AKTA MENGAJAR V
BUKU IA FILSAFAT
ILMU
DAFTAR ISI
Halaman
BAB 1
DASAR'DASAR PENGETAHUAN .......................................................... 1
Pendahuluan ............................................................................................... 1
Hakekat Penalaran ....................................................................................... 2
Logika .......................................................................................................... 4
Sumber Pengetahuan ................................................................................... 6
Kriteria Kebenaran ...................................................................................... 9
Ke Arab. Pemikiran Filsafat ........................................................................ 11
BAB II
PENGETAHUAN ....................................................................................... 13
BAB III
METODE ILM1AH, . ................................................................................. 23
Pendahuluan ................................................................................................ 23
Proses logiko hipotetiko - verifikatif........................................................... 27
BAB IV
STRUKTUR PENGETAHUAN ILMIAH ................................................. 37
BAB V
BAHASA..................................................................................................... 47
Pendahuluan ............................................................................................... 47
Bahasa ......................................................................................................... 48
Apakah sebenarnya bahasa.......................................................................... 50
Beberapa Kekurangan Bahasa..................................................................... 54
BAB VI
MATEMATIKA.......................................................................................... 57
Pendahuluan ................................................................................................ 57
Matematika sebagai Bahasa ........................................................................ 58
Sifat Kuantitatif Matematika ....................................................................... 59
Matematika: Sarana Berfikir Deduktif ........................................................ 60
Perkembangan Matematika ......................................................................... 61
Beberapa Aliran dalam Falsafah Matematika ............................................. 65
Matematika dan Peradaban ......................................................................... 67
BAB VII
STATISTIKA. ............................................................................................. 69
Pendahuluan ................................................................................................ 69
Statistika dan Cara Berfikir Induktif ........................................................... 70
Karakteristik Berfikir Induktif .................................................................... 73
BAB VIII
ILMU DAN TEKNOtOGI .......................................................................... 77
Pendahuluan ................................................................................................ 77
Ilmu dan Nilai-nilai ..................................................................................... 78
Hakekat Realitas .......................................................................................... 78
Pengetahuan................................................................................................. 79
Komplementaritas antara ilmu dan pengetahuan ........................................ 80
Teknologi..................................................................................................... 81
Kekuasaan atas Manusia ............................................................................. 82
Kekuasaan atas Kebudayaan ....................................................................... 82
Kekuasaan atas Alam .................................................................................. 83
Pengembangan Ilmu dan Teknologi............................................................ 83
BAB IX
ILMU DALAM PERSPEKTTF MORAL, SOSIAL DAN POLITIK ........ 87
Ilmu dan Moral ............................................................................................ 87
Pendekatan Ontologis .................................................................................. 88
Pendekatan Aksiologis ................................................................................ 89 ,
Pendekatan Epistemologis .......................................................................... 1
Tanggung Jawab Moral Ilmuwan ............................................................... 92
Sikap Politik Formal Ilmuwan .................................................................... 93
Ilmu dalam Perspektif Kehidupan Berbangsa dan Bernegara .................... 94
Ke Arah Pembentukan Ilmuwan yang Bermoral Luhur ............................ 95
Kesimpulan.................................................................................................. 96
Penutup ........................................................................................................ 98
Catatan Akhir .............................................................................................. 99
BAB I
DASAR-DASAR PENGETAHUAN
mengembangkan
pengetahuannya
mengatasi
kebutuhan
kelangsungan hidup ini. Dia memikirkan hal-hal baru, menjelajah ufuk baru,
karena dia hidup bukan sekedar untuk kelangsungan hidup, namun lebih dari
itu. Manusia mengembangkan kebudayaan; manusia memberi makna kepada
kehidupannya; manusia "memanusia-kan" diri dalam hidupnya; dan masih
banyak lagi pernyataan semacam ini: semua itu pada hakekatnya
menyimpulkan bahwa manusia itu dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu
yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidupnya. Inilah yang
menyebabkan manusia mengembangkan pengetahuannya; dan pengetahuan
inijugalah yang mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas di
muka bumi ini.
Pengetahuan ini dapat dikembangkan manusia disebabkan dua hal utama
yakni,
pertama,
manusia
mempunyai
bahasa
yang
mampu
jalan flkiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Seekor beruk bisa saja
mem-berikan informasi kepada kelompoknya bahwa ada segerombolan gorila
datang me-nyerang^amun bagaimana pun berkembang bahasanya, dia tidak
mampu mengkomunikasikan kepada beruk-beruk lainnya, jalan fikiran yang
analitis mengenai gejala tersebut. Tak ada seekor anjing pun, kata Bertrand
Russel, yang berkata kepada temannya: "Ayahku miskin namun jujur."
Kalimat ini berasal dari drama Shakespeare yang terkenal. Dan tak ada seekor
anjing pun, sambung Adam Smith, yang secara sadar tukar-menukar tulang
dengan temannya. Adam Smith dalam hal ini berbicara tentang prinsip
ekonomi, yakni proses' pertukaran yang dilakukan Homo economicus, yang
mengembangkan pengetahuan berupa ilmu ekonomi.
Sebab kedua, yang menyebabkan manusia mampu mengembangkan
pengetahuannya dengan cepat dan mantap, adalah kemampuan berfikir
menurut suatu alur ke-rangka berfikir tertentu. Secara garis besar cara berfikir
seperti ini disebut penalaran. Binatang mampu berfikir namun tidak mampu
berfikir nalar. Beda utama antara seorang profesor nuklir dengan anak kecil
yang membangun bom atom dari pasir di play-groupnya tempat dia
melakukan riset terletak pada kemampuannya dalam menalar. Instink binatang
jauh lebih peka dari instink seorang insinyur geologi; mereka sudah jauh-jauh
berlindung ke tempat yang aman sebelum gunung meletus. Namun binatang
tak bisa menalar tentang gejala tersebut: mengapa gunung meletus, faktor apa
yang menyebabkannya, apa yang dapat dilakukan untuk mencegah semua itu
ter-jadi.
Dua kelebihan inilah yang memungkinkan manusia mengembangkan
pengetahuannya yakni bahasa yang bersifat komunikatif dan fikiran yang
mampu menalar. Tentu saja tidak semua pengetahuan berasal dari proses
penalaran; sebab berfikir pun tidak semuanya berdasarkan penalaran. Manusia
bukan semata-mata mahluk yang berfikir; sekedar homo sepiens yang steril.
Manusia adalah mahluk yang berfikir, merasa dan mengindera; dan totalitas
pengetahuannya berasal dari ketiga sumber tersebut; di samping wahyu: yang
merupakan komunikasi Sang Pencipta dengan mahluknya.
"Memang penalaran otak orang luar biasa," simpul cendekiawan Bos bubalus
membacakan makalahnya (di klinik Fakultas Kedckteran Hewan, Jalan Taman
Ken-cana, Bogor), "meskipun penelitian kami menunjukkan, bahwa secara
kimia dan fisika, otak kerbau rmrip otak manusia..."1)
(Sungguh, kalau digulai, otak Taufiq Ismail lezat juga kelihatannya!)
Hakekat Penalaran
Penalaran merupakan suatu proses berfikir dalam menarik suatu kesimpulan
yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakekatnya merupakan mahluk yang
berfikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindakannya bersumber
pada pengetahuan yang didapatkan lewat kegiatan merasa atau berfikir.
Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berfikir
dan bukan dengan perasaan, meskipun seperti dikatakan Pascal, hati pun
mempunyai logikanya tersendiri. Meskipun demikian patut kita sadari bahwa
tidak semua kegiatan berfikir menyandarkan diri kepada penalaran. Jadi
penalaran merupakan kegiatan berfikir yang mempunyai karakteristik tertentu
dalam menemukan kebenaran.
Berfikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang
benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama maka oleh
sebab itu kegiatan proses berfikir untuk menghasilkan pengetahuan yang
benar itu pun juga berbeda-beda.
Dapat dikatakan bahwa tiap jalan fikiran mempunyai apa yang disebut sebagai
kriteria kebenaran, dan kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses
penemuan kebe-naran tersebut. Penalaran merupakan suatu-proses penemuan
non-analitik yang tidak mendasarkan diri kepada suatu pola berfikir tertentu.
Berfikir intuitif ini memegang peran-an yang penting dalam masyarakat yang
berfikir non-analitik, yang kemudian sering bergalau dengan perasaan. Jadi
secara luas dapat kita katakan bahwa cara berfikir masyarakat dapat
dikategorikan kepada cara berfikir analitik yang berupa penalaran dan cara
berfikir yang non-analitik yang berupa intuisi dan perasaan.
Di samping itu masih terdapat bentuk lain dalam usaha manusia untuk
mendapat-kan pengetahuan yakni wahyu. Ditinjau dari hakekat usahanya,
maka dalam rangka menemukan kebenaran, kita dapat bedakan dua jenis
pengetahuan. Yang pertama adalah pengetahuan yang didapatkah sebagai
hasil usaha yang aktif dari manusia untuk menemukan kebenaran, baik
melalui penalaran maupun lewat kegiatan lain seperti perasaan dan intuisi. Di
pihak lain terdapat bentuk pengetahuan yang kedua, yang bukan merupakan
kebenaran yang didapat sebagai hasil usaha aktif manusia. Dalam hal ini maka
pengetahuan yang didapat itu bukan berupa kesimpulan sebagai produk dari
usaha aktif manusia dalam menemukan kebenaran, melainkan berupa
pengetahuan yang diwartakan atau diberitakan, umpamanya wahyu yang
diberitakan Tuhan lewat malaikat-malaikat dan nabi-nabinya. Manusia dalam
menemukan kebenaran ini bersifat pasif sebagai penerima pemberitaan
tersebut, yang kemudian dipercaya atau tidak dipercaya, berdasarkan masingmasing keyakinannya.
Pengetahuan juga dapat kita tinjau dari sumber yang memberikan pengetahuan
tersebut. Dalam hal wahyu dan intuisi secara implisit kita mengakui bahwa
wahyu (atau dalam hal ini Tuhan yang menyampaikan wahyu) dan intuisi
adalah sumber pengetahuan. Dengan wahyu maka kita mendapa'tkan
pengetahuan lewat keyakinan (kepercayaan) bahwa yang diwahyukan itu
adalah benar; demikian juga dengan intuisi, di mana kita percaya bahwa
intuisi adalah sumber pengetahuan yang benar, meskipun kegiatan berfikir
intuitif tidak mempunyai logika atau pola berfikir tertentu. Jadi dalam hal ini
bukan saja kita berbicara mengenai pola penemuan kebenaran melainkan juga
sudah mencakup materi pengetahuan yang berasal dari sumber kebenaran
tertentu.
Dalam hal penalaran maka kita belum berbicara mengenai materi dan sumber
pengetahuan tersebut, sebab seperti kita katakan terdahulu, penalaran hanya
merupakan cara berfikir tertentu. Untuk melakukan kegiatan analisis maka
Logika
Alkisah, menurut cerita yang terdapat dalam khasanah humor ilmiah, seorang
peneliti ingin menemukan apa yang sebenarnya menyebabkan manusia itu
mabuk. Untuk itu dia mengadakan penyelidikan dengan mencampur berbagai
minuman keras. Mula-mula dia mencampur air dengan wiski luar negeri yang
setelah dengan habis di-teguknya maka dia pun terkapar mabuk. Setelah
siuman dia mencampur air dengan TKW, wiski lokal yang diminum di pinggir
jalan sambil mengisap kretek, ternyata campuran ini pun menyebabkan dia
mabiik. Akhirnya dia mencampur air dengan tuak yang juga, seperti kedua
campuran terdahulu, menyebabkan dia mabuk. Berdasarkan penelitian itu
maka dia menyimpulkan bahwa airlah yang menyebabkan manusia itu mabuk.
Benar-benar masuk akal, bukan, namun apakah hal itu benar?
Penalaran merupakan suatu proses berfikir yang membuahkan pengetahuan.
Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran
maka proses berfikir itu harus dilakukan melalui suatu cara tertentu. Suatu
penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses penarikan
dimulai
dengan
mengemukakan
pernyataan-pernyataan
yang
Pernyataan seperti ini sudah cukup bagi manusia untuk bersifat fungsional
dalam kehidupan praktis dan berfikir teoretis.
Keuntungan yang kedua dari pernyataan yang bersifat umum adalah
dimungkin-kannya proses penalaran selanjutnya baik secara induktif maupun
secara deduktif. Secara induktif maka dari berbagai pernyataan yang bersifat
umum dapat disimpulkan pernyataan yang bersifat lebih umum lagi.
Umpamanya melanjutkan contoh kita terdahulu, dari kenyataan bahwa semua
binatang mempunyai mata dan semua manusia mempunyai mata, dapat ditarik
kesimpulan bahwa semua mahluk mempunyai mata. Penalaran seperti ini
memungkinkan disusunnya pengetahuan secara sistematis yang mengarah
kepada pernyataan-pernyataan yang makin lama makin bersifat fundamental.
Penalaran deduktif adalah kegiatan berfikir yang sebaliknya dari penalaran
induktif. Deduksi adalah cara berfikir di mana dari pernyataan yang bersifat
umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara
deduktif biasanya mempergunakan pola berfikir yang dinamakan silogismus.
Silogismus disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan.
Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut premis yang kemudian
dapat dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor. Kesimpulan
merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan
kedua premis tersebut. Dari contoh kita sebelumnya kita dapat membuat
silogismus
sebagai berikut:
Semua mahluk mempunyai mata
Si Polan adalah seorang mahluk
Jadi Si Polan mempunyai mata
Kesimpulan yang diambil bahwa si Polan mempunyai mata adalah sah
menurut penalaran deduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua
premis yang men-dukungnya. Pertanyaan apakah kesimpulan itu benar maka
hal ini harus dikembalikan kepada kebenaran premis yang mendahuluinya.
Sekiranya kedua premis yang men-dukungnya adalah benar maka dapat
dipastikan bahwa kesimpulan yang ditariknya juga adalah benar. Mungkin
saja kesimpulan itu salah, meskipun kedua premisnya benar, sekiranya cara
penarikan kesimpulannya adalah tidak sah.
Dengan demikian maka ketepatan penarikan kesimpulan tergantung dari tiga
hal yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor dan keabsahan
Sumber Pengetahuan
De omnibus dubitandum! Ragukan segala sesuatu! desak Rene Descartes.
