Anda di halaman 1dari 73

DASAR-DASAR PENGETAHUAN

DASAR-DASAR PENGETAHUAN

Binatang memiliki pengetahuan, tetapi hanya terbatas untuk mempertahankan jenisnya. Manusia mampu menalar, artinya berfikir secara logis dan analitis. Karena kemampuanya menalar dan karena mempunyai bahasa untuk mengkomunikasikan hasil pemikirannya yang abstrak, maka manusia bukan saja mempunyai pengetahuan, melainkan juga mampu mengembangkannya. Pengetahuan I tu diperoleh manusia bukan hanya dengan penalaran, melainkan juga dengan kegiatan berfikir lainnya, dengan perasaan dan intuisi. Pengetahuan juga dpat diperoleh lewat wahyu. Induksi dan deduksi merupakan inti penalaran logika-empiris Kegiatan berfikir ilmiahini menggunakan baik teori kohrernsi maupun teori korespondensi dalam menetapkan kebenaran hasilnya. www. Kemampuan melnalar menyebabkan manuisa mampu mengembangkgan pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaannya. Secara simbolik manusi amemakan buah pengetahuan lewat Adam dan Hawa dan setelah itu manusia harus hidup berbekal pengetahuan ini. Dia mengetahui yang mana yang benar dan mana yang salah, yang mana yang baik dan yang mana yang buruk, serta mana yang indah mana yang jelek. Secara terus menerus dia dipaksa harus mengambil pilihan; Mana jalan yang benar mana jalan yang salah, mana tindakan yang baik mana tindakan yang buurk, dan apa yang indah dan apa yang jelek. Dalam melakukan pilihan ini manusia berpaling kepada pengetahuan.1 Manusia adalah satu-satunya mahluk yang mengembankan pengetahuan ini secara

sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan, namun pengetahaun ini terbatas untuk kelangsungan hidupnya (survival). Seekor kera tahu mana buah jambu yang enak. Seekor anak tikus tahu mana kucing yang ganas. Anak tikus ini tentu saja di ajari induknya untuk sampai pada pengetahuan bahwa kucing itu berbahaya. Tetapi juga dalam hal ini, berbeda dengan tujuan p endidikan manuisa, anak tikus hany adai ajari hal-hal y ang menyangkut kelangsungan hidupnya. Manusia mengembangkan pengetahuannya mengatasikebutuhan kelangsungan hidup ini. Dia memikirkan hal-hal baru, menjelajah ufuk baru, karena dia hidup bukan sekedar untuk

Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang di makan Adam, tapi buah alpukat Taufiq Ismail dalam Sajak Ladang Jagung ( Jakarta : Budaja Djaja, 1973), p. 54.

kelangsungan hidup, namun lebih dari itu. Manusia mengembangkan kebudayaan; manusia memberi makna kepada kehidupannya; manusia memanusiakan diri dalam hidupnya; dan maih bnayak lagi pernyataan semacam ini. Semua itu pada hakekatnya menyimpulkan bahwa manusia itu dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan h idupnya. Inilah yang meneybabkan manusia mengembangkan pengetahuannya; dan pengetahuan ini jugalah yang mendorong manuia menjadi mahluk yang bersifat khas di muka bumi ini. Pengetahuan ini dapt dikembanagkan manusia disebabkan dua hal utama, yakni pertama, manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan fikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Seekor beruk bisa saja memberikan informasi kepada kelompoknya baha ada segerombolan gorila datang menyerang. Namun bagaimana pun berkembang bahasanya, dia atidak mampu mengkomunikasikan kepada beruk-beruk lainnya. Jalan fikiran yang analitis mengenai gejala tersebut. Tidak ada seekkor anjing pun, kata Bertrand Russel, yang berkata ke pada temannya. Ayahku miskin namun jujur. Kalimat ini berasal dari drama Shakespeare yanga terkanal. Dan tidak ada seekor anjing pun, sambung Adam Smith, yang secara sadar tukar-menukar tulang dengan temannya. Adam Smith dalam hal ini berbicara tentang prinsp ekonomi, yakni proses pertukaran yang dilakukan homo economicus, yang mengembangkan pengetahuan berupa ilmu ekonomi. Sebab kedua, yang menyebabkan manusia mampu mengembanagkan pengetahuannya dengan cepat dan mantap, adalah kemampuan berfikir menurut suatu alur kerangka berfikir tertentu. Secara garis besar cara berfikri seperti ini disebut penalaran. Binatang mampu berfikir namun tidak mampu berfikir nalar. Beda utama antara seorang profesor nuklir dengan anak kecil yang membangun bom atom dari pasir di play groupnya tempat dia melakukan riset terletak pada kemampuannya dalam menalar. Instink biantang jauh lebih peka dari instink seorang insinyur geologi. Mereka sudah jauh-jauh berlindung ke tempat yanag aman sebelum gunung meletus, faktor apa yang menyebabkannya, apa yang dapat dilakuakn untuk mencegah semua itu terjadi. Dua kelebihan inilah yang memungkinkan manusia mengembangkan pengetahuannya yakni bahasa yang bersifat k omunikataif dan fikiran yang mampu menalar. Tentu saja tidak semua pengetahuan berasal dari proses penalaran; sebab berfikir pun tidak semuanya berdasarkan penalaran. Manusia bukan semata-mata mahluk y ang berfikir; sekedar homo sapiens yang steril. Manusia adalah mahluk yang berfikir, merasa dan mengindera; dan totalitas

pengetahuannya berasal dari ketig asumber tersebut; di samping wahyu; yang merupakan komunikais Sang Pencipta dengan mahluknya. Memang penalran otak orang luar biasa, Simbpul cendekiawan Bos Bubalus membacakan makalahnya (di klinik Fakultas Kedokteran Hewan, Jalan Taman Kencana, Bogor). Meskipun penelitian kamu menunjukkan, bahwa secara kimia dan fisika, otak kerbau mirip otak manusia 2 (Sungguh, kalau digulai, otak Taufiq Ismail lezat juga kelihatannya!).

Hakekat Penalaran Penalaran merupakan suatu proses berfikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakekatnya merupakan mahluk y ang berikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindkannya bersumber pada pengetahuan yang didapatkan lewat kegiatan merasa atau berfikir. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berfikri dan bukan denganperasaan, meskipun seperti dikatakan Pascal, hati pun memunyai logikanya tersendiri. Meskipun demikian patut kita sadari bahwa tidak semua kegiatan berfikir menyandarkan diri kepada penalaran. Jadi penalaran merupakan kegiatan berfikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran. Berfikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang, adalah tidak sama maka oleh sebab itu kegiatan proses berfikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu pun juga berbeda-beda. Dapat dikatakan bahwa tiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai kriteria kebenaran, dan kriteria

kebenaran ini merupakan landasan bagi proses penemuan kebenaran tersebut. Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran di mana tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kriteria kebenarannya masing-masing. Sebagai salah satu kebiatan berfikir maka penalran mempuyai ciri-ciri tertentu. Ciri yang pertama adalah adanya suatu pola berfikir yang secara luas dapat disebut logika. Dalam hal ini maka dapat kita katakan bahwa tiap bentuk penalaran mempunyai logikanya tersendiri. Atau dapat juga disimpulkan bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu proses berfikir logis. Di mana berfikir logis di sini harus diartikan sebagai kegiatan berfikir menurut suatu pola tertentu,
2

Taufiq Ismail, Kisah Felis, Capra dan Bos, (Felis catus adalah kucing; Capra aegagrus adalah kambing; dan Bos bubalus adalah kerbau) dalam Taufiq Ismail Membaca Puisi, Taman Ismail Marzuki, 30 dan 31 Januari 1980, p. 10.

atua dengan perkataan lain, menurut logika tertentu. Hal ini patut kita sadari bahwa berfikir logis itu memunyai konotasi yang bersifat jamak (plural) dan bukan tunggal (singuar). Suatu kegiatan berfikir bisa disebut logis ditinjau dari suatu logika tertentu, dan mungkin tidak logis bila ditinjau dari sudut logika y ang lain. Hal ini sering menimbulkan gejala apa yang dapat kita sebut sebagai kekacauan penalaran yang disebabkan oleh tidak konsistennya kita dalam mempergunakan pola berfikir tertentu. Ciri yang kedua, dari penalaran adalah sifat analitik dari proses berfikirnya Penalaran merupakan suatu kegiatan berfikir yang menyandarkan diri kepada suatu analisis, dan kerangka berfikir yang dipergunakan untuk analisis tersebut adalah logika p enalaran yang bersangkutan. Artinya penalaran ilmiah merupakan suatu kegiatan analisis yang mempergunakan logika ilmaiah, dan demikian juga penalran lainnya yang mempergunakan logikanya tersendiri pula. Sifat analitik ini, kalau kita kaji lebih jauh, merupakan konsekuensi dari adanya suatu pola berfikir tertentu. Tanpa adanya pola berfikir tersebut maka tidak akan ada kegiatan analisis, sebab analisis pada hakekatnya merupakan suatu kegiatan berfikir berdasarkan langkah-langkah tertentu. Seperti kita sebutkan terdahulu tidak semua kegiatan berfikir mendasarkan diri kepada penalaran. Berdasarkan kriteria penalran tersebut di atas maka dapat kita katkan bahwa tidak semua kegiatan berfikir bersifat logis dan analitis. Atau lebih jauh dapat kita simpulkan cara berfikir yang tidak termasuk ke dalam penalaran bersifat tidaklogis dan atidak analitik. Dengan demikian, maka kita dapat membedakan secara garis besar ciri-ciri berfikir menurut penalaran dan berfikir yang bukan berdasarkan penalaran. Perasaan merupakan suatu penarikan kesimpulan yang tidak berdasrskan penalaran. Kegiatan berfikir juga ada yang atidak berdasarkan penalaran umpamanya adlah intuisi. Intuisi merupakan suatu kegiatan berfikir yang non-analitik yang tidak mendasarkan diri kepada suatu pola berfikir tertentu. Berfikir intuitif ini memegang peranan yang penting dalam masyarakat yang berfikir non-analitik, yang k emudian seirng bergaglau dengan perasaan. Jadi, secara luas dapat kita katakan bahwa cara berfikir masyarakt dapat dikategorikan kepada cara berfikir analitik yang berupa penalaran dan cara berfikir yang non-analitik yang berupa intuisi dan perasaan. Di samping itu, masing terdapat bentuk lain dalam usah amanusia untuk mendapatkan pengetahuan yakni wahyu. Di tinjau dari hakekat usahanya, maka dalam rangka menemukan

kebenarna, kita dapat bedakan dua jenis pengetahuan. Yang pertama adalah pengetahuan yang didapatkan sebagai hail usah ayang aktif dari manusia untuk menemukan kebenarna, baik melali penalaran maupun lewat kegiatan lain seperti perasaan dan intuisi. Di pihak lain terdapat bentuk pengetahuan yang kedua, yang bukan merupakan kebenaran yang di dapat sebagai hasil usaha aktif dari manusia. Dalam hal ini, maka pengetahuan yang di dapat itu bukan beupa kesimpulan sebagai produk dari usaha aktif manusia dalam menemukan kebenaran, melainkan berpa pengetahuan yanag diwartakan atau diberitakan. Umpamanya wahyu yang diberitakan Tuhan lewat malaikat-malaikat dan nabi-nabinya. Manusia dalam menemukan kebenaranini bersifat pasif sebagai penerima pemberitaan tersebu, yang kemudian dipercaya atau tidak dipercaya, berdasarkan masing-masing keyakinannya. Pengetahuan juga dapt kita tinjau dari sumber yang memberikan pengetahuan tersebut. Dalam hal wahyu dan intuisi secara implisit kita menagakui bahwa wahyu (atau dalam hal ini Tuhan yang menyampaikan wahyu) dan intuisi adalah sumber pengetahuan. Dengan wahyu maka kita mendapatkan pengetahuan lewat keyakinan (kepercayaan) bahwa yang diwahyukan itu adlah benar. Demikian juga dengan intuisi, di mana kita percaya bahwa intuisi adalah sumber pengetahuan yang benar, meskipun kegiatan berfikir untuitif tidak mempunyai logika atau pola berfikir tertentu. Jadi dalam hal ini bukan saja kita berbicara mengenai pola penemuan pengetahuan yang berasal dari sumber

kebenaran melainkan juga sudah mencakup materi kebenaran tertentu.

Dalam hal penalran maka kita belum berbicara mengenai maeri dan sumber pengetahuan tersebut, sebaba seperti kita katkan terdahulu, penalran hanya merupkan cara baerfikir tertentu. Untuk melakukan kegaitan analisis maka kegiatan penalaran tersebut harus diisi dengan materi pengetahuan yang berasal dari suatu sumber kebenaran. Pengetahuan yanag dipergunakan dalam penalaran pada dasarnya bersumbe pada rasio atau fakta. Mereka yang berpendapat bahwa rasio adalah sumber kebenaran mengembangkan faham yang kemudian disebut sebagai rasionalisme. Sedangkan mereka yang menyatakan bahwa fakta yang tertangkap lewat pengalaman manusia merupakan sumber kebenaran mengembangkan faham empirisme. Penalaran yang akna dikaji dalam studi ini pada pokoknya adalah penalaran ilmiah, sebab usha kita dalam mengembangkan kekuatanpenalaran merupakan baigan dari usaha untuk meningkatkan mutu ilmu dan teknologi. Penalaranilmiah pada hakekatnya merupakan gabungan dari penalaran deduktif dan induktif, di mana lebih lanjut penalaran deduktif terkait dengan

rasionalisme, dan penalaran induktif dengan empirisme. Oleh sebab aitu, maka dalam rangka mengkaji penalaran ilmiah maka kita terlebih dulu harus menelaah dengan seksama penalaran deduktif dan induktif tersebut. Setelah itu, akan ditelaah bermacam-macam sumber pengetahuan yang ada yakni rasio, pengalaman, intuisi, dan wahyu. Pengetahuan mengenai hakekat hal-hal tersebut memungkinkan kita untuk menelaah hakekat hal-hal tersebut memungkinkan kita untuk menelaah hakekat ilmu dengan seksama.

Logika Alkisah, menurut cerita yang terdapat dalam khasanah humor ilmiah, seorang peneliti ingin menemukan apa yang sebenarnya menyebabkan manuia itau mabuk. Untuk itu dia mengadakan penyelidikan dengan mencampur berbagai minuman keras. Mula-mula ia mencampur aiar dengan wisky luar negeri yang setelah dengan habis diteguknya maka dia pun terkapar mabuk. Setelah siuman dia mencampur air dengan TKW, wisky lokal yang diminum di pinggir jalan samabil mengisak kretek, ternyata campuran ini pun menyebabkan dia mabuk. Akhirnya dia mencampur air dengan tuak yang juga, seperti kedua campuran terdahulu, menyebabkan dia mabuk. Berdasarkan penelitian itu maka dia menyimpulkan bahwa airlah yang menyebabkan manusia itu mabuk. Benra-benar masuk akal, bukan, namun apakah hal itu benar ? Penalaran merupakan suatu proses berfikir yang membuahkan pengetahuan. Agara pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka pross berfikir itu harus dilakukan melalui suatu cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu tersebut. Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika, bilamana logika secara luas dapat didefinisikan sebagai Pengkajian untuk berfikir secara sahih.3 Terdapat bermacam-macam cara penarikan kesimpulan, namun, agar sesuai dengan tujuan studi yang memusatkan diri kepada penalaran ilmiah, kita akan melakukan penelaahan yang seksama hanya terhadap dua jenis car apenarikan kesimpulan, yakni logika induktif dan logika deduktif. Logika induktif erat hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat

umum. Sedangkan di pihak lain, kita mempunyai logika deduktif, yang membantau kita dalam menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus bersifat individual.

William S. Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, Realms of Philosophy (Cambridge, Mass:Schenkinan, 1965).

Induksi merupakan cara beaarfikri di man aditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Katakanlah umpamanya kita mempunyai fakta bahwa kambing mempunyai mata, gajah mempunyai mata, demikian juga dengan singa, kuicng, dan berbagai binatang lainnya. Dari kenyataan-kenyataan ini kita dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum yakni semua binatang amempunyai mata. Kesimpulan yang bersifat umum ini p enting artinya sebab mempunyai dua keuntungan. Keuntungan yang pertama adalah bahwa pernyataan yang baersifat umum ini bersifat ekonomis. Kehidupan yang beraneka ragam dengan berbagai corak dan segi dapat direduksikan menjadi beberapa pernyataan. Pengetahuan yang dikumpulkan manusia bukanlah merupakan koleksi dari berbagai fakta melainkan esensi dari fakta-fakta tersebut. Demikian juga dalam pernyataan mengenai fakta yang dipaparkan, pengetahuan tidak bermaksud membuat reproduksi dari obyek tertentu, melainkan menekankan kepada struktur dasar yang menyangga ujud fakta tersebut. Pernyataan yang bagaimanapun lengkap dan cermatnya tidak bisa mereproduksikan betapa manisnya semangkuk kopi atau pahitanya sebutir pel kina. Pengetahuan cukup puas dengan pernyataan e.enter yang bersifat kategoris bahwa akopi itu manis dan pel kina itu pahit. Pernyataan seperti ini sudah cukup bagi manusia untuk bersifat fungsional dalam kehidupan praktis dan baerfikir teoretis. Keuntungan yang kedua dari pernyataan yang bersifat umum adalah dimungkinkannya proses penalaran selanjutnya baik secara induktif maupun secara deduktif. Secara induktif maka dari berbagai pernyataan yang bersifat umum dpat disimpulkan pernyataan yang bersifat lebih umum lagi. Umpamanya melanjutkan conth kita terdahulu, dari kenyataan bahwa semua binatang mempunyai mata dan semua manusia mempunyai mata, dapat ditarik kesimpulan bhwa semua mahluk mempunyia mata. Penalaraan seperti ini memungkinkan disusunya pengetahuan secara sistematis yang mengarah kepada pernyataan-pernyataan yang makin lama makin bersifat fundamental. Penalaran deduktif adalah kegiatan berfikir yang sebaliknya dari penalaran induktif. Deduksi adalah cara berfikir di mana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola aberfikir yang dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah

kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang di dapat dari penalaran deduktif berdasarkan kedua premis tersebut. Dari contoh kita sebelumnya kita dapat membuat silogismus sebagai berikut : Semua mahluk mempunyai mata Si Polan adalah seorang mahluk Jadi Si Polan mempunyai mata (premis mayor) (premis minor) (kesimpulan)

Kesimpulan yang diambil bahwa si Polan mempunyai mata adalah sah menurut penalaran deduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua premis yang mendukugnya. Pertanyaan apakah kesimpulan itu benar maka hal ini harus dikemballikan kepada kebenaran premis yang mendahuluinya. Sekiranya kedua premis yang mendukungnya adalah benar maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan yang ditariknya juga adalah benar. Mungkin saja kesimpulan itu salah, meskipun kedua premisnya benar, sekiranya cara penarikan kesimpulannya adalah tidak sah. Dengan demikian maka ketepatan penarikan kesimpulan tergantung dari tiga hal yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor dan keabsahan pengambilan kesimpulan. Sekiranya salah satu dari ketiga unsur tersebut persyaratannya tidak dipenuhi maka kesimpulan yang ditariknya akan salah. Matematika adalah pengetahuan yang disusun secara deduktif. Argumentasi matematik seperti a sama dengan b dan bila b sama dengan c, maka a sama dengan c merupakan suatu penalaran deduktif. Kesimpulan yang berupa pengetahuan baru bahwa a sama dengan c pada hakekatnya bukan merupakan pengetahaun baru dalam arti yang sebenarnya. Melainkan sekedar konsekuensi dari dua pengetahuan yang sudah kita ketahui sebelumnya. Yakni bahwa a sama dengan b dan b sama dengan c. Tidak pernah ada kejutan dalam logika, simpul Wittgenstein, sebba pengetahuan yang diperoleh adalah kebenaran tautologis.4 Namun benarkah ulangan matematika tidak pernah menimbulkan surprise, seperti pertanyaan Taufiq Ismail dalam Sajak Ladang Jagung: bagaimanakah kalu bumi bukan bulat, tapi segi empat ?5

4 5

Ludwig von Wittgenstein, Tractacus Logico Philosophicus (London : Routledge dan Kegan Paul, 1972), p. 129). Taufiq Ismail, loc.cit.,

Sumber Pengetahuan De omnibus dubitandum! Ragukan segala sesuatu ! desak Rene Descartes. Namun segala yang ada dalam hidup ini dimulai dengan sesuatu, bahkan juga Hamlet si peragu, yang berseru kepada Ophelia :6 Ragukan bahwa bintang-bintang itu api; Ragukan bahwa matahari itu bergerak; Ragukan bahwa kebenaran itu dusta; Tapi jangan ragukan cintaku. Kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu ! Baik logika deduktif maupun logika induktif, dalam proses penalarannya,

mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar. Kenyataan ini membawa kita kepada sebuah pertanyaan : Bagaimanakah caranya kita mendapatkan pengetahuan yang benar itu ? Pada dasarnya terdapat dua cara yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio dan yang kedua mendasakan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan faham apa yang kita kenal dengan rasionalisme. Sedangkan mereka yang mendasarkan diri kepada pengalaman mengembangkan faham yang disebut dengan empirisme. Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang di pakai dalam penalarannya didapatkan dari idea yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Idea ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Prinsi pitu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia beruaha memikirkannya. Paham dikenal dengan nama idealisme. Fungsi fikiran manusia hanyalah mengenali prinsip tersebut yang allu menjadi pengetahuannya. Prinsi pitu sendiri sudah ada dan bersifat apriori dan dapat diketahui oleh manusia lewat kemampuan berfikir rasionalnya. Pengalamn tidaklah membuahkan prisnp dan justru sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran rasional itaulah maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita. Secara singkat dapat dikatakan bahwa idea bagi kaum rasionalis adalah bersifat apriori dan pra pengalaman yang didapatkan manusia lewat penalaran rasional.
6

Doubt thou the stars are fire; Doubt the sun doth move; Doubt truth to be a liar; But never doubt I love.

