Anda di halaman 1dari 142

MATERI DASAR PENDIDIKAN PROGRAM

AKTA MENGAJAR V

BUKU IA FILSAFAT
ILMU

DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS


TERBUKA
1984 / 1985

DAFTAR ISI
Halaman
BAB 1
DASAR'DASAR PENGETAHUAN .......................................................... 1
Pendahuluan ............................................................................................... 1
Hakekat Penalaran ....................................................................................... 2
Logika .......................................................................................................... 4
Sumber Pengetahuan ................................................................................... 6
Kriteria Kebenaran ...................................................................................... 9
Ke Arab. Pemikiran Filsafat ........................................................................ 11
BAB II
PENGETAHUAN ....................................................................................... 13
BAB III
METODE ILM1AH, . ................................................................................. 23
Pendahuluan ................................................................................................ 23
Proses logiko hipotetiko - verifikatif........................................................... 27

BAB IV
STRUKTUR PENGETAHUAN ILMIAH ................................................. 37
BAB V
BAHASA..................................................................................................... 47
Pendahuluan ............................................................................................... 47
Bahasa ......................................................................................................... 48
Apakah sebenarnya bahasa.......................................................................... 50
Beberapa Kekurangan Bahasa..................................................................... 54

BAB VI
MATEMATIKA.......................................................................................... 57
Pendahuluan ................................................................................................ 57
Matematika sebagai Bahasa ........................................................................ 58
Sifat Kuantitatif Matematika ....................................................................... 59
Matematika: Sarana Berfikir Deduktif ........................................................ 60
Perkembangan Matematika ......................................................................... 61
Beberapa Aliran dalam Falsafah Matematika ............................................. 65
Matematika dan Peradaban ......................................................................... 67

BAB VII
STATISTIKA. ............................................................................................. 69
Pendahuluan ................................................................................................ 69
Statistika dan Cara Berfikir Induktif ........................................................... 70
Karakteristik Berfikir Induktif .................................................................... 73

BAB VIII
ILMU DAN TEKNOtOGI .......................................................................... 77
Pendahuluan ................................................................................................ 77
Ilmu dan Nilai-nilai ..................................................................................... 78
Hakekat Realitas .......................................................................................... 78
Pengetahuan................................................................................................. 79
Komplementaritas antara ilmu dan pengetahuan ........................................ 80
Teknologi..................................................................................................... 81
Kekuasaan atas Manusia ............................................................................. 82
Kekuasaan atas Kebudayaan ....................................................................... 82
Kekuasaan atas Alam .................................................................................. 83
Pengembangan Ilmu dan Teknologi............................................................ 83

BAB IX
ILMU DALAM PERSPEKTTF MORAL, SOSIAL DAN POLITIK ........ 87
Ilmu dan Moral ............................................................................................ 87
Pendekatan Ontologis .................................................................................. 88
Pendekatan Aksiologis ................................................................................ 89 ,
Pendekatan Epistemologis .......................................................................... 1
Tanggung Jawab Moral Ilmuwan ............................................................... 92
Sikap Politik Formal Ilmuwan .................................................................... 93
Ilmu dalam Perspektif Kehidupan Berbangsa dan Bernegara .................... 94
Ke Arah Pembentukan Ilmuwan yang Bermoral Luhur ............................ 95
Kesimpulan.................................................................................................. 96

Penutup ........................................................................................................ 98
Catatan Akhir .............................................................................................. 99

BAB I
DASAR-DASAR PENGETAHUAN

Binatang memiliki pengetahuan, tetapi hanya terbatas untuk


mempertahankanjenisnya. i Manusia mampu menalar, artinya berfikir secara
logis dan analitis. Karena kemampuannya menalar dan karena mem-punyai
bahasa untuk mengkomunikasikan hasil pemikiran-nya yang abstrak, maka
manusia bukan saja mempunyai pengetahuan, melainkan juga mampu
mengembangkannya. Pengetahuan itu diperoleh manusia bukan hanya dengan
penalaran, melainkan juga dengan kegiatan berfikir lainnya, - dengan perasaan
dan intuisi. Pengetahuan juga dapat diperoleh lewat wahyu.
lnduksi dan deduksi merupakan inti penalaran logiko-empiris. Kegiatan
berfikir ilmiah ini menggunakari baik teori koherensi maupuan teori
korespondensi dalam menetapkan kebenaran hasilnya.
Kemampuan menalar menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaannya. Secara simbolik manusia
memakan buah pengetahuan lewat Adam dan Hawa dan setelah itu manusia
harus hidup beibekal pengetahuan ini. Dia mengetahui yang mana yang benar
dan mana yang salah, yang mana yang baik dan yang mana yang buruk, serta
mana yang indah mana yang jelek. Secara terus menerus dia dipaksa harus
mengambil pilihan: mana jalan yang benar mana jalan yang salah, mana
tindakan yang baik mana tindakan yang buruk, dan apa yang indah dan apa
yang jelek. Dalam melakukan pilihan ini manusia berpaling kepada
pengetahuan.' )
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan ini
secara sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan, namun
pengetahuan ini terbatas untuk kelangsungan hidupnya (survival). Seekor kera
tahu mana buah jambu yang enak. Seekor anak tikus tahu mana kucing yang
ganas. Anak tikus ini tentu saja diajari induknya untuk sampai pada
pengetahuan bahwa kucing itu ber-bahaya. Tetapi juga dalam hal ini, berbeda
dengan tujuan pendidikan manusia, anak tikus hanya diajari hal-hal yang
menyangkut kelangsungan hidupnya.
Manusia

mengembangkan

pengetahuannya

mengatasi

kebutuhan

kelangsungan hidup ini. Dia memikirkan hal-hal baru, menjelajah ufuk baru,

karena dia hidup bukan sekedar untuk kelangsungan hidup, namun lebih dari
itu. Manusia mengembangkan kebudayaan; manusia memberi makna kepada
kehidupannya; manusia "memanusia-kan" diri dalam hidupnya; dan masih
banyak lagi pernyataan semacam ini: semua itu pada hakekatnya
menyimpulkan bahwa manusia itu dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu
yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidupnya. Inilah yang
menyebabkan manusia mengembangkan pengetahuannya; dan pengetahuan
inijugalah yang mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas di
muka bumi ini.
Pengetahuan ini dapat dikembangkan manusia disebabkan dua hal utama
yakni,

pertama,

manusia

mempunyai

bahasa

yang

mampu

mengkomunikasikan informasi dan

jalan flkiran yang melatarbelakangi informasi tersebut. Seekor beruk bisa saja
mem-berikan informasi kepada kelompoknya bahwa ada segerombolan gorila
datang me-nyerang^amun bagaimana pun berkembang bahasanya, dia tidak
mampu mengkomunikasikan kepada beruk-beruk lainnya, jalan fikiran yang
analitis mengenai gejala tersebut. Tak ada seekor anjing pun, kata Bertrand
Russel, yang berkata kepada temannya: "Ayahku miskin namun jujur."
Kalimat ini berasal dari drama Shakespeare yang terkenal. Dan tak ada seekor
anjing pun, sambung Adam Smith, yang secara sadar tukar-menukar tulang
dengan temannya. Adam Smith dalam hal ini berbicara tentang prinsip
ekonomi, yakni proses' pertukaran yang dilakukan Homo economicus, yang
mengembangkan pengetahuan berupa ilmu ekonomi.
Sebab kedua, yang menyebabkan manusia mampu mengembangkan
pengetahuannya dengan cepat dan mantap, adalah kemampuan berfikir
menurut suatu alur ke-rangka berfikir tertentu. Secara garis besar cara berfikir
seperti ini disebut penalaran. Binatang mampu berfikir namun tidak mampu
berfikir nalar. Beda utama antara seorang profesor nuklir dengan anak kecil
yang membangun bom atom dari pasir di play-groupnya tempat dia
melakukan riset terletak pada kemampuannya dalam menalar. Instink binatang
jauh lebih peka dari instink seorang insinyur geologi; mereka sudah jauh-jauh
berlindung ke tempat yang aman sebelum gunung meletus. Namun binatang
tak bisa menalar tentang gejala tersebut: mengapa gunung meletus, faktor apa

yang menyebabkannya, apa yang dapat dilakukan untuk mencegah semua itu
ter-jadi.
Dua kelebihan inilah yang memungkinkan manusia mengembangkan
pengetahuannya yakni bahasa yang bersifat komunikatif dan fikiran yang
mampu menalar. Tentu saja tidak semua pengetahuan berasal dari proses
penalaran; sebab berfikir pun tidak semuanya berdasarkan penalaran. Manusia
bukan semata-mata mahluk yang berfikir; sekedar homo sepiens yang steril.
Manusia adalah mahluk yang berfikir, merasa dan mengindera; dan totalitas
pengetahuannya berasal dari ketiga sumber tersebut; di samping wahyu: yang
merupakan komunikasi Sang Pencipta dengan mahluknya.
"Memang penalaran otak orang luar biasa," simpul cendekiawan Bos bubalus
membacakan makalahnya (di klinik Fakultas Kedckteran Hewan, Jalan Taman
Ken-cana, Bogor), "meskipun penelitian kami menunjukkan, bahwa secara
kimia dan fisika, otak kerbau rmrip otak manusia..."1)
(Sungguh, kalau digulai, otak Taufiq Ismail lezat juga kelihatannya!)
Hakekat Penalaran
Penalaran merupakan suatu proses berfikir dalam menarik suatu kesimpulan
yang berupa pengetahuan. Manusia pada hakekatnya merupakan mahluk yang
berfikir, merasa, bersikap, dan bertindak. Sikap dan tindakannya bersumber
pada pengetahuan yang didapatkan lewat kegiatan merasa atau berfikir.
Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berfikir
dan bukan dengan perasaan, meskipun seperti dikatakan Pascal, hati pun
mempunyai logikanya tersendiri. Meskipun demikian patut kita sadari bahwa
tidak semua kegiatan berfikir menyandarkan diri kepada penalaran. Jadi
penalaran merupakan kegiatan berfikir yang mempunyai karakteristik tertentu
dalam menemukan kebenaran.
Berfikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang
benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah tidak sama maka oleh
sebab itu kegiatan proses berfikir untuk menghasilkan pengetahuan yang
benar itu pun juga berbeda-beda.
Dapat dikatakan bahwa tiap jalan fikiran mempunyai apa yang disebut sebagai
kriteria kebenaran, dan kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses
penemuan kebe-naran tersebut. Penalaran merupakan suatu-proses penemuan

kebenaran di mana tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kriteria kebenarannya


masing-ma7ing.
Sebagai sutu kegiatan berfikir rnaka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu.
Ciri yang pertama ialah adanya suatu pola berfikir yang secara luas dapat
disebut logika. ^alam hal ini maka dapat kita katakan bahwa tiap bentuk
penalaran mempunyai logikanya tersendiri. Atau dapat juga disimpulkan
bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu proses berfikir logis, di mana
berfikir logis di sini harus diartikan sebagai kegiatan berfikir menurut suatu
pola tertentu, atau dengan perkataan lain, menurut logika tertentu. Hal ini
patut kita sadari bahwa berfikir logis itu mempunyai konotasi yang bersifat
jamak (plural) dan bukan tunggal (singular). Suatu kegiatan berfikir bisa
disebut logis ditinjau dari suatu logika tertentu, dan mungkin tidak logis bila
ditinjau dari sudut logika yang lain. Hal ini sering menimbulkan gejala apa
yang dapat kita sebut sebagai kekacauan penalaran yang disebabkan oleh tidak
konsistennya kita dalam mempergunakan pola berfikir tertentu.
Ciri yang kedua dari penalaran adalah sifat analitik dari proses berfikirnya.
Penalaran merupakan suatu kegiatan berfikir yang menyandarkan diri kepada
suatu analisis, dan kerangka berfikir yang dipergunakan untuk analisis tersebut
adalah logika penalaran yang bersangkutan. Artinya penalaran ilmiah
merupakan suatu kegiatan analisis yang mempergunakan logika ilmiah, dan
demikian juga penalaran Iainnya yang mempergunakan logikanya tersendiri
pula. Sifat analitik ini, kalau kita kaji lebih jauh, merupakan konsekuensi dari
adanya suatu pola berfikir tertentu. Tanpa adanya pola berfikir tersebut maka
tidak akan ada kegiatan analisis, sebab analisis pada hakekatnya merupakan
suatu kegiatan berfikir berdasarkan langkah-langkah tertentu.
Seperti kita sebutkan terdahulu tidak semua kegiatan berfikir mendasarkan diri
kepada penalaran. Berdasarkan kriteria penalaran tersebut di atas maka dapat
kita katakan bahwa tidak semua kegiatan berfikir bersifat logis dan analitis.
Atau lebih jauh dapat kita simpulkan: cara berfikir yang tidak termasuk ke
dalam penalaran bersifat tidak logis dan tidak analitik. Dengan demikian maka
kita dapat membedakan secara garis besar ciri-ciri berfikir menurut penalaran
dan berfikir yang bukan berdasarkan penalaran.
Perasaan merupakan suatu penarikan kesimpulan yang tidak berdasarkan
penalaran. Kegiatan berfikir juga ada yang tidak berdasarkan penalaran
umpamanya adalah intuisi. Intuisi merupakan suatu kegiatan berfikir yang

non-analitik yang tidak mendasarkan diri kepada suatu pola berfikir tertentu.
Berfikir intuitif ini memegang peran-an yang penting dalam masyarakat yang
berfikir non-analitik, yang kemudian sering bergalau dengan perasaan. Jadi
secara luas dapat kita katakan bahwa cara berfikir masyarakat dapat
dikategorikan kepada cara berfikir analitik yang berupa penalaran dan cara
berfikir yang non-analitik yang berupa intuisi dan perasaan.
Di samping itu masih terdapat bentuk lain dalam usaha manusia untuk
mendapat-kan pengetahuan yakni wahyu. Ditinjau dari hakekat usahanya,
maka dalam rangka menemukan kebenaran, kita dapat bedakan dua jenis
pengetahuan. Yang pertama adalah pengetahuan yang didapatkah sebagai
hasil usaha yang aktif dari manusia untuk menemukan kebenaran, baik
melalui penalaran maupun lewat kegiatan lain seperti perasaan dan intuisi. Di
pihak lain terdapat bentuk pengetahuan yang kedua, yang bukan merupakan
kebenaran yang didapat sebagai hasil usaha aktif manusia. Dalam hal ini maka
pengetahuan yang didapat itu bukan berupa kesimpulan sebagai produk dari
usaha aktif manusia dalam menemukan kebenaran, melainkan berupa
pengetahuan yang diwartakan atau diberitakan, umpamanya wahyu yang
diberitakan Tuhan lewat malaikat-malaikat dan nabi-nabinya. Manusia dalam
menemukan kebenaran ini bersifat pasif sebagai penerima pemberitaan
tersebut, yang kemudian dipercaya atau tidak dipercaya, berdasarkan masingmasing keyakinannya.
Pengetahuan juga dapat kita tinjau dari sumber yang memberikan pengetahuan
tersebut. Dalam hal wahyu dan intuisi secara implisit kita mengakui bahwa
wahyu (atau dalam hal ini Tuhan yang menyampaikan wahyu) dan intuisi
adalah sumber pengetahuan. Dengan wahyu maka kita mendapa'tkan
pengetahuan lewat keyakinan (kepercayaan) bahwa yang diwahyukan itu
adalah benar; demikian juga dengan intuisi, di mana kita percaya bahwa
intuisi adalah sumber pengetahuan yang benar, meskipun kegiatan berfikir
intuitif tidak mempunyai logika atau pola berfikir tertentu. Jadi dalam hal ini
bukan saja kita berbicara mengenai pola penemuan kebenaran melainkan juga
sudah mencakup materi pengetahuan yang berasal dari sumber kebenaran
tertentu.
Dalam hal penalaran maka kita belum berbicara mengenai materi dan sumber
pengetahuan tersebut, sebab seperti kita katakan terdahulu, penalaran hanya
merupakan cara berfikir tertentu. Untuk melakukan kegiatan analisis maka

kegiatan penalaran tersebut harus diisi dengan materi pengetahuan yang


berasal dari suatu sumber kebenaran. Pengetahuan yang dipergunakan dalam
penalaran pada dasarnya bersumber pada rasio atau fakta. Mereka yang
berpendapat bahwa rasio adalah sumber kebenaran mengembangkan paham
yang kemudian disebut sebagai rasionalisme. Sedangkan mereka yang
menyatakan bahwa fakta yang tertangkap lewat pengalaman manusia
merupakan sumber kebenaran mengembangkan paham empirisme.
Penalaran yang akan dikaji dalam studi ini pada pokoknya adalah penalaran
ilmiah, sebab usaha kita dalam mengembangkan kekuatan penalaran
merupakan bagian dari usaha untuk meningkatkan mutu ilmu dan teknologi.
Penalaran ilmiah pada hakekatnya merupakan gabungan dari penalaran
deduktif dan induktif, di mana lebih lanjut penalaran deduktif terkait dengan
rasionalisme, dan penalaran induktif dengan empirisme. Oleh sebab itu maka
dalam rangka mengkaji penalaran ilmiah maka kita terlebih dulu harus
menelaah dengan seksama penalaran deduktif dan induktif tersebut. Setelah
itu akan ditelaah bermacam-macam sumber pengetahuan yang ada yakni rasio,
pengalaman, intuisi, dan wahyu. Pengetahuan mengenai hakekat hal-hal
tersebut me-mungkinkan kita untuk menelaah hakekat ilmu dengan seksama.

Logika
Alkisah, menurut cerita yang terdapat dalam khasanah humor ilmiah, seorang
peneliti ingin menemukan apa yang sebenarnya menyebabkan manusia itu
mabuk. Untuk itu dia mengadakan penyelidikan dengan mencampur berbagai
minuman keras. Mula-mula dia mencampur air dengan wiski luar negeri yang
setelah dengan habis di-teguknya maka dia pun terkapar mabuk. Setelah
siuman dia mencampur air dengan TKW, wiski lokal yang diminum di pinggir
jalan sambil mengisap kretek, ternyata campuran ini pun menyebabkan dia
mabiik. Akhirnya dia mencampur air dengan tuak yang juga, seperti kedua
campuran terdahulu, menyebabkan dia mabuk. Berdasarkan penelitian itu
maka dia menyimpulkan bahwa airlah yang menyebabkan manusia itu mabuk.
Benar-benar masuk akal, bukan, namun apakah hal itu benar?
Penalaran merupakan suatu proses berfikir yang membuahkan pengetahuan.
Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran
maka proses berfikir itu harus dilakukan melalui suatu cara tertentu. Suatu
penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses penarikan

kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu tersebut. Cara penarikan


kesimpulan ini disebut logika bilamana logika secara luas dapat didefinisikan
sebagai "pengkajian untuk berfikir secara sahih."2) Terdapat bermacammacam cara penarikan kesimpulan, namun. agar se-suai dengan tujuan studi
yang memusatkan diri kepada penalaran ilmiah, kita akan me-lakukan
penelaahan yang seksama hanya terhadap dua jenis cara penarikan
kesimpulan, yakni logika induktif dan logika deduktif. Logika induktif erat
hubungannya dengan penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata
menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan di pihak lain, kita
mempunyai logika deduktif, yang mem-bantu kita dalam menarik kesimpulan
dari hal yang bersifat umum menjadi kasus bersifat individual.
Induksi merupakan cara berfikir di mana ditarik suatu kesimpulan yang
bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Penalaran secara
induktif

dimulai

dengan

mengemukakan

pernyataan-pernyataan

yang

mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun


argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Katakanlah
umpamanya kita mempunyai fakta bahwa kambing mempunyai mata, gajah
mempunyai mata, demikian juga dengan singa, kucing, dan berbagai binatang
lainnya. Dari kenyataan-kenyataan ini kita dapat menarik kesimpulan yang
bersifat umum yakni semua binatang mempunyai mata. Kesimpulan yang
bersifat umum ini penting artinya sebab mempunyai dua keuntungan.
Keuntungan yang pertama ialah bahwa pernyataan yang bersifat umum ini
bersifat ekonomis. Kehidupan yang beraneka ragam dengan berbagai corak
dan segi dapat direduksikan menjadi beberapa pernyataan. Pengetahuan yang
dikumpulkan manusia bukanlah merupakan koleksi dari berbagai fakta
melainkan esensi dari fakta-fakta tersebut. Demikian juga dalam pernyataan
mengenai fakta yang dipaparkan, pengetahuan tidak bermaksud membuat
reproduksi dari obyek tertentu, melainkan menekankan kepada struktur dasar
yang menyangga ujud fakta tersebut. Pernyataan yang bagaimanapun lengkap
dan cermatnya tidak bisa mereproduksikan betapa manisnya semangkuk kopi
atau pahitnya sebutir pel kina. Pengetahuan cukup puas dengan pernyataan
elementer yang bersifat kategoris bahwa kopi itu manis dan pel kina itu pahit.

Pernyataan seperti ini sudah cukup bagi manusia untuk bersifat fungsional
dalam kehidupan praktis dan berfikir teoretis.
Keuntungan yang kedua dari pernyataan yang bersifat umum adalah
dimungkin-kannya proses penalaran selanjutnya baik secara induktif maupun
secara deduktif. Secara induktif maka dari berbagai pernyataan yang bersifat
umum dapat disimpulkan pernyataan yang bersifat lebih umum lagi.
Umpamanya melanjutkan contoh kita terdahulu, dari kenyataan bahwa semua
binatang mempunyai mata dan semua manusia mempunyai mata, dapat ditarik
kesimpulan bahwa semua mahluk mempunyai mata. Penalaran seperti ini
memungkinkan disusunnya pengetahuan secara sistematis yang mengarah
kepada pernyataan-pernyataan yang makin lama makin bersifat fundamental.
Penalaran deduktif adalah kegiatan berfikir yang sebaliknya dari penalaran
induktif. Deduksi adalah cara berfikir di mana dari pernyataan yang bersifat
umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara
deduktif biasanya mempergunakan pola berfikir yang dinamakan silogismus.
Silogismus disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan.
Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut premis yang kemudian
dapat dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor. Kesimpulan
merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif berdasarkan
kedua premis tersebut. Dari contoh kita sebelumnya kita dapat membuat
silogismus
sebagai berikut:
Semua mahluk mempunyai mata
Si Polan adalah seorang mahluk
Jadi Si Polan mempunyai mata
Kesimpulan yang diambil bahwa si Polan mempunyai mata adalah sah
menurut penalaran deduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua
premis yang men-dukungnya. Pertanyaan apakah kesimpulan itu benar maka
hal ini harus dikembalikan kepada kebenaran premis yang mendahuluinya.
Sekiranya kedua premis yang men-dukungnya adalah benar maka dapat
dipastikan bahwa kesimpulan yang ditariknya juga adalah benar. Mungkin
saja kesimpulan itu salah, meskipun kedua premisnya benar, sekiranya cara
penarikan kesimpulannya adalah tidak sah.
Dengan demikian maka ketepatan penarikan kesimpulan tergantung dari tiga
hal yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor dan keabsahan

pengambilan kesimpulan. Sekiranya salah satu dari ketiga unsur tersebut


persyaratannya tidak di-penuhi maka kesimpulan yang ditariknya akan salah.
Matematika adalah pengetahuan yang disusun secara deduktif. Argumentasi
matematik seperti a sama dengan b dan bila b sama dengan c maka a sama
dengan c merupakan suatu penalaran deduktif. Kesimpulan yang berupa
pengetahuan baru bahwa a sama dengan c pada hakekatnya bukan merupakan
pengetahuan baru dalam arti yang sebenarnya, melainkan sekedar konsekuensi
dari dua pengetahuan yang sudah kita ketahui sebelumnya, yakni bahwa a
sama dengan b dan b sama dengan c. Tak pernah ada kejutan dalam logika,
simpul Wittgenstein, sebab pengetahuan yang diperoleh adalah kebenaran
tautologis.3) Namun benarkah ulangan matematika tak pernah menimbulkan
"surprise", seperti pertanyaan Taufiq Ismail dalam Sajak Ladang Jagung:
bagaimana kalau bumi bukan bulat, tapi segi empat?s)

Sumber Pengetahuan
De omnibus dubitandum! Ragukan segala sesuatu! desak Rene Descartes.
Namun segala yang ada dalam hidup ini dimulai dengan sesuatu, bahkan juga
Hamlet si peragu, yang berseru kepada Ophelia:4 )
Ragukan bahwa bintang-bintang itu api; Ragukan bahwa matahari itu
bergeralc; Ragukan bahwa kebenaran itu dusta: Tapi jangan ragukan cintaku.
Kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu!
Baik logika deduktif maupun logika induktif, dalam proses penalarannya,
mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya
benar.

Kenyata-an

ini

membawa

kita

kepada

sebuah

pertanyaan:

bagaimanakah caranya kita mendapat


lean pengetahuan yang benar itu? Pada dasarnya terdapat dua cara yang pokok
bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama
adalah mendasar-kan diri kepada rasio dan yang kedua mendasarkan diri
kepada pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan paham apa yang kita
kenal dengan rasionalisme. Se'Jangkan mereka yang mendasarkan diri kepada
pengalaman mengembangkan paham yang disebut dengan empirisme.
Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun
pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari

idea yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Idea ini menurut
mereka bukanlah ciptaan fikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh
sebelum manusia berusaha memikir-kannya. Paham dikenal dengan nama
idealisme. Fungsi fikiran manusia hanyalah me-ngenali prinsip tersebut yang
lalu menjadi pengetahuannya. Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersifat apriori
dan dapat diketahui oleh manusia lewat kemampuan berfikir rasionalnya.
Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip dan justru sebaliknya, hanya
dengan mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran rasional itulah maka
kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa idea bagi kaum rasionalis adalah
bersifat apriori dan pra-pengalaman yang didapatkan manusia lewat penalaran
rasional.
Masalah utama yang timbul dari cara berfikir ini adalah mengenai kriteria
untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu idea yang menurut seseorang
adalah jelas dan dapat dipercaya. Idea yang satu bagi si A mungkin bersifat
jelas dan dapat dipercaya namun hal itu belum tentu bagi si B. Mungkin saja
bagi si B menyusun sistem pengetahuan yang sama sekali lain dengan sistem
pengetahuan si A karena si B mempergunakan idea lain yang bagi si B
merupakan prinsip yang jelas dan dapat dipercaya. Jadi masalah utama yang
dihadapi kaum rasionalis adalah evaluasi dari kebenaran premis-premis yang
dipakainya dalam penalaran deduktif. Karena premis-premis ini semuanya
bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak dan terbebas dari
pengalaman maka evaluasi semacam ini tak dapat dilakukan. Oleh sebab itu
maka

lewat

penalaran

rasional

akan

didapatkan

bermacam-niacam

pengetahuan mengenai satu obyek tertentu tanpa adanya suatu konsensus yang
dapat diterima oleh semua pihak. Dalam hal ini maka pemikiran rasional
cenderung untuk bersifat solipsistik7 )dan subyektif.
Berlainan dengan kaum rasionalis maka kaum empiris berpendapat bahwa
pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional yang
abstrak namun lewat pengalaman yang konkrit. Gejala-gejala alamiah menurut
anggapan kaum empiris adalah bersifat konkrit dan dapat dinyatakan lewat
tangkapan pancaindera manusia. Gejala itu kalau kita telaah lebih lanjut
mempunyai beberapa karakteristik tertentu umpamanya saja terdapat pola
yang teratur mengenai suatu kejadian tertentu. Suatu benda padat kalau
dipanaskan akan memanjang. Langit mendung diikuti dengan turunnya hujan.

Demikian seterusnya di mana pengamatan kita akan membuahkan


pengetahuan mengenai berbagai gejala yang mengikuti pola-pola tertentu.
Disamping itu kita melihat adanya karakte.ristik lain yakni adanya kesamaan
dan pengulangan umpamanya saja bermacam-macam logam kalau kita
panaskan akan memanjang. Hal ini memungkinkan kita untuk melakukan
suatu generalisasi dari berbagai kasus yang telah terjadi. Dengan
mempergunakan metode induktif maka dapat disusun pengetahuan yang
berlaku secara umum lewat pengamatan terhadap gejala-gejala fisik yang
bersifat individual.
Masalah utama yang timbul dalam penyusunan pengetahuan secara empiris ini
ialah bahwa pengetahuan yang dikumpulkan itu cenderung untuk menjadi
suatu kumpulan fakta-fakta. Kumpulan tersebut belum tentu bersifat konsisten
dan mungkin saja terdapat hal-hal yang bersifat konfradiktif. Suatu kumpulan
mengenai fakta, atau kaitan antara berbagai fakta, belum menjamin
terwujudnya suatu sistem pengetahuan yang sistematis; kecuali kalau dia
hanya "seorang kolektor barang-b,arang serbaneka."5) Lebih jauh Einstein
dalam rftenentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakannya.
Kegiatan intuitif dan analitik bisa bekerja saling membantu dalam menemukan
kebenaran. Bagi Maslow intuisi ini merupakan pengalaman puncak (peak
experience f )sedangkan bagi Nietscnze merupakan intelegensi yang paling
tinggi.6)
Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada
manusia. Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutusnya
sepanjang zaman. Agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai
kehidupan sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga mencakup
masalah-masalah yang bersifat transendental seperti latar belakang penciptaan
manusia dan hari kemudian di akhirat nanti. Pengetahuan ini didasarkan
kepada kepercayaan akan hal-hal yang gaib (supernatural). Kepercayaan
kepada Tuhan yang merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada
nabi sebagai perantara dan kepercayaan terhadap wahyu sebagai cara
penyampaian,

merupakan

dasar

dari

penyusunan

pengetahuan

ini.

Kepercayaan merupakan titik tolak dalam agama. Suatu pernyataan harus


dipercaya dulu untuk dapat diterima. Pernyataan ini bisa saja selanjutnya

dikaji dengan metode yang lain. Secara rasional bisa dikaji umpamanya
apakah pernyataan-pernyataan yang terkandung di dalamnya bersifat konsisten atau tidak. Di pihak lain, secara empiris bisa dikumpulkan fakta-fakta
yang mendukung pernyataan tersebut atau tidak. Singkatnya, agama dimulai
dengan rasa percaya, dan lewat pengkajian selanjutnya kepercayaan itu bisa
meningkat atau rne-nurun. Pengetahuan lain, seperti ilmu umpamanya, bertitik
tolak sebaliknya. Ilmu dimulai dengan rasa tidak percaya , dan setelah mulai
proses pengkajian ilmiah, kita bisa diyakinkan atau tetap pada pendirian
semula.
Kriteria Kebenaran
Seorang anak kecil yang baru masuk sekolah, setelah tiga hari berselang,
mogok tidak mau belajar. Orang tuanya mencoba membujuk dia dengan
segala macam daya, dari iming-imingan gula-gula sampai ancaman sapu lidi,
semuanya sia-sia. Setelah di-desak-desak akhirnya iia berterus-terang, bahwa
dia sudah kehilangan hasratnya untuk belajar, sebab ternyata ibu gurunya
adalah seorang pembohong.
"Coba ceritakan bagaimana dia berbohong," pinta orang tuanya sambil tersenyum.
"Tiga hari yang lalu dia berkata bahwa 3 + 4 = 7. Dua hari yang lalu dia
berkata 5 + 2 = 7. Kemarin dia berkata 6 + 1 = 7. Bukankah semua ini tidak
benar?"
Permasalahan yang sederhana ini membawa kita kepada apa yang disebut teori
kebenaran. Apakah persyaratannya agar suatu jalan fikiran menghasilkan
kesimpulan yang benar? Tidak semua manusia mempunyai persyaratan yang
sama terhadap apa yang dianggapnya benar, termasuk anak kecil kita tadi,
yang dengan fikiran kekanak-kanakannya mempunyai kriteria kebenaran
tersendiri. Bagi kita tidak sukar untuk menerima kebenaran bahwa 3 + 4 = 7;5
+ 2= 7; dan 6+1=7; sebab secara deduktif dapat dibuktikan bahwa ketiga
pernyataan tersebut adalah benar. Mengapa hal ini kita sebut benar? Sebab
pernyataan- dan kesimpulan yang ditariknya adalah konsisten dengan
pernyataan dan kesimpulan terdahulu yang telah dianggap benar.
10) Dikutip dalam Stanley M. Honer dan Thomas G. Hunt, Invitation to
Philosophy (Belmont, Ca!.: Wadsworth, 1968), p. 72.
Teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria tersebut di atas disebut teori
|i. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori koherensi

suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau
konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
Bila kita menganggap
mengingatkan bahwa tak terdapat metode induktif yang memung-kinkan
berkembangnya konsep dasar suatu ilmu.7)
Kaum empiris menganggap bahwa dunia fisik adalah nyata karena merupakan
gejala yang tertangkap oleh pancaindera. Hal ini membawa kita kepada dua
masalah. Pertama, sekiranya kita mengetahui dua fakta yang nyata,
umpamanya rambut keriting dan intelegensi manusia, bagaimana kita merasa
pasti mengenai kaitan antara Ixedua fakta tersebut? Apakah rambut keriting
dan intelegensi manusia mempunyai kaitan satu sama lain dalam hubungan
kausalita? Sekiranya kita mengatakan tidak, bagaimana sekiranya penalaran
induktif membuktikan sebaliknya?
Pertanyaan tersebut mengingatkan kita bahwa hubungan antara berbagai fakta
tidaklah nyata sebagaimana yang kita sangka. Harus terdapat suatu kerangka
pemikiran yang memberi latar belakang mengapa X mempunyai hubungan
dengan Y, sebab kalau tidak, maka pada hakekatnya semua fakta dalam dunia
fisik bisa saja dihubung-kan dalam kaitan kausalita.
Masalah yang kedua adalah mengenai hakekat pengalaman yang merupakan
cara dalam menemukan pengetahuan dan pancaindera sebagai alat yang
menangkapnya. Pertanyaanr.ya adalah apakah yang sebenamya dinamakan
pengalaman? Apakah hal ini merupakan stimulus pancaindera? Ataukah
persepsi? Atau sensasi? Sekiranya kita mendasarkan diri kepada pancaindera
sebagai alat dalam menangkap gejala fisik yang nyata maka seberapa jauh kita
dapat mengandalkan pancaindera tersebut?
Ternyata kaum empiris tidak bisa memberikan jawaban yang meyakinkan mengenai hakekat pengalaman itu sendiri. Sedangkan mengenai kekurangan
pancaindera manusia ini bukan merupakan sesuatu yang baru bagi kita.
Pancaindera manusia sangat terbatas kemampuannya dan terlebih penting lagi
pancaindera manusia bisa melakukan kesalahan. Contoh yang biasa kita lihat
sehari-hari ialah bagaimana tongkat lurus yang sebagian ierendam di dalam air
akan kelihatan menjadi bengkok. Haruskah kita mem-percayai hal semacam
ini sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan?

Di samping rasionalisme dan empirisme masih terdapat cara untuk


mendapatkan pengetahuan yang lain. Yang penting untuk kita ketahui
adalah'J^^^^an-mo^pv Sampai sejauh ini, pengetahuan yang didapatkan
secara rasional maupun secara empiris, kedua-duanya merupakan produk dari
sebuah rangkaian penalaran. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan
tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat
pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas
permasalahan tersebut. Tanpa melalui proses berfikir yang berliku-liku tibatiba saja dia sudah sampai di situ. Jawaban atas permasalahan yang sedang
dipikirkannya muncul di benaknya bagaikan kebenaran yang membukakan
pintu. Atau bisa juga, intuisi ini bekerja dalam keadaan yang tidak sepenuhnya
sadar, artinya jawaban atas suatu permasalahan ditemukan tidak pada waktu
orang tersebut secara sadar sedang mengelutnya. Suatu masalah yang sedang
kita fikirkan, yang kemudian kita funda karena menemui jalan buntu, tiba-tiba
saja muncul di benak kita yang lengkap dengan jawabannya. Kita merasa
yakin bahwa memang itulah jawaban yang kita cari namun kita tidak bisa
menjelaskan bagaimana caranya kita sampai ke sana.
Kegiatan intuitif ini sangat bersifat personal dan tidak bisa diramalkan.
Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan secara teratur maka intuisi ini
tidak bisa diandal-kan. Pengetahuan intuitif dapat dipergunakan sebagai
hipotesis bagi analisis selanjutnya bahwa "Semua manusia pasti akan mati"
adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa "Si Polan adalah
seorang manusia dan si Polan pasti akan mati" adalah benar pula, sebab
pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Matematika adalah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan berdasarkan pembuktian dan berdasarkan teori koherensi. Sistem matematika
disusun di atas beberapa dasar pernyataan yang dianggap benar yakni
aksioma. Dengan mempergunakan beberapa aksioma maka disusun suatu
teorema. Di atasleorema maka dikembang-kan kaidah-kaidah matematika
yang secara keseluruhan merupakan suatu sistem yang konsisten. Plato (427347 s.M.) dan Aristoteles (384-322 s.M.) mengembangkan teori koherensi
berdasarkan pola pemikiran yang dipergunakan Euclid dalam menyusun
ilmirukurnya.
Paham lain adalah kebenaran yang berdasarkan kepada teori korespondensi di
mana eksponen utamanya adalah Bertrand Russell (1872-1970). Bagi

penganut teori korespondensi maka suatu pernyataan adalah benar jika materi
pengetahuan yang di-kandung pernyataan itu berkoresponden (berhubungan)
dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Maksudnya jika seseorang
mengatakan bahwa "Ibu kota Republik Indonesia adalah Jakarta" maka
pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu berkoresponden dengan
obyek yang bersifat faktual yakni Jakarta yang memang menjadi ibu kota
Republik Indonesia. Sekiranya ada orang lain yang menyatakan bahwa "Ibu
kota Republik Indonesia adalah Bandung" maka pernyataan itu adalah tidak
benar sebab tidak terdapat obyek yang berkoresponden dengan pernyataan tersebut. Dalam hal ini maka secara faktual "Ibu kota Republik Indonesia adalah
bukan Bandung melainkan Jakarta".
Kedua teori kebenaran ini yakni teori koherensi dan teori korespondensi kedua-duanya dipergunakan dalam cara berfikir ilmiah. Penalaran teoretis
yang berdasarkan logika deduktif jelas mempergunakan teori koherensi ini.
Sedangkan proses pembuktian secara, empiris dalam bentuk pengumpulan
fakta-fakta yang mendukung suatu pernyataan tertentu mempergunakan teori
korespondensi. Pemikiran ilmiah juga mempergunakan teori kebenaran yang
lain yang disebut teori kebenaran prag-matis.
Teori pragmatis dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914) dalam sebuah
makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul "How to Make Our Ideas
Clear". Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli falsafah yang
kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan falsafah ini
sering dikaitkan dengan falsafah Amerika. Ahli-ahli falsafah ini di antaranya
adalah William James (1842 1910), John Dewey (1859-1952), George
Herbert Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis.
Bagi seorang pragmatis maka kebenaran suatu pernyataan diukur dengan
kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan
praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau
konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam
kehidupan manusia. Sekiranya ada orang yang menyatakan sebuah teori X
dalam pendidikan, dan dengan teori X tersebut dikembangkan teknik Y dalam
meningkatkan kemampuan belajar, dan ternyata secara ilmiah dibuktikan
bahwa teknik Y tersebut memang dapat meningkatkan kemampuan belajar,
maka teori X itu dianggap benar, sebab teori X ini adalah fungsional dan
mempunyai kegunaan. Pragmatisme bukanlah suatu aliran falsafah yang

mempunyai doktrin-doktrin filsafati melainkan teori dalam penentuan kriteria


kebenaran sebagaimana disebutkan di atas. Kaum pragmatis berpaling kepada
metode ilmiah sebagai metode untuk mencari pengetahuan tentang alam ini
sebab metode ini dianggapnya fungsional dan berguna dalam mentafsirkan
gejala-gejala alamiah.12)
Kriteria pragmatis ini Juga dipergunakan oleh ilmuwan dalam menentukan
kebenaran ilmiah dilihat dalam perspektif waktu. Secara historis maka
pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak
lagi demikian. Di-hadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuwan bersifat
pragmatis: selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka
pernyataan itu dianggap benar; sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat
demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan
pernyataan baru, maka pernyataan itu djtinggalkan. Pengetahuan ilmiah
memang tidak berumur panjang, seperti diungkapkan sebuah pe-ngumpulan
pendapat di kalangan ahli-ahli fisika, bahwa teori tentang partikel takkan
berumur lebih dari empat tahun. Untuk ilmu-ilmu lainnya yang agak kurang
berhasil dalam menemukan hal-hal yang baru, seperti embriologi, sebuah
revisi dapat diharap-kan tiap kurun waktu limabelas tahun.13)
Ke arah Pemikiran Filsafat
Manusia mempunyai seperangkat pengetahuan yang bisa membedakan antara
benar dan salah, baik dan buruk serta indah dan jelek. Sekiranya kita ingin
melakukan penilaian terhadap sebuah pernyataan ilmiah apakah pernyataan itu
benar atau salah maka ke mana kita mesti berpaling? Tentu saja penilaian
tentang sebuah pernyataan ilmiah tidak dapat dilakukan oleh ilmu itu sendiri
sebab penilaian yang dapat diandal-kan biasanya diberikan oleh pihak lain.
Demikian juga halnya dengan penilaian tentang sebuah kaidah moral apakah
pesan yang dibawanya bersifat baik atau buruk serta penilaian tentang sebuah
karya seni apakah produk yang dihasilkannya itu indah atau jelek. Mesti ada
pihak lain yang mampu memberikan penilaian secara obyektif dan tuntas, dan
pihak lain yang melakukan penilaian itu dan sekaligus memberikan arti,'4)
adalah pengetahuan yang disebut filsafat.
Filsafat meletakkan dasar-dasar suatu pengetahuan, jadi filsafat ilmu, adalah
pengetahuan yang membahas dasar-dasar ujud keilmuan. Pertanyaanpertanyaan seperti apa yang disebut ilmu? Ciri-ciri apa yang membedakan
ilmu dengan pengetahuan yang lainnya? Bagaimana cara menarik kesimpulan

ilmiah secara benar? Sarana-sarana apa yang diperlukan dalam kegiatan


berfikir ilmiah? Semua pertanyaan semacam ini termasuk ke dalam bidang
kajian filsafat ilmu.