Namun segala yang ada dalam hidup ini dimulai dengan sesuatu, bahkan juga
Hamlet si peragu, yang berseru kepada Ophelia:4 )
Ragukan bahwa bintang-bintang itu api; Ragukan bahwa matahari itu
bergeralc; Ragukan bahwa kebenaran itu dusta: Tapi jangan ragukan cintaku.
Kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu!
Baik logika deduktif maupun logika induktif, dalam proses penalarannya,
mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya
benar.
Kenyata-an
ini
membawa
kita
kepada
sebuah
pertanyaan:
idea yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Idea ini menurut
mereka bukanlah ciptaan fikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh
sebelum manusia berusaha memikir-kannya. Paham dikenal dengan nama
idealisme. Fungsi fikiran manusia hanyalah me-ngenali prinsip tersebut yang
lalu menjadi pengetahuannya. Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersifat apriori
dan dapat diketahui oleh manusia lewat kemampuan berfikir rasionalnya.
Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip dan justru sebaliknya, hanya
dengan mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran rasional itulah maka
kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa idea bagi kaum rasionalis adalah
bersifat apriori dan pra-pengalaman yang didapatkan manusia lewat penalaran
rasional.
Masalah utama yang timbul dari cara berfikir ini adalah mengenai kriteria
untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu idea yang menurut seseorang
adalah jelas dan dapat dipercaya. Idea yang satu bagi si A mungkin bersifat
jelas dan dapat dipercaya namun hal itu belum tentu bagi si B. Mungkin saja
bagi si B menyusun sistem pengetahuan yang sama sekali lain dengan sistem
pengetahuan si A karena si B mempergunakan idea lain yang bagi si B
merupakan prinsip yang jelas dan dapat dipercaya. Jadi masalah utama yang
dihadapi kaum rasionalis adalah evaluasi dari kebenaran premis-premis yang
dipakainya dalam penalaran deduktif. Karena premis-premis ini semuanya
bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak dan terbebas dari
pengalaman maka evaluasi semacam ini tak dapat dilakukan. Oleh sebab itu
maka
lewat
penalaran
rasional
akan
didapatkan
bermacam-niacam
pengetahuan mengenai satu obyek tertentu tanpa adanya suatu konsensus yang
dapat diterima oleh semua pihak. Dalam hal ini maka pemikiran rasional
cenderung untuk bersifat solipsistik7 )dan subyektif.
Berlainan dengan kaum rasionalis maka kaum empiris berpendapat bahwa
pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional yang
abstrak namun lewat pengalaman yang konkrit. Gejala-gejala alamiah menurut
anggapan kaum empiris adalah bersifat konkrit dan dapat dinyatakan lewat
tangkapan pancaindera manusia. Gejala itu kalau kita telaah lebih lanjut
mempunyai beberapa karakteristik tertentu umpamanya saja terdapat pola
yang teratur mengenai suatu kejadian tertentu. Suatu benda padat kalau
dipanaskan akan memanjang. Langit mendung diikuti dengan turunnya hujan.
merupakan
dasar
dari
penyusunan
pengetahuan
ini.
dikaji dengan metode yang lain. Secara rasional bisa dikaji umpamanya
apakah pernyataan-pernyataan yang terkandung di dalamnya bersifat konsisten atau tidak. Di pihak lain, secara empiris bisa dikumpulkan fakta-fakta
yang mendukung pernyataan tersebut atau tidak. Singkatnya, agama dimulai
dengan rasa percaya, dan lewat pengkajian selanjutnya kepercayaan itu bisa
meningkat atau rne-nurun. Pengetahuan lain, seperti ilmu umpamanya, bertitik
tolak sebaliknya. Ilmu dimulai dengan rasa tidak percaya , dan setelah mulai
proses pengkajian ilmiah, kita bisa diyakinkan atau tetap pada pendirian
semula.
Kriteria Kebenaran
Seorang anak kecil yang baru masuk sekolah, setelah tiga hari berselang,
mogok tidak mau belajar. Orang tuanya mencoba membujuk dia dengan
segala macam daya, dari iming-imingan gula-gula sampai ancaman sapu lidi,
semuanya sia-sia. Setelah di-desak-desak akhirnya iia berterus-terang, bahwa
dia sudah kehilangan hasratnya untuk belajar, sebab ternyata ibu gurunya
adalah seorang pembohong.
"Coba ceritakan bagaimana dia berbohong," pinta orang tuanya sambil tersenyum.
"Tiga hari yang lalu dia berkata bahwa 3 + 4 = 7. Dua hari yang lalu dia
berkata 5 + 2 = 7. Kemarin dia berkata 6 + 1 = 7. Bukankah semua ini tidak
benar?"
Permasalahan yang sederhana ini membawa kita kepada apa yang disebut teori
kebenaran. Apakah persyaratannya agar suatu jalan fikiran menghasilkan
kesimpulan yang benar? Tidak semua manusia mempunyai persyaratan yang
sama terhadap apa yang dianggapnya benar, termasuk anak kecil kita tadi,
yang dengan fikiran kekanak-kanakannya mempunyai kriteria kebenaran
tersendiri. Bagi kita tidak sukar untuk menerima kebenaran bahwa 3 + 4 = 7;5
+ 2= 7; dan 6+1=7; sebab secara deduktif dapat dibuktikan bahwa ketiga
pernyataan tersebut adalah benar. Mengapa hal ini kita sebut benar? Sebab
pernyataan- dan kesimpulan yang ditariknya adalah konsisten dengan
pernyataan dan kesimpulan terdahulu yang telah dianggap benar.
10) Dikutip dalam Stanley M. Honer dan Thomas G. Hunt, Invitation to
Philosophy (Belmont, Ca!.: Wadsworth, 1968), p. 72.
Teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria tersebut di atas disebut teori
|i. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori koherensi
suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau
konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
Bila kita menganggap
mengingatkan bahwa tak terdapat metode induktif yang memung-kinkan
berkembangnya konsep dasar suatu ilmu.7)
Kaum empiris menganggap bahwa dunia fisik adalah nyata karena merupakan
gejala yang tertangkap oleh pancaindera. Hal ini membawa kita kepada dua
masalah. Pertama, sekiranya kita mengetahui dua fakta yang nyata,
umpamanya rambut keriting dan intelegensi manusia, bagaimana kita merasa
pasti mengenai kaitan antara Ixedua fakta tersebut? Apakah rambut keriting
dan intelegensi manusia mempunyai kaitan satu sama lain dalam hubungan
kausalita? Sekiranya kita mengatakan tidak, bagaimana sekiranya penalaran
induktif membuktikan sebaliknya?
Pertanyaan tersebut mengingatkan kita bahwa hubungan antara berbagai fakta
tidaklah nyata sebagaimana yang kita sangka. Harus terdapat suatu kerangka
pemikiran yang memberi latar belakang mengapa X mempunyai hubungan
dengan Y, sebab kalau tidak, maka pada hakekatnya semua fakta dalam dunia
fisik bisa saja dihubung-kan dalam kaitan kausalita.
Masalah yang kedua adalah mengenai hakekat pengalaman yang merupakan
cara dalam menemukan pengetahuan dan pancaindera sebagai alat yang
menangkapnya. Pertanyaanr.ya adalah apakah yang sebenamya dinamakan
pengalaman? Apakah hal ini merupakan stimulus pancaindera? Ataukah
persepsi? Atau sensasi? Sekiranya kita mendasarkan diri kepada pancaindera
sebagai alat dalam menangkap gejala fisik yang nyata maka seberapa jauh kita
dapat mengandalkan pancaindera tersebut?
Ternyata kaum empiris tidak bisa memberikan jawaban yang meyakinkan mengenai hakekat pengalaman itu sendiri. Sedangkan mengenai kekurangan
pancaindera manusia ini bukan merupakan sesuatu yang baru bagi kita.
Pancaindera manusia sangat terbatas kemampuannya dan terlebih penting lagi
pancaindera manusia bisa melakukan kesalahan. Contoh yang biasa kita lihat
sehari-hari ialah bagaimana tongkat lurus yang sebagian ierendam di dalam air
akan kelihatan menjadi bengkok. Haruskah kita mem-percayai hal semacam
ini sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan?
penganut teori korespondensi maka suatu pernyataan adalah benar jika materi
pengetahuan yang di-kandung pernyataan itu berkoresponden (berhubungan)
dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Maksudnya jika seseorang
mengatakan bahwa "Ibu kota Republik Indonesia adalah Jakarta" maka
pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu berkoresponden dengan
obyek yang bersifat faktual yakni Jakarta yang memang menjadi ibu kota
Republik Indonesia. Sekiranya ada orang lain yang menyatakan bahwa "Ibu
kota Republik Indonesia adalah Bandung" maka pernyataan itu adalah tidak
benar sebab tidak terdapat obyek yang berkoresponden dengan pernyataan tersebut. Dalam hal ini maka secara faktual "Ibu kota Republik Indonesia adalah
bukan Bandung melainkan Jakarta".
Kedua teori kebenaran ini yakni teori koherensi dan teori korespondensi kedua-duanya dipergunakan dalam cara berfikir ilmiah. Penalaran teoretis
yang berdasarkan logika deduktif jelas mempergunakan teori koherensi ini.
Sedangkan proses pembuktian secara, empiris dalam bentuk pengumpulan
fakta-fakta yang mendukung suatu pernyataan tertentu mempergunakan teori
korespondensi. Pemikiran ilmiah juga mempergunakan teori kebenaran yang
lain yang disebut teori kebenaran prag-matis.
Teori pragmatis dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914) dalam sebuah
makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul "How to Make Our Ideas
Clear". Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli falsafah yang
kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan falsafah ini
sering dikaitkan dengan falsafah Amerika. Ahli-ahli falsafah ini di antaranya
adalah William James (1842 1910), John Dewey (1859-1952), George
Herbert Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis.
Bagi seorang pragmatis maka kebenaran suatu pernyataan diukur dengan
kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan
praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau
konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam
kehidupan manusia. Sekiranya ada orang yang menyatakan sebuah teori X
dalam pendidikan, dan dengan teori X tersebut dikembangkan teknik Y dalam
meningkatkan kemampuan belajar, dan ternyata secara ilmiah dibuktikan
bahwa teknik Y tersebut memang dapat meningkatkan kemampuan belajar,
maka teori X itu dianggap benar, sebab teori X ini adalah fungsional dan
mempunyai kegunaan. Pragmatisme bukanlah suatu aliran falsafah yang
BAB II PENGETAHUAN
Seni, agama dan ilmu, - itu semua adalah pengetahuan. Masing-masing jenis
pengetahuan ini mempunyai landasan-landasan ontologis, epistemologis dan
aksiologisnya sendiri. Ilmu berusaha memahami alam sebagaimana adanya
dan hasil-hasil kegiatan keilmuan merupakan alat untuk meramalkan dan
mengendalikan gejala-gejala alam. Pengetahuan keilmuan merupakan seri
penjelasan mengenai alam, yang sifatnya umum dan impersonal.
dibayangkan
bagaimana
kehidupan
manusia
seandainya
agama
memasuki
pula daerah
penjelajahan
bersifat
mencoba
gejala
alam,
melainkan
sebuah
himbauan
yang
mengenai
alam menjadi
hidup
manusia
perseorangan."3)
Pengalaman
itu
kelakuan
para
dewa
yang
bersangkutan.
Maka
secara
empiris
diketahui
bahwa
daun
pepaya
bisa
ilmu,
mengapa
ada
peradaban
yang
mampu
integral.
Pengetahuan
tentang
obat-obatan
tradisional
kemacetan
dalam
pengobatan
penyakit
ini
lewat
menghasilkan
keanitan (wisdom)
.Akal sehat dan cara mencoba-coba mempunyai peranan penting dalam
usaha manusia untuk menemukan penjelasan mengenai berbagai gejala
alam. Ilmu dan filsafat dimulai dengan akal sehat sebab tak mempunyai
landasan permulaan lain untuk ber-pijak.8) Tiap peradaban betapa pun
primitifnya mempunyai kumpulan pengetahuan yang berupa akal sehat.
9) Randall dan Buchler mendefinisikan akal sehat sebagai pengetahuan
yang diperoleh lewat pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat
sporadis dan kebetulan.10) Sedangkan karakteristik akal sehat diberikan
oleh Titus sebagai berikut: (1) karena landasannya yang berakar pada
adat dan tradisi maka akal sehat cenderung untuk bersifat kebiasaan dan
pengulangan; (2) karena landasannya yang berakar kurang kuat maka
akal sehat cenderung untuk bersifat kabur dan samar-samar; dan (3)
karena kesimpulan yang ditariknya sering berdasarkan asumsi yang tidak
dikaji lebih lanjut maka akal sehat lebih merupakan pengetahuan yang
tidak teruji.11) Berdasarkan akal sehat, adalah amat masuk akal setelah
beberapa kali mengalami terbit dan terbenamnya matahari untuk
menyimpulkan bahwa matahari berputar me-ngelilingi bumi. Itulah
sebabnya banyak penemuan ilmiah yang mula-mula sukar diterima oleh
masyarakat sebab bertentangan dengan akal sehat, seperti penemuan
bahwa bukan matahari yang mengelilingi bumi melainkan sebaliknya.
Perkembangan selanjutnya adalah tumbuhnya rasionalisme yang secara
kritis mempermasalahkan dasar-dasar fikiran yang bersifat mitos.