Masalah utama yang timbul dari cara berfikir ini adalah mengenal kriteria untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu idea yang menurut seseorang adalah jelas dan dapat dipercaya. Idea yang satu bagi si A mungkin bersifat jelas dan dapat dipercaya namun hal I tu belum tentu bagi si B. Mungkin saja bagi si B menyusun sistempengetahuan yang sama sekali lain dengan sistempengetahuan si A karena is B mempergunakan idea lain yang bagi si B merupakanprinsip yang jelas dan dapat dipercaya. Jadi masalah utama yang dihadapi kaum rasionalis adalah evaluasi dari kebenaran premis-premis yang dipakainya dalam penalaran deduktif. Karena premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak dan terbebas sari p engalaman maka evaluasi semacam ini tidak dapat dilakukan. Oleh sebab itu, maka lewat penalaran nrasional akan didapatkakn bermacam-macam pengetahuan mengenai satu obyek tertentu tanpa adanya suatu konsensus yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam hal ini maka pemikiran rasional cenderung untuk bersifat solipsistik7 dan subyektif. Berlainan dengan kaum rasionalis maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional y ang abstrak namun lewat pengalman yang konkrit. Gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum empiris aadlah bersifat konkrit dan dapat dinyatakanlewat tangkapan pancaindera manusia. Gejala itu kalau kita telaah lebih lanjut mempunyai beberapa karakteristik tertentu umpamanya saja terdapat pola yang teratur mengenai suatu kejadian tertentu. Suatu benda padat kalau dipanaskan akan memanjang. Langit mendung diikuti dengan turunnya hujan. Demikian setersnya di mana penamatan kita aakan membuahkan pengetahuan mengenai berbagai gejala y ang mengikuti pola-pola tertentu. Di samping itu kita melihat adanya karakteristik lain yakni adanya kesamaan danpengulangan umpamanya asja bermacam-macam logam kalau kita panaskan akan memanjang. Hal ini memungkinkan kita untuk melakukan suatu generasisasi dari berbagai kasus yang telah terjadi. Dengan mempergunakan metode induktif maka dapat disusun pengetahuan yang berlaku secara umum lewat pengamatan terhadap gejala-gejala fisik yang bersifat individual. Masalah utama yang timbul dlampenyusunanpengetahuan secara empris ini ialah bahwa pengetahuan yang dikumpulkan itu cenderung untuk menjadi suatu kumpulan fakta-fakta. Kumpulan tersebut belum tentu bersifat konsisten dan mungkin saja terdapat hal-hal yang

(William Shakespeare, Hamlet, Babak II, Adegan 2). 7 Hanya benar dalam kerangka pemikiran tertentu yang berada dalam benak orang yang berfikir tersebut.

bersifat kontradiktif. Suatu kumpulan mengenai fakta, atau kaitan antara berbagai fakta, belum menjamin terwujudnya suatu sistempengetahuan yang sistematis; kecuali kalau dia terdapat metode induktif yang memungkin berkembangnya konsep dasar suatu ilmu.9 Kaum empiris menganggap bahwa dunia fisik adalah nyata karena merupakan gejala yang tertangkap oleh pancaindera. Hal ini membawa kita kepada dua masalah. Pertama, sekiranya kit amengetahui dua fakta yangnyata, umpamanya rambut keriting dan intelegensi manusia, bagaimana kita merasa pasti mengenai kaitan antara kedua fakta tersebut ? Apakah rambut keriting dan inteleigensi manusia mempunyai kaitan satu sama lain dalam hubungan kausalitas ? Sekiranya kita mengatakan tidak, bagaimana sekiranya penalaran induktif membuktikan sebaliknya ? Pertanyaan tersebut mengingatkan kita bahw ahubungan antara berbagai fakta tidaklah nyata sebagaimanayang kita sangka. Harus terdapat suatu kerangka pemikiran yang memberi latar belakang mengapa X mempunyai hubungan dengan Y, sebab kalau tidak, maka pada hakekatnya semua fakta dalam dunia fisik bisa saja dihubungkan dlam kaitan kausalitas. Masalah yang kedua adalah mengenai hakekat pengalaman yang merupakan cara dalam menemukan pengetahuan dan pancaindera sebagai alat yang menangkapnya. Pertanyaannya adalah apakahyang sebenarnya dinamakan pengalaman ? Apakah hal ini merupakan stimulus pancaindera ? Ataukah persepsi ? Atau sensasi ? Sekiranya kita mendasarkan diri kepada pancaindera sebagai alat dalam menangkap gejala fisik yang nyata maka seberapa jauh kita dapat mengandalkan pancaindera tersebut ? Ternyata kaum empiris tidak bisa memberikan jawaban yang meyakinkan mengenai hakekat pengalman itu sendiri. Sedangkan mengenai kekurangan pancaindera manusia ini bukan merupakan sesuatu yang baru bagi kita. Pancaindera manusia sangat terbatas kemampuanya dan terlebih pentin glagi pancaindera manusia bisa melakukan kesalahan. Contoh yang biasa kita lihat sehari-hari ialah bagaimana taongkat lurus yang sebagian terendam di dalam aira akan kelihatan menjadi abeangkok. Haruskah kita mempercayai hal semacam ini sebagai dasar unatuk menyusun pengetahuan ? hanya seorang kolektor barang-barang serbanka.8 Lebih jauh Einstein mengingatkan bahwa tidak

8 9

Harold A. Larrabee, Reliable Knowledge (Boston : Houghton-Miflin, 1964), p. Albert Einstein, Physics and Reality, Journal of Franklin Institute, 232 (1936). P. 348-89.

Di samping rasionalisme dan empirisme masih terdapat cara untuk mendapatkan pengetahuan yang lain. Yang penting untuk kita ketahui adalan intuisi dan wahyu. Sampai sejauh ini, p engetahuanyang didapatkan secara rasional maupun secara empiris, kedua-duanya merupakan prosuk dari sebuah rangkaian penalaran. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah atiba-tiba aja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Tanpa melali proses berfikir yang berliku-liku tiba-tiba ssaja dia sudah sampai di situ. Jawaban atas permasalaahn yang sedagn dipikirkannya muncul di benaknya bagaiman kebenaran yang membukakan pinatu. Atau bisa juga, intusi ini bekarja dlam keadaan yang tidak sepenuhnya sadar, artinya jawaban atas suatu permasalahan ditemukan tidak pada waktu orang tersebut secara sadar sedang menggelutinya. Suatu masalah yang sedang kita fikirkan, yang kemudian kita tunda karena menemui jalan buntu, tiba-tiba saja muncul di benak kita yang lengkap dengan jawabannya. Kita merasa yakin bahwa memang itulah jawaban yang kita cari namun kita tidak bisa menjelaskan bagaimana caranya kita sampai ke sana. Kegiatan intuitif ini snaga tbersifat personal dan atidak bisa diramalkan. Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur maka intuisi ini tidak bisa diandalkan. Pengetahuan intuitif dapat dipergunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakannya. Kegiatan intuitif dan analitik bisa bekerja saling membantu dalam menemukan kebenaran. Bagi Maslow intuisi ini merupakan pengalaman puncak (peak experience),10 sedangkan bagi Nietschze merupakan intelegensi yang paling tinggi.11 Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia.

Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutusnya sepanjang zaman. Aagma merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transendental seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti. Pengetahuan ini didasarkan kepada kepercayaan akan hal-hal yang gaib (supernatural). Kepercayaan kepada Tuhan yang merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada nabi sebagai perantara dan kepercayaan terhadap wahyu
10

Dikutip dalam Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt, Invitation to Philosophy (Belmont, Cal. : Wadsworth, 1968), p. 72. 11 Dikutip dalam George F. Kneller, Introduction to the Philosophy of Education (New York : John Wiley, 1969), p. 10.

sebagai cara penyampaian, merupakan dasasr dari penyusunan penetahuanini, Kepercayaan merupakan titik tolak dalam agama. Suatu pernyataan harus dipercaya dulu untuk dapat diterima. Pernyataan ini bisa saja selanjutnya dikaji denganmetode yang l ain. Secara rasional bisa dikaji umpamanya apakah pernyataan-pernyataan yang terkandung di dalamnya bersifat konsisten atau tidak. Di pihak lain, secara empiris bisa dikumpulkan fakta-fakta yang percaya, dan lewat pengkajian selanjutnya kepercayaan itu bisa meningkat atau menurun. Pengetahuan lain, seperti ilmu umpamanya, bertitik tolak sebaliknya. Ilmu dimulai dengan rasa tidak percaya, dan setelah melaluiproses pengkajianilmiah, kita bisa diyakinkan atau tetap pada pendirian semula.

Kriteria Kebenaran Seorang anak kecil yanga baru masuk sekolah, setelah tiga hari berselang, mogok tidak mau belajar. Orang tuanya mencoba membujuk dia dengan segala macam daya, dari imingimingan gula-gula sampai ancaman sapu lidi, semunya sia-sia. Setelah didesak-desak akhirnya dia berterus-terang, bahwa dia sudah kehilangan hasratnya untuk beljar, sebab ternyata ibu gurunya adalah seorang pembohong. Coba ceritakan bagaimana dia berbohong, pinta orang tuanya sambil tersenyum. Tiga hari yang lalu dia berkata bahwa 3 + 4 = 7. Dua hari yang lalu dia berkata 5 + 2 = 7. Kemarin dia berkata 6 + 1 = 7. Bukankah semau ini tidak benar ? Permasalhan yang sederhana ini membawa kita kepada apa yang disebut teori kebenaran. Apakah persyaratannya agar suatu jalan fikiran menghasilkan kesimpulan yang benar ? Tidak semua manusia mempunyai persyaratan yang sama terhadap apa yang dianggapnya benar, termasuk anak kecil kita tadi, yang dengan fikiran kekanak-kanaknnya mempunyai kriteria kebenaran tersendiri. Bagi kita tidak sukar untuk menerima kebenaran bahwa 3 + 4 =7; 5 + 2 = 7; dan 6 + 1 = 7; sebab secara deduktif dapat dibuktikan bahwa ketiga pernyataan tersebut adalah benar. Mengapa hal I ni kita sebut benar ? Sebab pernyataan dan kesimpulan yang ditariknya adalah konsisten dengan pernyataan dan kesimpulan terdahulu yang telah dianggap benar. Teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria tersebut di atas disebut teori koherensi. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori koherensi suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau koknsisten dengan p ernyataanpernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita menganggap bahwa Semua manusia pasti akan mati adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa Si Polan adalah

seorang manusia dan si Ppolan pasti akan mati adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama. Matematika adalah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan berdasarkan pembuktian dan berdasarkan tori koherensi. Sistem matematika disusun di atas beberapa dasar pernyataan yang dianggap benar yakni aksioma. Dengan mempergunakan kaidah-kaidah matematika ang secara keseluruhan merupakan suatu sistem yang konsisten. Plato (427-347 S.M) dan Aristoteles (384-322 S.M) mengembangkan teori koherensi berdasarkan pola pemikiran yang dipergunakan Euclid dalam menyusun ilmu ukurnya. Paham lain adalah kebenaran yang berdasarkan kepada teori korespondensi di mana eksponen utamanya adalah Bertrand Russell (1872-1970). Bagi penganut teori korespondensi maka suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkoresponen (berhubungan) dengan obyek y ang dituju oleh pernyataan tersebut. Maksudnya jika seseorang mengatkan bahwa ibu kota Republik Indonesia adalah Jakarta Maka pernyataaan itu adalah benar sebab pernyataan itu berkoresponden dengan obyek y ang bersifat faktual yakni Jakarta yang memang menjadi ibu kota Republik Indonesia. Sekiranya ada orang lain yang menyatakan bahwa Ibu kota Republik Indonesia adalah Bandung maka pernyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat oyek y ang b erkoresonden dengan pernyataan tersebut. Dalam hal ini maka secara faktual Ibu kota Republik Indonesia adalah bukan Bandung melainkan Jakarta. Kedua teori kebenaran ini y akni teori koherensi dan teori korespondensi kedua-duanya dipergunakan dalam cara berfikir ilmiah. Penalaran teoretis yang berdasaaarkan logika deduktif jelas mempergunakan teori koherensi ini. Sedangkan proses pembuktian secara empiris dalam bentuk pengumpulan fakta-fakta yang mendukung suatu pernyataan tertentu mempergunakan teori korespondensi. Pemikiran ilmiah juga mempergunakan teori kebenaran yang lain yang disebut teori kebenaran pragmatis. Teori pragmatis dicetuskan oleh Charles S.Pierce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul How to Make Our Ideas Clear. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli falsafah yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan falsafah ini sering dikaitkan dengan falsafah Amerika. Ahli-ahli falsfah ini di antaranya adalah William James (1842-1910). John Dewey (1859-1952), George Herbert Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis.

Bagi seseorang pragmatis maka kebenaran suatu pernyataan di ukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artainya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau kkonsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaanpraktis dalam k ehidupan manusia. Sekiranya ada orang yang menyatakan sebuah teori X dalam pendidikan, dan dengan teori X tersebut dikembangkan teknik Y dalam meningkatkan kemampuan belajar, dan ternyata secara ilmiah dibuktikan bahwa teknik Y tersebut memang dapat meningkatkan kemampuan belajar, maka teori X itu dianggap benar, sebab teori X ini adalah fungsional dan mempunyai kegunaan. Pragmatisme bukanlah suatu aliran falsfah yang mempunyai doktrin-doktrin filsfati melainkan teori dalam penenteuan kriteria kebenaran sebagaimana disebutkan di atas. Kaum pragmatis berpalling kepada metode ilmiah sebagai metode untuk mencari pengetahuan tentang alam ini sebab metode ini dianggapnya fungsional dan berguna dalam mentafsirkan gejala-gejala alamiah.12 Kriteria pragmatisme ini juga dipergunakan olehilmuwan dalam menentukan kebenaran ilmiah dilihat dalam perspektif waktu. Secara historis maka pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuwan bersifat pragmatis; selama pernyataanitu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar; sekiranya pernyataan tiu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan. Pengetahuan ilmiah memanga tidak berumur panjang, seperti diuangkapkan sebuah pengumulan pendpat di kalangan ahli-ahli fisika, bahwa teori tentang partikel takkan berumur lebih dari empat tahun. Untuk ilmu-ilmu lainnya yang agak kurang berhasil dalam menemukan hal-hal yang baru, seperti embriologi, sebuah revisi dapat diharapkan tiap kurun waktu lima belas tahun.13

Ke arah Pemikiran Filsafat Manusia mempunyai seperangkat pengetahuan yang bisa membedakan antara benar dan salah, baik dan buruk serta indah dan jelek. Sekiranya kita ingin melakukan penilaian terhadap sebuah pernyataan ilmiah apakah pernyataan itu benar atau slah maka ke mana kita mesti
12

Demikian juga kaum pragmatis percaya kepada agama sebab agama bersifat fungsional dalam memberikan pegangan moral; percaya kepada demokrasi sebab demokrasi bersifa tfungsional dalam menemukan konsensus masyarakat. 13 Joseph J. Schwab, The Teaching of Science as Enquiry (Cambridge : Harvard University Press, 1962), p. 20.

berpaling ? Tentu saja penilaian tenang sebuah pernyataan ilmiah tidak dapat dilakukan oleh ilmu itu sendiri sebab penilaian yang dapat diandalkan biasanya diberikan oleh pihak lain. Demikian juga halnya dengan penilaian tentang sebuah kaidah moral apakah pesan yanga dibawanya bersifat baik atau buruk serta penilaian tentang sebuah karya seni apakah produk yang dihasilkannya itu indah atau jelek. Meski ada pihak lain yang mampu memberikan penilaian secara obyektif dan tuntas, dan pihak lain yang melakukan penilaian itu dan sekaligus memberikan arti,14 adalah pengetahuan yang disebut filsafat. Filsafat meletakkan dasar-dasar suatu pengetahuan, jadi filsafat ailmu, adalah pengetahuan yang membahas dasar-dasar ujud keilmuan. Pertanyaan-pertanyaan seperti apa yang disebut ilmu ? Ciri-ciri apa yang membedakan ilmu dengan pengetahaun yang lainnya ? Bagaimana cara menarik kesimpulan ilmiah secara benar ? Sarana-sarana apa yang diperlukan dalam kegiatan berfikir ilmiah ? Semua pertanyaan semacam ini termasuk ke dalam bidang kajian filsafat ilmu.

BAB II PENGETAHUAN Seni, agama dan ilmu, itu semua adalah pengetahuan. Masing-masing jenis pengetahuanini mempunyai landansan-landasan ontologis, epistemologis dan

aksiologisnya sendiri. Ilmu berusaha memahami alam sebagaimana adanya, dan hasilhasil kegiatan keilmuan merupakan alat untuk meramalkan dan mengendalikan gejalagejala alam. Pengetahuan keilmuan merupakan sari penjelasan mengenai alam, yang sifatnya umum dan impersonal. Sebaliknya, seni bersifat subjektif dan berusaha memberikan makan sepenuh-penuhnya mengenai objek yang diungkapkannya.

Seandainya seseorang berkata kepada kita bahwa dia tahu bagaimana cara bermain gitar, maka seorang lainnya mungkin bertanya; Apakah pengetahaun anda itu merupakan ilmu ? Tentu saja dengan mudah dia dapat menjawabnya baha pengetahuan bermain gitar itu bukanlah ilmu, melainkan seni. Demikian juga sekiranya seseorang mengemukakan bahwa sesudah mati semua manusia akan dibangkiakn kembali, akan timbul pertanyaan serupa: Apakah pengetahuan

14

Life has meaning, tulis penyair Robert Browning, To Find its Meaning is my Meat and Drink Dikutip dalam Will Durant, The Story of Philosopy (New York : Simon and Schuster, 1965), p. 1.

tentang sesuatu yang bersifat transendental yang menjolok ke luar batas pengalaman manusia dapat disebut ilmu ? Tentu saja jawabnya adalah bukan, sebab pengetahuan yang berhubungan dengan masalah semacam itu adalah agama. Pengetahuan pada hakekatnya merupakan segenap apa yagn kita ketahui tentang suatu obyek tertentu, termasuk ke dalamnya adalah ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahiu oleh manusia di samping berbagai

pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Bahkan seorang anak kecil pun telah mempunyai berbagai pengetahuan sesuai dengan tahap pertumbuhan dan kecerdasannya. Pengetahuan merupakan khazanah kekayaan mental yang secara l angsung atau tidak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya pengetahuan tiu tidak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber jaaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Apa yang harus kita lakukan sekiranya anak kita demam panas dan menderita kejang, lagu nina bobo apa yang harus kit anyanyikan agar dia tertidur lelap. Sekiranya insan yang sangat kita cintai itu kemudian meninggalkan kita maka ke mana kita mesti berpaling dalam kemelut kesedihan. Tiap jenis pengetahuan pada dasarnya menjawab jenis pertanyaan tertentu yang diajukan. Oleh sebab itu agar kita dpat memanfaatkan segenap pengetahuan kita secara maksimal maka haarus kita ketahui jawaban apa saja yang mungkin bisa diberikan oleh suatu pengetahuan tertentu. Atau dengan kata lain, perlu kita ketahui kepada pengetahuan mana suatu pertanyaan tertentu harus kita ajukan. Sekiranya kita bertanya : Apakah yang akan terjadi sesudah manusia mati ?, maka pertanyaan itu tidak bisa diajukan kepada ilmu melainkan kepada agama, sebab secara ontologis ilmu membatasi diri pada pengkajian obyek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia, sedangkan agama memasuki pula daerah penjelajahan bersifat transendental yang berada di luar pengalaman kita. Ilmu tidak bia menjaab pertanyaan itu sebab ilmu dalam tubuh pengetahuan yang disusunya memagn tidak mencakkup permasalahan tersebut. Atau jika kita memakai analogi komputer maka komputer ilmu memang tidak diprogramkan untuk itu. Tentu saja pada dasarnya kita boleh mengajukan pertanyaan kepada siapa saja, seperti kala ukita sesat ajaln dan bertanya kepda seseorang yang kebetulan nongkrong di tikungan: Eh, tahukah anda jalan ke KebayoranLama ? Kalau yang kita tanyai itu soerna gyang ramah dan dididik untuk bersimpati dengan orang yanb sedang kesusahan serta suka menolong ala kadarnya maka barangkali ia akan berkata. mungkin arah ke sana ! Dan ditunjukkanlah jalan ke

Kebayoran Baru sebab dia sebenarny ajuga taidak tahu, dan hanya karena didorong oleh aspek kulturalnya saja, maka ia menjawab begitu. Jawaban seperti itu tentu saja tidak menolong kita dari kesesatan, tetapi kita masih bisa tenang-tengah saja, toh kita masih di Jakarta. Namun bagaimanajadinya kaalau kita ingin ke surga tetapi malah ditunjukkan jalan ke neraka ? Jadi pada hakekatnya kita mengharapkan jawaban yang benar, dan bukannya sekedar jawaban yang bersifat sembarang saja. Lalu timbullah masalah, bagaimana cara kita menyusun pengetahuan yang benar ? Masalah inilah yang dalam kajian filsafati disebut epistemologi, dan landaan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah. Dengan kata lain, metode ilmiah adalah cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Lalu apakah yang disebut benar sedangkan dalam khasanah filsafat terdapat beberapa teori kebenaran ? Setiap jenis pengetahuan mempuinyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; jadi ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu dan epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Jadi kalau kit ai ngin membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini harus dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu. Ilmu mempelajari alam sebagaimana adanya (das sein) dan terbatas pada lingkkup pengalaman kita. Pengetahuan dikumpulkan oleh ilmu dengan tujuan untuk menjawab permaalahan kehidupan yang sehari-hari dihadapi manusia, dan untuk digunakan dalam menawarkan berbagai kemudahan kepadanya. Pengetahuan ilmiah, alias ilmu, dapat diibaratkan sebagai alat bagi manusia dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapinya. Pemecahan tersebut p ada dasasrnya adlah dengan meramalkan dan mengontrol gejala alam. Oleh sebab itulah, sering dikatkan bahwa dengan ilmu manusia mencoba memanipulasi dan menguasai alam. Berdasarkan landasanontologi dan aksiologi seperti itu maka bagaimana sebaiknya kita mengembangkan landasan epistemologi yang cocok ? Persoalan utama yang dihadapi oleh tiap epistemologi p engetahuan pada dasarnya adalah bagaiman amendapatkan pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing. Demikian juga halnya dengan masalah yang dihadapi epistemologi keilmuan yakni bagaimana menyusun

Aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi ilmu secara lengkap dibahas dalam Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial dan Politik.

pengetahuan yang benar untuk menjawab permasalahan mengenai dunia empiris yang akan digunakan sebagai alat untuk meramalkan dan mengontrol gejala alam. Agar kita mampu meramalkan dan mengontrol sesuatu maka pertama-tama kita harus mengetahui mengapa sesuatu itu terjadi. Mengapa tejadi tanah longsor ? Mengapa terjadi kekurangan makan di daerah yang lahannya gersang ? Mengapa anak-anak muda menjadi gelisah pada masa Sturm und Drang ? Untuk bisa meramalkan dan mengontrol sesuatu, maka kita harus menguasai pengethauan yang menjelaskan peristiwa itu. Dengan demikian maka penelaahan ilmiah diarahkan kepada usaha untuk mendapatkan penjelasan mengenai berbagai gejala alam. Penjelasan yang dituju penelaahan ilmiah diarahkan kepada deskripsi mengenai hubungan berbagai faktaor yang terikat dalam suatu konstelasi yang menyebabkan timbulnya sebuah gejala dan proses atau mekanisme terjadinya gejal aitu. Umpamanya kegiatan ilmiah ingin mengetahui mengapa secangkir kopi yang diberi gula menjadi manis rasanya. Hubungan antara gula dan kopi yang menyebabkan rasa manis itulah yang menjadi pokok pengkajian ilmiah. Ilmu tidak bermaksud untuk mendeskripsikan betapa manisnya sedangkir kopi yang diberi gula. Seni, pada sisi lain dari pengetahuan, mencoba mendeskripsikan sebuah gejala dengan sepenuh-penuh maknanya. Kalau ilmu mencoba mengembangkan sebuah model yang sederhana mengenai dunia empiris dengan mengabstraksikan realits menjadi beberapa variabel y ang terikat dalam seuah hubunganyang bersifat rasional, maka sseni (paling tidak seni sastra), mencoba mengungkapkan obyek penelaahan itu sehingga menjadi bermakna bagipencipta dan mereka yang meresapinya, lewat berbagai kemampuan manusia untuk menangkapnya. Seperti fikiran, emosi dan pancaindra. Seni, menurut Mochtar Lubis, merupakan produk daya inspirasi dan daya cipta manusia yang bebas dari cengkeraman dan belenggu berbagai ikatan. 15 Model pengungkapan realitas dalam seni, sekirany akary aseni dapat diibaraatkan sebuah model, adalah bersifat penuh dan rumit namun tidak bersifat sistematik. Karena itau kita tidak bisa mempergunakan model tersebut uuntuk meramalkan dan mengontrol gejala alam. Tetapi memang bukan itulah tujuan sebuah kegiatan seni. Karya seni ditujukan untuk manusia, dengan haarpan bahwa pencipta dan obyek yang diungkapkannya mampu berkomunikasi dengan manusia yang memungkinkan dia menangkap pesan yang dibawa karya seni itu. Sebuah ciptaan yanga maknanya tidak bersifat komunikatif melainkan sekedar berarti bagi penciptanya sendiri
15

Mochtar Lubis, Manusia Indonesia (Jakarta : Yayasan Idayu, 1978), p. 7-8.

