya terdapat
surplus modal kerja sebesar = 406,3 – 39,7 = USD 366,6 juta yang dapat digunakan untuk aktifitas
non-operasional seperti aktifitas membayar utang berbunga seperti Notes Payable yang tercatat
nilainya pada tanggal 30 Sep 2020 sebesar USD 541 juta.

Pada komponen current asset terdapat saldo kas dan setara kas sebesar USD 283,2 juta. Jadi
seandainya jika tiba-tiba para pemegang notes payable meminta untuk dilunasi hari ini maka paling
tidak POWR sanggup membayar sebagian, sebesar USD 283,2 juta, masih kurang sebesar = 541 -
283,2 = USD 257,7 juta.

Mungkin timbul pertanyaan jika seluruh saldo kas setara kas digunakan untuk membayar
notes payable, kebutuhan kas untuk belanja expenses periode berjalan dari mana sumbernya?

Berdasarkan laporan cash flows periode YTD Sept 2017 s.d. 2020, emiten mampu
menghasilkan surplus cash from operation (CFO) berturut-turut sebesar USD 109,1 juta, USD 82,6
juta, USD 92,9 juta dan USD 102 juta. Jika dirata-ratakan jumlah CFO selama 4 tahun terakhir sebesar
= USD 96,8 juta per tahun. Jumlah tersebut telah mampu untuk menutup seluruh utang jatuh tempo
yang terdapat dalam current liabilitis per 30 September 2020 hanya sebesar USD 39,7 juta. Dengan
demikian jika sewaktu-waktu saldo kas digunakan untuk membayar Notes payables jatuh tempo,
tidak akan menyebabkan krisis likuiditas.

Beruntungnya jatuh tempo notes payable tanggal 14 September 2026 masih tersisa waktu 6
tahun untuk POWR mengumpulkan cash in-flows lebih banyak lagi untuk melunasi Notes Payable.
Untuk menghitung potensi aliran surplus Cash inflows selama 6 tahun kedepan dapat menggunakan
pendekatan EBITDA, sebagai berikut;

EBITDA YTD 30 Sep 2020 = Laba bersih + depresiasi + amortisasi + Interest + tax

EBITDA YTD 30 Sep 2020 = 48,6 + 40,3 + 21,6 + 22,4 = USD 132,9 juta.

EBITDA disetahunkan = USD 177,3 juta.

Total EBITDA sampai dengan menjelang pelunasan Notes Payable (6 tahun kedepan) = 177,3
X 6 = USD 1,1 miliar. Meskipun asumsi menggunakan kinerja saat ini yang tengah dilanda krisis covid-
19, ternyata jumlah EBITDA 6 tahun masih melebihi kebutuhan membayar notes payables jatuh
tempo tersisa sebesar USD 257,7 juta. (diasumsikan sebagian notes payables menggunakan saldo
kas saat ini sebesar USD 283,2 juta). Dengan demikian masih terjadi kelebihan cash inflows sebesar =
1,1 miliar - 257,7 juta = USD 805,8 juta yang dapat digunakan untuk keperluan pengembangan bisnis
emiten lainnya, dan termasuk membayar dividen secara rutin.

Kesimpulan:

POWR adalah perusahaan yang efisien, menghasilkan profit konsisten dan mampu merubah
profit menjadi cash yang dapat digunakan untuk kebutuhan pengembangan bisnis dan keperluan
lainnya.

Source: https://stockbit.com/#/post/4789378
$HMSP – Perusahaan Kelas dunia, efisien dan tidak aneh-aneh

HMSP telah melaporkan LK YTD Sep 2020. Hasilnya sudah dapat diperkirakan mengalami
penurunan yang signifikan, dimana sales mengalami penurunan dibandingkan dengan periode yang
sama tahun lalu, yaitu dari Rp. 77,5 triliun turun menjadi Rp. 67,8 triliun, atau turun sebanyak 13%.
Demikian juga dengan jumlah laba bersih yang mengalami penurunan, jika pada tahun sebelumnya
sebesar Rp. 10,2 triliun, pada periode YTD Sep 2020 turun menjadi RP. 6,9 triliun. Atau mengalami
penurunan sebesar 32%. Tidak ada pendapatan dan beban lain yang turun atau melonjak siginifikan
jika dibandingkan dengan periode sebelumnya. Sehingga praktis penurunan laba hanya disebabkan
oleh karakteristik beban operasional. Aktivitas operasional tersebut yang menyebabkan Net Profit
Margin (NPM) turun dari 13% pada periode sebelumnya, menjadi 10% pada periode YTD Sep 2020.