Menurut Popper maka tahap ini adalah penting sekali dalam sejarah
berfikir manusia yang menyebabkan.rf/rirt^ga/-kannya tradisi yang
bersifat dogmatik yang hanya memperkenankan hidupnya satu doktrin
dan digantikan dengan doktrin yang bersifat majemuk (pluralistik) yang
masing-masing mencoba menemukan kebenaran secara analisis yang
bersifat kritis.'2) Jadi pada dasarnya rasionalisme memang bersifat
majemuk dengan berbagai kerangka pemikiran yang dibangun secara
deduktif di sekitar obyek pemikiran tertentu. Dalam menafsirkan suatu
obyek tertentu maka berkembanglah berbagai pendapat, aliran, teori dan
mashab filsafat. Dalam keadaan seperti ini maka sukar sekali bagi kita
untuk memilih mana dari sejumlah penjelasan yang rasional tersebut
yang memang benar sebab semuanya dibangun di atas argumentasi yang
bersifat koheren. Mungkin saja kita bisa mengatakan bahwa argumentasi
yang benar adalah penjelasan yang mempunyai kerangka berfikir yang
paling meyakinkan. Namun hal ini pun tidak bisa memecahkan
persoalan, sebab kriteria penilaiannya bersifat nisbi dan tidak bisa
terlepas dari unsur subyektif. Di samping itu rasionalisrne dengan
pemikiran deduktifnya sering menghasilkan kesimpulan yang benar bila
ditinjau dari alur-alur logikanya namun ternyata sangat bertentangan
dengan kenyataan yang sebenarnya. Aristoteles umpamanya menyimpulkan bahwa wanita mempunyai gigi yang jumlahnya lebih sedikit
bila di-bandingkan dengan pria, padahal gerutu Bertrand Russell, buat
orang seperti dia yang kawin dua kali seharusnya lebih tahu tentang
itu.13)
Kelemahan dalam berfikir rasional seperti itulah yang menimbulkan
berkembang- . nya empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan
yang benar itu didapat dari kenyataan pengalaman. Dipelopori oleh
filsuf-filsuf Inggris maka berkembanglah cara berfikir yang menjauhi
spekulasi teoretis dan metafisis. Metafisika, menurut David Hume (17111776) adalah "khayal dan dibuat-buat" yang selayaknya "diumpankan ke
lidah api yang menjilat". Namun cara berfikir ini pun tidak luput dari
kelemahan sebab atas dasar apa kita bisa menghubungkan berbagai
faktor dalam suatu hubungan kausalitas? Berdasarkan metode induktif
yang didukung oleh teknik statistika yang paling rumit dengan mudah
umpamanya dapat disimpulkan bahwa "kambing kencing di IKIP
Rawamangun
berkorelasi
dengan
banjirnya
kampus
Universitas
oleh
sarjana
Muslim
dan
secara
sosio-logis
gambar
BAB III
METODE ILMIAH
Metode
keilmuan
ialah
prosedur
untuk
lingkup
jangkauan
pengalaman
manusia.
Jadi
ilmu
tidak
mempermasalahkan tentang hari kemudian atau surga dan neraka yang jelas
berada di luar pengalaman manusia. Hal ini harus kita sadari, karena hal inilah
yang memisah-kan daerah ilmu- dan agama. Agama, berbeda dengan ilmu,
mempermasalahkan pula obyek-obyek yang berada di luar pengalaman
manusia, baik sebelum manusia ini berada di muka bumi seperti mengapa
manusia diciptakan, maupun sesudah kematian manusia, seperti apa yang terjadi
ngan bangunan dan isinya. Sedangkan dalam kegiatan ilmiah, maka tiap
ilmuwan me-nyumbangkan bagian kecil dari sistem keilmuan secara
keseluruhan, namun sifatnya yang kumulatif menyebabkan ilmu berkembang
dengan sangat pesat.
Dengan adanya jembatan berupa penyusunan hipotesis ini maka metode
ilmiah
sering dikenal sebagai proses logiko-hipotetiko-vertifikatif; atau menurut
Tyndall
sebagai "perkawinan yang berkesinambungan antara deduksi dan induksi."12)
Proses
induksi ini mulai memegang peranan dalam tahap verifikasi atau pengujian
hipotesis di mana dikumpulkan fakta-fakta empiris untuk menilai apakah
sebuah hipotesis didukung oleh fakta atau tidak. Sebenarnya dalam proses
penyusunan hipotesis ini, meskipun dasar berfikirnya adalah deduktif,
kegiatannya tidaklah sama sekali terbebas dari proses induktif. Kita tidak
mampu memecahkan masalah hanya sambil bergoyang kaki di belakang meja
sambil tengadah ke langit biru mencari gagasan yang mungkin dapat
dipergunakan dalam menyusun hipotesis. Penyusunan hipotesis itu sendiri
dilakukan dalam kerangka permasalahan yang bereksistensi secara empiris
dengan pengamatan kita yang mau tidak mau turut mempengaruhi proses
berfikir deduktif. Kegiatan seperti ini akan lebih mendekatkan lagi hipotesis
yang kita susun dengan dunia fisik yang secara teoretis memperbesar peluang
bagi hipotesis tersebut untuk diterima
Langkah selanjutnya sesudah penyusunan hipotesis adalah menguji
hipotesis tersebut dengan mengkonfrontasikannya dengan dunia fisik yang
nyata. Sering sekali dalam hal ini kita harus melakukan langkah perantara yakni
menentukan faktor-faktor apa yang dapat kita uji dalam rangka melakukan
verifikasi terhadap keseluruhan hipotesis tersebut. Sekiranya kita mempunyai
hipotesis bahwa bulan berputar mengeli-lingi bumi maka masalah yang kita
hadapi adalah bagaimana caranya kita mampu menguji pernyataan tersebut.
Atau lebih jauh lagi fakta-fakta apakah yang dapat kita amati yang diturunkan
dari hipotesis tersebut yang memungkinkan kita untuk menarik kesimpulan
apakah pernyataan itu didukung oleh fakta atau tidak. Umpamanya saja dalam
menguji hipotesis tentang hubungan antara bumi dan bulan tersebut di atas
maka kita dapat menyimpulkan pernyataan bahwa hipotesis tersebut akan
menyebabkan timbulnya kegiatan pasang dan surut air laut secara periodik
disebabkan daya tarik bulan yang berpindah-pindah sambil dia mengelilingi
bumi. Gejala pasang dan surut air laut ini jelas akan dapat kita amati dengan
pancaindra kita dan dengan demikian kita akan dapat melakukan vertifikasi
apakah pernyataan itu mengandung kebenaran atau tidak. Demikian juga hal
yang serupa berlaku untuk prestasi belajar yang dapat dilihat dan diuji lewat
hasil tes, angka rapor sekolah atau angka penilaian lainnya.
Proses pengujian ini, seperti telah kita singgung sebelumnya, merupakan
pengum-pulan fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan. Fakta-fakta
ini kadang-kadang bersifat sederhana yaag dapat kita tangkap secara langsung
dengan pancaindra kita. Kadang-kadang kita memperlukan instrumen yang
membantu pancaindra kita, umpamanya teleskop dan mikroskop. Dalam
penyelidikan fisika nuklir maka pembuktian ini kadang-kadang memerlukan
alat yang rumit sekali, sehingga sering terjadi bahwa suatu hipotesis baru
dapat dibuktikan beberapa lama kemudian, setelah ditemu-kan alat yang dapat
membantu mengumpulkan fakta yang bersangkutan. Hal ini pula-lah yang
menyebabkan penelitian ilmiah menjadi sangat mahal, yang disebabkan
bukan oleh penyusunan teorinya, melainkan dalam pembuktiahnya.
Pembuktian inilah sebenarnya yang memberi vonis terhadap teori ilmiah
apakah
pernyataan-pernyataan
yang
dikandungnya
dapat
diterima
menjadi ragu. Mengapa agama mesti dimulai dengan rasa percaya sedangkan ilmu dengan ragu-ragu? Kunci jawabannya terletak pada daerah
penjelajahan agama yang menjangkau daerah di luar pengalaman manusia.
Dalam keadaan seperti ini maka pengetahuan agama yang diwahyukan oleh
Tuhan harus diterima dulu sebagai "hipotesis" yang kebenarannya kemudian
diuji oleh kita. Proses pengujian ini tidak sama dengan pengujian ilmiah yang
berdasarkan kepada tangkapan pancaindra, sebab pengujian kebenaran agama
harus dilakukan oleh seluruh aspek kemanusiaan kita seperti penalaran,
perasaan, intuisi, imajinasi di samping pengalaman. Demikian juga tidak
semua pernyataan keagamaan dapat diverifikasi seperti adanya malaikat dan
hari kemudian sebab ha! ini berada di luar jangkauan pengalaman. Dengan
demikian maka kepercayaan keagamaan sangat bersifat personal dan
subyektif, berbeda dengan ilmu yang bersifat impersonal dan obyektif. Kedua
pengetahuan ini bersifat saling meleng-kapi dan memperkaya kehidupan kita
sesuai dengan hakekat dan kegunaannya masing-masing. /
Alur berfikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam
beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah.
Kerangka berfikir ilmiah yang berintikan proses logiko-hipotetiko-vertifikatif
ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut.
(1) Perumusan masalah. yang merupakan pertanyaan mengenai obyek
empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktorfaktor yang terkait di da-lamnya.
(2) Penyusunan kerangka berfikir dalam pengajuan hipotesis yang
merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin
terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk
konstelasi permasalahan. Kerangka berfikir ini disusun secara rasional
berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan
memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan;
(3) Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan
jawaban pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan
kesimpulan dari kerangka berfikir yang dikembangkan;
(4) Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang
relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah
terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak;
berkembang
berbagai
variasi
sesuai
dengan
bidang
dan
namun
lebih-lebih
lagi
dalam
mengkomunikasikan
dikaji,
diulangi,
dan
dimanfaatkan
secara
komunal.
lainnya. Hipotesis
yang
telah teruji
dapat
memberikan
jawaban
positif
terhadap
lain
yang
memerlukan
teori
lain
pula
untuk
kesadaran
akan
ketidaktahuan
kita,
yang
akan
untuk melakukan pendekatan multi-disipliner terhadap sebuah permasalahan. Pendekatan ini menyebabkan berkembangnya sarana berfikir
yang merupakan kerangka yang mengikat berbagai disiplin keilmuan
dalam melakukan penelaahan bersama diantaranya adalah cara berfikir
sistem,26) Berfikir menurut sistem ini bukan -lah disiplin keilmuan baru
melainkan sarana berfikir yang membantu proses pengkajian kita seperti
juga bahasa, logika, matematika dan statistika. Ketidakpuasan kita terhadap lingkup analisis keilmuan yang sempit dan sektoral janganlah
diarahkan untuk mengaburkan batas-batas disiplin keilmuan yang makin
lama memang makin terspesialisasikan melainkan dengan jalan
mengikatnya secara federatif dalam suatu pendekatan multi-disipliner.
Dengan demikian kita tidak mengembangkan teori keilmuan baru melainkan sarana-sarana berfikir baru. Spesialisasi, meminjam perkataan
William Barrett, adalah harga yang kita bayar untuk kemajuan
pengetahuan.29)
Pendekatan
sistem
yang
berkembang
menjadi
BAB IV
STRUKTUR PENGETAHUAN ILMIAH
Hipotesis atau teori yang prediksinya telah ternyata j itu menjadi bagian
dari khasanah ilmu. Kalau masukan baru ini memberikari penjelasan
yang lebih umum, atau sama cakup-annya tetapi lebih gamblang dan
gampang, daripada penje-lasan teori yang mendahuluinya, maka ia
menggeser kedu-dukan teori yang lama itu. Pada waktunya nanti ia
sendiri bisajuga tergusur dari khazanah ilmu itu, yakni bila keku-rangan
dan cacatnya menjadi kentara dalam terang penemuan experimental baru,
atau bila muncul teori tandingan yang lebih baik.
Kalau pada asasnya teori itu benar, maka data eksperimental baru atau
sorotan teoretis dari ilmuwan lain justru dapat dipakai untuk merevisi
teori tersebut. Pelintasan siklus hi-potetiko-dedukto-verifikatif secara
iteratif menghasilkan pe-ngetahuan ilmiah yang kadar kebenarannya
makin tinggi. Dan karena masukan baru juga lalu dipakai sebagai premis'
untuk mendeduksikan prediksi yang baru, dengan memadu-kannya
dengan hipotesis lain, maka secara kumulatif ilmu itu berkembang.
Secara deduktif-deterministik, induktif-probabilistik, fung-sional, atau
genetik, atau dengan kombinasi beberapa di antara dan bahkan mungkin
semua cara ini, ilmu menjelas-kan gejala-gejala alam. Penjelasan yang
disiplin
keilmuan
yang
benar-benar
mencerminkan
postulat dan asumsi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Mungkin
inilah yang menyebabkan Max Planck menurut- majalah Playboy (sic!)
menganggap ekonomi itu sukar dan mengalihkan bidang studinya ke
fisika, sedangkan Bertrand. Russell berpendapat sebaliknya, ekonomi
baginya dianggap terlalu mudah yang menyebabkan dia beralih kepada
filsafat dan matematika.2
Sebuah teori biasanya terdiri dari hukum-hukum. Dalam teori ilmu
ekonomi mikro umpamanya kita mengenai hukum permintaan dan
penawaran: Bila permintaan naik sedangkan penawaran tetap maka harga
akan naik, bila penawaran naik sedangkan permintaan tetap maka harga
akan turun. Hukum pada hakekatnya merupakan pernya-taan yang
menyatakan hubungan antara dua variabel atau lebih dalam suatu kaitan
sebab akibat. Seperti dalam hukum ekonomi tersebut di atas maka dapat
dilihat hubungan sebab akibat antara permintaan, penawaran dan
pembentukan harga. Per-nyataan yang mencakup hubungan sebab akibat
ini, atau dengan perkataan lain hubungan kausalita, memungkinkan kita
untuk meramalkan apa yang akan terjadi sebagai akibat dari sebuah
sebab. Apa yang akan terjadi dalam pembentukan harga beras waktu
panen, umpamanya, akan dapat diramalkan dengan hukum ini.
Penawaran yang me-ningkat disebabkan banyaknya beras yang
ditawarkan oleh penjual pada waktu panen-an akan menyebabkan harga
beras menjadi turun bila permintaan konsumen terhadap beras pada
waktu itu adalah tetap. Sedangkan hal yang sebaliknya terjadi pada
waktu
paceklik
dimana
penawaran
yang
menurun
disebabkan
Akhirnya
Newton
(1642-1727)
pada
tahtin
1686
menerbitkan
dihubungkan
dengan
teorfGalileo
yang
menyatakan
bahwabuah nangka jauh lebih berat dari buah apel, bila terjaduh dari
ketinggian yang sama, akan menimpa tanah dalam waktu yang sama.
Mengapa hal itu terjadi demikian, sebab bila difikir sepintas lalu, kita
lebih mudah sependapat dengan pendapat Aristoteles yang menyatakan
bahwa buah nangka akan lebih cepat sampai ke tanah disebabkan buah
nangka lebih berat dari apel? Lalu mengapa benda-benda langit seperti
bumi dan matahari tidak jatuh seperti buah apel melainkan bergerak
dalam lintasan tertentu yang berbentuk orbit?