bukanlah merupakan karya seni, melainkan suatu bentuk neurosis.16 Sebuah karya seni yang baik biasanya mempunyai pesan yang ingin disampaikan kepada kita semua apakah itu bersifat moral, estetik, gagasanpemiiran atau politik. Pesan itu disampapikan tidak sebagai rumus ilmiah yang bisa kita pakai untuk memanipulasi gejala alam, melainkan sebuah himbuan yang disamapiakan kepada manusia yang bisa mempengaruhi sikap dan perilaku mereka. Itulah sebabnya maka seni memegang peranan penting dalam pendidikan moral dan budi pekerti sebuah bangsa. Ilmu mencoba mencarikan penjelasan mengenai alam menjadi kesimpulan yang bersifat umum dan impersonal. Sebaliknya, seni tetap bersifat individual dan personal, dengan memusatkan perhatiannya pada Pengalaman hidup manusia perseorangan,17 Pengalaman itu diungkapkan agar dapat dialami orang l ain denganjalan Menjiwai pengalman tersebut. Itulah sebabnya mak aDante berkata bahwa seorang pelukis yang ingin mengungkapkan sebuah bentuk tetapi tidak dapat menjijwainya takkan dapat menggambarkannya.18 Penjiwaan atas penaglana orang lain itulah yang akan mempengaruhi sikap dan perilaku kita seperti disimpulkan oleh Somerset Maugham bahwa manusia memuliakan dirinya justru lewat pengalaman (penderitaan) orang lain.19 Usaha untuk menjelaskan gejala alam ini sudah mulai dilakukan oleh manusia sejak dulu kala. Diperkirakan bahwa nenek moyang kita pun tidak kurang takjubnya memperhatikan berbagai kekuatan alam yang terdapat di sekeliling mereka seperti hujan, banjir, topan, gempa bumi dan letusan gunung berapi. Mereka merasa tidak bedanya menghadapi kekuatan alam yang snagat dahsyat yang dianggapnya merupakan kekautan yang luar biasa ini dicoba untuk dijelaskannya dengan mengkaitkannya dengan mahluk yang luar biaa pula, dan berkembanglah berbagai mitos tentang para dewa dengan berbagai kesaktian dan perangainya. Gejala alam merupakan pencerminan kepribadian dan kelakukan mereka dan karena pada waktu itu gejala alam sukar diramalkan, berkembanglah tokoh-tokoh supernatural yang juga bersifat begitiu. Maka muncullah dewa-dewa yang pemarah, pendendam, atau mudah jatuh cinta, di samping berkeampuhan yang luar biasa. Manusia pada taraf ini telah mencoba untuk menafsirkan alam fisik ini dan bahkan telah mencoba pula untuk mengontrolnya. Sesuai dengan pengetahuan
16

Carl G. Jung yang dikutip dalam George F. Kneller, Introduction to the Philosophy of Education (New York; Harcourt, Brace & World, 1967), p. 16. 17 Rene Dubos, So Human an Animal (New York : Charles Schribners Sons, 1968). P.119. 18 Dikutip dalam Ananda K. Coomaraswamy, The Transformation of Nature in Arts (New York : Dover, 1956), p. 7. 19 Somersat Maugham, The Summing Up (New York : Menfor, 1957), p. 43.

mereak tentang gejala-gejala alam maka mengontol timbulnya tejala yang berupa malapetaka adalah identik dengan mengarahkan kelakukan para dewa yang bersangkutan. Maka bertumpuklah bermacam-macam penganan dan ajian (sesajen) di batas kampung atau simpang jalan; sebab dewa-dewa ini, meminjam perkataan Isac Asimov, bukan saja urakan, aneh, emosional dan mudah mengamuk karena hal-hal kecil, melainkan juga mudah terpengaruh oleh Sogokan yang kekanak-kanakan.20 Sogokan ini tentu saja sebanding dengan lingkup kontrol yang diminta; dari segenggam garam, penyerahan kehormatan dalam oragi yanag ritual sampai penyerahan korban jiwa yang dibantai di muka altar. Kalau difikir-fikir, kita mesti mengangkat topi kepada nenek moyang kita, yang mencoba untuk menggali rahasia alam dan menempakan kehidupan mereka di dalmnya. Mereka mencoba mengembangkan suatu sistempengetahuan untuk menafsirkan gegjala-gejala fisik dan mekanisme yanag mengaturnya. Dapat dibayangkan betapa terlunta-luntanya manusia jika seskiranya dia sama sekali bua terhadap kekukatan alam yang terdapat di sekeliling dirinya. Dnegan mengembangkan penafsiran tertentu, betapapun primitif dan takhayulnya, mereka lalu mempunyai suatu pegangan. Bukan saja mengeri mengapa sesuatu telah terjadi, namun lebih penting lagi, apa yang harus dilakukan agar hal itu tidak terjadi. Bukankah hal ini tidak berbeda dengan tujuan pengembangan ilmu pada kurun kita ini ? Mengkaitkan gejala alam yang sukar diramalkan dengan kepribadian manusia yang juga sukar diramalakan merupakan suatuprestasi tersendiri. Mereka bisa mengeri mengapa Dewa Hujan tiba-biga marah dan mencurahkan hujan dadri langit sehingga hancurlah panenan. Oh, mungkin beliau sedang marah, sebab kita lupa memberinya sesajen. Atau; beliau sedang berkiprah, berperang melawan Desa Aning yang berbuat serong. Dengan mengerti, maka mereka lalu bisa menerima, betapapun juga logika yang ada di dalmnya. Sampai beberapa thaun yanag lalu angin topan yang timbulnya sukar diramlakan sering diberi nama wanita, sebab memang demikian sifat wanita ! (Penulis buku ini adalah seorang pria). Kebiasaan yang menyenangkan ini (sic!) terpaksa dihentikan setelah kaum wanita berang dan menyatakan protes. Dengan demikian maka nama-nama yang menggiurkan seperti Cora atau Debby lalu menghilang dari acara ramalan cuasa dan berganti dengan nama-nama pria yang tidak cukup berharga untuk dikutip dalam buku yang ilmiah ini.

20

Isaac Asimov, The Intelligent Mans Guide to the Physical Sciences (New York : Washington Square Press, 1969), p. 5.

Tahap selanjutnya ditandai oleh usaha manusia untuk mencob amenafsikran dunia ini terlepas dari belenggu mitos; mereka menatap kehidupan ini tidak lagi dari balik harum dupa dan asap kemeyan. Mereka, seperti nyanyian Ebit G. Ade, tidaklagi berpaling kepada macam-macam spekulais namun bertanya langsung Kepada angain, kepada awan dan rumput yang bergoyang, Dengan mempelajari alam mereka mengembangkan pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis seperti unutuk membuat tanggul, pembasmian hama dan bercocok tanam. Berkembanglah lalu pengetahuan yang berakar pada pengalaman berdasarkan akal sehat (common sense) yang didukung oleh metode mencoba-coba (trial and error). Perkembangan ini menyebabkan tumbuhnya pengetahuan yang disebut seni terapan (applied arts) yang mempunyai kegunaan langsung dalam kehidupan badani sehari-hari di samping seni halus (fine arts) yang bertujuan secara memperkaya spieitua. Peradaban Mesir Kuno p ada kurang lebih 3.000 tahun sebelum Masehi telah mengembangkan irigasi dan dapat meramalkan timbulnya gerhana. Demikian pula pereadaban-peradaban lainnya seperti Cina dan India terkenal dengan perkemangan seni terapan yang tinggi. Sedangkan di Indonesia sendiri pada puncak kejayaan peradaban Majapahit dan Sriwijaya kapal-kapal mereka telah melayari berbagai samudra. Kemajuan ini menurut logikanya harus didukung oleh seni terapan dlam pembuatan dan navigasi kapal yang tinggi pula. Candi-candi yang terderak di seluruh penjuru tanah air merupakan bukti lainnya mengenai tingginya mutu arsitektur nenek moyang kita. Seni terpakai ini pada hakekatnya mempunyai dua ciri yakni pertama, bersifat deskriptif dan fenomenologis dan, kedua, ruang lingkupnya terbatas. Sifat deskriptif ini mencerminkan proses pengkajian yang meitikberatkan kepada penyelidikan gejala-gejala yang bersifatempiris tnapa kecenderungan untuk pengembangan postulat yang bersifat teoretis-atomistis. Jdi dalam seni terapan kita tidak mengenal konsep seperti gravitasi atau kemagnetan yang bersifat teoretis. Sifat terbatas dari seni terapan juga tidak menunjang berkembangnya teori-teori yang bersifat umum seperti teori gravitasi Newton dan teori medan lektormaagnetik Maxwell, sebab atujuan analisisnya bersifat praktis. Setelah secara empiris diketahui bahwa daun pepaya bisa mengempukkan daging, atau daun kumis kucing bisa menyebuhkan kencing batu, maka pengetahuan pun lalu berhenti di situ. Seni terapan tidak mengembangkan teori kimia atau fisiologi yang merangkum kedua gejala itu.

Dr. Like Wilardjo sangat membantu penulis dalam mengidentifikasikan ciri-ciri dari seni terapan.

Di sinilah kit amenemukan suatu mata rantai yang penting sekali dalam p engembangan ilmu : Mengapa ada peradaban yang mampu mengembangkan ilmu secara cepat ? Mengapa ada peradaban yang secara historis mempunyai tingkat teknologi yang tinggi namun tetap

terbelakang dalam bidang k eilmuan ? Jawab dari pertanyaan ini mungkin dapat dicari dari pola perekmbangan selanjutnya dari p engetahuan yang merupakan seni terapan ini. Pada peradaban tertentu perkembangan seni terapan ini sifatnya kuantitatif, artinya perkembangannya ditandai dengan terkumpulnya lebih banyak lagi pengetahuan-pengetahuan yang sejenis. Sedangkan pada peradaban lain p engembangannya bersifat kualitatif, aratinya dikembangkan konsep-konsep baru yang bersifat mendasar dan teoretis. Sebagai ilustrasi katakanlah umpamanya dua tipe peradaban tersebut sedang mencari obat penyembuh kanker. Peradaban yang berorientasi pada seni penyembuh kanker. Peradaban yang berorientasi pada seni terapan akan melakukan penyelidikan secara mencoba-coba dari bermacam-macam daun-daunan atau jenis obat lainnya tanpa ada konsep yang jelas mengenai kegiatannya. Sebaliknya sebuah peradaban ilmiah akan memusatkan p erhatiannya pada penemuan konsep yanag akan mengarahkan kegeiatan selanjutnya. Mungkin inilah sebabnya mengapa sebuah peradaban meskipun mempunyai kemampuan dalam seni terapan yang tinggi tidak mampu mengembangkan diri di bidang keiluan, soalnya, salah satu jembatan yang menghubungkan seni terapan dengan ilmu dan teknologi adakah pengembangan konsep teoretsis yang bersifat mendasar yang selanjutnya dijadikan tumpuan untuk pengembanganpengetahuan ilmiah yang bersifat integral. Pengetahuan tentang obat-obatan tradisional umpamanya yang kemanjurannya memang terbukti tidak menjurus ke arah berkembagnnya farmakologi sebab tidak terdapat usaha untuk lebih jauh mengajukan penjelasan teoretis yang asasi mengenai proses yang terjadi. Dengan demikian maka pengetahuan yang stu terpisah dari p engetahuan yang lain tanpa diikat oleh suatu konsep yang mampu menjelaskannya secara keseluruhan. Jadi kalau obat-obatan tradisional berusaha menyembuhkan kanker dengan berbagai ramuan dan campuran secara mencoba-coba, maka farmakologi modern berusaha menembus kemacetan dalam pengobatan penyakit ini lewat pengembangan konsep dasar dalam perekmbangan sel, terutama di bidang keilmuan biologi molekular. Ilmu memang kurang berkembang dalam peradaban Timur karena aspek kulturalnya yang tidak terlalu menganggap

penting cara berfikir ilmiah. Bagi masyarakat Timur maka filsafat yang paling penting adalah cara berfikir etis yang menghasilkan kearifan (wisdom).21 Akal sehat dan cara mencoba-coba mempunyai perananpenting dalam usaha manusia untuk menemukan p enjelasan mengenai berbagai gejala alam. Ilmu dan filsafat dimulai dengan akal sehat sebab atidak mempunyai landasanpermulaan lain untuk berpijak.22 Tiap peradaban betapa pun primitifnya mempunyai kumpulan pengetahuan yang berupa akal sehat.23 Randall dan Buchler mendefinisikan akal sehat sebagai pengetahaun yang diperoleh lewat pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadis dan kebetulan.24Sedangkan karakteristik akal sehat diberikan oleh Titus sebagai berikut : (1) karena landasannya yang berakar pada adat dan tradisi maka aakl sehat cenderung untuk bersifat kebiasaan dan pengulangan; (2) karena landasannya yang berakar kurang kua tmaka akal sehat cenderung untuk bersifat kabura dan samar-samar; dan (3) karena kesimpulan yang ditariknya sering berdasarkan asumsi yang tidak dikaji lebih lanjut maka akal sehat lebih merupakan pengetahuan yang tidak teruji.25 Berdasarkan akal sehat, adalah amat masuk akal setelah beberapa kali mengalami terbit dan terbenamnya matahari untuk

menyimpulkan bahwa matahari berputar mengelilingi bumi. Itulah sebabnya banyak penemuan ilmiah yang mula-mula sukar diterima oleh masyarkat sebab bertentangan denganakal sehati, seperti penemuan bhwa bukan matahari yang mengelilingi bumi melainkan sebaliknya. Perkembangan selanjutnya adalah tumbuhnya rasionalisme yang secara kraitis mempermasalhkan dasar-dasar fikiran yang bersifat mitos. Menurut Popper maka tahap ini adalah penting sekali dalam sejarah berfikir manusia yang menyebabkan ditinggalkannya tradisi y ang bersifat dogmatik yang hanya memperkenankan hidupnya satu doktrin dan digantikan dengan doktrin yang bersifat majemuk (pluralistik) yang masing-masing mencoba menemukan kebenaran secara analisis yang bersifat kritis.26 Jadi pada dasarnya rasionalisme memang bersifat majemuk dengan berbagai kerangka pemikiran yang dibangun secara deduktif di sekitar obyek pemikiran tertentu. Dalam menafsirkan suatu obyek tertentu maka berkembangkalah berbagai pendapat, aliran tori dan mazhab filsafat. Dalam keadaan seperti ini maka sukar sekali bagi kita u
21

Gustave Weigel, S.J. dan Arthur G, Madden, Knowledge : Its Values and Limits (Englewood Cliffs; N.J. : Prentice Hall, 1961),p. 49. 22 Weigel dan Madden, op. cit., p. 100. 23 Bergen Evans, The Natural History of Nonsense (New York : Knopf, 1946), p. 47. 24 John Herman Randall, Jr, dan Justus Buchler, Philosophy : An Introduction (New York : Barnes & Noble, 1969), p. 64. 25 Harold A. Titus, Living Issues in Philosophy (New York :1959), p. 34-35). 26 Karl R. Popper, Conjectures and Refutations (New York : Basic, 1962), p. 151.

ntuk memilih mana dari sejumlah penjelasan yang rasional tersebut yang memang benar sebab semuanya dibangun di atas arugumentasi yanag bersifat koheran. Mungkin saja kita mengatakan bahwa argumentasi yang benar penjelasan yang mempunyai kerangka berfikir yanga p aling meyakinkan. Namun hal ini pun tidak bisa memecahkan persoalan, sebab kriteria penilaiannya bersifat nisbi dan tidak bisa terlepas dari u nsur subyektif. Di samping itu rasionalisme denganpemikiran deduktifnya sering menghasilkan kesimpulan yang benar bila ditinjau dari aluralur logikanya namun ternyata sangat bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya. Aristoteles umpamanya menyimpulkan bahwa wanita mempuyai gigi yang jumlahnya lebih sedikit bila dibandingkan denganpria, padahal gerutu Bertrand Russell, buat orang seperti dia yang kawin dua kali seharusnya lebih tahu tentang itu.27 Kelemahan dalam berfikri rasional seperti itulah yang menimbulkan berkembangnya empirisme yang menyatkan bahwa pengetahuan yang benar itu di dapat dari kenyataan pengalaman. Dipelopori oleh filsuf-filsuf Inggris maka berkembanglah cara berfikir yang

menjauhi spekulasi teoretis dan metafisis. Metafisika, menurut David Hume (1711-1776) adalah Khayal dan dibuat-buat yang selayaknya Diumpankan ke lidah api yang menjilat. Namun cara berikir ini punt tidak luput dari kelemahan sebab atas dasar apa kita bisa menghubungkan berbagai faktor dlam suatu hubungan kausalitas ? Berdasarkan metode induktif yang didukung oleh teknik statistika yang paling rumit dengan mudah umpamanya dapat disimpulkan bahwa Kambing kencing di IKIP Rawamangun berkorelasi dengan banjirnya kampus Universitas Jayabaya.28 Namun apakah artinya semua ini ? Penjelasan apakah yang bisa diajukan oleh datadata empiris yang ternyat asecara induktif menunjukkan korelasi?29 Ilmu mencoba menafsirkan gejala alam dengan mencoba mencari penejasan tentang berbagai kejadian. Dalam usaha menemukan penjelasan ini terutama penjelasan yang bersifat mendasar dan postulasional, maka ilmu tidak bisa melepaskan diri dadri penafsiran yang bersifat rasional dan metafisis. Pengkajian ilmu yang sekedar pada kulit luarnya sja tanpa berani mengemukakan postulat-postulat yang bersumber penafsiran metafisis tidak akan

memungkinkan kita sampai kepada teori fisika nuklir. Paling-paling mendapatkan pengetahuan
27 28

Bertrand Russell, The Impact of Science upon Society (New York : Simon and Schuster, 1953), p.7. Ceramah Filsafat Ilmu dalam Penataran Dosen Universitas / Institut Swasta, Majelis Rektor Universitas/Institut Swasta Indonesia (MR-UISI), Universitas Jayabaya, Jakarta, 18 Maret 1982. 29 Inilah salah satu tafsir yang sering dilakukanoleh peneliti. Tujuan penelitian bukanlah menemukan korelasi yang bersifat statsitis melainkan hubungan kausalitas. Hubungan semacam ini mesti di dukung oleh argumentasi yang meyakinkan dan baru di uji oleh teknik statistika yang relevan.

yang tidak bearbeda jauh dari akal sehat y ang lebih maju. Ilmu mempunyai dua buah peranan, ujar Bertranda Russell, pada satu pihak sebagai metafisika sedangkan pada pihak lain sebagai akal sehat yang terdidik (educated common sense).30 Bagaimana caranya lalu agar kita dpat mengembangkan ilmu yang mempunyai kerangka penjelasan yang masuk akal dan sekaligus mdncerminkan kenyataan yang sebenarnya ? Berkembanglah dalam kaitan pemikiran ini metode eksperimen yang merupakan jembatan antara penejasan teoretis yang hidup di alam rasional dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris. Metode eksperimen dikembangkan oleh sarjana-sarjana muslim pada abad keemasan Islam di mana ilmu dan pengetahuan lainnya mencapai kulminasi antara abad 9 dan 12 masehi.31 Semangat untuk mencari kebenaran yang dimulai oleh pemikir-pemikir Yunani dan hampir padam denganjatuhnya kekaisaran Rumawi dihidupkan kembali dalam kebudayaan Islam. Jika orang Yunani adlah bapak metode ilmiah, simpul H. G. Wells, Maka orang muslim adalah bapak angkatnya. Dalam perjalanan sejarah maka lewat orang muslim lah, dan bukan lewat perjalanan Latin, dunia modern sekarang ini mendapatkan kekuatan dan cahayanya.32 Eksperimen ini dimulai oleh ahli-ahli al-kimia yang meskipun pada mulanya didorong oleh tujuan untuk mendapaktan Obat ajaib untuk tetap awet muda (elixir vitae) dan Rumus membuat emas dari logam biasa namun secara lambat laun berkembang menjadi paradigma ilmiah. Metode eksperimen ini diperkenalkan di dunia Barat oleh filsuf Roger Bacon (12141294) dan kemudian diamntapkan sebagai paradigma ilmiah atas usaha Francis Bacon (15611626). Sebagai penulis yang ulung dan fungsinya sebagai Lord Berulam maka Francis Bacon berhasil meyakinkan masyarakat ilmuwan untuk menerima metode eksperimen sebagai kegiatanilmiah. Singkatnya maka secara wajar dapat disimpulkan bahwa secara konseptual metode eksperimen dikembangkan oleh sarjana muslim dan secara sosiologis dimasyarakatkan oleh Francis Bacon.33 Dewasa ini memeang terdapat kecenderungan untuk memperkecil sumbangan dunia Timur terhadap timbulnya Renaisannce dalam peradaban Barat.34 Dalam buku The History of the World karangan Rene Sedillot umpamanya disebutkan bahwa warisan Islam terhadap peradaban manusia adalah Pembakaranperpustakaan danpenebangan hutan tanpa

30 31

Bertrand Russell, The Scientific Outlook (New York : W.W. Norton, 1959), p. 97. Penulis berterima kasih kepada Sdr. S. I. Poeradisastra yang mengingatkan penulis kepada kenyataan ini. 32 H.G. Wells, The Outline of History (London : Casell and Company, 1951),p. 624. 33 Meskipun Francis Bacon sendiri secara tidak jujur tidak pernah menyebut para pendahulunya. 34 E.W.F. Tomlin, The Western Philosophers (New York : Harper, 1963), p. 118.

sejengkal tanahpun yang ditanami35 padahal justru sebalikny alewat terjemahan yang dilakukan pada peradaban Islam antara abad 9 dan 12 itulah maka filsafat Yunani bisa dibaca manusia sekarang ini.36 Demikian juga pertanian di Spanyol umpamanya mendapatkan warisan peradaban Islam yang bermanfaat sampai hari ini yakni dalam bentuk sistem irigasi yang bersumber pada penghargaan bangsa Arab yang sangat tinggi terhadap air yang sangat langka di padang pasir. 37 Kesalahan seperti ini, menurut ahli sekarah ilmu yang terkemuka George Sarton, sering disebabkan oleh sentimen nasionalisme dan prasangka yang dapat yang dapat dilakukan siapa saja apakah mereka itu sarjana Muslim, Hindu atau Barat.38 Pengembangan metode eksperimen yang berasal dari Timu rini mempunyai pengaruh penting terhadap cara berfikir manusia sebab dengan demikian maka dapat diuji berbagai penjelaan teoretis apakah sesuai dengan kenyataan empiris ataukah tidak. Dengan demikian maka berkembanglah metode ilmiah yang menggaburngkan cara berfikir deduktif dengan induktif. Dalam bagan Pohon Silsilah Logika dapat dilihat perkembangan logika ilmiahyang merupakan pertemuan antara rasionalisme dan empirisme. Galileo (1546-1642) dan Newton (1642-1727) merupakan pionir yang mempergunakan gabungan berfikir deduktif dan induktif ini dalam penyelidiikan ilmiah mereka.39 Penelitian Charles Darwin (1809-1882) yang membuahkan teori evolusinya juga mempergugnakan metode ilmiah. Deskripsi secar amendalam tentang meetode ilmiah di tulis oleh Karl Pearson (1857-1936) dalam bukunya yang sekarang sudah menjadiklasik yang berjudul The Grammar of Science. Buku yang sangat menarik itu diterbitkan sekitar tahun 1890 yang disusul oleh buku John Dewey yang berjudul How We Think yang terbit pada tahun 1910. Secara filsafati John Dewey mengupas makna dan langkah-langkah dalam metode ilmiah. POHON SILSILAH LOGIKA

Sumber : Herbert L. Searles, Logic and Scientific Methods (New York : The Ronald Press, 1956), p. 334.

35 36

Rene Sedillot, The History of the World (New York : Harcourt, Brace & Company, 1951), p. 103. Menarik untuk dicatat bahwa perkembngan ilmu dalam peradaban Islam tersebut dimulai dengan perkembangan filsafat dan kemunduran ilmu pun dimulai dengan kematian filsafat. 37 Bertrand Russell, A History of Western Philosophy, (New York : Simon and Schuster, 1945), p. 423. 38 George Sarton, The Study of the History of Mathematics and Science (New York : Dover, 1936), p. 20. 39 Harold A. Larrabee, Reliable Knowledge (Boston: Houghton Mitflin, 1964), p. 97.

Dengan perkembangan metode ilmiah dan diterimanya metode ini sebagai paradigma oleh masyarakat keilmuan maka sejarah kemanusiaan menyaksikan perkembangan pengetahuan yang sangat cepat. Dirintisi oleh Copernicus (1473-1543). Kepler (1571-1630), Galileo (15641642) dan Newton (1642-1727) ilmu mendapatkan momentumnya pada abad ke tujuh belas dan seterusnya tinggal landa. Whitehead menyebutnya periode antara 1870-1880 sebagai titik kulminasi perkembangan ilmu di mana Hamholtz, Pasteur, Darwin dan Clerk-Maxwell berhasil mengembangkan penemuan ilmiahnya.40 Gejala ini sebenarnya tidak sukar untuk dijelaskan sebab metode ilmiah memanfaatkan kelebihan metode-metode berfikir yang ada dan mencoba untuk memperkecil kekurangannya. Pengetahuan ilmiah tidak sukar untuk diterima sebab pada dasarnya adalah akal sehat meskipun ilmu bukanlah sembarang akal sehat melainkan akal sehat yang terdidik. Pengetahuan ilmiah tidak sukar untuk dipercaya sebab dia dapat diandalkan meskipun tentu saja tidak semua masalah dapat dipecahkan secara keilmuan. Itulah sebabnya maka kita masih memerluan berbagai pengetahuan lain untuk memenuhi kehidupan kita sebab bagaimana pun majunya ilmu secara hakiki dia adalah terbatas dan tidak lengkap. Ketika teleskop berakhir dan mikroskop memulai, bertanya Victor Hugo, manakah di antara keduanya yang lebih mampu menyingkap panorama?41

BAB III METODE ILMIAH

Metode keilmuan ialah prosedur untuk mendapatkan ilmu. Langkah-langkahnya misalnya perumusan masalah, penyusunan kerangka berfikri, pengajuan hipotesis, pengujian hipotesisi dan penarikan kesimpulan.

