Anda di halaman 1dari 64

PEMBUNUHAN DI RUE MORGUE

Edgar Allan Poe

2015
Pembunuhan di Rue Morgue

Diterjemahkan dari: The Murders in the Rue Morgue


karangan Edgar Allan Poe
terbit tahun 1841
(Hak cipta dalam Domain Publik)

Penerjemah : Ilunga d’Uzak


Penyunting : Kalima Insani
Penyelaras akhir : Bared Lukaku
Penata sampul : Bait El Fatih

Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh:


RELIFT MEDIA
Jl. Amil Sukron No. 47
Kec. Cibadak Kab. Sukabumi
Jawa Barat 43351
SMS : 0853 1179 4533
Surel : relift.media@gmail.com
Situs : reliftmedia.com

Pertama kali dipublikasikan pada: Juni 2015


Revisi terakhir: Juni 2017

Copyright © 2015 CV. RELIFT


Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah
milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak
seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun
tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis,
organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi
penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati,
peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.

Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek


penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT:
Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga
masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan
mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
Lagu apa yang Syrens nyanyikan, atau nama apa
yang Achilles gunakan, ketika dia bersembunyi di
antara para wanita; walau semua pertanyaan ini
membingungkan, tetaplah bisa ditebak.
Sir Thomas Browne

K arakter jiwa yang diperbincangkan secara analitis umum-


nya kurang dapat dianalisa. Kita hanya mengapresiasi
pengaruhnya. Kita tahu, di antaranya, bahwa ia senantiasa
menjadi sumber kegembiraan paling hidup bagi pemiliknya.
Sebagaimana lelaki kekar bersukaria dengan kemampuan fisik-
nya, gembira dengan gerak badan yang membuat otot-ototnya
beraksi, demikian halnya kepuasan seorang analis dalam
aktivitas moral yang terurai. Dia mendapat kesenangan dari
pekerjaan paling sepele yang membuat talentanya bermain. Dia
gemar akan enigma, konundrum, hieroglif; setiap solusinya
memamerkan derajat kecerdasan yang terasa luar biasa bagi
pemahaman biasa. Buah jerih-payahnya, yang dihasilkan oleh
inti dan esensi metode, bahkan mengandung segenap hawa
intuisi.
Daya tekad mungkin banyak diperkuat oleh studi
matematis, dan terutama oleh cabang tertingginya yang, secara

5
tak adil, hanya karena operasi retrogradenya, dinamakan
sebagai analisa. Seolah itu sama unggulnya. Padahal meng-
hitung bukanlah menganalisa. Seorang pemain catur, misalnya,
melakukan perhitungan tanpa bersusah-payah menganalisa.
Selain itu, permainan catur, dalam efeknya terhadap karakter
mental, sudah salah dipahami. Aku bukan sedang menulis
risalat, aku hanya memberi pendahuluan untuk sebuah cerita
aneh melalui pengamatan acak. Oleh karenanya, akan
kumanfaatkan kesempatan ini untuk menegaskan bahwa
permainan dam menuntut daya intelek reflektif lebih tinggi
ketimbang catur yang tak karuan. Dalam permainan catur, di
mana bidak-bidak memiliki gerakan berlainan dan ganjil,
dengan nilai beranekaragam dan berubah-ubah, yang rumit
disalahpahami sebagai yang hebat. Di sini perhatian dikerah-
kan. Jika ia kendor sekejap saja, terjadilah kelalaian yang
mengakibatkan kerugian atau kekalahan. Langkah-langkah
potensial tak hanya bermacam-macam tapi juga bersangkut-
paut, resiko kelalaian berkali-lipat. Dalam sembilan dari
sepuluh kasus, pemain yang lebih konsentrasi selalu menang
daripada pemain yang lebih teliti. Dalam permainan dam,
sebaliknya, di mana langkah-langkahnya unik dan tak banyak
variasi, probabilitas ketidaktelitian berkurang, dan perhatian

6
tak terlalu dikerahkan, keuntungan yang diperoleh kedua pihak
diraih dengan ketajaman unggul. Agar lebih konkret, kita
bayangkan sebuah permainan dam di mana bidak-bidak
dikurangi menjadi empat raja, dan di mana tak ada kelalaian.
Jelas, di sini kemenangan ditentukan (para pemainnya
sederajat) hanya dengan pergerakan hati-hati, hasil dari
pengerahan kepandaian yang kuat. Tanpa sumberdaya yang
biasa, analis menceburkan diri ke dalam semangat lawannya,
mengidentifikasi diri dengannya, dan tak jarang sekilas melihat
metode-metode tunggal (anehnya terkadang sederhana) yang
dapat dipakai untuk menyesatkan lawan ke dalam kekeliruan
atau mendesaknya ke dalam salah perhitungan.
Permainan kartu sudah lama dikenal akan pengaruhnya
terhadap daya kalkulasi. Entah kenapa orang-orang bertingkat
intelektual tinggi sangat menggemarinya, seraya menghindari
catur dan menyebutnya pandir. Sudah pasti, tak ada yang
begitu menuntut daya analisa selain ini. Pemain catur terbaik
di dunia Kristen mungkin memang terbaik; tapi kecakapan
dalam permainan kartu mengimplikasikan kapasitas untuk
berhasil dalam segala usaha penting di mana otak bergulat
dengan otak. Saat aku bilang kecakapan, yang kumaksud adalah
kesempurnaan dalam permainan yang meliputi pemahaman

7
akan semua sumber keuntungan sah. Ini bukan cuma berkali-
lipat, tapi berkali-bentuk, dan seringkali tersembunyi di antara
ceruk-ceruk pikiran yang tidak bisa dimasuki oleh pemahaman
biasa. Mengamati dengan penuh perhatian sama dengan
mengingat jelas. Sampai sini pemain catur yang konsentrasi
akan bermain bagus dalam permainan kartu; sementara aturan
Hoyle (yang didasarkan pada mekanisme permainan belaka)
dapat dipahami secara memadai dan umum. Dengan demikian,
memiliki ingatan kuat, dan melangkah bermodalkan “buku”
tersebut, merupakan poin-poin yang lazimnya diakui sebagai
inti bermain bagus. Tapi keterampilan analis ditunjukkan
dalam perkara-perkara di luar batas aturan belaka. Dalam diam
dia melakukan banyak pengamatan dan penyimpulan. Begitu
pula rekan-rekannya. Selisih perolehan informasi tidak terlalu
bergantung pada keabsahan penyimpulan, tapi lebih pada
kualitas pengamatan. Yang penting dia harus tahu apa yang
hendak diamati. Pemain kita ini tidak membatasi diri, tidak
pula menolak deduksi dari luar permainan hanya karena
objeknya adalah permainan tersebut. Dia memeriksa wajah
mitranya, membandingkannya dengan masing-masing lawan-
nya. Dia mempertimbangkan cara penyusunan kartu di tiap
tangan, seringkali menghitung truf demi truf, honor demi

8
honor, melalui lirikan para pemegangnya kepada satu sama
lain. Dia memperhatikan setiap perubahan raut selagi
permainan berlangsung, menghimpun gagasan dari perbedaan
ekspresi keyakinan, keterkejutan, kepuasan, atau kekecewaan.
Dari caranya menarik kartu, dia menaksir apakah orang
tersebut dapat menarik kartu suit berikutnya. Dia mengenali
kartu yang dimainkan melalui serangan tipuan, dari suasana
pelemparannya ke atas meja. Perkataan sambil lalu atau tak
sengaja, jatuh atau terbaliknya kartu secara kebetulan, diiringi
kegelisahan atau ketidakacuhan untuk menutupnya; peng-
hitungan kartu, dengan urutan penyusunannya; rasa malu,
bimbang, antusias, atau takut-takut—semua mengindikasikan
kondisi sesungguhnya menurut persepsi intuitifnya. Dua atau
tiga babak pertama setelah bermain, dia menguasai penuh isi
setiap tangan, dan sejak itu dia meletakkan kartu-kartunya
dengan presisi mutlak seakan para peserta lain telah membuka
kartu mereka sendiri.
Daya analitis tidak boleh tertukar dengan kecerdikan hebat.
Sementara analis sudah pasti cerdik, orang cerdik kerapkali tak
mampu menganalisa. Daya konstruksi atau kombinasi, yang
dengannya kecerdikan terwujud, dan kepadanya para ahli
frenologi (aku yakin mereka keliru) mengatributkan organ

9
tersendiri, dengan mengiranya daya primitif, sudah sering
dijumpai pada orang-orang yang kepandaiannya berhampiran
dengan kebodohan, sampai-sampai menarik pengamatan para
penulis isu moral. Antara kecerdikan dan kemampuan analisa
ada selisih yang lebih besar daripada antara fantasi dan
imajinasi, tapi sifatnya sangat analogis. Bahkan akan didapati
bahwa orang cerdik selalu banyak fantasi, dan orang imajinatif
selalu analitis.
Bagi pembaca, mungkin cerita berikut mengesankan ulasan
proposisi di atas.
Bermukim di Paris selama musim semi dan sebagian musim
panas tahun 18...., aku akhirnya berkenalan dengan Monsieur
C. Auguste Dupin. Anak muda ini berasal dari keluarga unggul,
bahkan masyhur; tapi karena beragam peristiwa naas, dia jatuh
ke dalam kemelaratan yang membuat energi karakternya
terbenam, dan dia tak lagi bangkit, atau mengejar kembali
keberuntungannya. Atas kebaikan para kreditor, dia masih
menyimpan sedikit sisa warisan dari ayahnya. Berkat
pemasukan inilah dia berhasil mendapatkan barang kebutuhan
hidup, dengan berhemat ketat, tanpa repot memikirkan
keberlebihan. Bahkan buku menjadi kemewahan satu-satunya,
dan di Paris, ini bisa didapat dengan mudah.