Sebelum Newton telah banyak manusia melihat buah apel jatuh, telah
banyak pula yang mempertanyakan mengapa buah apel jatuh, demikian
juga telah banyak manusia yang memberikan penjelasan mengapa buah
apel itu jatuh, namun baru seorang jenius yang bernama Newton itulah
yang menformulasikan sebuah teori tentang gravitasi yang menjelaskan
peristiwa tersebut dengan penjelasan yang bukan saja berlaku bagi apel,
namun juga bagi seluruh benda, baik yang berada di bumi maupun di
langit. Berdasarkan teori ini maka dapat disusun penjelasan yang
konsisten mengenai berbagai hal yang bersifat universal yang secara
keseluruhan membentuk suatu sistem teori keilmuan. Ilmu teoretis,
meminjam definisi Moritz Schlick, terdiri dari sebuah" sistem
pernyataan. 4) Sistem yang terdiri dari pernyataan-pernyataan agar
terpadu secara utuh dan konsisten jelas memerlukan konsep yang
mempersatukan dan konsep yang mempersatukan tersebut adalah teori.
Makin tinggi tingkat keumuman sebuah konsep maka makin "teoretis"
konsep tersebut. Pengertian teoretis di sini dikaitkan dengan gejala fisik
yang dijelaskan oleh konsep yang dimaksud; artinya makin teoretis
sebuah konsep maka seakan makin jauh pernyataan yang dikandungnya
bila dikaitkan dengan gejala fisik yang tampak nyata. Diibaratkan pohon
dengan akar maka bila makin tinggi tingkat keumuman yang ingin
dicapai oleh sebuah konsep yang dicerminkan dengan pohon, maka
makin dalam pula kita harus menjangkau akar. Kqnsep-konsep teoretis
seperti gravitasi dan medan elek-tromagnetik merupakan penjelasan yang
5).
Untuk
tujuan
meramalkan,
ilmu-ilmu
sosial
dasar.
Sedangkan
penelitian
yang
bertujuan
untuk
Diperlukan waktu yang cukup lama untuk dapat menerapkan penemuanpenemu-an ilmiah yang baru kepada pemanfaatan yang berguna.
Terdapat selang waktu selama 250 tahun antara percobaan yang pertama
tentang magnet oleh William Gilbert dengan dikembangkannya teori
elektromagnetik oleh James Clerk Maxwell sekitar tahun 1870.
Kemudian terdapat jangka waktu selama 50 tahun sebelum percobaan
Michael Farady tentang kawat yang menghantar arus listrik dapat
dimanfaatkan secara komersil dalam pembuatan dinamo dan motor.
Penemuan Henri Becquerel tentang sinarX baru dapat ditetapkan
dalam praktek setelah 25 tahun kemudian. Sedangkan proses
pembelatoan atom (nuclear fission) baru dapat dilakukan 11 tahun
kemudian setelah teorinya difor-mulasikan. Dan tujuh tahun setelah
ditemukan kemungkinan pembuatan bom atom maka pada tahun 1945
dijatuhkannya dua bom atom yang pertama di Nagasaki dan Hiroshima
yang membuka babakan baru dalam peradaban manusia. ,0) Terdapat
selang waktu yang makin lama makin pendek antara penemuan suatu
teori ilmiah dengan penerapannya kepada masalah-masalah yang bersifat
praktis. Dengan demikian maka makin cepat manusia mengembangkan
teknologi yang pada satu pihak ibarat dewi penolong yang penuh dengan
berkat sedangkan di pihak lain, meminjam perkata-an Azyumardi Azra,
adalah "fasisme dengan senyuman".11) Penerapan ilmu dalam teknologi
memang tidak selalu merupakan rahmat bagi manusia sebab di samping
dapat dipergunakan untuk tujuan destruktif juga menimbulkan implikasi
moral, sosial dan kultural.
Manusia disebut juga Homo faber (mahluk yang membuat peralatan) di
samping Homo sapiens (mahluk yang berfikir) yang mencerminkan
kaitan antara pengetahuan yang bersifat teoretis dengan teknologi yang
bersifat praktis. Berbeda dengan pengetahuan lainnya seperti sen! yang
bersifat estetis maka ilmu adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh
manusia untuk memecahkan masalah-masalah praktis dalam kehidupannya. Meskipun pada tahap embrional pengembangan ilmu pun
pernah bersifat estetis, namun dengan perkembangannya ke arah
kedewasaannya serta kemampu-an idang penerapannya, maka ilmu harus
dibedakan dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya terutama dari segi
kemampuannya untuk memecahkan masalah. Menarik sekali dalam
BAB V BAHASA
Manusia
dapat
abstrak
karena
manusia
dapat
berfikir
dengan
kemampuannya
berfikir
secara
baik
dan
berbahasa.
berlanjut,
bahkan
Berkat
teratur
dan
secara
bahai'a,
siste-
Tanpa menguasai hal ini maka kegiatan ilmiah yang baik tak dapat
dilakukan.
Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan
ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuhnya. Pada langkah
tertentu biasanva dioer-lukan sarana yang tertentu pula. Oleh sebab itu
maka sebelum mempelajari sarana-sarana berfikir ilmiah ini seyogyanya
kita telah menguasai langkah-langkah dalam kegiatan ilmiah tersebut.
Dengan jalan ini maka kita akan sampai pada hakekat sarana yang
sebenamya, sebab sarana merupakan alat yang membantu kita dalam
mencapai suatu tujuan tertentu; atau dengan perkataan lain, sarana ilmiah
mempunyai fungsi-fungsi yang khas dalam kaitan kegiatan ilmiah secara
menyeluruh.
Sarana berfikir ilmiah ini, dalam proses pendidikan kita, merupakan
bidang
studi
tersendiri.
Artinya
kita
mempelajari
sarana
dimaksudkan
untuk
mendapatkan
pengetahuan
yang
Sebenarnya
kita
bisa
berkomunikasi
dengan
isyarat.
Manusia
mempergunakan
bunyi
sebagai
alat
kemampuan
be'rsuara,'
harus
mempergunakan
alat
komunikasi yang lain, seperti kita lihat pada mereka yang bisu.
Komunikasi dengan mempergunakan bunyi ini dikatakan juga sebagai
komunikasi verbal, dan manusia yang bermasyarakat dengan alat
komunikasi bunyi, disebut juga sebagai masyarakat verbal.
Kedua bahasa merupakan lambang di mana rangkaian bunyi ini mem
bentuk suatu arti tertentu. Rangkaian bunyi yang kita kenal sebagai kata
melambangkan suatu obyek tertentu umpamanya saja gunung atau seekor
burung merpati. Perkataan 'gunung' dan "burung merpati" sebenarnya
merupakan lambang yang kita berikan kepada dua obyek tersebut.
Kiranya patut disadari bahwa kita memberikan lambang kepada dua
obyek tadi secara begitu saja, di mana tiap bangsa dengan bahasanya
yang berbeda, memberikan lambang yang berbeda pula. Bagi kita obyek
tersebut kita lambangkan dengan bunyi "gunung" sedangkan bagi bangsa
lain dilambangkan dengan "mountain" dalam bahasa Inggris atau "jabal"
dalam bahasa Arab. Demikian juga dengan "merpati" yang berubah
menjadi "dove" dalam bahasa Inggris dan "japati" dalam bahasa Sunda.
Manusia mengumpulkan lambang-lambang ini dan menyusun apa yang
kita kenal sebagai perbendaharaan kata-kata. Perbendaharaan ini pada
hakekatnya merupakan akumulasi pengalaman dan pemikiran mereka.
Artinya dengan perbendaharaan kata-kata yang mereka punyai maka
manusia dapat mengkomunikasikan segenap pengalaman dan pemikiran
tidak, jika ya lalu bagaimana caranya. Demikian juga seekor tikus kalau
melihat kucing maka biasanya dia akan lari. Bagaimana dia tahu bahwa
kucing itu berbahaya? Dari pengalaman atau sesamanya tentu saja, dan
bahkan pun seekor tikus sampai tahap tertentu mengajar anaknya.
Perbedaan pendidikan antara manusia dengan binatang terutama terletak
dalam tujuannya : manusia belajar agar berbudaya sedangkan binatang
belajar untuk mempertahankan jenisnya. Karena tikus tidak mempunyai
bahasa seperti kita, maka seekor ibu tikus tidak bisa mengajar anaknya di
depan papan tulis, atau bercerita sambil meninabobo-kannya. Dia.harus
membawa anaknya kepada seekor kucing dan menunjukkan pada waktu
itu juga bahwa mahluk itu berbahaya.
Jadi dengan bahasa bukan saja manusia dapat berfikir secara teratur
namun juga dapat mengkomunikasikan apa yang sedang dia fikirkan
kepada orang lain. Namun bukan itu saja, dengan bahasa kita pun dapat
mengekspresikan sikap dan perasaan kita. Seorang bayi bila dia sudah
kenyang dan hatinya pun sangat senang. dia mulai membuka suara.
Tidak terlalu enak memang, tapi tidak apa, sebab kalau dia mulai besar
kelak dan sudah belajar do-re-mi-fa-sol, bunyi yang dihasilkannya
mungkin akan jauh lebih menyenangkan. Lewat seni suara dia akan
mengekspresikan perasaannya, kedukaan, dan kesukaan, lewat liku nada
dan
kata-kata.
Seorang
yang
berbakat
sastra
mungkin
akan
untuk
menguasainya:
tanah
diolahnya,
belantara
yang
memberikan
penjelasan
kepadanya.
Berbekal
pengetahuan ini maka manusia tidak takut lagi terhadap alam. Mereka
menguasai alam karena mereka mengetahui rahasia-nya. Alam tidak lagi
berrahasia dengan ujud fisik yang menakutkan seperti kilat yang
menyambar-nyambar dan jeram yang menggelegar. Lewat bahasa
manusia menyusun sandi-sandi yang membuka rahasia alam dalam
berbagai teori seperti elektronika, ther-modinamika, relativitas, dan
quantum. "Pengetahuan adalah kekuasaan," seru Francis Bacon, dan
dengar kekuasaan ini manusia mencoba mengerti hidupnya. Manusia
tidak mau lagi dikuasai alam, dia bangkit dan menguasainya.
Di samping pengetahuan manusia mencoba memberi arti kepada semua
gejala fisik yang dialaminya. Kejadian sehari-hari yang penuh dengan
ketawa dan air mata, kelahir-an dan kematian, pertemuan dan perpisahan,
semuanya dirangkainya dengan bahasa menjadi sesuatu yang koheren
dan mempunyai arti. Manusia lalu mempertanyakan masalah-masalah
yang sangat hakiki: Apakah hidup ini ada tujuannya? Ataykah sekedar
permainan: semacam sabut terlempat ke laut? Apakah manusia itu
merdeka untuk me-nentukan hidupnya? Ataukah dia mahluk yang
terbelenggu dengan nasib merantai kaki mereka?
Dengan ini manusia memberi arti kepada hidupnya. Arti yang terpateri
dalam dunia simbolik yang diwujudkan lewat kata-kata. Kata-kata lalu
mempunyai arti bahkan kekuatan. Kekuatan dalam tuah mantera dan
jampi-jampi. Kekuatan dalam keper-cayaan dan keyakinan moral.
Kekuatan yang memberinya dorongan dan arah dalam berkehidupan.
Semacam pegangan yang membedakan mana yang suci dan luhur serta
mana yang rendah dan menghinakan. Tanpa bahasa maka semua ini tak
mungkin ada. 'Tak pernah ada binatang yang membikin perang," kata
Aldous Huxley, "karena mereka tak mempunyai sesuatu yang
dianggapnya luhur. Apakah yang lebih luhur lagi bagi seekor harimau
selain daging segar dan betinanya? Mereka tak mempunyai mekanisme
verbal
untuk
mengemukakan
dan
mempertahankan
apa
yang
dianggapnya luhur....)
Demikian juga manusia memberi arti bagi yang indah dalam hidup ini
dengan bahasa. Kita membaca puisi dan karya-karya sastra yang
mengungkapkan nilai-nilai estetik dalam hidup kita. Atau kita
memadukannya dengan seni suara, di mana kita menyanyi, menahgisij
dan merayakan hidup kita lewat kata-kata. Tanpa estetika ini maka
semua kehidupan akan menjadi steril. Bulan hanyalah tumpu'kan gersang
yang di-darati astronot. Manusia hanyalah tumpukan daging dan tulang.
Kemanusiaan tidak lagi mempunyai'perasaan. "Pengetahuan dan
perasaan adalah sama pentingnya dalam
kehidupan individual dan masyarakat," ujar Bertrand Russell" dunia
tanpa kesukaan dan kemesraan adalah dunia tanpa nilai."13)
Seni merupakan kegiatan estetika yang banyak mempergunakan aspek
emotif dari bahasa baik itu seni suara maupun seni sastra. Dalam hal ini
bahasa bukan saja dipergunakan untuk mengemukakan perasaan itu
sendiri melainkan juga merupakan ramUan untuk menjelmakan
pengalaman yang ekspresif tadi. Bahasa dipergunakan secara plastik,
seperti kita membuat patung dari tanah liat, di mana komunikasi yang
terjadi mempunyai kecenderungan emotif.
Mau baca "poesi pure"?
Carilah dalam depresi
Meiankoli
Atau kantung baju
Para lunatik amatur. . . .'4 )
Komunikasi ilmiah mensyaratkan bentuk komunikasi yang sangat lain
dari
komunikasi
estetik.
Komunikasi
ilmiah
bertujuan
untuk
mendapatkan
pengetahuan
tersebut.
Untuk
mampu
dalam hubungan antara ibu dan anak, ayah dan anak.'kakek dan nenek,
dua orang kekasih, dua orang saudara, perasaan pada tanah air, dan
ikatan pada rasa kemanusiaan yang besar. Dalam ha! ini sukar bagi kita
untuk memberi batasan yang tepat dan bersifat menyeluruh. Kelemahan
lain terletak pada si-fat majemuk (pluralistik) dari bahasa. Sebuah kata
kadang-kadang mempunyai lebih dari satu arti yang berbeda umpamanya
kata ilusi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia mempunyai arti
sebagai berikut:
Ilusi: angan-angan; khayal; 1. sesuatu yang memperdaya fikiran dengan
memberikan kesan yang palsu (seperti halnya dengan para pelancong di
padang pasir yang melihat sebuah danau, yang sebenarnya tidak ada); 2.
suatu gagasan yang keliru; suatu kepercayaan yang tidak berdasar;
keadaan fikiran yang memperdaya seseorang.