Penyebab penurunan Penjualan dapat disimpulkan dampak dari krisis ekonomi yang
disebabkan oleh pandemic covid-19. Adapun penyebab penurunan NPM, dapat merefer pada CLK 21
Beban Berdasarkan Sifat”, dimana terdapat beban yang bersifat tetap bahkan harus bertambah atau
mengalami penurunan yang lebih kecil dari penurunan penjualan (13%). Total beban pada “CLK 21
periode YTD Sep 2020 sebesar Rp. 59,4 triliun, periode YTD Sep 2019 sebesar Rp. 65 triliun. Atau
periode saat ini mengalami penurunan hanya 9%, penurunan tersebut lebih rendah 3% dibandingkan
dengan penurunan penjualan (12%). Akibatnya profitabilitas (NPM) perusahaan juga mengalami
penurunan dari 13% pada periode yang sama tahun sebelumnya menjadi 10% pada periode YTD Sep
2020.

Yang menarik untuk dibahas pada emiten ini adalah efisiensi modal yang digunakan, karena
sangat efisien, dimana HMSP mampu menghasilkan Return On Equity (ROE) = 32,15%. ROE tersebut
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan $GGRM = 13,31% dan $WIIM = 12.89%. Efisiensi tersebut
dapat dilihat pada penggunaan fixed asset dan Modal Kerja Operasional yang relative jauh lebih kecil
dibandingkan dengan para kompetitornya sebagai berikut;

Fixed Assets

Fixed asset adalah sarana dan prasarana yang harus disediakan oleh emiten untuk
menghasilkan penjualan dan laba. Fixed assets yang baik adalah yang mampu menghasilkan barang
produksi / dagangan sebesar-besarnya. Oleh karena itu penulis akan mengukur kinerja fixed asset
dibandingkan dengan total penjualan yang dihasilkan.

Sumber belanja fixed assets adalah modal dari shareholder ataupun dengan utang investasi.
Karena HMSP tidak memiliki utang investasi, maka pembelian fixed assets berasal dari modal. Fixed
assets adalah asset yang memiliki resiko baik yang berasal dari pemakaian seperti: aus karena
dipakai, material yang terbatas umurnya, atau resiko seperti kebakaran dan bencana alam. Fixed
asset yang baik adalah yang mampu menghasilkan “laba” yang jumlah labanya dapat meng-cover
resiko-resiko tersebut, sehingga penggunaan fixed assets dapat terus berkelanjutan, tanpa harus
meminta kepada shareholder untuk injeksi modal.

Oleh karena itu penulis akan mengukur kinerja fixed asset dibandingkan dengan cash profit
(laba – depresiasi), sehinga dapat diketahui berapa lama waktu yang dibutuhkan agar laba bersih
dapat menanggung resiko-resiko tersebut. Atau dapat disebut juga waktu Break even point, yang
dibutuhkan untuk mengembalikan nilai fixed assets.

1. Produktivitas fixed asset menghasilkan penjualan.

Jika dibandingkan secara relative antara penjualan pertahun dengan total fixed asset, maka
produktivitas fixed assets HMSP menghasilkan penjualan 13,4 X dari total fixed assets. Sedangkan
WIIM hanya 6,2 X dan GGRM hanya 4,1 X. Dengan demikian fixed asset yang digunakan oleh HMSP
jauh lebih produktif dibandingkan dengan para pesaingnya.

2. Waktu (return) yang dibutuhkan untuk mengembalikan belanja fixed assets (Break-even
Point)

Jika dibandingkan secara relative antara nilai buku bersih fixed assets dengan hasil kerja dari
fixed assets tersebut dalam bentuk “cash Profit”, maka HMSP hanya mebutuhkan waktu 8 bulan
untuk balik modal, “seandainya” cash profitnya digunakan untuk membeli fixed assets seharga pada
saat ini. Sedangkan WIIM butuh waktu 17 bulan dan GGRM lebih lama lagi butuh waktu 32 bulan.
Dengan demikian resiko utilisasi fixed asset untuk produksi pada HMSP lebih rendah, hanya
membutuhkan waktu 8 bulan beroperasi.

