Ilustrasi untuk "Berenice" oleh Harry Clarke, dari Edgar Allan Poe's Tales of
Mystery and Imagination, 1919.
Dicebant mihi sodales, si sepulchrum amicae visitarem, curas meas
aliquantulum forelevatas.
- Ebn Zaiat .
KESENGSARAAN itu bermacam-macam. Kutukan dunia itu berbentuk-
bentuk. Mereka melintasi lebar cakrawala seperti sebuah pelangi, warnanya
pun beragam seperti warna busur itu, berbeda-beda namun dengan
mesranya berpadu. Melintasi lebar cakrawala seperti sebuah pelangi?
Bagaimana mungkin dari sebuah keindahan semacam itu dapat dihasilkan
sesuatu yang tiada cinta? –dari sebuah kovenan damai menjadi sebuah
kiasan duka? Namun sebagaimana dalam etika, bahwa kejahatan adalah
konsekuensi dari kebaikan, maka faktanya, selepas kegembiraanlah duka
akan terlahir. Ingatan kebahagiaan di masa lalu dapat berubah menjadi
kegundahan di hari ini, sama halnya dengan agoni-agoni kesenangan yang
bermula dari berbagai ekstasi duniawi.
Di antara banyak cobaan rasa sakit yang dirasakan Berenice, terdapat suatu
hal yang primer dan fatal yang mempengaruhi sebuah revolusi mengerikan
pada moral dan fisik sepupuku itu. Dapat dikatakan sebagai hal yang paling
menyedihkan dan bengal pada kodratinya, suatu jenis dari epilepsi tak
jarang menghilang saat dalam kondisi tidak sadarkan diri –tidak sadar lebih
awal menyerupakan disolusi yang positif, namun dalam kemajuan
penyembuhan Berenice, dalam contoh yang sering kali muncul, hal itu
terjadi hanya sesaat saja. Di waktu yang sama, penyakitku –aku disuruh
memanggilnya begitu karena tak ada ungkapan lain –sementara penyakitku,
tumbuh begitu cepat pada diriku, dan diperburuk keadaannya oleh
penggunaan opium. Terungkap juga akhirnya seorang karakter
monomaniak dalam bentuk yang baru dan luar biasa berbeda –tiap jam dan
hanya sesaat saja aku mendapatkan semangat hidup –dan lama-kelamaan
didapatkan dari padaku pengendalian diri yang paling sukar dipahami.
Monomania ini, jika aku harus mengistilahkannya, mencakup ke dalam
penyakit yang menganggu syaraf otak dan secara langsung mempengaruhi
sifat pikiranku, dalam ilmu metafisika diistilahkan sebagai rasa
ketertarikan. Besar kemungkinan aku pun tak sepenuhnya paham; namun
yang lebih kukhawatirkan adalah jika aku tak menemukan cara yang lebih
mudah untuk disampaikan pada pikiran pembaca awam seperti kalian. Ini
adalah sebuah gagasan tentang intensitas ketertarikan pada suatu benda,
yang mana dalam kasusku, kekuatan ketertarikan itu begitu kuat hingga
mengendalikan alam bawah sadarku.
Jangan biarkan aku disalah pahami. Perhatian yang berlebihan, intens, dan
suram seperti itu dibangkitkan oleh objek dalam ketertarikan tak berfaedah
yang kurasakan, jangan digolongkan dengan karakter-karakter yang
kecenderungan berpikirnya dianggap normal untuk seluruh umat manusia,
dan lebih khususnya mereka yang hanya dimanjakan oleh orang yang
bergairah pada imajinasi. Tanpa bermaksud menyinggung, bahkan kami
tidaklah sama, mungkin dalam dugaan awal, sebuah kondisi ekstrim atau
kecenderungan semacam itu dapat terjadi pada orang secara umum, namun
sebenarnya secara primer dan esensial berbeda dan distingtif. Contohnya,
seorang pemimpi, atau seorang penggemar, hanya tertarik pada objek yang
biasanya berfaedah atau berguna untuk dirinya sendiri. Sedangkan dalam
kasusku, objek ketertarikanku selalu saja tak berfaedah atau tak berguna
untuk diriku. Mendapatkan rasa ketertarikan yang berlebihan adalah ciri
paling signifikan dari penyakit ini. Dengan kata lain, kekuatan pikiranku
akan terlatih secara khusus, yang terjadi padaku, sebagaimana yang
kukatakan sebelumnya, adalah rasa ketertarikan luar biasa pada suatu
benda, dan yang terjadi pada para pemimpi atau penggemar, hanyalah
spekulatif semata.
