Anda di halaman 1dari 14

Perkembangan Pola Pikir Manusia Yang Berlandaskan Mitos

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah:

Ilmu Pengetahuan Umum

Dosen Pengampu:

Binti Rosyidah, M.Pd.I

DISUSUN OLEH:

LAILI ISTIQOMAH
(NIM : 20200880260142)
SITI WAHYUNI
(NIM : 2020088026147)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYYAH JURUSAN


TARBIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MIFTAHUL ‘ULA

2022
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa
melimpahkan rahmat dan ridho-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah
materi mata kuliah ilmu Pengetahuan Umum (IPU) yang
 berjudul “Perkembangan Pola Pikir Manusia Berlandaskan Mitos .”
. Makalah ini berisi uraian mengenai perkembangan pola pikir manusia kehidupan
masyarakatmulai dari sejarah perkembangan pola pikir manusia,faktor faktor perkembangan pola
pikir,dan penalaran pola pikir masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.Tak lupa,
kami mengucapkan terima kasih kepada Bpk/Ibu selaku pembimbing kami dalam pembelajaran
mata kuliah IPU (Ilmu Pengetahuan Umum) dan juga kepada semua teman-teman yang
telahmemberikan dukungan kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini.Harapan terdalam
kami, semoga penyusunan makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semuaserta menjadi tambahan
informasi mengenai"Perkembangan Pola Pikir Manusia Berlandaskan Mitos ”bagi
para pembaca.Kami menyadari jika dalam menyusun makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Olehkarena itu, dengan hati yang terbuka kritik serta saran yang konstruktif guna
kesempurnaanmakalah ini. Demikian makalah ini kami susun, apabila ada kata-kata yang kurang
berkenandan banyak terdapat kekurangan, kami mohon maaf yang sebesar- besarnya. Semoga
bermanfaat

ii
DAFTAR  ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………… ii

DAFTAR ISI………...………………………………………..………………………….iii

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang ……………………………………………………......……………3

2. Rumusan Masalah………………………………………………………………… 3

3. Metode Penulisan......................................................................................................3

4. Rumusan masalah......................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN

1.      Sejarah Perkembangan Pola Pikir Manusia…............................. …………………6

2.      Faktor Perkembangan Pola Pikir Manusia Berdasarkan Mitos ........ ……………..9

BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan ................................................................................................................13
2. Saran ...........................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Seiring perkembangan zaman yang semakin modern dan maju, pemikiran manusia
menjadi semakin ilmiah dari awalnya yang hanya sebuah kepercayaan yang dainggap benar,
padahal hakikatnya kejadian itu belum bisa dipertanggungjawabkan keabsahanya. Mayoritas
manusia zaman dahulu, proses berfikir logis dan rasional sangatlah terbatas, sehingga
melahirkan suatu kepercayaan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan metode ilmiah.
Karena mereka menganggap bahwasanya apa yang diyakini itu benar, sehingga hal itu
menjadi suatu kebudayaan dan adat istiadat yang turun-menurun dalam masyarakat yang
belakangan kita kenal sebagai mitos. Seperti orang tua yang menegur anaknya ketika ingin
keluar malam, karena orang tua tersebut takut jikalau anaknya terkena bahaya sehingga
mengatakan kalau keluar malam nanti akan dibawa wewe gombel, dan ribuan mitos yang
lain.
Namun, pola berpikir manusia dalam kehidupannya sekarang ini lambat laun telah
berubah, dari adat kepercayaan yang membudaya menjadi suatu ilmu pengetahuan yang bisa
dipertanggung jawabkan kebenarannya. Kemajuan ini didorong oleh beberapa faktor, antara
lain adalah rasa ingin tahu. Dengan rasa ingin tahu, telah menggerakkan manusia itu untuk
lebih berfikir, bertindak, dan menganalisa suatu kejadian yang semula hanyalah sebuah
mitos masyarakat, menjadi suatu ilmu pengetahuan.
Walaupun pola pikir manusia di dunia ini sudah mengalami kemajuan, dari kepercayaan
suatu mitos menjadi metode pengetahuan ilmiah, tetapi tidak sedikit sekelompok masyarakat
yang masih mempercayai mitos sebagai suatu kebenaran yang hakiki. Maka dari itu, kami
rasa sangatlah perlu mengangkat judul ini sebagai suatu pembahasan yang dapat
memberikan pemahaman tentang kemajuan pola pikir manusia dari mitos sampai metode
ilmiah.