10
Pertemuan pertama kami terjadi di sebuah perpustakaan
suram di Rue Montmartre, di mana kebetulan kami berdua
sedang mencari volume yang sama, yang amat langka dan amat
hebat, sampai akhirnya kami berteman akrab. Kami bertemu
lagi dan lagi. Aku sangat tertarik pada riwayat keluarga kecil
yang dia ceritakan dengan segala keterusterangan khas orang
Prancis setiap kali menyangkut pribadinya. Aku juga terheran
dengan banyaknya bacaannya, dan yang lebih utama, aku
merasa jiwaku dinyalakan oleh semangat liar, serta kesegaran
imajinasinya. Mencari barang-barang yang sama dengan yang
kucari, aku merasa lingkungan orang ini pasti harta tak ternilai.
Perasaan ini kuutarakan terus-terang kepadanya. Akhirnya
kami sepakat untuk tinggal bersama selama masa menetapku di
kota tersebut. Karena kondisi duniawiku sedikit lebih baik
darinya, aku dibolehkan menanggung sewa sebuah mansion
aneh dan dimakan usia, yang lama diterlantarkan karena isu
takhayul tapi enggan kami selidiki, terombang-ambing menuju
keruntuhannya di area sepi dan terpencil di Fauborg St.
Germain. Kami melengkapi perabot dengan gaya sesuai watak
suram fantastis kami.
Andai rutinitas hidup kami di tempat ini diketahui dunia,
pasti kami sudah dianggap gila—walaupun, barangkali, gila

11
yang tak membahayakan. Pengasingan kami sangat sempurna.
Kami tak kedatangan tamu. Bahkan lingkungan pertapaan kami
dirahasiakan dari bekas-bekas rekanku, sementara Dupin sudah
bertahun-tahun tidak mengenal atau dikenal Paris. Kami eksis
dalam diri kami sendiri.
Kesintingan fantasi temanku (bagaimana lagi aku
menyebutnya?) terpikat oleh Malam. Ke dalam keganjilan ini,
dan ciri lain dirinya, aku diam-diam terjerumus, menyerah pada
tingkah liarnya secara sukarela. Kegelapan kudus takkan terus
menyertai kami, tapi kami bisa berpura-pura merasakan
kehadirannya. Fajar pertama pagi itu kami menutup semua keré
morat-marit di rumah kami, menyalakan sepasang lilin yang
sangat wangi, menyorotkan berkas-berkas cahaya pucat nan
redup. Dengan bantuan inilah kemudian kami menyibukkan
jiwa kami dalam mimpi-mimpi—membaca, menulis, atau
mengobrol, sampai diperingatkan oleh lonceng akan datangnya
Kegelapan sejati. Lalu kami pergi ke jalan raya sambil ber-
gandengan tangan, meneruskan topik hari itu, atau berkeliling
sampai larut malam, di tengah lampu-lampu dan bayangan-
bayangan kota padat penduduk, mencari kegembiraan jiwa tak
terbatas yang hanya bisa diraih dengan pengamatan sunyi.
Pada saat-saat seperti itu aku memuji dan mengagumi

12
(walau aku sudah menduga dari idealitasnya) kemampuan
analisa istimewa dalam diri Dupin. Dia juga tampak senang
menggunakannya—jika bukan memamerkannya—dan tidak
segan mengakui kenikmatan yang diperolehnya. Sambil
terkikih dia menyombong bahwa kebanyakan orang memasang
jendela di dada mereka. Dia biasa melanjutkan pernyataan
demikian dengan bukti langsung dan mengagetkan akan
pengetahuannya tentang diriku. Sikapnya pada momen seperti
ini dingin dan abstrak; matanya hampa ekspresi, sedangkan
suaranya, biasanya tenor, naik menjadi sopran yang, kalau
bukan karena sengaja dan perbedaan lafal, terdengar seperti
marah sungguhan. Mengamatinya dalam mood ini, aku sering
merenungkan filsafat lama Jiwa Dwi-Peran, dan menghibur diri
dengan fantasi Dupin ganda—yang berdaya cipta dan yang
berdaya larut.
Jangan dikira, dari perkataanku barusan, aku sedang meng-
uraikan suatu misteri, atau menulis suatu roman. Apa yang
kulukiskan dari orang Prancis tersebut hanya buah kecerdasan
yang terangsang, atau barangkali berpenyakit. Tapi soal
karakter ucapannya pada periode-periode yang dimaksud,
sebaiknya disampaikan melalui contoh.
Suatu malam kami berjalan-jalan di sebuah jalan kumuh

13
nan panjang di lingkungan Palais Royal. Sama-sama sibuk
dengan pikiran masing-masing, kami tidak bicara sepatah
katapun selama sekurangnya lima belas menit. Tiba-tiba Dupin
berseru dengan ucapan begini:
“Dia orangnya kecil, memang benar, dan lebih cocok untuk
Théâtre des Variétés.”
“Tak diragukan lagi,” balasku tanpa sadar. Mulanya aku
tidak memperhatikan (aku larut dalam renungan) caranya
menyela meditasiku dengan luar biasa. Serta-merta aku terjaga,
keherananku sangat mendalam.
“Dupin,” kataku suram, “ini di luar pemahamanku. Aku
merasa takjub, dan hampir tak percaya dengan akal sehatku.
Bagaimana mungkin kau tahu aku sedang memikirkan—?” Aku
berhenti, untuk memastikan apa dia betul-betul tahu siapa
yang kupikirkan.
“—Chantilly,” timpalnya, “kenapa kau berhenti? Kau sedang
berbicara sendiri bahwa sosok kecil itu tak pantas untuk drama
tragedi.”
Tepat, inilah yang menjadi subjek renunganku. Chantilly
adalah mantan tukang sepatu di Rue St. Denis yang menjadi
gila panggung, mencoba peran Xerxes dalam tragedi Crébillon
dan disatirkan habis-habisan lantaran penderitaannya.

14
“Katakan, demi Tuhan,” seruku, “katakan metode—kalau
memang ada—yang membuatmu mampu mengukur jiwaku
dalam urusan ini.” Sebetulnya rasa kagetku lebih hebat dari
yang kuekspresikan.
“Penjual buahlah,” jawab temanku, “yang membawamu pada
kesimpulan bahwa tukang sol itu tidak cukup tinggi untuk
menjadi Xerxes dan sebangsanya.”
“Penjual buah!—heran—aku tak kenal penjual buah
manapun.”
“Orang yang bertabrakan denganmu sewaktu kita masuk
jalan raya—kira-kira lima belas menit lalu.”
Sekarang aku ingat, seorang penjual buah, menggotong
keranjang besar berisi apel di atas kepalanya, nyaris men-
jatuhkanku saat kami berlalu dari Rue C..... menuju lintasan di
mana kami berdiri. Tapi apa kaitannya dengan Chantilly, aku
juga tak mengerti.
Tak ada yang dilebih-lebihkan soal Dupin.
“Akan kujelaskan,” ujarnya, “dan agar kau paham semuanya
dengan jernih, mula-mula kita akan menapak tilas jalan
meditasimu, dari saat kita mengobrol sampai perjumpaan
dengan penjual buah tadi. Mata rantai besarnya begini—
Chantilly, Orion, Dr. Nichols, Epicurus, Stereotomi, bebatuan

15
jalan, penjual buah.”
Segelintir orang belum pernah, dalam periode tertentu
hidupnya, menikmati rasanya menapak tilas jalan-jalan
tercapainya kesimpulan otak mereka sendiri. Pekerjaan ini
seringkali penuh daya tarik. Barangsiapa mencobanya untuk
pertama kali pasti akan terheran oleh jarak dan kengawuran tak
terhingga antara titik awal dan tujuan akhir. Betapa takjubnya
aku ketika mendengar perkataan orang Prancis itu, dan ketika
kuakui dia berkata benar. Dia melanjutkan:
“Kita sedang membicarakan kuda, kalau aku tak salah ingat,
persis sebelum meninggalkan Rue C...... Itu subjek terakhir
yang kita diskusikan. Begitu kita masuk ke jalan ini, seorang
penjual buah, dengan keranjang besar di atas kepalanya,
bersenggolan dengan kita, mendorongmu ke tumpukan batu
trotoar di lokasi perbaikan lintasan penyeberangan. Kau
menginjak salah satu kepingan goyah, tergelincir, tumitmu
sedikit terkilir, tampak dongkol atau cemberut, menggerutu,
menoleh pada tumpukan, lalu melanjutkan perjalanan tanpa
bicara. Aku bukan sengaja memperhatikan tindak-tandukmu,
tapi pengamatan sudah menjadi sejenis kebutuhan bagiku
belakangan ini.
“Kau terus menunduk ke bawah—melirik lubang-lubang dan

16
bekas-bekas roda di trotoar dengan ekspresi marah (jadi aku
anggap kau masih memikirkan batu-batu tadi) sampai kita
mencapai gang kecil yang disebut Lamartine, yang sudah
dipasangi ubin secara coba-coba, dengan blok-bloknya yang
tumpang-tindih dan bertumpu. Di sini rautmu mencerah.
Melihat bibirmu bergerak, aku tak ragu kau menggumamkan
kata ‘stereotomi’, istilah yang diterapkan pada ubin jenis ini.
Aku tahu kau tak bisa mengucapkan ‘stereotomi’ tanpa terpikir
pada atomi, dan akhirnya pada teori-teori Epicurus. Dan karena
aku menyebut betapa ganjilnya, dan betapa terabaikannya,
kecocokan tebakan samar sang cendekiawan Yunani cocok
dengan konfirmasi ilmu kosmogoni nebula modern saat kita
mendiskusikan subjek ini tadi, aku merasa kau tak bisa
menghindar untuk menyorotkan matamu ke arah nebula besar
di Orion, dan tentu saja aku mengira kau akan berbuat begitu.
Kau betul-betul menengadah, maka aku yakin sudah mengikuti
langkah pikiranmu dengan tepat. Tapi dalam celaan pahit
terhadap Chantilly itu, yang dimuat di ‘Musée’ kemarin, si
pengarang satir menyindir pergantian nama tukang sepatu usai
memikul peran aktor tragedi, dan mengutip sebuah baris
kalimat Latin yang sering kita perbincangkan. Maksudku baris:

Perdidit antiquum litera prima sonum.

17
Dia merusak bunyi lama dengan huruf pertama.

Sudah kubilang, ini berkenaan dengan Orion, dulu ditulis


Urion. Dari penjelasan tajam ini, aku sadar kau belum
melupakannya. Oleh karena itu, jelas kau ingin mengkom-
binasikan dua ide Orion dan Chantilly. Aku melihatnya dari
karakter senyum di bibirmu. Kau memikirkan pengorbanan si
tukang sepatu miskin. Selama itu kau berjalan sambil
membungkuk, tapi sekarang kulihat kau tegak lurus. Maka aku
yakin tadi kau merenungkan sosok kecil Chantilly. Pada saat
itulah aku menyela meditasimu untuk berkata bahwa dia
orangnya mungil—Chantilly itu—dia lebih cocok di Théâtre des
Variétés.”
Tak lama setelah ini, kami memeriksa Gazette des Tribunaux
edisi sore, dan paragraf berikut menyita perhatian kami.
“PEMBUNUHAN LUAR BIASA—Pagi ini, kira-kira jam tiga,
penduduk Quartier St. Roch dibangunkan oleh rangkaian
jeritan menakutkan dari lantai empat sebuah rumah di Rue
Morgue, yang diketahui ditempati Madame L’Espanaye dan
puterinya, Nona Camille L’Espanaye. Setelah terhambat
beberapa lama, akibat usaha sia-sia untuk masuk secara
normal, pintu gerbang dijebol dengan linggis, lalu delapan atau
sepuluh tetangga masuk diiringi dua perwira polisi. Pada saat

18
itu teriakan sudah berhenti, tapi begitu rombongan bergegas
menaiki tanjakan tangga pertama, lebih dari dari dua suara
kasar yang sedang adu mulut terdengar sangat jelas dan berasal
dari bagian atas rumah. Saat mereka sampai di peron pertama,
suara-suara ini ikut berhenti, keadaan sunyi-senyap. Rom-
bongan menyebar dan menggeledah ruangan demi ruangan.
Setibanya di sebuah kamar belakang besar di lantai empat
(yang pintunya terkunci, kuncinya di dalam, terus didobrak),
pemandangan di dalamnya membuat semua orang ngeri
ketimbang heran.
“Kamarnya kacau-balau—furnitur rusak dan dilempar ke
segala arah. Hanya ada satu kerangka ranjang, tapi kasurnya
sudah diangkat, dan dilempar ke tengah-tengah lantai. Di atas
sebuah kursi tergeletak sebilah pisau cukur, berlumuran darah.
Di tungku ada dua atau tiga ikat rambut uban yang panjang dan
tebal, juga bernoda darah, dan seperti dicabut dengan akar-
akarnya. Di atas lantai ditemukan empat koin Napoleon, satu
anting ratna cempaka, tiga sendok perak besar, tiga logam
Algier kecil, dan dua karung, berisi hampir empat ribu franc
emas. Laci-laci sebuah lemari, yang berdiri di satu pojok,
terbuka dan sepertinya baru dijarah, walaupun banyak barang
masih tersisa di dalamnya. Satu peti besi kecil ditemukan di