Namun hal itu tampak tergoyahkan dari keseimbangan hanya karena hal
sepele, alasan yang kubuat menopang kemiripan dengan apa yang
dibicarakan oleh Ptomely Hephestion, yang mana bersiap untuk menahan
serangan dari keberangan manusia, juga amukan bergelora air dan angin,
dan hanya bergetar pada sentuhan bunga yang disebut Asphodel. Dan
meski untuk pemikir yang ceroboh, hal itu bukanlah masalah untuk
dipikirkan, that the fearful alteration produced by her unhappy malady, in
the moral condition of Berenice, would afford me many objects for the
exercise of that intense and morbid meditation whose nature I have been at
some trouble in explaining, yet such was not by any means the case. In the
lucid intervals of my infirmity, her calamity indeed gave me pain, and,
taking deeply to heart that total wreck of her fair and gentle life, I did not
fail to ponder frequently and bitterly upon the wonder-working means by
which so strange a revolution had been so suddenly brought to pass. But
these reflections partook not of the idiosyncrasy of my disease, and were
such as would have occurred, under similar circumstances, to the ordinary
mass of mankind. True to its own character, my disorder revelled in the less
important but more startling changes wrought in the physical frame of
Berenice, and in the singular and most appalling distortion of her personal
identity.
Dan selanjutnya masa upacara pernikahan kami pun tiba. Ketika di sebuah
sore di musim dingin tahun ini, –dalam salah satu kehangatan musim yang
janggal, tenang, dan hari berkabut yang mana hari itu bagaikan pengasuh si
cantik *Halcyon, –aku terduduk, sebagaimana yang kuduga, sendirian saja,
di bagian paling dalam perpustakaan, dan ketika membuka mata kulihat
Berenice sudah berdiri di hadapanku.
Jidatnya tinggi dan sangat pucat, dan secara aneh terasa terpencil; beberapa
rambut pirang terjatuh lunglai di pinggirnya, membayangi pelipis cekung
dengan lengkungan ujung rambut yang kini menghitam seperti sayap
gagak, dan bergoncang-goncang mereka, dengan ciri khas fenomenalnya,
merajai wajah sang pemilik yang melankolis. Matanya tanpa hayat, tanpa
hasrat, dan tampaknya tanpa pupil pula, aku pun menciut tanpa sekehendak
dari tatapan berkacanya ke arah bibirnya yang tipis dan menyusut. Bibirnya
memisah; dan dalam sebuah senyuman dengan maksud tertentu, gigi-gigi
dari Berenice yang kini telah berubah menyingkapkan dirinya perlahan
pada pandanganku. Kehendak tuhan bahwa aku tak pernah melihatnya,
karena jika pernah, maka sesuatu yang buruk dapat saja terjadi!
Suara hantaman pintu mengagetkanku, dan kulihat sepupuku itu telah pergi
dari ruangan. Namun dari ruangan berpenyakit dalam otakku, ia tidaklah
pergi! Tak dapat disingkirkan, betapa putih dan dahsyatnya spektrum gigi-
gigi itu. Bukan bintik kotor di permukaannya –bukan bayangan di
enamelnya –bukan indenture di tepiannya –namun jangka senyumannya itu
yang telah tercap kuat di ingatanku. Aku melihatnya lebih jelas kini di
banding aku memandangnya barusan. Gigi itu! –Gigi itu! –mereka ada di
sini, mereka ada di sana, mereka ada di mana-mana, secara jelas dan nyata
tampak di depanku: panjang, menyempit, dan sangat putih, dengan bibir
pucat yang mengeliat di sekitarnya. Lalu datanglah kegusaran penuh dari
monomaniaku, dan aku dengan sia-sianya memberontak melawan
pengaruhnya yang aneh dan tak tertahankan itu. Dari banyaknya objek-
objek di dunia luar aku tak memikirkannya sedikitpun kecuali gigi itu.