BAB II PENGETAHUAN

Seni, agama dan ilmu, - itu semua adalah pengetahuan. Masing-masing jenis
pengetahuan ini mempunyai landasan-landasan ontologis, epistemologis dan
aksiologisnya sendiri. Ilmu berusaha memahami alam sebagaimana adanya
dan hasil-hasil kegiatan keilmuan merupakan alat untuk meramalkan dan
mengendalikan gejala-gejala alam. Pengetahuan keilmuan merupakan seri
penjelasan mengenai alam, yang sifatnya umum dan impersonal.

Sebaliknya, seni bersifat subjektif dan berusaha memberikan makna


sepenuh-penuhnya mengenai objek yang diungkap-kannya.
Seandainya seseorang berkata kepada kita bahwa dia tahu bagaimana
cara bermain gitar, maka seorang lainnya mungkin bertanya: apakah
pengetahuan anda itu merupakan ilmu? Tentu saja dengan mudah dia
dapat menjawabnya bahwa pengetahuan bermain gitar itu bukanlah ilmu,
melainkan seni. Demikian juga sekiranya seseorang me-ngemukakan
bahwa sesudah mati semua manusia akan dibangkitkan kembali, akan
timbul pertanyaan serupa: apakah pengetahuan tentang sesuatu yang
bersifat tran-sendental yang menjorok ke luar batas pengalaman manusia
dapat disebut ilmu? Tentu saja jawabnya adalah "bukan," sebab
pengetahuan yang berhubungan dengan masalah semacam itu adalah
agama. Pengetahuan pada hakekatnya merupakan segenap apa yang kita
ketahui tentang suatu obyek tertentu, termasuk ke dalamnya adalah ilmu,
jadi ilmu ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh
manusia disamping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan
agama. Bahkan seorang anak kecil pun telah mempunyai berbagai
pengetahuan sesuai dengan tahap pertumbuhan dan kecerdasannya.
Pengetahuan merupakan khazanah kekayaan mental yang secara
langsung atau tak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar
untuk

dibayangkan

bagaimana

kehidupan

manusia

seandainya

pengetahuan itu tak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban


bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Apa yang harus
kita Iakukan sekiranya anak kita demam panas dan menderita kejang?
Lagu nina bobo apa yang harus kita nyanyikan agar dia tertidur lelap?
Sekiranya insan yang sangat kita cintai itu kemudian meninggalkan kita
maka ke mana kita mesti berpaling dalam kemelut kesedihan?
Tiap jenis pengetahuan pada dasa"rnya menjawab jenis pertanyaan
tertentu yang diajukan. Oleh sebab itu agar kita dapat memanfaatkan
segenap pengetahuan kita secara maksimal maka harus kita ketahui
jawaban apa saja yang mungkin bisa diberikan oleh suatu pengetahuan
tertentu. Atau dengan kata lain, perlu kita ketahui kepada pengetahuan
mana suatu pertanyaan tertentu harus kita ajukan.
Sekiranya kita bertanya: "apakah yang akan terjadi sesudah manusia
mati?", maka pertanyaan itu tidak bisa diajukan kepada ilmu melainkan

kepada agama, sebab secara ontologis ilmu membatasi diri pada


pengkajian obyek yang berada dalam ling-kup pengalaman manusia,
sedangkan

agama

memasuki

pula daerah

penjelajahan

bersifat

transendental yang berada di luar pengalaman kita. Ilmu tidak bisa


menjawab pertanyaan itu sebab ilmu dalam tubuh pengetahuan yang
disusunnya' memang tidak mencakup permasalahan tersebut. Atau jika
kita memakai analogi komputer maka komputer ilmu memang tidak
diprogramkan untuk itu.
Tentu saja pada dasamya kita boleh mengajukan pertanyaan kepada siapa
saja, seperti kalau kita sesat jalan dan bertanya kepada seseorang yang
kebetulan nongkrong di tikungau: Eh, tahukah anda jalan ke Kebayoran
Lama? Kalau yang kita tanyai itu seorang yang ramah dan dididik untuk
bersimpati dengan orang yang sedang kesusahan serta suka menolong ala
kadarnya maka \arangkali ia akan berkata "Mungkin arah ke sana! Dan
ditunjukkanlah jalan ke Kebayoran Baru sebab dia sebenarnya juga tidak
tahu, dan hanya karena didorong oleh aspek kulturalnya saja, maka ia
menjawab begitu. Jawaban seperti itu tentu saja tidak menolong kita dari
kesesatan, tetapi kita masih bisa tenang-tenang saja, toh kita masih di
Jakarta. Namun bagaimana jadinya kalau kita ingin ke surga tetapi malah
ditunjukkan jalan ke neraka?
Jadi pada hakekatnya kita mengharapkan jawaban yang benar, dan
bukannya sekedar jawaban yang bersifat sembarang saja. Lalu timbullah
masalah bagaimana cara kita menyusun pengetahuan yang benar?
Masalah inilah yang dalam kajian filsafat disebut epistemologi, dan
landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah. Dengan kata lain ,
metode ilmiah adalah cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun
pengetahuan yang benar. Lalu apakah yang disebut benar sedangkan
dalam khasanah filsafat terdapat beberapa teori kebenaran?

Setiap jenis pengetahuan mempunyai cirri-ciri yangt spesifik mengenai


apa(ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi)
penegetuan tersebut di susun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; jadi
ontologi ilmu terkait dengan epistemo-logi ilmu dan epistemologi ilmu
terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Jadi kalau kita ingin

membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini harus dikaitkan dengan


ontologi dan aksiologi ilmu.*)
Ilomu pengetahuan alam sebagaimana adanya(Das Sein) dan terbatas
pada pelengkap pengalaman kita. Penegtahuan dikumpulkan oleh ilmu
dengan tujuan untuk menjawab permasalahan kehidupan yang sehari-hari
dihadapi manusia, dan untuk digunakah dalam penawaran berbagai
kemudahanny! Pengetahuan ilmiah, anas ilmu, dapat diibaratkan sebagai
alat bagi manusia dalam memecahkan berbagai persoalan yang
dihadapinya. Pemecahan tersebut pada dasarnya adalah dengan
meramalkan dan mengontrol gejala alam. Oleh sebab itulah, sering
dikatakan bahwa dengan ilmu manusia mencoba memanipulasi dan
menguasai alam.
Berdasarkan landasan ontologi dan aksiologi seperti itu maka bagaimana
sebaiknya kita mengembangkan landasan epistemologi yang cocok?
Persoalan utama yang dihadapi oleh tiap epistemologi pengetahuan pada
dasarnya adalah bagaimana mendapat-kan pengetahuan yang benar
dengan memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing.
Demikian juga halnya dengan masalah yang dihadapi epistemologi
keilmuan yakni bagaimana menyusun pengetahuan yang benar untuk
menjawab permasalahan mengenai dunia empiris yang akan digunakan
sebagai alat untuk meramalkan dan mengontrol gejala alam.
Agar kita mampu meramalkan dan mengontrol sesuatu maka pertamatama kita harus mengetahui mengapa sesuatu itu terjadi. Mengapa terjadi
tanah longsor? Mengapa terjadi kekurangan makan di daerah yang
lahannya gersang? Mengapa anak-anak muda menjadi gelisah pada masa
Sturm unci Drang? Untuk bisa meramalkan dan mengontrol sesuatu,
maka kita harus menguasai pengetahuan yang menjelaskan peristiwa itu.
Uengan demikian maka penelaahan ilmiah diarahkan kepada usaha untuk
mendapatkan penjelasan mengenai berbagai gejala alam.
Penjelasan yang dituju penelaahan ilmiah diarahkan kepada deskripsi
mengenai hubungan berbagai faktor yang terikat dalam suatu konstelasi
yang menyebabkan timbulnya sebuah gejala dan proses atau mekanisme
terjadinya-gejala itu. Umpamanya kegiatan ilmiah ingin mengetahui
mengapa secangkir kopi yang diberi gula menjadi manis rasanya.
Hubungan antara gula dan kopi yang menyebabkan rasa manis itulah

yang menjadi pokok pengkajian ilmiah. Ilmu tidak befttiaksud untuk


mendeskripsikan betapa manisnya secangkir kopi yang diberi gula.
Seni, pada sisi lain dari pengetahuan, mencoba mendeskripsikan sebuah
gejala dengan sepenuh-penuh maknanya. Kalau ilmu

mencoba

mengembangkan sebuah model yang sederhana mengenai dunia empiris


dengan mengabstraksikan realitas menjadi beberapa variabel yang terikat
dalam sebuah hubungan yang bersifat rasional, maka seni (paling tidak
seni sastra), mencoba mengungkapkan .obyek penelaahan itu sehingga
menjadi bermakna bagi pencipta dan mereka yang meresapinya, lewat
berbagai kemam- puan manusia untuk menangkapnya, seperti fikiran,
emosi dan pancaindra. Seni, menurut Mochtar Lubis, merupakan produk
day a inspirasi dan daya-cipta manusia yang bebas dari cengkeraman dan
belenggu berbagai ikatan.1) Model pengungkapan realitas dalam seni,
sekiranya karya seni dapat diibaratkan sebuah model; adalah bersifat penuh dan rumit namun tidak bersifat sistematik. Karena itu kita tak
bisa mempergunakan model tersebut untuk meramalkan dan mengontrol
gejala alam. Tetapi memang bukan itulah tujuan sebuah kegiatan seni.
Karya seni ditujukan untuk manusia, dengan harapan bahwa pencipta dan
obyek yang diungkapkannya mampu berko- munikasi dengan manusia
yang memungkinkan dia menangkap pesan yang dibawa karya seni itu.
Sebuah ciptaan yang maknanya tidak bersifat komunikatif melainkan
sekedar berarti bagi penciptanya sendiri bukanlah merupakan karya seni,
melainkan suatu bentuk neurosis.2 ) Sebuah karya seni yang baik
biasanya mempunyai pesan yang ingin disampaikan kepada kita semua
apakah itu bersifat moral, estetik, gagasan pe mikiran atau politik. Pesan
itu disampaikan tidak sebagai rumus ilmiah yang bisa kita pakai untuk
memanipulasi

gejala

alam,

melainkan

sebuah

himbauan

yang

disampaikan kepada manusia yang bisa mempengaruhi sikap dan


perilaku mereka. Itulah sebabnya maka seni memegang peranan penting
dalam pendidikan moral dan budi pekerti sebuah bangsa.
Ilmu

mencoba mencarikan penjelasan

mengenai

alam menjadi

kesimpulan yang bersifat umum dan impersonal. Sebaliknya, seni tetap


bersifat individual dan personal, dengan memusatkan perhatiannya pada
"pengalaman

hidup

manusia

perseorangan."3)

Pengalaman

itu

diungkapkan agar dapat dialami orang lain dengan jalan "menjiwai"

pengalaman tersebut. Itulah sebabnya maka Dante berkata bahwa


seorang pelukis yang ingin mengungkapkan sebuah bentuk tetapi tidak
dapat menjiwainya takkan dapat menggambarkannya.4 ) Penjiwaan atas
pengalaman orang lain itulah yang akan mempengaruhi sikap dan
perilaku kita seperti disimpulkan oleh Somerset Maugham bahwa
manusia memuliakan dirinya justru lewat pengalaman (penderitaan)
orang lain.s) Usaha untuk menjelaskan gejala alam ini sudah mulai
dilakukan oleh manusia sejak dulu kala. Diperkirakan bahwa nenek
moyang kita pun tak kurang takjubnya memperhatikan berbagai kekuatan
alam yang terdapat di sekeliling mereka seperti hujan, banjir,
topan.gempa bumi dan letusan gunung berapi. Mereka merasa tak ber_dava menphadapi kekuatan alam yang sangat dahsyat yang dianggapnya
merupakan kekuatan yang luar biasa ini dicoba untuk dijelaskannya
dengan mengkaitkannya dengan mahluk yang luar biasa pula, dan
berkembanglah berbagai mitos tentang para dewa dengan berbagai
kesaktian dan perangainya. Gejala alam merupakan pencermin-an
kepribadian dan kelakuan mereka dan karena pada waktu itu gejala alam
sukar diramalkan, berkembanglah tokoh-tokoh supernatural yang juga
bersifat begitu. Maka muncullah dewa-dewa yang pemarah, pendendam,
atau mudah jatuh einta, di samping berkeampuhan yang luar biasa.
Manusia pada faraf irii telah mencoba untuk menafsir-kan alam fisik ini
dan bahkan telah mencoba pula untuk mengontrolnya. Sesuai dengan
pengetahuan mereka tentang gejala-gejala alam maka mengontrol
timbulnya gejala yang berupa malapetaka adalah identik dengan
mengarahkan

kelakuan

para

dewa

yang

bersangkutan.

Maka

bertumpuklah bermacam-macam penganan dan sajian (sesajeft) di batas


kampung atau simpang jalan; sebab dewa-dewa ini, meminjam perkataan
Isaac Asimov, bukan saja urakan, aneh, emosional dan mudah
mengamuk karena hal-hal kecil, melainkan juga mudah terpengaruh oleh
"sogokan yang kekanak-kanakan."6 ) Sogokan ini tentu saja sebanding
dengan lingkup kontrol yang diminta; dari segenggam garam,
penyerahan kehormatan dalam orgi yang ritual sampai penyerahan
kurban jiwa yang dibantai di muka altar.
Kalau difikir-fikir, kita mesti mengangkat topi kepada nenek moyang
kita, yang mencoba untuk menggali rahasia alam dan menempatkan

kehidupan mereka di dalam-nya. Mereka mencoba mengembangkan


suatu sistem pengetahuan untuk menafsirkan gejala-gejala fisik dan
mekanisme yang mengaturnya. Dapat dibayangkan betapa ter-luntaluntanya manusia jika sekiranya dia sama sekali buta terhadap kekuatan
alam yang terdapat di sekeliling dirinya. Dengan mengembangkan
penafsiran tertentu, betapapun primitif dan takhyulnya. mereka lalu
mempunyai suatu pegangan. Bukan saja mengerti mengapa sesuatu telah
terjadi, namun lebih penting lagi, apa yang harus dilakukan agar hal itu
tidak terjadi. Bukankah hal ini tidak berbeda dengan tujuan pengembangan ilmu pada kurun kita ini?
Mengkaitkan gejala alam yang sukar diramalkan dengan kepribadian
manusia yang juga sukar diramalkan merupakan suatu prestasi tersendiri.
Mereka bisa mengerti mengapa Dewa Hujan tiba-tiba marah dan
mencurahkan hujan dari langit sehingga hancurlah panenan. Oh,
mungkin beliau sedang marah, sebab kita lupa memberinya sesajen.
Atau: beliau sedang berkiprah, berperang melawan Dewa Ahgin yang
berbuat serong. Dengan mengerti, maka mereka lalu bisa menerima,
betapapun juga logika yang ada di dalamnya. Sampai beberapa tahun
yang lalu angin topan yang timbulnya sukar diramalkan sering diberi
nama wanita, sebab memang demikian sifat wanita! (Penulis buku ini
adalah seorang pria). Kebiasaan yang menyenangkan ini (sic!) terpaksa
di-hentikan setelah kaum wanita berang dan menyatakan protes. Dengan
demikian maka nama-nama yang menggiurkan seperti Cora atau Debby
lalu menghilang dari acara ramalan cuaca dan berganti dengan namanama pria yang tak cukup berharga untuk dikutip-dalam buku yang
ilmiah ini.
Tahap selanjutnya ditandai oleh usaha manusia untuk mencoba
menafsirkan dunia ini terlepas dari belenggu mitos: mereka menatap
kehidupan ini tidak lagi dari balik harum dupa dan asap kemcnyan.
Mereka, seperti nyanyian Ebit G. Ade, tidak lagi berpaling kepada
macam-macam spekulasi namun bertanya langsung "kepada angin,
kepada awan dan rumnut yang bergoyang." Dengan mempelajari alam
mereka mengembangkan pengetahuan yang mempunyai kegunaan
praktis seperti untuk membuat tanggul. Pembasmian hama dan bercocok
tanam. Berkembanglah lalu pengetahuan yang

Berakar pada pengalaman berdasarkan akal sehat (common sense)


didukung oleh metode mencoba-coba.

Perkembangan ini menyebabkan tumbuhnya pengetahuan yang disebut


"seni terapan (aplpll art). yang mempunyai kegunaan langsung dalam
kehidupan badani sehari-hari di samping "seni halus (fine art) yang
bertujuan secara merhperkaya spiritual. Peradaban Mesir Kuno pada
kurang lebih 3000 tahun sebelum Masehi telah mengembangkan irigasi
dan dapat meramalkan timbulnya gerhana. Demikian pula peradabanperadaban lainnya seperti Cina dan India terkenal dengan perkembangan
seni terapan yang tinggi. Sedangkan di Indonesia sendiri pada puncak
kejayaan per-adabari Majapahit dan Sriwijaya kapal-kapal mereka telah
melayari berbagai samudra. Kemajuan ini menurut logikanya harus
didukung oleh seni terapan dalam pembuatan dan navigasi kapal yang
tinggi pula. Candi-candi yang terserak di seluruh penjuru tanah air
merupakan. bukti lainnya mengenai tingginya mutu arsitektur nenek
moyang kita.
Seni terpakai ini pada hakekatnya mempunyai dua ciri yakni pertama,
bersifat deskriptif dan fenomedologi dan , kedua, ruang lingkupnya
terbatas. Sifat deskriptif ini mencerminkan proses pengkajian yang
menitikberatkan kepada penyelidikan gejala-gejala yang bersifat empiris
tanpa keeenderungan untuk pengembangan postulat yang bersifat
teoretis-atomistis. Jadi dalam seni terapan kita tidak mengenai konsep
seperti gravitasi atau kemagnetan yang bersifat teoretis.*) Sifat terbatas
dari seni terapan juga tidak menunjang berkembangnya teori-teori yang
bersifat umum seperti teori gravitasi Newton dan teori medan
elektromagnetik Maxwell, 'sebab tujuan analisisnya bersifat praktis.
Setelah

secara

empiris

diketahui

bahwa

daun

pepaya

bisa

mengempukkan daging, atau daun kumis kucing bisa menyembuhkan


kencing batu, maka pengetahuan pun lalu berhenti di situ. Seni terapan
tidak mengembangkan teori kimia atau fisiologi yang merangkum kedua
gejala itu.
Di sinilah kita menemukan suatu mata rantai yang penting sekali dalam
pengembangan

ilmu,

mengapa

ada

peradaban

yang

mampu

mengembalikan ilmu secara cepat? Mengapa ada peradaban yang secara

historis mempunyai tingkat teknologi yang tinggi namun tetap


terbelakang dalam bidang keilmuan? Jawab dari pertanyaan ini mungkin
dapat dicari dari pola perkembangan selanjutnya dari pengetahuan yang
merupakan seni terapan ini. Pada peradaban tertentu perkembangan seni
terapan ini sifatnya kuantitatif. artinya perkembangannya ditandai
dengan terkumpulnya lebih banyak lagi pengetahuan-pengetahuan yang
sejenis. Sedangkan pada peradaban lain pengembangan-nya bersifat
kualitatif artinya dikembangkan konsep-konsep baru yang bersifat rriendasar dan teoretis.
Sebagai ilustrasi katakanlah umpamanya dua tipe peradaban tersebut
sedang men-cari obat penyembuh kanker: Peradaban yang berorientasi
pada seni penyembuh kanker. Peradaban yang berorientasi pada seni
terapan akan melakukan penyelidikan secara mencoba-coba dari
bermacam-macam daun-daunan atau jenis obat lainnya tanpa ada konsep
yang jelas mengenai kegiatannya. Sebaliknya sebuah peradaban ilmiah
akan memusatkan perhatiannya pada penemuan konsep yang akan
mengarahkan kegiatan selanjutnya.
Mungkin inilah sebabnya mengapa sebuah peradaban meskipun
mempunyai kemampuan dalam seni terapan yang tinggi tidak mampu
mengembangkan diri di bidang keilmuan, soalnya, salah satu jembatan
yang menghubungkan seni terapan dengan ilmu dan teknologi adalah
pengembangan konsep teoritis yang bersifat mendasar yang selanjutnya
dijadikan tumpukan untuk pengembangan pengetahuan ilmiah yang
bersifat

integral.

Pengetahuan

tentang

obat-obatan

tradisional

umpamanya yang kemanjuran-nya memang terbukti tidak menjurus ke


arah berkembangnya farmakologi sebab tidak terdapat usaha untuk lebih
jauh mengajukan penjelasan teoretis yang asasi mengenai ptoses yang
terjadi. Dengan demikian, maka pengetahuan yang satu terpisah dari
pengetahuan yang lain tanpa diikat oleh suatu konsep yang mampu
menjelaskan-nya secara keseluruhan! Jadi kalau obat-obatan tradisional
berusaha menyembuhkan kanker dengan berbagai >ramuan dan
campuran secara mencoba-coba, maka farmakologi modern berusaha
menembus

kemacetan

dalam

pengobatan

penyakit

ini

lewat

pengembangan konsep dasar dalam perkembangan sel, terutama di


bidang keilmuan biologi molekular. Ilmu memang kurang berkembang

dalam peradaban timur karena aspek kulturalnya yang tidak terlalu


menganggap penting cara berpikir ilmiah. Bagi masyarakat Timur maka
filsafat yang paling penting adalah cara berfikir etis

menghasilkan

keanitan (wisdom)
.Akal sehat dan cara mencoba-coba mempunyai peranan penting dalam
usaha manusia untuk menemukan penjelasan mengenai berbagai gejala
alam. Ilmu dan filsafat dimulai dengan akal sehat sebab tak mempunyai
landasan permulaan lain untuk ber-pijak.8) Tiap peradaban betapa pun
primitifnya mempunyai kumpulan pengetahuan yang berupa akal sehat.
9) Randall dan Buchler mendefinisikan akal sehat sebagai pengetahuan
yang diperoleh lewat pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat
sporadis dan kebetulan.10) Sedangkan karakteristik akal sehat diberikan
oleh Titus sebagai berikut: (1) karena landasannya yang berakar pada
adat dan tradisi maka akal sehat cenderung untuk bersifat kebiasaan dan
pengulangan; (2) karena landasannya yang berakar kurang kuat maka
akal sehat cenderung untuk bersifat kabur dan samar-samar; dan (3)
karena kesimpulan yang ditariknya sering berdasarkan asumsi yang tidak
dikaji lebih lanjut maka akal sehat lebih merupakan pengetahuan yang
tidak teruji.11) Berdasarkan akal sehat, adalah amat masuk akal setelah
beberapa kali mengalami terbit dan terbenamnya matahari untuk
menyimpulkan bahwa matahari berputar me-ngelilingi bumi. Itulah
sebabnya banyak penemuan ilmiah yang mula-mula sukar diterima oleh
masyarakat sebab bertentangan dengan akal sehat, seperti penemuan
bahwa bukan matahari yang mengelilingi bumi melainkan sebaliknya.
Perkembangan selanjutnya adalah tumbuhnya rasionalisme yang secara
kritis mempermasalahkan dasar-dasar fikiran yang bersifat mitos.
Menurut Popper maka tahap ini adalah penting sekali dalam sejarah
berfikir manusia yang menyebabkan.rf/rirt^ga/-kannya tradisi yang
bersifat dogmatik yang hanya memperkenankan hidupnya satu doktrin
dan digantikan dengan doktrin yang bersifat majemuk (pluralistik) yang
masing-masing mencoba menemukan kebenaran secara analisis yang
bersifat kritis.'2) Jadi pada dasarnya rasionalisme memang bersifat
majemuk dengan berbagai kerangka pemikiran yang dibangun secara
deduktif di sekitar obyek pemikiran tertentu. Dalam menafsirkan suatu
obyek tertentu maka berkembanglah berbagai pendapat, aliran, teori dan

mashab filsafat. Dalam keadaan seperti ini maka sukar sekali bagi kita
untuk memilih mana dari sejumlah penjelasan yang rasional tersebut
yang memang benar sebab semuanya dibangun di atas argumentasi yang
bersifat koheren. Mungkin saja kita bisa mengatakan bahwa argumentasi
yang benar adalah penjelasan yang mempunyai kerangka berfikir yang
paling meyakinkan. Namun hal ini pun tidak bisa memecahkan
persoalan, sebab kriteria penilaiannya bersifat nisbi dan tidak bisa
terlepas dari unsur subyektif. Di samping itu rasionalisrne dengan
pemikiran deduktifnya sering menghasilkan kesimpulan yang benar bila
ditinjau dari alur-alur logikanya namun ternyata sangat bertentangan
dengan kenyataan yang sebenarnya. Aristoteles umpamanya menyimpulkan bahwa wanita mempunyai gigi yang jumlahnya lebih sedikit
bila di-bandingkan dengan pria, padahal gerutu Bertrand Russell, buat
orang seperti dia yang kawin dua kali seharusnya lebih tahu tentang
itu.13)
Kelemahan dalam berfikir rasional seperti itulah yang menimbulkan
berkembang- . nya empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan
yang benar itu didapat dari kenyataan pengalaman. Dipelopori oleh
filsuf-filsuf Inggris maka berkembanglah cara berfikir yang menjauhi
spekulasi teoretis dan metafisis. Metafisika, menurut David Hume (17111776) adalah "khayal dan dibuat-buat" yang selayaknya "diumpankan ke
lidah api yang menjilat". Namun cara berfikir ini pun tidak luput dari
kelemahan sebab atas dasar apa kita bisa menghubungkan berbagai
faktor dalam suatu hubungan kausalitas? Berdasarkan metode induktif
yang didukung oleh teknik statistika yang paling rumit dengan mudah
umpamanya dapat disimpulkan bahwa "kambing kencing di IKIP
Rawamangun

berkorelasi

dengan

banjirnya

kampus

Universitas

Jayabaya."14) Namun apakah artinya semua ini? Penjelasan apakah yang


bisa diajukan oleh data-data empiris yang ternyata secara induktif
menunjukkan korelasi?15)
Ilmu mencoba menafsirkan gejala alam dengan mencoba mencari
penjelasan tentang berbagai kejadian. Dalam usaha menemukan
penjelasan ini terutama penjelasan yang bersifat mendasar dan
postulasional, maka ilmu tidak bisa melepaskan diri dari penafsiran yang
bersifat rasional dan metafisis. Pengkajian ilmu yang sekedar pada kulit

luarnya saja tanpa berani mengemukakan postulat-postulat yang


bersumber penafsiran metafisis tidak akan memungkinkan kita sampai
kepada teori fisika nuklir. Paling-paling mendapatkan pengetahuan yang
tidak berbeda jauh dari akal sehat yang lebih maju. Ilmu mempunyai dua
buah peranan, ujar Bertrand Russell, pada satu pihak sebagai metafisika
sedangkan pada pihak lain sebagai akal sehat yang terdidik (educated
common sense). 16) Bagaimana caranya lalu agar kita dapat
mengembangkan ilmu yang mempunyai kerangka penjelasan yang
masuk akal dan sekaligus mencerminkan kenyataan yang sebenarnya?
Berkembanglah dalam kaitan pemikiran ini metode exsperimen yang
merupakan jembatan antara penjelasan teoretis yang hidup dTalam
rasional dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris.
Metode eksperimen dikembangkan oleh sarjana-sarjana Muslim pada
abad keemas-an Islam di mana ilmu dan pengetahuan lainnya mencapai
kulminasi antara abad 9 dan 12 Masehi.17) Semangat untuk mencari
kebenaran yang dimulai oleh pemikir-pemikir Yunani dan hampir padam
dengan jatuhnya kekaisaran Rumawi dihidupkan kembali dalam
kebudayaan Islam. 'Jika orang Yunani adalah bapak metode ilmiah,"
simpul H.G. Wells, "maka orang Muslim adalah bapak angkatnya."
Dalam perjalanan sejarah maka lewat orang Muslim lab. dan bukan lewat
perjalanan Latin, dunia modern se karang ini mendapatkan kekuatan dan
cahayanya.18) Eksperimen ini dimulai oleh ahli-ahli al-kimia yang
meskipun pada mulanya didorong oleh tujuan untuk mendapatkan "obat
ajaib untuk tetap awet muda" (elixir vitae) dan "rumus membuat emas
dari logam biasa" namun secara lambat laun berkembang menjadi
paradigma ilmiah. Metode eksperimen ini diperkenalkan di dunia Barat
oleh filsuf Roger Bacon (1214-1294) dan kemudian dimantapkan sebagai
paradigma ilmiah atas usaha Francis Bacon (1561 1626). Sebagai
penulis yang ulung dan fungsinya sebagai Lord Verulam maka Francis
Bacon berhasil meyakinkan masyarakat ilmuwan untuk menerima
metode eksperimen sebagai kegiatan ilmiah. Singkatnya maka secara
wajar dapat disimpulkan bahwa secara konseptual metode eksperimen
dikembangkan

oleh

sarjana

Muslim

dan

secara

sosio-logis

dimasyarakatkan oleh Francis Bacon.19) Dewasa ini memang terdapat


kecende-rungan untuk memperkecil sumbangan dunia Timur terhadap

timbulnya Renaissance dalam peradaban Barat.20).Dalam buku The


History of the World karangan Rene Sedillot umpamanya disebutkan
bahwa warisan Islam terhadap peradaban manusia adalah "pembakaran
perpustakaan dan penebangan hutan tanpa sejengkal tanah pun yang
ditanami"21) padahal justru sebaliknya lewat terjemahan yang dilakukan
pada peradaban Islam antara abad 9 dan 12 itulah maka filsafat Yunani
bisa dibaca manusia sekarang ini.22) Demikian juga pertanian di Spanyol
umpamanya mendapatkan warisan peradaban Islam yang bermanfaat
sampai hari ini yakni dalam bentuk sistem irigasi yang bersumber pada
penghargaan bangsa Arab yang sangat tinggi terhadap air yang sangat
langka di padang pasir.23) Kesalahan seperti ini, menurut ahli sejarah
ilmu yang terkemuka George Sarton, sering disebabkan oleh sentimen
nasionalisme dan prasangka yang dapat dilakukan siapa saja apakah
mereka itu sarjana Muslim, Hindu atau Barat.24)
Pengembangan metode eksperimen yang berasal dari Timur ini
mempunyai pe-ngaruh penting terhadap cara berfikir manusia sebab
dengan demikian maka dapat diuji berbagai penjelasan teoretis apakah
sesuai dengan kenyataan empiris ataukah tidak. Dengan demikian maka
berkembanglah metode ilmiah yang menggabungkan cara berfikir
deduktif dengan induktif. Dalam bagan Pohon Silsilah Logika dapat
dilihat perkembangan logika ilmiah yang merupakan pertemuan antara
rasionalisme dan empirisme. Galileo (1546-1642) dan Newton (16421727) merupakan pionir yang mempergunakan gabungan berfikir
deduktif dan induktif ini dalam penyelidikan ilmiah mereka.2S)
Penelitian Charles Darwin (1809-1882) yang membuahkan teori
evolusinya juga mempergunakan metode ilmiah. Deskripsi secara
mendalam tentang metode ilmiah ditulis oleh Karl Pearson (1857-1936)
dalam bukunya yang sekarang sudah menjadi klasik yang berjudul The
Grammar of Science. Buku yang sangat menarik itu diterbitkan sekitar
tahun 1890 yang disusul oleh buku John Dewey yang berjudul How We
Think yang terbit pada tahun 1910. Secara filsafati John Dewey
mengupas makna dan langkah-langkah dalam metode ilmiah.

gambar

Dengan berkembangnya metode ilmiah dan diterimanya metode ini


sebagai paradigma oleh masyarakat keilmuan maka sejarah kemanusiaan
menyaksikan perkembangan pengetahuan yang sangat cepaUDirintis oleh
Copernicus (1473-1543), Kepler (1571-1630), Galileo (1564-1642) dan Newton
(1642-1727) ilmu mendapatkan momentumnya pada abad ketujuh belas dan
seterusnya tinggal landas. Whitehead menyebutkan periode antara 1870-18,80
sebagai titik kulminasi perkembangan ilmu di mana Hemholtz, Pasteur, Darwin
dan Clerk-Maxwell berhasil mengembangkan penemuan ilmiahnya.26) Gejala
ini sebenarnya tidak sukar untuk dijelaskan sebab metode ilmiah memanfaatkan
kelebihan metode-metode berfikir yang ada dan mencoba untuk memperkecil
kekurangannya. Pengetahuan ilmiah tidak sukar untuk diterima sebab pada
dasarnya adalah akal sehat meskipun ilmu bukanlah sembarang akal sehat
melainkan akal sehat yang terdidik. Pengetahuan ilmiah tidak sukar untuk dipercaya sebab dia dapat diahdalkan meskipun tentu saja tidak semua masalah
dapat dipecahkan secara keilmuan. Itulah sebabnya maka kita masih
memerlukan berbagai pengetahuan lain untuk memenuhi kehidupan kita sebab
bagaimana pun majunya ilmu secara hakiki dia adalah terbatas dan tidak
lengkap. Ketika teleskop berakhir dan mikroskop memulai, bertanya Victor
Hugo, manakah di antara keduanya yang lebih mampu menyingkap
panorama?2"7)

BAB III
METODE ILMIAH
Metode

keilmuan

ialah

prosedur

untuk

mendapatkan ilmu. Langkah-langkahnya misalnya


perumusan masalah, penyu-sunan kerangka berfikir,
pengajuan hipotesis, pengujian hipotesis dan penarikan
kesimpulan.
Hipotesis berpijak di bumi fakta empiris, sebab
kesimpulan atau dugaan sementara yang umum ini
ditarik secara induktif dari kasus-kasus yang diamati,
atau dari gejala yang secara eksperimental ditelaah,
atau dari peristiwa yang di-alami oleh ilmuwanpeneliti. Bertumpu pada hipotesis ini, suatu teori bisa
dibangun secara logis-matematis, konsisten dengan
pengetahuan keilmuan yang kebenarannya telah teruji.
Kesimpulan yang dideksikan dari teori itu merupakan
prediksi, yang kebenarannya harus diuji dengan
memban-dingkannya dengan gejaia alam.
Pada dasarnya, metode keilmuan itu sama bagi
semua disiplin keilmuan, baik disiplin-disiplin yang
termasuk dalam ilmu-ilmu sosial dan keprilakuan
(social and behavioral sciences), maupun yang berada
dalam kawasan ilmu-ilmu alam (natural sciences).

Kalau ada perbedaan, perbedaan itu lebih menyangkut


teknik-teknik dan penghampiran (ap-proachnya). dan
bukan dalam kerangka berfikirnya.
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode
ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu sebab ilmu merupakan
pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat disebut ilmu
tereantum dalam apa yang dinamakan dengan metode ilmiah. Metode, menurut
Senn, merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang
mempunyai langkah-langkah yang sistematis.1) Metodologi merupakan suatu
pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode tersebut.2)
Jadi metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan yang
terdapat dalam metode ilmiah. Metodologi ini secara filsafati termasuk dalam
apa yang dinamakan epistemologi. Epistemologi merupakan pembahasan
mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: 'Apakah sumber-sumber
pengetahuan? Apakah hakekat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan?
Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sampai
tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia?3)
Seperti diketahui berfikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan
pengetahuan. Metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerja
fikiran.4) Dengan cara bekerja ini maka pengetahuan yang dihasilkan
diharapkan mempunyai karakteristik-karakteristik tertentu yang diminta oleh
pengetahuan ilmiah ya k n i sifat rasional dan teruji yang memungkinkan tubuh
pengetahuan yang disusunnya merupakan pengetahuan yang dapat diandalkan.
Dalam hal ini maka metode ilmiah mencoba meng-gabungkan cara berfikir
deduktif dan cara berfikir induktif dalam membangun tubuh pengetahuannya.
Berfikir deduktif memberikan sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah
dan bersifat konsisten dengan pengetahuan yang telah dikumpuikan
sebelumnya. Secara sistematik dan kumulatif pengetahuan ilmiah disusun
setahap demi setahap dengan menyusun argumentasi mengenai sesuatu yang
baru berdasarkan pengetahuan yang
telah ada. Dengan demikian maka ilmu merupakan tubuh pengetahuan yang
tersusun *dan terorganisasikan dengan baik sebab penemuan yang tidak teratur
dapat diibaratkan sebagai "rumah dengan batu bata yang cerai-berai."s) Secara

konsisten dan koheren maka ilmu mencoba memberikan penjelasan yang


rasional kepada obyek yang berada dalam fokus penelahaan.
Penjelasan yang bersifat rasional ini dengan kriteria kebenaran koherensi
tidak memberikan kesimpulan yang bersifat final, sebab sesuai dengan hakekat
rasionalisme yang bersifat pluralistik, maka dimungkinkan disusunnya berbagai
penjelasan terhadap suatu obyek pemikiran tertentu. Meskipun argumentasi
secara rasional didasarkan kepada presmi-premis ilmiah yang telah teruji
kebenarannya namun dimungkinkan pula pilihan yang berbeda dari sejumlah
premis ilmiah yang tersedia yang dipergunakan dalam penyusunan argumentasi.
Oleh sebab itu maka dipergunakan pula cara berfikir induktif yang berdasarkan
kriteria kebenaran korespondensi.
Teori korespondensi menyebutkan bahwa suatu pernyataan dapat dianggap
benar sekiranya materi yang terkandung dalam pernyataan itu bersesuaian
(berkorespon-densi) dengan obyek faktual yang dituju oleh pernyataan tersebut.
Atau dengan kata
lain, suatu pernyataan adalah benar bila terdapat fakta-fakta empiris yang
mendukung pernyataan itu. Sekiranya seseorang menyatakan bahwa "Salju itu
berwarna putih" maka pernyataan itu adalah benar sekiranya terdapat kenyataan
yang mendukung isi pernyataan tersebut. yakni bahwa dalam daerah
pengalaman kita memang dapat diuji bahwa salju itu benar-benar berwarna
putih. Bagi mereka yang sudah biasa melihat salju maka pengujian semacam ini
tidaklah terlalu berarti, namun bagi mereka yang belum pernah melihat salju,
maka pengujian secara empiris mempunyai suatu makna yang lain. Hal ini akan
mempunyai arti yang lebih lagi sekiranya seseorang menyatakan umpamanya
bahwa "terdapat partikel X dalam atom yang sebelumnya belum diketahui
manusia." Pengujian secara empiris dan pernyataan semacam ini jelas bersifat
imperatif, sebab bagaimana kita semua dapat mempercayai kebenaran
pernyataan itu, bila ada seorang pun yang telah melihat partikel X itu
sebelumnya?
Keadaan seperti ini sering terjadi dalam pengkajian masalah keilmuan, yakni
bila kita dihadapkan dengan pernyataan-pernyataan yang secara empiris belum
kita kenali. Dan justru di sinilah sebenarnya esensi dari penemuan ilmiah yakni
bahwa kita mengetahui sesuatu yang belum pernah kita ketahui dalam
pengkajian ilmiah sebagai kesimpulan dalam penalaran deduktif. Penemuan
yang satu akan mengakibatkan penemuan yang lain dengan penarikan

kesimpulan secara deduktif. Kesimpulan yang ditarik seperti ini sering


memberikan kita "kejutan yang menyenangkan" sebab memberikan kepada kita
pengetahuan yang belum kita kenal sebelumnya.
Proses kegiatan ilmiah, menurut Ritchie Calder, dimulai ketika manusia
meng-amati sesuatu.6) Tentu saja hal ini membawa kita kepada pertanyaan lain:
Mengapa manusia mulai mengamati sesuatu? Kalau kita telaah lebih lanjut
ternyata bahwa kita mulai mengamati obyek tertentu kalau kita mempunyai
perhatian tertentu terhadap obyek tersebut. Perhatian tersebut dinamakan John
Dewey sebagai suatu masalah atau kesukaran yang dirasakan bila kita
menemukan sesuatu dalam pengalaman kita yang menimbulkan pertanyaan.7 )
Dan pertanyaan ini timbul disebabkan 7>leh adanya kontak manusia dengan
dunia empiris yang menimbulkan berbagai ragam permasalahan. Dapat
disimpulkan bahwa karena ada masalahlah maka proses kegiatan berfikir
dimulai, dan karena masalah ini berasal dari dunia empiris, maka proses berfikir
tersebut diarahkan pada pengamatan obyek yang bersangkutan, yang
bereksistensi dalam dunia empiris pula.
Bahwa manusia menghadapi masalah, atau bahwa manusia menyadari adanya
masalah dan bermaksud untuk memecahkannya, hal ini bukanlah sesuatu yang
baru sejak manusia berada di muka bumi sejak dahulu kala. Namun dalam
menghadapi masalah ini maka manusia memberikan reaksi yang berbeda-beda
sesuai dengan perkembangan cara berfikir mereka. Seperti dibahas dalam
bagian terdahulu terdapat bermacam-macam sumber dan cara mendapatkan
pengetahuan sebagai jawaban terhadap permasalahan yang dihadapi. Dilihat
dari perkembangan kebudayaan maka sikap manusia dalam menghadapi
masalah dapat dibedakan menurut ciri-ciri tertentu. Berdasarkan sikap manusia
menghadapi masalah ini maka Van Peurseh8) membagi perkembangan
kebudayaan menjadi tiga tahap yakni tahap mistis, tahap ontologis, dan tahap
fungsional. Yang dimaksudkan dengan tahap mistis adalah sikap manusia yang
merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya. Yang
dimaksudkan dengan tahap ontologis adalah sikap manusia yang tidak lagi
merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib dan bersikap
mengambil jarak dari obyek di sekitarnya serta memulai melakukan
penelahaan-penelahaan terhadap obyek tersebut. Sedangkan tahap fungsional
adalah sikap manusia yang bukan saja merasa telah terbebas dari kepungan
kekuatan gaib dan mempunyai pengetahuan berdasarkan penelaahan terhadap

obyek-obyek di sekitar kehidupannya, namun lebih dari itu dia


memfungsionalkan pengetahuan tersebut bagi kepentingan dirinya. Tahap
fungsional ini dibedakan dengan tahap ontologis, sebab belum tentu bahwa
pengetahuan yang didapatkan pada tahap ontologis ini, di mana manusia
mengambil jarak terhadap obyek di sekitar kehidupan dan mulai menelaahnya,
mempunyai manfaat langsung terhadap kehidupan manusia. Bisa saja manusia
menguasai pengetahuan demi pengetahuan dan tidak mempunyai kegunaan
fungsional dalam kehidupannya.9 )
Ilmu mulai berkembang pada tahap ontologis ini, manusia berpendapat bahwa
terdapat hukum-hukum tertentu, yang terlepas dari kekuasaan dunia mistis, yang
menguasai gejala-gejala empiris. Dalam tahap ontologis ini maka manusia
mulai mengambil jarak dari obyek di sekitarnya, tidak seperti apa yang terjadi
dalam dunia mistis, di mana semua obyek berada dalam kesemestaan yang
bersifat difus dan tidak jelas batas-batasnya. Manusia mulai memberi batasbatas yang jelas kepada obyek kehidupan tertentu yang terpisah dengan
eksistensi manusia sebagai subyek yang mengamati dan menelaah obyek
tersebut. Dalam menghadapi masalah tertentu,,maka dalam tahap ontologis ini,
manusia mulai menentukan batas-batas eksistensi masalah tersebut, yang
memungkinkan manusia dapat mengenai ujud masalah itu, untuk kemudian ditelaah dan dicarikan pemecahan jawabannya.
Dalam usaha untuk memecahkan masalah tersebut maka ilmu tidak
berpaling kepada perasaan melainkan kepada fikiran yang berdasarkan
penalaran. Ilmu mencoba mencari penjelasan mengenai permasalahan yang
dihadapinya agar dia mengerti mengenai hakekat permasalahan itu dan dengan
demikian maka dia dapat memecahkan-nya. Dalam hal ini maka pertama-tama
ilmu menyadsfri bahwa masalah yang dihadapinya adalah masalah yang bersifat
konkrit yang terdapat dalam dunia fisik yang nyata. Secara ontologis maka ilmu
membatasi masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang terdapat dalam
ruang

lingkup

jangkauan

pengalaman

manusia.