Di samping itu bahasa mempunyai beberapa kata yang memberikan arti
yang sama. Umpamanya pengertian tentang "usaha kerjasama yang
terkordinasikan dalam mencapai suatu tujuan tertentu" disebutkan
sebagai administrasi, manajemen, pengelolaan, dan tatalaksana. Suku
Hanunoo dari Filipina mempunyai 92 patah kata untuk beras17)
sedangkan bangsa Eskimo mempunyai perbendaharaan kata yang sangat
banyak sekali untuk salju.18 ) Sifat majemuk dari bahasa ini sering
menimbulkan apa yang dinamakan kekacauan semantik, di mana dua
orang yang berkomunikasi mempergunakan sebuah kata yang sama
namun untuk pengertian yang berbeda, atau sebaliknya mereka mempergunakan dua kata yang berbeda untuk sebuah pengertian yang sama.
Kelemahan ketiga bahasa sering bersifat berputar-putar (sirkular) dalam
mempergunakan kata-kata terutama dalam memberikan definisi.
Umpamanya kata "pengelolaan" didefinisikan sebagai "kegiatan yang
dilakukan
dalam
sebuah
organisasi".
Sedangkan
"organisasi"
sudah mempunyai pengertian yang jelas dan bukan bersifat berputarputar seperti tampak pada contoh kita di atas. Dalam bidang ilmu-ilmu
sosial masalah definisi ini makin tam-bah rum it, sebab seperti apa yang
dikatakan Max Weber, ahli-ahli ilmu sosial cenderung untuk selalu
membikin definisi baru mengenai suatu obyek penelaahan ilmu-ilmu
sosial, sebab mereka menganggap definisi yang dibikin oleh orang lain
sebagai "sikat gigi bekas". Kelemahan yang lain dari bahasa adalah
konotasi yang bersifat emosional seperti telah kita bicarakan pada bagian
terdahulu. ( Masalah bahasa ini menjadi bahan pemikiran yang sungguhsungguh dari para ahli falsafat modern. Kekacauan dalam falsafah
menurut Wittgenstein, disebabkan karena "kebanyakan dari pernyataan
dan pertanyaan ahli falsafah timbul dari kegagalan mereka untuk
menguasai logika dari bahasa."19) Pengkajian falsafah, termasuk
pengkajiah hakekat ilmu, pada dasarnya merupakan analisis logikolinguistik. Bagi aliran falsafah tertentu, seperti falsafah analitik*). maka
bahasa bukan saja merupakan alat bagi ber-falsafah dan berfikir, namun
juga merupakan "bahan dasar dan dalam hal tertentu merupakan hasil
akhir dari falsafah.20 ) Ahli falsafah seperti Henri Bergson (1859
1941) membedakan antara pengetahuan yang bersifat absolut yang
didapat tanpa melalui bahasa dan pengetahuan yang bersifat relatif yang
didapat lewat perantaraan bahasa.21) Pengetahuan yang hakiki bukan
didapat lewat penalaran melainkan lewat intuisi; tanpa diketahui kita
sudah sampai di sana, dengan kebenaran yang membuka-kan pintu, entah
dari mana datangnya. Dan bahasa, menurut Whitehead, "berarti di
belakang intusi."22)
Mungkin ada baiknya kita menutup pembahasan kita mengenai bahasa
ini dengan mendengarkan nyanyian Rita Sugiarto diiringi Orkes Melayu
Soneta; dengan dangdut-nya yang instinktif merangsang proses fisiologi
kita (debar jantung dan rentak kaki); melodinya yang menyentuh emosi
kita; dan syairnya yang berfalsafah tentang bahasa
Digeleng-gelengkan kepala
itu pertanda tak mau atau tak suka
diangguk-anggukkan kepala
itu pertanda ia mau dan juga setuju
BAB VI MATEMATIKA
Sebuah pasangan muda yang sedang berbulan madu, karena soal yang
sepele, ber-tengkar dan tidak mau berbicara satu dengan yang lain. Setiap
kali dilakukan usaha untuk berdamai maka usaha ini kandas disebabkan
komunikasi yang selalu menjurus kepada emosi yang memang sedang
peka, maklum telah tersinggung per-nya. Diam-diam kedua orang muda
datang kepada seorang tua, satu-satunya tamu yang lain di hotel tempat
mereka berbulan madu, dan mengadukan halnya. Orang tua itu, yang
kebetulan adalah dosen filsafat ilmu, membuka diktat yang dikarangnya
dan berfatwa: "Bicaralah degan bahasa matematika!"
Syahdan, ketika malam pun tiba dan sang rembulan menampakkan rona,
suami muda itu mulai membuka ofensif bulan purnama. Dengan mata
yang menatap tajam-tajam mata hitam isterinya, mata itu mengatakan
segalanya, dia mengacungkan telun-juknya yang membentuk angka satu.
Sang isteri diam sejenak, terperangah dan terpana, pelahan-lahan
menjawab dengan mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Kini
sang suami, melihat angka satunya dijawab dengan dua, terbungkam
seribu bahasa. Mukanya mulai tampak memerah, matanya makin
bertambah nyalang, kelihatan dia ragu-ragu. Namun pelahan-lahan
diangkatnya tangan kanannya yang membentuk angka tiga dengan
telunjuk, jari tengah dan jari manisnya. Sang isteri berteriak, lari dan
menyusup di pelukannya, kasih sayang telah kembali ke sarangnya.
Keesokan harinya sang isteri datang pada orang tua yang bijak itu untuk
meng.-ucapkan terima kasihnya. Biasanya, begitu dia mulai bicara,
Matematika
mengembangkan
bahasa
numerik
yang
diperlukan
oleh
semua
disiplin
keilmuan
untuk
derajat.
(Pre
mis
1)
(Premis 2)
Premis-Premis Dasar
Kedua premis itu kemudian kita terapkan dalam berfikir deduktif untuk
menghitung jumlah sudut-sudut dalam sebuah segi tiga. Dalam hal ini kita
melihat bahwa dalam segi tiga ABC kalau kita tarik garis p melalui titik A
yang sejajar dengan BC maka pada titik A terjadi tiga sudut yakni a,, a2, dan
a3 yang ketiga-tiganya membentuk suatu garis lurus. Mempergunakan premis
yang pertama maka kita bisa meng-ambil kesimpulan.
3 = 0
demikian juga dengan premis yang pertama dapat disimpulkan
<*2 =7
sedangkan jumlah sudut-sudut dalam segi tiga ABC adalah 5 di mana
5 = , + 0 + 7
Karena 0 = a3 dan 7 = a2 maka persamaan (3) dapat ditulis sebagai
5 = a, + a2 + a3
di mana 5 membentuk sebuah garis lurus. Sedangkan berdasarkan premis
kedua yang mengatakan bahwa jumlah sudut dalam sebuah garis lurus adalah
180 maka 5 , yang merupakan jumlah sudut-sudut dalam sebuah segi tiga,
adalah juga 180 derajat. Dengan
demikian maka secara deduktif dapat dibuktikan bahwa jumlah sudut-sudut
dalam sebuah segi tiga adalah 180 derajat. '
Jadi dengan contoh seperti di atas secara deduktif matematika menemukan pengetahuan baru berdasarkan premis-premis yang tertentu. Pengetahuan yang
ditemukan ini sebenarnya hanyalah merupakan konsekuensi dari pernyataanpernyataan ilmi'ah yang telah kita temukan sebelumnya. Meskipun "tak
pernah ada kejutan dalam logi-ka"4) namun pengetahuan yang didapatkan
secara deduktif ini sungguh sangat ber-guna dan memberikan kejutan yang
sangat menyenangkan. Dari beberapa premis yang telah kita ketahui
kebenarannya dapat diketemukan pengetahuan-pengetahuan lain-nya yang
memperkaya perbendaharaan ilmiah kita.
Perkembangan Matematika
Ditinjau dari perkembangannya maka iimu dapat dibagi dalam tiga tahap
yakni tahap sistematika, komparatif dan kuantitatif. Pada tahap sistematika
maka ilmu mulai menggolong-golongkan obyek empiris ke dalam kategorikategori tertentu. Penggo-longan ini memungkinkan kita untuk menemukan
ciri-ciri yang bersifat umum dari anggota-anggota yang menjadi kelompok
tertentu. Ciri-ciri yang bersifat umum ini merupakan pengetahuan bagi
manusia dalam mengenali dunia fisik. Dalam tahap yang kedua kita mulai
melakukan perbandingan antara obyek yang satu dengan obyek yang lain,
kategori yang satu dengan kategori yang lain, dan seterusnya. Kita mulai
mencari hubungan yang didasarkan kepada perbandingan antara berbagai
obyek yang kita kaji. Tahap selanjutnya adalah tahap kuantitatif di mana kita
mencari hubungan sebab akibat tidak lagi berdasarkan perbandingan
melainkan berdasarkan pengukuran yang eksak dari obyek yang sedang kita
selidiki. Bahasa verbal berfungsi dengan baik dalam kedua tahap yang
pertama, namun dalam tahap yang ketiga pengetahuan membutuh-kan
matematika. Lambang-lambang matematika bukan saja jelas tetapi juga eksak
dengan mengandung informasi tentang obyek tertentu dalam dimensi-dimensi
pengukuran.
Di samping sebagai bahasa maka matematika juga berfungsi sebagai alat
berfikir. Ilmu merupakan pengetahuan yang mendasarkan diri kepada analisis
dalam menarik ke-simpulan menurut suatu pola berfikir tertentu. Matematika,
menurut Wittgenstein, tak lain adalah metode berfikir logis.5) Berdasarkan
perkembangannya maka masalah yang dihadapi logika makin lama makin
rumit dan membutuhkan struktur analisis yang lebih sempurna. Dalam
perspektif inilah maka logika berkembang menjadi matematika, seperti
disimpulkan oleh Bertrand Russell, "matematika adalah masa kedewasaan logika sedangkan logika adalah masa kecil matematika"6)
tidak
tergantung
kepada
pembuktian
secara
empi-ris.
penalaran deduktif. Jika se-seorang memasukkan bebek dua ekor pada pagi
hari, kemudian dia memasukkan bebek dua ekor lagi pada siang hari, maka
pada malam hari dia akan mengharapkan jumlah bebek semuanya menjadi
empat ekor. Sekiranya pada malam hari dia melakukan "veri-fikasi" dan
jumlahnya hanya tiga ekor, segera dia menyimpulkan ada sesuatu yang salah
secara empiris dibandingkan dengan penalaran rasionalnya, sebab apa pun
yang terjadi jumlahnya harus empat ekor. Kecuali tentu saja: bebeknya ada
yang larilewat kolong rumah; ada pencuri yang datang selagi dia tidur; atau
ada bebek yang ngumpet belum ketemu. Demikian juga jika bebek-bebek itu
beberapa bulan kemudian bukan lagi empat melainkan lima maka masalah itu
bukan lagi termasuk matematika melainkan ilmu beternak bebek dan
sebangsanya.
Di samping sarana berfikir deduktif yang merupakan aspek estetik,
matematika juga merupakan kegunaan praktis dalam kehidupan sehari-hari.
Semua masalah kehi-dupan yang membutuhkan pemecahan secara cermat dan
teliti mau tidak mau harus berpaling kepada matematika. Dari mempelajari
bintang-bintang di langit sampai mengukur panjang papan untuk membuat
rumah orang memerlukan pengukuran dan penghitungan matematik. Dalam
perkembangannya maka kedua aspek estetik dan praktis dari matematika ini
silih berganti mendapatkan perhatian terutama bila dikait-kan dengan kegiatan
pendidikan.
Griffiths dan Howson (1974) membagi sejarah perkembangan matematika
menjadi empat tahap.15) Tahap yang pertama dimulai dengan matematika
yang berkembang pada peradaban Mesir Kuno dan daerah sekitarnya seperti
Babylonia dan Mesopotamia. Waktu itu matematika telah dipergunakan dalam
perdagangan, pertanian, bangun-an dan usaha mengontrol alam seperti banjir.
Para pendeta Mesir Kuno mempunyai keahlian dalam bidang matematika
yang sangat dihargai dalam masyarakat yang meng-kaitkan aspek praktis dari
matematika dengan aspek mistik dari keagamaan. Di samping kegunaan
praktis ini maka aspek estetik juga diperkembangkan di mana matematika
merupakan kegiatan intelektual dalam kegiatan berfikir yang penuh kreaktif.
Walaupun demikian dalam kebudayaan Mesir Kuno ini maka aspek praktis
dari matematika inilah yang merupakan tujuan utama. Hal yang sama juga
berlangsung dalam peradaban di Mesopotamia dan Babylonia yang turut
mengembangkan kegunaan praktis dari matematika.
merubah
salah
satu
postulatnya
umpamanya
maka
dapat
Pengembangan
Bolyai dan Euclid Riemann
.pertama secara
Lobachevski
sistematis
Jumlah sudut dalam Kurang dari 180
Lebih dari 180
sebuah segitiga
180
Bentuk
Melengkung Tidak
Melengkung
kurva ruang
keluar
melengkung ke dalam
Sangat cepat Normal Perlahan
Pertambah
an volume
Jumlah garis sejajar Tidak
1
0
yang dapat ditarik terbatas
dari sebuah titik
Tidak
Tidak
Sifat
Terbatas
terbatas
terbatas (finite)
jagat
(infinite)
(infinite
(universe
)
Berbentuk
Pelana
Bidang Bola
tertentu
yang
memungkinkan
dikembangkannya
falsafah
Matematika tanpa kita sadari memang bisa menjadi tujuan dan bukan alat itu
sendiri, seperti pengamatan anak kecil itu yang menggerutu. "Dikiranya hanya
dari angka-angka saja mereka bisa mengetahui sesuatu!"28) Gejala ini
kemungkinan besar terjadi karena kita kurang mengetahui tentang hakekat
yang sebenarnya dari matematika. Tulisan ilmiah umpamanya lalu berubah
menjadi kumpulan rumus dan tabel yang tidak berbicara apa-apa.29) Namun
di pihak lain ketidaktahuan tentang matematika ini se-ring menyebabkan suatu
bidang keilmuan terpaku pada tahap kualitatif, yang , tanpa mengurangi rasa
penghargaan kita kepadanya, tetap merupakan bidang keilmuan yang belum
tumbuh sempurna. Lewat pengkajian kualitatif dan kuantitatif inilah, meminjam perkataan Pangeran Kecil kita, ilmu sampai kepada pengetahuan yang
dewasa. Analog dengan pernyataan Bertrand Russell tentang hubungan antara
logika dan matematika mungkin kita bisa berkata: "Ilmu kualitatif adalah
masa kecil dari ilmu kuantitatif, ilmu kuantitatif merupakan masa dewasa ilmu
kualitatif; dan ilmu yang sehat, seperti juga kita manusia, adalah terus tumbuh
dan mendewasa.