4
B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana asal-usul berkembangnya pola pikir manusia?


2. Bagaimana sejarah perkembangan pola pokir manusia berdasarkan mitos ?

C. TUJUAN

1. Mengetahui asal-usul perkembangan pola pikir manusia.


2. Mengetahui sejarah perkembangan pola pokir manusia berdasarkan mitos.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan Pola Pikir Manusia

Berkembangnya pola berpikir manusia bermula dari rasa ingin tahu tentang halhal yang
berada di sekitarnya. Manusia mempunyai insting dan kemampuan untuk berfikir yang
bekembang. Setelah mereka mengetahui tentang suatu kejadian, mereka juga ingin mengetahui
hal-hal yang berhubungan dengan kejadian tersebut. 1

Seperti manusia purba zaman dahulu yang hidup di gua-gua atau di atas pohon, karena
kemampuan berfikir mereka hanya semata-mata mempertahankan kelestarian hidupnya saja,
berbeda dengan manusia zaman sekarang dengan adanya kemajuan teknologi dan sebagainya
yang sudah mampu membuat tempat tinggal seperti istana yang gemerlap maupun gedung-
gedung yang menjulang tinggi ke langit.
Rasa ingin tahu manusia yang terus berkembang dan seolah-olah tanpa batas itu
menimbulkan perbendaharaan pengetahuan pada manusia itu sendiri. Hal ini tidak saja meliputi
kebutuhan hidup sehari-hari, seperti bercocok tanam, membuat panah atau tombak untuk
berburu, tetapi juga berkembang sampai pada hal-hal yang menyangkut keindahan.
Kemampuan penalaran manusia juga mampu menyebabkan berkembangnya pola pikir dan
pengetahuan, dia mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana
yang buruk, dan apa yang indah dan apa yang jelek. Dalam hal memilih antara dua unsur tersebut
manusia menggunakan pengetahuannya.
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-
sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan, namun hanya terbatas untuk kelangsungan
hidupnya (survival). Manusia mengembangkan pengetahuannya untuk mengatasi kebutuhan
kelangsungan hidupnya. Dia memikirkan hal-hal yang baru, menjelajah ufuk baru, karena dia
hidup bukan sekadar untuk kelangsungan hidup, namun juga mengembangkan kebudayaan,
memberi makna kehidupan, dan masih banyak lagi yang lainnya. 2Semua itu hakikatnya
menyimpulkan bahwa manusia itu dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu yang lebih tinggi
dari sekadar kelangsungan hidupnya. Inilah sebabnya manusia mengembangkan
1
Drs. Atang Abdul Hakim, M.A., Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Filsafat Umum, Dari Metodologi sampai
Teofilosofi. Bandung: CV Pustaka Setia, Cet.X, Cet.I, 2008; halaman39.
2
Ibid