Jadi

ilmu

tidak

mempermasalahkan tentang hari kemudian atau surga dan neraka yang jelas
berada di luar pengalaman manusia. Hal ini harus kita sadari, karena hal inilah
yang memisah-kan daerah ilmu- dan agama. Agama, berbeda dengan ilmu,
mempermasalahkan pula obyek-obyek yang berada di luar pengalaman
manusia, baik sebelum manusia ini berada di muka bumi seperti mengapa
manusia diciptakan, maupun sesudah kematian manusia, seperti apa yang terjadi

setelah adanya kebangkitan kembali. Perbedaan antara lingkup permasalahan


yang dihadapinya juga menyebabkan berbedanya metode dalam memecahkan
masalah tersebut. Perbedaan ini harus diketahui dengan benar untuk dapat
menempatkan ilmu dan agama dalam perspektif yang sesungguhnya. Tanpa
mengetahui hal ini maka mudah sekali kita terjatuh ke dalam kebingungan,
padahal dengan menguasai hakekat ilmu dan agama secara baik, kedua
pengetahuan ini justru akan bersifat saling melengkapi. Pada satu pihak agama
akan memberi landasan moral bagi aksiologi keilmuan sedangkan di pihak lain
ilmu akan memperdalam keyakinan beragama *).
Karena masalah yang dihadapinya adalah nyata maka ilmu mencari
jawabannya pada dunia yang nyata pula. Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri
dengan fakta, Einstein berkata, apa pun juga teori yang menjembatani antara
keduanya.10) Teori yang dimaksudkan di sini adalah penjelasan mengenai gejala
yang terdapat dalam dunia fisik tersebut, tetapi merupakan suatu abstraksi
intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan
pengalaman empiris. Artinya, teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional
yang berkesesuaian dengan obyek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan, biar
bagaimana pun meyakinkannyc., tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk
dapat dinyatakan benar.
Di sinilah pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris
dalam langkah-langkah yang disebut metode ilmiah. Secara rasional maka ilmu
menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara
empiris ilmu memisah-kan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang
tidak. Secara sederhana maka hal ini berarti bahwa semua teori ilmiah harus
memenuhi dua syarat utama yakni (a) harus konsisten dengan teori-teori
sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadi-nya kontradiksi dalam teori
keilmuan secara keseluruhan; dan (b) harus cocok dengan fakta-fakta empiris
sebab teori yang bagaimanapun konsistennya kalau tidak didukung oleh
pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah. Jadi logika
ilmiah merupakan gabungan antara logika deduktif dan logika induktif di mana
rasionalisme dan empirisme hidup berdampingan dalam sebuah sistem dengan
mekanis-me korektif.
Oleh sebab itu maka sebelum teruji kebenarannya secara empiris semua
penjelasan rasional yang diajukan statusnya hanyalah bersifat sementara.
Penjelasan sementara ini biasanya disebut hipotesis. Sekiranya kita

menghadapi suatu masalahjtertentu, dalam rangka memecahkan masalah


tersebut, kita dapat mengajukan hipotesis yang merupakan jawaban sementara
bagi permasalahan yang dihadapi. Secara teoretis maka sebenarnya kita dapat
mengajukan hipotesis sebanyak-banyaknya sesuai dengan hakekat rasionalisme
yang bersifat pluralistik..Hanya di sini dari sekian hipotesis yang diajukan itu
hanya satu yang diterima berdasarkan kriteria kebenaran korespondensi yakni
^hipotesis yang didukung oleh fakta-fakta empiris.
Hipotesis merupakan dugaan atau jawaban sementara terhadap permasalahan
yang sedang kita hadapi. Dalam melakukan penelitian untuk mendapatkan
jawaban yang benar maka seorang ilmuwan seakan-akan melakukan suatu
"interogasi terhadap 'alam"11) . Hipotesis dalam hubungan ini berfungsi sebagai
penunjuk jalan yang me-mungkinkan kita untuk mendapatkan jawaban, karena
alam itu sendiri membisu dan tidak responsif terhadap pertanyaan-pertanyaan.
Harus kita sadari bahwa hipotesis itu sendiri merupakan penjelasan yang
bersifat sementara yang membantu kita dalam melakukan penyelidikan. Sering
kita temui kesalahpahaman di mana analisis ilmiah berhenti pada hipotesis ini
tanpa upaya selanjutnya untuk melakukan verifikasi apakah hipotesis ini benar
atau tidak. Kecenderungan ini terdapat pada ilmuwan yang sangat dipengaruhi
oleh paham rasionalisme dan melupakan bahwa metode ilmiah merupakan
gabungan dari rasionalisme dan empirisme.*)
Hipotesis ini pada dasarnya disusun secara deduktif dengan mengambil
premis-premis dari pengetahuan ilmiah yang sudah diketahui sebelumnya.
Penyusunan seperti ini memungkinkan terjadinya konsistensi dalam
mengembangkan ilmu secara keseluruh-an dan menimbulkan pula efek
kumulatif dalam kemajuan ilmu. Kalau kita kaji secara mendalam maka
kemajuan ilmu sebenarnya tidak dilakukan oleh sekelompok kecil jenius dengan
buah fikirannya yang monumental, melainkan oleh manusia-manusia biasa
yang selangkah demi selangkah menyusun tumpukan ilmu berdasarkan
penemuan sebelumnya. Para jenius di bidang keilmuan berperan sebagai
raksasa yang meletakkan dasar-dasarnya, sedangkan pehgisiannya dilakukan
oleh manusia biasa dengan ketekun-an dan kerja kerasnya. Sifat inilah yang
memungkinkan ilmu berkembang secara relatif lebih pesat bila dibandingkan
dengan pengetahuan lainnya umpamanya filsafat. Dalam pengkajian filsafat
maka seorang filsuf selalu mulai dari bawah dalam menyusun sistem
pemikirannya dan membangun sistem tersebut secara keseluruhan lengkap de-

ngan bangunan dan isinya. Sedangkan dalam kegiatan ilmiah, maka tiap
ilmuwan me-nyumbangkan bagian kecil dari sistem keilmuan secara
keseluruhan, namun sifatnya yang kumulatif menyebabkan ilmu berkembang
dengan sangat pesat.
Dengan adanya jembatan berupa penyusunan hipotesis ini maka metode
ilmiah
sering dikenal sebagai proses logiko-hipotetiko-vertifikatif; atau menurut
Tyndall
sebagai "perkawinan yang berkesinambungan antara deduksi dan induksi."12)
Proses
induksi ini mulai memegang peranan dalam tahap verifikasi atau pengujian
hipotesis di mana dikumpulkan fakta-fakta empiris untuk menilai apakah
sebuah hipotesis didukung oleh fakta atau tidak. Sebenarnya dalam proses
penyusunan hipotesis ini, meskipun dasar berfikirnya adalah deduktif,
kegiatannya tidaklah sama sekali terbebas dari proses induktif. Kita tidak
mampu memecahkan masalah hanya sambil bergoyang kaki di belakang meja
sambil tengadah ke langit biru mencari gagasan yang mungkin dapat
dipergunakan dalam menyusun hipotesis. Penyusunan hipotesis itu sendiri
dilakukan dalam kerangka permasalahan yang bereksistensi secara empiris
dengan pengamatan kita yang mau tidak mau turut mempengaruhi proses
berfikir deduktif. Kegiatan seperti ini akan lebih mendekatkan lagi hipotesis
yang kita susun dengan dunia fisik yang secara teoretis memperbesar peluang
bagi hipotesis tersebut untuk diterima
Langkah selanjutnya sesudah penyusunan hipotesis adalah menguji
hipotesis tersebut dengan mengkonfrontasikannya dengan dunia fisik yang
nyata. Sering sekali dalam hal ini kita harus melakukan langkah perantara yakni
menentukan faktor-faktor apa yang dapat kita uji dalam rangka melakukan
verifikasi terhadap keseluruhan hipotesis tersebut. Sekiranya kita mempunyai
hipotesis bahwa bulan berputar mengeli-lingi bumi maka masalah yang kita
hadapi adalah bagaimana caranya kita mampu menguji pernyataan tersebut.
Atau lebih jauh lagi fakta-fakta apakah yang dapat kita amati yang diturunkan
dari hipotesis tersebut yang memungkinkan kita untuk menarik kesimpulan
apakah pernyataan itu didukung oleh fakta atau tidak. Umpamanya saja dalam
menguji hipotesis tentang hubungan antara bumi dan bulan tersebut di atas
maka kita dapat menyimpulkan pernyataan bahwa hipotesis tersebut akan

menyebabkan timbulnya kegiatan pasang dan surut air laut secara periodik
disebabkan daya tarik bulan yang berpindah-pindah sambil dia mengelilingi
bumi. Gejala pasang dan surut air laut ini jelas akan dapat kita amati dengan
pancaindra kita dan dengan demikian kita akan dapat melakukan vertifikasi
apakah pernyataan itu mengandung kebenaran atau tidak. Demikian juga hal
yang serupa berlaku untuk prestasi belajar yang dapat dilihat dan diuji lewat
hasil tes, angka rapor sekolah atau angka penilaian lainnya.
Proses pengujian ini, seperti telah kita singgung sebelumnya, merupakan
pengum-pulan fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan. Fakta-fakta
ini kadang-kadang bersifat sederhana yaag dapat kita tangkap secara langsung
dengan pancaindra kita. Kadang-kadang kita memperlukan instrumen yang
membantu pancaindra kita, umpamanya teleskop dan mikroskop. Dalam
penyelidikan fisika nuklir maka pembuktian ini kadang-kadang memerlukan
alat yang rumit sekali, sehingga sering terjadi bahwa suatu hipotesis baru
dapat dibuktikan beberapa lama kemudian, setelah ditemu-kan alat yang dapat
membantu mengumpulkan fakta yang bersangkutan. Hal ini pula-lah yang
menyebabkan penelitian ilmiah menjadi sangat mahal, yang disebabkan
bukan oleh penyusunan teorinya, melainkan dalam pembuktiahnya.
Pembuktian inilah sebenarnya yang memberi vonis terhadap teori ilmiah
apakah

pernyataan-pernyataan

yang

dikandungnya

dapat

diterima

kebenarannya atau tidak, secara ilmiah. Seorang ilmuwan pada mulanya


selalu bersifat skeptif: dia selalu meragukan segala sesuatu. Jika kita
mengemukakan kepadanya suatu teori tertentu maka keraguan itu akan
tercermin dalam sebuah pernyataan: Jelaskan kepada say a lalu berikan
bukti-nya! Jadi pertama-tama dia memerlukan penjelasan yang masuk akal
dan tidak bersifat kontradiktif dengan pengetahuan ilmiah yang telah
diketahuinya. Setelah itu dia minta pembuktian, sebab konsistensi secara logis
saja baginya tidak cukup; dia menghendaki verifikasi secara empiris. Baru
setelah penjelasan ini ternyata didukung oleh fakta-fakta dalam dunia fisik
yang nyata maka dia akan percaya. Jadi secara sederhana proses berfikir
seorang ilmuwan dapat disimpulkan sebagai sesuatu yang dimulai dengan
ragu-ragu dan diakhiri dengan percaya atau tidak percaya. Hal ini
berbeda dengan penelaahan pada bidang lain, umpamanya agama, di mana
pengkajian agama itu bermula tidak dengan ragu-ragu melainkan dimulai
dengan percaya dan diakhiri dengan makin percaya atau mungkin

menjadi ragu. Mengapa agama mesti dimulai dengan rasa percaya sedangkan ilmu dengan ragu-ragu? Kunci jawabannya terletak pada daerah
penjelajahan agama yang menjangkau daerah di luar pengalaman manusia.
Dalam keadaan seperti ini maka pengetahuan agama yang diwahyukan oleh
Tuhan harus diterima dulu sebagai "hipotesis" yang kebenarannya kemudian
diuji oleh kita. Proses pengujian ini tidak sama dengan pengujian ilmiah yang
berdasarkan kepada tangkapan pancaindra, sebab pengujian kebenaran agama
harus dilakukan oleh seluruh aspek kemanusiaan kita seperti penalaran,
perasaan, intuisi, imajinasi di samping pengalaman. Demikian juga tidak
semua pernyataan keagamaan dapat diverifikasi seperti adanya malaikat dan
hari kemudian sebab ha! ini berada di luar jangkauan pengalaman. Dengan
demikian maka kepercayaan keagamaan sangat bersifat personal dan
subyektif, berbeda dengan ilmu yang bersifat impersonal dan obyektif. Kedua
pengetahuan ini bersifat saling meleng-kapi dan memperkaya kehidupan kita
sesuai dengan hakekat dan kegunaannya masing-masing. /
Alur berfikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam
beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah.
Kerangka berfikir ilmiah yang berintikan proses logiko-hipotetiko-vertifikatif
ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut.
(1) Perumusan masalah. yang merupakan pertanyaan mengenai obyek
empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktorfaktor yang terkait di da-lamnya.
(2) Penyusunan kerangka berfikir dalam pengajuan hipotesis yang
merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin
terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk
konstelasi permasalahan. Kerangka berfikir ini disusun secara rasional
berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan
memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan;
(3) Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan
jawaban pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan
kesimpulan dari kerangka berfikir yang dikembangkan;
(4) Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang
relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah
terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak;

(5) Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah


hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. Sekiranya dalam proses
pengujian terctepat fakta yang cukup yang mendukung hipotesis maka
hipotesis itu diterima. Seba-liknya sekiranya dalam proses pengujian
tidak terdapat fakta yang cukup yang mendukung hipotesis maka
hipoteds itu ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi
bagian dari pengetahuan ilmiah sebab telah meme-nuhi persyaratan
keilmuan yakni mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan
pengetahuan ilmiah sebelum serta telah teruji kebenarannya. Pengertian
kebenaran di sini harus ditafsirkan secara pragmatis artinya bahwa
sampai saat ini belum terdapat fakta yang menyatakan sebaliknya.
Keseluruhan langkah ini harus ditempuh agar suatu penelaahan dapat disebut
ilmiah. Meskipun langkah-langkah ini secara konseptual tersusun dalam
urutan yang teratur, di mana langkah yang satu merupakan landasan bagi
langkah berikutnya, namun dalam prakteknya sering terjadi lompatanlompatan. Hubungan antara langkah yang satu dengan langkah yang lainnya
tidak terikat secara statis melainkan bersifat dinamis dengan proses
pengkajian ilmiah yang tidak semata mengandalkan penalaran melainkan
juga imajinasi dan kreativitas.. Sering terjadi bahwa langkah yang satu bukan
saja merupakan landasan bagi langkah yang berikutnya namun sekaligus '"),
juga merupakan landasan koreksi bagi langkah yang lain. Dengan jalan ini
diharapkan \ diprosesnya pengetahuan yang bersifat konsisten dengan
pengetahuan-pengetahuan sebelumnya serta teruji kebenarannya secara
empiris.
Langkah-langkah yang telah kita sebutkan di atas harus dianggap sebagai
patokan utama di mana dalam penelitian yang sesungguhnya mungkin
saja

berkembang

berbagai

variasi

sesuai

dengan

bidang

dan

permasalahan yang diteliti. Walaupun demikian bagi mereka yang


sedang mendidik diri untuk menjadi ilmuwan tenia pokok dari metode
ilmiah harus dikuasai, sebab tanpa kemampuan dasar ini dikhawatirkan
bahwa variasi yang dikembangkan itu mungkin saja tidak mencerminkan
ciri yang se harusnya dipenuhi oieh suatu kegiatan keilmuan. Sekiranya
seorang seperti Percy Bridgman berkata bahwa "ilmu adalah apa yang
seseorang lakukan dengan fikirannya tanpa pembatasan apa pun"13),
maka hal ini jangan ditafsirkan sebagai suatu ketinggi-hatian sebab

^erkataan itu diucapkan oleh seorang ilmuwan pemenang Hadiah Nobel


untuk fisika. Tentu saja dia tidak menemukan rumus-rumus yang cukup
layak untuk dianugrahi Hadiah Nobel sekedar hanya dengan lima
langkah metode ilmiah yang dia pelajari di sekolah. Bagi seorang pemula
yang sedang mempelajari pengetahuan, apa pun juga itu namanya,
sebaiknya kita mulai dari dasar-dasar yang bersifat patokan pokok. Sukar
untuk dibayangkan bagaimana seorang gitaris seperti Andres Segovia
menyajikan konser dengan sepenuh kejeniusannya tanpa mengetahui
dasar do-re-mi. Easley menyimpulkan bahwa meskipun prinsip-prinsip
metode ilmiah yang diterima oleh sebagian besar ilmuwan tidak selalu
membantu pengembangan hipotesis dan merupakan kriteria untuk
menolak atau menerima suatu pernyataan ilmiah namun metode ilmiah
ini penting bagi masyarakat ilmuwan dalam melancarkan kritik terhadap
suatu penyelidikan dan dalam kegiatan mendidik calon ilmuwan. u)
Walaupun demikian para pendidik jangan menafsirkan dan mengajarkan
metode ilmiah ini secara mati dan ritualistik, seperti juga cara kita
mempergunakan berbagai pedoman penulisan untuk tesis atau disertasi
yang berasal dari berbagai universitas, melainkan ditekankan pada ;<
logika. berfikir dan alur-alur jalan fikirannya. Dengan demikian maka
kita akan mampu menghindarkan berkembangnya cara berfikir yang
kaku dan simplistis.
Metode ilmiah adalah penting bukan saja dalam proses penemuan
pengetahuan

namun

lebih-lebih

lagi

dalam

mengkomunikasikan

penemuan ilmiah tersebut kepada masyarakat ilmuwan. Sebuah laporan


penelitian ilmiah mempunyai sistematika cara berfikir tertentu yang
tercermin dalam format dan tekniknya. Perbedaan utama dari metode
ilmiah bila dibandingkan dengan metode-metode pengetahuan lainnya,
menurut Jacob Bronowski, adalah hakekat metode ilmiah yang bersifat
sistematik dan eksplisit.15)
Sifat eksplisit ini memungkinkan terjadinya komunikasi yang intensif
dalam ka-langan masyarakat ilmuwan. Ilmu ditemukan secara individual
namun dimanfaatkan secara sosial. Ilmu merupakan pengetahuan milik
umum (public knowledge) di mana teori ilmiah yang ditemukan secara
individual

dikaji,

diulangi,

dan

dimanfaatkan

secara

komunal.

Karakteristik ini mengharuskan seorang ilmuwan untuk menguasai

sarana komunikasi ilmiah dengan baik yang memungkinkan komunikasi


eksplisit antar ilmuwan secara intensif. Penemuan mesin cetak
merupakan momentum yang sangat mendo-rong perkembangan ilmu.
Ilmu maju dengan cepat pada masyarakat yang telah mempunyai tradisi
komunikasi tertulis yang mantap. Semangat ilmiah seperti kehidupan
yang mengalir, kata Mayer, di mana tiap ilmuwan berhutang budi kepada
ilmuwan-ilmuwan lainnya.16)
Dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang
disusun secara konsisten dan kebenarannya telah teruji secara empiris.
Dalam hal ini harus di-sadari bahwa proses pembuktian dalam ilmu
tidaklah bersifat absolut. Sekiranya se karang kita dapat mengumpulkan
fakta-fakta yang mendukung hipotesis kita maka bukan berarti bahwa
untuk selamanya kita akan mendapatkan hal yang sama. Mungkin saja
suatu waktu, baik secara kebetulan maupun karena kemajuan dalam
peralatan pengujian, kita akan mendapatkan fakta yang menolak
hipotesis yang selama ini kita anggap benar. Jadi pada hakekatnya suatu
hipotesis dapat kita terima kebenarannya selama tidak didapatkan fakta
yang menolak hipotesis tersebut. Hal ini membawa dimensi baru kepada
hakekat ilmu yakni sifat pragmatis dari ilmu. Ilmu tidak bertujuan untuk
mencari kebenaran absolut melainkan kebenaran yang berman-faat bagi
manusia dalam tahap perkembangan tertentu. Hipotesis-hipotesis yang
sampai saat ini tidak ditolak kebenarannya, dan mempunyai manfaat bagi
kehidupan kita, kita anggap sebagai pengetahuan yang sahih dalam
keiuarga keilmuan. Bahwa hipotesis ini kemudian hari ternyata tidak
benar, bagi kita hal itu tidaklah terlalu penting selama hipotesis ini
mempunyai kegunaan. Seperti ucapan Santayana maka dalam ilmu
sekiranya kita menemukan kebenaran baru kita tidak lalu "menyalahkan
pendahulu-penda-hulu itu, kita cuma mengucapkan selamat jalan."17)
Metode ilmiah ini pada dasarnya adalah sama bagi semua disiplin
keilmuan baik yang termasuk dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu
sosial. Kalau pun terdapat perbedaan dalam kedua kelompok keilmuan
ini,maka perbedaan tersebut sekedar ter-letak pada aspek-aspek
tekniknya dan bukan pada struktur berfikir atau aspek metodo-logisnya.
Teknik pengumpulan data mengenai gejala gunung berapi jelas akan
berbeda dari teknik pengumpulan data tentang sikap kaum remaja

mengenai keiuarga beren-cana. Demikian juga teknik pengamatan


bintang-bintang di langit akan berbeda dengan teknik pengamatan anak
taman kanak-kanak yang sedang belajar mengeja.
Metode ilmiah ini tidak dapat diterapkan kepada pengetahuan yang tidak
termasuk ke dalam kelompok ilmu. Matematika dan bahasa tidak
mempergunakan metode ilmiah dalam menyusun pengetahuannya sebab
matematika bukanlah ilmu melainkan pengetahuan yang merupakan
sarana berfikir ilmiah.18) Demikian juga halnya dengan bidang sastra
yang termasuk dalam humaniora yang jelas tidak mempergunakan metode ilmiah dalam penyusunan tubuh pengetahuannya.
Meskipun demikian, beberapa aspek pengetahuan tersebut dapat
menerapkan metode ilmiah dalam pengkajiannya, umpamanya saja aspek
pengajaran bahasa, sastra dan matematika. Dalam hal ini masalah
tersebut dapat dimaksudkan ke dalam disiplim ilmu pendidikan yang
mengkaji secara ilmiah berbagai aspek proses belajar-mengajar.
Beberapa disiplin ilmu sosial mengembangkan teknik-teknik tersendiri
dalam melakukan penelitian ilmiah umpamanya saja antropologi dan
sosiologi. Teknik-teknik yang bersifat khusus ini biasanya dikembangkan
untuk meneliti aspek tertentu yang bersifat eksploratoris yang bertujuan
untuk menemukan pola atau struktur secara keseluruhan. Penelitian yang
lebih bersifat kualitatif ini biasanya diikuti oleh penelitian yang bersifat
ku'antitatif dengan penerapan metode ilmiah sepenuhnya.
Penelitian merupakan pencerminan secara konkret kegiatan ilmu dalam
mempro-ses pengetahuannya. Metodologi penelitia'n ilmiah pada
hakekatnya merupakan operasi-onalisasi dari metode keilmuan. Atau
dengan perkataan lain, struktur berfikir yang melatarbelakangi langkahlangkah dalam penelitian ilmiah adalah metode keilmuan. dengan
demikian maka penguasaan metode ilmiah merupakan persyaratan untuk
dapat memahami jalan fikiran yang terdapat dalam langkah-langkah
penelitian. Bagi pendidikan keilmuan maka aspek-aspek filsafat ilmu
sebaiknya secara langsung dikaitkan dengan kegiatan berfikir ilmiah
pada umumnya dan kegiatan penelitian pada khusirsnya. Langkahlangkah penelitian yang mencakup apa yang diteliti, bagaimana
penelitian dilakukan serta untuk apa hasil penelitian digunakan adalah
koheren dengan landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis

keilmuan. Dengan demikian maka pengetahuan filsafati yang bersifat


potensial secara konkret memperkuat kemampuan ilmuwan dalam
melakukan kegiatan ilmiah secara operasional.
Demikianlah secara singkat telah dibahas hakekat metode ilmiah yang
alur-alur pikirannya tercermin dalam langkah-langkah tertentu. Alur
pikiran keilmuan inilah yang penting sebab ilmu pada kenyataannya yang
paling asasi adalah produk kegiatan berfikir lewat suatu cara berfikir
tertentu. Langkah-langkah dalam metode ilmiah ini janganlah ditafsirkan
secara mati dan menjadi hafalan baru. Ada baiknya dalam hal ini kita
memperhatikan peringatan yang diberikan oleh Leonard Nash bahwa
terdapat bahaya yang potensial yang mengintai di balik mitos yang
bernama metode, yakni bahwa ilmuwan akan memperlakukannya secara
terlalu bersungguh-sungguh!19)
Dengan metode ilmiah sebagai peradigma maka dibandingkan dengan
berbagai pengetahuan lainnya ilmu dapat dikatakan berkembang dengan
sangat cepat. Salah satu faktor yang mendorong perkembangan ini adalah
faktor sosial dari komunikasi ilmiah di mana penemuan individual segera
dapat diketahui dan dikaji oleh anggota masyarakat ilmuwan lainnya.
Tersedianya alat komunikasi tertulis dalam bentuk majalah, buletin,
jurnal, micro film dan berbagai media massa lainnya sangat menunjang
inten-sitas dan efektivitas komunikasi ini. Suatu penemuan baru di
negara yang satu segera dapat diketahui oleh ilmuwan di negara-negara
lain. Penemuan ini segera dapat diteliti kebenarannya oleh kalangan
ilmiah di mana saja sebab prosedur untuk menilai kesahih-an pernyataan
yang dikandaung pengetahuan tersebut sama-sama telah diketahui oleh
seluruh masyarakat ilmuwan.
Sampai pertengahan abad ketujuhbelas komunikasi ilmiah antar ilmuwan
dilakukan secara korespondensi pribadi dan dengan publikasi makalah
atau pamflet sewaktu-wak-tu.20) Baru pada tahun 1654 the Royal
Society didirikan di London yang disusul oleh Academic Francaise yang
didirikan di Paris pada tahun 1663. Laporan pertemuan ilmiah dari the
Royal Society muncul untuk pertama kali pada tahun 1664. Setelah itu
maka komunikasi dan kerja sama antar ilmuwan dalam bentuk
kelembagaan, him-punan dan penerbitan jurnal berkembang dengan
pesat.21)

Berbagai percobaan ilmiah dapat diulang oleh ilmuwan lainnya yang


berhasrat, dan sekiranya dalam pengulangan tersebut didapatkan hasil
yang sama, serta merta ilmuwan itu menerima dan mendukung
kebenaran yang dimaksud. Akhirnya seluruh kalangan keilmuan akan
menerima kebenaran ilmiah itu dan dengan demikian dunia keilmuan
menganggap permasalahan mengenai hal tersebut telah selesai dan ilmu
mendapatkan pengetahuan baru yang diterima oleh seluruh ilmuwan.
Dengan demikian maka ilmu berkembang dengan cepat dalam dinamika
yang dipercepat karena penemuan yang satu akan menyebabkan
penemuan-penemuan yang

lainnya. Hipotesis

yang

telah teruji

kebenarannya segera menjadi teori ilmiah yang kemudian digunakan


sebagai premis dalam mengembangkan hipotesis-hipotesis selanjutnya.
Secara kumulatif maka teori ilmiah berkembang seperti piramida terbalik
yang makin lama makin tinggi. Di-perkirirakan ilmu berkembang dua
kali lipat tiap jangka waktu sepuluh tahun.22)
Ilmu juga bersifat konsisten karena penemuan yang satu didasarkan
kepada penemuan-penemuan sebelumnya. Sebenarnya hal ini tidak
seluruhnya benar karena sampai saat ini belum satu pun dari seluruh
disiplin keilmuan yang telah berhasil menyusun satu teori yang konsisten
dan menyeluruh. Bahkan dalam fisika. yang merupakan pro totipe bidang
keilmuan yang relatif paling maju, satu teori yang mencakup segenap dunia fisik kita belum dapat dirumuskan. Usaha untuk mempersatukan
seluruh konsep-konsep fisika dalam sebuah teori yang koheren sampai
sekarang belum berhasil d/lak-sanakan. "Ilmu tidak selalu sependapat,"
simpul Gilbert Highet, "bahkan dalam beberapa persoalan yang penting
tidak terdapat pertemuan, apalagi bersifat koheren."23)
Teori ilmiah masih merupakan penjelasan yang bersifat sebagian sesuai
dengan tahap perkembangan keilmuan yang masih sedang berjalan.
Demikian juga dalam Jalur perkembangan ini belum dapat dipastikan
bahwa kebenaran yang sekarang diterima oleh kalangan ilmiah akan
benar pula di masa yang akan datang. Sejarah ilmu telah mencatat betapa
banyak kebenaran ilmiah di masa lalu yang sekarang ini tidak dapat
diterima lagi karena manusia telah menemukan kebenaran lain yang
ternyata lebih dapat diandalkan. Sifat pragmatis dari ilmu inilah yang
sebenarnya merupakan kelebih-an'dan sekaligus kekurangan dari hakekat

ilmu. Sikap pragmatis dari ilmu adalah cocok dengan perkembangan


peradaban manusia di mana telah terbukti secara nyata peranan ilmu
dalam membangun peradaban tersebut. Ilmu, terlepas dari berbagai
kekurang-annya,

dapat

memberikan

jawaban

positif

terhadap

permasalahan yang dihadapi manusia pada suatu waktu tertentu.


Ilmu memandang kebenaran sebagai tujuan yang mungkin dapat dicapai
namun-tak pernah sepenuhnya tangkapan kita itu sampai. Seperti sebuah
asimtot maka leng-kungan kurva mencoba menjamah namun tak pernah
bersinggungan. Meskipun kita bersikap seobyektif mungkin namun
presepsi kita tidak pernah lepas dari faktor subyek-tivitas. Tiap langkah
kita dalam menemukan pengetahuan yang -benar selalu diintai oleh
kekeliruan. Seperti dikatakan oleh pujangga Hasan Mustapa. i4) manusia
itu jarang betulnya, kalau pun betul sekedar kebetulan; manusia itu
jarang salahnya, kalau pun salah sekedar kesalahan. Mungkin dalam
situasi seperti inilah maka menonjol sekali sikap moral dan intelektual
ilmuwan terhadap kebenaran. Kegiatan ilmuwan pada jiwa-nya
merupakan komitmen moral dan intelektual untuk mencoba mendekati
kebenaran dengan cara yang sejujur-jujurnya.25)
Dalam perspektif inilah maka penilaian terhadap ilmu tidaklah
ditentukan oleh kesahihan teorinya sepanjang zaman melainkan terletak
dalam kemampuan memberikan jawaban terhadap permasalahan manusia
dalam tahap peradaban tertentu. Merupakan fakta yang tak dapat
dipungkiri bahwa pada kurun masa kini kita mempergunakan berbagai
kemudahan yang dikembangkan oleh ilmu dan teknologi umpamanya
sarana angkutan seperti mobil dan pesawat terbang. Sarana angkutan
tersebut yang bersifat fungsional dalam kehidupan masa kini
dikembangkan berdasarkan pengetahuan ilmiah yang kebenarannya
diakui pada ini. Di kemudian hari mungkin saja harus diciptakan sarana
angkutan

lain

yang

memerlukan

teori

lain

pula

untuk

mengembangkannya. Sarana angkutan seperti yang dikhayalkan dalam


film Star Trek dimana zat ditransportasi-kan ke tempat lain dengan
merubahnya menjadi energi tentu saja membutuhkan teori-teori lain yang
sekarang dipelajari dan diterapkan dalam industri otomotif dan pesawat
terbang. Pada waktu itu mungkin kita telah meninggalkan teori-teori
yang dewasa ini kita anggap benar. Hal itu tidak perlu merisaukan kita

sebab teori-teori yang hidup sekarang inilah justru yang bersifat


fungsional dalam kehidupan kita. Banyak jenius yang buah pikirannya
mendahului zamannya, yang meskipun buah pikiran itu lebih maju dari
pengetahuan sebelumnya, ternyata harus menunggu saat yang tepat untuk
menja-dikan gagasannya itu bermanfaat. Seperti juga mengenakan baju
maka peradaban mengembangkan pengetahuan j-ang cocok untuk
zamannya.
Namun masalah ini menjadi sangat lain bila dihubungkan dengan hal-hal
yang bersifat asasi di mana manusia membutuhkan adanya kemutlakan
dan bukan sekedar kese-mentaraan yang bersifat reJatif. Dalam
mempertanyakan eksistensi dirinya, tujuan hidupnya serta berbagai hal
yang bersifat asasi lainnya maka manusia membutuhkan pe-gangan yang
lebih mantap: Dalam hal ini maka ilmu dengan segala atributnya tidak
dapat memberikan jalan ke luar dan manusia harus berpaling kepada
sumber lain yakni agama. Ilmu tidak berwenang menjawabnya sebab hal
ini berada di luar bidang pene-laahannya. Secara ontologis ilmu
membatasi diri hanya dalam ruang lingkup pengalaman manusia. Di luar
bidang empiris ilmu tidak bisa mengatakan apa-apa. Sedangkan dalam
batas kewenangannya inipun, ilmu bukan sesuatu tanpa cela, sebab
penalaran dan pancaindera manusia jauh dari sempuma. Kemajuan
manusia tidak bisa diukur hanya dengan perluasan pengetahuan kita,
berkata Daniel Boorstin, melainkan juga harus diukur dengan
bertambahnya

kesadaran

akan

ketidaktahuan

kita,

yang

akan

membuktikan berbagai kemungkinan yang sampai saat ini mungkin


belum terbayang-kan.26)
Demikian juga ilmu yang makin terspesialisasikan menyebabkan bidang
pengkajian suatu disiplin keilmuan makin sempit yang ditambah dengan
berbagai pembatasan dalam pengkajiannya seperti postulat, asumsi dan
prinsip membikin lingkup pengli-hatan keilmuan makin bertambah
sempit pula. Hal inilah yang menimbulkan gejala deformation
professionelle21) yakni perubahan bentuk sebuah ujud dilihat dari kacamata profesional. Bentuk yang bersifat artifisial ini berbeda dengan
kenyataan yang sebenarnya disebabkan keterbatasan ilmu dalam
menangkap sebuah ujud secara keseluruhan. Jadi pada hakekatnya
penglihatan ilmu bersifat sempit dan sektoral yang men-dorong manusia

untuk melakukan pendekatan multi-disipliner terhadap sebuah permasalahan. Pendekatan ini menyebabkan berkembangnya sarana berfikir
yang merupakan kerangka yang mengikat berbagai disiplin keilmuan
dalam melakukan penelaahan bersama diantaranya adalah cara berfikir
sistem,26) Berfikir menurut sistem ini bukan -lah disiplin keilmuan baru
melainkan sarana berfikir yang membantu proses pengkajian kita seperti
juga bahasa, logika, matematika dan statistika. Ketidakpuasan kita terhadap lingkup analisis keilmuan yang sempit dan sektoral janganlah
diarahkan untuk mengaburkan batas-batas disiplin keilmuan yang makin
lama memang makin terspesialisasikan melainkan dengan jalan
mengikatnya secara federatif dalam suatu pendekatan multi-disipliner.
Dengan demikian kita tidak mengembangkan teori keilmuan baru melainkan sarana-sarana berfikir baru. Spesialisasi, meminjam perkataan
William Barrett, adalah harga yang kita bayar untuk kemajuan
pengetahuan.29)

Pendekatan

sistem

yang

berkembang

menjadi

paradigma keilmuan setelah perang dunia II diharapkan oleh para


pengembangnya menjadi "kerangka keilmuan" (the skeleton of
science)30) yang mampu mengikat berbagai disiplin keilmuan.
Demikianlah kita telah melihat berbagai keterbatasan yang dipunyai ilmu
yang walaupun demikian kekurangan ini bukan merupakan alasan untuk
menolak eksistensi ilmu dalam kehidupan kita. Sebab terlepas dari segala
keterbatasannya ilmu merupakan pengetahuan yang telah menunjukkan
keampuhannya dalam membangun kemajuan peradaban seperti yang kita
lihat sekarang ini. Kekurangan dan kelebihan ilmu harus digunakan
sebagai pedoman untuk meletakkan ilmu dalam tempat yang sewajarnya,
sebab hanya dengan sikap itulah, kita dapat memanfaatkan kegunaannya
semaksimal mungkin bagi kemaslahatan manusia. Mengatasi segalahya
harus kita sadari bahwa ilmu hanyalah sekedar alat dan semuanya
tergantung kepada kita apakah kita mempergunakan alat itu dengan baik
atau tidak. Menolak kehadiran ilmu dengan picik berarti kita menutup
mata terhadap semua kemajuan masa kini di mana hampir semua aspek
kehidupan modern dipengaruhi oleh produk ilmu dan teknologi.
Sebaliknya dengan jalan mendewa-dewakan ilmu, hal ini menunjukkan
bahwa di sini pun kita gagal untuk mendapatkan pengertian mengenai
hakekat ilmu yang sesungguhnya. Mereka yang sungguh-sungguh

berihnu adalah mereka yang mengetahui kelebihan dan kekurangan ilmu,


di atas dasar itu mereka menerima ilmu sebagaimana adanya,
mencintainya dengan bijak-sana, serta menjadikan dia bagian dari
kepribadian dan kehidupannya. Bersama-sama pengetahuan lainnya, dan
bersama pelengkap kehidupan iainnya seperti seni dan agama, ilmu
melengkapi kehidupan dan memenuhkan kebahagiaan kita. Tanpa
kesadaran itu, maka kita hanya kembali kepada ketidaktahuan dan
kegersangan, seperti disyair-kan Byron dalam Manfred, di mana
pengetahuan tak membawa kita kebahagiaan dan ilmu sekedar bentuk
lain dari ketidaktahuan. . .31)

BAB IV
STRUKTUR PENGETAHUAN ILMIAH

Hipotesis atau teori yang prediksinya telah ternyata j itu menjadi bagian
dari khasanah ilmu. Kalau masukan baru ini memberikari penjelasan
yang lebih umum, atau sama cakup-annya tetapi lebih gamblang dan
gampang, daripada penje-lasan teori yang mendahuluinya, maka ia
menggeser kedu-dukan teori yang lama itu. Pada waktunya nanti ia
sendiri bisajuga tergusur dari khazanah ilmu itu, yakni bila keku-rangan
dan cacatnya menjadi kentara dalam terang penemuan experimental baru,
atau bila muncul teori tandingan yang lebih baik.
Kalau pada asasnya teori itu benar, maka data eksperimental baru atau
sorotan teoretis dari ilmuwan lain justru dapat dipakai untuk merevisi
teori tersebut. Pelintasan siklus hi-potetiko-dedukto-verifikatif secara
iteratif menghasilkan pe-ngetahuan ilmiah yang kadar kebenarannya
makin tinggi. Dan karena masukan baru juga lalu dipakai sebagai premis'
untuk mendeduksikan prediksi yang baru, dengan memadu-kannya
dengan hipotesis lain, maka secara kumulatif ilmu itu berkembang.
Secara deduktif-deterministik, induktif-probabilistik, fung-sional, atau
genetik, atau dengan kombinasi beberapa di antara dan bahkan mungkin
semua cara ini, ilmu menjelas-kan gejala-gejala alam. Penjelasan yang

lebih berguna untuk peramalan dan pengendalian adalah penjelasan yang


didasar-kan atas hukum-hukum kausal, bukan hubungan korelasio-nal.
Pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah merupakan
pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat keilmuan dan dengan
demikian dapat disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu. Seperti tampak
dalam pembahasan terdahulu, pengetahuan ilmiah ini diproses lewat
serangkaian langkah-langkah tertentu yang dilakukan dengan penuh kedisiplinan, dan dari karakteristik inilah maka ilmu seringdikbnotasikan
sebagai disiplin. Disiplin inilah yang memungkinkan ilmu berkembang
relatif lebih cepat bila dibanding-kan dengan pengetahuan-pengetahuan
lainnya. Ilmu dapat diibaratkan sebagai piramida terbalik di mana
penemuan pengetahuan ilmiah yang satu memungkinkan penemuan
pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang lainnya.
Sebuah hipotesis yang telah teruji secara formal diakui sebagai
pernyataan pengetahuan ilmiah yang baru yang memperkaya khasanah
ilmu yang telah ada. Sekira-nya pengetahuan ilmiah yang baru ini
kemudian ternyata salah, disebabkan kelengahan dalam salah satu
langkah dari proses penemuannya, maka cepat atau lambat kesalahan ini
akan diketahui dan pengetahuan ini akan dibuang dari khasanah
keilmuan. Metode ilmiah mempunyai mekanisme umpan balik yang
bersifat korektif yang memungkinkan upaya keilmuan menemukan
kesalahan yang mungkin diperbuatnya, Sebaliknya bila ternyata bahwa
sebuah pengetahuan ilmiah yang baru itu adalah benar, maka pernyataan
yang terkandung dalam pengetahuan ini dapat dipergunakan sebagai
premis baru dalam kerangka pemikiran yang menghasilkan hipotesishipotesis baru, yang; bila kemudian ternyata dibenarkan dalam proses
pengujian akan menghasilkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah baru
pula. Pada dasarnya ilmu dibangun secara bertahap dan se dikit demi
sedikit di mana para ilmuwan memberikan sumbangannya menunit
kemamy puannya. Tidaklah benar anggapan bahwa ilmu dikembangkan
hanya oleh para jenius saja yang bergerak dalam bidang keilmuan. Ilmu
secara kuantitatif dikembangkan oleh masyarakat keilmuan secara
keseluruhan, meskipun secara kualitatif beberapa orang jenius seperti
Newton atau Einstein, merumuskan landasan-landasan baru yang bersifat
mendasar.

Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan yang bersifat


menjelaskan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia
melakukan serangkaian tindakan untuk menguasai gejala tersebut
berdasarkan penjelasan yang ada. Sekiranya kita mengetahui bahwa
banjir disebabkan hutan yang ditebang sampai gundul, umpamanya,
maka penjelasan semacam ini akan memungkinkan kita melakukan
upaya untuk men-cegah timbulnya banjir. Penjelasan 'keilmuan
memungkinkan kita meramalkan apa yang akan terjadi dan berdasarkan
ramalan tersebut kita bisa melakukan upaya untuk mengontrol agar
ramalan itu menjadi kenyataan atau tidak. Pengetahuan tentang kaitan
antara hutan gundul dengan banjir memungkinkan kita untuk bisa
meramalkan apa yang akan terjadi sekiranya hutan-hutan terus ditebang
sampai tidak tumbuh lagi. Sekiranya kita tidak menginginkan timbulnya
banjir sebagaimana diramalkan oleh penjelasan tadi maka kita harus
melakukan kontrol agar hutan;hutan tidak dibiarkan menjadi gundul.
Demikian juga, jika kita mengetahui bahwa hutan-hutan tidak ditebang
sekiranya ada pengawasan, maka untuk mencegah banjir kita harus
melakukan kontrol agar kegiatan pengawasan dilakukan, agar dengan
demikian hutan dibiarkan tumbuh subur dan tidak mengakibatkan banjir.
Jadi pengetahuan ilmiah pada hakekatnya mempunyai tiga fungsi, yakni
menjelaskan, meramalkan dan mengontrol. Tantum possumus, ujar
Francis Bacon, quantum scimus! (Kita dapat melakukan sesuatu sebatas
yang kita tahu!).
Secara garis besar terdapat empat jenis pola penjelasan yakni deduktif,
probabilis-tik, fungsional atau teleologis, dan genetik.' ) Penjelasan
derfu&ft/mempergunakan cara berfikir deduktif dalam menjelaskan
suatu gejala dengan menarik kesimpulan secara logis dari premis-premis
yang telah ditetapkan sebelumnya. Penjelasan probabilistik merupakan
penjelasan yang ditarik secara induktif dari sejumlah kasus yang dengan
demikian tidak memberikan kepastian seperti penjelasan deduktif
melainkan penjelasan yang bersifat peluang seperti "kemUngkinan",
"kemungkinan besar" atau "hampir dapat dipastikan". Penjelasan
fungsional atau teleologis merupakan penjelasan yang me-letakkan
sebuah unsur dalam kaitannya dengan sistem secara keseluruhan yang
mempunyai karakteristik atau arah perkembangan tertentu. Penjelasan

genetik memperguna-kan faktor-faktor yang timbul sebelumnya dalam


menjelaskan gejala yang muncul ke mudian. Dalam mencari penjelasan
mengenai tingkah laku seorang dewasa umpamanya maka ilmu jiwa
memberikan penjelasan genetik dengan mengkaitkannya pada pengalaman orang tersebut sewaktu masih kanak-kanak. Tidak satu pun dari
pola-pola tersebut di atas yang mampu menjelaskan secara keseluruhan
suatu kajian keilmuan dan oleh sebab itu dipergunakan pola yang
berbeda untuk menjelaskan masalah yang berbeda pula.
Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan
mengenai suatu sektor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan.
Umpamanya dalam ilmu ekonomi dike-nal teori ekonomi makro dan
mikro sedangkan dalam fisika dikenal teori mekanika Newton dan teori
relativitas Einstein. Sebenarnya tujuan akhir dari tiap disiplin keilmuan
adalah mengembangkan sebuah teori keilmuan yang bersifat utuh dan
konsisten, namun hal ini baru dicapai oleh beberapa disiplin keilmuan
saja seperti umpamanya fisika. Fisika teoretis (theoretical physics)
merupakan

disiplin

keilmuan

yang

benar-benar

mencerminkan

penjelasan teoretis dari gejala-gejala fisik, namun bahkan disiplin


keilmuan seperti fisika teoretis ini pun, yang dapat dianggap sebagai
disiplin keilmuan yang termasuk paling maju, belum merupakan satu
teori yang utuh dan konsisten. Fisika teoretis terdiri dari berbagai teori
yang dikembangkan oleh Newton, Maxwell, Einstein, Schrodinger dan
ahli-ahli fisika lainnya; yang dalam sektornya masing-masing dapat
memberikan penjelasan teoretis secara ilmiah, namun secara keseluruhan
teori-teori tersebut belum mem bentuk sebuah teori yang utuh. Einstein
mencoba mengem-bangkan teori yang bersifat menyeluruh ini, namun
dia terburU meninggal sebelum upayanya berhasil. Seperti dalam teori
evolusi maka fisika masih mencari mata rantai yang hilang (missing link)
untuk dapat menyatukan keseluruhan teori-teori fisika yang ada.
Bila pada fisika saja keadaannya sudah seperti ini maka dapat
dibayangkan bagai-mana situasi perkembangan penjelasan teoretis pada
disiplin-disiplin keilmuan dalam bidang sosial. Ilmu sosial pada
kenyataannya terdiri dari berbagai teori yang tergagung dalam suatu
disiplin keilmuan yang satu sama lain belum membentuk suatu perspektif
teoretis yang bersifat umum. Teori-teori ini sering mempergunakan

postulat dan asumsi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Mungkin
inilah yang menyebabkan Max Planck menurut- majalah Playboy (sic!)
menganggap ekonomi itu sukar dan mengalihkan bidang studinya ke
fisika, sedangkan Bertrand. Russell berpendapat sebaliknya, ekonomi
baginya dianggap terlalu mudah yang menyebabkan dia beralih kepada
filsafat dan matematika.2
Sebuah teori biasanya terdiri dari hukum-hukum. Dalam teori ilmu
ekonomi mikro umpamanya kita mengenai hukum permintaan dan
penawaran: Bila permintaan naik sedangkan penawaran tetap maka harga
akan naik, bila penawaran naik sedangkan permintaan tetap maka harga
akan turun. Hukum pada hakekatnya merupakan pernya-taan yang
menyatakan hubungan antara dua variabel atau lebih dalam suatu kaitan
sebab akibat. Seperti dalam hukum ekonomi tersebut di atas maka dapat
dilihat hubungan sebab akibat antara permintaan, penawaran dan
pembentukan harga. Per-nyataan yang mencakup hubungan sebab akibat
ini, atau dengan perkataan lain hubungan kausalita, memungkinkan kita
untuk meramalkan apa yang akan terjadi sebagai akibat dari sebuah
sebab. Apa yang akan terjadi dalam pembentukan harga beras waktu
panen, umpamanya, akan dapat diramalkan dengan hukum ini.
Penawaran yang me-ningkat disebabkan banyaknya beras yang
ditawarkan oleh penjual pada waktu panen-an akan menyebabkan harga
beras menjadi turun bila permintaan konsumen terhadap beras pada
waktu itu adalah tetap. Sedangkan hal yang sebaliknya terjadi pada
waktu

paceklik

dimana

penawaran

yang

menurun

disebabkan

berkurangnya persediaan beras di pasaran akan menyebabkan harga


beras menjadi naik.
Sekiranya perubahan harga seperti ini tidak dikehendaki oleh kita maka
dapat dilakukan usaha untuk mengontrol pembentukan harga tersebut
agar lebih sesuai dengan kehendak kita. Umpamanya agar harga beras
pada waktu panen tidak menurun maka pemerintah dapat membeli beras
sebanyak-banyaknya, seperti apa yang sekarang dilakukan oleh Badan
Urusan Logistik Nasional (BULOG), sehingga keseimbangan antara
penawaran dan permintaan tidak terlalu niengalami perubahan. Hal yang
sama dilakukan oleh BULOG pada waktu paceklik dengan melakukan
"dropping" beras pada waktu penawaran beras di pasaran menjadi

menurun. Demikianlah dengan mengetahui hubungan permintaan dengan


penawaran maka kita dapat menjelaskan mekanisme pembentukan harga,
yang dengan berdasarkan penjelasan ini selanjutnya kita dapat
meramalkan terjadinya harga, dan berdasarkan ramalam ini kita dapat
melakukan upaya untuk mengontrol naik turunnya harga.
Secara mudah kita dapat mengatakan bahwa teori adalah pengetahuan
ilmiah yang memberikan penjelasan tentang "mengapa" suatu gejala
terjadi sedangkan hukum memberikan kemampuan kepada kita untuk
meramalkan tentang "apa" yang mungkin terjadi. Pengetahuan ilmiah
dalam bentuk teori dan hukum ini merupakan "alat" yang dapat kita
pergunakan untuk mengontrol gejala alam. Kebijaksanaan ekonomi yang
dilaksanakan BULOG dalam mempertahankan kestabilan harga beras
merupakan alat untuk mempertahankan kestabilan harga beras.
Pengetahuan ilmiah dalam bentuk teori dan hukum ini harus mempunyai
tingkat keumuman yang tinggi, atau secara idealnya, harus bersifat
universal. Sekiranya hukum permintaan dan penawaran hanya berlaku
buat padi dan terbatas di daerah Karawang saja, umpamanya,
pengetahuan semacam ini kurang fungsional sebagai teori ilmiah,
Pertama, karena ha! itu cuma berlaku untuk padi namun tidak untuk
hamburger atau televisi yang kesemuanya merupakan benda ekonomi.
Kedua, pernyataan itu hanya berlaku untuk daerah Karawang saja dan
tidak berlaku untuk daerah lain. Pengetahuan tentang "goyang karawang"
yang memang khas Karawang mungkin berguna dalam diskusi yang
tidak bersifat ilmiah, namun pengetahuan ilmiah tentang pembentukan
harga padi yang terbatas di daerah Karawang saja, kurang bersifat
fungsional. Namun hal ini jangan diartikan bahwa pengetahuan ilmiah
mengenai kasus pembentukan harga padi di daerah Karawang ini sama
sekali ada nilainya, yang penting untuk diingat adalah bahwa demi
kepraktisan ilmu tidak merupakan kumpulan pengetahuan yang bersifat
kasus, melainkan pengetahuan yang bersifat umum yang disimpulkan
dari berbagai-bagai kasus.
Dalam usaha mengembangkan tingkat keumuman yang lebih tinggi ini
maka dalam sejarah perkembangan ilmu kita melihat berbagai contoh di
mana teori-teori yang mempunyai tingkat keumuman yang lebih rendah
disatukan dalam suatu teori umum yang mampu mengikat keseluruhan

teori-teori tersebut. Sejarah perkembangan fisika umpamanya mengenai


teori tentang "jatuh bebas" yang didemonstrasikan oleh Galileo dengan
menjatuhkan dua benda yang berbeda beratnya dari Menara Pisa. Sampai
waktu itu orang masih percaya kepada teori Aristoteles yang menyatakan
bahwa benda yang lebih berat akan jatuh ke tanah dengan lebih cepat.
Galileo (1564 1642) dengan demonstrasinya yang bersifat teatrik
sekali pukul menjatuhkan teori Aristoteles yang tidak benar itu. Bendabenda, tanpa melihat beratnya, akan jatuh ke tanah dengan waktu yang
sama.
Copernicus (1473 1543) mengefmbangkan Teori baru bahwa bukan
matahari yang berputar mengelilingi bumi melainkan bumi mengelilingi
matahari. Teori ini merupakan perombakan terhadap teori lama yang
dikemukakan oleh Ptolemaeus (150 S.M.) dari Alexandria yang
mengemukakan bahwa bumi adalah pusat jagat raya dengan planetplanetlah yang berputar mengelilinginya dalam orbit-orbit yang
berbentuk lingkaran. Teori Copernicus ini kemudian disempurnakan oleh
Johannes Kepler (1571 1630), yang mendasarkan diri kepada data
yang dikumpulkan Tycho Brache (15461601) menyatakan pada tahun
1609 bahwa orbit planet-planet dalam mengelilingi matahari tidaklah
berbentuk lingkaran seperti apa yang dipercayai oleh Ptolemaeus
maupun Copernicus melainkan berbentuk ellips.

Akhirnya

Newton

(1642-1727)

pada

tahtin

1686

menerbitkan

Philosophiae Naturalis Prineipia Mathematica yang merupakan teori


yang mempersatukan teori Galileo, Copernicus dan Kepler. Teori
Newton menyatakan bahwa semua gerak, baik yang terjadi di langit atau
di bumi, tunduk kepada hukum-hukum yang sama, Dengan teori ini
maka Newton mengembangkan hukum-hukumnya sebagaimana* kita
kenal sekarang ini yang kita pelajari sejak kita duduk di sekolah lanjutan
pertama. Bahwa Newton berhasil menemukan teorinya yang bersifat
universal didasarkan kepada teori-teori sebelumnya yang bersifat sektoral
diakui oleh Newton sendiri yang menyatakan : "Jika saya mampu melihat
jauh maka hal ini karena saya berdiri di pundak para jenius terdahulu."3 )
Seperti kita ketahui dalam mempersatukan teori-teori fisika yang sudah
ditemU-kan sebelumnya Newton mengemukakan teori tentang daya tarik

atau gravitasi.Eplso-de yang terkenal mengisahkan Newton, waktu


sedang duduk di bawah pohon apel, melihat buah apel jatuh ke tanah.
Mengapa buah apel itu jatuh ke tanah, fikir Newton. Masalah ini
kemudian

dihubungkan

dengan

teorfGalileo

yang

menyatakan

bahwabuah nangka jauh lebih berat dari buah apel, bila terjaduh dari
ketinggian yang sama, akan menimpa tanah dalam waktu yang sama.
Mengapa hal itu terjadi demikian, sebab bila difikir sepintas lalu, kita
lebih mudah sependapat dengan pendapat Aristoteles yang menyatakan
bahwa buah nangka akan lebih cepat sampai ke tanah disebabkan buah
nangka lebih berat dari apel? Lalu mengapa benda-benda langit seperti
bumi dan matahari tidak jatuh seperti buah apel melainkan bergerak
dalam lintasan tertentu yang berbentuk orbit?
Sebelum Newton telah banyak manusia melihat buah apel jatuh, telah
banyak pula yang mempertanyakan mengapa buah apel jatuh, demikian
juga telah banyak manusia yang memberikan penjelasan mengapa buah
apel itu jatuh, namun baru seorang jenius yang bernama Newton itulah
yang menformulasikan sebuah teori tentang gravitasi yang menjelaskan
peristiwa tersebut dengan penjelasan yang bukan saja berlaku bagi apel,
namun juga bagi seluruh benda, baik yang berada di bumi maupun di
langit. Berdasarkan teori ini maka dapat disusun penjelasan yang
konsisten mengenai berbagai hal yang bersifat universal yang secara
keseluruhan membentuk suatu sistem teori keilmuan. Ilmu teoretis,
meminjam definisi Moritz Schlick, terdiri dari sebuah" sistem
pernyataan. 4) Sistem yang terdiri dari pernyataan-pernyataan agar
terpadu secara utuh dan konsisten jelas memerlukan konsep yang
mempersatukan dan konsep yang mempersatukan tersebut adalah teori.
Makin tinggi tingkat keumuman sebuah konsep maka makin "teoretis"
konsep tersebut. Pengertian teoretis di sini dikaitkan dengan gejala fisik
yang dijelaskan oleh konsep yang dimaksud; artinya makin teoretis
sebuah konsep maka seakan makin jauh pernyataan yang dikandungnya
bila dikaitkan dengan gejala fisik yang tampak nyata. Diibaratkan pohon
dengan akar maka bila makin tinggi tingkat keumuman yang ingin
dicapai oleh sebuah konsep yang dicerminkan dengan pohon, maka
makin dalam pula kita harus menjangkau akar. Kqnsep-konsep teoretis
seperti gravitasi dan medan elek-tromagnetik merupakan penjelasan yang

bersifat mendasar yang mampu mengikat berbagai gejala-gejala fisik


secara universal.
Konsep-konsep yang bersifat teoretis seperti contoh tersebut di atas
karena sifat-nya yang mendasar sering tidak langsung kentara kegunaan
praktisnya. Secara logis maka hal ini tidak sukar untuk dimengerti, sebab
makin teoretis sebuah konsep maka makin jauh pula kaitan langsung
konsep tersebut dengan gejala fisik yang nyata;pada-hal kehidupan kita
sehari-hari adalah berhubungan dengan gejala yang bersifat konkret
tersebut. Kegunaan praktis dari sebuah konsep yang bersifat teoretis baru
dapat dikembangkan sekiranya konsep yang bersifat mendasar tersebut
diterapkan pada masalah-masalah yang bersifat praktis. Dan dari
pengertian inilah kita sering mendengar konsep dasar dan konsep terapan
yang juga diwujudkan dalam bentuk ilmu dasar dan ilmu terapan serta.
penelitian dasar dan penelitian terapan.
Pengertian yang membedakan antara pernyataan yang bersifat dasar dan
terapan
" ini harus dimiliki dengan baik, sebab kalau tidak maka kita mungkin
melakukan pikhan yang baik untuk jangka pendek namun kurang baik
untukjangka panjang. Sering sekali
"umpamanya sebuah negara dalam kebijaksanaan pengembangan ilmu
dan teknologinya terlalu menitikberatkan kepada penelitian dan ilmu
terapan dengan melupakan pengembangan penelitian dan ilmu dasar.
Secara sepintas lalu hal ini memang meng-untungkan sebab penelitian
dan ilmu dasar secara langsung mempunyai manfaat praktis yang berupa
pemecahan-pemecahan masalah yang bersifat konkret. Namun kalau hal
ini dilihat dalam perspektif jangka panjang maka kemandekan dalam
pengembangan ilmu-ilmu dasar akan mempunyai pengaruh yang serius,
apalagi bila hal ini menyebabkan berkurangnya minat masyarakat untuk
mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Di Indonesia sendiri sudah terlihat
tanda-tanda mengenai stagnasi di bidang ilmu-ilmu dasar ini.
Dalam ilmu-ilmu sosial pada umumnya maka pengembangan hukumhukun ilmiah sukar sekali dilakukan dan "pada hakekatnya telah
ditinggalkan"

5).

Untuk

tujuan

meramalkan,

ilmu-ilmu

sosial

mempergunakah metode proyeksi, pendekatan struk-tural, analisis


kelembagaan atau tahap-tahap perkembangan.6) Kalau hal ini dikembali-

kan kepada hakekat manusia yang demikian kompleks dengan serbaneka


peranannya dalam masyarakat, serta variasi yang besar antara masyarakat
yang satu dengan masyarakat yang lain, maka geala ini adalah tidak
mengherankan. Namun hal ini tidaklah berarti bahwa metode ilmiah dari
ilmu-ilmu sosial berbeda dengan metode ilrrriah yang sama namun
dengan tahap penerapan dan teknik-teknik operasional yang berbeda.
Batu-batuan koral akan mempunyai karakteristik yang sama apakah dia
berada di Gunung Batu (BogOr) atau Rocky Mountain (USA), namun
yang jelas, tukang yang mengambil batunya akan berbeda. Demikian
juga teknik verifikasi untuk menentu-kan jenis batu-batuan apa yang ada
di Planet Mars akan berbeda dengan teknik verifikasi bahwa tukang
pengambil batu di Bogor adalah orang Jasinga.
Di samping hukum maka teori keilmuan juga mengenai kategori
pernyataan yang disebut prinsip. Prinsip dapat diartikan sebagai
pernyataan yang berlaku secara umum bagi sekelompok gejala-gejala
tertentu, yang mampu menjelaskan kejadian yang terjadi, umpamanya
saja hukum sebab akibat sebuah gejala. Dalam ilmu ekonomi kita mengenai prinsip ekonomi dan dalam fisika kita mengenai prinsip kekekalan
energi. Dengan prinsip-prinsip ini maka kita mampu menjelaskan
kejadian-kejadian yang terjadi dalam ilmu ekonomi dan fisika. Berbagai
kejadian ekonomi, yang dapat dirumuskan dalam berbagai hukum
pernyataan, pada dasarnya dilandasi oleh kegiatan ekonomis yang
menerapkan prinsip ekonomi, yakni mendapatkan keuntungan sebesarbesarnya dengan pengurbanan sekecil-kecilnya. 7) Dengan prinsip inilah
maka kita menjelaskan pengertian efisiensi dan megembangkan berbagai
teknik seperti analisis sistem dan riset operasi onal (operations research)
untuk meningkatkan efisiensi. Dengan mengetahui prinsip yang
mendasarinya, maka tidak sukar bagi mereka yang mempelajari teknikteknik tersebut yang bernaung dalam payung konsep sistem/untuk
memahami bukan saja penjelasan teknis namun sekaligus pengkajian
filsafati.
Beberapa disiplin keilmuan sering mengembangkan apa yang disebut
postulat dalam menyusun teorinya. Postulat merupakan asumsj dasar
yang kebenarannya kita terima tanpa dituntut pembuktiannya. Kebenaran
ilmiah pada hakekatnya harus disahkan lewat sebuah proses yang disebut

metode keilmuan. Postulat ilmiah ditetap-kan tanpa melalui prosedur ini


melainkan ditetapkan secara begitu saja. Secara Jfilsafati sebenamya
eksistensi postulat ini tidak sukar untuk dimengerti, mengapa
kehadirannya menyimpang dari prosedur yang ada, sebab bukanlah
sebuah argumentasi harus di-dasarkan kepada sesuatu? Seperti kita ingin
mengelilingi sebuah lingkaran maka kita harus mulai dari sebuah titik;
dan postulat adalah ibarat titik dalam lingkaran yang* eksistensinya kita
tetapkan secara sebarang. *)
Walaupun demikian mesti terdapat alasan yang kuat dalam menetapkan
sebuah postulat. Seperti kita memilih dari, titik mana kita akan mulai
mengelilingi sebuah lingkaran tentu saja kita mempunyai alasan
mengapa kita mulai dari titik B dan bukan dari titik A. Namun sebagai
postulat maka kita tidak membuktikan bahwa titik B adalah benar dan
titik A adalah salah, melainkan sekedar menjelaskan bahwa sekiranya
kita mulai dari titik A yang kebetulan koordinatnya membentuk sudur
nol derajat dengan sumbu vertikal lingkaran, maka kita akan berhenti
pada sebuah titik tertentu yang letaknya adalah di Utara bila dilihat dari
pusat lingkaran. Tentu saja sekiranya kita mulai dari titik yang lain maka
kita kan berakhir pada titik yang berbeda pula. Dapat disimpulkan bahwa
pada hakekatnya postulat merupakan anggapan yang ditetapkan secara
sebarang dengan kebenarannya yang tidak dibuktikan. Sebuah postulat
dapat diterima sekiranya ramalan yang bertumpii kepada postulat
kebenarannya dapat dibuktikan.
Bila Postulat dalam mengajukannya tidak memerlukan bukti tentang
kebenarannya maka hal ini berlainan dengan asumsi yang harus
ditetapkan dalam sebuah argumentasi ilmiah. Asumsi harus merupakan
pernyataan yang kebenarannya secara empiris dapat diuji. Sebagai
contoh umpamanya kita dapat mengambil cara orang mengemudikan mobil di jalan raya. Sekiranya orang itu beranggapan bahwa keadaan
jalan raya pada waktu pagi buta adalah aman disebabkan jarangnya
kendaraan yang lalu lalang, maka kemungkinan besar orang itu akan
mengendarai mobilnya secara kurang berhati-hati, toh asumsinya bahwa
jalanan adalah aman bukan? Sebaliknya mungkin juga terdapat orang
lain yang mempunyai pendapat yang berbeda. Menurut penilaian dia
justruada pagi butalan keadaan jalanan adalah sangat tidak aman

disebabkan banyak-nya orang yang mengendarai mobilnya secara


sembrono. Oleh sebab itu maka dia memilih cara mengendarai mobil
yang sangat berhati-hati sebab asumsinya bahwa keadaan jalan raya
adalah tidak aman. Itulah sebabnya maka asumsi ini harus dibuktikan
kebenarannya sebab dengan asumsi yang tidak benar kita akan memilih
cara yang tidak benar pula.**) Sebuah teori yang berlaku di negara
tertentu belum tentu cocok untuk negara lain sekiranya asumsi tentang
manusia dalam teori tersebut umpamanya tidak berlaku. Demikian juga
dengan bermacam-macam teori lainnya yang tersedia dalara khasanah
pengetahuan ilmiah. Kita harus^ memilih teori yang terbaik dari
sejumlah teori-teori yang ada berdasarkan kecocokan asumsi yang
dipergunakannya. Itulah sebabnya maka dalam pengkajian ilmiah seperti
penelitian dituntut untuk menyatakan secara tersurat polstulat, asumsi,
prinsip serta dasar-dasar fikiran lainnya yang diper-gunakan dalam
mengembangkan artumeniasi. Seorang yang mempunyai prinsip "biar
ngebut asal yahut" tentu saja akan berbeda sekali jalan fikiran dan pola
tindakannya dengan seorang yang berpinsip "biar lambat asal selamat".
Bukankah adalah tidak tepat menerapkan prinsip '.berani karena benar"
menghadapi bis kota yang secara serampangan membabat?
Pada awal perkembangan ilmu ketika listrik masih sekedar merupakan
keanehan yang dipertunjukkan dalam sirkus, ada orang yang bertanya
kepada Michael Faraday: "Apakah gunanya listrik?" Menghadapi
pertanyaan ini maka Faraday ballk bertanya: "Apakah gunanya bayi?"
Me'mang beberapa teori yang sifatnya mendasar tidak mempunyai
kegunaan praktis secara langsung. Baru setelah teori tersebut diterapkan
kepada masalah-masalah praktis maka dapat dirasakan manfaatnya.
Penelitian yang bertujuan untuk menemukan pengetahuan baru yang
sebelumnya belum pernah diketahui dinamakan penelitian murni atau
penelitian

dasar.

Sedangkan

penelitian

yang

bertujuan

untuk

mempergunakan pengetahuan ilmian yang telah diketahui untuk


memecahkan masalah kehidupan yang bersifat praktis dinamakan
penelitian terapan. Dengan menguasai pengetahuan ini maka manusia
mengembangkan teknologi atau peralatan yang berfungsi sebagai sarana
yang memberi kemudahan dalam berkehidupannya.

Diperlukan waktu yang cukup lama untuk dapat menerapkan penemuanpenemu-an ilmiah yang baru kepada pemanfaatan yang berguna.
Terdapat selang waktu selama 250 tahun antara percobaan yang pertama
tentang magnet oleh William Gilbert dengan dikembangkannya teori
elektromagnetik oleh James Clerk Maxwell sekitar tahun 1870.
Kemudian terdapat jangka waktu selama 50 tahun sebelum percobaan
Michael Farady tentang kawat yang menghantar arus listrik dapat
dimanfaatkan secara komersil dalam pembuatan dinamo dan motor.
Penemuan Henri Becquerel tentang sinarX baru dapat ditetapkan
dalam praktek setelah 25 tahun kemudian. Sedangkan proses
pembelatoan atom (nuclear fission) baru dapat dilakukan 11 tahun
kemudian setelah teorinya difor-mulasikan. Dan tujuh tahun setelah
ditemukan kemungkinan pembuatan bom atom maka pada tahun 1945
dijatuhkannya dua bom atom yang pertama di Nagasaki dan Hiroshima
yang membuka babakan baru dalam peradaban manusia. ,0) Terdapat
selang waktu yang makin lama makin pendek antara penemuan suatu
teori ilmiah dengan penerapannya kepada masalah-masalah yang bersifat
praktis. Dengan demikian maka makin cepat manusia mengembangkan
teknologi yang pada satu pihak ibarat dewi penolong yang penuh dengan
berkat sedangkan di pihak lain, meminjam perkata-an Azyumardi Azra,
adalah "fasisme dengan senyuman".11) Penerapan ilmu dalam teknologi
memang tidak selalu merupakan rahmat bagi manusia sebab di samping
dapat dipergunakan untuk tujuan destruktif juga menimbulkan implikasi
moral, sosial dan kultural.
Manusia disebut juga Homo faber (mahluk yang membuat peralatan) di
samping Homo sapiens (mahluk yang berfikir) yang mencerminkan
kaitan antara pengetahuan yang bersifat teoretis dengan teknologi yang
bersifat praktis. Berbeda dengan pengetahuan lainnya seperti sen! yang
bersifat estetis maka ilmu adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh
manusia untuk memecahkan masalah-masalah praktis dalam kehidupannya. Meskipun pada tahap embrional pengembangan ilmu pun
pernah bersifat estetis, namun dengan perkembangannya ke arah
kedewasaannya serta kemampu-an idang penerapannya, maka ilmu harus
dibedakan dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya terutama dari segi
kemampuannya untuk memecahkan masalah. Menarik sekali dalam

kesempatan ini untuk menggarisbawahi pendapat yang dikemukakan


seniman Mochtar Lubis bahwa persamaan dan perbedaan antara ilmu dan
seni patut diketahui dengan seksama dalam rartgka meningkatkari sikap
ilmiah bangsa Indonesia mengingat sikap kita yang masih berorientasi
kepada nilai estetis. 1 2 ) Dalam buku Nitisastra, yang diperkirakan
Profesor Poerbacaraka ditulis pada akhir zaman Majapahit, disebutkan,.
bahwa salah satu musuh bagi orang muda dalam menuntut ilmu adalah
"gila asmara".13) Camkanlah anak muda! sebab pun menurut Bascal,
hati mempunyai logika tersendiri: tidak selalu satu tambah satu jadi dua,
terutama ini berlaku bagi mereka yang belum mengikuti keluarga
berencana. 14)

BAB V BAHASA

Manusia

dapat

abstrak

karena

manusia

dapat

berfikir

dengan

kemampuannya
berfikir

secara

baik

dan

berbahasa.
berlanjut,

bahkan
Berkat

teratur

dan

secara
bahai'a,
siste-

matis. Pada dasamya bahasa mempunyai tigafungsi, yakni fungsi-fungsi


simbolik, emotif dan afektif. Dalam komunikasi keilmuan, fungsi
simbolik-lah yang perlu diusahakan me-nonjol, antara lain lewat
penggunaan tata-istilah yang khas dan spesifik maknanya, dan gaya yang
ringkas-jelas. !
v Perbedaan utama antara manusia dari binatang terletak pada
kemampuan manusia untuk mengambil jalan melingkar dalam mencapai
tujuannya. Seluruh fikiran binatang dipenuhi oleh kebutuhan yang
mendorongnya untuk secara langsung memperoleh obyek yang
diinginkannya atau membuang benda yang menghalanginya. Dengan
demikian sering kita melihat seekor monyet yang menjangkau secara siasia benda yang dia inginkan; sedangkan manusia yang paling primitif
pun telah tahu mempergunakan bahdringan, laso atau melempar dengan
batu.1) Manusia sering disebut sebagai Homo faber: mahluk yang
membuat alat; dan kemampuan membuat alat itu dimungkinkan oleh
pengetahuan. Berkembangnya pengetahuan tersebut juga memerlukan
alat-alat.
Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik diperlukan sarana berfikir.
Terse-dianya sarana tersebut memungkinkan diiakukannya penelaahan
ilmiah secara teratur dan cermat. Penguasaan sarana berfikir ilmiah ini
merupakan suatu hal yang bersifat imperatif bagi seorang ilmuwan.

Tanpa menguasai hal ini maka kegiatan ilmiah yang baik tak dapat
dilakukan.
Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan
ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuhnya. Pada langkah
tertentu biasanva dioer-lukan sarana yang tertentu pula. Oleh sebab itu
maka sebelum mempelajari sarana-sarana berfikir ilmiah ini seyogyanya
kita telah menguasai langkah-langkah dalam kegiatan ilmiah tersebut.
Dengan jalan ini maka kita akan sampai pada hakekat sarana yang
sebenamya, sebab sarana merupakan alat yang membantu kita dalam
mencapai suatu tujuan tertentu; atau dengan perkataan lain, sarana ilmiah
mempunyai fungsi-fungsi yang khas dalam kaitan kegiatan ilmiah secara
menyeluruh.
Sarana berfikir ilmiah ini, dalam proses pendidikan kita, merupakan
bidang

studi

tersendiri.

Artinya

kita

mempelajari

sarana

'berfikir^^ilrnialiini seperti kita mempelajari berbagai cabang ilmu.


Dalam hal ini kita harus memperhatikan dua hal. Pertama, sarana ilmiah
bukan merupakan ilmu dalam pengertian bahwa sarana ilmiah itu
merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode
ilmiah. Seperti diketahui, salah satu karakteristik dari ilmu umpamanya
adalah penggunaan berfikir induktif dan deduktif dalam mendapatkan
pengetahuan. Sarana berfikir ilmiah tidak mempergunakan cara ini dalam
mendapatkan pengetahuannya. Secara lebih tuntas dapat dikatakan
bahwa sarana berfikir ilmiah mempunyai metode tersendiri dalam mendapatkan pengetahuannya, yang berbeda dengan metode ilmiah. Kedua,
tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita
melakukan penelaahan ilmiah secara baik, sedangkan tujuan mempelajari
ilmu

dimaksudkan

untuk

mendapatkan

pengetahuan

yang

memungkinkan kita untuk bisa memecahkan masalah kita sehari-hari.


Dalam hal ini maka sarana berfikir ilmiah merupakan alat^bagi cabangcabang pengetahuan untuk- mengembaftgkan materi pengetahuannya
berdasarkan metode ilmiah. Atau secara lebih sederhana, sarana berfikir
ilmiah merupakan alat bagi metode ilmiah dalam melakukan fungsinya
secara baik. Jelaslah sekarang kiranya mengapa.sarana berfikir ilmiah
mempunyai metode. tersendiri yang berbeda dengan metode ilmiah
dalam mendapatkan pengetahuannya; fungsi sarana ilmiah adalah

membantu proses metode ilmiah, dan ia bukan merupakan ilmu itu


sendiri.
Untuk dapat melakukan kegiatan berfikir ilmiah dengan baik maka
diperlukan sarana yang berupa bahasa, logika, matematika dan statistika.
Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh
proses berfikir ilmiah di mana bahasa merupakan alat berfikir dan alat
komunikasi untuk menyampaikan jalan fikiran terse-bu kepada orang
lain. Ditinjau dari pola berfikirnya maka ilmu merupakan gabungan
antara berfikir deduktif dan berfikir induktif. Untuk itu maka penalaran
ilmiah me-nyandarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika
induktif. Matematika mempunyai peranan yang penting dalam berfikir
deduktif ini sedangkan statistika mempunyai peranan penting dalam
berfikir induktif. Proses pengujian dalam kegiatan ilmiah mengharuskan
kita menguasai metode penelitian ilmiah yang pada hakekatnya merupakan pengumpulan fakta untuk mendukung atau menolak hipotesis yang
diajukan. Kemampuan berfikir ilmiah yang baik harus didukung oleh
penguasaan sarana berfikir ini dengan baik pula. Salah satu langkah ke
arah penguasaan itu adalah mengetahui dengan benar peranan masingmasing sarana berfikir tersebut dalam keseluruhan proses berfikir ilmiah
tersebut.
Berdasarkan pemikiran ini maka tidak sukar untuk dimengerti mengapa
mutu kegiatan keilmuan tidak mencapai taraf yang memuaskan sekiranya
sarana berfikir ilmiah-nya memang kurang dikuasai. Bagaimana
mungkin seseorang bisa melakukan penalaran yang cermat tanpa
menguasai struktur bahasa yang tepat? Demikian juga bagaimana
seseorang bisa melakukan geheralisasi tanpa menguasai statistika?
Memang betul tidak semua masalah membutuhkan analisis statistis,
namun hal ini bukan berarti, bahwa kita tidak peduli terhadap statistika
sama sekali dan berpaling kepada cara-cara yang justru tidak bersifat
ilmiah. Sering kita melakukan rasionalisasi untuk membela kekurangan
kita; atau bahkan kompensasi, seperti dikatakan Kemeny, dengan
menggunakan kata-kata muluk untuk menutup ketidaktahuan.2) Untuk
seorang tiran maka dalih apa pun jadilah, demikianlah menurut dbngeng
Aesop tentang Serigala dan Anak Domba. Dan untuk tiran yang bernama

kebodohan, memang tidak ada penalaran yang lebih mudah selain


berdalih. Logis, 'kan?
Bahasa
Dapatkah anda bayangkan seandainya binatang dapat berbicara seperti
manusia?
Jika si Didi sedang memakan pisang, maka monyet si Didi tidak sekedar
cuma mengernyit-ngernyitkan dahinya dalam frustasi, melainkan dengan
lantang akan berkata: "Bagi-bagi dong, Di, pisangnya!"3) Dan bukan
cuma berhenti di situ saja, dia pun mungkin akan belajar menanam
pisang itu sendiri, sebab dengan menguasai bahasa maka dia akan
menguasai pengetahuan. Mungkin tak ada yang lebih menyadari
kebenaran pernyataan Wittgenstein selain monyet si Didi: "Die Grenzen
meiner Sprache bedeuten die Grenzen meiner Welt. (batas bahasaku
adalah batas duniaku)).
Keunikan manusia sebenarnya bukanlah terletak pada kemampuan
berfikirnya, melainkan terletak pada kemampuannya berbahasa. Dalam
hal ini maka Ernst Cassirer menyebut manusia sebagai Animal
symbolicum, mahluk yang mempergunakan sim-boi, yang secara generik
mempunyai cakupan yang lebih luas dari pada Homo sapiens yakni
mahluk yang berfikir, sebab dalam kegiatan berfikirnya manusia
mempergunakan simbol.5) Tanpa mempunyai kemampuan berbahasa ini
maka kegiatan berfikir secara sistematis dan teratur tidak mungkin dapat
dilakukan. Lebih lanjut lagi, tanpa kemampuan berbahasa ini maka
manusia tak mungkin mengembangkan kebudayaannya, sebab tanpa
mempunyai bahasa maka hilang pulalah kemampuan untuk meneruskan
nilai-nilai budaya dari generasi yang satu kepada generasi selanjutnya.
"Tanpa bahasa", simpul Aldous Huxley, "manusia tak berbeda dengan
anjing atau monyet."6)
Manusia dapat berfikir dengan baik karena dia mempunyai bahasa.
Tanpa bahasa maka manusia tidak akan dapat berfikir secara rumit dan
abstrak seperti apa yang kita lakukan dalam kegiatan ilmiah. Demikian
juga tanpa bahasa maka kita tak dapat meng-komunikasikan pengetahuan
kita kepada orang lain. Binatang tidak diberkahi dengan bahasa yang
sempurna sebagaimana kita miliki, oleh sebab itu maka binatang tidak
dapat berfikir dengan baik dan mengakumuiasikan pengetahuannya lewat

proses komunikasi seperti kita mengembangkan ilmu. "Mungkin saja


terdapat genius diantara para gorila," sambung Aldous Huxley, "tetapi
karena mereka tidak mempunyai bahasa maka buah fikiran dan
penemuan genius itu tidak tercatat dan hilang begitu saja."7)
Bahasa memungkinkan manusia berfikir secara abstrak di mana obyekobyek yang faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol bahasa
yang bersifat abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia
dapat berfikir mengenai sesuatu obyek tertentu meskipun obyek tersebut
secara faktual tidak berada di tempat di mana kegiatan berfikir itu
dilakukan. Binatang mampu berkomunikasi dengan binatang lainnya
namun hal ini terbatas selama obyek yang dikomunikasikan itu berada
secara faktual waktu proses komunikasi itu dilakukan. Tanpa kehadiran
obyek secara faktual maka komunikasi tidak bisa dilaksanakan.
Adanya simbol bahasa yang bersifat abstrak ini memungkinkan manusia
untuk memikirkan sesuatu secara berlanjut. Demikian juga bahasa
memberikan kemampuan untuk berfikir secara teratur dan sistematis.
Transformasi obyek faktual menjadi simbol abstrak diwujudkan lewat
perbendaharaan kata-kata dan kata-kata ini dirangkaian oleh tata bahasa
untuk mengemukakan suatu jalan pemikiran atau ekspresi peranan.
Kedua aspek bahasa ini yakni aspek informatif dan emotif, tercermin
dalam bahasa yang kita pergunakan. Artinya, kalau kita beribcara maka
pada hakekatnya informasi yang kita sampaikan mengandung unsurunsur emotif, demikian juga kalau kita menyampaikan perasaan maka
ekspresi itu mengandung unsur-unsur informatif. Kadang-kadang hal ini
dapat dipisahkan dengan jelas seperti "musik dapat dianggap sebagai
bentuk bahasa, di mana emosi terbebas dari informasi, sedangkan buku
tilpon memberikan kita informasi sama sekali tanpa emosi."8)
Kalau kita telaah lebih lanjut maka bahasa mengkomunikasikan tiga hal
yakni buah fikiran, perasaan, dan sikap. Atau seperti dinyata'kan oleh
Kneller bahasa dalam kehidupan manusia mempunyai fungsi simbolik,
emotif, dan afektif.9) Fungsi simbolik bahasa menonjol dalam
komunikasi ilmiah, sedangkan fungsi emotif menonjol dalam komunikasi
estetik. Komunikasi dengan mempergunakan bahasa akan mengandung
unsur simbolik dan emotif ini. Dalam komunikasi ilmiah sebenamya
proses komunikasi itu harus terbebas dari unsur emotif ini, agar pesan

yang disampaikan bisa diterima secara reproduktif, artinya identik


dengan pesan yang dikirimkan. Namun dalam prak-teknya hal ini sukar
untuk dilaksanakan kecuali informasi yang terdapat dalam buku petunjuk
tilpon. Inilah yang merupakan salah satu kelemahan bahasa sebagai
sarana komunikasi ilmiah di mana menurut Kemeny bahasa mempunyai
kecenderungan emo-sional.10)
Apakah Sebenarnya Bahasa?
Pertarr.a-tama bahasa dapat kita cirikan sebagai serangkaian bunyi.
Dalam hal ini kita mempergunakan bunyi sebagai alat untuk
berkomunikasi.