Modal Kerja Operasional (MKO)

Selain membutuhkan fixed asset untuk berproduksi dan berjualan, emiten juga
membutuhkan MKO yang biasanya disebut sebagai aliran “darah”-nya suatu bisnis. Adapun yang
dimaksud dengan MKO adalah = total current assets – cash on Hand. Itulah yang harus disediakan
oleh shareholder agar emiten dapat mengoperasikan bisnis secara normal. MKO yang baik adalah
yang mampu menghasilkan barang produksi / dagangan sebesar-besarnya. Oleh karena itu penulis
akan mengukur kinerja MKO dibandingkan dengan total penjualan yang dihasilkan.

Sumber belanja MKO adalah modal dari shareholder ataupun dapat diperoleh melalui utang
modal kerja (current liabilities). Penulis akan mengabaikan analisa sumber MKO yang berasal dari
current liabilities, karena jika emiten mampu mencover resiko pada MKO, maka secara otomatis
emiten juga akan mampu membayar current liabilities-nya. Oleh karena itu nilai current liabilities
diabaikan pada analisa resiko.

MKO adalah asset yang memiliki resiko yang mungkin timbul jika, customers tidak
membayar piutang usaha, atau terjadi kerusakan pada persediaan dan lain-lain. Oleh karena itu
MKO yang baik adalah yang mampu menghasilkan “laba” yang jumlahnya dapat meng-cover resiko-
resiko tersebut, sehingga penggunaan MKO dapat terus berputar dan berkelanjutan, tanpa harus
meminta kepada shareholder untuk injeksi modal.

Oleh karena itu penulis akan mengukur MKO dibandingkan dengan cash profit (laba –
depresiasi), sehinga dapat diketahui berapa lama waktu yang dibutuhkan agar laba bersih dapat
menanggung resiko-resiko tersebut. Atau dapat disebut juga waktu Break even point, yang
dibutuhkan untuk mengembalikan nilai MKO.

1. Produktivitas MKO menghasilkan penjualan.

Jika dibandingkan secara relative antara penjualan pertahun dengan MKO, maka produktivitas
MKO menghasilkan penjualan 4,1 X dari total MKO. Sedangkan WIIM hanya 2,3 X dan GGRM hanya
2,5 kali. Dengan demikian MKO yang digunakan oleh HMSP lebih produktif dibandingkan dengan
para pesaingnya.

2. Waktu (return) yang dibutuhkan untuk mengembalikan belanja MKO (Break-even Point)

Jika dibandingkan secara relative antara MKO dengan hasil kerja-nya bentuk “cash Profit”, maka
HMSP hanya mebutuhkan waktu 25 bulan untuk balik modal, “seandainya” cash profitnya digunakan
untuk kebutuhan MKO pada saat ini. Sedangkan WIIM butuh waktu 46 bulan dan GGRM lebih lama
lagi butuh waktu 51 bulan. Dengan demikian resiko penggunaan MKO pada HMSP relative rendah,
karena HMSP hanya butuh waktu 25 bulan beroperasi secara normal, untuk me-recovery seluruh
resiko yang melekat pada MKO, jika resiko tersebut muncul.

Fixed Asset + MKO

Jika kedua sarana dan prasarana tersebut digabungkan, maka hasilinya sebagai berikut;

1. Produktivitas, maka produktivitas fixed assets + MKO menghasilkan penjualan 3,1 X dari
total fixed assets + MKO. Sedangkan WIIM hanya 1,7 X dan GGRM hanya 1,6 X.
2. Waktu (return) yang dibutuhkan untuk mengembalikan belanja Fixed assets dan MKO
(Break-even Point), hasilnya, HMSP membutuhkan waktu 33 bulan, WIIM membutuhkan
waktu 64 bulan dan GGRM 84 bulan.