6
pengetahuannya, dan pengetahuan ini jugalah yang mendorong manusia untuk menjadi makhluk
yang bersifat khas di muka bumi ini.
Berkembangnya pola pikir dan pengetahuan manusia disebabkan oleh dua hal, pertama:
manusia mempunyai bahasa yang mampu untuk mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran
yang melatar belakangi informasi tersebut. Berbeda dengan seekor rusa yang bisa saja memberi
informasi kepada kelompoknya bahwa ada segerombolan srigala datang menyerang, namun
bagaimana berkembang bahasanya, dia tidak mampu mengkomunikasikan kepada rusa-rusa yang
lainnya, jalan pikiran yang analitis mengenai hal tersebut. Sebab kedua, manusia mampu
mengembangkan pengetahuannya dengan cepat dan mantap, adalah kemampuan berpikir
menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis besar cara berpikir seperti ini disebut
penalaran. Binatang mampu berpikir namun tidak mampu berpikir secara nalar. Perbedaan antara
profesor nuklir dengan anak kecil yang membangun bom atom dari pasir di playgroup-nya
tempat dia melakukan riset terletak pada kemampuannya dalam menalar. 3
Dua kelebihan inilah yang memungkinkan manusia untuk mengembangkan pengetahuannya
yakni bahasa yang bersifat komunikatif dan pikiran yang mampu menalar. Tentu saja tidak
semua pengetahuan berasal dari proses penalaran tetapi manusia adalah makhluk yang berfikir,
merasa, mengindera, dan totalitas pengetahuannya berasal dari ketiga sumber tersebut, di
samping wahyu yang merupakan komunikasi sang pencipta dengan makhluk-nya.
Menurut Jujun S. Suriasumantri, ada dua cara pokok dan dua cara lain (empat cara) bagi
manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, yakni:
a. Rasio/Penalaran
Kaum rasionalis menggunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya.
Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya jelas
dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Fungsi pikiran
manusia hanyalah mengenali prinsip tersebut yang lalu menjadi pengetahuannya. Paham inilah
yang dinamakan idealisme. Ide bagi kaum rasionalis adalah bersifat apriori dan pra-pengalaman
yang didapatkan manusia lewat penalaran rasional. Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip
dan justru sebaliknya, hanya dapat mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran rasional
itulah maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita.

3
Ibid

7
b. Pengalaman Empiris
Berlainan dengan kaum rasionalis, maka kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan
manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional yang abstrak, namun lewat pengalaman
yang konkret. Gejala-gejala alamiyah adalah besifat konkret dan dapat dinyatakan lewat
tangkapan pancaindera manusia. Sebagai contoh, suatu benda padat jika dipanaskan akan
memuai/memanjang. Langit mendung disertai dengan turunnya hujan. Demikian seterusnya
dimana pengamatan kita akan membuahkan pengetahuan mengenai berbagai gejala yang
mengikuti pola tertentu. Kita juga melihat adanya karakteristik lain yakni adanya kesamaan dan
pengulangan atas peristiwa tersebut atau peristiwa lain yang sejenis, semisal logam lain. Kaum
empiris menganggap bahwa dunia fisik adalah nyata karena merupakan gejala yang tertangkap
oleh panca indera.
c. Intuisi
Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu.
Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya
pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Jawaban atas
permasalahan yang sedang difikirkannya muncul di benakknya bagaikan kebenaran yang
membukakan pintu. Intuisi bekerja dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar, artinya tidak ada
ikhtiar untuk mendapatkan jawaban melalui intuisi. Pengetahuan intuitif dapat dipergunakan
sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar dan tidaknya pernyataan
yang dikemukakannya.
d. Wahyu
Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia.
Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutusnya sepanjang zaman. Kepercayaan
kepada Tuhan yang merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada nabi sebagai perantara
dan kepercayaan terhadap wahyu sebagai cara penyampaian, merupakan dasar dari penyusunan
pengetahuan ini. Berbeda dengan filsuf Rene Descartes yang memulai meragukan sesuatu untuk
mencapai pengetahuan dan kebenaran, maka wahyu yang diwakili lewat agama dimulai dengan
rasa percaya, dan lewat pengkajian selanjutnya untuk meningkatkan kepercayaan dengan
pembuktian atas pengkajian-pengkajian baik melalui rasionalitas, pengalaman empirisme bahkan
intuisi.
B. Perkembangan Pola Pikir Manusia Berdasarkan Mitos