Sebenarnya

kita

bisa

berkomunikasi

dengan

mempergunakan alat-alat lain umpamanya saja dengan memakai


berbagai

isyarat.

Manusia

mempergunakan

bunyi

sebagai

alat

komunikasi yang paling utarna. Tentu saja, mereka yang tidak


dianugerahi

kemampuan

be'rsuara,'

harus

mempergunakan

alat

komunikasi yang lain, seperti kita lihat pada mereka yang bisu.
Komunikasi dengan mempergunakan bunyi ini dikatakan juga sebagai
komunikasi verbal, dan manusia yang bermasyarakat dengan alat
komunikasi bunyi, disebut juga sebagai masyarakat verbal.
Kedua bahasa merupakan lambang di mana rangkaian bunyi ini mem
bentuk suatu arti tertentu. Rangkaian bunyi yang kita kenal sebagai kata
melambangkan suatu obyek tertentu umpamanya saja gunung atau seekor
burung merpati. Perkataan 'gunung' dan "burung merpati" sebenarnya
merupakan lambang yang kita berikan kepada dua obyek tersebut.
Kiranya patut disadari bahwa kita memberikan lambang kepada dua
obyek tadi secara begitu saja, di mana tiap bangsa dengan bahasanya
yang berbeda, memberikan lambang yang berbeda pula. Bagi kita obyek
tersebut kita lambangkan dengan bunyi "gunung" sedangkan bagi bangsa
lain dilambangkan dengan "mountain" dalam bahasa Inggris atau "jabal"
dalam bahasa Arab. Demikian juga dengan "merpati" yang berubah
menjadi "dove" dalam bahasa Inggris dan "japati" dalam bahasa Sunda.
Manusia mengumpulkan lambang-lambang ini dan menyusun apa yang
kita kenal sebagai perbendaharaan kata-kata. Perbendaharaan ini pada
hakekatnya merupakan akumulasi pengalaman dan pemikiran mereka.
Artinya dengan perbendaharaan kata-kata yang mereka punyai maka
manusia dapat mengkomunikasikan segenap pengalaman dan pemikiran

mereka. Perkataan "sputnik" atau "laser" belum ada pada perbendaharaan


kata-kata nenek moyang kita, sebab pemikiran mereka waktu itu belum
sampai ke sana. Perkataan ini baru akhir-akhir ini saja melengkapi
perbendaharaan kata-kata kita. Demikian juga dengan perkataan
"asoy"dan "slebor"; perkataan ini muncul untuk melambangkan suatu
pengalaman tertentu, yang terutama dialami oleh orang muda.
Inilah yang menyebabkan bahasa terus berkembang yakni karena
disebabkan pengalaman dan pemikiran manusia yang juga berkembang.
Bahasa diperkaya oleh seluruh lapisan masyarakat yang mempergunakan
bahasa tersebut; para ilmuwan, pendi* dik, ahli politik, remaja dan
bahkan tukang copet. Lucu memang, namun itulah kenya-taannya, tiap
profesi, bahkan copet sekalipun, mengembangkan bahasa yang khas
untuk kelompoknya. Yang paling menonjol biasanya adalah para remaja
yang memperkaya perbendaharaan bahasa dengan semangat mereka yang
kreatif dan lugu.
Adanya lambang-lambang ini memungkinkan manusia berfikir.dan
belajar dengan lebih baik. Sekiranya kita tidak mempunyai perkataan
'gunung' dan 'merpati', jika saya ingin mengatakan kepada seseorang :
"Ada seekor merpati di tepi gunung," maka saya harus membawa orang
tersebut kepada obyek yang dilambangkan dengan 'gunung' dan 'merpati'
itu. Jelas hal ini sangat merepotkan, meskipun pekerjaan itu masih bisa
dilakukan. Bagaimana sekiranya saya ingin mengkomunikasikan :
"Gunung berapi meletus" atau "Mahluk Yeti hidup di puncak Gunung
Himalaya" apalagi bila saya ingin berkata: "Bumi ini diciptakan Tuhan"
atau "Sesudah mati kita akan hidup lagi di hari kemudian."
Adanya bahasa ini memungkinkan kita untuk memikirkan sesuatu dalam
benak kepala kita, meskipun obyek yang sedang kita pikirkan tersebut
tidak berada di dekat kita. Di karrfar kecil kita bisa memikirkan soal
ah'abar, atau merencanakan apa yang akan kita lakukan setelah makan
malam nanti. Manusia dengan kemampuannya berbahasa dimungkinkan
untuk memikirkan sesuatu masalah secara terus-menerus. Lain pula
dengan binatang, karena mereka tidak mempunyai bahasa seperti apa
yang kita punyai, maka mereka baru bisa berfikir jika obyek itu berada di
depan matanya. Jika seekor tikus melihat makanan di atas meja baru dia
mulai berfikir, apakah dia akan mencoba mengambil makanan itu atau

tidak, jika ya lalu bagaimana caranya. Demikian juga seekor tikus kalau
melihat kucing maka biasanya dia akan lari. Bagaimana dia tahu bahwa
kucing itu berbahaya? Dari pengalaman atau sesamanya tentu saja, dan
bahkan pun seekor tikus sampai tahap tertentu mengajar anaknya.
Perbedaan pendidikan antara manusia dengan binatang terutama terletak
dalam tujuannya : manusia belajar agar berbudaya sedangkan binatang
belajar untuk mempertahankan jenisnya. Karena tikus tidak mempunyai
bahasa seperti kita, maka seekor ibu tikus tidak bisa mengajar anaknya di
depan papan tulis, atau bercerita sambil meninabobo-kannya. Dia.harus
membawa anaknya kepada seekor kucing dan menunjukkan pada waktu
itu juga bahwa mahluk itu berbahaya.
Jadi dengan bahasa bukan saja manusia dapat berfikir secara teratur
namun juga dapat mengkomunikasikan apa yang sedang dia fikirkan
kepada orang lain. Namun bukan itu saja, dengan bahasa kita pun dapat
mengekspresikan sikap dan perasaan kita. Seorang bayi bila dia sudah
kenyang dan hatinya pun sangat senang. dia mulai membuka suara.
Tidak terlalu enak memang, tapi tidak apa, sebab kalau dia mulai besar
kelak dan sudah belajar do-re-mi-fa-sol, bunyi yang dihasilkannya
mungkin akan jauh lebih menyenangkan. Lewat seni suara dia akan
mengekspresikan perasaannya, kedukaan, dan kesukaan, lewat liku nada
dan

kata-kata.

Seorang

yang

berbakat

sastra

mungkin

akan

mengekspresikan perasaannya dengan cara lain, menulis novel yang tebal


yang mencakup puluhan ribu kaliinat, atau menulis puisi yang terdiri dari
beberapa bait.
Dengan adanya bahasa maka manusia hidup dalam dunia yakni dunia
pengalaman yang nyata dan dunia simbolik yang dinyatakan dengan
bahasa. Berbeda dengan binatang maka manusia mencoba mengatur
pengalaman yang nyata ini dengan bcrorientasi kepada dunia simbolik.
Bila binatang hidup menurut naluri mereka. dan hidup dari waktu ke
waktu berdasarkan fluktuasi biologis dan fisiologis mereka. maka
manusia mencoba menguasai semua ini, Pengalaman mengajarkan
kepada manusia bahwa hidup seperti ini kurang bisa diandalkan di
manaeksistensi hidupnya sangat tergantung kepada faktor-faktor yang
sukar dikontrol dan diramalkan. Manusia mempunyai pegangan yang
mengajarkannya agar mengekang hawa nafsunya dan tidak mengikutinya

seperti kuda tanpa kendali. Menurut Sigmund Freud, kebudayaan


membentuk manusia dengan menekan dorongan-dorongan alami mereka,
mensublimasikannya menjadi sesuatu yang berbudaya yang kemudian
merupakan dasar bagi pembentukan kebudayaan.11) Kebudayaan
mempunyai landasan-landasan etika yang menyatakan mana tindakan
yang baik dan'mana yang tidak. Manusia yang sedang diamuk gejala
kemarah-an, sebelum terlanjur menuruti hawa nafsunya, mau tidak maau
akan mendengar suara yang mengandung amanat moral: "Jangan!
Membunuh itu tidak baik!" Demikian juga sekiranya kelelahan fisik
merupakan penghalang bagi usaha mereka, atau ekses hormonal
mengurangi semangat hidup mereka, manusia mempunyai penuntun
yang mengatakan: "Kau harus tetap bersikeras sebab itulah yang lebih
baik bagi kita." Dalam hal ini maka manusia akan tetap berusaha, sedang
binatang sepenuhnya dikuasai proses fisiologis mereka.
Demikian juga hidup dalam dunia fisik yang kejam dan sukar diramalkan
maka manusia bangkit dan melawannya. Manusia lalu mengembangkan
pengetahuan

untuk

menguasainya:

tanah

diolahnya,

belantara

ditebangnya, air dan iklim dikuasai dan di-manfaatkannya. Lewat


pengetahuan ini maka manusia menjadi penguasa dunia. Mereka
mencoba mengerti semua gejala yang dihadapinya dan membuahkan
pengetahuan

yang

memberikan

penjelasan

kepadanya.

Berbekal

pengetahuan ini maka manusia tidak takut lagi terhadap alam. Mereka
menguasai alam karena mereka mengetahui rahasia-nya. Alam tidak lagi
berrahasia dengan ujud fisik yang menakutkan seperti kilat yang
menyambar-nyambar dan jeram yang menggelegar. Lewat bahasa
manusia menyusun sandi-sandi yang membuka rahasia alam dalam
berbagai teori seperti elektronika, ther-modinamika, relativitas, dan
quantum. "Pengetahuan adalah kekuasaan," seru Francis Bacon, dan
dengar kekuasaan ini manusia mencoba mengerti hidupnya. Manusia
tidak mau lagi dikuasai alam, dia bangkit dan menguasainya.
Di samping pengetahuan manusia mencoba memberi arti kepada semua
gejala fisik yang dialaminya. Kejadian sehari-hari yang penuh dengan
ketawa dan air mata, kelahir-an dan kematian, pertemuan dan perpisahan,
semuanya dirangkainya dengan bahasa menjadi sesuatu yang koheren
dan mempunyai arti. Manusia lalu mempertanyakan masalah-masalah

yang sangat hakiki: Apakah hidup ini ada tujuannya? Ataykah sekedar
permainan: semacam sabut terlempat ke laut? Apakah manusia itu
merdeka untuk me-nentukan hidupnya? Ataukah dia mahluk yang
terbelenggu dengan nasib merantai kaki mereka?
Dengan ini manusia memberi arti kepada hidupnya. Arti yang terpateri
dalam dunia simbolik yang diwujudkan lewat kata-kata. Kata-kata lalu
mempunyai arti bahkan kekuatan. Kekuatan dalam tuah mantera dan
jampi-jampi. Kekuatan dalam keper-cayaan dan keyakinan moral.
Kekuatan yang memberinya dorongan dan arah dalam berkehidupan.
Semacam pegangan yang membedakan mana yang suci dan luhur serta
mana yang rendah dan menghinakan. Tanpa bahasa maka semua ini tak
mungkin ada. 'Tak pernah ada binatang yang membikin perang," kata
Aldous Huxley, "karena mereka tak mempunyai sesuatu yang
dianggapnya luhur. Apakah yang lebih luhur lagi bagi seekor harimau
selain daging segar dan betinanya? Mereka tak mempunyai mekanisme
verbal

untuk

mengemukakan

dan

mempertahankan

apa

yang

dianggapnya luhur....)
Demikian juga manusia memberi arti bagi yang indah dalam hidup ini
dengan bahasa. Kita membaca puisi dan karya-karya sastra yang
mengungkapkan nilai-nilai estetik dalam hidup kita. Atau kita
memadukannya dengan seni suara, di mana kita menyanyi, menahgisij
dan merayakan hidup kita lewat kata-kata. Tanpa estetika ini maka
semua kehidupan akan menjadi steril. Bulan hanyalah tumpu'kan gersang
yang di-darati astronot. Manusia hanyalah tumpukan daging dan tulang.
Kemanusiaan tidak lagi mempunyai'perasaan. "Pengetahuan dan
perasaan adalah sama pentingnya dalam
kehidupan individual dan masyarakat," ujar Bertrand Russell" dunia
tanpa kesukaan dan kemesraan adalah dunia tanpa nilai."13)
Seni merupakan kegiatan estetika yang banyak mempergunakan aspek
emotif dari bahasa baik itu seni suara maupun seni sastra. Dalam hal ini
bahasa bukan saja dipergunakan untuk mengemukakan perasaan itu
sendiri melainkan juga merupakan ramUan untuk menjelmakan
pengalaman yang ekspresif tadi. Bahasa dipergunakan secara plastik,

seperti kita membuat patung dari tanah liat, di mana komunikasi yang
terjadi mempunyai kecenderungan emotif.
Mau baca "poesi pure"?
Carilah dalam depresi
Meiankoli
Atau kantung baju
Para lunatik amatur. . . .'4 )
Komunikasi ilmiah mensyaratkan bentuk komunikasi yang sangat lain
dari

komunikasi

estetik.

Komunikasi

ilmiah

bertujuan

untuk

menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan. Agar komunikasi


ilmiah ini berjalan dengan baik maka bahasa yang dipergunakan harus
terbebas dari unsur-unsur emotif. Komunikasi ilmiah harus bersifat
reproduktif, artinya bila si pengirim komunikasi menyampaikan suatu
informasi yang katakanlah berupa x, maka si penerima komunikasi harus
menerima informasi yang berupa x pula. Informasi x yarig diterima harus
merupakan reproduksi yang benar-benar sama dari informasi x yang
dikirimkan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah apa yang dinamakan
sebagai suatu mis-informasi, yakni suatu proses komunikasi yang
mengakibatkan penyampaian informasi yang tidak sesuai dengan apa
yang dimaksudkan, di mana suatu informasi yang berbeda akan
menghasilkan proses berfikir yang berbeda pula. Oleh sebab itu maka
proses komunikasi ilmiah harus bersifat jelas dan obyektif yakni terbebas
dari unsur-unsur emotif.
Berbahasa dengan jelas artinya ialah bahwa makna yang terkandung
dalam kata-kata yang dipergunakan diungkapkan secara tersurat
(eksplisit) untuk mencegah pem-berian makna yang lain. Oleh sebab itu
maka dalam komunikasi ilmiah kita sering sekali mendapatkan definisi
dari kata-kata yang dipergunakan. Umpamanya jika dalam sebuah
komunikasi ilmiah kita mempergunakan kata seperti "epistemologi" atau
"optimal" maka kita harus menjelaskan lebih lanjut apa yang kita
maksudkan dengan kata-kata itu. Hal ini harus kita lakukan untuk
mencegah si penerima komunikasi memberi makria lain yang berbeda
dari makna yang kita maksudkan. Tentu saja kata-kata yang sudah jelas
dan kecil memungkinkan untuk disalahartikan tidak lagi membutuh-kan
penjelasan lebih lanjut.

Berbahasa dengan jelas artinya juga mengemukakan pendapat atau jalan


pemikiran secara jelas.

Kalau kita teliti lebih lanjut maka kalimat-

kalimat dalam sebuah karya ilmiah pada dasarnya merupakan suatu


pernyataan. Pernyataan itu melambangkan suatu pengetahuan yang ingin
kita komunikasikan kepada orang lain. Kalimat seperti "Lpgam bila
dipanaskan akan memanjang" pada hakekatnya merupakan suatu pernyataan yang mengandung pengetahuan tentang hubungan sebab akibat
antara panjang logam dan kenaikan suhu.
Karya ilmiah pada dasarnya merupakan kumpulan pernyataan yang
mengemukakan informasi tentang pengetahuan maupun jalan pemikiran
dalam

mendapatkan

pengetahuan

tersebut.

Untuk

mampu

mengkomunikasikan suatu pernyataan dengan jelas maka seseorang


harus menguasai tata bahasa yang baik. Hal ini berlaku baik bagi kegiatan ilmiah maupun non-ilmiah. "Tatabahasa", menurut Charlton Laird,
"merupakan alat dalam mempergunakan aspek logis dan kreatif dari
fikiran untuk mengungkapkan arti dan emosi dengan mempergunakan
aturan-aturan tertentu."15) Penguasaan tata bahasa dengan baik
merupakan syarat mutlak bagi suatu komunikasi ilmiah yang benar.
Dalam masyarakat kita hal ini sering kita kurang sadari ; bahkan ada
pendapat bahwa berbahasa yang benar dan baik hanya patut dilakukan
oleh orang-orang bukan ilmuwan. Hal ini adalah salah sama sekali, dan
bahkan sebaliknya, untuk mampu-,ber-komunikasi secara benar maka
seorang ilmuwan harus menguasai bahasa dengan lebih baik.
Karya ilmiah juga mempunyai gaya penulisan yang pada hakekatnya
merupakan usaha untuk mencoba menghindari kecenderungan yang
bersifat emosional dari bahasa. Karakteristik ini jelas merupakan
keuntungan bagi kegiatan seni namun merupakan kerugian bagi kegiatan
ilmiah. Oleh sebab itu gaya penulisan ilmiah, di mana tercakup di
dalamnya penggunaan tata bahasa dan penggunaan kata-kata, harus
diusahakan sede-mikian mungkin untuk menekan unsur-unsur emotif ini
seminimal mungkin. Di samping itu karya ilmiah mempunyai formatformat penulisan tertentu seperti cara mele-takkan catatan kaki atau
menyertakan daftar bacaan. Kesemuanya ini harus dikuasai dengan baik
oleh seorang ilmuwan agar dapat berkomunikasi dengan sesama kaum
ilmuwan secara benar.

Beberapa Kekuarangan Bahasa


Sebagai sarana komunikasi ilmiah maka bahasa mempunyai beberapa
kekurangan. Kekurangan ini pada hakekatnya terletak pada peranan
bahasa itu sendiri yang bersifat multi fungsi yakni sebagai sarana
komunikasi emotif, afektif, dan simbolik. Dalam komunikasi ilmiah kita
ingin mempergunakan aspek simbolik saja dari ketiga fungsi tersebut tadi
di mana kita ingin mengkomunikasikan informasi tanpa kaitan emotif
dan afektif. Dalam kenyataannya hal ini tidak mungkin; bahasa verbal
mau tidak mau tetap mengandung ketiga unsur yang bersifat emotif,
afektif, dan simbolik tadi. Inilah salah satu kekurangan bahasa sebagai
sarana komunikasi ilmiah, yang dikatakan oleh Kemeny, sebagai
mempunyai kecenderungan emosional.16) Bahasa ilmiah pada hakekatnya haruslah bersifat obyektif tanpa mengandung emosi dan sikap;
atau dengan perkataan lain, bahasa ilmiah haruslah bersifat antiseptik dan
reproduktif.
Kekurangan yang kedua terletak pada arti yang tidak jelas dan eksak
yang dikan-dung oleh kata-kata yang membangun bahasa. Jika kita ingin
mengetahui arti dari isti-lah ilmu umpamanya, yang menjadi pokok
pembicaraan kita selama ini, maka sukar sekali bagi kita untuk
mendefinisikan istilah ilmu tersebut dengan sejelas dan seeksak
mungkin, bagaimanapun hal itu kita coba. Di pihak lain usaha untuk
menyampaikan arti sejelas dan seeksak mungkin dalam suatu proses
komunikasi mungkin akan menyebabkan proses penyampaian informasi
itu malah tidak komunikatif lagi disebabkan bahasa yang bertele-tele dan
membosankan. Umpamanya saja kita bisa mendefinisikan ilmu sebagai
"pengetahuan yang disusun secara konsisten dengan mempergunakan logika deduktif dan teruji secara empiris dengan mempergunakan logika
deduktif yang menyangkut kebenaran faktual dari dunia empiris yang
ditujukan untuk meningkatkan kemampuan manusia untuk menguasai
dunia fisik yang berguna bagi kemaslahatan hidupnya." Definisi yang
panjang ini tetap tidak memberikan arti yang jelas dan eksak terhadap
hakekat ilmu yang sebenarnya. Mengambil contoh dari kehidupan seharihari ambillah sebagai contoh sebuah kata yang mungkin termasuk paling
popular dalam perbendaharaan bahasa Indonesia yakni kata "cinta". Kata
cinta ini sering dipakai dalam lingkup yang sangat luas umpamanya

dalam hubungan antara ibu dan anak, ayah dan anak.'kakek dan nenek,
dua orang kekasih, dua orang saudara, perasaan pada tanah air, dan
ikatan pada rasa kemanusiaan yang besar. Dalam ha! ini sukar bagi kita
untuk memberi batasan yang tepat dan bersifat menyeluruh. Kelemahan
lain terletak pada si-fat majemuk (pluralistik) dari bahasa. Sebuah kata
kadang-kadang mempunyai lebih dari satu arti yang berbeda umpamanya
kata ilusi dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia mempunyai arti
sebagai berikut:
Ilusi: angan-angan; khayal; 1. sesuatu yang memperdaya fikiran dengan
memberikan kesan yang palsu (seperti halnya dengan para pelancong di
padang pasir yang melihat sebuah danau, yang sebenarnya tidak ada); 2.
suatu gagasan yang keliru; suatu kepercayaan yang tidak berdasar;
keadaan fikiran yang memperdaya seseorang.
Di samping itu bahasa mempunyai beberapa kata yang memberikan arti
yang sama. Umpamanya pengertian tentang "usaha kerjasama yang
terkordinasikan dalam mencapai suatu tujuan tertentu" disebutkan
sebagai administrasi, manajemen, pengelolaan, dan tatalaksana. Suku
Hanunoo dari Filipina mempunyai 92 patah kata untuk beras17)
sedangkan bangsa Eskimo mempunyai perbendaharaan kata yang sangat
banyak sekali untuk salju.18 ) Sifat majemuk dari bahasa ini sering
menimbulkan apa yang dinamakan kekacauan semantik, di mana dua
orang yang berkomunikasi mempergunakan sebuah kata yang sama
namun untuk pengertian yang berbeda, atau sebaliknya mereka mempergunakan dua kata yang berbeda untuk sebuah pengertian yang sama.
Kelemahan ketiga bahasa sering bersifat berputar-putar (sirkular) dalam
mempergunakan kata-kata terutama dalam memberikan definisi.
Umpamanya kata "pengelolaan" didefinisikan sebagai "kegiatan yang
dilakukan

dalam

sebuah

organisasi".

Sedangkan

"organisasi"

didefinisikan sebagai "suatu bentuk kerja sama yang merupakan wadah


dari kegiatan pengelolaan." Contoh lain yang sering kita temukan adalah
perkataan "data" yang diartikan sebagai "bahan yang diolah menjadi
informasi"; sedangkan "informasi" di-artikan sebagai "keterangan yang
didapat dari data". Tak dapat dihindarkan lagi bahwa dalam memberikan
definisi maka sebuah kata tergantung kepada kata-kata yang lain. Hal ini
sebenarnya tak ada salahnya selama kata-kata yang dipergunakan itu

sudah mempunyai pengertian yang jelas dan bukan bersifat berputarputar seperti tampak pada contoh kita di atas. Dalam bidang ilmu-ilmu
sosial masalah definisi ini makin tam-bah rum it, sebab seperti apa yang
dikatakan Max Weber, ahli-ahli ilmu sosial cenderung untuk selalu
membikin definisi baru mengenai suatu obyek penelaahan ilmu-ilmu
sosial, sebab mereka menganggap definisi yang dibikin oleh orang lain
sebagai "sikat gigi bekas". Kelemahan yang lain dari bahasa adalah
konotasi yang bersifat emosional seperti telah kita bicarakan pada bagian
terdahulu. ( Masalah bahasa ini menjadi bahan pemikiran yang sungguhsungguh dari para ahli falsafat modern. Kekacauan dalam falsafah
menurut Wittgenstein, disebabkan karena "kebanyakan dari pernyataan
dan pertanyaan ahli falsafah timbul dari kegagalan mereka untuk
menguasai logika dari bahasa."19) Pengkajian falsafah, termasuk
pengkajiah hakekat ilmu, pada dasarnya merupakan analisis logikolinguistik. Bagi aliran falsafah tertentu, seperti falsafah analitik*). maka
bahasa bukan saja merupakan alat bagi ber-falsafah dan berfikir, namun
juga merupakan "bahan dasar dan dalam hal tertentu merupakan hasil
akhir dari falsafah.20 ) Ahli falsafah seperti Henri Bergson (1859
1941) membedakan antara pengetahuan yang bersifat absolut yang
didapat tanpa melalui bahasa dan pengetahuan yang bersifat relatif yang
didapat lewat perantaraan bahasa.21) Pengetahuan yang hakiki bukan
didapat lewat penalaran melainkan lewat intuisi; tanpa diketahui kita
sudah sampai di sana, dengan kebenaran yang membuka-kan pintu, entah
dari mana datangnya. Dan bahasa, menurut Whitehead, "berarti di
belakang intusi."22)
Mungkin ada baiknya kita menutup pembahasan kita mengenai bahasa
ini dengan mendengarkan nyanyian Rita Sugiarto diiringi Orkes Melayu
Soneta; dengan dangdut-nya yang instinktif merangsang proses fisiologi
kita (debar jantung dan rentak kaki); melodinya yang menyentuh emosi
kita; dan syairnya yang berfalsafah tentang bahasa

Digeleng-gelengkan kepala
itu pertanda tak mau atau tak suka
diangguk-anggukkan kepala
itu pertanda ia mau dan juga setuju

Itu semua isyarat dalam bahasa


tanpa bicara orang mengerti maksudnya
Orang bisa bicara
walau tidak memakai bahasa
untuk menyatakan cinta
cukuplah dengan pandangan mata . .. .

BAB VI MATEMATIKA

Matematika, bila ditinjau dari segi epistemologi ilmu misal-nya, adalah


bukah ilmu. Ia lebih merupakan bahasa artifisial yang bersifat eksak,
cerrhat dan terbebas . dari rona emosi (emotional overtones).
Matematika adal,ah logika yang telah berkembang, yang memberikan
sifat kuantitatif kepada pengetahuan keilmuan. Matematika merupakan
sarana berfikir deduktif yang amat berguna untuk membangun teori
keilmuan dan menurunkan prediksi-prediksi daripadanya, dan untuk
mengkomunikasikan hasil-hasil kegiatan keilmuan dengan benar dan
jelas dan secara singkat dan cermat.

Sebuah pasangan muda yang sedang berbulan madu, karena soal yang
sepele, ber-tengkar dan tidak mau berbicara satu dengan yang lain. Setiap
kali dilakukan usaha untuk berdamai maka usaha ini kandas disebabkan
komunikasi yang selalu menjurus kepada emosi yang memang sedang
peka, maklum telah tersinggung per-nya. Diam-diam kedua orang muda
datang kepada seorang tua, satu-satunya tamu yang lain di hotel tempat
mereka berbulan madu, dan mengadukan halnya. Orang tua itu, yang
kebetulan adalah dosen filsafat ilmu, membuka diktat yang dikarangnya
dan berfatwa: "Bicaralah degan bahasa matematika!"
Syahdan, ketika malam pun tiba dan sang rembulan menampakkan rona,
suami muda itu mulai membuka ofensif bulan purnama. Dengan mata
yang menatap tajam-tajam mata hitam isterinya, mata itu mengatakan
segalanya, dia mengacungkan telun-juknya yang membentuk angka satu.
Sang isteri diam sejenak, terperangah dan terpana, pelahan-lahan
menjawab dengan mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Kini
sang suami, melihat angka satunya dijawab dengan dua, terbungkam
seribu bahasa. Mukanya mulai tampak memerah, matanya makin
bertambah nyalang, kelihatan dia ragu-ragu. Namun pelahan-lahan
diangkatnya tangan kanannya yang membentuk angka tiga dengan
telunjuk, jari tengah dan jari manisnya. Sang isteri berteriak, lari dan
menyusup di pelukannya, kasih sayang telah kembali ke sarangnya.
Keesokan harinya sang isteri datang pada orang tua yang bijak itu untuk
meng.-ucapkan terima kasihnya. Biasanya, begitu dia mulai bicara,

sekiranya kami ingin berdamai maka kata-kata pertama selalu diartikan


salah, yang menyebabkan kami kembali bertengkar. Kemarin dia tidak
berkata apa-apa, sekedar menatap saya tajam-tajam dan berkata:
"Dikaulah satu-satunya yang kucintai." Hati saya tersentuh dan trenyuh,
naluri kewanitaan saya luluh, jawab saya: "Kau pun satu-satunya yang
kucintai, kita berdua adalah sepasang gunting, yang kalau sebelah tidak
ada artinya." Eh, mendengar jawab saya itu, dia menjadi binal, muka
saya merah mendengarnya: "Marilah kita bikin belahan ketiga."
Sore harinya sang suami -datang, membusung dada dan berseri-seri,
menjabat tangan profesor itu dan berkata: "Matematika memang adalah
bahasa yang eksak, cermat dan terbebas dari emosi. Sejak hari ini saya
akan secara sungguh-sungguh mempelajari falsafah matematika." Dia
pun lalu menceriterakan halnya, bagaimana perse-lisihan dengan
isterinya diselesaikan dengan sempurna, berkat kemujaraban matematika.
"Karena dia tidak mau mengerti saja, karena setiap kata-kata saya selalu
disalah-artikan olehnya, maka langsung saja saya beri ultimatum: Satu!"
"Lalu bagaimana jawabnya?" tanya profesor itu.
"Dia memang perempuan keras kepala. Dia tidak takuf, atau pura-pura
tidak takut, terhadap ultimatum saya, malahan menantang: Dua!" "Hah?"
desis profesor itu sambil membuka kacamatanya.
"Ya, dua. Dia menantang dengan dua. Artinya, melakukan kontra-ofensif
terhadap ultimatum saya. Saya jadi serba salah. Saya menjadi serba ragu.
Bagaimana kalau ultimatum-ultimatuman ini berakhir dengan tragis?
Tapi, kelelakian saya tersinggung dengan tingkahnya itu, serta mungkin
saja dia pun pura-pura berani, dalam hatinya siapa tahu. Benar juga,
ketika ultimatum saya habis, bersama kesabaran dan harapan saya: Tiga!
dia pun menyerah dan memeluk saya. Eureka! Semoga Tuhan
memberkati matematika!"
Matematika sebagai Bahasa
Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari
pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika
bersifat "artifisial" yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna
diberikan padanya. Tanpa itu maka matematika hanya merupakan
kumpulan rumus-rumus yang mati. Yang paling sukar untuk dijelaskan

kepada seseorang. yang baru belajar matematika, keluh Alfred North


Whitehead, ialah bahwa x itu sama sekali tidak berarti.1)
Bahasa verbal seperti telah kita lihat sebelumnya mempunyai beberapa
kekurangan yang sangat mengganggu. Suami isteri yang sedang berbulan
madu itu mengalami sendiri betapa sengsara jadinya disebabkan
komunikasi yang buntu. Perkataan "setan", umpamanya, bisa kedengaran
sangat "sip" bila ditafsirkan secara asyik;2 ) namun bagaimana kalau
suasana sedang "out", dunia lantas terbalik? (Tidak bisa toh kita mengadukan seseorang karena menyebut kita "babi", bagaimana kalau
perkataan itu diucap-kan penuh puisi: babiku, my babi, mon cher,
sayang!)
Untuk mengatasi kekurangan yang terdapat pada bahasa maka kita
berpaling kepada matematika. Dalam hal ini dapat kita katakan bahwa
matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat
kabur, majemuk dan emosional dari bahasa verbal. Lambang-lambang
dari matematika dibikin secara artifisal dan individual yang merupakan
perjanjian yang berlaku khusus untuk masalah yang sedang kita kaji. Sebuah obyek yang sedang kita telaah dapat kita lambangkan dengan apa
saja sesuai dengan perjanjian kita. Umpamanya bila kita sedang
mempelajari kecepatan jalan kaki seorang anak, maka obyek "kecepatan
jalan kaki seorang anak" tersebut dapat kita lambangkan dengan x.
Dalam hal ini maka x hanya mempunyai satu arti yakni "kecepatan jalan
kaki seorang anak". Lambang matematika yang berupa x ini kiranya
mempunyai arti yang jelas yakni "kecepatan jalan kaki seorang anak." Di
samping itu lambang x tidak bersifat majemuk sebab x hanya dan hanya
melambangkan "kecepatan jalan kaki seorang anak" dan tidak
mempunyai pengertian yang lain. Demikian juga jika kita hubungkan
"kecepatan jalan kaki seorang anak" dengan obyek lain umpamanya
"jarak yang ditempuh seorang anak" (yang kita lambangkan dengan y)
maka kita dapat melambangkan hubungan tersebut sebagai z = y/x di
mana z melambangkan "waktu berjalan kaki seorang anak". Pernyataan z
= y/x kiranya jelas tidak mempunyai konotasi emosional dan hanya
mengemukakan informasi mengenai hubungan antara x, y, dan z. Secara
ini maka pernyataan matematika mempunyai sifat yang jelas, spesifik

dan informatif dengan tidak menimbulkan konotasi yang bersifat emo


sional. Bahkan juga sebuah sajak di bawah ini:3)
Selamat jalan c Selamat jalan v Selamat jalan x Selamat jalan y Selamat
jalan.
Bandit!
Sifat Kuantitatif Matematika
Matematika mempunyai kelebihan lain dibandingkan dengan bahasa
verbal.

Matematika

mengembangkan

bahasa

numerik

yang

memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif.


Dengan bahasa verbal bila kita membandingkan dua obyek yang
berlainan umpamanya gajah dan semut maka kita hanya bisa mengatakan
gajah lebih besar dari semut. Kalau kita ingin menelusur lebih lanjut
berapa besar gajah dibandingkan dengan semut maka kita mengalami
kesukaran dalam mengemukakan hubungan itu. Kemudian jika sekiranya
kita ingin mengetahui secara eksak berapa besar gajah bila dibandingkan
dengan semut maka dengan bahasa verbal kita tidak dapat mengatakan
apa-apa.
Bahasa verbal hanya mampu mengemukakan pernyataan yang bersifat
kualitatif. Demikian jUga maka penjelasan dan ramalan yang diberikan
oleh ilmu dalam bahasa verbal semuanya bersifat kualitatif. Kita bisa
mengetahui bahwa logam kalau dipanas-kan akan memanjang. Namun
pengertian kita hanya sampai di situ. Kita tidak bisa mengatakan dengan
tepat berapa besar pertambahan panjangnya. Hal ini menyebabkan
penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh bahasa verbal tidak bersifat
eksak, yang menyebabkan daya produktif dan kontrol ilmu yang kurang
cermat dan tepat.
Untuk mengatasi masalah ini matematika mengembangkan konsep
pengukuran. Lewat pengukuran, maka kita dapat mengetahui dengan
tepat berapa panjang sebatang logam dan berapa pertambahan
panjangnya bila logam itu dipanaskan. Dengan mengetahui hal ini maka
pernyataan ilmiah yang berupa pernyataan kualitatif seperti "Sebatang
logam bila dipanaskan akan memanjang" dapat diganti dengan pernyataan matematik yang lebih eksak umpamanya: Pt = PQ(1 +Xt)

di mana P^ merupakan panjang logam pada temperatur t, PQ merupakan


panjang logam tersebut pada temperatur nol dan A merupakan koefisien
pemuaian iogam tersebut.
Sifat kuantitatif matemarika ini meningkatkan daya prediktif dan kontrol
dari ilmu. Ilmu memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak yang
memungkinkan pemecahan masalah secara lebih tepat dan cermat.
Matematika memungkinkan ilmu mengalami perkembangan dari tahap
kualitatif ke kuantitatif. Perkembangan ini merupakan suatu hal yang
imperatif bila kita menghendaki daya prediksi dan kontrol yang lebih
tepat dan cermat dari ilmu. Beberapa disiplin keilmuan, terutama ilmuilmu sosial, agak mengalami kesukaran dalam perkembangan ini yang
bersumber pada problema teknis dalam pengukuran. Kesukaran ini
secara bertahap telah mulai dapat diatasi, dan akmr-akhir ini kita melihat
perkembangan yang menggembirakan, di mana ilmu-ilmu sosial telah
mulai memasuki tahap yang bersifat kuantitatif. Pada dasarnya
matematika

diperlukan

oleh

semua

disiplin

keilmuan

untuk

meningkatkan daya prediksi dan kontrol ilmu tersebut.


Matematika: Sarana Berfikir Deduktif
Kita semua kiranya telah mengenai bahwa jumlah sudut dalam sebuah segi tiga
adalah 180 derajat. Pengetahuan ini mungkin saja kita dapatkan dengan jalan mengukur sudut-sudut dalam sebuah segi tiga dan kemudian menjumlahkannya. Di pihak
lain, pengetahuan ini bisa didapatkan secara deduktif dengan mempergunakan
matematika. Seperti diketahui berfikir deduktif adalah proses pengambilan
kesimpulan yang didasarkan kepada premis-premis kebenarannya telah ditentukan.
Untuk menghitung jumlah sudut dalam segi tiga tersebut kita mendasarkan kepada
premis bahwa kalau terdapat dua garis sejajar maka sudut a, 0, dan 7 yang dibentuk
kedua garis sejajar tersebut dengan garis ketiga adalah sama. Premis yang kedua
adalah bahwa jumlah sudut yang dibentuk oleh sebuah garis lurus adalah 180

derajat.

(Pre
mis
1)
(Premis 2)
Premis-Premis Dasar
Kedua premis itu kemudian kita terapkan dalam berfikir deduktif untuk
menghitung jumlah sudut-sudut dalam sebuah segi tiga. Dalam hal ini kita
melihat bahwa dalam segi tiga ABC kalau kita tarik garis p melalui titik A
yang sejajar dengan BC maka pada titik A terjadi tiga sudut yakni a,, a2, dan
a3 yang ketiga-tiganya membentuk suatu garis lurus. Mempergunakan premis
yang pertama maka kita bisa meng-ambil kesimpulan.

3 = 0
demikian juga dengan premis yang pertama dapat disimpulkan
<*2 =7
sedangkan jumlah sudut-sudut dalam segi tiga ABC adalah 5 di mana
5 = , + 0 + 7
Karena 0 = a3 dan 7 = a2 maka persamaan (3) dapat ditulis sebagai
5 = a, + a2 + a3
di mana 5 membentuk sebuah garis lurus. Sedangkan berdasarkan premis
kedua yang mengatakan bahwa jumlah sudut dalam sebuah garis lurus adalah
180 maka 5 , yang merupakan jumlah sudut-sudut dalam sebuah segi tiga,
adalah juga 180 derajat. Dengan
demikian maka secara deduktif dapat dibuktikan bahwa jumlah sudut-sudut
dalam sebuah segi tiga adalah 180 derajat. '
Jadi dengan contoh seperti di atas secara deduktif matematika menemukan pengetahuan baru berdasarkan premis-premis yang tertentu. Pengetahuan yang

ditemukan ini sebenarnya hanyalah merupakan konsekuensi dari pernyataanpernyataan ilmi'ah yang telah kita temukan sebelumnya. Meskipun "tak
pernah ada kejutan dalam logi-ka"4) namun pengetahuan yang didapatkan
secara deduktif ini sungguh sangat ber-guna dan memberikan kejutan yang
sangat menyenangkan. Dari beberapa premis yang telah kita ketahui
kebenarannya dapat diketemukan pengetahuan-pengetahuan lain-nya yang
memperkaya perbendaharaan ilmiah kita.
Perkembangan Matematika
Ditinjau dari perkembangannya maka iimu dapat dibagi dalam tiga tahap
yakni tahap sistematika, komparatif dan kuantitatif. Pada tahap sistematika
maka ilmu mulai menggolong-golongkan obyek empiris ke dalam kategorikategori tertentu. Penggo-longan ini memungkinkan kita untuk menemukan
ciri-ciri yang bersifat umum dari anggota-anggota yang menjadi kelompok
tertentu. Ciri-ciri yang bersifat umum ini merupakan pengetahuan bagi
manusia dalam mengenali dunia fisik. Dalam tahap yang kedua kita mulai
melakukan perbandingan antara obyek yang satu dengan obyek yang lain,
kategori yang satu dengan kategori yang lain, dan seterusnya. Kita mulai
mencari hubungan yang didasarkan kepada perbandingan antara berbagai
obyek yang kita kaji. Tahap selanjutnya adalah tahap kuantitatif di mana kita
mencari hubungan sebab akibat tidak lagi berdasarkan perbandingan
melainkan berdasarkan pengukuran yang eksak dari obyek yang sedang kita
selidiki. Bahasa verbal berfungsi dengan baik dalam kedua tahap yang
pertama, namun dalam tahap yang ketiga pengetahuan membutuh-kan
matematika. Lambang-lambang matematika bukan saja jelas tetapi juga eksak
dengan mengandung informasi tentang obyek tertentu dalam dimensi-dimensi
pengukuran.
Di samping sebagai bahasa maka matematika juga berfungsi sebagai alat
berfikir. Ilmu merupakan pengetahuan yang mendasarkan diri kepada analisis
dalam menarik ke-simpulan menurut suatu pola berfikir tertentu. Matematika,
menurut Wittgenstein, tak lain adalah metode berfikir logis.5) Berdasarkan
perkembangannya maka masalah yang dihadapi logika makin lama makin
rumit dan membutuhkan struktur analisis yang lebih sempurna. Dalam
perspektif inilah maka logika berkembang menjadi matematika, seperti
disimpulkan oleh Bertrand Russell, "matematika adalah masa kedewasaan logika sedangkan logika adalah masa kecil matematika"6)

Matematika pada garis besarnya merupakan pengetahuan yang disusun secara


konsisten berdasarkan logika deduktif. Bertrand Russell dan Whitehead dalam
karya-nya yang monumental yang berjudul Principia Mathematica mencoba
membuktikan bahwa dalil-dalil matematika pada dasarnya adalah pernyataan
logika7) meskipun tidak seluruhnya berhasil. Pierre de Fermat (16011665)
mewariskan teorema yang terakhir*) yang merupakan "teka-teki (enigma)
yang menantang pemikir-pemikir matematik yang paling ulung" 8) dan tak
kunjung terpecahkan. Dia menyatakan bahwa xn + yn = zn dengan x, y, z dan
n adalah bilangan bulat positif, tidak mempunyai jawaban bila n > 2. Atau
dengan perkataan lain hanya bilangan 1 dan 2 yang meme-nuhi persyaratan
irii seperti 3< + 41 = 7l (penjumlahan biasa) dan 32 + 42 =? 52. Fermat sendiri
mengaku bahwa dia dapat membuktikan rumus ini namun disebabkan tempat
yang terbatas 9) (sic!) maka sayang sekali bukti itu tak dapat disampaikannya.10) Sayang sekali memang mengapa Fermat tidak menyertakan
pembuktian rumus tersebul yang sampai sekarang tetap merupakan tantangan
bagi logika deduktif meskipun secara mudah dapat didemonstrasikan
kebenarannya. Memang tidak semua ahli filsafat setuju dengan pernyataan bahwa
matematika adalah pengetahuan yang bersifat deduktif. Immanuel Kant (17241804) umpamanya berpendapat bahwa matematika merupakan pengetahuan
sintetik a priori di mana ek-sistensi matematika tergantung kepada dunia
pengalaman kita.11) Namun pada dasar-nya dewasa ini orang berpendapat
bahwa matematika merupakan pengetahuan yang bersifat rasional yang
kebenarannya

tidak

tergantung

kepada

pembuktian

secara

empi-ris.