Hipotesis berpijak di bumi fakta empiris, sebab kesimpulan atau dugaan sementara yang umum ini ditarik secara induktif dari kasus-kasus yang diamati, atau dari gejala yang
40 41

Alfred N. Whitehead, Science and Philosophy (New York : Philosophical Library, 1948), p. 106. Lewat mikroskop atau teleskop Bimbinglah si goblok dalam menemukan : Sebuah ujud maknawi Dalam kenisbian sekarang (Jujun S. Suriasumantri, Tengadah ke Bintang-bintah, Almamater, Institut Pertanian Bogor, Nomor 6 April 1970, p. 18).

secara eksperimental di telaah, atau dari peristiwa yang dialami oleh ilmuan-ilmuan dan peneliti. Bertumpu pada hipoetsis ini, suatu teori bisa dibangun secara logis-matematis, konsisten denganpengetahuan akeilmuan yang kebenarannya telah teruji. Kesimpulan yang dideksikan dari teori itu merupakan prediksi, yang kebenarannya harus diuji dengan membandingkannya dengan gejala alam.

Pada dasarnya, metode keilmuan itu sama bagi semua disiplin keilmuan, baik disiplindisiplin yang termasuk dalam ilmu-ilmu sosial dan keprilakuan (social and behavioral sciences), maupun yang berada dalam kawasan ilmu-ilmu alam (natural sciences). Kalau ada perbedaan, perbedaan itu lebih menyangkut teknik-teknik dan penghampiran (approachnya), dan bukan dalam kerangka berfikirnya.

Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang car amendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamaan dengan metode ilmiah. Metode menurut Senn, merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis.42 Metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut.43 Jadi metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Metodologi ini secara filsfati termasuk dalam apa y ang dinamakan epistemologi. Epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan. Apakah sumber-sumber pengetahuan ? Apakah hakekat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan ? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan ? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia ?44

42 43

Peter R. Senn, Social Science and Its Methods (Boston : Holbrook, 1971), p. 4. Ibid., p. 6. 44 William S. Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, Realms of Philosophy (Cambridge, Mass : Schenkman 1965), p. 3.

Seperti diketahui berfikir adalah kegiatan mental y ang menghasilkan p engetahuan. Metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerja fikiran.45 Dengan cara bekerja ini maka pengetahua nyang dihasilkan diharapkan mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah yakni sifat rasional, dan teruji yang memungkinkan tubuh pengetahuan yang disusunnya merupakan pengetahuan yanga dapat diandalkan. Dalam hal ini maka metode ilmiah mencoba menggabungkan cara berfikir deduktif dan cara berfikir induktif dalam membangun tubuh pengetahuannya. Berfikir deduktif memberikan sifat y ang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten dengan pengetahuan yang telah dikumpulkan sebelumnya. Secara sistematik dan kumulatif pengetahuan ilmiah disusun setahap demi setahap dengan menyusun argumentasi mengenai sesutu yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Dengan demikian maka ilmu merupakan tubuh pengetahuan yang tersusun dan terorganisasikan dengan baik sebab penemuan yang tidak teratur dapat diibaratkan sebagai rumah dengan batu bata yang ceraiberai.46 Secara konsisten dan koheran maka ilmu mencoba memberikan penjelasan yang rasional kepada obyek yang berada dalam fokus penelahaan. Penjelasan yang bersifa trasional ini dengan kriteria kebenaran koherensi tidak memberikan kesimpulan yang bersifat finak. Sebab sesuai dengan hakekat rasionalisme yang bersifat pluralistik, maka dimungkinkan disusunnya berbagai penjelasan terhadap suatu obyek pemikiran tertentu. Meskipun arguemntasi secara rasional didasarkan kepada premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya namun dimungkinkan pula pilihan yang berbeda dari sejumlah premis ilmiah yang tersedia yang dipergunakan dalam penyusunan argumentasi. Oleh sebab itu, maka dipergunakan pula cara berfikir induktif yang berdasarkan kriteria kebenaran korespondensi. Teori korespondensi menyebutkan bahwa suatu pernyataan dapat dianggap benar sekiranya materi yang terkandung dalam pernyataan itu bersesuaian (berkorespondensi) dengan obyek faktaual y ang dituju oleh pernyataan tersebut. Atau dengan kata lain, suatu pernyataan adalah benar bila terdapat fakta-fakta empiris y ang mendukung pernyataan itu. Sekiranya seseorang menyatakan bahwa Salju itu berwarna putih maka pernyataan itu adalah benar sekiranya terdapat kenyataan yang mendjukun gisi pernyataan tersebut. Yakni bahwa dalam
45

T.H. Huxley,The Method of Scientific Investigation, Science : Method and Meaning, ed., Samuel Rapport dan Helen Wright (New York : Washington Square Press, 1964), p. 2. 46 Morris Kline, The Meeaning of Mathematics, Adventures of the Mind (New York : Vintage, 1961), p. 83.

daerah pengalaman kit amemang dapat diuji baha salju itu benar-benar berwarna putih. Bagi mereka yang sudah biasa melihat salju maka pengujian semacam ini tidaklah terlalu berarti, namun bagi merka yang belum pernah melihat salju, maka pengujian secara empiris mempunyai suatu makna yang lain. Hal ini akan mempunyai arti yang lebih lagi sekiranya seseorang menyatakan umpamanya bahwa terdapat partaikel x dalam atom yang sebelumnya belum diketahui manusia. Pengujian secara empiris dan pernyataan semacam ini jelas bersifat

imperatif, sebab bagaimana kita semua dapat mempercayai kebenaran pernyataan itu, bila ada seorang pun yang telah melihat partikel X itu sebelumnya ? Keadaan seperti ini sering terjadi dalam pengkajian maslah keilmuan, yakni bila kita dihadapkan dengan pernyataan-pernyataan yang secara empiris belum kita kenali. Dan justru di sinilah sebenarnya esensi dari penemuan ilmiah yakni bahwa kita mengetahui sesuatu yang belum p ernah kita ketahui dalam pengkajian ilmiah sebagai kesimpulan dalam penalaran deduktif. Penemuan yang satu akan mengakibatkan penemuan yang lain dengan penarikan kesimpulan secara deduktif. Kesimpulan yang ditarik seperti ini sering memberikan kita kejutan yang menyenangkan sebab memberikan kepada kit apengetahuan yang belum kita kenal sebelumnya. Proses kegiatn ilmiah, menurut Ritchie Calder, dimulai ketika manusia mengamati sesuatu.47 Tentu saja hal ini membawa kit akepada pertanyaan lain : Mengapa manusia mulai mengamati sesuatu ? Kalau kita teealah lebih lanjut ternyat abahwa kita mulai mengamati obyek tertentu kalau kita mempunyai perhatian tertentu terhadap obyek tersebut. Perhatian tersebut dinamakan John Dewey sebagai suatu maslah atau kesukaran yang dirasakan bila kita menemukan sesuatu dalam pengalaman kita yang menimbulkan pertanyaan.48 Dan pertanyaan ini timbul disebabkan oleh adanya kontak manusia dengan dunia empiris yang menimbulkan berbagai ragam permasalahan. Dapat disimpulkan bahwa karean ada maaslahlah maka pross kegiatan berfikir dimulai, dan karena maslah ini berasal dari dunia empiris, maka proses berfikir tersebut diarahkan pada pengamatan obyek yang bersangkutan, yang bereksistensi dalam dunia empiris pula. Bahwa manusia menghadapi masalah, atau bahwa manusia menyadari adanya masalah dan bermaksud untuk memecahkannya, hal ini bukanlah sesuatu yang baru sejak manusia berada

47 48

Ritchie Calder, Science in Our Lives (New York : New American Library, 1955), p. 37. John Dewey, How We Think (Chicago: Henry Regnery, 1933), p. 107.

di muka bumi sejak dahulu kala. Namun dlam menghadapi maalahini maka manuia memberikan reaksi yang berbeda-beda sesuati dengan perkembangan cara berfikir mereka. Seperti dibahas dlam bagian terdahulu terdapat bermacam-macam sumber dan cara mendapatkan pengetahuan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi. Dilihat dari perkembangan kebudayaan maka sikap manusia dalam menhadapi masalah dapat dibedakan menurut ciri-ciri tertentu. Berdasarkan sikap manusia menghadapi masalah ini maka Van Peursen 49 membagi perkembnagan kebudayaan menjadi tiga tahap yakni tahap mistis, tahap ontologis, dan tahap fungsional. Yang dimaksudkan dengan tahap mistis adalah sikap manusia yang merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib dan bersikap mengambil jarak dari obyek disekitarnya sert amemulai melakukanpenelaahan-penelahaan terhadap obyek tersebut. Sedangkan tahap fungsional adalah sikap manusi ayang bukan saja merasa telah terbebas dari kepungan kekuatan gaib dan mempunyai pengetahuan berdasarkan penelaahan terhadap obyekobyek di sekitar kehidupannya, namun lebih dari itu dia memfungsionalkan pengetahuia tersebut bagi kepentingan dirinya. Tahap fungsional ini dibedakan dengan tahap ontologis, sebab belum tentu bahwa pengetahuan yang didapatkan pada tahap ontologis ini, di mana manusia mengambil jarak terhadap obyek di sekitar kehidupan dan mulai menelaahnya, mempunyai manfaat langsung terhadap kehidupan manusia. Bisa saja manusia menguasai pengetahuan demi pengetahuan dan tidak mempunyai kegunaan fungsional dalam kehidupannya.50 Ilmu mulai berkembang pada tahap ontologis ini, manusia berpendapat bahwa terdapat hukum-hukum tertenu, yang terlepas dari kekuasaan dunia mistis, yang menguasai gejala-gejala empiris. Dalam tahap ontologis ini maka manusia mulai mengambil jarak dari obyek disekitarnya, tidak seperti apa yang terjadi dalam dunia mistis, di mana semua obyek berada dalam kesemestaan yang bersifat difusi dan tidak jelas batas-batasnya. Manusia mulai memberi batas-batas yang jelas kepada obyek kehidupan tertentu yang terpisah dengan eksistensi manusia sebagai subyek yang mengamati dan menelaah obyek tersebut. Dalam menghadapi masalah tertentu, maka dalam tahap ontologis ini, manusia mulai menentukan batas-batas eksistensi masalah tersebut, yang memungkinkan manusia dapat mengenal ujud masalah itu, untuk kemudian ditelaah dan dicarikan pemecahan jawabannya.

49

C. A. Van Peursen, Strategi Kebudayaan, terjemahan Dick Hartoko (Jakarta : BPK Gunung Mulia & Kanisius 1976). 50 Bacalah Lick Wilardjo, Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan, Pustaka, Th. III No. 3, April 1979, pp. 11-14.

Dalam usaha untuk memecahkan masalah tersebut maka ilmu tidak berpaling kepada perasaan melainkan kepada fikiran yang berdasarkan penalaran. Ilmu mencoba mencari penjelasan mengenai permasalahan yang dihadapinya agar dia mengerti mengenai hakekat permasalahan itu dan dengan demikian maka dia dapat memecahkannya. Dalam hal ini maka pertama-tama ilmu menyadari bahwa masalah yang dihadapinya adalah masalah yang bersifat koknkrit yanga terdapat dalam dunia fisik yang nyata. Secara ontologis maka ilmu membatasi maslah yanag dikajinya hanya pada masalah yang terdapat dalam ruang lingkup jangkauan pengalaman manusia. Jadi ilmu tidak mempermasalahkan tentang hari kemudian atau sruga dan neraka yang jelas berada di luar pengalaman manusia. Hal ini harus kita sadari, karena hal inila hyang memisahkan daerah ilmu dan agama. Agama, berbeda dengan ilmu, mempermasalahkan pula obyek-obyek yang berada di luar pengalaman manusia, baik sebelum manusia ini berada di muka bumi seperti mengapa manusia diciptkan, mauupn sesudah kematian manusia, seperti ap ayang terjadi setelah adanya kebangkitan kembali. Perbedaan antara lingkkup permasalahan yang dihadapinya juyga menyebabkan berbedanya metode dalam memecahkan masalah tersebut. Perbedaan ini harus diketahui dengan benr untuk dapat menempatkan ilmu dan agama dalam perspektif yang sesungguhnya. Tanpa mengetahui hal ini, maka mudah sekali kit aterjatuh ke dalam kebingungan, padahal dengan menguasai hakekat ilmu dan agam asecara baik, kedua pengetahuan ini justru akan bersifat saling melengkapi. Pada satu pihak agama akan memberi landasan moral bagi aksiologi keilmuan, sedangkan di pihak lain ilmu akan memperdalam keyakinan beragama.51 Karena itulah yang dihadapinya adalah nyata maka ilmu mencari jawabannya pada dunia yang nyata pula. Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta, Einstein berkata, apapa pun juga teori yang menjembatani antara keduanya.52 Teori yang dimaksudkan di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dlam dunia fisik tersebut, tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di man apendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman

empiris. Artinya, teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan obyek yang dijelaskannya. Suatup enjelasan, biar bagaimana pun meyakinkannya, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.

51

Filsafat yang dangkal memang cenderung ke ateisme namun filsafat yang dalam akan membawa kembali kepada agama. (Francis Bacon) 52 Dikutip oleh John G. Kemens dalam A Philosopher Looks at Science (New York : Van Nostrand, 1959), p. 85.

Di sinilah pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris dalam langkahlangkah yang disebut metode ilmiah. Secara rasional maka ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kkumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fkata dari yang tidak. Secara sederhana maka hal I ni berarti bahwa semua teori ilmiah harus memenuhi dua syarat utama yakni (a) harus konsisten dengan teori-teori

sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keselurhan; dan (b) harus cocok dengan fakta-fakta empiris sebab teori yang bagaimanapun konsistennya kalau tidakdidukung oleh pengujian empiris tidak dapta diterima kebenarannya secara ilmiah. Jadi logika ilmiah merupakan gabungan antara logika deduktif dan logika induktif di mana rasionalisme dan empirisme hidup berdampingan dalam seah sistem dengan mekanisme korektif. Oleh sebab itu maka sebelum teruji kebenarannya secara empiris semua penejlasan rasional yang diajukan statusnya hanyalah bersifat sementara. Penjelasansementara ini biasanya disebut hipotesis. Sekiranya kit amenghadapi suatu masalah tertentu, dalam rangka memecahkan masalah tersebut, kita dapat mengajukan hipotesis yang merupakan jawaban sementara bagi permaalahan yang dihadapi. Secara teoretis mak asebenarnya akta dapat mengajukan hipotesis sebanyak-banyaknya sesuai dengan hakekat rasionalisme yang bersifat pluralistik. Hanya di sini dari sekian hipotesis yang diajukan iu hany asatu yang diterima berdasarkan kriteria kebenaran korespondensi yakni hipotesis yang didukung oleh fakta-fakta empiris. Hipotesis merupakan dugaan atau jawaban sementar aterhadap permaalahan yang sedang kit ahadapi. Dalam melakkan penelitian untuk mendapatkan jawaban yang benar maka seorang ilmuwan seakan-akan melakukan suatu interogasi terhadap alam.53 Hipotesis dalam hubungan ini berfungsi sebagai penunjuk jalan yang memungkinkan kita untuk mendapatakanjawaban,karena aalam itiu sendiri membisu dan tidak responsif terhadap pertanyaan-pertanyaan. Harus kita sadari bahwa hipotesis itu sendiri merupakan penjelasan yang bersifat sementar ayang membantu kita dalam melakukan penyelidikan. Sering kit atemui kesalahpahaman di man aanalisis ilmiah berhenti pada hipotesis ini tanpa upaya selanjutnya untuk melakukan verifikasi apakah hipotesis ini benar atau tidak. Kecenderungan ini terdapat pada ilmuwan yang sangat dipengaruhi oleh

53

George F. Kneller, Introduction to the Philosophy of Education (New York : John Wiley & Sons, 1964), p. 3

paham rasionalisme danmelupakan bahwa metode ilmiah merupakan gabungan dari rasionalisme dan empirisme.54 Hipotesis ini pada dasarnya disusun secara deduktif dengan mengambil premis-premis dari pengetahuan ilmiah yanga sudah diketahui sebelumnya. Penyusunan seperti ini memungkinkan terjadinya konsistensi dalam mengembangan ilmu secara keseluruhan dan meimbulkan pula efek kumulatif dlam kemajuan ilmu. Kalau kita kaji secara mendalam maka kemajuan ilmu sebenarnya atidak dilakukanoleh sekelompok kecil jenius dengan buah fikirannya yang monumental, melainkan oleh manusia-manusia biasa yan gselangkah demi selangkah menyusun tumpukan ilmu berdasarkan peenmuan sebelumnya. Para jenius di bidang keilmuan betperan sebagai raksasa yang meletakkan dasar-dasarnya. Sedangkan pengisiannya dilakukan oleh manusia biasa dengan ketekunan dan kerja kerasnya. Sifat inilah yang memungkinkan ilmu berkembang secara relatif lebih pesat bila dibandingkan dengan pengetahuan lainnya umpamanya filsfat. Dalam pengjakian filsafat maka seorang filsuf selalu mulai dari bawah dalam menyusun sistempemikirannya dan membangun sistemtersebut secara keseluruhan lengkap dengan bangunan dan isinya. Sedangkan dalam kegiatan ilmiah, mak atiap ilmuwan menyumbanagkan bagian kecil dari sistem keilmuan secara keseluruhan, namun sifatnya yang kumulataif menyebbakan ilmu berkembang dengan sangat pesat. Dengan adanya jembatan berupa penyusunan hipotesis ini maka metod eilmiah sering dikenal sebagai proses logika-hipotetika-verifikatif; atau menurut Tyndall sebagai Perkawinan yang berkesinambungan antara deduksi dan induksi.55 Proses induksi ini mulai memegang peranan dalam tahap verifikasi atau pengujian hipotesis di mana dikumpulkan fakta-fakta

empiris untuk menilai apakah sebuah hipotesis di dukung oleh fakta atau tidak. Sebenarnya dalam proses penyusunan hipotesis ini, meskipun dasar berfikirnya adlah deduktif, kegiatannya atidaklah sama sekali terbebas dari proses induktif. Kita tidak mampu memecahkan masalah hanya sambil beragoyang kaki dibelakang meja sambil tengadah ke lanagit biru mencari gagasan yang mungkin dapat dipergunakan dalam menyusun hipotesis. Penyusunan hipotesis itu sendiri dilakukan dlam kerangka permasalaahn yang bereksistensi secara empiris denganpengamatan kita yang mau tidak mau turut mempengaruhi proses berfikir deduktif. Kegiatan seperti ini akan
54

Rasionalisme mempunyai akar yang kuat seklai dlampemikiran di Eropa termasuk negeri Belanda. Inilah mungkin salah satu sebabnya mengapa produk sistem pendidikan kita, yang merupakan warisan sistempendidikan Belanda, cenderung untuk berfikir rasionalistis. 55 Dikutip dalam Harold A Lantabee, Reliable Knowledge (Boston : Houghton-Mifflin, 1964), p. 125.

lebih mendekatkan lagi hipotesis yang kita susun dengan dunia fisik yang secara teoretis memperbesar peluang bagi hipotesis tersebut untuk diterima. Langkah-langkah sesudah penyusunan hipotesis adalah menguji hipotesis tersebut dengan mengkonfirontasikannya dengan dunia fisik yang nyata. Sering sekali dalam hal ini kit aharus melakukan langkah perantara yakni menentukan faktor-faktor apa yang dapat kita uji dalam rangka melakukan verifikasi terhadap keseluruhan hipotesis bumi maka masalah yang kita hadapi adalah bagaimana caranya kita mengelilingi bumi maka masalah yang kita hadapi adalah bagaimana caranya kita mampu menguji pernyataan tersebut. Atau lebih jauh lagi fakta-fakta apakah yang dapat kita amati yang diturunkan drai hipotesis tersebut yang memungkinkan kita untuk menarik kesimpulan apakah pernyataan itu didukung olehfakta atau tidak. Umpamanya saja dalam menguji hipotesis tentang hubungan antara bumi dan bulan tersebut di atas maka kita dapat menyimpulkan pernyataan bahwa hipotesis tersebut akan menyebabkan timbulnya kegiatan pasang dan surut air laut secara periodik disebabkan daya tarik bulan yang berpinsahpindah sambil dia mengelilingi bumi. Gejala pasang dan surut air laut ini jelas akan dapat kita amati dengan pancaindera kita dan dengan demikian kita akan dapt melakukan verifikasi apakah pernyataan itu mengandung kebernaran atau tidak. Demikian juga hal y ang serupa berlaku untuk prestasi belajar yang dapat diliha tdan diuji lewat hasil tes, angka rapor sekolah atau angka penilaian lainnya. Proses pengujian ini, seperti telah kita singgung sebelumnya, merupakan pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan. Fakta-fakta ini kadang-kadang bersifat sederhana yang dapat kita tangkap secara langsung dengan pancaindra kita. Kadang-kadang kita memperlukan instrumen yang membantu pancaindra kita, umpamnya teleskop dan mikroskop. Dalam penyelidikan fisika nuklir maka pembuktian ini kadang-kadang memerlukan alat yang rumit sekali, sehingga sering terjadi bahwa suatu hipotesis baru dapat dibuktikan beberapa lama kemudian, setelah ditemukan alat yang dpat membantu mengumpulkan fakta yang bersangkutan. Hal ini pulalah yang menyebabkan penelitian ilmiah menjadi sangat mahal, yang disebabkan bukan oleh penyusunan teorinya, melainkan dalam pembuktiannya. Pembuktian inilah sebenarnayayang memberi vonis terhadap teori ilmiah apakah pernyataan-pernyataan yang dikandungnya dapat diterima kebenarannya atau tidak, secara ilmiah. Seorang ilmuwan pada mulanya selalu bersifat skeptif; dia selalu meragukan segala sesuatu. Jika kita mengemukakan kepadanya suatu teori tertentu maka keraguan I tu akan tercermin dalam sebuah pernyataan:

Jelaskan kepada saya lalu berikan buktinya! Jadi pertama-tama dia memerlukan penjelasan yang masuk akal dan tidak bersifat kontradiktif dengan pengetahuan ilmiah yang telah diketahuinya. Setelah itu dia minta pembuktian, sebab konsistensi secara logis saja baginay atidak cukup; dia menghendaki verifikasi secara empiris. Baru setelah pengjelasan ini ternyata didukung oleh fakta-fakta dalam dunia fisik yang nyata maka dia akan percaya. Jadi secara sederhana proses berfikir seorang ilmuwan dapat disimpulkan sebagai sesuatu yang dimulai dengan ragu-ragu dan diakhiri dengan percaya atau tidak percaya. Hal ini berbeda dengan penelaahan pada bidang lain, umpamanya agama, di mana pengkajian agama itu bermula atidak dengan ragu-ragu melainkan dimulai dengan percaya dan diakhiri dengan makin percaya atau mungkin menjadi ragu. Mengapa agama mesti dimulai dengan rasa percaya sedagnkanilmu dengan ragu-ragu? Kunci jawabannya terletak pada daerah penjelajahan agama yang menjanagkau daerah di luar pengalaman manusia. Dalam keadaan sesperti ini maka pengetahuan agama yang diwahyukan oleh Tuhan harus diterima dulu sebagai hipotesis yang kebenarannya kemudian diuji oleh kita. Proses pengujian ini tidak sama dengan pengujian ilmiah yang berdasarkan kepada tangkapan pancaindra, sebab pengujian kebenaran agama harus dilakukan oleh seluruh aspek kemanusiaan kita seperti penalaran, perasaan, intuisi, imajinasi di samping pengalaman. Demikian juga tiak semua pernyataan keagamaan dapat diverifikasi seperti adanya malaikat dan hari kemudian sebab hal ini berada di luar jangkauan pengalaman. Dengan demikian maka kepercayaan keagamaan sangat bersifat personal dan subyektif, berbeda dengan ilmu yang bersifat impersonal dan obyektif. Kedua pengetahuan ini bersifat saling melengkapi dan memperkaya kehidupan kita sesuai dengan hakekat dan kegunaannya masing-masing. Alur berfikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berfikir ilmiah yang berintikan proses logiko-hipotetiko-verifikatif ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut : 1. Perumusan Masalah, yang merupakan pertanyaan mengenai obyek empiris yang jelas batasbatasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya. 2. Penyusunan kerangka berfikri dalam pengajuan hipotesis, yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkaiat dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berfikir ini disusun secara

rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan; 3. Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan jawaban pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berfikir yang dikembangkan; 4. Pengujian hipotesis yang merupakan penumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak; 5. Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotesi ayang diajukan itu ditolak atau diterima. Sekiranya dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup yang mendukung hipotesis mak ahipotesis itu diterima. Sebaliknya sekiranya dalam proses pengujian tidak terdapat fakta yang cukup y ang mendukung hipotesis maka hipotesis itu ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian dari pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelum serta telah teruji kebenarannya. Pengertian kebenaran di sini harus ditafsikran secara pragmatis artinya bahwa sampai saat ini belum terdapat fakta yang menyatakan sebaliknya. Keseluruhan langkah ini harus ditempuh agar suatu penelaahan dapat disebut ilmiah. Meskipun langkah-langkah ini secara konseptual tersusun dalam urutan yang teratur, di mana langkah yang satu merupakan landasan bagi langkah berikutnya, namun dalam prakteknya sering terjadi lompatan-lompatan. Hubungan antar alangkah yang satu dengan langkah yanga lainnya tidak terikat secara statis melainkan bersifat dinamis dengan proses pengkajianilmiah yang tidak semata mengandalkan penalaran melainkan juga imajinasi dan kreativitas. Sering terjadi bahwa langkah yang satu bukan saja merupakan landasan bagi langkah yang berikutnya namun

sekaligus juga merupakan landasan koreksi bagi langkah yang lain. Dengan jalan ini diharapkan dipresesenya pengetahuan yang bersifat konsisten dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya serta teruji kebenarannya secara empiris. Langkah-langkah yang telah kita sebutkan di atas, harus dianggap sebagai patokan utama di mana dalam penelitian yang sesungguhnya mungkin saja berkembang berbagai variasi sesuai dengan bidang dan permasalahan yang diterliti. Walupun demikian bagi mereka yang sedang mendidik diri untuk menjadi ilmuwan tema pokok dari metode ilmiah harus dikuasai, sebab

tanpa kemampuan dasar ini dikhawatirkan bahwa variasi yang dikembangkan itu mungkin saja tidak mencerminkan ciri yang seharusnya dipenuhi oleh suatu kegiatan keilmuan. Sekiranya seorang seperti Percy Bridgman berkata bahwa ilmu adalah apa yang seseorang lakukan dengan fikirannya tanpa pembatasan apa pun,56 maka hal ini jangan ditafsirkan sebagai suatu ketinggihatian sebab perkataan itu diucapkan oleh seorang ilmuwan pemenang Hadiah Nobel untuk fisika. Tentu saja dia tidak menemukan rumus-rumus yang cukup layak untuk dianugrahi hadiah Nobel sekedar hanya dengan lima langkah metode ilmiah yang dia pelajari di sekolah. Bagi seorang pemula yang sedang mempelajari pengetahuan, apa pun jug aitu nmanya,

sebaiknya kita mulai dari dasar-dasar yang bersifat patokan pokok. Sukar untuk dibayangkan bagaimana seorang gitaris seperti Andres Segovia menyajikan konser dengan sepenuh kejeniusannya tanpa mengetahui dasar do-re-mi. Easley menyimpulkan bahwa meskipun prinsipprinsip metode ilmiah yang diterima oleh sebagian besar ilmuwan tidak selalu membantu pengembangan hipotesis dan merupakan kriteia untuk menolak atau menerima suatu pernyataan ilmiah namun meteod eilmiah ini penting bagi masyarakat ilmuwan dalam melancarkan kritik terhadap suatu penyelidikan dan dalam kegiatan mendidik calon ilmuwan.57 Walaupun demikian para pendidik jangan menafsirkan dan mengajarkan metode ilmiah ini secara mati dan ritualistik, seperti juga cara kita mempergunakan berbagai pedoman penulisan untuk tesis atau disertasi yang berasal dari berbagai universitas, melainkan ditekankan pada logika berfikri dan alur-alur jalan fikirannya. Dengan demikian maka kita akan mampu menghindarkan berkembangnya cara berfikir yang kaku dan simplistis. Metode ilmiah adalah penting bukan saja dalam pross penemuan pengetahuan namun lebih-lebih lagi dalam mengkomunikasikan penemuan ilmiah tersebut kepada masyarakat ilmuwan. Sebuah laporan penlitian ilmiah mempunyai sistematika cara berfikir tertentu yang tercermin dalam format dan tekniknya. Perbedaan utama dari metode ilmiah bila dibandingkan dengan metode-metode pengetahuan lainnya, menurut Jacob Bronowski, adalah hakekat metode ilmiah yang bersifat sistematik dan eksplisit.58 Sifat eksplisit ini memungkinkan terjadinya komunikasi yang intensif dalam kalangan masyarakat ilmuwan. Ilmu ditemukan secara individual namun dimanfaatkan secara sosial. Ilmu
56

Science is nothing more than doing ones damnedest with ones mind, no holds barred, P.W. Bridgman, Reflection of a Physicist (New York : Philosophical Library, 1950), p. 342. 57 A. Easley, Jr.Scientific Method as an Educational Objective,The Encyclopedia of Education (1971), VIII, 15057).

merupakan pengetahuan milik umum (public knowledge) di mana teori ilmiah yang ditemukan secara individuial dikaji, diulangi, dan dimanfaatkan secara komunal. Karakteistik ini mengharuskan seorang ilmuwan untuk menguasai sarana komunikasi ilmiah dengan baik yang memungkinkan komunikasi eksplisit antar ilmuwan secara intensif. Penemuan mesin cetak merupakan momentum yang sangat mendorong perkembangan ilmu. Ilmu jamu dengan cepat pada masyaarkat y ang telah mempunyai tradisi komunikasi tertulis yang mantap. Semagat ilmiah seperti kehidupan yang mengalir, kata Mayer, di mana tiap ilmuwan berhutang budi kepada ilmuwan-ilmuwan lainnya.59 Dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya telah teruji secara empiris. Dalam hal ini harus disadari bahwa proses pembuktian dalam ilmu tidaklah bersifat absolut. Sekiranya sekarang kita dapat mengumpulkan fakta-fakta yang mendukung hipotesis kita maka bukan berarti bahwa untuk selamanya kita akan mendapatkan hal yang sama. Mungkin saja suatu wkatu, baik secara kebetulan maupun karena kemajuan dalam peralatan pengujian, kita akan mendapatkan fakta yang menolak hipotesis yang selama ini kita anggap benar. Jadi pada hakekatnya suatu hipotesis dapat kita terima kebenarannya selama tidak didapatkan fakt ayang menolak hipotesis tersebut. Hal ini membawa dimensi baru kepada hakekat ilmu yakni sifat pragmatisdari ilmu. Imu tidak bertujuan untuk mencari kebenaran abasolut melainkan kebenaran yang bermanfaat abagi manusia dalam tahap perkembangan tertentu. Hipotesis-hipotesis yang sampai saat ini tidak ditolak kebenarannya, dan mempunyai manfaat bagi kehidupan kita, kita anggap sebagai pengetahuan yang sahih dalam keluarga keilmuan. Bahwa hipotesis ini kemudian hari ternyata tidak benar, bagi kita hal itu didkalah terlalu penting selama hipotesis ini mempunyai kegunaan. Seperti ucapan Santayana maka dalam ilmu sekiranya kita menemukan kebenaran baru kita tidak lalu menyalahkan pendahulu-pendahulu itu, kita cuma mengucapkan selamat jalan.60 Metode ilmiah ini pada dasarnya adalah sama bagi semua disiplin keilmuan baik yang termasuk dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial. Kalau pun terdapat perbedaan dalam kedua kelompok keilmuan ini, maka perbedaan tersebut sekedar terletak pada aspek-aspek tekniknya dan bukan pada struktur berfikir atau aspek metodologisnya. Teknik pengumpulan
58 59

Jacob Brnowski, The Common Sense of Science (Harvard University Press, 1957), p. 240. Dikutip dalam Frederick Mayer, Philosophy of Education for Our Time (New York : The Odyssey Press, 1958), p. 19. 60 Dikutip dalam Mayer, op. cit., pp. 10-11.

data mengenai gejala gunung berapi jelas kan berbda dari teknik pengumpulan dat atentang sikap kaum remaja mengenai keluarga berencana. Demikian juga teknik pengmatan bintang-bintang di langit akan berbeda dengan teknik pengamatan anak taman kanak-kanak yang sedang belajar mengeja. Metode ilmiah ini tidak dapat diterapkan kepada pengetahuan yang tidak termasuk ke dlam kelompok ilmu. Matematika dan bahasa tidak mempergunakan metode ilmiah dalam menyusun sarana berfikir ilmiah.61Demikian jug ahalnya dengan bidang sastra yang termasuk dalam humaniora yang jleas tidak mempergunakan metode ilmiah dalam penyusunan tubuh pengetahuannya. Meskipun demikian, beberapa aspek pengetahuan tersebut dapat menerapkan metode ilmiah dalam pengkajiannya, umpamanya saja aspek pengajaran bahasa, sastra dan matematika. Dalam hal ini masalah tersebut dapat dimaksudkan ke dlam disiplin ilmu pendidikana yang mengkaji secara ilmiah berbagai aspkek pross belajar-mengajar. Beberapa disiplin ilmu soisal mengembangkan teknik-teknik tersendiri dalam melakukan penelitian ilmiah umpamnya saja antropologi dan sosiologi. Teknik-teknik yang bersifat khusus ini biasanya dikembangkan untuk meneliti aspek tertentu yang bersifat eksploratoris yang bertujuan untuk menemukan pola atau struktur secara keseluruhan. Penelitian yang lebih betsifat kualitatif ini biasanya diikuti oleh penelitian yang bersifat kuantitatif dengan penerapan metode ilmiah sepenuhnya. Penelitian merupakan pencerminan secara konkret kegiatan ilmu dalam memproses pengetahuannya. Metodologi penelitianilmiah pada hakekatnya merupakan operasionalisasi dari metode keilmuan. Atau dengan perkataanlain, struktur berfikir yang melatarbelakangi langkahlangkah dlam penelitian ilmiah adalah metode keilmuan, dengan demiian maka penguasaan metod eilmiah merupakan persyaratan untuk dapat memahami jalan fikiran yang terdapat dalam langkah-langkah penelitian. Bagi pendidikan keilmuan maka aspek-aspek filsafat ilmu sebaiknya secara langsung dikaiatkan dengan kegiatan berfikir ilmiah pada umumnya dan kegiatan penelitian pada khususnya. Langkah-langkah penelitian yang mencakup apa yang diteliti, bagaimana penelitian dilakukan serta untuk apa hasil penelitian digunakan adlah koheren dengan landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis keilmuan. Dengan demikian maka pengetahuan filsafati yang bersifat potensial secara konkret memperkuat kemampuan ilmuwan dalam melakukan kegiatan ilmiah secara operasional.
61

Lihat pembahasan selanjutnya dalam Bahasa, Matematika dan Statistika.

Demikianlah secara singkat telah dibahas hakekata metode ilmiah yang alur-alur pikirannya tercermin dalam langkah-langkah tertentu. Alurpikiran keilmuan inilah yang penting sebab ilmu pada kenyataannya yang paling asasi adlah produk kegiatan berfikir lewat suatu cara berfikir tertentu. Langkah-langkah dalam metode ilmiah ini janglanlah ditafsirkan secara mati dan menjadi hafalan baru. Ada baiknya dalam hal ini kita memperhatikan peringatan yang diberikan oleh Leonard Nash bahwa terdapat bahaya yang potensial yang mengintai dibalik mitos yang bernama metode, yakni bahwa ilmuan akan memperlakukannya secara terlalu bersungguh-sungguh!62 Dengan metode ilmiah sebagaiparadigma maka dibandingkan dengan berbagai pengetahuanlainnya ilmu dapat dikatakan berkembang dengan sangat cepat. Salah satu faktor yang mendorong perkembangan ini adalah faktor sosial dari komunikasi ilmiah di mana penemuan individual segera dapat diketahui dan dikaji oleh anggot amasyarakat ilmuwan lainnya. Tersedianya alat komunikasi tertulis dlam bentuk majalah, buletin, jurnal, micro film dan berbagai media massa lainnya sangat menunjang intensitas dan efektivitas komunikasi ini. Suatupenemuan baru di negara yang satu segela dapat diketahui oleh ilmuwan di negara-negara lain. Penemuan ini segera dapat diteliti kebenarannya oleh kalangan ilmiah di mana saja sebab prosedur untuk menilai kesahihan pernyataan yang dikandung pengetahuan tersebut sama-sama telah diketahui oleh seluruh masyarakat ilmuwan. Sampai pertengahan abad ketujuhbelas kokmunikasi ilmiah antar ilmuwan dilakukan secara korespondensi pribadi dan dengan publikasi makalah atau pamflet sewaktu-waktu.63 Barupad atahun 1654 the Royal Society didirikan di London yang disusul oleh Academic Francaise yang didirikan di Paris pada tahun 1663. Laporan pertemuan ilmiah dari the Royal Society muncul untuk pertama kali pada tahun 1664. Setelah itu maka komunikasi dan kerja sama antar ilmuwan dalam bentuk kelembagaan, himpunan dan penerbitan jurnal berkembang dengan pesat.64 Berbagai percobaan ilmiah dapat diulang oleh ilmuwan lainnyayang berhasrat, dan sekiranya dalam pengulangan tersebut didapatkan hasil yang sama, serta merta ilmuwanitu menerima dan mendukkung kebenaran yang dimaksud. Akhirny aseluruh kalangan keilmuan akan menerima kebenaran ilmiah itu dan dengan demikian dunia keilmuan menganggap
62 63

Leonard K. Nash, The Nature of the Natural Sciences (Boston : Little & Brown, 1963), p. 168. John Ziman, Public Knowledge : Te Social Dimension of Science (Cambridge University Press, 1968), p. 104. 64 Hugh F. Kearney (ed.,), Origins of Scientific Revolution (New York : Barners & Noble, 1964), p. 97.

permasalaahn mengenai hal tersebut telah selesai danilmu mendapatkan pengetahuan baru yang diterima oleh seluruh ilmuwan. Dengan demikian maka ilmu berkembang dengan cepat dalam dinamika y ang dipercepat karena penemuan yanag stu akan menyebabkan penemuan-penemuan yang lainnya. Hipotesis yang telah teruji kebenarannya segera menjadi teori ilmiah yang kemudian digunakan sebagai premis dalam mengembangkan hipotesis-hipotesis selanjutnya. Secara kumulatif maka teori ilmiah berkembang seperti piramida terbalik yanag makin lama makin tinggi. Diperkirakan ilmu berkembanga dua kali lipat tiap jangka waktu sepuluh tahun.65 Ilmu juga bersifat konsisten karena penemuan yanag satu didasarkankepada penemuanpenemuan sebeumnya. Sebenarnaya hal ini tidak seluruhnya benar karna sampai saat ini belum satu pun dari seluruh disiplin keilmuan yan gtelah berhadil menusun satu teori yanga konsisten dan menyeluruh. Bahkan dalam fisika, yang merupakan prototipe bidang keilmuwan yang relatif paling maju, satu teori yang mencakup segenap dunia fisik kita belum dapat dirumuskan. Usaha untuk mempersatukan seluruh konsep-konsep fisika dlam sebuah teri yang koheren sampai sekarang belum berhasil dilaksanakan. ilmu tidak selalu sependapat, simpul Gillbert Highet, bahkan dalam beberaap persoalan yanga penting tidak terdapat pertemuan, apalagi bersifat koheren,66 Teori ilmiah masih merupakan penjelasan yang bersifat sebagian sesuai dengan tahap perkembangan keilmuan yang masih sedang berjalan. Demikian juga dalam jalur perkembanganini belum dapat dipastikan ahwa kebenaran yang sekarang diterima oleh kalangan ilmiah akan benar pula di masa yang akan datang. Sejarah ilmu telah mencatat betapa banyak kebenaran ilmiah di masa lalu yang sekarang ini tidak dapat diterima lagi karena manusia telah menemuan kebenaran lain yanag ternyata lebih dapat diandalkan. Sifat pragmatis dari ilmu inilah yang sebenarnya merupakan kelebihan dan sekaligus kekurangan dari hakekat ilmu. Sikap pragmatis dari ilmu adalah cocok ddngan perkembangan peradaban manusia di mana telah terbukti secara nyata peranan ilmu dalam mebangunperadaban tersebut. Ilmu, terlepas dari berbagai kekurangannya, dapat memberikan jawaban positif terhadap permaalahan yang dihadapi manusia pada suatu waktu tertentu. Ilmu memandang kebenaran sebagai tuuan yang mungkin dapat dicapai namun tidak pernah sepenuhnya tankapan kita iatu sampai. Seperti sebuah asimtot maka lengkungan kurva

65 66

Fred Luthans, Organization Behaviour (Tokyo : MacGraw Hill & Kokagusha, 1977), p. 82. Gilbert Highet, Mans Uneonquorable Mind (Columbia University Press, 1954), p. 106.

mencob amenjamah namun tidak pernah bersinggungan. Meskipun kita bersikap seobyektif mungkin namun persepsi kita tidak pernah lepas dari faktor subyektivitas. Tiap langkah kita dalam menemukan pengetahuan yang benar sealu dintai oleh kekliruan. Seperti dikatakan oleh pujangga Hasan Mustapa.67 Manusia itu jarang betulnya, kalau pun betul sekedar kebetulan; manusia itu jarang salahnya, kalupun salah sekedara kesalahan. Mungkin dlam situasiseperti inilah maka menonjol sekali sikap moral dan intelektual ilmuwan terhadap kebenaran. Kegiatan ilmuwan pada jiwanya merupakan komitmen moral dan intelektual untuk mencoba mendekati kebenaran dengan cara yang sejujur-jujurnya.68 Dalam perspektif inilah maka penilaian terhadap ilmu tidaklah ditentuanoleh kesahihan teorinya sepanjanag zmana melainkan terletak dalam keampuan memberikan jawaban terhadap p ermasalahan manusia dalam tahap peradaban tertentu. Merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa pada kurun masa kini kita mempergunakan berbagai kemudahan yang dikembangkan oleh ilmu dan teknologi umpamanya sarana angkutan seperti mobil dan pesawat terbang. Sarana angkutan tersebut yang bersifat fungsional dalam kehidupan masa kini dikembangkan berdasarkan pengetahuanilmiah yang kebenaranya diakui pada ini. Di kemudian hari mungkin saja haarus diciptkan sarana angkutan seperti yang sikhayalan dalam film Star Trek di mana zat ditrasnportasikan ke tempat lain dengan merubahnya menjadi energi tentu sja membutuhkan teori-teori lain yang sekarang dipelajari dan diterapkan dalam industri otomotif dan pesawat terbang. Pada waktu itu mungkin kita telah meninggalkan teori-teori yang dewasa ini kita anggap benar. Hal itu tidak perlu merisaukan kita sebab teori-teori yang hidup sekaran ginilah justru yang bersifat fungsional dalam kehidupan kita. Banyak jenius yang buah pikirannya mendahului zamannya, yang meskipun buah pikirannya itu lebih maju dari pengetahuan sebelumnya, ternyata harus menunggu saat yang tepat untuk menjadikan gagasannya itu bermanfaat. Seperti juga mengenakan baju maka peradaban mengembangkan pengetahuan yang cocok untuk zamannya. Namun masalah ini menjadi snaga tlain bila dihubungkan dengan hal-hal yang bersifat asasi di mana manusia membutuhkan adanya kemutlakan dan bukan sekedar kesementaraan
67

Pujangga yang banyak menulis dalam Bahasa Sunda. Lahir di Cikajang pada tahun 1849 dan meninggal di Bandung pada tahun 1930. 68 ..Tapi kebenaran lalu jadi rumit. Andai ke-tak benar-an, yang dibenarkan; Keadilan lalu jadi sulit Andai ke-takadilan, yang diadilkan!

yang bersifat relatif. Dalam mempertanyakan eksistensi dirinya, tujuan hidupnya serta berbagai hal yang bersifat asasi lainny amaka manusia membutuhkan pegangan yang lebih mantap. Dalam hal ini maka ilmu dengan segala atributnya atidak dapat memberikan jalan ke luar dan manusia harus berpaling kepada sumber lain yakni agama. Ilmu tidak berwinang menjawabnya sebab hal ini berada di luar bidang penelaahannya. Secara ontologis ilmu membatasi diri hanya dalam ruang lingkup pengalaman manusia. Di luar bidng empiris ilmu tidak bisa mengatakan apa-apa. Sedangkan dalam baas kewenangannya ini pun, ilmu bukan sesuatutanpa cela, sebab penalaran danpandaindera manusia jauh dari sempurna. Kemajuan manusia tidak bis adi ukkur hanya dengnap erluasan pengetahuan kita, berkata Daniel Boorstin, melainkan juga harus diukur dengan bertambahnya kesadaran akan ketidaktahuan kita, yang akan membuktikan berbagai kemungkinan yang sampai saat ini mungkin belum terbayangkan.69 Demikian juga ilmu yang makin terspesialisasikan menyebabkan bidang pengkajian suatu disiplin keilmuan makin sempit yang ditambah dengan berbagai pembatasan dalam pengkajianya seperti postulat, asusi dan prinsi pmembikin lingkkup penglihatan keimuan makin bertambah sempit pula. Hal inilah yang menimbulkan gejala deformation professionelle,70 yakni perubahan bentuk sebuah ujud dilihat dari kacamata profesional. Bentuk yang bersifat artfisial ini berbeda dengan kenyataan yang sebenarnaya disebabkan keterbatasan ilmu dalam menangkap sebuah ujud secara keseluruhan. Jadi pada hakekatnya penglihatan ilmu bersifat sempit dan sektoral yang mendorong manusia untuk melakukan pendekatan multi-disipliner terhadap sebuah permasalahan. Pendekatan ini menyebabkan berkembangnya sarana berfikri yang merupakan kerangka yang mengikat berbagai disiplin keilmuan dalam melakukan penelaahan bersama di antaranya adalah cara berfikir sistem.71 Berfikir menurut sistem ini bukanlahdisiplin keilmuan baru melainkan sarana berfikir yang membantu proses pengkajian kita seperti juga bahasa, logika, matematika dan statistika. Ketidakpuasankita terhadap lingkup analisis keilmuan yang sempit dan sektoral janganlah diarahkan untuk mengaburkan batas-batas disiplin keilmuan yanag makin lama memang makin terspesialisasikan melainkan denganjalan mengikatnya secara federatif dalam suatu pendekatan multi-disipliner. Dengan demikian kita tidak mengembangkan
(Jujun S. Suriasumantri, Tesis Hari Ini,Bulletin KAMI Bogor, Agustus, 1966). 69 Daniel J. Boorstin, Semakin Kuat Dominasi Teknologi, Semakin Diperlukan Kesadaran Sejarah, Kompas, 13 Januari 1981. 70 William Barett, Irrational Man (New York : Doubleday, 1962), p. 5. 71 Pembahasan historis dan filsafati (Ontologi, epistemologi dan aksiologi) berfikir sistem secara singkat dapat dilihat dalam Jujun S. Suriasumantri, Systems Thinking (Bandung: Binacipta, 1981).

teori keilmuan baaru melainkan sarana-sarana berfikir baru. Spesialisasi, meminjamperkataan William Barrett, adalah harga yang kita bayar untuk kemajuan pengetahuan. 72 Pendekatan sistem yang berkembanga menjadi paradigma keilmuan setelah perang dunia II diharapkan oleh para pengembangnya menjadi kerangka keilmuan (the skeleton of science)73 yang mampu mengikat berbagai disiplin keilmuan. Demikianlah kita telah melihat berbagai keterbatasan yang dipunyaiimu yang walaupun demikian kekurangan ini bukan merupakan alasan untuk menolak eksistensi ilmu dalam kehidupan kita. Sebab terlepas dari segala keterbatasannya ilmu merupakan pengetahuan yang telah menunjukkan keampuhannya dalam membangun kemajuan peradaban seperti yang kita lihat sekarang ini. Kekurangan dan kelebihan ilmu harus digunakan sebagaipedomanauntuk meletakkan ilmu dlam tempat yang sewajarnya, sebab hanya dengan sikap itulah, kita dapat memanfaatkan kegunaannya semaksimal mungkin bagi kemaslahatanmanusia. Mengatasi segalanya harus kita sadari bahwa ilmu hanyalah sekedar alat dan semuanya tergantung kepada kita apakah kita mempergunakan alat itu dengan baik atau tidak. Menolak kehadiran ilmu dengan picik beraratai kita menutup mata terhadap semua kemajuan masa kini di mana hampir semua aspek kehidupan modern dipengaruhi oleh produk ilmu dan teknologi. Sebaliknya dengan jalan mendewa-dewakan ilmu, hal ini menunjukkan bahwa di sini pun kita gagl untuk mendapatkan pengertian mengenai hakekat ilmu yang sesungguhnya. Mereka yang sungguh-sungguh berilmu adalah mereka yang mengetahui kelebihan kekurangan ilmu, di atas dasar itu mereka menerim ailmu sebagaimana adanya, mencintainya dengan bijaksana, serta menjadikandia bagian dai kepribadian dan kehidupannya. Bersama-samna pengetahuan lainya, dan bersama pelengkap kehidupan lainnya sseperti seni dan agama, ilmu melengkapi kehidupan dan memenuhkan kebahagiaan kita. Tanpa kesadaran itu, maka kita hanya kembali kepada ketidaktahuan dan kegersangan, seperti disyairkan Byron dalam Manfred, di mana pengetahuan tidak membawa kita kebahagiaan dan ilmu sekedar bentuk lain dari ketidaktahuan.74

BAB IV
72 73

Barrett, op. cit., p.6. Kenneth Boulding, General Systems Theory Skeleton of Science,Management Systems, ed. Peter P. Schoderbek (New York : John Wilev, 1971), pp. 27-28. 74 Knowledge is not hapiness, and science. But an exchange of ignorance for that. Which is another kind of ignorance.