8
Definisi Mitos mitologi berasal dari kata “mite” atau “mitos”1 dan “logos”. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mitos adalah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan
zaman dahulu, mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa
tersebut mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib. Mitologi adalah Ilmu
yang mempelajari tentang mitos. Lebih lengkapnya mitologi merupakan ilmu tentang bentuk
sastra yang mengandung konsepsi dan dongeng suci mengenai kehidupan dewa dan makhluk
halus di suatu kebudayaan. 4
Mitos timbul karena keterbatasan alat indera manusia diantarnya:
a. Alat penglihatan
Suatu contoh jikalau seseorang melihat pelangi, dia menganggap bahwa pelangi adalah
selendang bidadari, padahal, pelangi adalah hasil penghamburan dari warna ultrafiolet
b. Alat pendengaran
Pendengaran manusia terbatas pada getaran yang mempunyai frekuensi dari 20 sampai
20.000 per detik.
Suatu contoh guntur yang mengglegar, dianggap suara setan-setan yang dicambuk, padahal
guntur adalah venomena hasil dari bertemunya muatan negatif dan positif yang ada diawan.
c. Alat pencuim dan pengecap
Manusia hanya dapat membedakan 4 jenis rasa manis, asam, asin, dan pahit. Melalui bau
manusia dapat membedakan bau benda yang satu dengan yang lain, keterbatasan alat penciuman
dan pengecap manusia menyebabkan mitos timbul ditengah-tengah masyarakat.
d. Alat perasa
Alat perasa pada kulit manusia dapat membedakan panas atau dingin. Hawa panas atau
dingin yang yang dirasakan kulit manusia akan menstimulus otak sehingga menimbulkan angan-
angan mitos atau bohong belaka, contohnya bulu yang berdiri karna hawa dingin, dikira ada
setan yang mendekat.
Mitos dapat diterima pada masyarakat masa lalu karena:
a. Keterbatasan pengetahuan yang disebabkan oleh penginderaan, baik langsung
maupun dengan alat.
b. Keterbatasan penalaran manusia pada waktu itu.
c. Terpenuhinya rasa ingin tahu.
4
Anton Bakker, 1984, hlm. 10 dalam Drs. Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: PT Bumi Aksara, Cet.I,
2005; halaman 7-8.

9
Puncak mitos seprti diatas terjadi pada zaman Babylona yaitu kira-kira 700-600 SM.
Pendapat orang pada masa itu bahwa alam semesta merupakan ruangan atau selungkup.
Horoskop atau ramalan nasib manusia berdasarkan perhitungan juga berasal dari zaman itu.
Sebelum filsafat lahir dan berkembang pesat, di Yunani telah berkembang berbagai mitos.
Bahkan, filsafat pertama kali dikembangkan melalui jalan mitologis. Mitos-mitos yang
berkembang merupakan metode yang di jadikan cara untuk memahami segala sesuatu yang ada.
Berbagai pertanyaan muncul atas ketidaktahuan atau kepenasaran manusia atas eksistensi jagat
raya ini. Jawabannya hanya ada di dalam mitos. 5Seperti pertanyaan tentang mengapa tiba-tiba
bumi menjadi gelap ketika terjadi gerhana? Sebelum ditemukan jawaban filosofis atau apalagi
ilmiah, manusia hanya mampu menjawabnya dengan mitos. Bumi gelap karena digenggam atau
ditelan oleh raksasa (buto-jawa) yang sedang marah, sehingga manusia harus berusaha
meredakan kemarahannya dengan berbagai cara, misalnya memberi sesajen, meyakini adanya
kekuatan lain di luar alam fisik, adanya para dewa dan sebagainya. Khayalan-khayalan itu
menjadi “keyakinan” yang membentuk pemahaman normatif tentang setiap keberadaan dan
kekuatan yang ada di dalamnya. Sebelum dunia ilmu menyatakan adanya “gerhana bulan atau
gerhana matahari”, manusia pada umumnya mendapat jawaban dari berbagai mitos.
Di antara orang tua kita pun pernah menceritakan tentang anak kecil yang dilarang keluar
malam ketika menjelang maghrib. Orang tuanya mengatakan jika anaknya melanggar larangan
itu, ia akan dibawa oleh wewe gombel atau kolong wewe. Cerita lainnya, yang di kemukakan
oleh Alpian (1992: ix) adalah anak kecil yang merengek minta dipotong kukunya pada sang ibu,
lalu ibunya berkata, “tidak boleh memotong kuku menjelang malam, karena akan diterkam
harimau.” Tentu saja tidak ada hubungan antara memotong kuku dengan harimau yang akan
menerkamnya . Akan tetapi, begitulah cara orang tua melarang anaknya jika akan melakukan
sesuatu yang dapat mencelakakan. Menurut kami, zaman dahulu rumah-rumah penduduk masih
banyak di hutan yang lebat dan masih banyak harimau atau hewan buas yang lainnya serta belum
ada penerangan listrik ketika menjelang malam sehingga semua penduduk akrab dengan realitas
tersebut.
Sekarang mari kita renungkan, di dalam kegelapan, anak kecil memotong kukunya, tentu
saja membahayakan dirinya, karena kehidupan mereka akrab dengan binatang buas, tentu cara