Dari gabungan sarana dan prasarana tersebut (Fixed Asset + MKO), maka terlihat bahwa HMSP
adalah perusahaan yang paling produktif dan memiliki resiko terendah.

Kesimpulan dari pengukuran produktifitas adalah tentang efisen dan tidak effisien. Maka HMSP
adalah perusahaan yang paling tinggi produktivitasnya, menjadikan perusahaan yang paling efisien.
Lawan dari efisien adalah tidak efisien. Maka GGRM menjadi perusahaan yang paling tidak efisien
pada industrinya. Ini tercermin pada besarnya jumlah fixed assets yang harus disediakan oleh GGRM
dibandingkan dengan hasilnya.

Besarnya jumlah fixed assets yang harus disediakan, mengingatkan penulis dengan postingan
sebelumnya tentang “Modus PSP mengembat duit ummat” disini
https://stockbit.com/post/4844981 Fixed asset adalah belanja modal, yang nilainya besar, dan
terlalu gampang di-KKN-kan, seperti yang banyak terjadi di Indonesia atas proyek-proyek
infrastruktur. Adapun bentuk KKN tersebut adalah proyek Mark-up harga atau proyek infrastruktur
yang tidak dibutuhkan, atau hanya sekedar untuk “menghabiskan jatah APBD/ APBN” yang dilakukan
oleh “pemilik” proyek. Akibatnya belanja modal besar tapi tidak mengahsilkan pertumbuhan.

Selain Efisien, HMSP adalah perusahaan yang beresiko rendah secara alami. Banyak perusahaan
yang beresiko rendah, tetapi karena mendapatkan supply injeksi modal misal berupa Right Issue,
Private Placement dan lain-lain dari para shareholdernya, sehingga perusahaan tersebut bebas dari
utang. HMSP beresiko rendah karena hasil usaha emiten sendiri telah lebih dari cukup untuk
menutupi seluruh keperluan emiten. Oleh karena itu HMSP mampu memberikan seluruh labanya
untuk dibagikan kepada para shareholdernya. Yang disisakan kepada emiten hanya cash inflows
yang berasal dari “penyusutan”. Simplenya , HMSP menghasilkan cash profit yang di-annualized
sebesar Rp. 10,5 triliun. Dari jumlah tersebut, berdasarkan data historis Dividen Payout Ratio,
sebesar Rp. 9,2 triliun, atau sebesar Net Profitnya berpotensi dibagikan sebagai dividen. Masih
tersisa sekitar Rp. 1,3 triliun untuk digunakan oleh emiten.

HMSP – Saham Mahal?


Penulis akan menggunakan emiten lain sebagai pembanding $UNVR dan $SIDO, penulis akan
menggunakan parameter yang sama yaitu gabungan “Fixed Assets” + “Modal Kerja Operasional”
yang harus disediakan sebagai berikut;

1. Produktivitas

maka produktivitas fixed assets + MKO menghasilkan penjualan; HMSP 3,1 X dari total fixed
assets + MKO. Sedangkan UNVR hanya 2,3 X dan SIDO hanya 1,2X. Artinya produktivitas HMSP jauh
lebih bagus dibandingkan dengan kedua emiten tersebut.

2. Waktu (return) yang dibutuhkan untuk mengembalikan belanja Fixed assets dan MKO
(Break-even Point)

Hasilnya, HMSP membutuhkan waktu 33 bulan, UNVR membutuhkan waktu 28 bulan dan SIDO
31 bulan. HMSP lebih lama, tetapi perlu dipahami bahwa HMSP pada periode YTD Sep 2020
mengalami penurunan laba yang signifikan, yang penurunan tersebut lebih disebabkan oleh
karakteristik beban operasionalnya, seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Jika bisnis HMSP
Kembali normal seperti semula, maka dari segi Break Even HMSP masilh lebih unggul ketimbang
kedua emiten tersebut.

Dan faktanya adalah dengan harga HMSP saat ini; PER dan PBV masih lebih rendah dibandingkan
dengan SIDO dan UNVR. Dan selain itu HMSP memberikan dividen yield paling tinggi.

Kesimpulan

HMSP adalah emiten yang merajai pasar rokok, nomor 2 setelah GGRM. Dioperasikan secara
effisien, dan PSP emiten juga telah berbagi adil kepada seluruh shareholder, tidak bermain
dibelakang misalnya membuat proyek-proyek capex yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh Emiten.

