Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS DIAGNOSIS KOMUNITAS

TUBERKULOSIS

Disusun untuk memenuhi syarat kepaniteraan klinik

Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran

Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Disusun oleh:

Hilmi Adyatma 2110221066

Diana Khoirun Nida 2110221075

Ahmad Syarif Shahab 2110221076

Monica She Queen 2110221077

Pembimbing:

dr Yanti Harjono, S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

UPTD PUSKESMAS CIPAYUNG DEPOK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA

PERIODE 17 OKTOBER – 9 DESEMBER 2022


BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit menular yang masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat, dan salah satu penyebab kematian (Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, 2009). Berdasarkan data Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia per 2 Juni 2022, penyakit TBC di Indonesia menempati peringkat
kedua setelah India dengan perkiraan jumlah kasus sebanyak 969.000 dengan jumlah
kematian 15.186 pasien. Berdasarkan laporan Direktorat Jendral Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit, disebutkan bahwa dari estimasi jumlah kasus TBC menurut
WHO tersebut, terdapat sekitar 443.235 (45,7%) kasus TBC yang berhasil ditemukan,
diobati, dan dilaporkan ke dalam sistem informasi nasional di sepanjang tahun 2022.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Provinsi Jawa
Barat adalah provinsi yang menempati peringkat pertama di tingkat nasional sebagai
penyumbang jumlah penderita TBC. Total jumlah kasus yang ditemukan sepanjang
Januari-Agustus 2022 adalah sebanyak 125.000 kasus dengan jumlah pasien yang
menjalani pengobatan hanya sebanyak 75.296 orang. Menurut Dinas Kesehatan Kota
Depok Jawa Barat, tercatat bahwa ditemukan sebanyak 3.311 kasus TBC di Kota
Depok. Selanjutnya pada data UPTD Puskesmas Cipayung Depok tahun 2022,
dilaporkan bahwa sebanyak 106 kasus yang terkonfirmasi TBC ditemukan di wilayah
kerja UPTD Puskesmas Cipayung Depok, dimana kasus paling banyak dialami oleh
laki-laki dengan jumlah persentase sebesar 55,5% dan satu kasus terjadi pada anak.
Faktor yang berperan pada tingginya angka kejadian TBC di berbagai negara
yang berpenghasilan rendah dan menengah. yang berhubungan dengan tingkat
pengetahuan kesehatan, tingkat kesadaran dalam berperilaku hidup bersih dan sehat,
serta kondisi sanitasi lingkungan tempat tinggal sangat mempengaruhi penularan dan
penyebaran kasus TBC. (Dayu Pralambang dkk., 2021)
UPTD Puskesmas Cipayung Depok merupakan salah satu Puskesmas dengan
cakupan wilayah kerjanya meliputi tiga kelurahan, yaitu kelurahan Cipayung Jaya
yang terdiri atas 10 RW, Bojong Pondok Terong yang terdiri atas 13 RW, dan Pondok
Jaya yang terdiri atas 7 RW. UPTD Puskesmas Cipayung Depok melaksanakan
program kerja untuk pembangunan kesehatan yang disusun berdasarkan permasalahan
yang dihadapi di wilayah kerja puskesmas tersebut melalui diagnosis komunitas.
Salah satu masalah yang dihadapi oleh masyarakat di wilayah kerja UPTD Puskesmas
Cipayung Depok adalah penularan atau penyebaran kasus TBC.
Berdasarkan latar belakang, profil kesehatan, profil dan masalah yang
dihadapi UPTD Puskesmas Cipayung Depok, kami memutuskan untuk menyusun
laporan diagnosis komunitas yang disertai intervensi dengan topiknya adalah masalah
mengenai pengetahuan dan perilaku terkait pencegahan penularan dan penyebaran TB
pada keluarga binaan dengan anggota keluarga yang terdiagnosis TBC kecamatan
Cipayung Depok.
I.2. Rumusan Masalah
Kejadian TBC yang tinggi dapat disebabkan dan dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Faktor tersebut diantaranya yaitu faktor kependudukan (umur, jenis kelamin,
status gizi, peran keluarga, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan), faktor lingkungan
rumah (luas ventilasi, kepadatan hunian, intensitas pencahayaan, jenis lantai,
kelembaban rumah, suhu dan jenis dinding), perilaku (kebiasaan membuka jendela
setiap pagi dan kebiasaan merokok) dan riwayat kontak(Dayu Pralambang dkk.,