5
Ibid

10
yang efektif adalah dengan mengatakan “jika memotong kuku pada malam hari akan diterkam
harimau”.
Betapa cerdasnya masyarakat zaman dulu, yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal
apalagi bergelar. Namun ketika cara tersebut digunakan oleh masyarakat modern sekarang yang
tidak bertempat tinggal di hutan, malam hari terang benderang dan mengetahui binatang buas
semacam harimau setelah berkunjung di kebun binatang, larangan itu terdengar naïf dan
takhayul. Padahal masyarakat zaman dulu tidak bermaksud menciptakan takhayul, melainkan
berfikir empiris dan cukup logis. Lalu siapa yang menciptakan takhayul dan berbagai mitos,
masyarakat zaman dahulu atau masa kini?6.
Cerita yang berdasarkan atas mitos disebut legenda. Mitos timbul disebabkan antara lain
oleh keterbatasan alat indera manusia: penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecap, dan
perasa. Alat-alat indera tersebut berbeda-beda di antara manusia. Ada yang sangat tajam
inderanya, ada yang tidak. Akibat keterbatasan alat indera, maka mungkin saja timbul salah
informasi. Dan akibat perbedaan ketajaman alat indera, maka mungkin saja timbul perbedaan
informasi. Indera bisa terus dilatih untuk meningkatkan fungsi dan ketajamannya.
Pada masa itu, mitos masih dapat diterima oleh masyarakat karena:
a. keterbatasan pengetahuan yang disediakan oleh keterbatasan penginderaan, baik
langsung maupun tidak langsung;
b. keterbatasan penalaran manusia pada saat itu;
c. terpenuhinya hasrat ingin tahu. 7
Perkembangan mitos sampai saat ini masih berlaku dan diyakini oleh sebagian besar
masyarakat. Kebanyakan dari mereka adalah mayarakat pedesaan yang masih kental memegang
erat hukum adat. Bahkan beberapa kasus, mitos ini masih diakui oleh masyarakat kota.
Pengakuan akan adanya mitos, berkembang menjadi sebuah kepercayaan. Dan kepercayaan
inilah yang nantinya diambil, difiltrasi, berasimilasi dengan sebuah agama serta menjadi sebuah
budaya mayarakat tertentu yang mencoba untuk dilestarikan. 8

Sebagai contoh mitos yang masih berkembang di masyarakat Indonesia khususnya Jawa
adalah selametan atau kenduri. Slametan merupakan bentuk aktivitas sosial berwujud upacara

6
Drs. Atang Abdul Hakim…; halaman 39-40.
7
Drs. Mawardi, Ir. Nur Hidayati, Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar (IAD, ISD, IBD).
Bandung: CV Pustaka Setia, Cet.VI, 2009; halaman. 13-15.
8
Ibid