DYOR. Penulis telah memiliki saham ini semenjak dikeluarkan oleh MSCI, dan masih akan
menambah jika masih terus diberikan diskon, karena itu apa yang penulis posting hanya sekedar
opini belaka, bukan ajakan untuk membeli / atau menjual. Kecuali mengajak pembaca untuk ngopi-
ngopi sambil hisap rokok sampurna.

Untuk deteail perhitungan di atas silahkan lihat tabel dibawah ini.


Demikian semoga bermanfaat.

Source:

https://stockbit.com/#/post/4867054
$IHSG – Capital Efficiency

Saya pernah membahas $HMSP dan kesimpulannya ini adalah memang perusahaan yang
"the real capital efficiency". Karena capital alias equity gak pernah ditambah, tetapi pencapaian hasil
penjualan pada saat pandemic masih menghasilkan ROE = 32,15%. Ini disebabkan oleh produktifitas
fixed assetnya yang mampu menghasilkan penjualan 13,4 X dari nilia fixed assetnya. Ada emiten lain
yang juga terkenal dengan capital efficiency-nya yaitu $SIDO dan $UNVR, tetapi karena harganya
masih mahal dibandingkan dengan HMSP penulis tidak berminat untuk mengkoleksi saham-saham
tersebut.

Ada satu lagi emiten yang sering digadang-gadang termasuk perusahaan dengan capital
efficiency yaitu $ULTJ. ROE-nya lumayan besar 18,8%. Tetapi menurut penulis ini bukan termasuk
perusahaan dengan capital efficiency, karena faktanya semenjak tiga tahun terakhir dividen pay-out
ratio dibawah 20%. Sisanya 80% dari laba bersih harus digunakan untuk menambal capital (ekuitas)
yang mungkin sedang bocor halus, tapi keliling. Kalau ada perusahaan yang bocor apakah boleh
mendapat gelar perusahaan “capital efficiency”?

Mungkin jawabannya iya alias boleh mendapat gelar "capital efficiency", jika memang
modalnya sedang tidak cukup, terpaksa emiten harus berutang dan laba yang dihasilkan, mau-tidak-
mau, suka-tidak-suka harus digunakan untuk bayar utang. Dan sebagai konsekuensi jika kita tidak
setuju perusahaan berutang maka shareholder harus top-up modal alias right issue atau mengajak
investor lain untuk bergabung dengan skema private placement, yang berujung pada penurunan EPS
dan dilusi. Dan faktanya ULTJ adalah perusahaan dengan sedikit utang, DER = 14%, rendah sekali.
Lalu kemana itu laba pergi?

Katanya laba yang ditahan digunakan untuk investasi, oke seperti yang pernah penulis
posting, investasi adalah lahan basah untuk KKN. Itu adalah praktek umum yang berlaku di Indonesia
negeri tercinta ini. Susah dibuktikan, mirip dengan SETAN cuman sekedar diyakini ada, tapi seumur-
umur penulis tidak pernah ketemu setan face-to-face. Mungkin ada yang memberikan argumentasi
bahwa akibat investasi laba ULTJ naik? Oke kalau naik apagunanya kalo labanya yang dibagi hanya
secuil?!

Terlebih lagi dengan kejanggalan corporate action yang akan diambil oleh ULTJ akan
menerbitkan MTN, padahal pada waktu yang sama emiten melakukan buy back dan membeli
obligasi. Seharunya emiten membayar DPR sebesar-sebesarnya, kemudian emiten silahkan
menerbitkan MTN, jika yang diambil langkah seperti itu, akan terlihat jelas kinerja management ULTJ
tidak sekedar menyusu kepada para shareholder (menahan hak shareholder). Tapi harapan
management tidak menyusu kepada shareholder rasanya hal yang mustahil, karena Prsedien
Komisaris dan Presiden Direktur adalah PSP-nya sendiri. Apa yang mau diharapkan dengan
perusahaan semacam ini?