STRUKTUR PENGETAHUAN ILMIAH

Hipotesis atau teori yang prediksinya telah ternyata jitu menjadi bagian dari khasanah ilmu.Kalau masukan baru ini memberikan penjelasan yang lebih umum, atu sama cakupannya tetapi lebih gamblang dan gampang, daripada penjelasan teori yanga

mendahuluinya, maka ia menggeser kedudukan teori yang lama itu. Pada waktunya nanti ia sendiri bisa juga tergusur dari khazanah ilmu itu, yakni bila kekurangan dan cacaatnya menjadi kentara dalam terang penemuan eksperimental baru, atau bila muncul teori tandaingan yang lebih baik.

Kalau pada asasnya teori itiu enar, maka data eksperimental baru atau sorotan teoretis dari ilmuwan lain justru dapat dipakai buntuk merivisi teori tersebut. Peintasan siklus hipotetiko-dedukto-verifikatif secara iteratif menghasilkan pengetahuan ilmiah yang kadar kebenarannya makin tinggi. Dan karena masukan baru juga lalu dipakai sebagai premis untuk mendeduksikan prediksi yang baru, dengan memadukannya dengan hipotesis lain, maka secara kumulatif ilmu itu berkembang.

Secara deduktif-deterministik, induktif-probabilistik, fungsional, atau genetik, atau dengan kombinasi beberaap di antara dan bahakn mungkin semua cara ini, ilmu menjelaskan gejala-gejala alam. Penjelasan yang lebih berguna untuk peramalan dan pengendalian adalah penjelasan yang didasarkan atas hukum-hukum kausal, bukan hubungan korelasional.

Pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah merupakan pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat keilmuan dan dengan demikian dapat disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu. Seperti tampak dalam pembahasan terdahulu, pengetahuan ilmiah ini diproses lewat serankaian langkah-langkah tertentu ang dilakukan dengan penuh kedisiplinan, dandari karakteristik inilah maka ilmu sering dikonotasikan sebagai disiplin. Disiplin inilah yang memungkinkan ilmu berekmbang relatif lebih cepat bila dibandingkan dengan pengetahuanpengetahuan lainnya. Imu dapat diibaratkan sebagai piramida terbalik di mana penemuan
(Act ii, Scene 4).

pengetahuan ilmiah yang satu memungkinkan penemuan pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang lainnya. Sebuah hipotesis yang telah teruji secara formal diakui sebagai pernyataan pengetahuan ilmiah y ang baru yang memperkaya khasanah ilmu yang telah ada. Sekiranya pengetahuan ilmiah yang baru ini kemudian ternyata salah, disebabkan kelengahan dalam salah satu langkah dari proses penemuannya, maka cepat atau lamba kesalahan ini akan diketahui dan pengetahuan ini akan dibuang dari khasanah keilmuan. Metode ilmiah mempunyai mekanisme umpan balik yang bersifat korektif yang memungkinkan upaya keilmuan menemukan kesalahan yang mungkin diperbuatnya. Sebaliknya bila ternyata bahwa sebuah pengetahuan ilmiah yang baru itu adalah benar, maka pernyataaan yang terkeandung dlam pengetahuan ini dapat dipergunkan sebagai premis baru dalan kerangka pemikiran yang menghasilkan hipotesis-hipotesis baru, yang bila kemudian ternyata dibenarkan dalam proses pernguian akan menghasilkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah baru pula. Pada dasarnya ilmu dibangun secara bertahap dan sedikit demi sedikit di mana para iilmuwan membenrikan sumbangannya menurut kemampuannya. Tidaklah benar anggapan bahwa ilmu dikembangkan hanya oleh para jenius saja yang bergerak dalam bidang keilmuan. Ilmu secara kuantitatif dikembangkan oleh masyarakat keilmuan secara keseluruhan, meskipun secara kualitatif beberapa orang jenius seperti Newton atau Einsten, merumuskan landasan-landasan baru yang bersifat mendasar. Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan yang bersifat menjelsakan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia melakukan serangkaian tindkan untuk menguasai gejala tersebut berdasarkan penjelasan yang ada. Sekiranya kita mengetahui bahwa banjir disebabkan hutan yang ditebang sampai gundul, umpamanya maka penjelasan semacam ini akan memungkinkan kit amelakukan upaya untauk mencegah timbulnya banjir. Penjelasan keilmuan memungkinkan kita meramalkan apa yang akan terjadi dan berdasarkan ramalan tersebut kita bisa melakukan upaya untuk mengontrol agar ramalan itu menjadi kenyataan atau taidak. Pengetahuan tentanag kaitan antara hutan gunful dengan banjir memungkinkan kita untuk bisa meramalkan apa yang akan terjadi sekiranya hutan-hutan terus ditebang sampai tidak tumbuh lama. Sekiranya kita tidak menginginkan timbulnya banjir sebagaimana diramalkan oleh penjelasan tadi maka kita harus melakukan kontrol agar hutan-hutan tidak dibiarkan menjadi gundul. Demikian juga, jika kit am engetahui bahwa hutan-hutan tidak ditebang sekiranya ada pengawasan, mak auntuk mencegah banjir kiga harus melakukan kontra agar

kegiatanpengawasan dilakukan, agar dengan demikian hutan dibiarkan tumbuh subur dan atidak mengakibatkan banjir. Jadi pengetahuan ilmiah pada hakekatnya mempunyai tig afungsi, yakni menjelaskan, meramalkan dan mengontrol. Tantum possumus,ujar Francis Bacon, quantum scimus! (Kita dapat melakukan sesuatu seagai yang kita tahu!). Secara garis besar terdapat empat jenis pola penjelasan yakni deduktif, probabilitik, fungsional atau teleologis, dan genetik.75 Penjelasan deduktif mempergunakan cara berfikir deduktif dalam menjelaskan suatu gejala dengan menarik kesimpulan secara logis dari premispremis yang telah ditetapkan sebelumnya. Penjelasan probabilistik merupakan penjelasan yang ditarik secara induktif dari sejumlah kasus yang dengan demikian tidak memberikan kepastian seperti penjelasan deduktif melainkan penjelasan yang bersifat peluang seperti kemungkinan, Kemungkinan besar atau hampir dapat dipastikan. Penjelasan fungsional atau teleologis merupakan penjelasan yang meletakkan sebuah unsur dalam kaitannya dengan sistem secara keseluruhan yang mempunyai karakteristik atau arah perkembangan tertentu. Penjelasan genetik mempergunakan faktor-faktor yang timbul sebelumnya dalam menjeaskan gejal ayang muncul kemudian. Dalam mencari penjelasan mengenai tingkah laku seorang dewasa umpamanya maka ilmu jiwa memberikan penjelasan genetik dengna mengkaitkannya pada pengalaamn orang tersebut sewaktu masih kanak-kanak. Tidak satu pun dari pola-pola tersebut di atas yang mampu menjelaskan secara keseluruhan suatu kajiankeilmuan dan oleh sebab itu dipergunakan pola yang berbeda untuk menjelaskan masalah yang berbeda pula. Teori merupakan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu sektor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan. Umpamanya dlam ilmu ekonomi dikenal teori ekonomi makro dan mikro sedangkan dalam fisika dikenal teori mekanika Newton dan teori relativitas Einstein. Sebenarnya tujuan akhir dari tiap disiplin keilmuwan adlah mengembangkan sebuah teori keilmuan yang bersifat utuh dan konsiten, namun hal ini baru dicapai oleh beberapa disiplin keilmuan saja seperti umpamanya fisika. Fisika teoretis (theoretical physics) merupakan disiplin keilmuan yang benar-benar mencerminkan penjelasan teoretis dari gejala-gejala fisik, namun bahkan disiplin keilmuan seperti fisika teoretis ini pun, yang dapat dianggap sebagai disiplin keilmuan yang termasuk paling maju, belum merupakan satu teori yang utuh dan konsisten. Fisika teoretis terdiri dari berbagai teori yang dikembangkan oleh Newton, Maxwell, Einstein, Schrodinger dan ahli-ahli fisika lainnya; yang dalam sektornya masing-masing dalam
75

Ernest Nagel, The Structure of Science (New York : Harcourt, Brace & World, 1961), p. 20-26.

memberikan penjeasan teoretis secara ilmiah, namun secara keseluruhan teori-teori tersebut belum membentuk sebuah teori yang utuh. Einstein mencoba mengembangkan teori y ang bersifat menyeluruh ini, namun dia terburu meninggal sebelum upayanya berhasil. Seperti dalam teori evolusi maka fisika masih mencari mata rantai yang hilang (missing link) untuk dapat menyatukan keseluruhan teori-teori fisika yang ada. Bila pada fisika saja keadaannya sudah seperti ini maka dapat dibayangkan bagaimana situasi perkembangan penjelasan eteoretis pada disiplin-disiplin keilmuan dalam bidang sosial. Ilmu sosial pada kenyataannya terdiri dari berbagai teori yang tergantung dalam suatu disiplin keilmuan yang satu sama lain belum membentuk suatu perspektif georetis yang bersifat umum. Teori-teori ini sering mempergunakan postulat dan asumsi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Mungkin inilah yang menyebabkan Max Planck menurut majalah Playboy (sic!) menganggap ekonomi itu sukar dan mengalihkan bidang studinya ke fisika, sedangkan Bertrand Russell berpendapat sebaliknya, ekonomi baginya dianggap terlalu mudah yang menyebabkan dia beralih kepada filsafat dan matematika.76 Sebuah teori biasanya terdiri dari hukum-hukum. Dalam teori ilmu ekonomi mikro umpamanya kita mengenal hukum permintaan dan penawaran: Bila permintaan naik sedangkan penawaran tetap maka harga akn naik, bila penawara naik sedangkan permintaan tetap maka harga akan turun. Hukum pada hakekatnya merupakan pernyataan yang menyatakan hubungan antara dua variabel atau lebih dalam suatu kaitan sebab akibat. Seperti dalam hukum ekkonomi tersebut di atas maka dapat dilihat hubungan sebab akibat antara permintaan, penawaran dan pembentukan harga. Pernyataaan yang mencakup hubungan sebab akibat ini ,atau dengan perkataan lain hubungan kausalita, memungkinkan kita untuk meramalkan apa yang akan terjadi sebagai akibat dari sebuah sebab. Apa yang akan terjadi dalam pembentukan harga beras waktu panen, umpamanya, akan dapat diramalkan dengan hukum ini. Penawaran yang meningkat disebabkan banyaknya beras yang ditawarkan oleh penjual pada waktu panenan akan menyebabkan harga beras menjadi turun bila permintaan konsumen terhadap beras pada waktu itu adalah tetap. Sedangkan hal yang sebaliknya terjadi pada wkatu paceklik di mana penawaran
76

Bahagia adalah pizza dengan bir; Bahagia adalah toko buku loak; Penuh Playboy dan Bertrand Russell; Bahagia adalah ketenangan yang mengalir; Menghilir seperti Charles River. (Catatan Harian, Cambridge : Massachusetts, Summber 1974).

yang menurun disebabkan berkurangnya persediaan beras di p asaran akan menyebabkan harga beras menjadi naik. Sekiranya perubahan harg aseperti ini tidak dikehendaki oleh kit amaka dapat dilakukan usaha untuk mengontrol p embentukan harga tersebut agar lebih sesuai dengan kehendak kita. Umpamnya agar harga beras pada wkatu panen tidak menurun maka pemerintah dapat membeli beras sebanyak-banyaknya, seperti apa yang sekarang dilakukan oleh Badan Urusan Logistik Nasional (BULOG), sehingga keseimbangan antara penawaran dan permintaan atidak terlalu mengalami perubhan. Hal yang sama dilakukan oleh BULOG pada waktu pacekllik dengan melakukan dropping beras pada wkatu penawaran beras di pasaran menjadi menurun. Demikianlah dengan mengetahui hubungan permintaan dengan penawaran maka kita dapat menjelakan mekanisme pembmentukan harga, yang dengan berdasarkan penjelasan ini selanjutnya kita dapat meramalkan terjadinya harga, dan berdasarkan ramlan ini kit adapat melakukan upaya untuk mengontrol naik dan turunnya harga. Secara mudah kita dapat mengatakan bahwa teori adalah pengetahuan ilmiah yang memberikan penjelasan tentang mengapa suatu gejala terjadi sedangkan hukum memberikan kemampuan kepada kita untuk meralakan tentang apa yang mungkin terjadi. Pengetahuan ilmiah dlam bentuk teori dan hukum ini merupakan alat yang dapat kita pergunakan untuk mengontrol gejala alam. Kebijaksanaan ekonomi yang dilaksanakan BULOG dalam mempertahankan kestabilan harga beras merupakan alat untuk mempertahankan kestabilan harga beras. Pengetahuan ilmiah dalam bentuk teori dan hukum ini harus mempunyai taingkat keumuman yang tinggi, atau secara idealnya, harus bersifat universal. Sekiranya hukum permintaan dan penawaran hanya berlaku bua tpadi dan terbatas di daerah Karawang saja, umpamanya, pengetahuan semacam ini kurang fungsional sebagai teori ilmiah. Pertama, karena hal itu cuma berlaku untuk padi namun tidak untuk hamburger atau televisi yang kesemuanya merupakan benda ekonomi. Kedua, pernyataan itu hanya berlaku untuk daerah Karawang saja dan tidak berlaku untuk daerah lain. Pengetahuan tentang goyang karawang yang memang khas Karaawng mungkin berguna dalam diskusi yang tidak bersifat ilmiah, namun pengetahuan ilmiah tentang pembentukan harga padi y ang terbatas di daerah Karawang saja, kurang bersifat fungsional. Namun hal ini jangan diartikan bahwa pengetahuan ilmiah mengenai kasus pembentukan harga padi di daerah Karawang ini sama sekali ada nilainya, yang penting utnuk

diingat adalah bahwa demi kepraktisan ilmu tidak merupakan kkumpulan pengetahuan yang bersifat kasus, melainkan pengetahuan yang bersifat umum yang disimpulkan dari berbagaibagai kasus. Dalam usaha mengembangkan tingkat keumuman yang lebih tinggi ini maka dalam sejarah perkembangan ilmu kita melihat berbagai contoh di mana teori-teori yang mempunyai tingkat keumuman yang lebih rendah disatukan dalam suatu teori umum yang mampu mengikat keseluruhan teori-teori tersebut. Sejarah perkembangan fisika umpamnya mengenal teori tentang jatuh bebas yang didemonstrasikan oleh Galileo dengan menjatuhkan dua benda yang berbeda beratnya dari Menara Pisa. Sampai waktu itu ornag misah percaya kepada teori Aristeteles yang menyatkan bahwa benda yang l ebih berat akan jatuh ke tanah dengan lebih cepat. Galileo (15641642) dengan demonstrasinya yang bersifat teatrik sekali pukul menjatuhkan teori Aristoteles yang tidak benar itu. Benda-benda, tanpa melihat beratnya, akan jatuh ke tanah dengan waktu yang sama. Copernicus (1473-1543) mengembangkan teori baru bhawa bukan matahari yang berputar mengelilingi bumi melainkan bumi mengelilingi matahari. Teori ini merupakan perombakan terhadap teori lama yang dikemukakan oleh Ptolemaeus (150 S.M) dari Alexandria yang mengemukakan bahwa bumi adalah pusat jagat raya dengan planet-planetlah yang berputar mengelilinginya dalam orbit-orbit yang berbentuk lingkaran. Teori Copernicus ini kemudian disempurnakan oleh Johannes Kepler (1571-1630), yang mendasarkan diri kepada data yang dikumpulkan Tycho Brache (1546-1601) menyatakan pada tahun 1609 bahwa orbit planet-planet dalam mengelilingi matahari tidaklah berbentuk lingkaran seperti apa yang dipercayai oleh Ptolemaeus maupun Copernicus melainkan berbentuk ellips. Akhirnya Newton (1642-1772) pada tahun 1686 menerbitkan Philosophiae Naturalis Principia Mathematica yang merupakan teori yang mempersatukan teori Galileo, Copernicus dan Kepler. Teori Newton menyatakan bahwa semua gerak, baik yang terjadi di langit atau di bumi, tuntuk kepada hukum-hukum yang sama. Dengan teori ini maka Newton mengembangkan hukum-hukumnya sebagaiman akita kenal sekarang ini yang kita pelajari sejak kita duduk di sekolah lanjutan pertama. Bahwa Newton berhasil menemukan teorinya yang bersifat universsal didasarkan kepada teori-teori sebelumnya yang bersifat sektoral diakui oleh Newton sendiri yang

menyakinkan : Jika saya mampu melihat jauh maka hal ini karena saya berdiri di pundak para jenius terdahulu.77 Seperti kita ketahiu dalam mempersatukan teori-teori fisika yang sudah ditemukan sebelumnya Newton mengemukakan teori tentang daya tarik atau gravitasi. Episode yang terkenal mengisahkan Newton, waktu sedang duduk di bawah pohon apel, melihat buah apel jatuh ke tanah. Mengapa buah apel itu jatuh ke tanah, fikir Newton. Masalah ini kemudian dihubungkan dengan teori Galileo yang menyatakan bahwa buah nangka jauh lebih berat dari buah apel, bila terjatuh dari ketinggian yanag sama, akan menimpa tanah dalam waktu yang sama. Mengapa hal itu terjadi demikian, sebab bila difikir sepintas lalu, kita lebih mudah sependapat dengan pendapat Aristoteles yang menyatkan bahwa buah nangka akan lebih cepat sampai ke tanah disebabkan buah nangka lebih berat dari apel ? Lalu mengapa benda-benda langit seperti bumi dan matahari tidak jatuh seperti buah apel melainkan bergerak dalam lintasan tertentu yang berbentuk orbit ? Sebelum Newton telah banyak manusia melihat buah apel jatuh, telah banyak pula yang mempertanyakan mengapa buah apel jatuh, demikian juga telah banyak manusia yang memberikan penjelasan mengapa buah apel itu jatuh, namuin baru seorang jenius yang bernama Newton itulah yang memformulasikan sebuah teori tntang gravitasi yang menjelaskan peristiwa tersebut dengan penejlasan yang bukan saja belaku bagi apel, namun juga baagi seluruh benda, baik yang berada di bumi maupun di langit. Berdasarkan teori ini maka dapat disuusn penjelasan yang konsisten mengenai berbagai hal yang bersifat universal yang secara keseluruhan membentuk suatu sistem teori keilmuan. Ilmu teoretis, meminjam definsi Moritz Schilck, terdiri dari sebuah sistem pernyataan.78 Sistem yang terdiri dari pernyataan-pernyataan agar terpadu secara utuh dan konsisten jelas memerlukan konsep yang mempersatukan dan konsep yang mempersatukan tersebut adalah teori. Makin tinggi tingkat keumuman sebuah konsep maka makin teoretis koknsep tersebut. Pengertian teoretis di sini dikaitkan dengan gejala fisik yang dijelaskan oleh konsep yanag dimaksud; artinya makin teoretis sebuah konsep maka seakan makin jauh pernyataan yang dikandungnya bila dikaitkan dengan gejala fisik yang tampak nyata. Diibaratkan pohon dengan akar maka bila makin tinggi tingkat keumuman yang ingin dicapai oleh sebuah konsep yang
77 78

If I have seen further it is by standing on the shoulder of the giants. Moritz Schlick, The Task of the Philosophy of Nature, Philosophy of Science, ed. Joseph J. Kockelmans (New York : The Free Press, 1968), p. 456.

dicerminkan dengan pohon, mak amakin dalam pula kita harus menjangkau akar. Konsepkonsep teoretis seperti gravitasi dan medan elektromagnetik merupakan penjelasan yang bersifat mendasar yang mampu mengikat berbagai gejala-gejala fisik secara universal. Konsep-konsep yang bersifat teoretis seperti contoh tersebut di atas karena sifatnya yang mendasar sering tidak langsung kentara kegunaan praktisnya. Secara logis maka hal ini tidak sukar untuk dimengerti, sebab makin teoretis sebuah konsep maka makin jauh pula kaitan langsung konsep tersebut dengan gejal fisik y ang nyata; padahal kehidupan kita sehari-hari adalah berhubungan dengan gejala yang bersifat koknkreet tersebut. Kegunaan praktis dari sebuah konsep yang bersifat teoretis baru dapat dikembangkan sekiranya konsep yang bersifat mendasar tersebut diterapkan pada masalah-masalah yang bersifat praktis. Dan dari pengertian inilah kita sering mendengar konsep dasar dan konsep terapan yang juga diwujudkan dalam bentuk ilmu dasar dan ilmu terapan serta penelitian dasar dan penelitian terapan. Pengertian yanga membedakan antar apernyataan yang bersifat daar dan terapan ini harus dimiliki dengan biak, sebab kalau tidak maka kita mungkin melakukan pilihan yang baik untuk jangka pendek namun kurang baik untuk jangka panjanga. Sering sekali umpamanya sebuah negara dalam kebijaksanaan pengembangan ilmu dan teknologinya terlalu menitikberatkan kepada penelitian dan ilmu terapan dengan melupakan pengembangan penelitian dan ilmu dasar. Secara sepintas lalu hal ini memang menguntungkan sebab penelitian dan ilmu dasar secara langsung mempunyai manfaat praktis yang berupa pemecahan-pemecahan masalah yang bersifat konkret. Namun kalau hal ini dilihat dalam perspektif jangka panjang mak akemandekan dalam pengembangan ilmu-ilmu dasar akan mempunyai pengaruh yang serius, apalagi bila hal ini menyebabkan berkurangnya minat masyarakat untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Di Indonesia sendiri sudah terlihat tanda-tanda mengenai stagnasi di bidang ilmu-ilmu dasar ini. Dalam ilmu-ilmu sosial pada umumnya maka pengembangan hukum-hukum ilmiah sukar sekali dilakukan dan pada hakekatnya telah ditinggalkan. 79 Untuk tujuan meramalkan, ilmuilmu sosial mempergunakan metode proyeksi, pendekatan struktural, analisis kelembagaan atau tahap-tahap perkembangan.80 Kalau hal ini dikembalikan kepada hakekat manusia yang demikian kompleks dengan serbaneka peranannya dalam masyarakat, serta variasi yang besar antaramasyarkat yanag satu dengan masyarakat yang lain, maka gejala ini adalah tidak