Perhitungan matematika bukanlah suatu eksperimen,12) kata Wittgenstein,


sebuah pernyataan matematika tidaklah mengekspresikan produk fikiran
(tentang obyek yang faktual).13) Selanjutnya Wittgenstein membuktikan
bahwa 2x2=4 merupakan suatu proses deduktif dengan penalaran sebagai
berikut:14)
(n3)m3X = nPx^3XDef., ft2x2'x = (J22)2'X = (a2)1 + VX
= si2'ft2 'x = nl -1 'n1 +1 'x = (ft'J2)'(ftwx
= n'n'ft'n'x = n1 +1 +1 +1 'x = n4 'x.

Memang, menurut akal sehat sehari-hari, Kebenaran matematika tidak


ditentukan oleh pembuktian secara empiris, melainkan kepada proses

penalaran deduktif. Jika se-seorang memasukkan bebek dua ekor pada pagi
hari, kemudian dia memasukkan bebek dua ekor lagi pada siang hari, maka
pada malam hari dia akan mengharapkan jumlah bebek semuanya menjadi
empat ekor. Sekiranya pada malam hari dia melakukan "veri-fikasi" dan
jumlahnya hanya tiga ekor, segera dia menyimpulkan ada sesuatu yang salah
secara empiris dibandingkan dengan penalaran rasionalnya, sebab apa pun
yang terjadi jumlahnya harus empat ekor. Kecuali tentu saja: bebeknya ada
yang larilewat kolong rumah; ada pencuri yang datang selagi dia tidur; atau
ada bebek yang ngumpet belum ketemu. Demikian juga jika bebek-bebek itu
beberapa bulan kemudian bukan lagi empat melainkan lima maka masalah itu
bukan lagi termasuk matematika melainkan ilmu beternak bebek dan
sebangsanya.
Di samping sarana berfikir deduktif yang merupakan aspek estetik,
matematika juga merupakan kegunaan praktis dalam kehidupan sehari-hari.
Semua masalah kehi-dupan yang membutuhkan pemecahan secara cermat dan
teliti mau tidak mau harus berpaling kepada matematika. Dari mempelajari
bintang-bintang di langit sampai mengukur panjang papan untuk membuat
rumah orang memerlukan pengukuran dan penghitungan matematik. Dalam
perkembangannya maka kedua aspek estetik dan praktis dari matematika ini
silih berganti mendapatkan perhatian terutama bila dikait-kan dengan kegiatan
pendidikan.
Griffiths dan Howson (1974) membagi sejarah perkembangan matematika
menjadi empat tahap.15) Tahap yang pertama dimulai dengan matematika
yang berkembang pada peradaban Mesir Kuno dan daerah sekitarnya seperti
Babylonia dan Mesopotamia. Waktu itu matematika telah dipergunakan dalam
perdagangan, pertanian, bangun-an dan usaha mengontrol alam seperti banjir.
Para pendeta Mesir Kuno mempunyai keahlian dalam bidang matematika
yang sangat dihargai dalam masyarakat yang meng-kaitkan aspek praktis dari
matematika dengan aspek mistik dari keagamaan. Di samping kegunaan
praktis ini maka aspek estetik juga diperkembangkan di mana matematika
merupakan kegiatan intelektual dalam kegiatan berfikir yang penuh kreaktif.
Walaupun demikian dalam kebudayaan Mesir Kuno ini maka aspek praktis
dari matematika inilah yang merupakan tujuan utama. Hal yang sama juga
berlangsung dalam peradaban di Mesopotamia dan Babylonia yang turut
mengembangkan kegunaan praktis dari matematika.

Matematika mendapatkan momentum baru dalam peradaban Yunani yang


sangat memperhatikan aspek estetik dari matematika. Dapat dikatakan bahwa
peradaban Yunani inilah yang meletakkan dasar matematika sebagai cara
berfikir rasional dengan menetapkan berbagai langkah dan definisi tertentu.
Luclid pada 300.S.M. mengumpul-kan semua pengetahuan ilmu ukur dalam
bukunya Elements dengan penyajian secara sistematis dari berbagai pestulat,
definisi dan teorema. Kaum cendekiawan Yunani, terutama mereka yang kaya,
mempunyai budak belian yang mengerjakan pekerjaan kasar termasuk hal-hal
yang praktis seperti melakukan pengukuran. Dengan demikian maka kaum
cendekiawan ini dapat memusatkan perhatiannya kepada aspek estetik dari
matematika yang merupakan simbul status dari golongan atas waktu itu.
Kaum Yunani sangat memperhatikan ilmu ukur sebagaimana tercermin dalam
bukunya Euclid tersebut di atas. Babak perkembangan matematika selanjutnya
ter-jadi di Timur di mana pada sekitar tahun 1000 bangsa Arab, India dan Cina
mengembangkan ilmu hitung dan aljabar. Mereka mendapatkan angka nol dan
cara penggunaan desimal serta mengembangkan kegunaan praktis dari ilmu
hitung dan aljarbar tersebut. Waktu perdagangan antara Timur dan Barat
berkembang pada Abad Pertengahan maka ilmu hitung dan aljabar ini telah
dipergunakan dalam transaksi pertukaran. Gagasan-gagasan kaum Junani dan
penemuan ilmu hitung dan aljabar itu dikaji kembali dalam zaman
Rennaisance yang meletakan dasar bagi kemajuan matematika modern selanjutnya. Ditemukanlah diantaranya kalkulus diferensial yang memungkinkan
kemajuan ilmu yang cepat di abad ke-17 dan Revolusi Industri di abad ke18.16)
Bagi dunia keilmuan matematika berperan sebagai bahasa simbolik yang
memungkinkan terwujudnya komunikasiyang cermat dan tepat. Matematika
dalam hubungan-nya dengan komunikasi ilmiah mempunyai peranan ganda,
kata Fehr, yakni sebagai ratu dan sekaligus pelayan ilmu. Di satu pihak,
sebagai ratu matematika merupakan bentuk tertinggi dari logika, sedangkan di
lain pihak, sebagai pelayan matematika memberikan bukan saja sistem
pengorganisasian ilmu yang bersifat logis namun juga pernyataan-pernyataan
dalam bentuk modelmatematik.17) Matematika bukan saja menyampaikan
informasi secara jelas dan tepat namun juga singkat. Suatu rumus yang jika
ditulis dengan bahasa verbal memerlukan kalimat yang banyak sekali, di mana
makin banyak kata-kata yang dipergunakan maka besar pula peluang untuk

terjadinya misinformasi dan misinterpretasi, dalam bahasa matematik cukup


ditulis dengan model yang sederhana sekali. Matematika sebagai bahasa
mempunyai ciri, sebagaimana dikatakan Morris Kline, bersifat ekonomis
dengan kata-kata.,8)
Sebagaimana sarana ilmiah maka matematika itu sendiri tidak mengandung
ke-benaran tentang sesuatu yang bersifat faktual mengenai dunia empiris.
Matematika merupakan alat yang memungkinkan ditemukannya serta
dikpmunikasikannya kebe-naran ilmiah lewat berbagai disiplin keilmuan..
Kriteria kebenaran dari matematika adalah konsistensi dari berbagai postulat,
definisi dan berbagai aturan permainan lainnya. Untuk itu maka matematika
sendiri tidak bersifat tunggal, seperti juga logika, melainkan bersifat jamak.
Dengan

merubah

salah

satu

postulatnya

umpamanya

maka

dapat

dikembangkan sistem matematika yang baru sama sekali bila dibandingkan


dengan sistem sebelumnya. Semula memang dianggap bahwa hanya terdapat
satu sistem matematika di mana perubahan dari postulat-postulatnya akan
mengakibatkan terjadinya inkonsistensi. Namun hal ini ternyata tidak benar
sebagaimana terjadi dengan geometri Euclid. Perubahan salah satu postulat
Euclid tersebut yang semula berbunyi dari satu titik di luar sebuah garis hanya
dapat ditarik satu garis sejajar dengan garis tersebut menjadi dari satu titik di
luar sebuah garis dapat ditarik garis-garis sejajar dengan garis tersebut yang
jumlahnya tak terhingga, ternyata tidak menimbulkan inkonsistensi malahan
menimbulkan sistem matematika baru yang sama sekali berbeda dengan Amu
Ukur Euclid. Sistem matematika yang baru ini dikenal sebagai Geometri NonEuclid yang sudah dikemukakan oleh Gauss (1777-1855) pada tahun 1799*)
dan dikembangkan oleh Lobachevskii (1793-1856), Bolyai (1802-1860) dan
Riemann (1826-1866)1') Geometri. Non-Euclid ini mulanya hanya merupakan
sesuatu yang bersifat akademis dan baru menemukan kegunaannya waktu
Einstein menyusun Teori Relativi-tas.
Einstein,
Berapa jarak neraka ke surga?
Setengah inci cuina
Menurut sistema Lobachevski Jarak adalah garis lengkung Kurva bibirnya.20)
Adanya dua sistem geometri yang keduanya bersifat konsisten ini bukan
berarti bahwa sistem Geometri Euclid atau Geometri. Non-Euclid ini bersifat
benar atau salah sebab hal ini harus dilihat dalam ruang lingkupnya masing-

masing. Matematika bukanlah merupakan pengetahuan mengenai obyek


tertentu melainkan cara berfikir untuk mendapatkan pengetahuan tersebut.
Kalau obyek yang ditelaah itu mempunyai ciri-ciri yang cocok deng
an postulat Euclid, umpamanya dalam bidang mekanika klasik Newton,
makajelas bahwa Geometri. Non-Euclid ini dapat dipakai. Sedangkan dalam
pengkajian mengenai alam semesta, di mana cahaya menjadi garis lengkung
bersama tarikan gravitasi dan jarak terdekat antara dua obyek tidak lagi
merupakan garis lurus, maka dalam hal ini kita berpaling kepada Ilmu Ukur
Non'-Eudid. Jadi kedua sistem ilmu ukur ini berlaku tergantung dari postulat
yang dipergunakannya.

KARAKTERISTIK GEOMETRI EUCLID DAN NON-EUCLID

Pengembangan
Bolyai dan Euclid Riemann
.pertama secara
Lobachevski
sistematis
Jumlah sudut dalam Kurang dari 180
Lebih dari 180
sebuah segitiga
180
Bentuk
Melengkung Tidak
Melengkung
kurva ruang
keluar
melengkung ke dalam
Sangat cepat Normal Perlahan
Pertambah
an volume
Jumlah garis sejajar Tidak
1
0
yang dapat ditarik terbatas
dari sebuah titik
Tidak
Tidak
Sifat
Terbatas
terbatas
terbatas (finite)
jagat
(infinite)
(infinite
(universe
)
Berbentuk
Pelana
Bidang Bola

Beberapa Aliran dalam Falsafah Matematika


Dalam bagian terdahulu telah disebutkan duapendapat ten tang matematika,
yakni dari Immanuel Kant (1724 - 1804) yang berpendapat bahwa matematika

merupakan pengetahuan yang bersifat sintetika posteriori di mana eksistensi


matematika terganrung dari pancaindera serta pendapat dari aliran yang
disebut logistik yang berpendapat bahwa matematika merupakan cara berfikir
logis yang salah atau benarnya dapat di-tentukan tanpa mempelajari dunia
empiris. Ak^hir-akhir ini falsafah Kant dalam matematika ini mendapat
momentum baru dalam aliran yang disebut intuisionis dengan eksponen
utamanya adalah seorang ahli matematika berkebangsaan Belanda bernama
Jan Brouwer (1881 - 1966). Di samping dua aliran ini terdapat pula aliran
ketiga yang dipelopori oleh David Hilbert (1862 - 1943) *dan terkenal dengan
sebutan kaum for-malis.
\ Tesis utama kaum logistik adalah bahwa matematika murni merupakan
cabang dari logika. Tesis ini mula-mula dikembangkan oleh Gottlob Frege
(1848 1925) yang menyatakan bahwa hukum bilangan (the law of number)
dapat direduksikan ke dalam proposisi-proposisi logika. Russell dan
Whitehead, dalam bukunya Principia Ma-thematica, melangkah lebih jauh dari
Frege dan mencoba untuk membuktikan bahwa matematika seluruhnya dapat
direduksikan ke dalam proposisi logika. Russell dan Whitehead berhasil
menyelesaikan pembuktian ini, meskipun di luar sistem bilangan mereka
dituduh mengembangkan berbagai asumsi yang kurang dapat diterima.21)
Kaum formalis menolak anggapan kaum logistik ini yang menyatakan bahwa
kon-sep matematika dapat direduksikan menjadi konsep logika. Mereka
berpendapat bahwa banyak masalah-masalah dalam bidang logika yang sama
sekali tidak ada hubungan-nya dengan matematika. Bagi mereka matematika
merupakan pengetahuan tentang struktur formal dari lambang. Kaum formalis
menekankan kepada aspek formal dari matematika sebagai bahasa perlambang
(sign-language) dan mengusahakan konsistensi dalam penggunaan matematika
sebagai bahasa lambang. Usaha kaum formalis ini belum banyak membawa
hasil.
Pengetahuan kita tentang bilangan, kata Frege, merupakan pengertian rasional
yang bersifat a priori, yang kita pahami lewat "mata penalaran" (the eye of
Reason) yang memandang jauh ke dalam struktur hakekat bilangan.22) Hal ini
ditentang oleh kaum intuisionis yang menyatakan lewat Brouwer bahwa
intuisi murni dari berhitung merupakan titik tolak tentang matematika
bilangan. Hakekat sebuah bilangan harus dapat dibentuk melalui kegiatan
intuitif dalam berhitung (counting) dan menghitung (calculating). Dengan

demikian maka pernyataan Georg Cantor (1845 - 1918) yang menyatakan


bahwa lebih banyak bilangan nyata (real number) dibandingkan bilangan asli
(natural number) ditolak oleh kaum intuisionis.23) Hal ini menyebabkan
banyak sekali bagian dari matematika murni yang harus dibuang, banyak
sekali bukti-bukti matematika yang secara kumulatif telah diterima harus
ditolak, dan matematika itu sendiri harus ditulis kembali secara rumit sekali.
Kiranya dari pembahasan di atas nampak jelas bahwa tidak satu pun dari
ketiga aliran dalam falsafah matematika ini sepenuhnya berhasil dalam
usahanya. Walaupun demikian perbedaan pandangan ini tidak melemahkan
perkembangan matematika malah justru sebaliknya, aliran yang satu memberi
inspirasi kepada aliran-aliran la-innya dalam titik-titik pertemuan yang disebut
Black sebagai kompromi yang bersifat eklektik (eclectic compromise).
24)Kaum logistik mempergunakan sistem symbol yang diperkembangkan oleh
kaum formalis dalam kegiatan analisisnya. Kaum intuisionis memberikan titik
tolak dalam mempelajari matematika dalam perspektif kebu-dayaan suatu
masyarakat

tertentu

yang

memungkinkan

dikembangkannya

falsafah

pendidikan matematika yang sesuai. Ketiga pendekatan dalam matematika ini,


lewat pemahamannya masing-masing, memperkukuh matematika sebagai
sarana kegiatan berfikir dedukatif.
Matematika dan Peradaban
Matematika dapat dikatakan hampir sama tuanya dengan peradaban manusia
itu, sendiri. Sekitar 3500 tahun S.M. bangsa Mesir Kuno telah mempunyai
simbol yang, melambangkan angka-angka. Para pendeta mereka merupakan
ahli matematika yang pertama, yang melakukan pengukuran pasang surutnya
sungai Nil dan meramalkan timbulnya banjir, seperti apa yang sekarang kita
lakukan di abad keduapuluh di kota metropolitan Jakarta. Bedanya adalah
bahwa pengetahuan tentang matematika pada waktu itu dianggap keramat. Tu
ne quaesieris, scire nefas! (Jangan bertanya, pengetahuan itu bukan untuk
kita!) Para pendeta dengan sengaja menyembunyikan pengetahuan tentang
matematika untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Hal ini pun tidak jauh
bedanya dengan situasi peradaban kita, seperti apa yang pernah dikeluhkan
Soedjatmoko, bahwa seorang pegawai sering menyimpan informasi tertentu,
karena dalam anggapan tradisional "monopoli atas informasi merupakan
sumber kekuasaan." Informasi itu dengan demikian tidak diberikan kepada
pihak-pihak lain yang membu-tuhkan.25)

Matematika merupakan bahasa artifisial yang dikembangkan untuk menjawab


kekurangan bahasa verbal yang bersifat alamiah. Untuk itu maka diperlukan
usaha tertentu untuk menguasai matematika dalam bentuk kegiatan belajar.
Jurang antara mereka yang belajar dan mereka yang tidak (atau enggan)
belajar ternyata makin lama makin lebar. Matematika makin lama makin
bersifat abstrak dan esoterik yang makin jauh dari tangkapan orang awam;
magis dan misterius seperti mantera-mantera pendeta Mesir Kuno. Siapa
bilang sejarah tidak berulang?
Matematika tidak dapat dilepaskan dari perkembangan peradaban manusia.
Pen-duduk kota yang pertama adalah "mahluk yang berbicara" (talking
animal), kata Lancelot Hogben, dan penduduk kota kurun teknologi ini adalah
"mahluk yang berhitung" (calculating animal) yang hidup dalam jaringan
angka-angka: takaran resep makanan, jadwal kereta api, angka pengangguran,
tilang, pajak, pampasan perang, uang lembur, taruhan,- skor biljar, kalori,
timbangan bayi, temperatur klinis, curah hujan, cerah matahari, spedometer,
indikator baterai, meteran gas, suku bunga bank, ongkos angkut kapal, tingkat
kematian, potongan, lotere, panjang gelombang dan te-kanan ban.26) Bagi
ilmu itu sendiri matematika berkembang dengan sangat cepat. Tanpa
matematika maka pengetahuan akan berhenti pada tahap kualitatif yang tidak
memungkinkan untuk meningkatkan penalarannya lebih jauh. Singkatnya,
bagi bidang-bidang keilmuan modern, matematika adalah sesuatu yang
imperatif: sebuah sarana untuk meningkatkan kemampuan penalaran deduktif.
Suatu bidang keilmuan, apa pun juga bidang pengkajiannya, bila telah
menginjak kedewasaan mau tidak mau akan bersifat kuantitatif, seperti
pengamatan seorang anak-anak dalam buku Pangeran Kecil dari Antonine de
Saint-Exupery:27)
Orang dewasa senang sekali kepada angka-angka. Bila kau katakan kepada
mereka bahwa kau mempunyai seorang kawan baru, mereka tak pernah
bertanya tentang hal ihwal yang penting. Mereka tak pernah bertanya
"Bagaimana merdu suaranya? Per-mainan apa yang paling disenanginya?
Apakah dia suka mengumpulkan kupu-ku-pu?" Sebaliknya mereka bertanya:
"Berapa umurnya? Berapa orang saudaranya? Berapa kilogram beratnya?
Berapa besar penghasilan ayahnya?"

Matematika tanpa kita sadari memang bisa menjadi tujuan dan bukan alat itu
sendiri, seperti pengamatan anak kecil itu yang menggerutu. "Dikiranya hanya
dari angka-angka saja mereka bisa mengetahui sesuatu!"28) Gejala ini
kemungkinan besar terjadi karena kita kurang mengetahui tentang hakekat
yang sebenarnya dari matematika. Tulisan ilmiah umpamanya lalu berubah
menjadi kumpulan rumus dan tabel yang tidak berbicara apa-apa.29) Namun
di pihak lain ketidaktahuan tentang matematika ini se-ring menyebabkan suatu
bidang keilmuan terpaku pada tahap kualitatif, yang , tanpa mengurangi rasa
penghargaan kita kepadanya, tetap merupakan bidang keilmuan yang belum
tumbuh sempurna. Lewat pengkajian kualitatif dan kuantitatif inilah, meminjam perkataan Pangeran Kecil kita, ilmu sampai kepada pengetahuan yang
dewasa. Analog dengan pernyataan Bertrand Russell tentang hubungan antara
logika dan matematika mungkin kita bisa berkata: "Ilmu kualitatif adalah
masa kecil dari ilmu kuantitatif, ilmu kuantitatif merupakan masa dewasa ilmu
kualitatif; dan ilmu yang sehat, seperti juga kita manusia, adalah terus tumbuh
dan mendewasa.
Semoga perkembangan matematika tidak menimbulkan dikhotomi dalam cara
berfikir dan mengembangkan dua pola kebudayaan dalam masyarakat.
Kerangka pe-mikiran seorang ilmuwan bagaimana pun rumit dan dalamnya
seyogyanya mampu dikomunikasikan dengan kata-kata yang sederhana. Tidak
seperti ilmuwan dalam sajak Taufiq Ismail:30)
Sang kambing, di seminar itu
Membawakan sebuah makalah
Yang karena banyak tabel dan angkanya, kelihatan ilmiah
Angka tidak bertujuan menggantikan kata-kata; pengukuran sekedar unsur
dalam menjelaskan persoalan yang menjadi pokok analisis utama. Teknik
matematika

yang

tinggi

bukan

meripakan

penghalang

untuk

mengkomunikasikan pernyataan yang di-kandungnya dalam kalimat-kalimat


yang sederhana. Kebenaran yang merupakan fun-dasi dasar dari tiap
pengetahuan; apakah itu ilmu, falsafah atau agama semuanya mempunyai
karakteristik yang sama: sederhana dan jelas; transparan bagai kristal kaca.
Apa yang sedang profesor baca? tanya seorang mahasiswa, ketika bertemu di
ko-ridor kampus dengan gurubesarnya, yang berjalan sambil membaca *)
Profesor yang sangat menggemari Hamlet itu, biar bagaimana pun keragu-

raguan adalah ciri utama seorang ilmuwan,**) menjawab sambil menatap


tabel-tabel yang tak berguna. "Angka-angka. Angka-angka. Angka-angka."31)

BAB VII
STATISTIKA

Ilmu adalah pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Pengujian itu


merupakan proses pengumpulan fakta yang mendukung atau menolak
hipotesis yang diajukan, atau' prediksi yang secara deduktif diturunkan dari
teori yang bertumpu pada hipotesis itu.
Statistika merupakan sarana berfikir ilmiah yang membantu. penarikan
kesimpulan secara induktif dari fakta-fakta empiris tersebut. Penarikan
kesimpulan. secara statistika bersifat ekonomis, dan derajat keyakinan kita
atas kebena-ran kesimpulan tersebut secara probabilistik dapat diperhitungkan pula.

Suatu hari seorang anak kecil disuruh ayahnya membeli sebungkus korek api
dengan pesan agar tidak terkecoh mendapatkan korek api yang jelek. Tidak
lama kemudian anak kecil itu datang kembali dengan wajah yang berseri-seri,
menyerahkan kotak korek api yang kosong, dan berkata: "Korek api ini benarbenar bagus, pak, semua batangnya telah saya coba dan ternyata menyala."
Tak seorang pun, saya kira, yang bisa menyalahkan kesahihan proses
penarikan kesimpulan anak kecil itu, namun bila semua pengujian dilakukan
seperti ini lalu bagaimana nasib tukang duren? Demikian juga halnya dengan
orang yang kecanduan lotere, bertanya pada angin dan rumput-rumput yang
bergoyang: "Bagaimana caranya memenangkan Nalo? Pertanyaan yang rumit
ini jawabanya ternyata sangat sederhana: beli saja semua karcis lotere. Namun
bukan dengan jalan membeli semua karcis lotere itu, tentu saja, yang
menyebabkan orang tidak henti-hentinya berfikir bagaimana caranya
memenangkan perjudian yang berdasarkan untung-untungan ini. Kita lihat di
pinggir-pinggir jalan para1 "ahli matematika kakilima" menguraikan rumusrumusnya dalam meramalkan nomor yang akan menang: campuran antara
metafisika, astrologi, astral dan 1001 omongkosong (serta banyak lagi dalildalilnya termasuk sistem analisis dan input-output Leontief).
Sekitar tahun 1654, seorang ahli matematika amatur, Chevalier de Mere,
rneng-ajukan beberapa permasalahan mengenai judi semacam ini kepada
seorang ahli matematika Perancis, Blaise Pascal (1623 1662). Pascal,
seorang Junius dalam bidang matematika, dalam umur 16 tahun telah

menghasilkan karya-karya ilmiah yang me-ngagumkan; *) dan Descartes


(1596-1650) pernah dikatakan tidak percaya bahwa karya-karya tersebut
dihasilkan oleh anak semuda itu.1) Pascal tertarik dengan permasalahan yang
berlatar belakang judi ini dan kemudian mengadakan korespondensi dengan
ahli matematika Perancis lairinya Pierre de Fermat (1601-1665), dan keduanya
mengembangkan cikal bakal teori peluang. Dikisahkan bahwa Descartes,
ketika mem-pelajari hukum di Universitas Poitiers antara tahun 1612 sampai
1616, juga bergaul dengan teman-teman yang suka berjudi, namun Descartes
kebanyakan menang karena dia pandai menghitung peluang. 2) Pendeta
Thomas Bayes pada tahun 1763 mengembangkan teori peluang subyektif
berdasarkan kepercayaan (tentu saja, pendeta!) seseorang akan terjadinya
suatu kejadian. Teori ini berkembang menjadi cabang khusus dalam statistika
sebagai pelengkap teori peluang yang bersifat pbyektif. *)
Peluang yang merupakan dasar dari teori statistika, merupakan konsep baru
yang tidak dikenal dalam pemikiran Junani Kuno, Romawi dan bahkan Eropa
dalam abad pertengahan. Teori mengenai kombinasi bilangan sudah terdapat
dalam aljabar yang dikembangkan'sarjana Muslim namun bukan dalam
lingkup teori peluang. Begitu dasar-dasar peluang ini dirumuskan maka
dengan cepat bidang telaahan ini berkembang.3)
Konsep statistika sering dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah
dalain

suatu

populasi

tertentu.

Abraham

Demoivre

(1667-1754)

mengembangkan teori galat atau kekeliruan. (theory of error). Pada tahun


1757 Thomas Simpson menyimpulkan bahwa terdapat suatu distribusi yang
malar (continuous distribution) dari suatu variabel dalam suatu frekuensi yang
cukup banyak. Pierre Simon de Laplace (1749-1827) mengembangkan konsep
Demoivre dan Simpson ini lebih lanjut dan menemukan distribusi normal;
sebuah konsep yang mungkin paling umum dan paling banyak dipergunakan
dalam analisis statistika di samping teori peluang. Distribusi lain, yang tidak
berupa kurva normal, kemudian ditemukan Francis Galton (1922-1911) dan
Karl Pearson (1857-1936).
Teknik kuadrat terkecil {least squares), simpangan baku dan galat baku untuk
rata-rata (the standard error of the mean) dikembangkan oleh Karl Friedrich
Gauss (1777-1855). Pearson melanjutkan konsep-konsep Galton dan
mengembangkan konsep regresi, korelasi, distribusi chi-kuadrat dan analisis

statistika untuk data kualitatif di samping menulis buku The Grammar of


Science sebuah karya klasik yang terkenal dalam falsafah ilmu. William
Searly Gosset (1876-1947), terkenal dengan nama sa-maran "Student"
mengembangkan konsep tentang pengambilan cuplikan (sample). Desain
eksperimen dikembangkan oleh Ronald Aylmer Fisher (1890-1962) di
samping analisis varians dan kovarians, distribusi-z, distribus'-t, uji signifikan
dan teori tentang perkiraan (theory of estimation).
Demikianlah, statistika yang relatif sangat muda dibandingkan dengan
matematika, berkembang dengan sangat cepat terutama dalam dasawarsa lima
puluh tahun be-lakangan ini. Penelitian ilmiah, baik yang berupa survei
maupun

eksperimen,

dilaku-kan

dengan

lebih

cermat

dan

teliti

mempergunakan teknik-teknik statistika yang di-perkembangkan sesuai


dengan kebutuhan. Di Indonesia sendiri kegiatan yang sangat meningkat
dalam bidang penelitian, baik merupakan kegiatan akademik maupun untuk
pengambilan keputusan, memberikan momentum yang baik untuk pendidi-kan
statistika. Pengajaran falsafah ilmu di beberapa perguruan tinggi, terutama
pada pendidikan pasca sarjana, memberikan landasan yang lebih jelas lagi
tentang hakekat dan peranan statistika. Dengan memasyarakatnya berfikir
ilmiah, mungkin tidak terlalu berlebihan apa yang dikatakan oleh H.G. Wells
bahwa suatu hari berfikir statis-tiks akan merupakan keharusan bagi manusia
seperti juga membaca dan menulis. Asalkan ingat saja pada banyolan
Alexandre Dumas (1824-1895): Awas-awas, Iho, semua generalisasi adalah
berbahaya, termasuk pernyataan ini!
Statistika dan Cara berfikir Induktif
Ilmu secara sederhana dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang telah
teruji kebenarannya. Semua pernyataan ilmiah adalah bersifat factual, dan
subjektif.
nya dapat diuji baik dengan jalan mempergunakan pancaindera, maupun
dengan mem-pergunakan alat-alat yang membantu pancaindera tersebut.4)
Pengujian secara empiris merupakan salah satu mata rantai dalam metode
ilmiah yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya. Kalau
kita telaah lebih dalam maka pengujian merupakan suatu proses pengumpulan
fakta yang relevan dengan hipotesis yang dia-jukan. Sekiranya hipotesis itu
didukung oleh fakta-fakta empiris maka pernyataan hipotesis tersebut diterima

atau disyahkan kebenarannya. Sebaliknya jika hipotesis tersebut bertentangan


dengan kenyataan maka hipotesis itu ditolak.
Pengujian mengharuskan kita untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum
dari kasus-kasus yang bersifat individual. Umpamanya jika kita ingin
mengetahui berapa tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di sebuah tempat maka
nilai tinggi rata-rata yang dimaksudkan itu merupakan sebuah kesimpulan
umum yang ditarik dari kasus-kasus anak umur 10 tahun di tempat itu. Jadi
dalam hal ini kita menarik kesimpulan berdasarkan logika induktif. Di pihak
lain maka penyusunan hipotesis merupakan penarikan kesimpulan yang
bersifat

individual

dari

pernyataan

yang

bersifat

umum

dengan

mempergunakan deduktif.Kedua penarikan kesimpulan ini tidak sama dan


tidak boleh dicampuradukan. Logika deduktif berpaling kepada matematika
sebagai sarana penalaran penarikan kesimpulannya sedangkan logika induktif
berpaling kepada statistika. Statistika merupakan pengetahuan untuk
melakukanpenarikan kesimpulan induktif secara lebih seksama.
Penarikan kesimpulan induktif pada hakekatnya berbeda dengan penarikan kesimpulan secara deduktif. Dalam penalaran deduktif maka kesimpulan yang
ditarik adalah benar sekiranya premis-premis yang dipergunakannya adalah
benar dan prosedur penarikan kesimpulannya adalah sah. Sedangkan dalam
penalaran induktif meskipun peremis-premisnya adalah benar dan prosedur
penarikan kesimpulannya adalah sah maka kesimpulan itu belum tentu benar.
Yang dapat kita katakan adalah bahwa kesimpulan itu mempunyai peluang
untuk benar. Statistika merupakan pengetahuan yang memungkinkan kita
untuk menghitung tingkat peluang ini dengan eksak.5)
Penarikan kesimpulan secara indutktif menghadapkan kita kepada sebuah permasalahan mengenai banyak kasus yang harus kita amati untuk sampai kepada
suatu kesimpulan yang bersifat umum. Jika kita ingin mengetahui berapa
tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di Indonesia, umpamanya, lalu
bagaimanakah caranya kita me-ngumpulkan data untuk sampai pada
kesimpulan tersebut? Tentu saja dalam hal ini maka hal yang paling logis
adalah dengan jalan melakukan pengukuran tinggi badan terhadap seluruh
anak umur 10 tahun di Indonesia. Pengumpulan data seperti ini tak diragukan
lagi akan memberikan kesimpulan mengenai tinggi rata-rata anak tersebut di
negara kita. Namun kegiatan seperti ini menghadapkan kita kepada masalah
lain yang tak kurang rumitnya, yakni kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya

kegiatan seperti itu membutuhkan tenaga, biaya, dan waktu yang banyak
sekali. Sensus yang mempunyai arti sangat peqting dalam sejarah
kemanusiaan, namun mungkin kurang dikenal sebagai kejadian yang
mempunyai arti dalam perkembangan statistik adalah sensus penduduk yang
dilakukan penguasa Romawi, yang menyebabkan Jusuf dan Maria harus
pindah ketempat kelahirannya di mana kemudian Jesus Kristus dila-hirkan.
Dapat dibayangkan betapa kegiatan pengujian hipotesis akan mengalami
hambatan yang sukar dapat diatasi sekiranya proses pengujian tersebut harus
dilakukan dengan pengumpulan data seperti itu. Hal ini akan menjadikan
kegiatan ilmiah menjadi sesuatu yang sangat mahal yang mengakibatkan
penghalang bagi kemajuan bidang keilmuan.
Untunglah dalam hal ini statistika memberikan sebuah jalan ke luar. Statistika
memberikan cara untuk dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum
dengan jalan mengamati hanya sebagian daripcpulasi yang bersangkutan. Jadi
untuk mengetahui tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di Indonesia kita tidak
melakukan pengukuran terhadap seluruh anak yang berumur tersebut di
seluruh Indonesia, namun cukup hanya dengan jalan melakukan pengukuran
terhadap sebagian anak saja. Tentu saja penarikan kesimpulan seperti ini, yang
ditarik berdasarkan cuplikan (sample) dari po-pulasi yang bersangkutan, tidak
selalu akan seteliti kesimpulan yang ditarik berdasarkan sensus yakni dengan
jalan mengamati keseluruhan populasi tersebut. Namun bu-kankah dalam
penelaahan keilmuan yang bersifat pragmatis, di mana teori keilmuan tidak
ditujukan ke arah penguasaan pengetahuan yang bersifat absolut, sesuatu yang
tidak mutlak teliti namun dapat dipertanggungjawabkan adalah sudah
memenuhi syarat?
Statistika mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yang pada pokoknya didasarkan pada asas yang
sangat sederhana, yakni makin besar contoh yang diambil maka makin tinggi
pula tingkat ketelitian kesimpulan tersebut. Sebaliknya makin sedikit contoh
yang diambil maka makin rendah pulatingkat ketelitiannya. Karakteristik ini
memungkinkan kita untuk dapat memilih dengan seksama tingkat ketelitian
yang dibutuhkan sesuai dengan hakekat permasalahan yang dihadapi. Tiap
permasalahan membutuhkan tingkat ketelitian yang berbeda-beda. Sekiranya
kita ingin mengoperasi otak manusia maka kesala-han beberapa milimeter saja
dalam memotong jaringan yang sangat peka tersebut mungkin akan berakibat

fatal. Pengetahuan kita mengenai jaringan tersebut haruslah bersifat seteliti


mungkin sebab kesalahan yan sedikit saja akan menyebabkan kerugian yang
sangat besar. Namun hal ini tidak demikian halnya bila kita bandingkan
dengan persoalan kita di atas mengenai tinggi rata-rata anak umur 10 tahun di
Indonesia. Selisih berapa sentimeter dari tinggi rata-rata yang sebenarnya
mungkin tidak akan berarti banyak seperti halnya dengan pembedahan otak
tersebut di atas.
Statistika juga memberikan kemampuan kepada kita untuk mengetahui apakah
suatu hubungan kesulitan antara dua faktor atau lebih bersifat kebetulan atau
memang benar-benar terkait dalam suatu hubungan yang bersifat empiris.
Umpamanya saja kita melakukan pemupukan terhadap sejumlah rumpun padi.
Berdasarkan teori yang hipotesisnya sedang kita uji maka secara logis batang
padi yang dipupuk seharusnya bertambah tinggi. Namun bila kita teliti batang
padi yang tidak dipupuk maka mungkin saja beberapa batang diantaranya juga
akan bertambah tinggi disebabkan oleh hal-hal di luar pemupukan tersebut.
Hal ini bisa disebabkan oleh kesuburan tanah yang dit umbuhi batang tersebut
agak berlainan dengan tanah di sekitarnya, atau mungkin juga batang pagi
tersebut mempunyai karakteristik genetik tersendiri meskipun bera-sal dari
species yang sama dengan rumpun padi lainnya, atau mungkin juga
disebabkan berbagai-bagai hal lainnya yang berada di luar hubungan kasalita
antara tinggi batang padi dan pemupukan. Atau dengan perkataan lain, bisa
saja terjadi bahwa hubungan antara tinggi batang padi dengan pemupukan
tersebut hanya terjadi secara kebetulan saja. Pengamatan secara sepintas lalu
sering memberikan kesan kepada kita terdapatnya suatu hubungan kasualita
antara beberapa faktor, di mana kalau kita teliti lebih lanjut ternyata hanya
bersifat kebetulan. Jadi dalam hal ini statistika berfungsi meningkatkan
ketelitian pengamatan kita dalam menarik kesimpulan dengan jalan menghindarkan hubungan semua yang bersifat kebetulan.
Terlepas dari semua itu maka dalam penarikan kesimpulan secara induktif
keke-liruan memang tak bisa dihindarkan. Dalam kegiatan pengumpulan data
kita terpaksa mendasarkan ciri kepada berbagai alat yang pada hekekatnya
juga tidak terlepas dari cacat yang berupa ketidakterlitian dalam pengamatan.
Pancaindera manusia sendiri I tidak sempurna yang bisa mengakibatkan
berbagai kesalahan dalam pengamatan kita. Demikian juga dengan alat-alat
yang dipergunakan,semua tak ada yang sempurna. Kegiatan pengamatan

pancaindera manusia dengan mempergunakan berbagai alat jelas t mengarah


kepada ketidak terlitian dalam penarikan kesimpulan. Di atas semua ini
statistika memberikan sifat yang pragmatis kepada penelaahan keilmuan; di
mana dalam kesadaran bahwa suatu kebenaran absolut tidak mungkin dapat
dicapai,

kita

berpendirian

bahwa

suatu

kebenaran

yang

dapat

dipertanggungjawabkan dapat di-peroleh.