19
bawah kasur (bukan di bawah kerangka ranjang). Kondisinya
terbuka, kuncinya masih tertanggal. Isinya cuma beberapa surat
usang, dan dokumen lain yang kurang penting.
“Tak ada jejak Madame L’Espanaye di manapun, tapi setelah
teramati adanya jelaga dalam jumlah tak lazim di perapian,
penggeledahan pun dilakukan di cerobong, dan (mengerikan)
mayat anak perempuannya tergantung dengan kepala ke
bawah, rupanya diseret ke atas lubang sempit itu lumayan jauh.
Jasadnya cukup hangat. Setelah diperiksa, terlihat banyak lecet,
sudah pasti gara-gara gesekan saat diseret dan dilepas. Di
wajahnya ada banyak goresan parah, lehernya lebam-lebam,
kuku-kuku jarinya menekuk dalam, sepertinya mendiang
dicekik sampai mati.
“Setelah penyelidikan menyeluruh terhadap setiap sudut
rumah, tanpa temuan baru, rombongan masuk ke sebuah
halaman kecil berubin di belakang bangunan, di mana tergolek
mayat sang nyonya, dengan tenggorokan tersayat lebar sampai-
sampai, saat diangkat, kepalanya terkulai. Tubuhnya, sebagai-
mana kepalanya, rusak—nyaris tidak lagi menyerupai manusia.
“Belum ada petunjuk sedikitpun mengenai misteri
mengerikan ini.”
Esok harinya koran ini memuat keterangan tambahan.

20
“Tragedi di Rue Morgue—Banyak orang telah diperiksa
terkait skandal luar biasa dan menakutkan ini. [Di Prancis,
istilah ‘skandal’ (affaire) belum mengalami kengawuran makna
penyampaiannya], “tapi belum ada petunjuk. Berikut kami
sajikan kesaksian penting yang diperoleh.
“Pauline Dubourg, tukang cuci, memberi kesaksian ter-
sumpah: dirinya sudah mengenal kedua mendiang selama tiga
tahun, mencucikan pakaian mereka selama masa itu. Hubungan
nyonya dan anak perempuannya sangat rukun—saling
menyayangi. Mereka mengupah dengan baik. Tapi dia tak bisa
bicara soal cara atau alat penghidupan mereka. Diyakini
Madame L. Bekerja sebagai peramal untuk mencari nafkah.
Dikenal suka menabung. Tak pernah menemui siapapun di
rumah ketika mengambil atau membawa pulang pakaian. Tentu
saja mereka tak mempekerjakan pembantu. Rupanya tak ada
furnitur di bangunan itu selain di lantai empat.
“Pierre Moreau, pedagang tembakau, memberi kesaksian
tersumpah: dirinya biasa menjual sedikit tembakau dan serbuk
tembakau kepada Madame L’Espanaye selama hampir empat
tahun. Terlahir di lingkungan tersebut, dan tak pernah pindah.
Mendiang dan puterinya menghuni rumah di mana mayat
mereka ditemukan, selama lebih dari enam tahun. Dulunya

21
ditempati seorang penjual permata, yang menyewakan kamar-
kamar atas dengan murah kepada berbagai jenis orang. Rumah
itu milik Madame L. Dia kecewa dengan penyalahgunaan
penyewanya. Dia pun menempatinya sendiri, tidak menyewa-
kan bagian manapun. Nyonya kekanak-kanakan. Saksi melihat
puterinya sekitar lima atau enam kali selama enam tahun.
Keduanya hidup mengasingkan diri—dikenal punya uang.
Menurut desas-desus di antara tetangga, Madame L. Meramal
nasib—tapi saksi tidak percaya. Belum pernah melihat
seorangpun masuk ke pintunya selain nyonya dan puterinya,
seorang portir sekali atau dua kali, dan seorang dokter sekitar
delapan atau sepuluh kali.
“Banyak orang lain, para tetangga, memberi keterangan
serupa. Mereka bilang, jarang ada yang mengunjungi rumah itu.
Tidak diketahui apakah Madame L. Dan puterinya mempunyai
kerabat. Daun-daun jendela depan jarang dibuka. Sementara di
belakang selalu ditutup, kecuali kamar belakang besar itu, di
lantai empat. Rumahnya sendiri sangat bagus—tidak terlalu
tua.
“Isidore Musèt, perwira polisi, memberi kesaksian
tersumpah: dirinya dipanggil ke rumah itu sekitar jam tiga pagi,
dan mendapati kira-kira dua puluh atau tiga puluh orang di

22
gerbang, sedang berusaha masuk. Akhirnya jebol dengan
bayonet—bukan dengan linggis. Sedikit kesulitan membukanya,
karena gerbangnya berupa pintu ganda atau lipat, dan dipalang
di tengah-tengah. Jeritan-jeritan berlanjut sampai gerbang
terbuka—lalu mendadak berhenti. Kedengarannya seperti
jeritan seseorang (atau beberapa orang) yang kesakitan—
nyaring dan panjang, tidak pendek atau cepat. Saksi memimpin
naik tangga. Sesampainya di peron pertama, dia mendengar
dua suara cekcok yang nyaring—yang satu terdengar kasar,
yang lain jauh lebih lengking—suaranya aneh sekali. Dia bisa
menangkap sebagian perkataan suara pertama, kedengarannya
orang Prancis. Dia yakin bukan suara wanita. Dia bisa
menangkap kata-kata ‘sacre’ dan ‘diable’. Sementara suara
lengking berasal dari orang asing. Dia tidak yakin apa itu suara
pria atau wanita. Tidak bisa menangkap isinya, tapi yakin itu
bahasa Spanyol. Keadaan kamar dan mayat dideskripsikan oleh
saksi ini sebagaimana kami lukiskan kemarin.
“Henri Duval, tetangga, pekerjaan pandai perak, memberi
kesaksian tersumpah: dirinya salah satu dari rombongan yang
pertama masuk rumah. Dia menguatkan kesaksian Musèt
secara umum. Begitu berhasil masuk dengan paksa, mereka
menutup kembali pintunya, untuk mencegah orang banyak,

23
yang sangat cepat berkerumun, padahal waktu itu larut malam.
Suara lengking, pikir saksi ini, berasal dari seorang Italia. Yakin
itu bukan Prancis. Tidak yakin itu suara pria. Boleh jadi wanita.
Tidak kenal bahasa Italia. Tidak bisa menangkap kata-katanya,
tapi yakin bersumber dari orang Italia karena intonasinya. Dia
kenal Madame L. Dan puterinya. Sering bercengkerama dengan
keduanya. Yakin suara lengking tersebut bukan dari mereka.
“..... Odenheimer, penjaga restoran. Saksi ini menyampaikan
kesaksian secara sukarela. Tidak berbahasa Prancis, diperiksa
melalui penerjemah. Asli Amsterdam. Sedang melintasi rumah
pada saat terdengar jeritan. Berlangsung selama beberapa
menit—kira-kira sepuluh menit. Panjang dan nyaring—sangat
mengerikan dan memilukan. Ikut masuk ke bangunan tersebut.
Menguatkan keterangan sebelumnya dalam segala hal kecuali
satu. Dia yakin suara lengking itu berasal dari seorang pria—
pria Prancis. Tidak bisa menangkap kata-katanya. Nyaring dan
cepat—tidak seimbang—diucapkan dalam ketakutan sekaligus
kemurkaan. Suaranya parau—lebih tepat disebut parau
ketimbang lengking. Tak bisa disebut lengking. Suara kasar itu
berulangkali mengatakan ‘sacre’, ‘diable’, dan satu kali ‘mon
Dieu’.
“Jules Mignaud, bankir, dari firma Mignaud et Fils, Rue

24
Deloraine. Sesepuh Mignaud. Madame L’Espanaye punya
kekayaan. Membuka rekening di banknya pada musim semi—
delapan tahun sebelumnya. Sering menabung dalam jumlah
kecil. Tidak mengeluarkan cek sampai hari ketiga sebelum
kematiannya, ketika menarik senilai 4000 franc. Jumlah ini
diserahkan dalam bentuk emas, dan seorang kasir ikut
membawakan uang tersebut.
“Adolphe Le Bon, kasir di Mignaud et Fils, memberi
kesaksian tersumpah: pada hari itu, sekitar tengah hari, dirinya
menemani Madame L’Espanaye ke kediamannya, membawakan
4000 franc, dimasukkan ke dalam dua tas. Begitu pintu rumah
dibuka, Nona L. Muncul dan mengambil salah satu tas darinya,
sementara nyonya mengambil satu tas lagi. Dia pun
membungkuk dan pamit pergi. Dia tak melihat siapa-siapa di
jalan waktu itu. Jalan alternatif—sangat sunyi.
“William Bird, tukang jahit, memberi kesaksian tersumpah:
dirinya termasuk rombongan yang masuk ke dalam rumah. Dia
orang Inggris. Sudah dua tahun tinggal di Paris. Salah satu yang
pertama naik tangga. Mendengar suara-suara percekcokan.
Suara kasar itu dari orang Prancis. Dia bisa menangkap
beberapa kata, tapi kini tak ingat semuanya. Mendengar jelas
kata ‘sacre’ dan ‘mon Dieu’. Saat itu ada bunyi seolah-olah

25
beberapa orang sedang meronta-ronta—bunyi garutan dan
baku hantam. Suara lengking itu sangat nyaring—lebih nyaring
dari suara kasar. Dia yakin itu bukan suara orang Inggris.
Sepertinya Jerman. Mungkin suara wanita. Dia tak mengerti
bahasa Jerman.
“Empat dari saksi-saksi yang disebut di atas, saat dipanggil
kembali, memberi kesaksian tersumpah: pintu kamar, di mana
mayat Mademoiselle L. Ditemukan, terkunci dari dalam ketika
rombongan sampai di sana. Keadaan sunyi sekali—tak ada
rintihan atau gaduh apapun. Setelah pintu didobrak, tak ada
siapa-siapa di dalam. Jendela-jendela, baik ruang belakang
maupun depan, ditutup dan dikunci dari dalam. Sebuah pintu di
antara dua ruang tersebut tertutup, tapi tidak terkunci. Pintu
yang mengarah dari ruang depan ke lorong terkunci, kuncinya
di sebelah dalam. Ruang kecil di muka rumah, di lantai empat,
di hulu lorong, terbuka, pintunya renggang. Ruang ini disesaki
ranjang-ranjang tua, kotak-kotak, dan sebagainya. Semuanya
dipindahkan dengan hati-hati dan digeledah. Tak ada satu inchi
pun bagian rumah yang tidak digeledah. Sapu-sapu disorong-
kan naik-turun cerobong. Rumahnya berlantai empat, ditambah
loteng-loteng (atap mansard). Sebuah pintu kolong di atap
terpaku dengan aman—kelihatannya belum dibuka selama