Semua hal dan segala ketertarikan yang berbeda terhisap pada satu
kontemplasinya. Mereka –hanya mereka saja yang muncul pada pandangan
mentalku, dan gigi-gigi itu, dalam individualitasnya, menjadi esensi dari
kehidupan mental diriku. Aku memegangnya di bawah setiap cahaya. Aku
membalikannya di setiap jarak ketinggian. Aku meninjau karakteristiknya.
Aku tinggal dalam keganjilannya. Aku merenung pada penyesuaiannya.
Aku melamun pada perubahan alamiahnya –ah sepertinya aku sangat
menginginkan benda itu! Aku merasa keberadaan benda itu dapat
mengembalikan kedamaian jiwaku, dan juga mengembalikan akal sehatku
yang kini kurasa tengah tenggelam dalam hasrat pikiranku.
Malam pun menutup dirinya kepadaku dan kegelapan tiba, tinggal begitu
lama, lalu pergi –dan hari kembali menyingsing –kabut dari malam kedua
kini berkumpul –dan aku masih saja duduk terdiam di ruangan senyap itu;
terduduk dalam posisi meditasi, dan masih saja phantasma gigi-gigi itu
mempertahankan dominasi mengerikannya, dengan detail memuakan yang
paling jelas, mereka melayang di antara cahaya dan bayangan dalam
ruangan. Lalu tiba-tiba merasuk ke dalam mimpiku sebuah teriakan horor
yang mencemaskan; dan setelahnya, menyusul suara-suara yang bersusah
hati, berbaur dengan banyak rintihan rendah dan sengsara, atau dalam
penderitaan. Aku bangkit dari kursiku, lalu membuka salah satu pintu
perpustakaan, di lorong seorang pembantu terlihat sedang berdiri, ia
menangis, dan mengatakan padaku bahwa Berenice – telah tiada. Ia
terserang epilepsi subuh tadi, dan kini, di akhir malam, sebuah makam
telah siap untuk jenazahnya, dan segala persiapan untuk pemakamannya
pun telah selesai.
Ia menunjukan sebuah garmen; –kain itu keruh dan bergumpal oleh organ
dalam. Aku tak mengatakan apapun, dan ia meraih tanganku pelan; –tangan
itu berbekas oleh cengkraman kuku manusia. Dan terakhir ia mengarahkan
perhatianku pada suatu objek di depan tembok; –Aku memperhatikannya
beberapa saat; –itu adalah sebuah sekop. Dan tiba-tiba sebuah ingatan
mengerikan merasuki kepalaku. Dengan berteriak aku pun melonjak ke
pinggir meja, dan mencengkram lalu berusaha membuka kotak kecil yang
ada di atasnya. Namun aku tak dapat membukanya; dengan keadaan
gemetar kotak itu terjatuh dari tanganku, terjatuh begitu keras hingga
hancur berkeping-keping; dan dari dalamnya, dengan suara yang
menggeretak, menggulir beberapa alat operasi gigi, berbaur dengan benda
kecil berjumlah tiga puluh dua, benda kecil berwana putih gading yang
berlumuran darah itu kini berceceran di atas lantai.
KESALAHAN itu bermacam-macam. Kesengsaraan bumi itu beraneka
ragam. Menjangkau cakrawala yang luas seperti pelangi, ronanya
beragam seperti rona lengkungan itu - sama berbedanya, namun
menyatu dengan erat. Mencapai cakrawala yang luas seperti
pelangi! Bagaimana mungkin dari kecantikan saya memperoleh
sejenis ketidak-indahan? - dari perjanjian perdamaian, perumpamaan
kesedihan? Tetapi sebagaimana, dalam etika, kejahatan adalah
konsekuensi dari kebaikan, demikian pula, sebenarnya, dari
kegembiraan lahirlah kesedihan. Entah ingatan akan kebahagiaan
masa lalu adalah penderitaan hari ini, atau penderitaan yang ada,
berasal dari ekstasi yang mungkin terjadi.