Penarikan kesimpulan secara statistik memungkinkan kita untuk melakukan
kegiatan ilmiah secara ekonomis, hal yang tanpa statistika tak mungkin dapat
dilakukan. Atau di pihak lain, kita melakukan penarikan kesimpulan induktif
secara tidak syah, dengan mengacaukan logika induktif dengan logika
deduktif. Karakteristik yang dipunyai statistika ini sering kurang dikenali
dengan baik yang menyebabkan orang sering melupakan pentingnya statistika
dalam penelaahan keilmuan. Logika lebih banyak dihubungkan dengan
matematika dan jarang sekali dihubungkan dengan statistika, padahal hanya
logika deduktif yang berkaitan dengan matematika sedangkan logika induktif
justru berkaitan dengan statistika. Hal ini menimbulkan kesan seakan fungsi
matematika lebih tinggi dibandingkan dengan statistika dalam penelaahan keilmuan. Secara hakiki statistika mempunyai kedudukan yang sama dalam
penarikan

kesimpulan

induktif

seperti

matematika

dalam

penarikan

kesimpulan secara deduktif. Demikian juga penarikan kesimpulan deduktif


dan induktif keduanya mempunyai kedudukan yang sama pentingnya dalam
penelaahan keilmuan. Pada satu pihak, jika kita terlalu mementingkan logika
deduktif maka kita terjatuh kembali kepada paham rasionalisme, sebaliknya di
pihak lain, jika kita terlalu mementingkan logika induktif maka kita mundur
kembali kepada empirisme. Ilmu dalam perkembangan sejarah Deradaban
manusia telah menggabungkan kedua pendekatan ini dalam bentuk metode
lmiah yang mendasarkan diri kepada keseimbangan ini maka harus dijaga pula
kese-mbangan antara pengetahuan tentang matematika dan statistika ini.
Untuk itu pen-lidikan statistika harus ditingkatkan agar setaraf dengan
matematika, Peningkatan ni bukan saja mencakup aspek-aspek teknis namun
lebih penting lagi mencakup pe-igetahuan mengenai hakekat statistika dalam
kegiatan metode ilmiah secara keseluru-lan. Pendidikan statistika, menurut
Ferguson, pada hakekatnya adalah pendidikan ialam metode ilmiah. 6)

karakteristik Berfikir Induktif

Kesimpulan yang didapat dalam berfikir deduktif merupakan suatu hal yang
pasti, di mana jika kita mempercayai premis-premis yang dipakai sebagai
landasan penalarannya, maka kesimpulan pernalaran tersebut juga dapat kita
percayai

kebenaannya

sebagaimana

kita

mempercayai

premis-premis

terdahulu. Hal ini tidak berlaku lalam kesimpulan yang ditarik secara induktif,
meskipun premis yang dipakainya adalah benar dan penalaran induktifnya
adalah syah, namun kesimpulannya mungkin saja salah. Logika induktif tidak
memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa untuk premispremis tertentu suatu kesimpulan tertentu dapat ditarik. Jika selama bulan
Oktober dalam beberapa tahun yang lalu hujan selalu turun, maka kita tidak
bisa memastikan bahwa dalam bulan Oktober tahun ini juga akan turun hujan.
Kesimpulan yang dapat kita tarik dalam hal ini hanyalah pengetahuan
mengenai tingkat peluang untuk hujan dalam tahun ini juga akan turun.
Statistika merupakan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk menarik
kesimpulan secara induktif berdasarkan peluang tersebut. Dasar dari teori
statistika adalah teori peluang.Teori peluang merupakan cabang dari
matematika sedangkan statistika sendiri merupakan disiplin tersendiri.
Menurut bidang pengkajiannya statistika dapat kita bedakan sebagai statistika
teoritis dan statistika terapan. Statistika teoritis merupakan pengetahuan yang
mengkaji dasar-dasar teori statistika dimulai dari teori penarikan contoh,
distribusi, penaksiran dan peluang. Statistika terapan meruakan penggunaan
statistika teoretis yang disesuaikan dengan bidang tempat pe-nerapannya. Di
sini diterapkan atau dipraktekkan teknik-teknik penarikan kesimpulan seperti
bagaimana cara pengarhbil sebagian populasi sebagai contoh, bagaimana cara
menghitung rentangan kekeliruan dan tingkat peluang, bagaimana menghitung
harga rata-rata dan sebagainya.
Kegiatan ilmiah memerlukan penelitian untuk menguji hipotesis yang
diaiukan. Penelitian pada dasarnya merupakan pengamatan dalam alam
empiris apakah hipotesis tersebut memang didukung oleh fakta-fakta. Jika
umpamanya kita mempunyai hipotesis bahwa orang muda suka musik pop
namun tidak musik keroncong maka kita harus melakukan pengujian untuk
memperlihatkan bahwa hipotesis tersebut benar dengan jalan mengumpulkan
fakta mengenai kesukaan musik orang-orang muda. Tentu saja kita tidak bisa
mengadakan wawancara dengan seluruh orang muda dan untuk itu statistika
terapan memberikan jalan bagaimana memilih sebagian dari orang muda

tersebut sebagai contoh yang representatif dan obyektif dari keseluruhan populasi orang muda tersebut. Demikian juga statistika memberikan jalan
bagaimana kita menarik kesimpulan yang bersifat umum dari contoh tersebut
dengan tingkat peluang dan kekeliruannya. Jelaslah kiranya bahwa tanpa
menguasai statstika adalah tak mungkin untuk dapat menarik kesimpulan
induktif dengan syah.
Bahwa penguasaan statistika mutlak diperlukan untuk dapat berfikir ilmiah
dengan syah sering sekali dilupakan orang. Berfikir logis secara deduktif
sering sekali dikalcaukan dengan berfikir logis secara induktif. Kekacauan
logika inilah yang menye-babkan kurang berkembangnya ilmu di negara kita.
Kita cenderung untuk berfikir logis secara deduktif dan menerapkan prosedur
yang sama untuk kesimpulan induktif. Dalam hipotesis terdahulu mengenai
kesukaan musik orang muda tidak jarang kita langsung menarik kesimpulan
berdasarkan wawancara kita dengan beberapa orang muda yang kebetulan kita
kenal. Prosedur penarikan kesimpulan yang subyektif ini, yang bersumber
pada kekacauan penggunaan logika induktif dan deduktif, merupakan salah
satu penghalang kemajuan ilmu, sebab kesimpulan yang ditarik adalah tidak
syah. Kesimpulan seperti ini sukar untuk diterima sebagai premis untuk berfikir selanjutnya.
Untuk mempercepat perkembangan kegiatan keilmuan di negara kita maka penguasaan berfikir induktif dengan statistika sebagai alat berfikirnya harus
mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Dalam perjalanan sejarah
statistika memang sering mendapat tempat yang kurang layak. Statistika
sebagai suatu disiplin keilmuan sering dikacaukan dengan statistik yang
berupa data yang dikumpulkan. Disebabkan data yang dapat disunglap atau
kurang dapat dipercaya maka tumbuhlah secara sosiologis kata-kata bersayap
seperti yang diucapkan Disreaeli, yang mengatakan bahwa terdapat tiga jenis
kedustaan yakni 'dusta, dusta besar dan statistik." Salah paham ini supaya
bukan sekedar milik ahli politik, bahkan penyair W.H. Auden pun ikut
bersajak. 7)
Jangan

duduk

dengan

seorang

ahli

statistik

Atau mempercayai ilmu sosial .............


Dalam masyarakat kita sendiri kesalahpahaman ini kelihatannya masih
terdapat. Salah paham ini harus segera dihilangkan agar siklus berfikir ilmiah
dapat dilakukan dengan lengkap. Mereka yang berkecimpung dalam kegiatan

ilmiah harus dibekali dengan penguasaan statistika yang cukup agar


kesimpulan yang ditariknya merupakan kesimpulan ilmiah yang syah.
Statistika harus mendapat tempat yang sejajar. dengan matematika agar
keseimbangan berfikir deduktif dan induktif yang merupakan ciri dari berfikir
ilmiah dapat dilakukan dengan baik.
Ahli statistika tak usah berkecil hati dengan pandangan yang negatif terhadap
statistika ini, sebab hal yang serupa, pernah berlaku juga untuk matematika.
Tak kurang dari filsuf Schopenhauer (1788-1860) yang menganggap bahwa
berhitung merupakan aktivitas mental yang paling rendah sebab hal ini dapat
dilakukan dengan mesin. 8) Demikian juga St. Augustine pernah berkata:
"Hati-hati terhadap ahli matematika dan mereka yang membuat ramalanramalan dusta!' *)
Statistika merupakan sarana berfikir yang diperlukan untuk memproses pengetahuan secara ilmiah. Sebagai bagian dari perangkat metode ilmiah maka
statistik
membantu

kita

untuk

melakukan

generaalisasi

dan

menyimpulkan

karakteristik suatu kejadian secara lebih pasti dan bukan terjadi secara
kebetulan. Sekiranya terdapat seorang gila dalam sepuluh orang yang
kebetulan

berkumpul

bersama-sama

maka

berdasarkan

akal

sehat

kemungkinan besar yang seorang itulah yang akan disebut orang gila.
Meskipun tentu saja, penilaian orang tidak selalu sama, seperti seorang
mahasiswa yang mempunyai teori signifikansi tersendiri dalam bercinta

Minta cium kepada sepuluh gadis


Yang kau jumpai di jalan
Meski kau ditampar sembilan
Bukankah kesepuluh yang menentukan?

(Dia menuliskan teori ini, sewaktu profesor matematika membicarakan


geometri Non-Euclid).

BAB VIII
ILMU DAN TEKNOLOGI
Ilmu dapat chpandang sebagai produk, sebagai proses dan sebagai paradigm a
ethika. Ia berusaha memahami alam sebagaimana adanya. Karena realitas itu
amat rumit dan pada dasarnya misterius, kebenaran pemahaman itu senantiasa
bersifat janggelan (provisional). Salah satu ciri teori keilmuan ialah bahwa ia
berdaya ramal, dan selalu terbuka untuk diuji dan ditumbangkan dengan
falsifikasi yang sahih. Teknologi adalah ilmu terapan yang telah
dikembangkan lebih lanjut, dan meliputi baik perangkat keras (hardware)
maupun perangkat lunak (software). Ilmu dan teknologi adalah kekuasaan,
atas alam, manusia dan kebudayaan-nya.
Ilmu dan teknologi, serta pengembangan dan penerapannya, memerlukan
pengarahan dan penilaian. Pandangan "critical interactionist" memberikan
penilaian dan pengarahan itu melalui pengembangan dialog dengan fakta,
nilai-nilai, dan manusia.
Sampai beberapa tahun berselang, lazimnya orang memandang ilmu sebagai
proses, sebagai produk, dan sebagai paradigma etika.
Dipandang sebagai proses, ilmu adalah suatu kegiatan sosial. Dalam kegiatan
sosial ini kita berusaha memahami alam, termasuk juga manusia dan
perilakunya, baik sebagai perseorangan, maupun sebagai kelompok.
Pemahaman itu bukanlah sebagaimana yang kita inginkan atau bayangkan,
melainkan apa adanya. Metode keilmuan karena-nya bercirikan kebernalaran
(rasionalitas) dan keobyektifan. Kegiatan keilmuan itu se-jauh mungkin juga
harus impersonal, dan penganalisaan masalah-masalah terutama di-dasarkan
atas percobaan dan data pengamatan.
Sebagai produk, ilmu adalah segala pengetahuan yang telah didapat melalui
metode keilmuan dan menjadi milik umum, artinya mengenai pengetahuan
tersebut tak ada lagi pertentangan pendapat yang mendasar di kalangan
masyarakat ilmuwan. Ilmu, atau pengetahuan keilmuan, karenanya hanya
terbatas pada rumusan-rumusan dan pernyataan-pernyataan yang telah
memperoleh persetujuan dunia keilmuan, dan yang senantiasa terbuka untuk
diuji kebenarannya. Karena itu pula, betapa pun telah mapannya suatu teori
keilmuan, pada dasarnya bisa saja sewaktu-waktu ia ditumbangkan.
Dipandang dari perangkat nilai-nilai yang dijunjungnya, ilmu menurut Merton
ialah suatu masyarakat yang berpegang pada empat norma, yakni

universalisme, komu-nalisme, "disinterestedness" dan skeptisisme yang


terorganisasi. Universalisme menyi-ratkan ketaktergantungan ilmu terhadap
masalah ras, warna kulit atau keyakinan. Pada dasarnya ilmu bersifat
internasional. Komunalisme berarti bahwa ilmu adalah pengetahuan milik
umum. Di atas telah dijelaskan, apa yang dimaksudkan dengan "disinterested".
Dalam hal ini ilmu merupakan kosokbali propaganda, seperti yang kadangkadang diterapkan demi keyakinan politik atau ideologj tertentu, dan lebih kita
kenal lagi ber-laku di dunia periklanan dan pemasaran sesuatu produk.
Skeptisisme artinya tak begitu saja menerima kebenaran apa pun semata-mata
berdasarkan bobot atau wewenang tokoh yang mengungkapkannya.
Deskripsi konvensional di atas kini sudah mulai usang, dan tak lagi memadai
untuk melukiskan keseluruhan ilmu. Ilmu terus berkembang, dan di dunia
modern se-karang ini ilmu telah mengalami perubahan-perubahan dalam
perangainya. Praktek-praktek masyarakat ilmuwan dalam -kegiatannya bukan
saja dipengaruhi oleh Weltans-cuhuung dan perspektif religius dan politik
sang ilmuwan, melainkan juga telah diba-yangi ilmu itu sendiri dalam
hakekatnya sebagai kekuasaan. Karena itu, gambaran konvensional sebagai
ilmu itu kini hanya berlaku bagi bagian ilmu yang kecil (namun amat penting).
Bagian ini tidak, atau setidak-tidaknya tak secara langsung, berkaitan dengan
fungsi ilmu sebagai sarana untuk mengubah dunia. Bagian ilmu ini sematamata hanya ingin memahami alam. Itulah yang disebut ilmu-dasar (untuk
mengontraskannya dengan ilmu terapan).
ILMU DAN NILAI-NILAI
Menurut deskripsi konvensional di atas, ilmu bertumpu pada penganalisaan
data pengamatan dan percobaan secara impersonal. Benarkah pandangan ini?
Seberapa jauh-kah keyakinan keilmuan kita diwarnai oleh nilai-nilai yang kita
junjung tinggi? Dilihat sebagai proses, ilmu adalah suatu kegiatan sosial,
sehingga sejarah perkembangannya tentu tak bisa dipisahkan dari sejarah
perkembangan masyarakat dan dunia.
Jelaslah,

bahwa

pilihan

kita

akan

pokok-pokok

penelitian

untuk

mengembangkan ilmu sangat dipengaruhi oleh kepentingan dari oleh sistem


nilai kita. Dalam abad ke-15 dan ke-16, ketika dunia sedang dijelajahi dan
perdagangan komoditi sedang berkembang, ada kepentingan yang mendesak
untuk mengembangkan navigasi. Sebagai akibat-nya ilmu dasar di cabang
astronomi memperoleh perhatian penuh. Gerak edaran bulan, jarak bumi ke

matahari, pola letak dan peredaran bintang-bintang diselidiki, antara lain


karena pengaruh kebutuhan di bidang navigasi. Sekarang tak perlu jauh-jauh
kita meli-hat. Dari penelitian ruang angkasa luar saja jelas sudah, bahwa ada
hubungan erat antara besarnya dana serta usaha yang dicurahkan beberapa
negara besar untuk itu, dengan pengetahuan yang rinci tentang permukaan
bumi dan penerapannya di bidang mi-liter dan demi kepentingan ekonomi
(sumberdaya alam). Sistem nilai kita mempenga-ruhi kesepakatan kita
mengenai apa yang kita anggap merupakan pengetahuan keilmuan. Dalam era
Ptolomaeus, konsep alam semesta yang berpusat di bumi mencerminkan
pilihan religius terhadap jagad yang berpusat pada manusia. Di zaman
Copernicus, sistem heliosentrik menunjukkan pula gagasan mistik tentang
penting dan sentralnya posisi matahari. Konsep jagad yang berpusat pada
matahari itu juga mencerminkan karatahan (simplicity) konseptual yang lebih
kitasukai. Keberhasilan Dalton dan Einstein dalam berolah ilmu dipengaruhi
keyakinan mereka atas asas keratahan dan asas kehematan.1) Tak kurang dari
ilmuwan besar seperti Einstein sendiri yang dengan gigih melawan mashab
(Copenhagen (Erwin Schrodinger dkk): Eintein menentang gagasan-gagasan
kementakan (probalistic ideas) dalam mekanika kuantum atas dasar prasangka
terhadap dunia yang diatur oleh peluang (chance). Kontroversi di Amerika
sekarang ini di bidang penelitian genetika juga menunjukkan bahwa anggapan
bahwa ilmu itu bebas-nilai ternyata tak sesuai dengan kenyataan.

HAKEKAT REALITAS
Dalam gambaran konvensional tentang ilmu, khususnya dalam uraian
mengenai ilmu sebagai proses, dikatakan di atas bahwa pemahaman (akan
alam) itu . . . apa adanya. Tetapi bisakah kita, melalui ilmu, sampai kepada
hakekat alam sebagaimana adanya?
Sepotong batu adalah sesuatu yang nyata, bukan khayalan. Batu, kata Hanbury
Brown, adalah bongkahan zat padat yang ! em bam dan tegar, yang jika
dilemparkan ke jendela kaca akan memecahkan kaca tersebut. Apakah ini
berarti bahwa kita telah memahami sepenuhnya hakekat sepotong batu?
Menurut ilmu (Fisika Modern) di dalam batu itu sebagian besar kosong,
karena inti-inti atom yang menyusun molekul-molekul-nya relatif kecil sekali,
dan jarak antara inti-inti itu dengan elektron yang mengendarai-nya relatif
bukan alang kepalang Jauhnya. Ruang kosong itu hanya berisi apa yang di-

sebut fluktuasi vakum dan zarah-zarah virtual. Inti-inti atom dan eiektronelektron itu kadang-kadang berperilaku sebagai zarah, tetapi kadang-kadang
juga sebagai gelombang (dualisme/komplementaritas zarah-gelombang), dan
terdiri atas entitas-entitas lain yang misterius yang disebut kuark (quark). Jadi
meskipun batu itu lembam dan jika dilemparkan akan menempuh lintasan
yang bisa diramalkan dengan mekanika Newton atau, kalau kurang teliti,
dengan Teori Kenisbian Umum-nya Einstein, namun kualitas sederhana
seperti kelembaman (inertia) itu sendiri rupanya masih penuh rahasia.
Jelaslah, bahwa konsep kita tentang batu yang nyata itu tak lain daripada suatu
abstraksi yang didasarkan pada sifa-sifat batu yang kita peroleh dari
pengalaman kita sehari-hari dalam meiihat dan merasakan batu. Pengertian itu
hanyalah semacam ibarat, yang menggambarkan sesuatu yang lebih mendasar,
lebih rumit dan pada dasarnya misterius. Jadi keseluruhan gambaran keilmuan
kita tentang dunia dapat kita pan dang sebagai semacam kiasan yang
melukiskan dan menghubungkan abstraksi yang kita buat dengan realitas yang
(mungkin tak-berhingga) kompleks. Abstraksi-abstraksi ini sifat-nya terbatas
dan kita pilih. Terbatas, karena teori kita dan peranti-peranti pengamatan kita
terbatas kemampuannya, dan terpilih karena bagaimana pun kita tak bisa
membe-baskan kegiatan kita (termasuk kegiatan-keilmuan yang membuahkan
ilmu) dari nilai-nilai kita. Dengan kata lain, pemahaman kita akan realitas takbisa-tidak dan mau-tak-mau serantisa tak lengkap dan sifatnya "janggelan"
(provisional).
Lebih-lebih lagi kalau kita sadari bahwa apa yang kita amati, dan karenanya
juga hasil pengamatan kita itu, sedikit banyak juga selalu dipengaruhi oleh
pengamatan kita. Hal ini jelas bukan saja dalam pengamatan perilaku manusia
(pemeriksaan pasien oleh psikologiwan, pengamatan guru-pamong atas
penampilan mahasiswa dalam praktek mengajar, dan sebagainya), tetapi
bahkan di bidang Fisika Inti dan Zarah-Zarah Ke-unsuran pengaruh
pengamatan pada yang diamati itu tak bisa lagi dihindari (Asas
Ketakpastian/Principle of Uncertainty, Wehner Heisenberg).
PENGETAHUAN
Dalam uraian di bawah ini akan kita renungkan lebih lanjut apa-apa yang di
muka telah kita sebut dengan nama "pengetahuan". Konsekuensi penerimaan
takrif (definisi) "ilmu" kita ialah, bahwa semua buah fikiran dan pemahaman
kita tentang dunia, yang kita peroleh tanpa melawati daur hipotetiko-dedukto-

verifikatif, adalah bukan ilmu. Itu semua kita namakan "pengetahuan''. Jadi
pengetahuan yang sifatnya dogmatis, atau terlampau banyak mengandung
spekulasi sehingga tak lagi berpijak pada kenyataan empiris, adalah bikan
ilmu.
Salah satu ciri teori keilmuan ialah bahwa ia berdaya-ramai (prediktif).
Namun, kendati sama-sama bergerak di bidang ramal-meramal, "ramalan
bintang Anda" atau "ramalan buntut SSB (sumbangan sosial berhadiah)"
adalah bukan ilmu. Sebutlah itu "Pengetahuan", kalau mau, tetapi bukan ilmu.
Sebaliknya, ramalan cuaca merupakan bagian ilmu, yakni Ilmu Cuaca atau
Meteorologi. Nujum spekulatif bahwa dunia akan kiamat pada tahun 2001,
misalnya, jelas bukan ilmu. Tetapi teori tentang "lubang hitam" (black hole),
atau skenario futurologiwan tentang keadaan dunia apabila bahan-bakar fossil
sudah terkuras habis dan bukan bahan bakar nuklir (fissil dan fertil).
melainkan tenaga surya. yang kita manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan
kita akan energi, bisa memenuhi patokan ilmu, meskipun juga spekulatif
karena penyahihannya belum secara tuntas dapat dilakukan.
Jadi yang penting bukan hanya penyahihannya, melainkan juga cara pelintasan
bagian-bagian lain dari daur hipotetiko-dedukto-varifikatif. Pengimbasan,
yang perlu untuk menurunkan andaian-andaian dasar, harus berRijak di dunia
fakta, entah lewat pengalaman bawah-sa'dar, atau pengamatan yang dilakukan
secara sengaja, atau berkat inspirasi yang "tiba-tiba" membersit dari khazanah
data dan hasil perenungan yang ada dalam fikiran kita. Penjabaran juga harus
merupakan rentetan pemikiran yang logis-matematis dan konsisten. Ia
bertolak dari hipotesis dan/atau postulat, berkulmi-nasi dalam bangunan teori
yang koheren, dan berakhir pada ramalan-ramalan yang dalam penyahihannya
nanti harus sesuai dengan fakta eksperimental. Di atas telah dikatan, bahwa
"ilmu" perlu dibedakan dari "pengetahuan". Tidak dikatakan bahwa "ilmu"
(kalau pun bisa) dipisahkan dari "pengetahuan", -apalagi disiratkan seakanakan "pengetahuan" itu tak penting. Kita sependapat dengan fisikawan V.
Weisskopf,2) pengubah pemain-pemimpin musik L. Bernstein3) dan filsuf
C.A. van Peursen,4) bahwa ilmu itu, meskipun amat berguna, adalah terbatas.
Ilmu tak mampu memberikan pemahaman yang lengkap-menyeluruh tentang
hakekat alam dan pengalaman nara (human experience). Bahkan segi-segi
pengalaman nara yang dapat dijelaskan oleh ilmu justru bukan aspek yang
paling penad (relevant) dan bermakna (significant). Karena itu kita

memerlukan disiplin dan penghampiran-penghampiran (approaches) lain,


seperti yang ditempuh dalam filsafat, aesteika, ethika dan agama, misalnya,
dalam usaha kita memahami hakekat alam dan keberadaan kita.
Dalam proses penjabaran (deduksi), yang bisa bsrlangsung semata-mata di
dunia penalaran, terjadi abstraksi. Dalam proses abstraksi yang berkelanjutan,
semakin jauh jarak teori dari realitas, agar proses itu bisa mengendalikan
peristiwa-peristiwa
keilmuan.

dengan

Formalisasi

lambang-lambang

logis

ini

memuncak

yang

diciptakan

dalam ilmu-ilmu

secara
yang

memproyeksikan struktur-struktur realitas yang mungkin, tanpa menoleh lagi


ke obyek-obyek yang konkret. Dalam artian ini, Matematika Murni mungkin
tak pantas disebut "ilmu", meskipun sebagai "bahasa" atau "alat" mungkin ia
(pada suatu waktu kelak) bisa sangat berguna bagi pengembangan ilmu.

KOMPLEMENTARITAS ANTARA ILMU DAN PENGETAHUAN


Melalui abstraksi yang berbeda namun ditarik dari realitas yang sama, dapat
diperoleh konsep-konsep yang sangat berlainan, dan bahkan saling
bertentangan, tentang hal atau benda yang kita amati. Dalam teori Fisika
Modern, cahaya berperi-laku sebagai gelombang atau sebagai zarah,
tergantung pada jenis pengamatan kita lakukan. Tak bisa kita menjelaskan hal
ini dengan akal sehat (common sense). Secara keilmuan, cahaya hanya
mungkin diterangkan dengan teori yang matematis sifatnya, dan yang mampu
meramalkan perilaku cahaya itu dalam situasi yang ditinjau. Soalnya, cahaya
sebenarnya bukan gelombang dan bukan pula zarah, cahaya adalah sesuatu
yang bukan kepalang jauh lebih rumitnya, - sesuatu yang tak dapat
dibayangkan berdasarkan pengalaman kita sehari-hari. Namun kedua konsep
cahaya tersebut di atas, yakni berdasarkan teori undulasi dan berdasarkan teori
partikel, sama-sama sahihnya dalam batas-batas ranah (domain) nya. Kedua
konsep

semacam

itu

disebut

saling-melengkapi

atau

komplementer

(complementary).
Ilmu dan pengetahuan juga komplementer. Pemahaman yang lebih lengkap
tentang hakekat sesuatu realitas bisa dicapai lewat perpaduan antara ilmu dan
pengetahuan. Jaringan struktur-struktur logika yang amat luas, yang dilalui
proses pem-bangunan teori lewat model dan lambang-lambang yang
merupakan abstraksi dan sekaligus penyederhanaan realitas yang hendak
dijelaskan oleh teori tersebut, mem-buat ilmu menjadi terbatas dan sempit

tempat cakupannya. "Bahasa" ethika bisa lebih jauh jangkauannya, dan agama
lebih berakar motivasinya. Perkembangan-per-kembangan baru dalam
penelahaan metode keilmuan menunjukkan tumbuhanya ke-sadaran akan
kaitan antara ilmu dan matra-matra (dimensions) yang lebih luas dari
pengetahuan manusia. Bahkan, seperti dikatakan Presiden Suharto dalam
pidato pembukaan Konvensi Alumni ITB, moral harus memberi arah bagi
pengembangan ilmu. Komitmen moral dan/atau keagamaan agaknya perlu
mendahului kegiatan keilmuan.

TEKNOLOGI
Telah diterangkan di muka apa yang disebut ilmu dasar (basic science,
fundamental science). Walaupun sangat penting, kini ilmu dasar hanya
merupakan bagian yang kecil saja dari keseluruhan kegiatan keilmuan. Dana
yang dijatahkan bagi pengambang-an ilmu dasar di seluruh dunia dewasa ini
kurang dari 5% biaya total yang disediakan bagi kemajuan ilmu.
Di samping ilmu dasar kita kenal ilmu terapan (applied science). Tujuan
kegiatan keilmuan dalam ilmu terapan bukannya demi kemajuan ilmu itu
seniri, melainkan untuk memecahkan masalah-masalah praktis dan mengatasi
kesulitan-kesulitan yang dihadapi manusia. Jadi berbeda dari ilmu dasar, yang
tujuannya adalah untuk mengetahui iebih banyak dan memahami lebih
mendalam tentang alam dan segenap isinya. Hasil-hasil yang telah dicapai
ilmu dasar menawarkan kepada kita sederetan alternatif. Adalah tugas ilmu
terapan untuk memilih dari antara alternatif-alternatif ini, yang mana yang
bisa dipakai untuk memecahkan persoalan praktis dalam masyarakat.
Hasil-hasil

kegiatan

ilmu

terapan

itu

masih

harus

dialihragamkan

(ditransformasi-kan) menjadi bahan, atau peranti, atau prosedur, atau teknik


pelaksanaan sesuatu proses pengelolaan atau produksi. Transformasi ini
biasanya disebut kegiatan pengembangan (development). Di dalamnya
termasuk perancangan industri (industrial design), yakni mencari jalan pintas
yang paling efisien dan paling murah serta paling aman untuk melaksanakan
produksi massal dari produk (bahkan atau peranti) yang protb-tipenya
merupakan hasil-hasil kegiatan ilmu terapan. Tindaklanjut dan hasil kegiatan
pengembangan adalah teknologi. Jadi, teknologi bisa dipandang sebagai
penerapan ilmu. Kemana arah dan terhadap apa atau siapa penerapan itu

dikenakan, amat tergantung pada kepentingan si penguasa teknologi itu dan


nilai-nilai moral ethikanya.
Jika teknologi itu diabdikan bagi kesejahteraan umat manusia dan terciptanya
masyarakat yang adil, partisipatif dan lestari, teknologi itu amat tinggi nilai
dan man-faatnya. Dalam artian ini, ilmu yang melahirkan teknologi, jelas
sangat dibutuhkan manusia untuk mengatasi berbagai masalah, seperti
masalah pangan, energi, kesehatan dan sebagainya. Karena itu ilmu bisa
memainkan peranan yang positif, - juga untuk masa depan. Penolakan ilmu,
seperti yang dilakukan oleh gerakan-gerakan anti kebu-dayaan (counter
culture movements)5) atau beberapa kecendemngan Tradisionalisme Timur,
akan mendatangkan malapetaka bagi masyarakat manusia. Sebaliknya, di
tangan binatang ekonomi yang rakus dan tak segan-segan mengkesploitasi
sesamanya manusia, atau dalam penguasaan kaum militer yang gila perang,
ilmu dan teknologi merupakan ancaman yang amat menakutkan.
Seperti dikatakan oleh Francis Bacon, ilmu adalah kekuasaan. Dan kalau ilmu
adalah kekuasaan, maka teknologi merupakan alat kekuasaan itu. Kekuasaan
ilmu dan teknologi itu adalah atas manusia, atas kebudayaan dan atas alam.

KEKUASAAN ATAS MANUSIA


Kekuasaan ilmu dan teknologi atas manusia ini terutama dirasakan oleh rakyat
yang ditindas oleh sistem-sistem teknologi, baik yang dikendalikan oleh
kelompok asing (perusahaan transnasional, misalnya) maupun oleh kelompok
elite bangsanya sendiri. Penggunaan ilmu dan teknologi dewasa ini dan di
masa lampau oleh masyarakat yang industri dan teknologinya maju demi
kepentingan militer dan ekonominya mendatangkan penderitaan besar kepada
rakyat kecil di negara-negara Dunia Ketiga.
Tata Ekonomi Dunia sekarang ini, dengan agihan (distribusi) kekuasaan ilmu
dan teknologi yang amat senjang dan pembagian kerja internasional yang tak
adil, adalah didasarkan pada motif eksploitasi dalam berbagai bentuknya. Ini
nampak, misalnya, dalam pemusatan kekuasaan yang berlebihan di dalam
birokrasi pemerintah, tiada atau sangat kurangnya partisipasi masyarakat
dalam pengambilan keputusan-keputusan yang akan langsung menyangkut
nasibnya, perusakan lingkungan, dan desakan yang
konsumerisme.

kuat ke arah

Baik dalam lingkup nasional, maupun secara internasional, ilmu dan teknologi
dikendalikan dan dimanfaatkan, dan dalam banyak hal juga disalahgunakan,
oleh golongan elite. Dalam suatu studi yang dilakukan UNESCO dalam tahun
1979, ter-ungkap bahwa 97,3% dari semua dana penelitian ilmu dan teknologi
dipakai oleh negara-negara industri yang telah maju. Sisanya, yakni 2,7%,
meneteske negara-negara yang sedang berkembang, yang note bene jumlah
penduduknya 65% dari jumlah penduduk dunia!
Karena itu kini sangat diperlukan suatu Tata Ekonomi Internasional Baru,
suatu program politik untuk meningkatkan kemampuan negara-negara yang
sedang berkembang dalam ilmu dan teknologi, demi pemerataan ilmu dan
teknologi yang adalah kekuasaan itu!

KEKUASAAN ATAS KEBUDAYAAN


Meskipun ilmu dan teknologi amat didambakan lantaran besarnya manfaat
yang bisa diperoleh manusia dari padanya, namun rakyat di negara-negara
Dunia Ketiga sering merasakan dampak ilmu dan teknologi yang merusak atau
melunturkan nilai-nilai kebudayaan yang dijunjung tinggi. -Kebudayaan
modern yang didominasi oleh ilmu dan teknologi menciptakan krisis identitas
yang gawat. Orang cenderung merasakan alienasi budaya di masyarakatnya
sendiri.
Untuk bisa keluar dari dilema ini, rupanya diperlukan visi spiritual dan
kultural yang diharapkan bisa "tut wuri handayani" kemajuan ilmu dan
teknologi. Visi ini di-harapkan bisa berinteraksi dengan visi keilmuan, dan
hasil saling-tidak ini mengoreksi kecenderungan-kecenderungan negatif ilmu
dan teknologi, sehingga ilmu dan teknologi muncul dalam bentuk-bentuk yang
bermanfaat dan manusiawi.
KEKUASAAN ATAS ALAM
Di zaman dahulu, manusia senantiasa menghadapi kekuasaan alam yang mendominasi kehidupannya. Kemudian dengan akal-budi dan usahanya, manusia
mengembangkan ilmu dan teknologi, sehingga hubungan kekuasaan itu kini
terbalik: Alam yang terawakuduskan (desacralized) kini berada di bawah
kekuasaan

manusia. Dengan

ilmu

dan

teknologi,

manusia

mampu

memusnahkan speciesnya sendiri; ya, bahkan mungkin mampu pula


memusnahkan seluruh kehidupan di bumi. Ilmu dan teknologi, dan kekuasaan

yang dikandungnya, mulai mengancam akan mendominasi kehidupan


manusia, seperti halnya alam dulu mendominasi kehidupan manusia purba.
Pengembangan ilmu demi ilmu itu sendiri tanpa mempedulikan akibat-akibat
sosialnya tak lagi bisa diterima, atau sekurang-kurangnya dipertanyakan
apakah bisa dibenarkan. Pertanyaan mulai dilontarkan, apakah tak sebaiknya
ada pengendalian terhadap kegiatan pengembangan ilmu dan teknologi, dan
apakah tak sepantasnya dilakukan intervensi terhadap bentuk-bentuk dan
praktek-praktek penelitian dan pengembangan yang nampaknya akan
menimbulkan akibat destruktif pada masyarakat.

PENGEMBANGAN ILMU DAN TEKNOLOGI: PENGARAHAN DAN


EVALUASINYA
Seperti telah diuraikan di muka (vide: Teknologi) rangkaian kegiatan pengembangan dan pemanfaatan ilmu dan teknologi adalah sebagai berikut:
penelitian dasar (basic research)
penelitian terapan (applied research)
pengembangan teknologi (technological development)
penerapan teknologi
Biasanya keempat langkah tersebut di atas kemudian disusul dengan evaluasi
ethis-pplitis-religius untuk menentukan, apakah hasil ilmu dan teknologi
tersebut benar-benar bisa diterima oleh masyarakat luas, apakah pengaruhnya
dalam tata kehidupan masyarakat tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang
dijunjung tinggi warga masyarakat itu. Alat atau metoda kontrasepsi baru,
misalnya, harus tahan-uji dari sorotan dari segi agama, meskipun ia efektif
dari segi perencanaan keluarga (family planning), sehat dan aman dari segi
medis, murah harganya dan mudah diperoleh di mana-mana, dan sama sekali
tak mengganggu kehidupan seksual para pemakainya.
Dengan makin menonjolnya arti ilmu (dan teknologi) sebagai kekuasaan (F.
Bacon), evaluasi susulan itu kian dirasakan tak memadai, sebab sering
terlambat dan akibat penerapan ilmu dan teknologi itu pada kehidupan
manusia telah terlanjur parah. Keterlambatan penilaian-akhir itu juga sering
disebutkan oleh tak berdayanya masyarakat menghadapi persekongkolan
politikawan-industriawan-kaum militer yang rakus dan cadok (myopic) atau
bahkan tak peduli terdapat risiko berat yang terpaksa di-tanggung oleh

masyarakat, termasuk juga masyarakat generasi yang akan datang, akibat ulah
mereka. Masalah ini terutama menyangkut penerapan teknologi tinggi padatmodal, sebab teknologi jenis ini (misalnya teknologi nuklir) sering berarti ketergantungan kepada pihak luar (negara maju), memerlukan konsentrasi daya
dan dana yang amat besar, merupakan usaha jangka panjang (belasan tahun),
dan akibat negatifnya, kalau ada, bisa sangat meluas dan sulit sekali
dikendalikan.
Karena itu, beberapa tokoh, misalnya filsuf C.A. van Peursen dan Presiden
Suharto, mulai mempertanyakan, apakah tak lebih baik evaluasi tersebut justru
di-tempatkan di muka, dilakukan sebelum tahap penelitian dasar dimulai.
Lebih baik lagi kalau pengarahan-awal secara moral-ethis itu kemudian
dilanjutkan dengan pengecekan (monitoring) selama rangkaian kegiatan itu
berjalan, dan akhirnya disusul lagi dengan penilaian-akhir. Dalam penilaianpenilaian tersebut forum yang luass dalam arti bukan para ahli saja, atau
penguasa melulu, harus diikut sertakan secara demokratis, tanpa mengapaikan
asas-asas keilmuan ya^g obyektif dan bernalar. Sikap yang terbuka harus
melandasi usaha penilaian itu, artinya keputusannya senantiasa dianggap
jenggelan (provisional) dan setiap waktu bisa ditinjau lagi serta disesuaikan
dengan pengetahuan yang didapat dari pengalaman dan hasil-hasil penelitian
itu sendiri. Moratorium yang pernah diberlakukan oleh pemerihtah Presiden
Carter atas pengembangan reaktor cepat-pembiak (fast breeder) yang sambil
menghasilkan

tenaga

bisa

memproduksi

bahan-bahan

fissil

(seperti

Plutonium-239 dan Uranium 233) dari bahan-bahan fertil (misalnya Uranium238 atau Thorium-232), merupakan contoh sikap keterbukaan terhadap
monitoring ethis-politis.
Pengarahan dan penilaian atas ilmu dan teknologi itu akan lebih mudah
dilaksana-kan jika kita semua, dan warga masyarakat ilmuwan terutama,
berpegang pada pan-dangan penyaling-tindak kritis (critical interactionist
view).
Tergantung pada mashab filsafat ilmu yang dianut seseorang, dari segi
aksiologi ilmu bisa dipandang sebagai:
jumbuh dengan tujuannya sendiri, dalam arti bahwa ilmu itu
mengandung nilai intrinsik yang tak tergantung pada penerapannya
secara praktis, dan bahwa pengembangan kemampuan intelektual serta

ketrampilan ilmuwan (individual "Bildung") merupakan bagian utama


dari tujuannya, atau:
bertujuan menyebarluaskan asas-asas penalaran keilmuan (scientic
rationality) dalam arti sempit, yakni terbatas pada norma-norma
metodologis, ke masyarakat luas untuk menghapus takhayul-takhayul
yang tak bernalar, atau:
bertujuan tunggal, yakni memperoleh pengetahuan keilmuan demi ilmu
itu sendiri; ada aspek-aspek kehidupan kultural yang, seperti ilmu,
bernilai pula, namun ilmuwan hanya bertugas memperoleh pengetahuan
yang obyektif dan terandalkan tentang alam, dan bersikap netral
terhadap nilai-nilai lain (agama, politik, dan sebagainya).
Dasar aksiologis yang pertama saja yang akan dibahas lebih lanjut, sebab
pandangan ini yang kita terima dan akan melandasi penentuan teba penelitian
keilmuan.
Pandangan bahwa tujuan ilmu ialah "individual Bildung" mulai berkembang
di kalangan universitas-universitas di Jerman pada awal abad ke-19. Menurut
pandangan ini, hasil-hasil kegiatan keilmuan yang dilaksanakan dengan
berpegang pada norma-norma metodologis tertentu, kemudian perlu
dirangkum (integrated) ke dalam ke-rangka kefilsafatan yang lebih luas, demi
"Bildung" individual itu. Lengket dengan konsepsi budaya ini adalah tuntutan
akan kebebasan manusia dan kemajemukan masyarakat.
Jika dalam proses pengintegrasian hasil-hasil kegiatan keilmuan itu nilai
tekno-logis ilmu dievaluasi secara kritis berdasarkan norma universal Bacon,
yakni "me-nanggulangi masalah kesengsaraan dan' memenuhi kebutuhan
manusia", mau tak mau kita harus meninjau maksud pemanfaatan ilmu dan
sistem sosial tempat hasil-hasil kegiatan keilmuan tersebut diterapkan. Jadi,
erat sekali bahkan tak lagi ter-pisahkan, kaitan antara ilmu dengan segi-segi
normatif dalam tujuan kehidupan manusia. Pandangan inilah yang oleh
Verhoog6) disebut pandangan penyaling-tindak kritis (critical interactionist
view).
Interaksi yang kritis di sini berarti mengembangkan dialog dengan:
a. fakta: dengan cermat senantiasa diperiksa, apakah kegiatan keilmuan itu
memenuhi patokan-patokan metodologi ilmiah;

b. nilai-nilai: dengan perenungan yang mendalam senantiasa ditilik,


apakah kegiatan keilmuan itu sesuai dengan nilai-nilai luhur yang
bersifat emansipatif-liberatif;de-ngan kata lain membebaskan dari
berbagai belenggu takhayul, penindasan, dan sebagainya.
c. manusia: terutama manusia yang secara lebih langsung ikut terlibat,
atau terpenga-ruh oleh akibat kegiatan keilmuan itu; ini mengisyaratkan
pentingnya partisipasi yang demokratis dalam menentukan kebijakan
keilmuan.
Pandangan ini menerima adanya hubungan saling-tidak yang sifatnya non
dualistik antara ilmuwan dan alam atau lingkungan hidupnya, dan antara ethos
masyarakat ilmuwan dan nilai-nilai kemanusiaan yang diterima masyarakat
luas. Jelaslah, bahwa pandangan ini berbeda dari pandangan kenetralan
ilmuwan (Bridgman), atau pandangan masyarakat teknologi (Schelsky) atau
pandangan gerakan anti-budaya (Roszak). 7)
Dalam pandangan ini rasionalitas logiko-empiristik ditingkatkan dengan
refleksi andaian dasar (Begriindung) dan tentang tujuan tindakan-tindakan
yang dianggap rasional itu (Zielbestimmung). Rasionalitas ini akrab
maknanya dengan rasionalitas evolusioner menurut Skolimowski,8) yakni
rasionalitas sistem kehidupan yang berusaha memahami lingkungannya dan
bergumul untuk memperoleh makna yang lebih penuh dari kehidupan.