26
bertahun-tahun. Waktu yang berlalu antara suara-suara cekcok
dan penjebolan pintu kamar, berbeda-beda antara saksi yang
satu dan lainnya. Sebagian menyebut tiga menit—sebagian lima
menit. Pintu dibuka dengan susah-payah.
“Alfonzo Garcio, pengurus pemakaman, memberi kesaksian
tersumpah: dirinya bertempat tinggal di Rue Morgue. Dia asli
Spanyol. Termasuk rombongan yang masuk rumah. Tidak naik
tangga. Gugup, dan takut syok. Mendengar suara-suara percek-
cokan. Suara kasar itu dari orang Prancis. Dia bisa menangkap
isinya. Suara lengking itu dari orang Inggris—dia yakin. Tidak
paham bahasa Inggris, tapi menilainya dari intonasi.
“Alberto Montani, penjual gula-gula, memberi kesaksian
tersumpah: dirinya termasuk yang pertama naik tangga.
Mendengar suara-suara yang dimaksud. Suara kasar itu dari
orang Prancis. Menangkap beberapa katanya. Pembicaranya
seperti sedang membantah. Tidak bisa menangkap kata-kata
dari suara lengking. Bicaranya cepat dan tidak seimbang. Dia
menduga itu suara orang Rusia. Dia menguatkan kesaksian
secara umum. Dia orang Italia. Tak pernah bercakap-cakap
dengan orang Rusia.
“Beberapa saksi, dipanggil kembali, memberi kesaksian
bahwa cerobong-cerobong semua ruangan di lantai empat

27
terlalu sempit untuk dilalui manusia. Sapu-sapu yang dimaksud
adalah sikat penyapu silinder, seperti yang dipakai para pem-
bersih cerobong. Sikat-sikat ini disorongkan ke dalam setiap
corong asap. Tak ada lorong belakang untuk dituruni siapapun
selagi rombongan naik tangga. Mayat Nona L’Espanaye terjepit
ketat di dalam cerobong, tidak bisa diturunkan sampai empat
atau lima orang menyatukan kekuatan.
“Paul Dumas, dokter, memberi kesaksian tersumpah: dirinya
dipanggil untuk memeriksa kedua jasad sekitar waktu fajar.
Saat itu keduanya tergeletak di atas karung kerangka ranjang di
kamar tempat ditemukannya Nona L. Jenazah gadis belia
tersebut dipenuhi luka lebam dan lecet. Fakta bahwa jasadnya
terdorong ke atas cerobong sudah cukup menjelaskan
penampilan ini. Tenggorokannya terluka parah. Ada beberapa
goresan persis di bawah dagu, serta sederet bintik pucat bekas
jari-jemari. Wajahnya menghitam, bola matanya menonjol.
Lidahnya tergigit sampai tembus sebagian. Lebam besar
ditemukan pada ulu hati, kelihatannya diakibatkan oleh
tekanan lutut. Menurut pendapat M. Dumas, Nona L’Espanaye
dicekik sampai mati oleh seseorang atau orang-orang tak
dikenal. Tubuh ibunya rusak. Semua tulang kaki dan lengan
kanan kurang-lebih pecah. Tulang kering kiri remuk, begitu

28
pula semua tulang rusuk sebelah kiri. Seluruh tubuhnya lebam-
lebam dan menghitam. Sulit dikatakan bagaimana luka-luka ini
ditimbulkan. Tongkat kayu berat, atau palang besi lebar—kursi
—senjata apapun yang besar, berat, dan tumpul bisa meng-
akibatkan luka seperti itu jika digunakan oleh tangan pria
bertenaga. Wanita tak mampu memberi pukulan demikian
dengan senjata apapun. Kepala mendiang, ketika diperiksa oleh
saksi, sama sekali terputus dari tubuh, juga hancur. Teng-
gorokan dipotong dengan alat amat tajam—mungkin pisau
cukur.
“Alexandre Etienne, ahli bedah, dipanggil bersama M.
Dumas untuk memeriksa mayat. Dia menguatkan kesaksian dan
pendapat M. Dumas.
“Tak ada hal penting lagi yang didapat, walaupun beberapa
orang lain diperiksa. Pembunuhan yang begitu misterius,
begitu membingungkan, belum pernah dilakukan di Paris—
kalau memang itu pembunuhan. Kepolisian disalahkan
sepenuhnya—sesuatu yang lazim dalam skandal seperti ini.
Namun tak ada petunjuk sedikitpun.”
Edisi sore koran tersebut menyatakan, kegemparan masih
berlanjut di Quartier St. Roch—tempat kejadian digeledah
ulang dengan teliti, dan diadakan pemeriksaan baru terhadap

29
para saksi, tapi tanpa hasil. Namun, catatan tambahan
menyebut bahwa Adolphe Le Bon telah ditangkap dan
dipenjara—walau tak ada bukti yang memberatkannya, selain
fakta-fakta yang sudah diuraikan.
Dupin rupanya tertarik pada perkembangan skandal ini—
setidaknya begitulah yang kulihat dari sikapnya, sebab dia tak
berkomentar. Baru setelah pengumuman penahanan Le Bon dia
meminta pendapatku soal pembunuhan ini.
Aku hanya sependapat dengan seluruh Paris yang meng-
anggapnya misteri tak teruraikan. Kurasa tak ada cara untuk
menelusuri pembunuhnya.
“Kita tak boleh menilai caranya,” kata Dupin, “berdasarkan
kerangka pemeriksaan ini. Kepolisian Paris, yang banyak dipuji
akan kecerdasannya, memang cerdik, tapi tidak lebih. Tak ada
metode dalam aksi mereka, selain metode di tempat. Mereka
mengambil banyak langkah, tapi tak jarang ini disesuaikan
dengan tujuan-tujuan yang diusulkan, mengingatkan kita pada
Monsieur Jourdain yang meminta jubah tidurnya—agar lebih
bisa mendengarkan musik. Hasil yang mereka peroleh kerapkali
mengejutkan, tapi sebagian besar didapat dengan ketekunan
dan kegiatan sederhana. Ketika kualitas ini membuahkan hasil,
skema mereka gagal. Vidocq, contohnya, adalah penebak yang

30
hebat dan orang yang teguh. Tapi, tanpa pikiran terdidik, dia
terus-menerus menyimpang dari penyelidikannya sendiri. Dia
menghalangi penglihatannya sendiri dengan memegang objek
terlalu dekat. Barangkali dia melihat satu atau dua poin dengan
jernih, tapi dia kehilangan penglihatan atas perkaranya secara
utuh. Jadi jangan terlalu dalam. Kebenaran tidak selalu berada
di dalam sumur.
Bahkan, berkenaan dengan pengetahuan yang lebih penting,
aku percaya ini cuma permukaan luar. Kedalamannya terletak
di lembah-lembah di mana kita mencarinya, dan bukan pada
puncak-puncak gunung di mana ia ditemukan. Modus dan
sumber kekeliruan jenis ini dilambangkan dalam perenungan
benda-benda langit. Melirik sebuah bintang—memandangnya
dari satu sisi, dengan menujukan bagian-bagian luar retina
(yang lebih peka terhadap kesan cahaya redup dibanding
bagian dalam) ke arahnya, sama dengan melihat bintang secara
jelas—sama dengan memiliki penilaian terbaik akan kemilau-
nya, kemilau yang semakin redup seiring semakin fokusnya
penglihatan kita ke sana. Dengan fokus, lebih banyak berkas
cahaya yang mengenai mata kita. Tapi dengan lirikan, kapasitas
untuk memahami jadi lebih murni. Gara-gara kedalaman tak
wajar, kita membingungkan dan melemahkan pikiran. Bahkan

31
mungkin saja kita membuat Venus lenyap dari cakrawala
dengan pencermatan yang terlalu berlarut-larut, terlalu
berkonsentrasi, atau terlalu langsung.
“Adapun pembunuhan ini, mari kita periksa sendiri, sebelum
membangun opini tentangnya. Penyelidikan akan memberi kita
kesenangan,” [aku menganggap ini istilah yang aneh, tapi aku
tak bilang apa-apa], “dan, selain itu, Le Bon pernah memberiku
sumbangan, dan aku berterima kasih untuk itu. Kita akan lihat
TKP dengan mata kepala sendiri. Aku kenal G......, Prefek
Kepolisian, dan takkan sulit mendapat izin.”
Izin diperoleh, kami pun langsung berangkat ke Rue
Morgue. Ini merupakan salah satu jalan kumuh yang
menyelangi Rue Richelieu dan Rue St. Roch. Kami sampai di
sana larut petang. Kawasan tersebut sangat jauh dari tempat
tinggal kami. Rumahnya mudah ditemukan, lantaran masih
banyak orang penasaran memandangi daun-daun jendelanya
yang tertutup, dari seberang jalan. Rumah Paris yang biasa-
biasa saja; ada pintu gerbang di depan, di salah satu sisinya
terdapat ruang jaga berkaca, dengan panel sorong di jendela-
nya, mengindikasikan pondok penjaga gerbang. Sebelum
masuk, kami menyusuri jalan menanjak, berbelok ke sebuah
gang, lalu berbelok lagi, melintasi bagian belakang bangunan—

32
Dupin, sementara itu, memeriksa seluruh lingkungan, juga
rumah tersebut, dengan ketelitian yang tak kupahami tujuan-
nya.
Menempuh balik jalan semula, kami kembali ke muka
hunian dan membunyikan bel. Setelah menunjukkan surat
kepercayaan, kami dipersilakan masuk oleh polisi-polisi yang
bertugas. Kami naik tangga—masuk ke dalam kamar di mana
mayat Nona L’ Espanaye ditemukan, dan di mana kedua mayat
masih tergeletak. Berantaknya ruangan, seperti biasa, masih
dibiarkan begitu saja. Aku tak lihat apa-apa selain yang sudah
dikemukakan dalam Gazette des Tribunaux. Dupin meneliti
segalanya—tidak terkecuali kedua jasad korban. Lalu kami
masuk ke ruang-ruang lain, dan halaman, ditemani seorang
polisi. Pemeriksaan menyibukkan kami sampai gelap, kemudian
kami pergi. Dalam perjalanan pulang, rekanku masuk sebentar
ke kantor salah satu harian.
Aku sudah bilang, tingkah temanku berkali-lipat, dan aku
membetahkan diri dengan itu—untuk frasa ini tak ada
padanannya dalam bahasa Inggris. Yang lucu, dia menolak
semua pembicaraan tentang pembunuhan sampai sekitar
tengah hari keesokannya. Lalu tiba-tiba dia bertanya apa aku
melihat sesuatu yang janggal di lokasi kekejian.