Sebagai penutup, seperti yang pernah penulis posting sebelumnya “dividen adalah koentji”.
Mencari perusahaan yang ramah dividen, berarti anda sudah menghilangkan pekerjaan paling susah
yaitu membedah LK apakah isinya penuh kecurangan atau rekayasa, atau anda seharusnya sudah
tidak perlu lagi mencari-cari apakah perusahaan dikelola dengan GCG yang baik.
Demikian semoga bermanfaat dan tidak BAPERAN.

Source: https://stockbit.com/#/post/4888616

Bonus!!!

$TLKM – Raja Telekomunikasi yang semakin stabil

TLKM telah menyampaikan LK YTD Sep 2020. Hasilnya penjualan mengalami penurunan dari
Rp. 102,6 triliun pada periode yang sama tahun lalu, turun menjadi Rp, 99,9 triliun, atau mengalami
penurunan 2,6%. Penurunan yang tidak signifikan ini pertanda bisnis TLKM tidak banyak terpengaruh
oleh krisis pandemic Covid 19.

Meskipun terjadi penurunan penjualan 2,6%, laba bersih masih relative stabil, jika pada
periode yang sama pada tahun lalu laba bersih sebesar Rp. 23,2 triliun turun menjadi Rp. 22,9 triliun
atau hanya turun sebesar 1,1%. Karena penurunan laba bersih (1,1%) lebih kecil dibandingkan
dengan penurunan penjualan (2,6%), maka dapat disimpulkan bahwa kinerja efisiensi relative atau
sedikit lebih baik dibandingkan dengan periode sebelumnya.

TLKM Banyak Utang?

Banyak tanggapan perihal utang Telkom yang semakin membesar sehingga DER tahun 2018,
2019 dan 2020 meningkat yaitu berturut-turut = 75,8%, 88% dan 97,8%. Kenapa TLKM terus
menambah utang?

Untuk menjawabnya dapat dilihat pada laporan cash flows, misalnya pada periode YTD Sep
2020, TLKM menghasilkan surplus cash flows from operating activities (CFO) sebesar Rp. 47,5 triliun,
yang kemudian digunakan untuk;

 Belanja CAPEX (aset tetap dan aset tidak berwujud) sebesar = 17,5 Triliun + 1,9 triliun = Rp.
19,5 triliun.
 Bayar dividen kepada pemegang saham induk dan kepada pemegang saham non pengendali
pada anak perusahaan sebesar = 15,3 triliun + 7,7 triliun = Rp. 23 triliun
 Bayar utang bank jatuh tempo = Rp. 19,3 triliun
 Bayar Sewa Guna = Rp. 4,5 triliun

Sehingga cash yang dibutuhkan untuk belanja tersebut di atas sebesar = 19,5 + 23 + 19,3 +
4,5 = Rp. 66,3 triliun. Karena CFO yang dihasilkan sebesar Rp. 47,5 triliun, maka masih terjadi defisit
sebesar = 47,5 – 66,3 = Rp. 18,8 triliun. Itu sebabnya TLKM masih harus menambah utang berbunga
pada periode YTD Sep 2020 sebesar Rp. 17,6 triliun. Dan kekurangannya menggunakan saldo cash on
hand tanggal 31 Des 2019.

Jika TLKM tidak mau menambah utang, maka salah satu pos belanja tersebut diatas harus
dikurangi, namun demikian penulis percaya bahwa pos-pos belanja tersebut di atas adalah pos
belanja yang sudah wajar dan tepat secara bisnis. Oleh karena itu sudah sangat tepat jika TLKM
mencari tambahan utang baru agar supaya kebutuhan belanja tersebut di atas dapat terpenuhi
secara mandiri, ketimbang harus menerbitkan saham Right Issue, alias meminta uang kepada
shareholder untuk menutup defisit tersebut. Sepanjang memang kinerja TLKM mampu mebayar
utang dan bunga jatuh tempo.

Untuk mengukur kemapuan membayar utang bank dan bunga jatuh tempo biasanya
digunakan indikator DCSR atau Debt Coverage Service Ratio. Hal ini juga diatur pada perjanjian “bank
loan agreement” seperti yang disebutkan pada CLK 19, bahwa DCSR minimum = 125%.