79 80

Peter R. Senn, Social Science and Its Methods (Boston : Holbrock Press, 1971), p. 35. Ibid.,p. 26.

mengherankan. Namun hal ini tidaklah berarti bahwa metode ilmiah dari ilmu-ilmu sosial berbeda dengan metode ilmiah yang sama namun dengan tahap penerapan dan teknik-teknik operasional yang berbeda. Batu-batuan koral akan mempunyai karakteristik yang sama apakah dia berada di Gunung Batu (Bogor) atau Rocky Mountain (USA), namun yang jelas, tukang yang mengambil bataunya akan berbeda. Demikian juga teknik verifikasi untuk menentukan jenis batu-batuan apa ang ada di Planet Mars akan berbeda dengan teknik verifikasi bahwa tukang pengambil batu di Bogor orang Jasinga. Di samipng hukum maka teori keilmuan juga mengenal kategori pernyataan yang disebut prinsip. Prinsip dapat diartikan sebagai pernyataan yang berlaku secara umum bagi sekelompok gejala-gejala tertentu, yang mampu menjelaskan kejadian yang terjadi, umpamnya saja hukum sebab akibat sebuah gejala. Dalam ilmu ekonomi kita mengenal prinsip ekonomi dan dalam fisika kita mengenal prisnip kekekalan energi. Dengan prinsip-prinsip ini maka kita mampu menjelaskan kejadian-kejadian yang terjadi dalam ilmu ekonomi dan fisika. Berbagai kejadian ekonomi, yanga dapat dirumuskan dalam berbagai hukum pernyataan, pada dasarnya dilandasi oleh kegiatan ekonomis yang menerapkan prisnip ekonomi, yakni mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan pengurbanan sekecil-kecilnya.81 Dengan prinsip inilah maka kita menjelaskan pengertian efisiensi dan mengembangkan berbagai teknik seperti analisis sistem dan riset operasional (operational research) untuk meningkatkan efisiensi. Dengan mengetahui

prisnip yang mendasarinya, maka tidak sukar bagi mereka yang mempelajari teknik-teknik tersebut yang bernaung dalam payung konsep sistem, untuk memahami bukan saja penjelasan teknis namun sekaligus pengkajian filsafati. Beberapa disiplin keilmuan sering mengembangkan apa yanga disebut postulat dalam menyusun teorinya. Postulat merupakan asumsi dasar yang kebenarannya kita terima tanpa dituntut pembuktiannya. Kebenaran ilmiah pada hakekatnya harus disahkan lewat sebuah proses yang disebut metode keilmuan. Postulat ilmiah ditetapkan tanpa melali prosedur ini melainkan ditetapkan secara begitu saja. Secara filsafati sebenarnya ekeistensi postulat ini tidak sukar untuk dimengerti, mengapa kehadirannya menyimpang dari prosedur yang ada, sebab bukanlah sebuah arguemtnasi harus didasarkan kepada sesuatu ? Seperti kit aingin mengelilingi sebuah lingkaran

81

Menurut Taufiq Ismail maka prisnip ekonomi adalah Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian pengeluaran, dalam sajak Ladang Jagung (Jakarta : Budaja Djaja, 1973), p. 52.

maka kita harus mulai dari sebuah titik; dan postulat adalah ibarat titik dlam lingkaran yang eksistesinya kita tetapkan secara sembarang.82 Walaupun demikian mesti terdapat alasan yang kuat dalam menetapkan sebuah postulat. Seperti kita melikih dari titik mana kita akan mulai mengelilingi sebuah lingkaran tentu saja kita mempunyai alasan mengapa kita mulai dari titik B dan bukan dari titik A. Namun ssebagai postulat maka kita tidak membuktikan bhwa titik B adalah benar dan titik A adalah salah, melainkan sekedar menjelaskan bahwa sekiranya kita mulai dari titik A yang kebetulan koodinatnya membentuk sudut nol derajat dengan sumbu vertikal lingkaran, maka kita akan berhenti pada sebuah titik tertentu yang letaknya adalah di Utara bila dilihat dari pusat lingkaran. Tentu saja sekiranya kita mulai dari titik yang lain maka kita akan berakhir pada atitik y ang berbeda pula. Dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya postulat merupakan anggapan yang ditetapkan secara sembarang dengan kebenarannya yang atidak dibuktikan. Sebuah postulat dapat diterima sekiranya ramalan yang bertumpu kepada postulat kebenarannya dapat dibuktikan. Bila postulat dalam mengajukannya tidak memerlukan bukti tentang kebenarannya maka hal ini berlainan dengan asumsi yang harus ditetapkan dalam sebuah argumentasi ilmiah. Asumsi harus merupakan pernyataan yang kebenarannya secara empiris dapat diuji. Sebagai contoh umpamnya kita dapat mengambil cara orang mengemudikan mobil di jalan raya. Sekiranya orang itu beranggapan bahwa keadaan jalan raya pada waktu pagi buta adlah aman disebabkan jaranganya kendaaraan yang lalu lalang, maka kemungkinan besar orang itu akan mengendarai mobilnya secara kurang berhati-hati, toh asumsinya bahwa jalanan adalah aman bukan ? Sebaliknya mungkin juga terdapat orang laina yang mempunyai pendapat yang berbeda. Menurut penilaian dia justru ada pagi buta keadaan jalanan adalah sangat tidak aman disebabkan banyaknya orang yang mengendarai mobilnya secara sembrono. Oleh sebab itu, maka dia memilih cara mengendarai mobil yang sangat berhati-hati sebab asumsinya bahw akeadaan jalan-raya adalah tidak aman. Itulah sebabnya maka asumsi ini harus dibuktikan kebenarannya ssebab dengan aumsi yang tidak benar kita akan memilih cara yang tidak benar pula. 83 Sebuah
82

Dalam ilmu-ilmu sosial sukar sekali kita sampai pada sebuah postulat yang dapat diterima secara universal. Umpamanya saja masalah yang sangat sederhana : Apakah sebenarnya tujuan pendidikan ? 83 Mengapa kamu menulis buku filsafat ilmu ini secara santai dan guyonan ? tanya teman saya yang terkenal sebagai seorang iluwan yang serius. Sebab asumsi saya adalah bahwa seseorang, itu lebih mudah belajar tentang sesuatu yang baru dalam suasana yang santai; tanpa tersinggung kita mentertawakan kebodohan kita sendiri, tanpa wasangka kita melihat kebenaranorang lain, dan tanpa sadar, lho, kita telah mengembangkan paradigma baru. Semoga asumsi

teori yang berlaku di negara tertentu belum tentu cocok untuk di negara lain ssekiranya asumsi tentang manusia dalam teori tersebut umpamnya tidak berlakuk. Demikian juga dengan bermacam-macam teori lainnyayang tersedia dalam khasanah pengetahuan ilmiah. Kita harus memilih teori yang terbaik dari sejumlah teori-teori yang ada berdasarkan kecocokan asumsi yang dipenrgunakannya. Itulah sebabnya mak adalam pengkajian ilmiah seperti penelitian dituntut untuk menyatakan secara tersurat postulat, asumsi, prinsip serta dasar-dasar fikiran lainnyayang dipergunakan dalam mengembangkan argumentasi. Seorang yang mempunyai yang secara prinsip biar ngebut asal yahut tentu saja akan berbeda sekali jalan fikiran dan pola tindakannya dengan seorang yang berprinsip berani karena benar menghadapi bis kota serampangan membabat? Pada awal perkembangan ilmu ketika listrik masih sekedar merupakan keanehan yang dipertunjukkan dalam sirkus, ada oran gyang bertanya kepada Michael Faraday : Apakah gunanya listrik? Menghadapi pertanyaan ini maka Faraday balik bertanya : Apakah gunanya bayi? Memang beberapa teori yang sifatnya mendasar tidak mempunyai kegunaan praktis secara langsung. Baru setelah teori tersebut diterapkan kepada masalah-masalah praktis maka dapat dirasakan manfaatnya. Penelitian yang bertujuan untuk menemukan pengetahuan baru yang sebelumnya belum pernah diketahui dinamakan penelitian murni atau penelitian dasar. Sedangkan penelitian yang bertujuan untuk mempergunakan pengetahuan ilmiah yang telah diketahui untuk memecahkan masalah akehidupan yanag bersifat praktis dinamakan penelitian terapan. Dengan menguasai pengetahuan ini maka manusia mengembangkan teknologi atau peralatan yang berfungsi sebagai sarana yang memberi kemudahan dalam berkehidupannya. Diperlukan waktu yang cukup lama untuk dapat menerapkan penemuan-penemuan ilmiah yang baru kepada pemanfaatan yanag berguna. Terdapat selang waktu selama 250 tahun antara percobaan yang pertama tentang magnet oleh William Gilbert dengan dikembangkannya teori elektromagnetik oleh James Clerk Maxwell sekitar tahun 1870. Kemudian terdapat jangka wkatu selama 50 tahun sebelum percobaan Michael Farady tntang kawat yang menghantar arus listrik dapat dimanfaatkan secara komersial dalam pembuatan dinamo dan motor. Penemuan Henri Becquerel tentang sinar-X baru dapat ditetapkan dalam praktek setelah 25 tahun kemudian.

itu benar, ancam dia, sebab kalau tidak, maka buku kau ini tidak akan dibaca kaum ilmuwan melainkan para pelawak.

Sedangkan pross pembelahan atom (nuclear fission) baru dapat dilakukan 11 tahun kemudian ssetelah teorinya diformulasikan. Dan tujuh tahun ssetelah ditemukan kemungkinan pembuatan bom atom maka pada tahun 1945 dijatuhkannya dua bom atom yang pertam di Nagasaki dan Hiroshima yang membuka babakan baru dalam peradaban manusia.84 Terdapat selang waktu yang makin lama makin pendek antara penemuan suatu teori ilmiah dengan penerapannya kepada masalah-masalah yang bersifat praktis. Dengan demikian maka makin cepat manusia mengembangkan taknologi yang pada satu pihak ibarat dewi penoong yang penuh dengna berkat sedangkan dipihak lain, meminjamperkataan Azyumardi Azra, adalah fasisme dengan senyuman.85 Penerapan ilmu dalam teknologi memagn tidak selalu merupakan rahmat bagi manusia sebab di samping dapat dipergunakan untuk tujuan destruktif juga menimbulkan implikasi moral, sosial dan kultural. Manusia disebut juga homo faber (mahluk yang membuat peralatan) di samping Homo Sapiens (mahluk yang berfikir) yang mencerminkan kaitan antara pengetahuan yang bersifat teoretis dengan teknologi yang bersifat praktis. Berbeda dengan pengetahuan lainnya ssepeti seni yang bersifat estetis maka ilmu adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh manusia untuk memecahkan masalah-masalah praktis dalam kehidupannya. Meskiun pada tahap embrional pengembangan ilmu pun pernah bersifat estetis, namun dengan perkembangannya ke arah kedewasaannya serta kemampuan bidang penerapannya, maka ilmu harus dibedakan dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya terutama dari segi kemampuannya untuk memecahkan masalah. Menarik sekali dalam kesempatan ini untuk menggarisbawahi pendapat yang

dikemukakan seniman Mochtar Lubis bahwa persamaan dan perbedaan antara ilmu dan seni patut diketahui dengan seksama dalam rangka meningkatkan sikap ilmiah bangsa Indonesia mengingat sikap kita yang masih berorientasi kepada nilai estetis.86 Dalam buku Nitisastra, yang diperkirakan Profesor Poerbacaraka ditulis pada akhir zaman Majapahit, disebutkan, bahwa salah satu musuh bagi orang muda dalam menuntut ilmu adalah gila asmara.87 Camkanlah anak

84 85

C.A. Coulson, Science, Technology and the Christian (Nashville : Abingdon, 1960), pp. 25-26. Azyumardi Azra, Teknologi : Fasisme dengan Senyuman, Merdeka, 10 Februari 1982. 86 Mochtar Lubis, Manusia Indonesia (Jakarta: Yayasan Idayu, 1980), p. 38. 87 Y. Sarwono Soeprapto,Nitisastra : Karya Sastra atau Sekedar Buku Pelajaran?, Sinar Harapan, 8 Agustus 1981.

muda ! sebab pun menurut Bascal, hati mempunyai logika tersendiri: tidak selalu satu tambah satu jadi dua, terutama ini berlaku bagi mereka yang belum mengikuti keluarga berencana.88 BAB V BAHASA

Manusia dapat berfikir dengan baik dan bahkan secara abstrak karena kemampuannya berbahasa. Berkat bahasa, manusia dapat berfikri secara berlanjut, teratur dan sistematis.

Pada dasarnya bahasa mempunyai taiga fungsi, yakni fungsi-fungsi simbolik, emotif dan afektif. Dalam kkomunikasi keilmuan, fungsi simbolik-lah yang perlu diusahakan menonjol, antara lain lewat penggunaan tata-istilah yang khas dan spesifik maknanya, dan gaya yang ringkas jelas.

Perbedaan utama antara manusia dan binatang terletak pada kemampuan manusia untuk mengambil jalan melingkar dalam mencapai tujuannya. Seluruh fikiran binatang dipenuhi olehkebutuhan yang mendorongnya untuk secara langsung memperoleh obyek yang diinginkannya atau membuang benda yang menghalanginya. Dengan demikian sering kita

melihat seekor monyet yang menjangkau secara sia-sia benda yang dia ingingkan; sedangakn manuia yang paling primitif pun telah tahu mempergunakan badingan, laso atau melempar dengan batu.89 Manusia sering disebut sebagai Homo Faber: mahluk yang membuat alata; dankemampuan membuat alat itu dimugkinkan oleh pengetahuan. Berkembangya pengetahuan tersebut juga memerlukan alat-alat. Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik diperlukan saran berfikir. Tersedianya sarana tersebut memungkinkan dilakukannya penelaahan ilmiah secara teratur dan cermat. Penguasaan sarana berfikir ilmiah ini merupakan suatu hal yang bersifat imperatif bagi seorang ilmuwan. Tanpa menguasai hal ini maka kegiatan iliah yang baik tidak dapat dilakukan.

88

Seperti lagu sendu Jaya Suprama yang mengisahkan si kancil, yang demi menyelamatkan nyawanya, terpaka menyetujui opini si macam, bahwa dua tambah dua sama dengan lima. Sedangkan tanpa karet KB, anjing pun hanya menggeleng ke atas dan ke bawah saja, sebab menggeleng ke kanan, berarti bersenggolan dengan tetangga. (Kompas, 8 April 1982). 89 Philip E.B. Jourdain, The Nature of Mathematics, The World of Matematics : Vol, I., ed. James R. Newman (New York : Simon and Schuster, 1956), p. 9.

Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang haarus ditempuhnya. Pada langkah tertentu biasanya diberlakukan sarana yang tertentu pula. Oleh sebab itu maka sebelum mempelajari sarana-sarana berfikir ilmiah ini seyogyanya kita telah menguasai langkah-langkah dalam kegiatan ilmiah tersebut. Dengan jalan ini maka kita akan sampai pada hakekat sarana yang sebenarnya, sebab sarana merupakan alat yang membantu kita dalam mencapai suatu tujuan tertentu; atau dengan perkaataan lain, sarna ilmiah mempunyai fungsi-fungsi yang khas dalam kaitan kegiatan ilmiah secara menyeluruh. Sarana berfikir ilmiah, dalam proses pendidikan kita, merupakan bidang studi tersendiri. Artinya kita mempelajari sarana berfikir ilmiah ini seperti kita mempelajari berbagai cabang ilmu. Dalam hal ini kita harus memperhatikan dua hal. Pertama, sarana ilmiah bukan merupakan ilmu dlaam pengertian bahwa sarana ilmiah itu merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkanmetode ilmiah. Seperti diketahui, salah satu karakteristik dari ilmu umpamanya adalahpenggunaan berfikir induktif dan deduktif dalam mendapatkan

pengetahuannya. Secara lebih tuntas dapat dikatakan bahwa sarana berfikir ilmiah mempunyai meetode tersendiri dlam mendapatkan pengetahuannya, yang berbeda dengan metod eilmiah. Kedua, tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah. Keunikan manusia sebenarnya bukanlah terletak pada kemampuan berfikirnya, melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa. Dalam hal ini maka Erns Cassirer menyebut manusia sebagai Animal symbolicum, mahluk yang mempergunakan simbol, yang secara generik mempunyai cakkupan yang lebih luas dari pada Homo Sapiens yakni mahluk yang berfikir, sebab dalam kegiatan berfikirnya manusia mempergunakan simbol.90 Tanpa mempunyai kemampuan berbahasa ini maka kegiatan berfikir secara sistematis dan teratur tidak mungkin dapat dilakukan. Lebih lanjut lagi, tanpa kemampuan berbahasa ini mak amanusia taidak mungkin mengembangkan kebudayaannya, sebab tanpa mempunyai bahasa maka hilang pulalah kemampuan untuk meneruskan nilai-nilai budy adari generasi yang satu kepada generasi selanjutnya. Tanpa bahasa, simpul Aldous Huxley, manusia tidak berbeda dengan anjing atau monyet.91

90 91

Ernst Cassirer, An Essay on Man (New Haven : Yale University Press, 1944). Aldous Huxley, Words and Their Meaning. The Importance of Language, ed. Max Black (Englewood Cliffs, N.J : Prentice Hall, 1962), p. 5.

Manusia dapat berfikir dengan baik karena dia mempunyai bahasa. Tanpa bahasa maka manusia tidak akan dapat berfikir secara rumit dan abstrak seperti apa y ang kita lakukan dalam kegiatan ilmiah. Demikian juga tanpa bahasa maka kita taidak dapat mengkomunikasikan pengetahuan kita kepada orang lain. Binatang taidak diberkahi dengan bahasa yang sempurna sebagaimana kit amiliki, oleh sebab itu maka biantang atidak dapat berfikir dengan baik dan mengkaumulaikan pengetahuannya lewat prposes komunikasi seperti kita mengembangkan ilmu. Mungkin saja terdapat genius di antara para gorila, Sambung Aldous Huxley, Tetapi karena mereka tidak mempunyai bahasa maka buah fikiran dnapemenuan genius itu tidak tercatat dan hilang begitu saja.92 Bahasa memungkinkan manusia berfikri secara abstrak di mana obyek-obyek yang faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol bahasa yang bersifat abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berfikir mengenai seuatu obyek tertentu meskipun obyek tersebut secara faktaual tidak berada di tempat di mana kegiatan berfikir itiu dilakukan. Binatang mampu berkomunikasi dengan bibatang lainnya namun hal ini terbatas selama obyek yang dikomunikaiskan itu berada secarafaktual waktu pross komunikasi itau dilakukan. Tanpa kehadiran obyek secara faktual maka komunikasi tidak bisa dilaksanakan. Adanya simbol bahasa yang bersifat abstrak ini memungkinkan manusia untuk memikirkan sesuatu secara berlanjut. Demikian juga bahasa memberikan kemampuan untuk berfikir secara teratur dan sistematis. Transformasi obyek faktual menjadi simbol abstrak diwujudkan lewat perbendaharaan kata-kata dan kata-kata ini dirangkaikan oleh tata bahasa untuk mengemukakan suatu jalan pemikiran atau ekspressi peranan. Kedua aspek bahasa ini yakni aspek informatif dan emotif, tercermin dalam bahasa yang kita pergunakan. Artinya, kalau kita berbicara maka pada hakekatnya infomrasi yang kita sampaikan mengandung unsur-unsur emotif, demikian juga kalau kita menyampaikan perasaan maka ekspresi itu mengandung unsur-unsur informatif. Kadang-kadang hal ini dapat dipisahkan dengan jelas seperti Musik dapat dianggap sebagai bentuk bahasa, di mana emosi terbebas dari informasi, sedangkan buku telpon memberikan kita informasi sama sekali tanpa emosi.93 Kalau kita telaah lebih lanjut maka bahasa mengkomunikasikan tig ahal yakni buah fikiran, perasaan, dan sikap. Atau seperti dinyatakan oleh Kneller bahasa dalam kehidupan

92 93

Ibid., Bertrand Russell, Human Knowledge Its Scope and Limits (New York : Simon and Schuster, 1948), p. 59.

manusia mempunyai fungsi simbolik, emotif, dan afektif.94 Funsi simbolik baasa menonjol dalam komunikasi iliah, sedangkan fusngi emotif menonjol dalam komunikais estetik. Kmunikasi dengan mempergunakan bahasa akan mengandung unsur simbolik dan emotif ini. Dalam komunikasi ialmiah sesbenarnaya pross komunikasi itu harus terbebas dari unsur emotif ini, agar pesan yang disampaikan bisa diterima secara reproduktif, artinya identik dengan pesan yang dikirimkan. Namun dalam prakteknya hal ini sukar untuk dilaksanakan kecuali informasi yang terdapat dalam buku petunjuk telpon. Inilah yang merupakan salah satu kelemahan bahasa sebagai sarana komunikasi ilmiah di mana menurut Kemeny bahasa mempunyai kecenderungan emosional.95

Apakah Sebenarnya Bahasa ? Pertama-tama bahasa dapat kita cirikan sebagai serangkaian bunyi. Dalam hal ini kita mempergunakan bunyi sebagai alat untuk berkomunikasi. Sebenarnya kita abisa berkomunikasi denganmempergunakan alat-alat lain umpamnya saja denganmemakai berbagai isyarat. Manusia mempergunakan bunyi sebagai alat komunikasi yang paling utama. Tentu saja, mereka yang tidak dianugerahi kemampuan bersuara, harus mempergunakan alat komunikasi y ang lain, seperti kita lihat pada mereka yang bisu. Komunikasi dengan mempergunakan bunyi ini alat

dikatakan juga sebagai komunikasi verbal, dan manusia yang bermasyarakat dengan komunikasi bunyi, disebut juga sebagai masyarakat verbal.

Kedua bahasa merupakan lambang di mana rangkaian bunyi ini membentuk suatu arti tertentu. Rangkaian bunyi yang kita kenal sebagai kata melambangkan suatu obyek tertentu umpamnya saja gunung atau seekor burung merpati. Perkataan gunung dan burung merpati sebenarnya merupakan lambang yang kita berikan kepada dua obyek tersebut. Kiranya patut disadari bahwa kit amemberikanlambang kepada dua obyek tadi secara begitu saja, di mana tiap bangsa dengan bahasanya yang berbeda, memberikan lambangyang berbeda pula. Bagi kita obyek tersebut kita lambangkan dengan bunyi gunung sedangkan bagi bangsa lain dilambangkan dengan mountain dalam bahaas Inggris atau jabal dalam bahasa Arab. Demikian juga dengan merpati yang berubah menjadi dove dalam bahasa Inggris dan japati dalam bahasa Sunda.

94 95

George F. Kneller, Introduction to the Philosophy of Education (New York : John Wiley, 1964), p. 28. John G. Kemeny, A Philosopher Looks at Science (New York : Van Nostrand, 1959), p. 5.