33
Caranya menekankan kata “janggal” membuatku merinding,
entah kenapa.
“Tidak, tidak ada yang janggal,” jawabku, “tak ada apa-apa
selain yang disebut di koran.”
“Kurasa Gazette,” balasnya, “belum membahas horor tak
lazim ini. Tapi menolak opini omong-kosong di cetakan ini.
Rupanya misteri ini dianggap tak dapat diuraikan, karena per-
timbangan yang semestinya menjadi solusi mudah—maksudku
karena sifat anehnya. Kepolisian dikacaukan oleh ketiadaan
motif—bukan motif pembunuhan—tapi motif kekejian
pembunuhan. Mereka juga dibingungkan oleh kemustahilan
menyelaraskan suara-suara cekcok dengan fakta bahwa tak ada
siapa-siapa di lantai atas selain Nona L’Espanaye yang
terbunuh, dan tak ada jalan keluar tanpa ketahuan oleh
rombongan yang sedang naik. Amburadulnya isi kamar, mayat
yang terdorong ke atas cerobong dengan kepala di bawah,
mutilasi tubuh nyonya yang mengerikan; pertimbangan-
pertimbangan ini, serta yang barusan disebutkan, dan lain-lain
yang tak perlu kusebutkan, sudah cukup melumpuhkan
kemampuan polisi pemerintah dengan menyalahkan kecer-
dasan yang sering dibangga-banggakan itu. Mereka jatuh ke
dalam kekeliruan mencolok tapi lumrah, yakni membaurkan

34
yang tidak biasa dengan yang musykil. Tapi berkat
penyimpangan dari bidang biasa inilah nalar merasakan
jalannya dalam mencari kebenaran. Dalam penyelidikan seperti
yang sedang kita lakukan, tidak boleh bertanya ‘apa yang telah
terjadi yang belum pernah terjadi?’ sebanyak bertanya ‘apa
yang telah terjadi?’ Bahkan, kesempatan yang kupakai untuk
nanti sampai, atau telah sampai, pada solusi misteri ini
berbanding lurus dengan ketakteruraiannya di mata polisi.”
Dengan heran kupandangi si pembicara dalam kebisuan.
“Aku sedang menanti,” sambungnya, menatap ke arah pintu
kamar kami—“aku sedang menanti seseorang yang, walau
mungkin bukan pelaksana pembantaian ini, pasti terlibat
sebagian dalam pelaksanaannya. Di antara porsi terburuk dari
kejahatan itu, barangkali dia tidak bersalah. Kuharap
perkiraanku ini benar, sebab di atasnya aku membangun
harapan untuk membaca seluruh teka-teki. Aku menunggu
orang itu di sini—di kamar ini—setiap saat. Memang benar dia
tak mungkin datang, tapi probabilitasnya dia akan datang.
Seandainya dia datang, kita perlu menahannya. Ini ada pistol,
kita tahu cara memakainya bila keadaan memaksa.”
Kuambil pistolnya, hampir tak paham apa yang kulakukan,
atau tak percaya apa yang kudengar, sementara Dupin terus

35
melanjutkan, seperti solilokui. Aku sudah bahas tingkah
abstraknya di saat-saat seperti ini. Ceramahnya dialamatkan
padaku, tapi suaranya, walau tidak nyaring, mengandung
intonasi yang lazim dipakai untuk bicara kepada orang yang
jauh. Matanya, hampa ekspresi, hanya memandang tembok.
“Bahwa suara-suara yang terdengar cekcok,” katanya, “oleh
rombongan di tangga bukanlah suara para wanita tersebut, ini
sudah dibuktikan dengan semua keterangan saksi. Ini
membebaskan kita dari pertanyaan apakah mungkin nyonya itu
pertama-tama membunuh puterinya dan kemudian bunuh diri.
Aku mengangkat poin ini demi mengetahui modusnya, sebab
Madame L’Espanaye sama sekali tak mampu mendorong jasad
puterinya ke atas cerobong; sedangkan karakter luka di
tubuhnya membuang kemungkinan menyiksa diri. Dengan
demikian pembunuhan dilakukan oleh pihak ketiga, dan suara-
suara pihak ketiga ini terdengar cekcok. Sekarang biar kusoroti
—bukan seluruh kesaksian atas suara-suara ini—tapi keanehan
dalam kesaksiannya. Apa kau perhatikan ada yang aneh?”
Aku menjawab: meski semua saksi sepakat suara kasar itu
diduga berasal dari orang Prancis, mereka bersilang pendapat
soal suara lengking, atau seperti kata salah seorang, suara
parau.

36
“Itu sendiri bukti,” kata Dupin, “tapi bukan bukti yang aneh.
Kau belum memperhatikan sesuatu yang istimewa. Padahal ada
sesuatu yang patut diperhatikan. Para saksi, seperti kau bilang,
sepakat soal suara kasar itu; mereka sudah bulat. Tapi
berkenaan dengan suara lengking, keanehannya adalah—bukan
bahwa mereka bersilang pendapat—tapi bahwa, meski si Italia,
si Inggris, si Spanyol, si Belanda, dan si Prancis berusaha
mendeskripsikannya, masing-masing menyebutnya suara orang
asing. Masing-masing yakin itu bukan suara saudara sebangsa-
nya. Masing-masing menyamakannya bukan dengan suara
seseorang berkebangsaan tertentu yang bahasanya mereka
kuasai—tapi sebaliknya. Si Prancis menduganya suara orang
Spanyol, dan ‘mungkin dapat menangkap beberapa kata andai
dia paham bahasa Spanyol’. Si Belanda bersikukuh itu suara
orang Prancis, tapi kita menemukan bahwa, ‘karena tidak
mengerti bahasa Prancis, saksi ini diperiksa melalui
penerjemah’. Si Inggris mengira itu suara orang Jerman, dan
tidak mengerti bahasa Jerman. Si Spanyol ‘yakin’ itu suara
orang Inggris, tapi cuma ‘menilainya dari intonasi’, ‘sebab dia
tak menguasai bahasa Inggris’. Si Italia percaya itu suara orang
Rusia, tapi ‘belum pernah bercakap-cakap dengan orang Rusia’.
Si Prancis kedua berbeda dari yang pertama, dan yakin suara itu

37
berasal dari orang Italia; tapi, karena tidak mengetahui
bahasanya, seperti si Spanyol, dia ‘diyakinkan oleh intonasi-
nya’. Nah, betapa tidak lazimnya suara tersebut sampai-sampai
diperoleh kesaksian seperti ini!—nadanya tak mampu dikenali
oleh penghuni lima negara besar Eropa! Kau akan bilang,
mungkin itu suara orang Asia—atau Afrika. Tak banyak orang
Asia atau Afrika di Paris. Tapi, tanpa mengingkari kesimpulan
ini, sekarang aku hanya akan meminta perhatianmu pada tiga
poin. Suara itu diistilahkan oleh satu saksi sebagai ‘parau
ketimbang lengking’. Dua saksi lain menggambarkan ‘cepat dan
tak seimbang’. Tak ada kata-kata—tak ada suara yang
menyerupai kata-kata—yang ‘dapat dibedakan’ oleh saksi
manapun.
“Entah,” lanjut Dupin, “kesan apa yang kau dapat dari
penjelasanku sejauh ini, tapi aku tidak ragu untuk menyatakan
bahwa deduksi sah dari kesaksian bagian ini—bagian suara
kasar dan parau—sudah cukup untuk melahirkan kecurigaan
yang akan mengarahkan seluruh perkembangan investigasi
misteri ini. Aku bilang ‘deduksi sah’, tapi maksudku belum
sepenuhnya demikian. Aku ingin bilang, deduksi ini adalah
satu-satunya yang pantas, dan bahwa kecurigaan yang timbul
darinya adalah satu-satunya konsekuensi. Namun, kecurigaan

38
apakah gerangan, aku belum bisa mengungkapnya. Aku cuma
ingin kau mencamkan, aku terpaksa memberi bentuk nyata—
kecenderungan tertentu—pada penyelidikanku di kamar itu.
“Sekarang mari kita terbang ke kamar itu, dalam khayalan.
Apa yang akan kita cari pertama-tama? Jalan keluar yang
dipakai oleh pembunuh. Tak berlebihan rasanya jika kukatakan
bahwa kita berdua tidak percaya pada peristiwa supranatural.
Madame dan Nona L’Espanaye bukan dibunuh oleh arwah.
Pelaku perbuatan itu memiliki fisik, dan kabur secara fisik.
Lantas bagaimana caranya? Untungnya, ada satu cara
penalaran atas hal ini, dan cara ini akan menuntun kita pada
keputusan pasti. Mari kita periksa, satu demi satu, kemung-
kinan jalan keluar. Jelas pembunuhnya berada di dalam kamar
di mana Nona L’Espanaye ditemukan, atau setidaknya di ruang
sebelah, ketika rombongan naik tangga. Maka hanya dari dua
ruang inilah kita harus mencari pokok persoalan. Polisi sudah
membongkar lantai, langit-langit, dan batu tembok, di segala
arah. Tak ada rahasia yang luput dari kewaspadaan mereka.
Tapi, tidak percaya dengan mata mereka, aku memeriksanya
sendiri. Memang tak ada rahasia. Kedua pintu yang mengarah
dari kamar menuju lorong terkunci aman, dengan kunci di
sebelah dalam. Mari kita beralih ke cerobong. Walaupun

39
lebarnya biasa, tinggi sekitar delapan sampai sepuluh kaki di
atas tungku, cerobong ini takkan bisa dimasuki kucing
sekalipun. Kemustahilan untuk keluar, dengan jalan-jalan yang
sudah disebutkan, menjadi mutlak, tinggal tersisa jendela-
jendela. Tak ada yang bisa kabur lewat jendela ruang depan
tanpa ketahuan oleh kerumunan di jalan raya. Pembunuhnya
pasti lolos lewat jendela ruang belakang. Nah, dihadapkan
dengan kesimpulan setegas ini, bukan tugas kita sebagai
penalar untuk menolaknya atas dasar kemustahilan. Justru kita
wajib membuktikan bahwa ‘kemustahilan’ ini sebetulnya bukan
kemustahilan.
“Ada dua jendela di kamar. Salah satunya terhalangi oleh
furnitur, dan paling mencolok. Sedangkan jendela satu lagi,
bagian bawahnya tersembunyi dari pandangan oleh hulu
kerangka ranjang berat yang disandarkan padanya. Jendela
pertama terkunci dari dalam, melawan tenaga orang-orang
yang hendak mengangkatnya. Lubang bekas obeng terdapat
pada kerangkanya di sebelah kiri, dan sebuah paku kokoh
terpasang di situ, hampir tembus ke bagian atas. Setelah
memeriksa jendela yang satu lagi, didapati paku serupa
terpasang. Upaya sengit untuk mengangkat bingkai ini juga
gagal. Polisi kini yakin bahwa jalan keluarnya bukan lewat situ.