Nama baptis saya adalah Egaeus; yang dari keluarga saya tidak akan
saya sebutkan. Namun tidak ada menara di negeri ini yang lebih
dihormati daripada aula turun-temurun saya yang suram, abu-
abu. Garis kami telah disebut ras visioner; dan dalam banyak hal yang
mencolok - dalam karakter rumah keluarga - dalam lukisan dinding di
salon utama - di permadani asrama - dalam memahat beberapa
penopang di gudang senjata - tetapi lebih khusus lagi di galeri lukisan
antik - di mode ruang perpustakaan - dan, terakhir, dalam sifat isi
perpustakaan yang sangat aneh - ada lebih dari cukup bukti untuk
menjamin kepercayaan.
Di kamar itu aku lahir. Jadi terbangun dari malam yang panjang dari
apa yang tampak, tetapi bukan, nonentitas, sekaligus ke daerah-
daerah negeri dongeng - ke dalam istana imajinasi - ke dalam
kekuasaan liar pemikiran dan pengetahuan monastik - bukanlah satu-
satunya yang saya lihat ke sekeliling. saya dengan mata terkejut dan
bersemangat - bahwa saya membuang masa kecil saya dalam buku,
dan menghabiskan masa muda saya dalam lamunan; tetapi luar biasa
bahwa ketika tahun-tahun berlalu, dan tengah hari kedewasaan
menemukan saya masih di rumah ayah saya - sungguh menakjubkan
stagnasi apa yang menimpa mata air kehidupan saya - menakjubkan
betapa total pembalikan terjadi dalam karakter pikiran saya yang
paling umum. Realitas dunia memengaruhi saya sebagai penglihatan,
dan hanya sebagai penglihatan, sementara gagasan liar dari tanah
impian, pada gilirannya, menjadi bukan materi dari keberadaan saya
sehari-hari, tetapi dalam perbuatan yang benar-benar keberadaan itu
sendiri. .
*******
Berenice dan saya adalah sepupu, dan kami tumbuh bersama di aula
ayah saya. Namun secara berbeda kami tumbuh - saya, sakit, dan
terkubur dalam kesuraman - dia, gesit, anggun, dan penuh dengan
energi; miliknya, jalan-jalan di sisi bukit - menambang studi
biara; Saya, hidup di dalam hati saya sendiri, dan kecanduan, tubuh
dan jiwa, pada meditasi yang paling intens dan menyakitkan - dia,
berkeliaran dengan ceroboh sepanjang hidup, tanpa memikirkan
bayang-bayang di jalannya, atau penerbangan sunyi dari jam-jam
bersayap gagak . Berenice! -Saya memanggil namanya - Berenice! -
dan dari puing-puing ingatan yang kelabu, seribu ingatan yang kacau
dikejutkan oleh suara itu! Ah, jelas sekali bayangannya di hadapanku
sekarang, seperti pada hari-hari awal keceriaan dan
kegembiraannya! Oh, keindahan yang indah namun fantastis! Oh,
sylph di tengah semak-semak Arnheim! Oh, Naiad di antara air
mancurnya! Dan kemudian - maka semuanya adalah misteri dan teror,
dan sebuah kisah yang tidak boleh diceritakan. Penyakit - penyakit
fatal, jatuh seperti simoon di atas tubuhnya; dan, bahkan saat aku
menatapnya, semangat perubahan melanda dirinya, meliputi
pikirannya, kebiasaannya, dan karakternya, dan, dengan cara yang
paling halus dan mengerikan, bahkan mengganggu identitas
pribadinya! Sayang! perusak datang dan pergi! - dan korbannya -
dimana dia? Saya tidak mengenalnya - atau tidak mengenalnya lagi
sebagai Berenice.
*******
*******