Manusia mengumpulkan lambang-lambang ini dan menyusun apa yang kit akenal sebagai perbendaharaan kata-kata. Perbendaharaan ini pada hakekatnya merupkan akumulai pengalaman dan pemikiran mereka. Artinya dengan perbendaharaan kata-kata yang mereka punyai maka manusia dapat mengkomunikasikan segenap pengalaman dan pemikiran mereka. Perkataan sputnik atau laser belum ada pada perbendaharaan kata-kata nenek moyang kita, sebab pemikiran mereka waktu itu belum sampai ke sana. Perkataan ini baru akhir-akhir ini saja melengkapi perbendaharaan kata-kata kita. Demikian juga dengan perkataan asoy dan slebor; perkataan ini muncul untuk melambangkan suatu pengalaman tertentu, yang terutama dialami oleh orang muda. Inilah yang menyebabkan bahasa terus berkembang yakni karena disebabkan pengalaman dan pemikiran manusia yang juga berkembang. Bahasa diperkaya oleh seluruh lapisan masyarakat yang mempergunakan bahasa tersebut; para ilmuwan, pendidik, ahli politik, remaja dan bahkan tukang copet. Lucu memang, namun itulh kenyataannya, tiap profesi, bahkan copet sekalipun, mengembangkgan bahasa yang khas untuk kelompoknya. Yang paling menonjol biasanya adalah para remaja yang memperkaya perbendaharaan bahasa dengan semangat mereka yang kreatif dan lugu. Adanya lambang-lambang ini memungkinkan manusia berfikri dan belajar dengan lebih baik. Sekiranya kita tidak mempunyai perkataan gunung dan merpati, jika saya ingin mengatakan kepada seseorang :Ada seekor merpati di tepi gunung, maka saya harus membawa orang tersebut kepada obyek yang dilambangkan dengan gunung dan merpati itu. Jelas hal ini sangat merepotkan, meskipun pekerjaan itu masih bisa dilakukan. Bagaimana sekiranya saya ingin mengkomunikasikan : Gunung berapi meletus atau Mahluk Yeti hidup di puncak Gunung Himalaya apalagi bila saya ingin berkata: Bumi ini diciptakan Tuhan atau Sesudah mati kita akan hidup lagi di hari kemudian. Adanya bahasa ini memungkinkan kita untuk memikirkan sesuatu dalam benak kepala kita, meskipun obyek yang sedang kita pikirkan tersebut tidak berada di dekat kita. Di kmar kecil kita bisa memikirkan soal aljabar, atau merencanakanapa y ang akan kita lakukan setelah makan malam nanti. Manusia dengan kemampuannya berbahasa dimungkinkan untuk memikirkan sesuatumasalah secara terus-menerus. Lain pula dengan binatang, karena mereka tidak mempunyai bahasa seperti apa yang kita punyai, maka mereka baru bisa berfikir jik aobyek itu berada di depan matanya. Jika seekor tikus melihat makanan di atas meja baru dia mulai berfikir,

apakah dia akan mencoba mengambil makanan itu atau tidak, jika ya llau bagaimana caranya. Demikian juga seekor tikus kalau melihat kucing maka biasanya dia akan lari. Bagaimana dia tahu bahw akucing itu berbahaya ? Dari pengalaman atau sesamanya tentu saja, dan bahkan pun seekor tikus sampai tahap tertentu mengajar anaknya. Perbedaan pendidikan antara manusia dengan binatang terutama terletak dalam tujuannya : manusia belajar agar berbudaya sedangkan binatang belajar untuk mempertahankan jenisnya. Karena tikus tidak mempunyai bahasa seperti kita, maka seekor ibu tikus tidak bisa mengajar nakanya di depan papan tulis, atau bercerita sambil meninabobokannya. Dia, harus membawa naknya kepada seekor kucing dan menunjukkan pada waktu itu juga bahw amahluk itu berbahaya. Jadi dengan bahasa bukan saja manusia dapat berfikir secara teraatur namun juga dapat mengkomunikasikan apa y ang sedang dia fikirkan kepada orng lain. Namun bukan itu saja, dengan bahasa kita pun dpat mengekspresikan sikap danperasaan kita. Seorang bayi bila dia sudah kenyang dan hatinya pun sangat senang, dia mulai membuka suara. Tidak terlalu enak memang, tapi tidak apa, sebab kalau dia mulai besar kelak dan sudha belajar do-re-mi-fa-sol, bunyi yanga dihasilkannya mungkin akan jauh lebih menyenangkan. Lewat seni suara dia akan mengekspresikan perasaaannya, kedudkaan, dan kesukaan, lewat liku nada dan kata-kata. Seorang yang berbakat sastra mungkin akan mengekspresikan perasaanya dengan cara lain, menulis novel yang tebal yang mencakup puluhan ribu kalimat, atau menulis puisi yang terdiri dari beberapa bait. Dengan adanya bahasa maka manusia hidup dalam dunia yakni dunia pengalaman yangnyata dan dunia simbolik yang dinyatakan dengan bahasa. Berbeda dengan binatang maka manusia mencob amengatur pengalaman yang nyata ini dengan berorientasi kepada dunia simbolik. Bila binatang hidup menurut naluri mereka, dan hidup dari waktu ke waktu berdasarkan fluktuasi biologis dan fisiologis mereka, maka manusia mencoba menguasai semua ini. Pengalaman mengajarkan kepada manusia bahwa hidup seperti ini kurang bisa diandalkan di mana eksistensi hidupnya sangat tergantaung kepada faktor-faktor yang sukar dikontrol dan diramalkan. Manusia mempunyai pegangan yang mengajarkannya agar mnegekang hawa nafsunya dan tidak mengikutinya seperti kuda tanpa kendali. Menurut Sigmund Frreud, kebudayaan membentuk manusia dengan menekan dorongan-dorongan alamimereka,

mensublimasikannya menjadi sesuatuyang berbudaya yang kemudian merupakan dasar bagi

pembentukan kebudayaan.96 Kebudayaan mempunyai landasan-landasan etika yang menyatakan mana tindakan yang baik dan mana yang tidak. Manusia yanga sedang diamuk gejala kemarahan , sebelum terlanjur menuruti hawa nafsunya, amu tidakmau akan mendengar suarayang mengandung amanat moral : Jangan! Membunuh itu tidak biak! Dmeikian juga sekiranya kelelahan fisik merupakan penghalang bagi usaha mereka, atau ekeses hormonal mengurangi semangat hidup mereka, manusia mempunyai penuntun yang mengatakan: Kau harus tetap bersikeras sebab itulah yang lebih baik bagi kita. Dalam hal ini maka manusia akan tetap berusaha, sedang binatangn sepenuhnya dikuasai proses fisiologis mereka. Demikian juga hidup dalam dunia fisik yang kejam dan sukar diramalkan meka manusia bangkit dan melawannya. Manusia lalu mengembangkan pengetahuan untuk menguasainya : tanah diolahnya, belantara ditebangnya, aiar dan iklim dikuasai dan dimanfaatkannya. Lewat pengetahuan ini maka manusia menjadi penguasa dunia. Mereka mencoba mengerti semua gejala y ang dihadapinya dan emmbuahkan pengetahuan yang memberikan penjelasan kepadanya. Berbekal pengetahuan ini mak amanusia taidak takkut lagi terhadap alam. Mereka menguasai alam karena mereka mengetahui rahasianya. Alam atidaklagi berrahasia dengan ujud fisik yang menakutkan seperti kilat yang menyambar-nyambar dan jeram yang menggelegar. Lewat bahasa manusia menyusun sandi-sandi yang membuka rahasia alam dalam berbagai teori sepeti elktronika, thermodinamika, relativitas, dan quantum. Pengetahuan adalah kekuasaan, seu Francis Bacon, dan dengan kekuasaan ini manusia mencoba mengerti hidupnya. Manusia tidak maulagi dikuasai alam, dia bangkit dan menguasainya. Di samping pengetahuan manusia mencoba memberi arati kepada semua gejala fisik yang dialaminya. Kejadian sehari-hari yang penuh dengan ketawa dan air mat, kelahiran dan kematian, pertemuan danperpisahan, semuanya dirangkainya dengan bahasa menjadi sesuatu yang koheren dan mempunyai arti. Manusia lalu mempertanyakan masalah-masalah yanag sangat hakiki: Apakah hidup ini ada tujuannya ? Ataukah sekedar permainan : Semacm sabut terlempar ke lauat ? Apakah manusia itui merdeka atau menentukan hidupnya ? Ataukah dia mahluk yang terbelenggu dengan nasib merantai kaki mereka ? Dengan ini manusia memberi arti kepada hidupnya. Arti yang terpateri dalam dunia simbolik yang diwujudkan lewat kata-kata. Kata-kata lalu mempunyai arti bahwa kekuatan. Kekuatan dalam tuah mantera dan jampi-jampi. Kekuatan dlamkepercayaan dan keyakinan
96

Dikutip dalam Erick Fromm, Escape from Freedom (New York : Avon, 1969), p. 25.

moral. Kekuatan yang memberinya dorongan dan arahdalam berkehidupan. Semacam pegangan yang membedakan mana yang suci dan luhur serta mana yang rendah dan menghinakan. Tanpa bahaa mak semua ini tidak mungkin ada, Tidak pernah ada binatang yang membikin perang, kata Aldous Huxley, karena mereka tidak mempunyai sesuatu yang dianggapnya luhur. Apakah yan glebih luhur lagi bagai seekor harimau selain daging segar dan betinanya ? Mereka tidak mempunyai mekanisme verbal untuk mengemukakan dan mempertahankan apa yang dianggapnya luhur ..97 Demikian juga manusia memberi arti bagi yang indah dalam hidup ini dengan bahasa. Kita membaca puisi dan karya-karya sastra yang mengungkapkan nilai-nilai estetik dalam hidup kita. Atau kita memadukannya dengan snisuara, di mana kita menyanyi, menangisi, dan merayakan hidup kita lewat kata-kata. Tanpa estetika ini maka semua kehidupan akan menjadi steril. Bulan hanyalah tumpukan gersang yang didarati astronot. Manusia hanyalah tumpukan daging dan tulang. Kemanusiaan tidak lagi mempunyai perasaan. Pengetahuan dan perasaan adalah sama pentingnya dalam kehidupan individual dan masyarakat, Ujar Bertrand Russell..dunia tanpa kesukaan dan kemesraan adalah dunia tanpa nilai.98 Seni merupakan kegiatan estetika yang anyak mempergunakan aspek emotif dari bahaa baik itu seni suara maupun seni sastra. Dalam hal ini bahasa bukan saja dipergunakan untuk mengemukakan perasaan itu sendiri melainkan jug amerupakan ramuan untuk menjelamakan pengalaman yang ekspresif tadi. Bahasa dipergunakan secara plastik, seperti kit amembuat patung dari tanah liat, di mana komunikasi yang terjadi mempunyai kecenderungan emotif. Mau baca poesi pure ? Carilah dalam depresi Melankoli Atau kantung baju Para lunatik amatur99 Komunikasi ilmiah menysarakatkan bentuk komunikasi yang sangat lain dari

komunikasi estetik. Komunikasi ilmiah bertujuan untuk menyampaikan infomrasi y ang berupa pengetahuan. Agar komunikasi ilmiah ini berjalan dengan baik maka bahasa yang dipergunakan

97

Aldous Huxley, Words and Their Meaning, The Importance of Language, ed., Max Black (Englewood Clifts, Nol : Prentice Hall, 1962), p.5. 98 Bertrand Russell, The Scientific Outlook (New York : W.N Norton & Company, 1959),p. 269.

harus terbebas dari unsur-unsur emotif. Komunikasi ilmiah harus bersifat reproduktif, artinya bila si pengirim komunikasi menyampaikan suatu informasi yang katakanlah berupa X, mak si penerima komunikasi harus menerima informasi yang berupa x pula. Informasi x yang diterima harus merupakan reproduksi yang benar-=benar sama dari informasi x yang dikirimkan. Halini dimaksudkan untuk mencegah apa yang dinamakan sebagai suatu mis-informasi, yakni suatuproses komunikasi yang mengakibatkan penyampaian informsi yang tidak ssesuai dengan ap ayang dimaksudkan, di mana suatuinformasi y ang berbeda akan menghasilkan proses berfikir yang berbeda pula. Oleh sebab itu mak aproses komunikasi ilmiah harus bersifat jelas dan obyektif yakni terbebas dari unsur-unsur emotif. Berbahasa dengan jelas artinya ialah bahwa makna yang aterkandung dalam kata-kata yang dipergunakan diungkapkan secara tersurat (eksplisit) untuk mencegah pemberian makna yang lain. Oleh sebab itu, mak adalam komunikais ilmaiah kita sering sekali mendapatkan definisi dari kata-kat ayang daipergunakan. Umpamanya jika dalam sebuah komunikasi ilmiah kita mempergunakan kata seperti epistemologi atau optimal maka kita harus menjelaskan lebih lanjut ap ayang kita maksudkan dengan kata-kat aitiu. Hal ini harus kita lakukan untuk mencegah si penerima komunikasi memberi makna lain yang berbeda dari makna yang kita maksudkan. Tentu saja kata-kata yang sudah jelas dan kecil kemungkinan untuk disalah artikan tidak lagi membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Berbahasa denganjelas artinya uga mengemukakan pendapat atau jalan pemikiran secara jelas. Kalau kita teliti lebih lanjut maka kalimat-kalimat dalam sebuah karya ilmiah pada dasarnya merupakan suatu pernyataan. Pernyataan itu melmbangkan suatupengetahuan yang ingin kita komunikasikan kepada orang lain. Kalimat seperti Logam bila dipanaskan akan memanjang pada hakekatnya merupakan suatupernyataan yang mengandung pengetahuan tentang hubungan sebab akibat antara panjang logam dan kenaikan suhu. Karya ilmiah pada dasarnya merupakan kkumpulan pernyataan yang mengemukakan informasi tentang pengetahuan maupun jalan pemikiran dalam mendapatkan pengetahuan tersebut. Untuk mampu mengkomunikasikan suatu pernyataan denganjelas maka seseorang haus menguasai tata bahasa yang baik. Hal ini berlaku baik bagi kegiatan ilmiah maupun non-ilmiah. tata bahasa, menurut Chalton Laird, Merupakan alat dalam mempergunakan aspek logis dan

99

Jujun S. Suriasumantri, Kepada Dunia Psikiatri, Almamater, Majalah Keluarga Mahasiswa IPB, Nomor 6, April 1970, p. 18.

kreatif dari fikiran untuk mengungkapkan arti dan emosi dengan mempergunakan aturan-aturan tertentu.100 Penguasaan tata bahasa dengan baik merupakan syarat mutlak bagi suatu komunikasi ilmiah yang benar. Dalam masyarakata kita halini sering kit kuran gsadari ; bahkan ada pendapat bahwa berbahasa yang benar dan baik hanya paatutu dilakukan oleh orang-orang bukan ilmuwan. Hal ini adalah salah sama sekali, dan bahkan sebaliknya, untuk mampu berkomunikasi secara benar maka seorang ilmuwan harus menguasai bahasa dengan lebih baik. Karya ilmiah juga mempunyai gaya penulisan yang pada jajekatnya merupakan usah auntuk mencoba menghindari kecenderungan yanag bersifat emosional dari bahasa. Karakteristik ini jelas merupakan keuntungan bagi kegiatan seni namun merupakan kerugian bagi kegiatan ilmiah. Oleh sebab itu gaya penulisan ilmiah, di mana tercakkup di dalamnya penggunaan tata bahasa dan penggunaan kata-kata, harus diusahakan sedemikian mungkin untuk menekan unsurunsur emotif ini seminimal mungkin. Di samping itu kary ailmiah mempunyai format-format penulisan tertentu seperti cara meletakkan catatankaki atau menyertakan daftar bacaan.

Kesemuanya ini harus dikuasai dengan baik oleh seorang ilmuwan agar dapat berkomunikasi dengan sesama kaum ilmuwan secara benar.

Beberapa Kekurangan Bahasa Sebagai sarana komunikasi ilmiah maka bahasa mempunyai beberapa kekurangan. Kekurangan ini pada hakekatnya terletak pada peranan bahasa itu sendiri yang bersifat multi fungsi yakni sebagai saran akomunikasi emotif, afektif, dan simbolik. Dalam komunikasi ilmiah kita ingin mempergunakan aspek simbollik saj adari keteig afungsi tersebut tadi di mana kita ingin mengkomunikasikan informasi tanap kaitan emotif dan afektif. Dalam kenyataannya hal ini tidak mungkin; bahasa verbal amu tidak mau tetap mengandung ketiga unsur yanag bersifat emotif, afektif, dan simbolik tadi. Inilah salah satu kekurangan bahasa sebagai sarana komunikasiilmiah, yang dikatkan oleh Kemeny, sebagai mempunyai kecenderungan emosional.101 Bahasa ilmiah pada hakekatnya haruslah bersifat obyektif tanpa mengandung emosi dan sikap; atau dengan perkataan lain, bahasa ilmiah haruslah bersifat antiseptik dan reproduktif.

100 101

Charlton Laird, The Miracle of Language (New York : Fawcett, 1953)p. 232. John G. Kemeny, A Philosopher Looks at Science (New York : Van Nostrand, 1959), p. 5.

Kekurangan yanag kedu aterletak pada artai yang atidak jelas dan eksask yang dikandung oleh kata-kata yang membangun bahasa. Jika kita ingin mengetahui arti dari istilah Ilmu umpamanya,a yang menjadi pokok pembicaraan kita selama ini, mak asukar sekali bagi kita untuk mendefinisikan istilah ilmu tersebut dengan sejelas dan seeksa mungkin, bagaimanapun hal itu kita coba. Di pihak lain usaha untuk menyampaikan arti sejelas dan seeksak mungkin dalam pross komunikasi mungkin akan menyebabkan pross penyampaian informasi itu malah taidak komunikatif lagi disebabkan bahasa yang bertele-tele dan membosankan. Umpamanya saja kita bisa mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan yang disusun secara konsisten dengan mempergunakan logika deduktif dan teruji sec ara empiris dengan mempergunakna logika deduktif yang menyangkut kebenaran faktual dari dunia empiris yang ditujukan untuk yang berguna bagaia

meningkatkan kemampuan manusia untuk menguasai dunia fisik

kemanslahatan hidupnya. Definisi yang panjang ini tetap tidak memberikan arti yang jelas dan eksask terhadap hakekat ilmu yang sebenarnya. Mengambil contoh dari kehidupan sehari-hari ambillah sebagai contoh sebuahkata yang mungkin termasuk paling propular dalam perbendahaaraan bahasa Indonesia yakni kata cinta. Kata cinta ini sering dipakai dalam lingkup yang sangat luas umpamanya dalam hubungan antra ibu dan anak, ayah dan anak, kakek dan nenek, dua orang kekasih, dua orang saudara, perasaan pada tanah air, dan ikatan pada raas kemanusiaan yang besar. Dalam hal ini sukar bagi kita u ntuk memberi bataan yang tepat dan bersifat menyeluruh. Kelemahan lain terletak pada sifat majemuk (pluralistik) dari bahasa. Sebuah kata kadang-kadang mempunyai lebih dari satu arti yang berbeda umpamanyaa kat ailusi dalam kamus umum Bahasa Indonesia mempunyai arti sebagai berikut : Ilusi : angan-angan, khayal; 1. Sesuatu yang memperdaya fikiran dengan memberikan kesan yang palsu (seperti halnya dengan para pelancong di padang pasir yang melihat sebuah danau, yang sebenarnya tidak ada); 2. Suatu gagasan yang keliru; suatu kepercayaan yanag tidak berdasar; keadaan fikiran yang memperdaya seseorang. Di samping itu, bahasa mempunyai beberapa kata yang memberikan arti yang sama. Umpamanya pengertian tentang usaha kerjasama yang terkoordinaikan dalam mencapai suatu tujuan tertentu disebutkan sebagai adminsitrasi, manajemen, pengelolaan, dan tatalaksana. Suku Hanunoo dari Filipina mempunyai 92 patah kata untuk beras102 sedangkan bangsa Eskimo

102

Mavis Hiltunen Biesanz dan John Biesanz, Introduction to Sociology (Englewood Clifts, N.J : Prentice-Hall, 1973), p. 60.

mempunyai perbendaharaan kata yang sangat banyak sekali untuk salju. 103 Sifat majemuk dari bahasa ini sering menimbulkan apa yang dinamakan kekacauan semanti, di mana dua oran gyang berkomunikasi mempergunakan sebuah kata yang sma namun untuk pengertian yang berbeda, atausebaliknya mereka mempergunakan dua kata yang berbeda untuk sebuah pengertian yang sama. Kelemahan ketiga bahasa ssering bersifat berputar-putar (sirkular) dalam mempergunakan kata-kata terutama dalam memberikan definisi. Umpamanya kata pengelolaan didefinisikan sebagai kegiatan yang dilakukan dalam sebuah organsiasi. Sedangkan organisasi didefinisikan sebagai suatu bentuk kerja sam ayang merupakan wadah dari kegiatan pengelolaan. Contoh lain yang serin gkita temukan adalah perkataan data yang adiartikan sebagai bahan yang diolah menjadi informasi; sedangkan informasi diartikan sebagai keterangan yang didapat dari kata. Tidak dapat dihindarkan lagi bahwa dalam memberikan definisi mak asebuah kat atergantung kepada kata-kata yang lain. Hal ini sebenarnaya tidak ada salahnya selama kata-kata yang dipergunakan itu sudah mempunyai pengertian yang jelas dan bukan bersifat berputar-putar seperti tampak pada contoh kita di atas. Dalam bidang ilmu-ilmu sosial masalah diefinisi ini makin tambah rumit, sebab seperti apa yang dikatkan Max Weber, ahi-ahli ilmu sosial cenderung untuk selalu membikin definisi baru mengenai suatu obyek penelahaan ilmu-ilmu sosial, sebab mereka menganggap definisi y ang dibikin oleh orang lain sebagai sikat gigi bekas. Kelemahan yang lain dari bahasa adlah konotai yang bersifat emosional seperti telah kita bicarakan pada bagian terdahulu. Masalah bahasa ini menjadi bahan pemikiran yang sungguh-sungguh dari para ahli filsfat modern. Kekacauan dlam fialsafah menurut Wittgenstein, disebabkan karena kebanyakan dari pernyataan dan pertanyaan ahli falsafah timbul dari kegagalan mereka untuk menguasai logika dari bahasa.104Pengkajian falsafah, termasuk pengkajian hakekat imu, pada dasarnya merupakan analisis logiko-linguistik. Bagi aliran falsafah tertentu, seperti falsafah analitik.105 Maka bahasa bukan saja merupakan alat bagi berfalsafah dan berfikir, namun juga merupakan bahan dasar dan dalam hal tertentu merupakan hasil akhir dari falsafah.106Ahli falsafah seperti Henri bergson (1859-1941) membedakan antara pengetahuan yang bersifat absolut yanag di
103 104

Archibald A. Hill, Introduction to Linguistic Structure (New York : Harcourt, Brace & World, 1958), p. 9. Ludwig Wittgenstein, Tractocus Logico Philosophicus (London : Routledge & Kegal Paul, 1972), p. 37. 105 Termasuk ke dalamnya Logical Positivism, Logical Empirism, Scientific Empirism, Logical Atomism, Cambridge Analysis dan Oxford Analysis. 106 Abraham Kaplan, The New World of Philosophy (New York : Alfred A. Knopt dan Random Hourse Inc., 1961), p. 61.

dapat lewat perantaraan bahasa.107 Pengetahuan yang hakiki bukan di dapat lewat penalaran melainkan lewat intuisi; tanpa diketahi kita sudah sampai di sana, dengan kebenaran yang membukakan jalan pintu, entah dari mana datangnya. Dan bahasa, menurut Hitehead, berarti di belakang intuisi.108 Mungkin ada baiknya kita menutup pembahasan kita mengenai bahasa ini dengan mendengarkan nyanyian Rita Sugiarto diiringi Orkes Melayu Soneta; dengan dangdutnyayanga instinktif merangsang proses fisiologi kita (debar jantung dan rentak kaki); melodinya yang menyentuh emosi kita; dan syairnya yang berfalsafah tentang bahasa.109 Digeleng-gelangkan kepala Itu pertanda tak mau atau tak suka Diangguk-anggukkan kepala Itu pertanda ia mau dan juga setuju

Itu semua isyarat dalam bahasa Tanpa bicara orang mengerti maksudnya

Orang bisa bicara Walau tidak memaakai bahasa Untuk menyatakan cinta Cukuplah dengan pandangan mata..

107

Henri Bergson, An Introduction to Methaphysics, dikutip dalam John Herman Randall, Jr dan Jstus Bucher, Philosphy : An Introduction (New York : Barnes & Noble, 1969), p. 105. 108 Alfred North Whitehead, Modes of Thought (New York : G.P Putnams Sons, 1958), p. 68. 109 Mereka yang mempelajari falsafah matematika dipersilahkan mendengarkan musik Johnn Sebastian Bach dan Shoenberg. Musik Bach akan mengantarkan kita kepada arsitektur barok dengan kerangka laogika matematis sedangkan musik Schoenberg memberikan nada-nada atonal (atonality) berdasarkan model matematis.

Anda mungkin juga menyukai