11
yang dilakukan secara tradisional. Upacara slametan masih dianggap sebagai aktivitas penting
untuk mencari keselamatan, ketenangan dan terjadinya keseimbangan kosmos. Keseimbangan
kosmos adalah terjaganya hubungan yang harmonis antara mikrokosmos (jagad cilik/dunia
bawah meliputi manusia, hewan, tumbuhan) dan makrokosmos (jagad gedhe/dunia atas meliputi
Tuhan/Dewa, dan makhluk halus). Dunia bawah berusaha untuk berlindung pada suatu
keselamatan, sedangkan dunia atas melindungi dan memberi keselamatan dunia bawah, dengan
catatan jika keduanya terjalin harmonisasi. Jika terjadi dis-harmonisasi, maka akan terjadi
malapetaka menimpa dunia bawah. Dalam bahasa lain, Geerts menyebutkan, selametan itu
mengharmoniskan hubungan antara orang jawa dengan danyang yang menguasai desanya. 9
Dalam selametan, kepercayaan mitos merupakan aspek terpenting. Tanpa hadirnya
kepercayaan mitos, tentu upacara ini tidak memiliki roh, yang berarti akan mudah ditinggalkan
masyarakat pendukungnya. Dengan selametan pula, orang Jawa khususnya atau pendukung
selametan menganggap roh-roh orang meninggal dapat diajak berkomunikasi. Hal ini
diwujudkan dengan tamu undangan dari upacara selametan dan bentuk makanan yang disajikan
yang masih.

9
Bayuadhy, Gesta, “Tradisi-Tradisi Adiluhung Para Leluhur Jawa, Melestarikan Berbagai Tradisi Jawa Penuh
Makna. Yogyakarta: DIPTA, Cet. I, 2015.

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berkembangnya pola berpikir manusia bermula dari rasa ingin tahu tentang halhal yang
berada di sekitarnya. Manusia mempunyai insting dan kemampuan untuk berfikir yang
bekembang. Setelah mereka mengetahui tentang suatu kejadian, mereka juga ingin mengetahui
hal-hal yang berhubungan dengan kejadian tersebut Kemampuan penalaran manusia juga mampu
menyebabkan berkembangnya pola pikir dan pengetahuan, dia mengetahui mana yang benar dan
mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, dan apa yang indah dan apa yang jelek.
Dalam hal memilih antara dua unsur tersebut manusia menggunakan pengetahuannya.
Definisi Mitos mitologi berasal dari kata “mite” atau “mitos”1 dan “logos”. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mitos adalah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan
zaman dahulu, mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia, dan bangsa
tersebut mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib. Mitos timbul karena
keterbatasan alat indera manusia diantarnya: alat penglihatan, alat pendengaran, alat pencium
dan pengecap, alat perasa.
B. Saran

Sedikit penjelasan mengenai perkembangan pola pikir masyarakat dari mitos ,semoga
bisa bermanfaat bagi segenap pembaca. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan baik berupa
penulisan maupun pembahasan di atas karena keterbatasan pengetahuan. Kiranya kritik dan saran
yang membangun sangat kami perlukan untuk perbaikan penulisan makalah ini ke depan.

13
DAFTAR PUSTAKA

 
Azra, Azyumardi, Prof, DR, M.A, Menuju Masyarakat Madani, Gagasan, Fakta dan Tantangan.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet.II, 2000.
Bayuadhy, Gesta, “Tradisi-Tradisi Adiluhung Para Leluhur Jawa, Melestarikan Berbagai Tradisi
Jawa Penuh Makna. Yogyakarta: DIPTA, Cet.I, 2015.
Durkheim, Emile, The Elementary Forms of The Religious Life, Sejarah Bentuk-Bentuk Agama
yang Paling Dasar (Edisi Baru). Terj. Inyiak Ridwan Muzir dkk. Yogyakarta: IRCiSoD,
Cet.I, 2011.
Hakim, Atang Abdul, Drs., M.A., Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Filsafat Umum, Dari
Metodologi sampai Teofilosofi. Bandung: CV Pustaka Setia, Cet.X, Cet.I 2008.
Khaldun, Ibnu, Mukaddimah. Terj. Masturi Ilham dkk. Jakarta Timur: Pustaka Al Kautsar, Cet.I,
2011.
Mawardi, Drs., Nur Hidayati, Ir., Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar
(IAD, ISD, IBD). Bandung: CV Pustaka Setia, Cet.VI, 2009.
Supriyadi, Dedi, M.Ag, Pengantar Filsafat Islam (Lanjutan) Teori dan Praktik. Bandung: CV
Pustaka Setia, Cet.I, 2010.
Surajiyo, Drs., Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: PT Bumi Aksara, Cet.I, 2005.

14

Anda mungkin juga menyukai