Perhitungan DCSR TLKM sebagai berikut;

DCSR = EBITDA / (Utang bank jatuh tempo + beban bunga jatuh tempo)

EBITDA = Laba bersih + depresiasi + amortisasi + Interest + tax

EBITDA untuk 9 bulan = 22,9 triliun + 7,4 triliun + 1,3 triliun + 3,5 triliun + 6,8 triliun = Rp. 41,9 triliun

EBITDA disetahunkan = Rp. 55,8 triliun

Utang bank yang jatuh tempo dalam waktu satu tahun = 12,2 triliun + 9,5 triliun = Rp. 21,7 triliun

Beban bunga jatuh tempo yang disetahunkan = 3,5 triliun/9 X 12 = Rp. 4,6 triliun

Sehingga

DCSR = EBITDA / (Utang bank jatuh tempo + beban bunga jatuh tempo)

DCSR = 55,8 / (21,7 + 4,6) = 212%.

Nilai DCSR tersebut jauh melebihi syarat minimum yang diminta oleh Bank yang hanya sebesar
125%. Dengan demikian utang berbunga TLKM masih dalam tahap aman dan terkendali.

Likuiditas

Total current asset sebesar Rp. 40,7 triliun sedangkan total current liabilities jumlahnya lebih
besar = Rp. 63,5 triliun. Sehingga seolah-olah timbul keraguan atas likuiditas TLKM yang dapat
menyebabkan krisis likuiditas, yaitu jika para kreditur yang tercatat di current liabilities, meminta
pembayaran karena telah jatuh tempo, jumlahnya lebih besar = 63,5 – 40,7 = - Rp. 22,8 triliun.

Maka perlu dilihat komponen pada current liabilities yang diantaranya adalah;

Utang bank jangka pendek sebesar Rp. 9,5 triliun. Seperti praktek bisnis pada umumnya
utang bank jangka pendek untuk keperluan modal kerja selalu dengan senang hati bank akan
memperpanjang periode pinjaman. Apalagi dengan TLKM yang memiliki rating dari fitchrating BBB
dengan outlook positive.

Selain itu terdapat utang accrual atau “Beban yang masih harus dibayar” sebesar Rp. 13,7
triliun. Beban yang masih harus dibayar adalah utang yang diakui oleh TLKM karena telah menerima
barang/ jasa dari para suppliernya. Namun supplier tersebut belum menagih kepada TLKM. Jika
sudah ditagih akan dicatat sebagai utang usaha/dagang.

Dengan demikian dari kedua pos utang tersebut diatas sebesar = 9,5 + 13,7 = Rp. 23,2 triliun
bukan utang yang segera harus dilunasi karena dapat diperpanjang (revolving) atau menunggu
ditagih terlebih dahulu untuk kemudian dijadwalkan pembayarannya bersamaan dengan utang
usaha/dagang yang jatuh tempo.
Sehingga sejumlah Rp. 23,2 trilun tersebut, maka dapat meng-off-set selisih current asset vs
current liabilitas = Rp. 22,8 triliun. Maka potensi krisis likuiditas untuk utang jatuh tempo dalam
jangka pendek mustahil terjadi.

Kesimpulan

Krisis covid 19 tidak banyak mempengaruhi kinerja TLKM. Total penjualan TLKM masih
merajai bisnis Telekomunikasi tanah air. Total penjualan TLKM disetahunkan = 133 triliun = setara
dengan 2,1 X dari total penjualan para pesaingnya yang disetahunkan yaitu = penjualan $EXCL +
Penjualan $ISAT + penjualan $FREN = Rp. 63 triliun. Perbandingan tersebut menunjukan bahwa size
bisnis Telkom sudah teralu teramat besar dibandingkan dengan para pesaingnya. Menunjukan
bahwa para pesaing sudah tidak mungkin lagi mampu berkompetisi melawan TLKM. Tidak heran jika
ISAT, EXCL dan FREN mengalami kerugian pada beberapa tahun terakhir. Sementara TLKM konsisten
menghasilkan laba dan tidak pernah absen memberikan dividen. Oleh karena itu penulis masih terus
menambah saham ini jika terus dikasih harga discount.

DYOR - Demikian semoga bermanfaat.

Source:

https://stockbit.com/#/post/4782245

Anda mungkin juga menyukai