Semoga perkembangan matematika tidak menimbulkan dikhotomi dalam cara
berfikir dan mengembangkan dua pola kebudayaan dalam masyarakat.
Kerangka pe-mikiran seorang ilmuwan bagaimana pun rumit dan dalamnya
seyogyanya mampu dikomunikasikan dengan kata-kata yang sederhana. Tidak
seperti ilmuwan dalam sajak Taufiq Ismail:30)
Sang kambing, di seminar itu
Membawakan sebuah makalah
Yang karena banyak tabel dan angkanya, kelihatan ilmiah
Angka tidak bertujuan menggantikan kata-kata; pengukuran sekedar unsur
dalam menjelaskan persoalan yang menjadi pokok analisis utama. Teknik
matematika
yang
tinggi
bukan
meripakan
penghalang
untuk
BAB VII
STATISTIKA
Suatu hari seorang anak kecil disuruh ayahnya membeli sebungkus korek api
dengan pesan agar tidak terkecoh mendapatkan korek api yang jelek. Tidak
lama kemudian anak kecil itu datang kembali dengan wajah yang berseri-seri,
menyerahkan kotak korek api yang kosong, dan berkata: "Korek api ini benarbenar bagus, pak, semua batangnya telah saya coba dan ternyata menyala."
Tak seorang pun, saya kira, yang bisa menyalahkan kesahihan proses
penarikan kesimpulan anak kecil itu, namun bila semua pengujian dilakukan
seperti ini lalu bagaimana nasib tukang duren? Demikian juga halnya dengan
orang yang kecanduan lotere, bertanya pada angin dan rumput-rumput yang
bergoyang: "Bagaimana caranya memenangkan Nalo? Pertanyaan yang rumit
ini jawabanya ternyata sangat sederhana: beli saja semua karcis lotere. Namun
bukan dengan jalan membeli semua karcis lotere itu, tentu saja, yang
menyebabkan orang tidak henti-hentinya berfikir bagaimana caranya
memenangkan perjudian yang berdasarkan untung-untungan ini. Kita lihat di
pinggir-pinggir jalan para1 "ahli matematika kakilima" menguraikan rumusrumusnya dalam meramalkan nomor yang akan menang: campuran antara
metafisika, astrologi, astral dan 1001 omongkosong (serta banyak lagi dalildalilnya termasuk sistem analisis dan input-output Leontief).
Sekitar tahun 1654, seorang ahli matematika amatur, Chevalier de Mere,
rneng-ajukan beberapa permasalahan mengenai judi semacam ini kepada
seorang ahli matematika Perancis, Blaise Pascal (1623 1662). Pascal,
seorang Junius dalam bidang matematika, dalam umur 16 tahun telah
suatu
populasi
tertentu.
Abraham
Demoivre
(1667-1754)
eksperimen,
dilaku-kan
dengan
lebih
cermat
dan
teliti
individual
dari
pernyataan
yang
bersifat
umum
dengan
kegiatan seperti itu membutuhkan tenaga, biaya, dan waktu yang banyak
sekali. Sensus yang mempunyai arti sangat peqting dalam sejarah
kemanusiaan, namun mungkin kurang dikenal sebagai kejadian yang
mempunyai arti dalam perkembangan statistik adalah sensus penduduk yang
dilakukan penguasa Romawi, yang menyebabkan Jusuf dan Maria harus
pindah ketempat kelahirannya di mana kemudian Jesus Kristus dila-hirkan.
Dapat dibayangkan betapa kegiatan pengujian hipotesis akan mengalami
hambatan yang sukar dapat diatasi sekiranya proses pengujian tersebut harus
dilakukan dengan pengumpulan data seperti itu. Hal ini akan menjadikan
kegiatan ilmiah menjadi sesuatu yang sangat mahal yang mengakibatkan
penghalang bagi kemajuan bidang keilmuan.
Untunglah dalam hal ini statistika memberikan sebuah jalan ke luar. Statistika
memberikan cara untuk dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum
dengan jalan mengamati hanya sebagian daripcpulasi yang bersangkutan. Jadi
untuk mengetahui tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di Indonesia kita tidak
melakukan pengukuran terhadap seluruh anak yang berumur tersebut di
seluruh Indonesia, namun cukup hanya dengan jalan melakukan pengukuran
terhadap sebagian anak saja. Tentu saja penarikan kesimpulan seperti ini, yang
ditarik berdasarkan cuplikan (sample) dari po-pulasi yang bersangkutan, tidak
selalu akan seteliti kesimpulan yang ditarik berdasarkan sensus yakni dengan
jalan mengamati keseluruhan populasi tersebut. Namun bu-kankah dalam
penelaahan keilmuan yang bersifat pragmatis, di mana teori keilmuan tidak
ditujukan ke arah penguasaan pengetahuan yang bersifat absolut, sesuatu yang
tidak mutlak teliti namun dapat dipertanggungjawabkan adalah sudah
memenuhi syarat?
Statistika mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yang pada pokoknya didasarkan pada asas yang
sangat sederhana, yakni makin besar contoh yang diambil maka makin tinggi
pula tingkat ketelitian kesimpulan tersebut. Sebaliknya makin sedikit contoh
yang diambil maka makin rendah pulatingkat ketelitiannya. Karakteristik ini
memungkinkan kita untuk dapat memilih dengan seksama tingkat ketelitian
yang dibutuhkan sesuai dengan hakekat permasalahan yang dihadapi. Tiap
permasalahan membutuhkan tingkat ketelitian yang berbeda-beda. Sekiranya
kita ingin mengoperasi otak manusia maka kesala-han beberapa milimeter saja
dalam memotong jaringan yang sangat peka tersebut mungkin akan berakibat
kita
berpendirian
bahwa
suatu
kebenaran
yang
dapat
kesimpulan
induktif
seperti
matematika
dalam
penarikan
Kesimpulan yang didapat dalam berfikir deduktif merupakan suatu hal yang
pasti, di mana jika kita mempercayai premis-premis yang dipakai sebagai
landasan penalarannya, maka kesimpulan pernalaran tersebut juga dapat kita
percayai
kebenaannya
sebagaimana
kita
mempercayai
premis-premis
terdahulu. Hal ini tidak berlaku lalam kesimpulan yang ditarik secara induktif,
meskipun premis yang dipakainya adalah benar dan penalaran induktifnya
adalah syah, namun kesimpulannya mungkin saja salah. Logika induktif tidak
memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa untuk premispremis tertentu suatu kesimpulan tertentu dapat ditarik. Jika selama bulan
Oktober dalam beberapa tahun yang lalu hujan selalu turun, maka kita tidak
bisa memastikan bahwa dalam bulan Oktober tahun ini juga akan turun hujan.
Kesimpulan yang dapat kita tarik dalam hal ini hanyalah pengetahuan
mengenai tingkat peluang untuk hujan dalam tahun ini juga akan turun.
Statistika merupakan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk menarik
kesimpulan secara induktif berdasarkan peluang tersebut. Dasar dari teori
statistika adalah teori peluang.Teori peluang merupakan cabang dari
matematika sedangkan statistika sendiri merupakan disiplin tersendiri.
Menurut bidang pengkajiannya statistika dapat kita bedakan sebagai statistika
teoritis dan statistika terapan. Statistika teoritis merupakan pengetahuan yang
mengkaji dasar-dasar teori statistika dimulai dari teori penarikan contoh,
distribusi, penaksiran dan peluang. Statistika terapan meruakan penggunaan
statistika teoretis yang disesuaikan dengan bidang tempat pe-nerapannya. Di
sini diterapkan atau dipraktekkan teknik-teknik penarikan kesimpulan seperti
bagaimana cara pengarhbil sebagian populasi sebagai contoh, bagaimana cara
menghitung rentangan kekeliruan dan tingkat peluang, bagaimana menghitung
harga rata-rata dan sebagainya.
Kegiatan ilmiah memerlukan penelitian untuk menguji hipotesis yang
diaiukan. Penelitian pada dasarnya merupakan pengamatan dalam alam
empiris apakah hipotesis tersebut memang didukung oleh fakta-fakta. Jika
umpamanya kita mempunyai hipotesis bahwa orang muda suka musik pop
namun tidak musik keroncong maka kita harus melakukan pengujian untuk
memperlihatkan bahwa hipotesis tersebut benar dengan jalan mengumpulkan
fakta mengenai kesukaan musik orang-orang muda. Tentu saja kita tidak bisa
mengadakan wawancara dengan seluruh orang muda dan untuk itu statistika
terapan memberikan jalan bagaimana memilih sebagian dari orang muda
tersebut sebagai contoh yang representatif dan obyektif dari keseluruhan populasi orang muda tersebut. Demikian juga statistika memberikan jalan
bagaimana kita menarik kesimpulan yang bersifat umum dari contoh tersebut
dengan tingkat peluang dan kekeliruannya. Jelaslah kiranya bahwa tanpa
menguasai statstika adalah tak mungkin untuk dapat menarik kesimpulan
induktif dengan syah.
Bahwa penguasaan statistika mutlak diperlukan untuk dapat berfikir ilmiah
dengan syah sering sekali dilupakan orang. Berfikir logis secara deduktif
sering sekali dikalcaukan dengan berfikir logis secara induktif. Kekacauan
logika inilah yang menye-babkan kurang berkembangnya ilmu di negara kita.
Kita cenderung untuk berfikir logis secara deduktif dan menerapkan prosedur
yang sama untuk kesimpulan induktif. Dalam hipotesis terdahulu mengenai
kesukaan musik orang muda tidak jarang kita langsung menarik kesimpulan
berdasarkan wawancara kita dengan beberapa orang muda yang kebetulan kita
kenal. Prosedur penarikan kesimpulan yang subyektif ini, yang bersumber
pada kekacauan penggunaan logika induktif dan deduktif, merupakan salah
satu penghalang kemajuan ilmu, sebab kesimpulan yang ditarik adalah tidak
syah. Kesimpulan seperti ini sukar untuk diterima sebagai premis untuk berfikir selanjutnya.
Untuk mempercepat perkembangan kegiatan keilmuan di negara kita maka penguasaan berfikir induktif dengan statistika sebagai alat berfikirnya harus
mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Dalam perjalanan sejarah
statistika memang sering mendapat tempat yang kurang layak. Statistika
sebagai suatu disiplin keilmuan sering dikacaukan dengan statistik yang
berupa data yang dikumpulkan. Disebabkan data yang dapat disunglap atau
kurang dapat dipercaya maka tumbuhlah secara sosiologis kata-kata bersayap
seperti yang diucapkan Disreaeli, yang mengatakan bahwa terdapat tiga jenis
kedustaan yakni 'dusta, dusta besar dan statistik." Salah paham ini supaya
bukan sekedar milik ahli politik, bahkan penyair W.H. Auden pun ikut
bersajak. 7)
Jangan
duduk
dengan
seorang
ahli
statistik
kita
untuk
melakukan
generaalisasi
dan
menyimpulkan
karakteristik suatu kejadian secara lebih pasti dan bukan terjadi secara
kebetulan. Sekiranya terdapat seorang gila dalam sepuluh orang yang
kebetulan
berkumpul
bersama-sama
maka
berdasarkan
akal
sehat
kemungkinan besar yang seorang itulah yang akan disebut orang gila.
Meskipun tentu saja, penilaian orang tidak selalu sama, seperti seorang
mahasiswa yang mempunyai teori signifikansi tersendiri dalam bercinta
BAB VIII
ILMU DAN TEKNOLOGI
Ilmu dapat chpandang sebagai produk, sebagai proses dan sebagai paradigm a
ethika. Ia berusaha memahami alam sebagaimana adanya. Karena realitas itu
amat rumit dan pada dasarnya misterius, kebenaran pemahaman itu senantiasa
bersifat janggelan (provisional). Salah satu ciri teori keilmuan ialah bahwa ia
berdaya ramal, dan selalu terbuka untuk diuji dan ditumbangkan dengan
falsifikasi yang sahih. Teknologi adalah ilmu terapan yang telah
dikembangkan lebih lanjut, dan meliputi baik perangkat keras (hardware)
maupun perangkat lunak (software). Ilmu dan teknologi adalah kekuasaan,
atas alam, manusia dan kebudayaan-nya.
Ilmu dan teknologi, serta pengembangan dan penerapannya, memerlukan
pengarahan dan penilaian. Pandangan "critical interactionist" memberikan
penilaian dan pengarahan itu melalui pengembangan dialog dengan fakta,
nilai-nilai, dan manusia.
Sampai beberapa tahun berselang, lazimnya orang memandang ilmu sebagai
proses, sebagai produk, dan sebagai paradigma etika.
Dipandang sebagai proses, ilmu adalah suatu kegiatan sosial. Dalam kegiatan
sosial ini kita berusaha memahami alam, termasuk juga manusia dan
perilakunya, baik sebagai perseorangan, maupun sebagai kelompok.
Pemahaman itu bukanlah sebagaimana yang kita inginkan atau bayangkan,
melainkan apa adanya. Metode keilmuan karena-nya bercirikan kebernalaran
(rasionalitas) dan keobyektifan. Kegiatan keilmuan itu se-jauh mungkin juga
harus impersonal, dan penganalisaan masalah-masalah terutama di-dasarkan
atas percobaan dan data pengamatan.