40
Karenanya, terlalu berlebihan kalau harus mencabut paku-paku
tersebut dan membuka kedua jendela.
“Pemeriksaanku sendiri agak lebih rinci, alasannya sudah
kuutarakan barusan—yaitu karena semua kemustahilan harus
dibuktikan tidak mustahil.
“Aku jadi berpikir begitu—aposteriori. Pembunuhnya
memang kabur dari salah satu jendela ini. Tapi mereka tak
mungkin mengunci kembali bingkai-bingkainya dari dalam,
yang didapati terkunci—pertimbangan ini jelas menghentikan
penyelidikan polisi. Tapi bingkainya terkunci. Jadi bingkai-
bingkai itu pasti punya kemampuan mengunci diri. Tak ada
jalan untuk lari dari kesimpulan ini. Aku melangkah ke jendela
yang tak terhalangi, susah-payah mencabut paku dan berusaha
mengangkat bingkainya. Ternyata tak mau terbuka, seperti
yang kuperkirakan. Sekarang aku sadar, pasti ada pegas
tersembunyi. Bukti-bukti yang menguatkan ini membuatku
yakin bahwa premisku sekurangnya benar, betapapun keadaan
paku-paku itu masih misterius. Penggeledahan cermat segera
menyingkap pegas tersembunyi. Aku menekannya. Puas
dengan temuan ini, aku menahan diri dari mengangkat bingkai.
“Sekarang kutaruh kembali pakunya dan kuamati. Seseorang
yang keluar lewat jendela ini mungkin menutupnya lagi dan

41
pegas akan menjepit—tapi pakunya tidak bisa ditaruh kembali.
Kesimpulannya sederhana, dan lagi-lagi mempersempit bidang
penyelidikanku. Pembunuhnya pasti kabur lewat jendela lain.
Maka, dengan asumsi pegas di tiap bingkai sama, pasti ada
perbedaan antara paku-pakunya, atau setidaknya cara
pemasangannya. Naik ke atas karung, kuperiksa jendela kedua
di belakang papan kepala ranjang. Menjulurkan tangan ke balik
papan, aku langsung menemukan dan menekan pegas yang,
sesuai dugaanku, identik dengan tetangganya. Sekarang
kucermati pakunya. Kokoh seperti yang tadi, dan dipasang
dengan cara yang sama—hampir tembus ke bagian atas.
“Kau pasti mau bilang aku kebingungan; jika kau berpikir
begitu, berarti kau sudah salah paham dengan hakikat induksi
yang kukemukakan. Meminjam frase yang adil, aku belum
‘bersalah’ satu kali pun. Penciumanku belum tersesat
sedikitpun. Tak ada cacat dalam mata rantai ini. Aku sudah
menelusuri rahasia sampai temuan puncak—dan temuan itu
adalah paku. Kutegaskan, dalam segala hal, penampilan paku
tersebut sama dengan rekannya di jendela lain; tapi fakta ini
tidak sah (betapapun meyakinkan) tatkala disandingkan
dengan pertimbangan bahwa di sini, di titik ini, petunjuk
berakhir. ‘Pasti ada yang tak beres,’ kataku, ‘dari paku ini.’ Aku

42
menyentuhnya; lalu bungkulnya, dengan tangkai kira-kira
seperempat inchi, terlepas di jemariku. Sementara sisa tangkai
berada di dalam lubang obeng, patah. Retakannya sudah tua
(sebab pinggir-pinggirnya dilapisi karat), sepertinya diakibat-
kan oleh pukulan palu, yang membuat bungkul paku terbenam
sebagian di puncak bingkai dasar. Sekarang kutaruh kembali
bagian bungkul ini ke lekukan di mana aku mengambilnya.
Mirip paku utuh—belahannya tidak terlihat. Menekan pegas,
pelan-pelan kuangkat bingkai beberapa inchi; bungkulnya ikut
naik, sisanya tetap kokoh di alasnya. Aku menutup jendela, dan
paku kembali utuh.
“Sejauh ini teka-teki sudah terpecahkan. Si pembunuh
kabur lewat jendela yang menghadap ranjang. Anjlok dengan
sendirinya di atas jalan keluar (atau mungkin sengaja ditutup),
jendela ini dikunci oleh pegas; dan penahan pegas inilah yang
salah dikira polisi sebagai penahan paku—sehingga penye-
lidikan lanjutan dianggap tak perlu.
“Persoalan berikutnya adalah cara turun. Untuk poin ini aku
sudah terpuaskan dengan jalan-jalan kita di sekitar bangunan.
Kurang-lebih lima setengah kaki dari jendela terdapat sebuah
batang penangkal petir. Dari penangkal ini mustahil siapapun
menggapai jendela, apalagi memasukinya. Namun, kuamati

43
daun-daun jendela lantai empat merupakan jenis khusus yang
disebut ferrade oleh para tukang kayu Paris—jenis yang jarang
dipakai di masa kini, tapi sering dijumpai di mansion-mansion
kuno di Lyons dan Bourdeaux. Mereka berbentuk pintu biasa
(tunggal, bukan pintu lipat) kecuali bahwa paruh bawahnya
berkisi atau disisipi teralis terbuka—sehingga memungkinkan
tangan untuk berpegangan kuat. Dalam contoh sekarang, daun-
daun jendela ini memiliki lebar tiga kaki setengah. Ketika kita
melihatnya dari belakang rumah, keduanya terbuka separuh—
dengan kata lain, membentuk sudut siku-siku dari tembok.
Barangkali polisi, seperti aku, sudah memeriksa belakang
rumah petak ini; tapi saat melihat deretan jendela ferrade ini
mereka tidak memperhatikan lebarnya yang luar biasa, atau
tidak mempertimbangkannya sebagaimana mestinya. Bahkan,
setelah puas tak ada jalan keluar di bagian ini, mereka hanya
memeriksa sepintas. Namun, bagiku jelas, daun jendela yang
berada dekat kepala ranjang dapat membentang sejauh dua
kaki ke batang penangkal petir, jika diayunkan ke tembok. Jelas
pula bahwa, dengan aksi dan keberanian luar biasa, seseorang
dapat masuk ke dalam jendela dari batang penangkal. Dengan
menjangkau sejauh dua setengah kaki (kita asumsikan daun
jendela terbuka penuh) seorang maling bisa berpegangan kuat

44
pada teralis. Melepas cengkeraman dari batang penangkal,
menyandarkan kaki pada tembok, lalu melompat dengan
berani, dia mengayunkan daun jendela supaya tertutup, dan,
kalau kita bayangkan waktu itu jendelanya terbuka, mungkin
mengayunkan tubuhnya ke dalam ruangan.
“Secara khusus aku ingin kau mencamkan bahwa suksesnya
perbuatan berbahaya dan sulit ini mensyaratkan aksi yang luar
biasa. Pertama-tama aku bermaksud membuktikan ini dapat
dilakukan, tapi, yang kedua dan utama, aku ingin meng-
ingatkanmu pada sesuatu yang sangat luar biasa—ketangkasan
supranatural yang melakoninya.
“Kau pasti mau bilang, dengan bahasa hukum, bahwa ‘untuk
menegaskan argumentasiku’, sebaiknya aku menurunkan
daripada mempertahankan perkiraan aksi yang disyaratkan
dalam perkara ini. Memang dalam hukum prakteknya demikian,
tapi itu tak menggunakan nalar. Sasaran terakhirku adalah
kebenaran. Tujuan terdekatku adalah menuntunmu menyan-
dingkan aksi luar biasa barusan dengan suara lengking (atau
parau) dan timpang yang asal kebangsaannya tak bisa
disepakati, dan sukukatanya tak terdeteksi.”
Mendengar ucapan ini, gambaran Dupin yang samar dan
tanggung terlintas dalam benakku. Aku seperti paham tanpa

45
mampu memahami—manusia terkadang merasa hampir ingat
tanpa mampu mengingat di akhirnya. Temanku menyambung
uraian.
“Kau akan simak,” katanya, “bahwa aku sudah menggeser
masalah cara keluar ke masalah cara masuk. Aku ingin
menyampaikan gagasan bahwa keduanya dilakukan dengan
cara yang sama, di tempat yang sama. Sekarang kita kembali ke
bagian dalam kamar. Kita survei penampilan di sini. Laci-laci
lemari konon dijarah, walaupun banyak pakaian masih tersisa
di dalamnya. Kesimpulan ini ganjil. Ini cuma tebakan—tebakan
pandir—tidak lebih. Bagaimana kita akan tahu bahwa barang-
barang yang ditemukan di dalam laci bukan muatan yang asli?
Madame L’Espanaye dan puterinya hidup terasing—tak ada
teman, jarang keluar, tidak sering berganti pakaian. Barang-
barang itu berkualitas bagus dan kemungkinan besar milik
kedua perempuan tersebut. Kalau memang ada yang mencuri,
kenapa dia tidak mengambil yang terbaik—kenapa tidak
mengambil semuanya? Singkatnya, kenapa dia membiarkan
empat ribu franc emas hanya demi sebuntel linen? Emasnya
dibiarkan. Jumlahnya hampir sama dengan yang disebutkan
oleh bankir Monsieur Mignaud, ditemukan dalam tas-tas di atas
lantai. Maka dari itu, aku ingin kau bersihkan pikiranmu dari

46
gagasan motif, yang timbul di dalam otak polisi gara-gara
keterangan tentang uang yang diantar ke pintu rumah.
Kebetulan-kebetulan yang sepuluh kali lebih mencolok dari ini
(pengantaran uang, dan pembunuhan terhadap pihak
penerimanya tiga hari kemudian), dialami oleh kita semua
setiap jam, tanpa menarik perhatian sekejap pun. Kebetulan,
secara umum, adalah batu sandungan besar bagi golongan
pemikir yang dididik untuk tidak mengenal teori probabilitas—
objek-objek penelitian teragung berutang budi pada teori ini
berkat penjelasan agungnya. Dalam contoh sekarang, andai
emasnya hilang, fakta pengantaran emas tiga hari sebelumnya
akan menghasilkan lebih dari kebetulan belaka, akan menguat-
kan gagasan motif. Tapi, dengan kenyataan yang ada, kalau kita
anggap emas adalah motif kebiadaban ini, kita juga harus
membayangkan pelakunya seorang idiot peragu sampai rela
melepas emas dan motifnya sekaligus.
“Nah setelah memusatkan perhatian pada poin-poin yang
kuuraikan—suara aneh, ketangkasan tak biasa, dan ketiadaan
motif dalam pembunuhan sekeji ini—mari kita lirik pem-
bantaian itu sendiri. Seorang wanita dicekik sampai mati
dengan kekuatan tangan, dan didorong ke atas cerobong,
kepalanya tergantung ke bawah. Pembunuh biasa tidak

47
memakai cara membunuh seperti ini. Paling tidak, mereka
membuang korban. Dalam cara mendorong mayat ke atas
cerobong, kau pasti mengakui ada sesuatu yang amat aneh—
sesuatu tindakan yang tak bisa diterima oleh akal sehat kita,
sekalipun kita menduga pelakunya manusia yang sangat bejad.
Pikirkan juga, betapa besar kekuatan yang mendorong mayat ke
atas lubang sesempit itu sampai-sampai penyatuan tenaga
beberapa orang hampir tidak cukup untuk menurunkannya!
“Sekarang beralih pada indikasi-indikasi lain pengerahan
tenaga mengagumkan. Di tungku terdapat berikat-ikat rambut
uban yang tebal—sangat tebal. Dicabut dari akar-akarnya. Kau
sadar perlu tenaga besar untuk menjambak dua puluh atau tiga
puluh rambut sekaligus. Kau juga melihat ikat-ikat rambut yang
dimaksud. Akarnya (pemandangan menyeramkan!) meng-
gumpal dengan potongan daging jangat kepala—tanda
penggunaan tenaga luar biasa dalam mencabut kurang-lebih
setengah juta rambut sekaligus. Tenggorokan nyonya itu bukan
hanya disayat, kepalanya pun terputus dari tubuh: alatnya
cuma pisau cukur. Aku ingin kau juga memikirkan ganasnya
perbuatan ini. Soal lebam-lebam di tubuh Madame L’Espanaye,
bukan aku yang bicara. Monsieur Dumas, dan rekannya sesama
ajudan, Monsieur Etienne, sudah menyatakan bahwa itu