BAB IX
ILMU DALAM PERSPEKTIF MORAL, SOSIAL DAN POLITIK*
Salah tafsir mengenai ilmu dan kecurigaan terhadap ilmuwan biasanya
bersumber pada pembahasan, yang kurang memperhatikan landasan-landasan
ontologis epistemologis dan aksiologis secara spesifik.
Ilmu berupaya mengungkapkan realitas sebagaimana adanya (das Sein),
sedang moral pada dasarnya adalah petunjuk-petunjuk tentang apa yang
seharusnya dilakukan manusia (das Sollen).
Hasil-hasil kegiatan keilmuan memberikan alterantif-alter-natif untuk
membuat

keputusan

politik

dengan

berkiblat

kepada pertimbangan-

pertimbangan moral ethis. Ilmuwan mempunyai tanggung jawab profesional,


khusus-nya di dunia ilmu dan dalam masyarakat ilmuwan itu sendiri dan
mengenai metodologi yang dipakainya. Ia juga memikul tanggung jawab
sosial, yang bisa dibedakan atas tanggung jawab legal yang formal sifatnya,
dan tanggung jawab moral yang lebih luas cakupannya.

Kaitan ilmu dan moral merupakan kontroversi yang tak pernah kunjung
padam. Gejala ini menyebabkan kekacauan dan salah tafsir mengenai hakekat
keilmuan serta "kecurigaan dan ketidakpercayaan terhadap ilmuwan".1)
Menurut hemat saya, kontroversi yang berkepanjangan ini disebabkan oleh
dua hal: pertama, kaitan antara ilmu dan moral dibahas dari segi yang terlalu
umum, yakni dari segi generik ilmu dan moral tersebut, dan bukan dari unsurunsur atau komponen-komponen yang membentuknya; kedua, pembahasan
tidak memperhatikan faktor sejarah dalam pengkajiannya. Makalah ini
bermaksud untuk membahas kaitan antara ilmu dan moral dengan
memperhitung-kan kedua faktor termaksud dan mempelajari implikasinya
dalam perspektif sosial dan politik.
Ilmu dan Moral
Kaitan antara ilmu dan moral telah lama menjadi bahan pembahasan para
pemikir, antara lain Merton,2) Popper,3) Polanyi,4) Barber,s) Ravetz,6)
Bridgman,7) Russell,8) Jones9) Richter.10)
Ilmuwan Indonesia sendiri yang mempelajari permasalahan antara ilmu dan
moral tersebut antara lain adalah Wilardjo11), Daldjoeni12), Slamet Iman
Santosol3)dan Suria-sumantri.14)

Ilmu dan moral keduanya termasuk ke dalam genus pengetahuan yang mempunyai karakteristik masing-masing. Tiap-tiap pengetahuan mempunyai tiga
komponen yang merupakan tiang penyangga tubuh pengetahuan yang
disusunnya. Komponen tersebut adalah ontologi, epistemologi dan'aksiologi.
Ontologi merupakan asas dalam menetapkan batas/ruang lingkup ujud yang
menjadi obyek penelaahan (obyek onto-logis atau obyek formal dari
pengetahuan) serta penafsiran tentang hakekat realitas (metafisika) dari obyek
ontologis atau obyek formal tersebut. Epistemologi merupakan asas mengenai
cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi suatu
tubuh pengetahuan. Aksiologi merupakan asas dalam menggunakan
pengetahuan yang telah diperoleh dan disusun dalam tubuh pengetahuan
tersebut.
Agar mendapatkan pengertian yang jelas mengenai kaitan antara ilmu dan
moral maka sebaiknya pengkajian mengenai hal tersebut didekati secara
terperinci dari ketiga komponen tadi. Sebab pernyataan yang bersifat umum
seperti "ilmu adalah netral" atau "ilmu tidak terbebas dari nilai" bisa
menyesatkan dan hanya bisa ditafsirkan dengan benar sekiranya dikaitkan
dengan aspek atau komponen keilmuan tertentu. Inilah yang menyebabkan
kontroversi yang berlarut-larut mengenai kaitan antara ilmu dan moral. Kedua
pernyataan tersebut di atas yang kelihatannya bertentangan dan menjadi dasar
argumentasi dari dua kutub (aliran) yang berlawanan, yakni bahwa "ilmu
.adalah netral" atau "ilmu tidak terbebas dari nilai", sebenarnya dapat dipertemukan sekiranya dilihat dalam lingkup yang tepat. Untuk itulah maka
pembahasan mengenai kaitan antara ilmu dengan moral akan didekati secara
lebih terperinci dari segi ontologi, epistemologi dan aksiologi keilmuan.
Pendekatan Ontologis
Secara ontologis maka ilmu membatasi lingkup p^aelaahan keilmuanny1!
hanya pada daefah-daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman
manuMa. Obyek penelaahan yang berada dalam batas pra-pengalaman (seperti
penciptaan manusia) dan pasca-pengalaman (seperti surga dan neraka)
diserahkan ilmu kepada pengetahuan lain. Ilmu hanya merupakan salah satu
pengetahuan dari sekian banyak pengetahuan yang mencoba menelaah
kehidupan dalam batas-batas ontologis tertentu. Penetapan lingkup batas
penelaahan keilmuan yang bersifat empiris ini adalah konsisten dengan asas
epistemologi keilmuan yang mensyaratkan adanya verifikasi secara empiris

dalam proses penemuan dan penyusunan pernyataan yang bersifat benar


secara ilmiah.
Aspek kedua dari ontologi keilmuan adalah penafsiran tentang hakekat
.reajjjas dari obyek ontologis keilmuan sebagaimana disebutkan diatas.
Penafsiran metafisik keilmuan harus didasarkan kepada karakteristik obyek
ontologis sebagaimana adanya (das Sein) dengan deduksi-deduksi yang dapat
diverifikasi secara fisik. Ini berarti bahwa secara metafisik ilmu terbebas dari
nilai-nilai yang bersifat dogmatik. Galileo (1564-1642) menolak dogma
agama bahwa "matahari berputar mengelilingi bumi" sebab pernyataan
tersebut tidak sesuai dengan kenyataan faktual sebagaimana diteniukan oleh
Copernicus (1473-1543). Pengadilan terhadap Galileo oleh penguasa agama
pada musim dingin tahun 1633 merupakan tonggak historis dari itikad
keilmuan untuk membebafy kan ilmu dari nilai-nilai yang bersifat dogmatik
dari mana pun datangnya. Hal ini bukan berarti bahwa ilmu menolak nilainilai yang berkembang dalam kehidupan, namun sifat dogmatik itulah yang
secara asasi ditentang. Suatu pernyataan diterima sebagai premis dalam
argumentasi ilmiah hanya setelah melalui pengkajian/penelitiah berdasarkan
epsitemologi keilmuan. Nilai budaya gotong royong umpanya secara hipotetis
bisa berlaku sebagai asumsi tentang manusia dalam kegiatan manajemen bagi
sub-kultur tertentu di Indonesia. Untuk mensahihkan kebenaran pernyataan
tersebut maka langkah pertama adalah melakukan penelitian untuk penguji
konsekuensi deduk-tifnya secara empiris, sejalan dengan apa yang dikatakan
Einstein: "Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta apa pun juga
teori yang disusun di antara keduanya."15)
Metafisika keilmuan yang berdasarkan kenyataan sebagaimana adanya (das
Sein) menyebabkan ilmu menolak premis moral yang bersifat seharusnya (das
Sollen). Ilmu justru merupakan pengetahuan yang bisa dijadikan alat untuk
mewujudkan tujuan-tujuan yang mencerminkan das Sollen dengan jalan
mempelajari das Sein agar dapat menjelaskan-meramalkan-mengontrol gejala
alam. Kecenderungan untuk memaksakan nilai-nilai moral secara dogmatik ke
dalam argumentasi ilmiah akan mendorong ilmu surut ke belakang ke zaman
pra-Copernicus dan mengundang kemungkinan berlang-sungnya Inkuisisi a la
Galileo pada zaman modern. Namun hal ini jangan ditafsirkan bahwa dalam
menelaah das Sein ilmu terlepas sama sekali dari das Sollen; dari bagan di

sebalik dapat dilihat bahwa dari 18 asas moral yang terkandung dalam
kegiatan keilmuan maka 17 di antaranya bersifat das Sollen.
Dari 17 asas moral tersebut maka terdapat 3 asas yang terkait dengan aspek
pemilihan obyek penelaahan ilmiah secara etis. Kaidah moral ini menyebutkan
bahwa dalam menetapkan obyek penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh
melakukan upaya yang bersifat merubah kodrat manusia, merendahkan
martabat manusia dan mencampuri permasalahan kehidupan. Dengan
demikian maka ilmu menentang per-cobaan mengenai genetika (genetic
engineering) sebab bersifat merubah kodrat manusia, percobaan untuk
mengontrol

kelakuan

manusia

(behavioral/social

engineering)

sebab

merendahkan martabat manusia dan menentang percobaan untuk membentuk


species baru sebab mencampuri masalah kehidupan.

Pendekatan Aksiologis
Konsisten dengan asas moral dalam pemilihan obyek penelaahan ilmiah maka
penggunaan pengetahuan ilmiah mempunyai asas moral tertentu pula. Pada
dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan
manusia. Dalam hal ini maka ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat
dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat
manusia, martabat manusia dan keles-tarian/keseimbangan alam. Salah satu
alasan untuk tidak mencampuri masalah kehidupan secara ontologis adalah
kekhawatiran bahwa hal ini akan mengganggu kese-imbangan kehidupan.
Untuk kepentingan manusia tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh
dan disusun dipergunakan secara komunal dan universal. Komunal berarti
bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, setiap
orang berhak memanfaat -

kan ilmu menurut kebutuhannya, sesuai dengan asas komunisme. Universal


berarti bahwa ilmu tidak mempunyai konotasi parokial seperti ras, ideologi
atau agama. "Ilmu Russia atau ilmu Arya," meminjam perkataan Barber,
"merupakan sesuatu yang dibenci ilmu (abhorrent)."16)
Pendekatan Epistemologis
Landasan epistemologi ilmu te.rcermin secara operasional dalam metoda
ilmiah. Pada dasarnya metoda ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan
menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan: (a) kerangka pemikiran yang
bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan
sebelumnya yang telah berhasil disusun; (b) menjabarkan hipotesis yang

merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut dan (c) melakukan


verifikasi

terhadap

hipotesis

termaksud

untuk

menguji

kebenaran

pernyataannya secara faktual. Secara akronim metode ilmiah terkenal sebagai


logico-hypothetico-verifikatif atau deducto-hypothetico-verifikatif.
Kerangka pemikiran yang logis adalah argumentasi yang bersifat rasional
dalam mengembangkan penjelasan terhadap fenomena alam. Verifikasi secara
empiris berarti evaluasi secara obyektif dari suatu pernyataan hipotetis
terhadap kenyataan faktual. Verifikasi ini berarti bahwa ilmu terbuka untuk
kebenaran lain selain yang terkandung dalam hipotesis (mungkin fakta
menolak pernyataan hipotesis). Demikian juga verifikasi faktual membuka diri
terhadap kritik terhadap kerangka pemikiran yang men-dasari pengajuan
hipotesis. Kebenaran ilmiah dengan keterbukaan terhadap kebenaran baru
mempunyai sifat pragmatis yang prosesnya secara berulang (siklus)
berdasarkan cara berfikir kritis. Keterbukaan ini merupakan sistem umpan
balik korektif yang di-tunjang dengan cara berfikir kritis yang disebut Merton
sebagai "skeptisisme terorgani-sasi."17) Artinya cara berfikir ilmiah dimulai
dengan sifat skeptis terhadap kebenaran sampai kesahihan kebenaran tersebut
dibuktikan lewat prosedur keilmuan. Cara berfikir ini bcrbeda dengan modus
yang dimulai dengan sikap percaya seperti terdapat umpamanya dalam agama.
Di samping sikap moral yang secara implisit terkait dalam proses logico-hypothetyco-verifikatif tersebut terdapat asas moral yang secara eksplisit
merupakan das Sollen dalam epistemologi keilmuan. Asas tersebut ialah
bahwa dalam proses kegiatan keilmuan maka setiap uapay ilmiah harus
ditujukan untuk menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh
kejujuran, tanpa mempunyai kepentingan langsung tertentu dan hak hidup
yang berdasarkan kekuatan argumentasi secara individual.
"Ilmu merupakan sikap hidup untuk mencintai kebenaran dan membenci kebohongan," ujar Mangunwijaya, "oleh sebab itu maka ilmu di Indonesia sukar
berkembang selama kita suka bohong."18) Ketidakjujuran dalam kegiatan
keilmuan nampak dalam gejala "kebudayaan nyontek", ijazah "aspal" (asli tapi
palsu) dan me-rajalelanya kebocoran ujian. Demikian juga seperti semboyan
"seni untuk seni" maka ilmuwan bersemboyan "kebenaran untuk kebenaran
tanpa melibatkan dirinya dengan kepentingan langsung dari upaya ilmiahnya.
Raison d'etre suatu buah fikiran ilmiah semata-mata bertopang kepada
kekuatan argumentasi yang dikandungnya dan tidak bersandar kepada

kekuatan sosial atau politik. 9) "Bukan tidak mungkin" meminjam perkataan


Alfian. "bahwa seorang intelektual akan menjadi sangat terikat oleh kepentingan golongan, penguasa, agama, atau partainya, sehingga dia memakai
keintelektual-annya untuk membenarkan setiap kebijaksanaan, tindakan atau
perbuatan golongan, penguasa. agama atau partainya itu."20)

Tanggung Jawab Moral Ilmuwan: Profesional dan Moral


Pendekatan secara ontologis, epistemologis dan aksiologis memberikan 18
asas moral yang terkait dengan kegiatan keilmuan. Keseluruhan asas moral ini
pada hakekat-nya dapat dikelompokkan menjadi dua yakni kelompok asas
moral yang membentuk tanggung jawab profesional dan kelompok yang
membentuk tanggung jawab sosial.
Tanggung jawab profesional lebih ditujukan kepada masyarakat ilmuwan
dalam

pertanggungjawaban

moral

yang

berkaitan

dengan

landasan

epistemologis. Dalam bagan kita maka tanggung jawab profesional ini


mencakup asas nomor (1) kebenaran; (2) kejujuran; (3) tanpa kepentingan
langsung; (4) menyandarkan kepada kekuatan argumentasi; (5) rasional; (6)
obyektif; (7) kritis; (8) terbuka; (9) pragmatis; dan (13) netral dari nilai-nilai
yang bersifat dogmatik dalam menafsirkan hakekat realitas.
Hampir tak terdapat perbedaan dalam penafsiran ilmuwan terhadap tanggung
jawab profesional ini, meskipun dari waktu ke waktu sejak abad pertengahan
secara sporadis timbul usaha untuk merubah asas moral nomor (13) dengan
dogma-dogma agama atau ideologi. Usaha ini tak pernah berhasil sebab tidak
didukung oleh masyarakat ilmuwan. Walaupun demikian terdapat perbedaan
yang nyata dalam mengimple-mentasikan asas moral dan melaksanakan
sanksi-sanksinya.
Suatu peradaban yang ditandai dengan masyarakat keilmuan yang maju secara
sungguh-sungguh melaksanakan asas moral ini terutama yang menyangkut
asas no (1) kebenaran; (2) kejujuran; (3) bebas kepentingan; dan (4) dukungan
berdasarkan kekuatan argumentasi. Seorang yang melakukan ketidakjujuran
dalam kegiatan ilmiah mendapatkan sanksi yang konkrit; dan sanksi moral
dari sesama ilmuwan lebih berfungsi dan lebih efektif dibandingkan dengan
sanksi legal. Tidak ada sanksi yang lebih berat bagi seorang ilmuwan selain
menjadi seorang paria yang dikucilkan secara moral dari masyarakat
keilmuan. Di negara kita sanksi moral ini belum membudaya dan hal inilah

mungkin yang menyebabkan suburnya upaya-upaya amoral dalam kegiatan


keilmuan kita seperti telah disinggung terdahulu.
Mengenai tanggung jawab sosial yakni pertanggungrjawaban ilmuwan
terhadap masyarakat yang menyangkut asas moral mengenai pemilihan etis
terhadap obyek penelaahan keilmuan*) dan penggunaan pengetahuan
ilmiah**) terdapat dua tafsiran yang berbeda. Kelompok ilmuwan yang
pertama menafsirkan bahwa ilmuwan harus bersikap netral artinya bahwa
terserah kepada masyarakat untuk menentukan obyek apa yang akan ditelaah
dan untuk apa pengetahuan yang disusun kaum ilmuwan itu dipergunakan.
Sedangkan

kelompok

ilmuwan

kedua

berpendapat

bahwa

ilmuwan

mempunyai kelompok ilmuwan kedua berpendapat bahwa ilmuwan


mempunyai tanggung jawab sosial yang bersifat formal dalam mendekati
kedua permasalahan tersebut di atas.
Sikap kelompok ilmuwan kedua didasarkan kepada analisis sejarah mengenai
interaksi antara ilmu dan masyarakat. Pengalaman dua perang dunia telah
membuktikan bahwa ilmu dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang destruktif:
Perang Dunia I terkenal dengan perang kuman dan Perang Dunia II terkenal
dengan bom atom. Mau tidak mau maka ilmuwan harus mempunyai sikap
formal mengenai penggunaan pengetahuan ilmiah. Demikian juga sejarah
perkembangan ilmu telah berada dalam ambang kritis, di mana ilmu bukan
saja mampu mengembangkan sarana yang mempermudah kehidupan manusia,
namun juga mampu merubah kodrat manusia. Revolusi di bidang genetika dan
pengembangan ilmu-ilmu sosial yang mampu mengontrol kelakuan manusia
menggoda manusia untuk memakan buah khuldi yang ketiga. (Buah pertama
dimakan Adam dan Hawa di surga sedangkan buah kedua dimana 46 tahun
yang lalu sambil menyaksikan ledakan bom atom pertama di padang
Alamogordo, New Mexico). Berdasarkan hal inilah maka ilmuwan, merasa
terpanggil untuk mengembangkan sikap tanggung jawab. sosialnya secara
formal.
Bagi kita sendiri yang hidup dalam masyarakat yang berasaskan Pancasila,
tidak mempunyai pilihan lain, selain konsisten dengan sikap kelompok
ilmuwan kedua, dan secara sadar mengembangkan tanggung jawab sosial di
kalangan ilmuwan dengan Pancasila sebagai sumber moral (das Sollen) sikap
formal kita.

Sikap Politik Formal Ilmuwan


Perlukah ilmuwan mempunyai sikap politik formai? Jawaban ini terkait
dengan premis mengenai sikap moral: sekiranya ilmuwan mempunyai
tanggung jawab sosial yang formal maka konsekuensinya ilmuwan harus
mempunyai sikap politik formal sebab sikap politik formal merupakan
pengejawantahan tanggung jawab sosial dalam pengambilan keputusan politis.
Keputusan politis adalah keputusan yang bersifat mengikat (authoritative),
menyangkut seluruh masyarakat dan bersifat mengalokasikan kelebihan, dan
kekurangan (advantages and disadvantages).21) Dalam proses pengambilan
keputusan politis ini maka ilmuwan dapat berperan antara lain sebagai
intelektual, birokrat atau teknokrat.
Sikap Einstein dan kawan-kawan yang tercermin dalam sepucuk surat
tertanggal 2 Agustus 1939 kepada Presiden Roosevelt merupakan contoh dari
sikap politik ilmuwan. Berdasarkan informasi. bahwa Nazi Jerman mungkin
sedang mengembangkan bom atom maka Einstein, meskipun dengan hati
berat, mengambil keputusan bahwa "merupakan kewajiban saya untuk
memberitahukan kepada anda fakta-fakta" dan merekomendasikan pembuatan
bom atom.22) Meskipun kemudian ekses pengambilan keputusan politis ini
menjadi beban berat bagi manusia, namun konsekuensi itu harus dilihat dalam
lingkup hakekat pengambilan keputusan politis, yang selalu bersifat bermata
dua seperti buah simalakama: Bersifat netral dalam krisis moral adalah justru
amoral!23)
Sikap politik ilmuwan adalah konsisten dengan asas moral keilmuan. Terdapat
empat asas moral yang bersifat unik yang mempengaruhi sikap politik formal.
Asas moral ini adalah (1) kebenaran; (2) kejujuran; (3) tidak mempunyai
kepentingan langsung; dan (4) menyandarkan diri kepada kekuatan
argumentasi dalam menilai kebenaran, atau dengan perkataan lain, tidak
mempunyai ikatan primordial secara moral, psikologis, sosial maupun politis
dalam pengambilan keputusan. Keempat asas moral ini bersifat menunjang
suatu orientasi terhadap kepentingan nasional dari sikap politik formal
ilmuwan. Demikian juga sikap politik yang berdasarkan pendekatan ilmiah
akan mendorong sikap politik yang bersifat demokratis sebagai pencerminan
dari asas moral yang melandasi kegiatan keilmuan.
Dalam menafsirkan kepentingan nasional ini maka ilmuwan tidak akan selalu
sependapat dengan tafsiran penguasa, bahkan ,akan terdapat perbedaan

penafsiran di kalangan ilmuwan itu sendiri. "Kewajiban moral ilmuwan,"


meminjam perkataan Infeld, "adalah mengikuti otoritas pertimbangan
pribadinya."24) Namun hal ini jangan ditafsirkan sebagai suatu keadaan yang
disfungsional sebab fungsi ilmuwan dalam proses pengambilan keputusan
politis adalah memberikan alternatif-alternatif dan bukan sebagai kekuatan
politik yang berfungsi memberikan keputusan. Jadi ilmuwan tidak selayaknya
diperlakukan sebagai lawan politik oleh kekuatan politik yang mempunyai
pendapat yang berbeda dengan sikap politik ilmuwan.
Dmu dalam Perspektif
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Terdapat tiga tesis utama yang hendak diajukan dalam kaitan antara ilmu
dengan kehidupan berbangsa dan bernegara yakni pertama, ilmu merupakan
alat untuk me-wujudkan tujuan politis secara efektif dan alamiah yang
menunjang tumbuhnya demo-krasi; kedua, asas moral yang terkandung dalam
kegiatan keilmuan menunjang pem-binaan karakter bangsa secara positif; dan,
ketiga, sikap politik formal ilmuwan yang berorientasi kepada kepentingan
nasional menunjang terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa.
Keputusan politis merupakan komitmen nasional dalam mewujudkan tujuantujuan moral yang terkandung dalam cita-cita dan aspirasi masyarakat dalam
berbangsa dan bernegara. Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka ilmu
merupakan alat yang efektif dan alamiah. Sifat alamiah di sini harus diartikan
bahwa dalam mewujudkan suatu tujuan ilmu mendasarkan diri kepada sifat
menjelaskan-meramalkan-kontrol dari upaya keilmuan dan dengan demikian
menjauhkan sebisa mungkin unsur paksaan. Sifat ini selaras dengan proses
politik yang bersifat demokratis. Patut dikemukakan di sini bahwa ilmu
bukanlah satu-satunya alat yang secara efektif dapat mewujudkan suatu tujuan
politis. Pendekatan-pendekatan moral yang dijabarkan secara normatif dari
suatu ideologi mungkin bisa lebih efektif dari ilmu dan merupakan jalan pintas
dalam merealisasikan suatu tujuan politis. Namun sesuai dengan hakekatnya
yang berorientasi kepada das Sollen, pendekatan moral dalam merealisasikan
tujuan politis cenderung untuk mempergunakan unsur paksaan, yang lebih
jauh akan mendorong tumbuhnya proses politik yang bersifat otoriter.
Asas moral yang terkandung dalam kegiatan keilmuan merupakan sumbangan
positif terhadap pembentukan karakter bangsa. "Cara ilmuwan menemukan
kebenaran," kata CP. Snow, "memaksakan secara tetap disiplin moral."25)

Aspek moral dari kegiatan keilmuan ini belum mendapatkan perhatian yang
layak, baik dari kalangan pendidik dalam proses belajar mengajar, maupun
dari masyarakat ilmuwan dalam me-negakkan disiplin moral. Bagi kaum
ilmuwan sendiri maka langkah pertama ke arah ini adalah membenahi diri ke
dalam, baik secara individual, maupun lewat masyarakat keilmuan. Tak ada
cara mendidik yang lebih efektif selain memberi contoh yang baik.
Sikap politik formal ilmuwan menunjang- tumbuhnya persatuan dan. kesatuan
bangsa, sebab di samping mempunyai keahlian dan jaringan komunikasi yang
luas, ilmuwan terbebas dari kepentingan langsung tertentu dan ikatan
primordial. Semua itu ditambah dengan motivasi dalam menemukan
kebenaran secara jujur akan menye-babkan ilmuwan meletakkan kepentingan
nasional di atas kepentingan-lcepentingan lainnya. Sikap politik yang
konstruktif ini bisa berkembang bila diberikan suasana yang bersifat
mendorong, terutama itikad politis (political will) dari masyarakat dan pemerintah untuk menumbuhkan hal ini.

Ke Arah Pembentukan Ilmuwan yang Bermoral Luhur


Profesor Ace Partadiredja dalam pidato pengukuhannya selaku guru besar
ilmu ekonomi di Universitas Gajah Mada mendambakan timbulnya -ilmu
ekonomi yang tidak mengajarkan keserakahan.26) Pernyataan ini sungguh
merupakan sebuah suara segar dalam kemandulan perhatian ilmuwan terhadap
masalah-masalah moral. Terlepas dari semantik kata-kata, saya kira secara
umum Profesor Ace Partadiredja mengharap-kan agar sistem pendidikan kita
menghasilkan manusia yang di samping cerdas dan terampil juga mempunyai
sikap moral yang luhur. Saya kira sukar untuk tidak sepen-dapat dengan
pernyataan ini yang merupakan pencerminan dari tujuan pendidikan yang
sebenar-benarnya.
Menurut hemat saya tujuan pendidikan moral tersebut sekaligus dapat dicapai
dengan peningkatan kekuatan penalaran ilmiah yakni lewat pemberian mata
ajaran filsafat ilmu.8) Dewasa ini filsafat ilmu diberikan secara sporadis pada

8Landasan moral yang bersifat umum dari filsafat ilmu dapat dikaitkan
lebih lanjut dengan disiplin keilmuan tertentu dalam pengembangan kode
etik profesi.
27) Strategi Pengembangan Kekuatan Penalaran (Jakarta: BP3A, 1979) dan Pendekatan
Kebudayaan dalam Pengembangan Pendidikan: Identiftkasi PokokPokok Kebijakan (Jakarta:
BP3K, 1980).

pendidikan pasca sarjana dan sebagian kecil pendidikan pra-sarjana. Materi


filsafat ilmu yang diberikan terlalu ditekankan kepada aspek penalarannya
serta kurang memperhatikan aspek moral keilmuan. Demikian juga dalam
mata ajaran filsafat ilmu tersebut terlalu banyak materi kefilsafatan yang
kurang relevan dengan hakekat keilmuan serta kurang mempermasalahkan
sarana berfikir ilmiah seperti bahasa, logika, matematika, statistika dan
metoda penelitian ilmiah secara integral. Cara penyampaian yang sukar dan
kurang memperhatikan aspirasi/cara berfikir murid menjadi filsafat menjadi
obyek yang kurang menarik. Sebagai dasar bagi proses pendidikan yang
menghasilkan manusia yang di samping cerdas dan terampil juga bermoral
luhur maka saya menyarankan diberikannya filsafat ilmu pada semua
tingkatan

pendidikan

dengan

tujuan/metoda

instruksional

yang

memperhatikan faktor-faktor tersebut di atas.27)


26)

Kompas, 25 Mei 1981.

Terdapat dua hal yang terkait erat dengan permasalahan peningkatan kekuatan
penalaran dan sikap moral keilmuan yakni, pertama, sekat-sekat buatan yang
memisah-kan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial harus dihilangkan sebab
ilmu pada dasarnya sama dan dibedakan dari pengetahuan lainnya oleh
landasan ontologis, epistemologis dan axiologis yang sama;28) kedua, ilmu
harus dibahas dalam perbandingan dengan pengetahuan-pengetahuan lain
seperti agama, moral dan seni agar tidak terjadi kecen-derungan mendewadewakan ifmu dan menumbuhkan sikap pluralistik dalam pengetahuan yang
akan merupakan atmosfir yang mendorong bagi berkembangnya ilmu dan
pengetahuan-pengetahuan lainnya
Dalam membahas materi yang tercakup dalam kedua hal tersebut secara mendalam maka terdapat satu penghalang yang sangat mengganggu yakni
penggunaan terminologi ilmu pengetahuan yang bersifat ambivalen, tidak
sesuai dengan struktur bahasa Indonesia, memberikan pengertian yang salah
dan didasarkan kepada salah tafsir dalam penetapannya.29) Untuk itu maka
saya mengusulkan agar ter/ninologi ilmu pengetahuan diganti dengan kata
ilmu dan mempergunakan kata pengetahuan untuk knowledge 9) dengan
argumentasi sebagai berikut: (1) ilmu (species) adalah sebagian dari
28) Jujun S. Suriasumantri, "Dua Pola Kebudayaan: Ilmu-ilmu Alam dan
Ilmu-ilmu Sosial, Kompas, 24 Mei 1979.
9Dibandingkan dengan bahasa Inggris maka ilmu adalah sinonim dengan science dan pengetahuan adalah sinonim dengan
knowledge.

pengetahuan (genus); (2) dengan perkataan lain, ilmu adalah pengetahuan


yang mempunyai ciri-ciri tertentu yakni ciri ilmiah, jadi ilmu adalah sinonim
dengan pengetahuan ilmiah (scientific knowledge); (3) menurut hukum DM
(Diterangkan Menerangkan) maka ilmu pengetahuan adalah ilmu (D) yang
bersifat pengetahuan (M) dan ini menurut hakekatnya adalah salah sebab ilmu
pengetahuan adalah pengetahuan yang bersifat ilmiah; (4) kata ganda dari dua
kata benda yang termasuk kategori yang sama10) biasanya menunjukkan dua
obyek yang berbeda seperti emas perak (emas dan perak) dan laki bini (laki
dan bini), dan dengan penafsiran yang sama, maka ilmu pengetahuan dapat
diartikan sebagai ilmu dan pengetahuan.
Perubahan ini seyogyanya dilakukan agar kita tidak dibingungkan, meminjam
perkataan Wittgenstein, "oleh kegagalan kita memahami logika dari bahasa
kita sendiri."30) Upaya ini juga dimaksudkan untuk membendung adopsi katakata baru seperti "sains" (dari science) yang bukan saja kurang sesuai dengan
struktur bahasa Indonesia31) juga tidak menunjang peningkatan berfikir
ilmiah pada semua strata keilmuan dengan menghilangkan sekat-sekat buatan
yang memisahkan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Secara sosiologis, di
negara tempat asalnya, kata sains ini sering dikonotasi-kan dengan ilmu-ilmu
alam umpamanya dalam pernyataan "science and technology", dan hal ini
merupakan sekat buatan baru yang tanpa sadar kita import. Dalam hal ini
maka kata ilmu secara relatif lebih bersifat netral baik dilihat dari visi ilmuilmu sosial maupun visi ilmu-ilmu alam.

Kesimpulannya
Untuk mendapatkan pengertian yang benar mengenai kaitan antara ilmu dan
moral maka pembahasan masalah ini harus didekati dari segi-segi yang lebih
terperinci

yakni

menghindarkan

segi

ontologi,

kekacauan

epistemologi

pengertian

maka

dan

aksiologi.

ilmuwan

Untuk

sebaiknya

menghindarkan pernyataan-pernyataan yang bersifat umum sebab hal ini tidak


memperjelas persoalan dan malah menyesatkan. Contoh pernyataan yang
terperinci umpamanya adalah: Secara ontologis bila ilmu x maka nilai adalah
y;

10Dua kata benda yang termasuk ke dalam kategori yang berbeda biasanya menunjukkan satu obyek seperti gun ting tanaman
dan rumah penjara.
30) Ludwig Wittgenstein, Tractus Lugicofhilosophicus (London: Routledge & Kegan Paul, 1972), p. 37.
31) Suriasumantri, "Mana yang Benar," loc. cit.

Menafsirkan hakekat ilmu dan moral sebaiknya memperhitungkan faktor


sejarah, baik sejarah perkembangan ilmu itu sendiri maupun penggunaan ilmu
dalam lingkup perjalanan sejarah kemanusiaan. Memperhitungkan faktor
sejarah ini menye-babkan ilmu tidak mungkin bersifat netraj dalam
keseluruhan upaya keilmuannya;
(3) Secara ontologis (metafisik) maka ilmu bersifat netral terhadap nilai-nilai
yang bersifat dogmatik dalam menafsirkan hakekat realitas sebab ilmu
merupakan upaya manusia untuk mempelajan alam sebagaimana adanya (das
Sein); t (4) Secara ontologis dalam pemilihan ujud yang akan dijadikan obyek
penelaah-annya (obyek ontologis/obyek formal) maka ilmu dibimbing oleh
kaidah moral yang berasaskan tidak merubah kodrat manusia, tidak
merendahkan martabat manusia dan tidak mencampuri masalah kehidupan;
Secara aksiologis ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kebaikan
manusia dengan jalan meningkatkan taraf hidupnya dengan memperhatikan
kodrat manusia, martabat mariusja dan keseimbangan/kelestarian alam. Upaya
ilmiah ini dilakukan dengan penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah
secara komunal dan universal;
Secara epistemologis maka upaya. ilmiah tercermin dalam metoda keilmuan
yang berporoskan proses logico-hypothetico-verifikatif dengan kaidah moral
yang berasaskan bertujuan menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan
penuh kejujuran, tanpa kepentingan langsung tertentu dan berdasarkan
kekuatan argumentasi;
Asas moral yang terkandung dalam kegiatan keilmuan merupakan sumbangan positif baik bagi pembentukan manusia perorangan maupun
pembentukan karakter bangsa. Untuk itu maka aspek moral keilmuan
sebaiknya mendapatkan per-hatian yang lebih sungguh-sungguh dari para
pendidik dan masyarakat keilmuan;
Upaya peningkatan pendidikan moral keilmuan sebaiknya dikaitkan sekal-gus
dengan upaya meningkatkan kemampuan penalaran ilmiah lewat pemberian
mata ajaran filsafat ilmu pada semua tingkat pendidikan.32) Materi filsafat
ilmu ini disusun dengan memperhatikan faktor-faktor ilmu ini disusun dengan
memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: (a) bersifat seimbang dalam
pendekatan ontologis, epistemologis dan aksiologis; (b) bersifat operasional
dengan memfocuskan pembahasan hanya pada masalah kefilsafatan yang
mempunyai kaitan dengan kegiatan keilmuan; (c) memasukkan pembahasan

mengenai sarana berfikir ilmiah seperti bahasa, logika, matematika, statistika


dan metodologi penelitian ilmiah secara integrald; (d) ditujukan untuk
memberikan gambaran umum mengenai perspektif keilmuan secara lengkap
dengan berbagai perangkat lunak dan perangkat keras beserta berbagai
aspeknya; (e) ditujukan bukan saja untuk merubah cara berfikir namun
sekaligus cara bersikap dan bertindak menurut asas-asas keilmuan;. (f)
diberikan dengan metode penyajian yang menarik dengan menekankan segisegi afektif; (g) dibahas dalam eksistensi plural-isme pengetahuan yang
bersifat saling menunjang dengan membandingkan ilmu terhadap pengetahuan
lain seperti agama, seni dan moral; dan (h) menghilangkan sekat-sekat buatan
antara berbagai disiplin keilmuan seperti pembedaan antara ilmu-ilmu alam
dengan ilmu-ilmu sosial;
Sikap politik formal ilmuwan yang berorientasi kepada kepentingan nasional
yang dicirikan oleh motivasi untuk menemukan kebenaran, yang dilakukan
dengan penuh kejujuran, tanpa kepentingan langsung tertentu dan bebas dari
ikatan primordial, sekiranya diberikan dorongan untuk berkembang, akan
menunjang terwujudnya kesatuan dan persatuan bangsa;
Ilmu merupakan alat untuk mewujudkan tujuan politis (yang berdasarkan das
Sollen) secara efektif dan alamiah (dengan metafisika keilmuan yang bersifat
das Sein). Sifat alamiah ini akan menunjang proses kehidupan demokratis.
Penggunaan
nilai-nilai secara dogmatik sebagai premis metafisik dalam menafsirkan alam,
dan mempergunakan analisisnya sebagai alat untuk mewujudkan tujuan
politis, mengharuskan kita untuk secara terus-menerus memaksakan kaidah
moral, yang membuka peluang berkembangnya proses politis yang bersifat
otoriter;
(11) Menyarankan agar dipergunakan terminologi ilmu untuk science dan
pengetahuan untuk knowledge;*3)
Penutup
Pembahasan mengenai ilmu (das Sein) tak pernah bisa dilepaskan dari moral
(das Sollen) sebab ilmu tanpa moral seperti kapai tanpa kompas. Kaitan antara
kebenaran (yang berkonotasi ilmiah) dan keadilan (yang berkonotasi moral),
yang merupakan asas dalam memperjuangkan tegaknya Orde Baru,
merupakan contoh interaksi antara ilmu dan moral yang secara nostalgik bisa
kita simak lewat sebuah puisi per-juangannya:34)

Bila hari ini kebenaran didustakan Bila hari ini kenyataan dipalsukan Tunggu,
hari esok Di mana kemanusiaan dihinakan!
Bila hari ini orang lain ditidakbenarkan Bila hari ini orang lain ditidakadilkan
Tunggulah hari esok Di mana kau sendiri dapat giliran.
Jadi mengapa ragu? Prinsip: Sandaran hukum mesti ditegakkan Kemanusiaan
akan membusuk Dalam kuasa sewenang-wenang.

Catatan Akhir
Dalam penanggulangan masalah-masalah pembangunan, ilmu pengetahuan
me-megang peranan penting. Hal ini berarti penegasan pendirian, bahwa para
ilmuwan selain mempunyai tanggung jawab profesional, mempunyai
tanggung jawab sosial politik pula yang disertai suatu sikap moral yang luhur.
Tanggung jawab profesional mereka terutama bersandar pada asas (1)
kebenaran, (2) kejujuran, (3) bebas kepentingan. dan (4) dukungan
berdasarkan kekuatan argumentasi. Dalam suatu masyarakat yang berasaskan
Pancasila, maka bagi para ilmuwan di Indonesia tidak ada pilihan lain kecuali
secara sadar mengembangkan tanggung jawab sosial dengan Pancasila sebagai
sumber moral sikap formalnya. Atas dasar adanya tanggung jawab sosial yang
bersifat formal itu, maka konsekuensinya adalah, bahwa para ilmuwan harus
mempunyai sikap politik formal, oleh karena sikap itu merupakan
pengejawantahan tanggung jawab sosial itu dalam pengambilan keputusan
politik. Antara para ilmuwan dan penguasa tidak perlu ada pertentangan, oleh
karena peranan ilmuwan dalam proses penentuan kebijaksanaan justru terletak
dalam tahap-tahap sebelum adanya keputusan akhir, di mana perbedaanperbedaan paham dan alternatif-alternatif justru bermanfaat untuk mengambil
keputusan yang tepat...
Baku ini merupakan pengantar kepada filsafat ilmu yang ditulis secara
populer. Tidak semua materi yang seharusnya tercakup dalam sebuah kajian
filsafat ilmu dibahas dalam buku ini. Sengaja dipilihkan hanya beberapa
persoalan-pokok

yang

seharusnya

diketahui

pada

tahap

elementer.

Pembahasan ini ditujukan kepada orang awam yang ingin mengetahui aspek
kefilsafatan dari bidang keilmuan dan bukan ditujukan kepada orang awam

yang ingin mengetahui aspek kefilsafatan dari bidang keilmuan dan bukan
ditujukan kepada mereka yang menjadikan filsafat ilmu suatu bidang keahlian.
Pada dasarnya buku ini mencoba membahas apa (ontologis), bagaimana (epistemologi) serta untuk apa(aksiologi) ujud kegiatan keilmuan. Selanjutnya juga
dikaji hakekat sarana berfikir ilmiah yang patut dikuasai seperti bahasa.
logika, matematika dan statistika. Teknologi sebagai bentuk konkrit penerapan
pengetahuan ilmiah dalam memecahkan masalah mempunyai implikasiimplikasi moral dan sosial dalam pelak-sanaannya. Implikasi-implikasi
tersebut yang kian mendesak dewasa ini akan merupakan juga salah satu fokus
pembahasan kita.
Tujuan utama dari buku yang bersifat pengantar ini bukanlah pendalaman
yang

bersifat

teknis

melainkan

pengenalan

secara

menyeluruh.

Pembahasannya dilakukan secara popular dengan menjauhkan semungkin bisa


aspek-aspek teknis yang terlalu sukar untuk dicerna dalam sebuah buku yang
bersifat pengantar. Salah satu tujuan yang ingin dicapai oleh penerbitan buku
ini ialah agar masyarakat tergerak hatinya untuk mencintai filsafat. Wajah
filsafat yang biasanya kelihatan angker ingin dicoba dirubali menjadi santai
dan menyenangkan.
Materi filsafat ilmu yang terkandung dalam buku ini merupakan kompromi
eklektik dari berbagai aliran yang hidup dalam pemikiran filsafat. Titik berat
pembahasan diletakkan pada kesamaan yang terdapat dalam berbagai aliran
tersebut dan bukan pada perbedaannya. Tenia pokok dari filsafat ilmulah yang
ingin dikemukakan dalam buku ini dan bukan variasi-variasi yang
berkembang sekitar tema pokok tersebut. Untuk pembahasan filsafat yang
bersifat

mengantar

ini,

pendekatan

tersebut

mungkin

dapat

dipertanggungiawabkan.
Untuk semua tujuan itulah maka buku ini dipersembahkan dengan segala
keku-rangannya. Dengan isi yang sederhana dan kata-kata yang bersahaja
semoga buku ini memberi manfaat sekedarnya: 1'nenyingkap tabir filsafat,
menjenguk sejenak isi relungnya.

Ah, sekiranya filsafat


Bisa dekat dengan kehidupan kita Dalam senda gurau dan kesungguhan
Menatap bianglala!

Anda mungkin juga menyukai