Sebagai produk, ilmu adalah segala pengetahuan yang telah didapat melalui
metode keilmuan dan menjadi milik umum, artinya mengenai pengetahuan
tersebut tak ada lagi pertentangan pendapat yang mendasar di kalangan
masyarakat ilmuwan. Ilmu, atau pengetahuan keilmuan, karenanya hanya
terbatas pada rumusan-rumusan dan pernyataan-pernyataan yang telah
memperoleh persetujuan dunia keilmuan, dan yang senantiasa terbuka untuk
diuji kebenarannya. Karena itu pula, betapa pun telah mapannya suatu teori
keilmuan, pada dasarnya bisa saja sewaktu-waktu ia ditumbangkan.
Dipandang dari perangkat nilai-nilai yang dijunjungnya, ilmu menurut Merton
ialah suatu masyarakat yang berpegang pada empat norma, yakni
bahwa
pilihan
kita
akan
pokok-pokok
penelitian
untuk
HAKEKAT REALITAS
Dalam gambaran konvensional tentang ilmu, khususnya dalam uraian
mengenai ilmu sebagai proses, dikatakan di atas bahwa pemahaman (akan
alam) itu . . . apa adanya. Tetapi bisakah kita, melalui ilmu, sampai kepada
hakekat alam sebagaimana adanya?
Sepotong batu adalah sesuatu yang nyata, bukan khayalan. Batu, kata Hanbury
Brown, adalah bongkahan zat padat yang ! em bam dan tegar, yang jika
dilemparkan ke jendela kaca akan memecahkan kaca tersebut. Apakah ini
berarti bahwa kita telah memahami sepenuhnya hakekat sepotong batu?
Menurut ilmu (Fisika Modern) di dalam batu itu sebagian besar kosong,
karena inti-inti atom yang menyusun molekul-molekul-nya relatif kecil sekali,
dan jarak antara inti-inti itu dengan elektron yang mengendarai-nya relatif
bukan alang kepalang Jauhnya. Ruang kosong itu hanya berisi apa yang di-
sebut fluktuasi vakum dan zarah-zarah virtual. Inti-inti atom dan eiektronelektron itu kadang-kadang berperilaku sebagai zarah, tetapi kadang-kadang
juga sebagai gelombang (dualisme/komplementaritas zarah-gelombang), dan
terdiri atas entitas-entitas lain yang misterius yang disebut kuark (quark). Jadi
meskipun batu itu lembam dan jika dilemparkan akan menempuh lintasan
yang bisa diramalkan dengan mekanika Newton atau, kalau kurang teliti,
dengan Teori Kenisbian Umum-nya Einstein, namun kualitas sederhana
seperti kelembaman (inertia) itu sendiri rupanya masih penuh rahasia.
Jelaslah, bahwa konsep kita tentang batu yang nyata itu tak lain daripada suatu
abstraksi yang didasarkan pada sifa-sifat batu yang kita peroleh dari
pengalaman kita sehari-hari dalam meiihat dan merasakan batu. Pengertian itu
hanyalah semacam ibarat, yang menggambarkan sesuatu yang lebih mendasar,
lebih rumit dan pada dasarnya misterius. Jadi keseluruhan gambaran keilmuan
kita tentang dunia dapat kita pan dang sebagai semacam kiasan yang
melukiskan dan menghubungkan abstraksi yang kita buat dengan realitas yang
(mungkin tak-berhingga) kompleks. Abstraksi-abstraksi ini sifat-nya terbatas
dan kita pilih. Terbatas, karena teori kita dan peranti-peranti pengamatan kita
terbatas kemampuannya, dan terpilih karena bagaimana pun kita tak bisa
membe-baskan kegiatan kita (termasuk kegiatan-keilmuan yang membuahkan
ilmu) dari nilai-nilai kita. Dengan kata lain, pemahaman kita akan realitas takbisa-tidak dan mau-tak-mau serantisa tak lengkap dan sifatnya "janggelan"
(provisional).
Lebih-lebih lagi kalau kita sadari bahwa apa yang kita amati, dan karenanya
juga hasil pengamatan kita itu, sedikit banyak juga selalu dipengaruhi oleh
pengamatan kita. Hal ini jelas bukan saja dalam pengamatan perilaku manusia
(pemeriksaan pasien oleh psikologiwan, pengamatan guru-pamong atas
penampilan mahasiswa dalam praktek mengajar, dan sebagainya), tetapi
bahkan di bidang Fisika Inti dan Zarah-Zarah Ke-unsuran pengaruh
pengamatan pada yang diamati itu tak bisa lagi dihindari (Asas
Ketakpastian/Principle of Uncertainty, Wehner Heisenberg).
PENGETAHUAN
Dalam uraian di bawah ini akan kita renungkan lebih lanjut apa-apa yang di
muka telah kita sebut dengan nama "pengetahuan". Konsekuensi penerimaan
takrif (definisi) "ilmu" kita ialah, bahwa semua buah fikiran dan pemahaman
kita tentang dunia, yang kita peroleh tanpa melawati daur hipotetiko-dedukto-
verifikatif, adalah bukan ilmu. Itu semua kita namakan "pengetahuan''. Jadi
pengetahuan yang sifatnya dogmatis, atau terlampau banyak mengandung
spekulasi sehingga tak lagi berpijak pada kenyataan empiris, adalah bikan
ilmu.
Salah satu ciri teori keilmuan ialah bahwa ia berdaya-ramai (prediktif).
Namun, kendati sama-sama bergerak di bidang ramal-meramal, "ramalan
bintang Anda" atau "ramalan buntut SSB (sumbangan sosial berhadiah)"
adalah bukan ilmu. Sebutlah itu "Pengetahuan", kalau mau, tetapi bukan ilmu.
Sebaliknya, ramalan cuaca merupakan bagian ilmu, yakni Ilmu Cuaca atau
Meteorologi. Nujum spekulatif bahwa dunia akan kiamat pada tahun 2001,
misalnya, jelas bukan ilmu. Tetapi teori tentang "lubang hitam" (black hole),
atau skenario futurologiwan tentang keadaan dunia apabila bahan-bakar fossil
sudah terkuras habis dan bukan bahan bakar nuklir (fissil dan fertil).
melainkan tenaga surya. yang kita manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan
kita akan energi, bisa memenuhi patokan ilmu, meskipun juga spekulatif
karena penyahihannya belum secara tuntas dapat dilakukan.
Jadi yang penting bukan hanya penyahihannya, melainkan juga cara pelintasan
bagian-bagian lain dari daur hipotetiko-dedukto-varifikatif. Pengimbasan,
yang perlu untuk menurunkan andaian-andaian dasar, harus berRijak di dunia
fakta, entah lewat pengalaman bawah-sa'dar, atau pengamatan yang dilakukan
secara sengaja, atau berkat inspirasi yang "tiba-tiba" membersit dari khazanah
data dan hasil perenungan yang ada dalam fikiran kita. Penjabaran juga harus
merupakan rentetan pemikiran yang logis-matematis dan konsisten. Ia
bertolak dari hipotesis dan/atau postulat, berkulmi-nasi dalam bangunan teori
yang koheren, dan berakhir pada ramalan-ramalan yang dalam penyahihannya
nanti harus sesuai dengan fakta eksperimental. Di atas telah dikatan, bahwa
"ilmu" perlu dibedakan dari "pengetahuan". Tidak dikatakan bahwa "ilmu"
(kalau pun bisa) dipisahkan dari "pengetahuan", -apalagi disiratkan seakanakan "pengetahuan" itu tak penting. Kita sependapat dengan fisikawan V.
Weisskopf,2) pengubah pemain-pemimpin musik L. Bernstein3) dan filsuf
C.A. van Peursen,4) bahwa ilmu itu, meskipun amat berguna, adalah terbatas.
Ilmu tak mampu memberikan pemahaman yang lengkap-menyeluruh tentang
hakekat alam dan pengalaman nara (human experience). Bahkan segi-segi
pengalaman nara yang dapat dijelaskan oleh ilmu justru bukan aspek yang
paling penad (relevant) dan bermakna (significant). Karena itu kita
dengan
Formalisasi
lambang-lambang
logis
ini
memuncak
yang
diciptakan
dalam ilmu-ilmu
secara
yang
semacam
itu
disebut
saling-melengkapi
atau
komplementer
(complementary).
Ilmu dan pengetahuan juga komplementer. Pemahaman yang lebih lengkap
tentang hakekat sesuatu realitas bisa dicapai lewat perpaduan antara ilmu dan
pengetahuan. Jaringan struktur-struktur logika yang amat luas, yang dilalui
proses pem-bangunan teori lewat model dan lambang-lambang yang
merupakan abstraksi dan sekaligus penyederhanaan realitas yang hendak
dijelaskan oleh teori tersebut, mem-buat ilmu menjadi terbatas dan sempit
tempat cakupannya. "Bahasa" ethika bisa lebih jauh jangkauannya, dan agama
lebih berakar motivasinya. Perkembangan-per-kembangan baru dalam
penelahaan metode keilmuan menunjukkan tumbuhanya ke-sadaran akan
kaitan antara ilmu dan matra-matra (dimensions) yang lebih luas dari
pengetahuan manusia. Bahkan, seperti dikatakan Presiden Suharto dalam
pidato pembukaan Konvensi Alumni ITB, moral harus memberi arah bagi
pengembangan ilmu. Komitmen moral dan/atau keagamaan agaknya perlu
mendahului kegiatan keilmuan.
TEKNOLOGI
Telah diterangkan di muka apa yang disebut ilmu dasar (basic science,
fundamental science). Walaupun sangat penting, kini ilmu dasar hanya
merupakan bagian yang kecil saja dari keseluruhan kegiatan keilmuan. Dana
yang dijatahkan bagi pengambang-an ilmu dasar di seluruh dunia dewasa ini
kurang dari 5% biaya total yang disediakan bagi kemajuan ilmu.
Di samping ilmu dasar kita kenal ilmu terapan (applied science). Tujuan
kegiatan keilmuan dalam ilmu terapan bukannya demi kemajuan ilmu itu
seniri, melainkan untuk memecahkan masalah-masalah praktis dan mengatasi
kesulitan-kesulitan yang dihadapi manusia. Jadi berbeda dari ilmu dasar, yang
tujuannya adalah untuk mengetahui iebih banyak dan memahami lebih
mendalam tentang alam dan segenap isinya. Hasil-hasil yang telah dicapai
ilmu dasar menawarkan kepada kita sederetan alternatif. Adalah tugas ilmu
terapan untuk memilih dari antara alternatif-alternatif ini, yang mana yang
bisa dipakai untuk memecahkan persoalan praktis dalam masyarakat.
Hasil-hasil
kegiatan
ilmu
terapan
itu
masih
harus
dialihragamkan
kuat ke arah
Baik dalam lingkup nasional, maupun secara internasional, ilmu dan teknologi
dikendalikan dan dimanfaatkan, dan dalam banyak hal juga disalahgunakan,
oleh golongan elite. Dalam suatu studi yang dilakukan UNESCO dalam tahun
1979, ter-ungkap bahwa 97,3% dari semua dana penelitian ilmu dan teknologi
dipakai oleh negara-negara industri yang telah maju. Sisanya, yakni 2,7%,
meneteske negara-negara yang sedang berkembang, yang note bene jumlah
penduduknya 65% dari jumlah penduduk dunia!
Karena itu kini sangat diperlukan suatu Tata Ekonomi Internasional Baru,
suatu program politik untuk meningkatkan kemampuan negara-negara yang
sedang berkembang dalam ilmu dan teknologi, demi pemerataan ilmu dan
teknologi yang adalah kekuasaan itu!
manusia. Dengan
ilmu
dan
teknologi,
manusia
mampu
masyarakat, termasuk juga masyarakat generasi yang akan datang, akibat ulah
mereka. Masalah ini terutama menyangkut penerapan teknologi tinggi padatmodal, sebab teknologi jenis ini (misalnya teknologi nuklir) sering berarti ketergantungan kepada pihak luar (negara maju), memerlukan konsentrasi daya
dan dana yang amat besar, merupakan usaha jangka panjang (belasan tahun),
dan akibat negatifnya, kalau ada, bisa sangat meluas dan sulit sekali
dikendalikan.
Karena itu, beberapa tokoh, misalnya filsuf C.A. van Peursen dan Presiden
Suharto, mulai mempertanyakan, apakah tak lebih baik evaluasi tersebut justru
di-tempatkan di muka, dilakukan sebelum tahap penelitian dasar dimulai.
Lebih baik lagi kalau pengarahan-awal secara moral-ethis itu kemudian
dilanjutkan dengan pengecekan (monitoring) selama rangkaian kegiatan itu
berjalan, dan akhirnya disusul lagi dengan penilaian-akhir. Dalam penilaianpenilaian tersebut forum yang luass dalam arti bukan para ahli saja, atau
penguasa melulu, harus diikut sertakan secara demokratis, tanpa mengapaikan
asas-asas keilmuan ya^g obyektif dan bernalar. Sikap yang terbuka harus
melandasi usaha penilaian itu, artinya keputusannya senantiasa dianggap
jenggelan (provisional) dan setiap waktu bisa ditinjau lagi serta disesuaikan
dengan pengetahuan yang didapat dari pengalaman dan hasil-hasil penelitian
itu sendiri. Moratorium yang pernah diberlakukan oleh pemerihtah Presiden
Carter atas pengembangan reaktor cepat-pembiak (fast breeder) yang sambil
menghasilkan
tenaga
bisa
memproduksi
bahan-bahan
fissil
(seperti
Plutonium-239 dan Uranium 233) dari bahan-bahan fertil (misalnya Uranium238 atau Thorium-232), merupakan contoh sikap keterbukaan terhadap
monitoring ethis-politis.
Pengarahan dan penilaian atas ilmu dan teknologi itu akan lebih mudah
dilaksana-kan jika kita semua, dan warga masyarakat ilmuwan terutama,
berpegang pada pan-dangan penyaling-tindak kritis (critical interactionist
view).
Tergantung pada mashab filsafat ilmu yang dianut seseorang, dari segi
aksiologi ilmu bisa dipandang sebagai:
jumbuh dengan tujuannya sendiri, dalam arti bahwa ilmu itu
mengandung nilai intrinsik yang tak tergantung pada penerapannya
secara praktis, dan bahwa pengembangan kemampuan intelektual serta
BAB IX
ILMU DALAM PERSPEKTIF MORAL, SOSIAL DAN POLITIK*
Salah tafsir mengenai ilmu dan kecurigaan terhadap ilmuwan biasanya
bersumber pada pembahasan, yang kurang memperhatikan landasan-landasan
ontologis epistemologis dan aksiologis secara spesifik.