48
diakibatkan oleh alat tumpul, dan sejauh ini mereka benar. Alat
tumpulnya jelas ubin batu di halaman. Ke situlah korban jatuh
dari jendela di atas ranjang. Ide ini, meski terasa sederhana,
lolos dari tinjauan polisi sebagaimana ide daun jendela tadi—
gara-gara paku, persepsi mereka tertutup rapat dari
kemungkinan bahwa jendela pernah dibuka.
“Jika sekarang, di samping semua hal ini, kau merenungkan
kondisi berantakan yang aneh di kamar, maka sejauh ini kita
sudah mengkombinasikan ketangkasan mengejutkan, kekuatan
manusia super, kebrutalan, pembunuhan tanpa motif, horor
yang asing bagi umat manusia, dan nada suara yang asing di
telinga orang-orang dari berbagai negara, ketidakjelasan atau
ketidakpahaman suku-kata. Lalu apa hasilnya? Kesan apa yang
kau dapat dari uraianku?”
Aku merinding saat Dupin bertanya begitu. “Orang gila,”
kataku, “yang berbuat ini—seorang maniak pengoceh, kabur
dari Maison de Santé di dekat sini.”
“Dalam beberapa hal,” sahutnya, “pemikiranmu relevan.
Tapi suara orang gila, sekalipun dalam kondisi paroksisme
terliar, tak pernah terdengar seperti itu. Orang gila dari suatu
negara, serta bahasanya, betapapun ucapanya tak karuan,
selalu memiliki kepaduan sukukata. Selain itu, rambut orang

49
gila tidak seperti yang sedang kupegang. Aku mengurai berkas
rambut kecil ini dari jari-jari Madame L’Espanaye yang
tergenggam. Katakan, bagaimana menurutmu?”
“Dupin!” kataku, terkesima, “rambut ini sangat tidak biasa—
ini bukan rambut manusia.”
“Aku belum bilang ini rambut manusia,” katanya, “tapi,
sebelum kita putuskan poin ini, aku ingin kau menengok sketsa
kecil yang kubuat di atas kertas ini. Ini gambar reproduksi dari
‘lebam gelap, dan lekukan kuku-kuku jari yang dalam’ pada
tenggorokan Nona L’Espanaye yang dideskripsikan dalam salah
satu kesaksian sebagai, dan ‘sederet bintik pucat, jelas bekas
jari-jemari’ yang disebut dalam kesaksian lain (dari Monsieur
Dumas dan Etienne).
“Kau akan lihat,” lanjut temanku, membentangkan kertas di
atas meja di depan kami, “gambar ini memberi kesan ceng-
keraman kokoh dan pasti. Tidak merosot. Setiap jari memper-
tahankan—mungkin sampai korbannya mati—genggaman
menakutkan dari awal. Nah, cobalah tempatkan semua jarimu
di atas cetakan yang kau lihat ini, sesuai urutannya.”
Aku pun berusaha, tapi sia-sia.
“Mungkin kita salah mencobanya,” katanya. “Kertas ini
terhampar di atas permukaan datar, sedangkan tenggorokan

50
manusia berbentuk silinder. Ini ada sebilah kayu bakar,
kelilingnya hampir seukuran dengan tenggorokan. Belitkan
gambarnya, lalu ulangi eksperimen ini.”
Aku pun menuruti, tapi ternyata lebih sulit lagi daripada
sebelumnya. “Ini,” kataku, “bukan bekas tangan manusia.”
“Sekarang baca,” timpal Dupin, “kutipan karangan Cuvier
ini.”
Isinya adalah keterangan anatomis dan deskriptif mengenai
Orang Utan besar kemerahan di Kepulauan India Timur. Tinggi
raksasa, kekuatan dan aktivitas luar biasa, keganasan liar, dan
kecenderungan meniru mamalia ini cukup dikenal semua
orang. Aku langsung mengerti ngerinya pembunuhan itu.
“Deskripsi jari-jarinya,” kataku, mengakhiri bacaan, “persis
sesuai dengan gambar ini. Kurasa tak ada binatang selain Orang
Utan, di antara spesies-spesies yang disebutkan di sini, yang
mampu mencetak lekukan yang kau temukan. Berkas rambut
kecokelatan ini juga identik dengan bulu binatang yang ditulis
Cuvier. Tapi aku tak bisa memahami fakta-fakta misteri seram
ini. Selain itu, ada dua suara yang terdengar cekcok, salah
satunya tak diragukan lagi suara orang Prancis.”
“Betul, dan kau pasti ingat ungkapan yang secara bulat
dikaitkan dengan suara ini berdasarkan kesaksian—ungkapan

51
‘mon Dieu!’ Ini dilukiskan dengan tepat oleh salah seorang saksi
(Montani, penjual gula-gula) sebagai ungkapan keluhan atau
bujukan. Oleh karenanya, berdasarkan dua kata ini aku
membangun harapan akan solusi teka-teki yang utuh. Ada
seorang Prancis yang tahu soal pembunuhan itu. Boleh jadi—
bahkan lebih dari mungkin—dia tak terlibat dalam transaksi
berdarah yang terjadi. Mungkin Orang Utan lepas darinya. Dia
mencarinya sampai ke kamar; tapi dalam kondisi meng-
gelisahkan, dia tak bisa menangkapnya lagi. Masih bebas
berkeliaran. Aku takkan mengejar tebakan-tebakan ini—tak
pantas lagi digunakan—karena irisan pemikiran yang
melandasinya nyaris tak cukup dalam untuk dipertimbangkan,
dan karena aku tak bisa berpura-pura memahamkannya pada
orang lain. Maka kita akan menyebutnya tebakan, dan mem-
bahasnya sebagai tebakan. Jika orang Prancis itu betul-betul,
sebagaimana yang kuduga, tidak bersalah atas kekejian ini,
maka iklan yang kutinggalkan semalam, saat kita pulang, di
kantor Le Monde (koran yang fokus pada bidang perkapalan,
dan banyak diburu oleh pelaut) akan membawanya ke
kediaman kita.”
Dia menyerahkan selembar koran, lalu aku membacanya:
“TERTANGKAP—Di Bois de Boulogne, dini pagi ini (pagi

52
pembunuhan), seekor Orang Utan kecokelatan yang sangat
besar dari spesies Kalimantan. Pemiliknya (dipastikan seorang
pelaut, anggota kapal Malta) dapat mengambilnya kembali,
setelah mengidentifikasinya, dan membayar sedikit biaya
penangkapan dan perawatan. Datang ke Rue..... No.....,
Faubourg St. Germain—lantai tiga.”
“Mana mungkin,” tanyaku, “kau tahu orang itu pelaut, dan
anggota kapal Malta?”
“Aku tidak tahu,” kata Dupin. “Aku tidak yakin. Tapi ini ada
sepotong pita kecil. Dilihat dari bentuknya, dan penampilannya
yang berminyak, jelas pernah digunakan untuk mengikat
rambut taucang yang digemari para pelaut. Lagipula, selain
pelaut, tak banyak orang yang mampu mengikatkan simpul ini,
khas Malta. Aku memungutnya di kaki batang penangkal petir.
Tidak mungkin milik kedua mendiang. Nah, kalau aku keliru
menyimpulkan pita ini, bahwa orang Prancis itu seorang pelaut
di sebuah kapal Malta, tetap tak ada salahnya memasang iklan.
Kalau aku memang keliru, dia hanya akan mengira aku
disesatkan oleh suatu keadaan yang tak perlu repot diselidiki.
Tapi kalau aku benar, ada keuntungan yang didapat. Walaupun
sadar dirinya tak bersalah atas tindak pembunuhan, orang
Prancis tersebut akan bimbang untuk menanggapi iklan ini—

53
untuk menagih Orang Utan. Dia akan menimbang begini: ‘Aku
tak bersalah, aku sedang sial, Orang Utan milikku sangat
bernilai—harta bagi seseorang dalam posisiku—kenapa aku
mesti kehilangannya karena takut akan bahaya? Sekarang aku
mengerti. Barang kepunyaanku ditemukan di Bois de Boulogne
—jauh sekali dari lokasi pembantaian. Mana mungkin dicurigai
bahwa seekor binatang kasar berbuat itu? Salah polisi sendiri—
mereka gagal memperoleh petunjuk. Andai mereka menelusuri
binatang itu, akan mustahil untuk membuktikan bahwa aku
tahu pembunuhan tersebut, atau menyangkut-pautkanku.
Terlebih, aku sudah ketahuan. Pengiklan menunjukku sebagai si
pemilik binatang. Aku tak yakin sejauh mana dia tahu. Kalau
aku tidak menagih harta yang begitu bernilai, yang diketahui
sebagai milikku, binatang itu akan dicurigai. Aku tak berniat
menarik perhatian pada diriku ataupun binatangku. Aku akan
jawab iklan ini, menjemput Orang Utan, dan menutupi perkara
ini sampai reda.’”
Pada saat itulah kami mendengar langkah kaki di tangga.
“Bersiaplah,” kata Dupin, “dengan pistolmu, tapi jangan
gunakan atau perlihatkan sampai ada aba-aba dariku.”
Pintu depan rumah dibiarkan terbuka, tamu sudah masuk
tanpa membunyikan bel, dan naik tangga beberapa langkah.

54
Namun kini dia seakan bimbang. Tiba-tiba kami mendengarnya
turun. Dupin langsung bergerak ke pintu, lalu kami mendengar-
nya naik lagi. Dia tidak berbalik untuk kedua kalinya,
melangkah pasti, dan mengetuk pintu kamar kami.
“Masuklah,” kata Dupin, dengan nada riang dan tulus.
Masuklah seorang lelaki. Dia pelaut, jelas sekali—jangkung,
gagah, berotot, dengan ekspresi muka berani mati, tidak
berkesan kurang baik. Wajahnya terbakar matahari, setengah
tertutup oleh cambang dan kumis. Dia membawa gada ék besar,
tapi seperti tak bersenjata. Dia membungkuk canggung, dan
mengucapkan “selamat malam” dalam aksen Prancis yang,
walaupun agak bercorak Neufchatel, masih cukup mengindi-
kasikan asli Paris.
“Duduklah, kawan,” ujar Dupin. “Aku rasa kau datang untuk
Orang Utan itu. Percayalah, aku hampir iri kau memilikinya;
binatang yang sangat bagus, dan tak diragukan lagi sangat
bernilai. Kira-kira berapa umurnya?”
Si pelaut menarik nafas panjang, seperti orang yang terlepas
dari beban tak tertahankan, lalu menjawab dengan nada pasti:
“Aku tak tahu—tapi mungkin tidak lebih dari empat atau
lima tahun. Kau menyimpannya di sini?”
“Oh tidak, kami tak punya sarana untuk memeliharanya di