Ilmu berupaya mengungkapkan realitas sebagaimana adanya (das Sein),
sedang moral pada dasarnya adalah petunjuk-petunjuk tentang apa yang
seharusnya dilakukan manusia (das Sollen).
Hasil-hasil kegiatan keilmuan memberikan alterantif-alter-natif untuk
membuat
keputusan
politik
dengan
berkiblat
kepada pertimbangan-
Kaitan ilmu dan moral merupakan kontroversi yang tak pernah kunjung
padam. Gejala ini menyebabkan kekacauan dan salah tafsir mengenai hakekat
keilmuan serta "kecurigaan dan ketidakpercayaan terhadap ilmuwan".1)
Menurut hemat saya, kontroversi yang berkepanjangan ini disebabkan oleh
dua hal: pertama, kaitan antara ilmu dan moral dibahas dari segi yang terlalu
umum, yakni dari segi generik ilmu dan moral tersebut, dan bukan dari unsurunsur atau komponen-komponen yang membentuknya; kedua, pembahasan
tidak memperhatikan faktor sejarah dalam pengkajiannya. Makalah ini
bermaksud untuk membahas kaitan antara ilmu dan moral dengan
memperhitung-kan kedua faktor termaksud dan mempelajari implikasinya
dalam perspektif sosial dan politik.
Ilmu dan Moral
Kaitan antara ilmu dan moral telah lama menjadi bahan pembahasan para
pemikir, antara lain Merton,2) Popper,3) Polanyi,4) Barber,s) Ravetz,6)
Bridgman,7) Russell,8) Jones9) Richter.10)
Ilmuwan Indonesia sendiri yang mempelajari permasalahan antara ilmu dan
moral tersebut antara lain adalah Wilardjo11), Daldjoeni12), Slamet Iman
Santosol3)dan Suria-sumantri.14)
Ilmu dan moral keduanya termasuk ke dalam genus pengetahuan yang mempunyai karakteristik masing-masing. Tiap-tiap pengetahuan mempunyai tiga
komponen yang merupakan tiang penyangga tubuh pengetahuan yang
disusunnya. Komponen tersebut adalah ontologi, epistemologi dan'aksiologi.
Ontologi merupakan asas dalam menetapkan batas/ruang lingkup ujud yang
menjadi obyek penelaahan (obyek onto-logis atau obyek formal dari
pengetahuan) serta penafsiran tentang hakekat realitas (metafisika) dari obyek
ontologis atau obyek formal tersebut. Epistemologi merupakan asas mengenai
cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu
tubuh pengetahuan. Aksiologi merupakan asas dalam menggunakan
pengetahuan yang telah diperoleh dan disusun dalam tubuh pengetahuan
tersebut.
Agar mendapatkan pengertian yang jelas mengenai kaitan antara ilmu dan
moral maka sebaiknya pengkajian mengenai hal tersebut didekati secara
terperinci dari ketiga komponen tadi. Sebab pernyataan yang bersifat umum
seperti "ilmu adalah netral" atau "ilmu tidak terbebas dari nilai" bisa
menyesatkan dan hanya bisa ditafsirkan dengan benar sekiranya dikaitkan
dengan aspek atau komponen keilmuan tertentu. Inilah yang menyebabkan
kontroversi yang berlarut-larut mengenai kaitan antara ilmu dan moral. Kedua
pernyataan tersebut di atas yang kelihatannya bertentangan dan menjadi dasar
argumentasi dari dua kutub (aliran) yang berlawanan, yakni bahwa "ilmu
.adalah netral" atau "ilmu tidak terbebas dari nilai", sebenarnya dapat dipertemukan sekiranya dilihat dalam lingkup yang tepat. Untuk itulah maka
pembahasan mengenai kaitan antara ilmu dengan moral akan didekati secara
lebih terperinci dari segi ontologi, epistemologi dan aksiologi keilmuan.
Pendekatan Ontologis
Secara ontologis maka ilmu membatasi lingkup p^aelaahan keilmuanny1!
hanya pada daefah-daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman
manuMa. Obyek penelaahan yang berada dalam batas pra-pengalaman (seperti
penciptaan manusia) dan pasca-pengalaman (seperti surga dan neraka)
diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain. Ilmu hanya merupakan salah satu
pengetahuan dari sekian banyak pengetahuan yang mencoba menelaah
kehidupan dalam batas-batas ontologis tertentu. Penetapan lingkup batas
penelaahan keilmuan yang bersifat empiris ini adalah konsisten dengan asas
epistemologi keilmuan yang mensyaratkan adanya verifikasi secara empiris
sebalik dapat dilihat bahwa dari 18 asas moral yang terkandung dalam
kegiatan keilmuan maka 17 di antaranya bersifat das Sollen.
Dari 17 asas moral tersebut maka terdapat 3 asas yang terkait dengan aspek
pemilihan obyek penelaahan ilmiah secara etis. Kaidah moral ini menyebutkan
bahwa dalam menetapkan obyek penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh
melakukan upaya yang bersifat merubah kodrat manusia, merendahkan
martabat manusia dan mencampuri permasalahan kehidupan. Dengan
demikian maka ilmu menentang per-cobaan mengenai genetika (genetic
engineering) sebab bersifat merubah kodrat manusia, percobaan untuk
mengontrol
kelakuan
manusia
(behavioral/social
engineering)
sebab
Pendekatan Aksiologis
Konsisten dengan asas moral dalam pemilihan obyek penelaahan ilmiah maka
penggunaan pengetahuan ilmiah mempunyai asas moral tertentu pula. Pada
dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan
manusia. Dalam hal ini maka ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat
dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat
manusia, martabat manusia dan keles-tarian/keseimbangan alam. Salah satu
alasan untuk tidak mencampuri masalah kehidupan secara ontologis adalah
kekhawatiran bahwa hal ini akan mengganggu kese-imbangan kehidupan.
Untuk kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh
dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti
bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap
orang berhak memanfaat -
terhadap
hipotesis
termaksud
untuk
menguji
kebenaran
pertanggungjawaban
moral
yang
berkaitan
dengan
landasan
kelompok
ilmuwan
kedua
berpendapat
bahwa
ilmuwan
Aspek moral dari kegiatan keilmuan ini belum mendapatkan perhatian yang
layak, baik dari kalangan pendidik dalam proses belajar mengajar, maupun
dari masyarakat ilmuwan dalam me-negakkan disiplin moral. Bagi kaum
ilmuwan sendiri maka langkah pertama ke arah ini adalah membenahi diri ke
dalam, baik secara individual, maupun lewat masyarakat keilmuan. Tak ada
cara mendidik yang lebih efektif selain memberi contoh yang baik.
Sikap politik formal ilmuwan menunjang- tumbuhnya persatuan dan. kesatuan
bangsa, sebab di samping mempunyai keahlian dan jaringan komunikasi yang
luas, ilmuwan terbebas dari kepentingan langsung tertentu dan ikatan
primordial. Semua itu ditambah dengan motivasi dalam menemukan
kebenaran secara jujur akan menye-babkan ilmuwan meletakkan kepentingan
nasional di atas kepentingan-lcepentingan lainnya. Sikap politik yang
konstruktif ini bisa berkembang bila diberikan suasana yang bersifat
mendorong, terutama itikad politis (political will) dari masyarakat dan pemerintah untuk menumbuhkan hal ini.
8Landasan moral yang bersifat umum dari filsafat ilmu dapat dikaitkan
lebih lanjut dengan disiplin keilmuan tertentu dalam pengembangan kode
etik profesi.
27) Strategi Pengembangan Kekuatan Penalaran (Jakarta: BP3A, 1979) dan Pendekatan
Kebudayaan dalam Pengembangan Pendidikan: Identiftkasi PokokPokok Kebijakan (Jakarta:
BP3K, 1980).
pendidikan
dengan
tujuan/metoda
instruksional
yang
Terdapat dua hal yang terkait erat dengan permasalahan peningkatan kekuatan
penalaran dan sikap moral keilmuan yakni, pertama, sekat-sekat buatan yang
memisah-kan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial harus dihilangkan sebab
ilmu pada dasarnya sama dan dibedakan dari pengetahuan lainnya oleh
landasan ontologis, epistemologis dan axiologis yang sama;28) kedua, ilmu
harus dibahas dalam perbandingan dengan pengetahuan-pengetahuan lain
seperti agama, moral dan seni agar tidak terjadi kecen-derungan mendewadewakan ifmu dan menumbuhkan sikap pluralistik dalam pengetahuan yang
akan merupakan atmosfir yang mendorong bagi berkembangnya ilmu dan
pengetahuan-pengetahuan lainnya
Dalam membahas materi yang tercakup dalam kedua hal tersebut secara mendalam maka terdapat satu penghalang yang sangat mengganggu yakni
penggunaan terminologi ilmu pengetahuan yang bersifat ambivalen, tidak
sesuai dengan struktur bahasa Indonesia, memberikan pengertian yang salah
dan didasarkan kepada salah tafsir dalam penetapannya.29) Untuk itu maka
saya mengusulkan agar ter/ninologi ilmu pengetahuan diganti dengan kata
ilmu dan mempergunakan kata pengetahuan untuk knowledge 9) dengan
argumentasi sebagai berikut: (1) ilmu (species) adalah sebagian dari
28) Jujun S. Suriasumantri, "Dua Pola Kebudayaan: Ilmu-ilmu Alam dan
Ilmu-ilmu Sosial, Kompas, 24 Mei 1979.
9Dibandingkan dengan bahasa Inggris maka ilmu adalah sinonim dengan science dan pengetahuan adalah sinonim dengan
knowledge.
Kesimpulannya
Untuk mendapatkan pengertian yang benar mengenai kaitan antara ilmu dan
moral maka pembahasan masalah ini harus didekati dari segi-segi yang lebih
terperinci
yakni
menghindarkan
segi
ontologi,
kekacauan
epistemologi
pengertian
maka
dan
aksiologi.
ilmuwan
Untuk
sebaiknya
10Dua kata benda yang termasuk ke dalam kategori yang berbeda biasanya menunjukkan satu obyek seperti gun ting tanaman
dan rumah penjara.
30) Ludwig Wittgenstein, Tractus Lugicofhilosophicus (London: Routledge & Kegan Paul, 1972), p. 37.
31) Suriasumantri, "Mana yang Benar," loc. cit.
Bila hari ini kebenaran didustakan Bila hari ini kenyataan dipalsukan Tunggu,
hari esok Di mana kemanusiaan dihinakan!
Bila hari ini orang lain ditidakbenarkan Bila hari ini orang lain ditidakadilkan
Tunggulah hari esok Di mana kau sendiri dapat giliran.
Jadi mengapa ragu? Prinsip: Sandaran hukum mesti ditegakkan Kemanusiaan
akan membusuk Dalam kuasa sewenang-wenang.
Catatan Akhir
Dalam penanggulangan masalah-masalah pembangunan, ilmu pengetahuan
me-megang peranan penting. Hal ini berarti penegasan pendirian, bahwa para
ilmuwan selain mempunyai tanggung jawab profesional, mempunyai
tanggung jawab sosial politik pula yang disertai suatu sikap moral yang luhur.
Tanggung jawab profesional mereka terutama bersandar pada asas (1)
kebenaran, (2) kejujuran, (3) bebas kepentingan. dan (4) dukungan
berdasarkan kekuatan argumentasi. Dalam suatu masyarakat yang berasaskan
Pancasila, maka bagi para ilmuwan di Indonesia tidak ada pilihan lain kecuali
secara sadar mengembangkan tanggung jawab sosial dengan Pancasila sebagai
sumber moral sikap formalnya. Atas dasar adanya tanggung jawab sosial yang
bersifat formal itu, maka konsekuensinya adalah, bahwa para ilmuwan harus
mempunyai sikap politik formal, oleh karena sikap itu merupakan
pengejawantahan tanggung jawab sosial itu dalam pengambilan keputusan
politik. Antara para ilmuwan dan penguasa tidak perlu ada pertentangan, oleh
karena peranan ilmuwan dalam proses penentuan kebijaksanaan justru terletak
dalam tahap-tahap sebelum adanya keputusan akhir, di mana perbedaanperbedaan paham dan alternatif-alternatif justru bermanfaat untuk mengambil
keputusan yang tepat...
Baku ini merupakan pengantar kepada filsafat ilmu yang ditulis secara
populer. Tidak semua materi yang seharusnya tercakup dalam sebuah kajian
filsafat ilmu dibahas dalam buku ini. Sengaja dipilihkan hanya beberapa
persoalan-pokok
yang
seharusnya
diketahui
pada
tahap
elementer.
Pembahasan ini ditujukan kepada orang awam yang ingin mengetahui aspek
kefilsafatan dari bidang keilmuan dan bukan ditujukan kepada orang awam
yang ingin mengetahui aspek kefilsafatan dari bidang keilmuan dan bukan
ditujukan kepada mereka yang menjadikan filsafat ilmu suatu bidang keahlian.
Pada dasarnya buku ini mencoba membahas apa (ontologis), bagaimana (epistemologi) serta untuk apa(aksiologi) ujud kegiatan keilmuan. Selanjutnya juga
dikaji hakekat sarana berfikir ilmiah yang patut dikuasai seperti bahasa.
logika, matematika dan statistika. Teknologi sebagai bentuk konkrit penerapan
pengetahuan ilmiah dalam memecahkan masalah mempunyai implikasiimplikasi moral dan sosial dalam pelak-sanaannya. Implikasi-implikasi
tersebut yang kian mendesak dewasa ini akan merupakan juga salah satu fokus
pembahasan kita.
Tujuan utama dari buku yang bersifat pengantar ini bukanlah pendalaman
yang
bersifat
teknis
melainkan
pengenalan
secara
menyeluruh.
mengantar
ini,
pendekatan
tersebut
mungkin
dapat
dipertanggungiawabkan.
Untuk semua tujuan itulah maka buku ini dipersembahkan dengan segala
keku-rangannya. Dengan isi yang sederhana dan kata-kata yang bersahaja
semoga buku ini memberi manfaat sekedarnya: 1'nenyingkap tabir filsafat,
menjenguk sejenak isi relungnya.