55
sini. Dia di istal sewaan di Rue Dubourg, tak jauh dari sini. Kau
bisa mengambilnya besok pagi. Tentu kau siap mengidentifikasi
harta tersebut?”
“Pasti, tuan.”
“Aku akan sedih berpisah darinya,” kata Dupin.
“Aku tak bermaksud mengabaikan semua kerepotan ini
dengan gratis, tuan,” katanya. “Aku tak berniat begitu. Aku
bersedia memberi upah atas ditemukannya binatang itu—sudah
sepantasnya.”
“Well,” sahut temanku, “itu sangat adil, tentu. Biar kupikir-
kan!—apa yang kuinginkan? Oh! Akan kukatakan. Upahku
begini. Beritahukan semua informasi yang kau punya tentang
pembunuhan di Rue Morgue.”
Kata-kata terakhir ini diucapkan dengan sangat pelan, dan
sangat tenang, sebagaimana tenangnya dia berjalan ke pintu,
menguncinya, dan mengantongi kuncinya. Lalu dia menarik
pistol dari dadanya dan menaruhnya di atas meja, tanpa ribut
sedikitpun.
Wajah si pelaut memerah seperti sedang melawan sesak
nafas. Dia bangkit dan memegang gadanya, tapi kemudian
merosot lagi ke kursi, gemetar keras, dengan muka pucat. Tak
berbicara sepatah katapun. Aku kasihan padanya dari lubuk

56
hatiku.
“Sobat,” kata Dupin, dengan nada ramah, “kegelisahanmu
tak beralasan—sungguh. Kami tak bermaksud mencelakaimu.
Aku bersumpah dengan kehormatan pria terhormat, pria
Prancis, bahwa kami tak berniat melukaimu. Aku tahu betul kau
tidak bersalah atas kekejaman di Rue Morgue. Namun, itu tidak
cukup untuk menyangkal ketersangkutanmu di dalamnya. Dari
apa yang sudah kukatakan, kau tentu tahu aku punya sarana
informasi untuk perkara ini—sarana yang tak pernah kau
bayangkan. Jadi begini. Kau tidak melakukan sesuatu yang
mesti kau hindari—tidak ada yang menjadikanmu bersalah.
Bahkan kau tidak bersalah atas perampokan, padahal bisa saja
kau merampok tanpa mendapat hukuman. Tak ada yang perlu
kau sembunyikan. Kau tak punya alasan untuk itu. Di sisi lain,
kau diikat oleh segala prinsip kehormatan untuk mengakui
semua yang kau tahu. Orang tak bersalah kini sedang dipenjara,
dituduh atas kejahatan yang bisa kau tunjuk pelakunya.”
Si pelaut kembali tenang selagi Dupin menyampaikan kata-
kata ini; tapi keberanian tadi telah pergi.
“Ya Tuhan tolong aku,” katanya, setelah membisu sesaat.
“Aku akan ceritakan semua yang kutahu tentang urusan ini,
tapi aku tak berharap kau percaya setengahnya—bodoh sekali

57
jika aku berharap begitu. Tapi tetap, aku tak bersalah, dan aku
akan berterus-terang kalau perlu.”
Inti ceritanya begini. Baru-baru ini dia berlayar ke
Kepulauan India. Satu rombongan, di mana dia anggotanya,
mendarat di Kalimantan, dan masuk ke pedalaman untuk
bersenang-senang. Dia sendiri dan seorang rekan yang
menangkap Orang Utan itu. Rekannya meninggal, hewan
tersebut otomatis jatuh ke tangannya. Setelah kewalahan,
akibat buasnya si tawanan dalam pelayaran pulang, akhirnya
dia berhasil menempatkannya dengan aman di kediamannya
sendiri di Paris. Di sana, supaya tidak menarik kecurigaan
tetangga-tetangganya, dia tetap mengasingkannya, sampai
pulih dari luka kaki akibat serpihan instalasi kapal. Tujuan
terakhirnya adalah menjualnya.
Pulang dari pesta pelaut di malam atau tepatnya di pagi
pembunuhan, dia mendapati binatang itu sedang menempati
kamar tidurnya, lepas dari pengurungan di ruang kecil sebelah.
Dengan pisau cukur di tangan, dan dipenuhi busa sabun,
binatang itu duduk di depan cermin, berusaha mencukur, pasti
meniru majikannya setelah mengintip lewat lubang kunci.
Ngeri dengan adanya senjata berbahaya di tangan binatang
buas, dan keterampilan memakainya, sesaat si pelaut bingung

58
harus berbuat apa. Namun dia sudah biasa menenangkan
makhluk ini, bahkan di saat galak-galaknya, dengan mengguna-
kan cambuk. Dia pun mengambil cara ini. Melihat ini, Orang
Utan langsung melompat keluar pintu kamar, menuruni tangga,
lalu menerobos jendela yang sialnya terbuka, menuju jalan
raya.
Si Prancis mengikuti dengan putus asa; kera itu, masih
memegang pisau cukur, sesekali berhenti untuk menoleh ke
belakang dan menggerak-gerakkan tangan ke arah pengejarnya,
sampai dia hampir menyusulnya. Lalu Orang Utan kembali lari.
Pengejaran berlanjut untuk waktu lama. Jalanan sepi, sebab
waktu itu masih sekitar jam tiga pagi. Saat menuruni sebuah
gang di belakang Rue Morgue, perhatian si buronan tertarik
pada cahaya yang memancar dari jendela terbuka di kamar
Madame L’Espanaye, di lantai empat rumahnya. Menyerbu
rumah, si kera memegang batang penangkal petir, merangkak
naik dengan ketangkasan tak terbayangkan, mencengkeram
daun jendela yang terbuka penuh ke tembok, lalu meng-
ayunkan diri persis ke atas papan kepala ranjang. Seluruh
perbuatan ini tidak memakan waktu sampai satu menit. Daun
jendela ditendang lagi sampai terbuka oleh Orang Utan
tersebut sambil masuk kamar.

59
Si pelaut, sementara itu, gembira sekaligus bingung. Dia
punya harapan kuat untuk menangkap kembali makhluk kasar
itu, karena hampir tidak mungkin kabur dari perangkap yang
dimasukinya sendiri, kecuali lewat batang penangkal petir, di
mana bisa dicegat saat turun. Di sisi lain, ada banyak alasan
untuk gelisah dengan apa yang mungkin dilakukan si kera di
dalam rumah. Pemikiran ini mendorongnya terus mengikuti si
kera. Batang penangkal petir dinaiki tanpa kesulitan, apalagi
bagi seorang pelaut; tapi, ketika dia sudah setinggi jendela,
yang berada jauh di sebelah kirinya, perjalanannya terhenti.
Yang dapat dia lakukan hanya mengintip bagian dalam kamar.
Dia nyaris terjatuh dari pegangannya karena kengerian yang
amat sangat. Jeritan-jeritan menyeramkan menjulang ke langit
malam, mengagetkan para penduduk Rue Morgue dari tidurnya.
Madame L’Espanaye dan puterinya yang berpakaian malam
rupanya habis sibuk menyusun beberapa dokumen di dalam
lemari laci besi yang tadi diceritakan, yang didorong ke tengah-
tengah ruangan. Kondisinya terbuka, dan isinya tergeletak di
sampingnya di lantai. Kedua korban pasti sedang duduk
membelakangi jendela. Dilihat dari waktu yang berlalu antara
masuknya binatang dan terdengarnya jeritan-jeritan, mungkin
kehadirannya tidak langsung disadari. Wajar saja kalau

60
kelepakan daun jendela dikaitkan dengan angin.
Ketika si pelaut menengok ke dalam, binatang raksasa itu
sudah menjambak rambut Madame L’Espanaye (yang terurai
karena baru disisir) dan sedang melambai-lambaikan pisau
cukur di sekitar wajahnya, meniru gerakan tukang cukur.
Puterinya tergolek tak berdaya dan tak bergerak, pingsan.
Jeritan dan rontaan nyonya (yang selama itu rambutnya
terkoyak dari kepala) justru mengubah maksud baik Orang Utan
menjadi kemurkaan. Dengan satu ayunan lengan berototnya, ia
hampir memutus kepala nyonya dari tubuhnya. Pemandangan
darah mengobarkan amarahnya menjadi kegilaan. Gigi meng-
gertak, mata menyala, ia menerjang tubuh si gadis kecil, dan
menanamkan cakar-cakar mengerikan ke dalam lehernya, tetap
mencengkeramnya sampai dia mati. Pandangan liar dan
menjelajah kali ini jatuh pada kepala ranjang, yang di atasnya
terlihat jelas wajah majikannya, kejur ketakutan. Amukan si
monster, yang masih mengingat cambukan menyakitkan,
seketika berubah menjadi ketakutan. Sadar dirinya pantas
dihukum, ia seperti ingin menyembunyikan perbuatan
berdarah-darahnya, dan melompat-lompat di kamar dalam
hasutan emosi; melempar dan mematahkan furnitur, menyeret
kasur dari kerangka ranjang. Terakhir, ia pertama-tama meraih

61
mayat sang puteri, dan mendorongnya ke atas cerobong,
sebagaimana ditemukan, lalu mayat sang nyonya, yang
dilemparnya keluar jendela dengan kepala duluan.
Sewaktu kera mendekati jendela dengan menggotong beban
yang termutilasi, si pelaut terperanjat mundur ke batang
penangkal. Dia meluncur, bukan merangkak turun, dan buru-
buru pulang—cemas dengan konsekuensi pembantaian ini, dan
mengabaikan nasib Orang Utan dengan senang hati. Kata-kata
yang terdengar oleh rombongan di atas tangga adalah seruan
ngeri dan takut si Prancis, bercampur dengan ocehan jahat si
binatang kejam.
Hampir tak ada yang bisa kutambahkan. Orang Utan pasti
kabur dari kamar lewat batang penangkal petir persis sebelum
pintu didobrak. Ia menutup jendela sambil melintasinya.
Kemudian ia diambil oleh pemiliknya sendiri, yang meraup
banyak uang dari penjualannya di Jardin des Plantes. Le Don
langsung dibebaskan, berdasarkan keterangan kami (disertai
beberapa komentar dari Dupin) di kantor Prefek Polisi. Pejabat
ini, meskipun bersikap baik kepada temanku, sama sekali tak
bisa menyembunyikan kekecewaannya terhadap arah skandal
ini, dan melontarkan sarkasme satu atau dua kali, bahwa
sebaiknya setiap orang memikirkan urusan sendiri.

62
“Biarkan dia bicara,” kata Dupin, yang tak merasa perlu
menanggapi. “Biarkan dia berceramah, itu akan menenangkan
hati nuraninya, aku puas sudah mengalahkannya di kastilnya
sendiri. Meski begitu, kegagalannya dalam mencari solusi
misteri ini bukanlah hal yang perlu diherankan seperti
sangkaannya. Sebetulnya kawan Prefek kita ini terlalu cerdas
hingga tidak bisa berpikir cermat. Dalam kebijaksanaannya
tidak ada keindahan. Cuma kepala, tanpa badan, seperti
lukisan-lukisan Dewi Laverna—atau paling banter, cuma kepala
dan bahu, seperti ikan kod. Tapi biar bagaimanapun orangnya
baik. Aku suka dia terutama karena satu jargon ulungnya, yang
memberinya reputasi kecerdikan. Maksudku cara dia
‘menyangkal yang ada, dan menjelaskan yang tak ada.’”

63

Anda mungkin juga menyukai