2021). Tingkat pengetahuan kesehatan, tingkat kesadaran dalam berperilaku hidup
bersih dan sehat, serta kondisi sanitasi lingkungan tempat tinggal sangat
mempengaruhi penularan dan penyebaran kasus TBC.
Oleh karena TBC masih merupakan masalah yang serius dalam komunitas
kecamatan Cipaung, maka perlu dilakukan kegiatan diagnosis komunitas yang disertai
dengan penyusunan intervensinya untuk memodifikasi risiko penularan dan
penyebaran TBC di wilayah tersebut, agar TBC dapat diberantas sampai tuntas.
I.3. Tujuan
a. Tujuan Umum
Tujuan Umum dari penulisan ini adalah untuk mengetahui dan
memahami tentang TBC di Kelurahan Cipayung Jaya, Kecamatan Cipayung,
Kota Depok Periode November 2022. Setelah didapatkan angka TBC pada
wilayah kerja tersebut, diharapkan keluarga binaan pada daerah cakupan
puskesmas Cipayung Depok mampu memahami mengenai mampu
mengetahui dan memahami tentang TBC, serta mampu mengubah sikap sesuai
dengan perilaku hidup bersih dan sehat untuk mencegah penularan TBC di
wilayah kerja Puskesmas Cipayung Depok dengan pendekatan kedokteran
komunitas.
b. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain sebagai berikut:
i. Mengetahui angka kejadian penyebaran kasus TBC di wilayah kerja
Puskesmas Cipayung Depok.
ii. Mengidentifikasi factor risiko dari masalah penularan dan penyebaran
kasus TBC di wilayah kerja Puskesmas Cipayung Depok.
iii. Menentukan alternatif pemecahan masalah penularan dan penyebaran
TBC untuk menjadikannya sebuah intervensi yang dilakukan pada
keluarga binaan di wilayah kerja Puskesmas Cipayung Depok.
iv. Mengevaluasi hasil intervensi dari alternatif pemecahan masalah yang
dilakukan terkait masalah penularan dan penyebaran TBC pada
keluarga binaan di wilayah kerja Puskesmas Cipayung Depok.
I.4. Manfaat kegiatan
a. Manfaat bagi puskesmas
Manfaat bagi Puskesmas diantaranya adalah sebagai berikut.
i. Menjadi masukan bagi puskesmas dalam menentukan kebijakan jangka
panjang dalam upaya pencegahan penularan dan penyebaran kasus
TBC dengan cara edukasi atau penyuluhan pada masyarakat di wilayah
kerja Puskesmas Cipayung Depok.
ii. Menjadi bahan pertimbangan bagi puskesmas untuk melakukan
kegiatan penyuluhan sebagai bentuk program pencegahan penularan
dan penyebaran kasus TBC di wilayah kerja Puskesmas Cipayung
Depok.
b. Manfaat bagi mahasiswa kepaniteraan klinik
Manfaat yang didapatkan mahasiswa kepaniteraan klinik diantaranya
adalah sebagai berikut.
i. Menambah wawasan tentang TBC beserta faktor-faktor penyebab dari
penularan dan penyebarannya.
ii. Melatih kemampuan dalam menentukan alternatif pemecahan masalah
penularan dan penyebaran kasus TBC dengan pendekatan kedokteran
komunitas.
iii. Melatih kemampuan dalam pemberian edukasi ataupun penyuluhan
tentang Tuberkulosis.
c. Manfaat bagi masyarakat
Manfaat yang dapat diperoleh oleh masyarakat dari penulisan ini
adalah menambah wawasan tentang TBC beserta cara untuk pencegahan
penularan dan penyebarannya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Diagnosis dan Intervensi Komunitas


Diagnosis dan intervensi komunitas merupakan suatu kegiatan untuk
menentukan adanya suatu masalah kesehatan di komunitas atau masyarakat dengan
cara pengumpulan data di lapangan dan kemudian melakukan intervensi sesuai
dengan permasalahan yang ada. Diagnosis dan intervensi komunitas merupakan suatu
prosedur atau keterampilan dari ilmu kedokteran komunitas. Dalam melaksanakan
kegiatan diagnosis dan intervensi komunitas perlu disadari bahwa yang menjadi
sasaran adalah komunitas atau sekelompok orang sehingga dalam melaksanakan
diagnosis komunitas sangat ditunjang oleh pengetahuan ilmu kesehatan masyarakat
(epidemiologi, biostatistik, metode penelitian, manajemen kesehatan, promosi
kesehatan masyarakat, kesehatan lingkungan, kesehatan kerja dan gizi).

II.2. Teori Perilaku


a. Definisi Perilaku
Perilaku adalah suatu reaksi psikis seseorang terhadap lingkungannya.
Dari batasan dapat diuraikan bahwa reaksi dapat diuraikan bermacam-macam
bentuk, yang pada hakekatnya digolongkan menjadi 2, yaitu bentuk pasif
(tanpa tindakan nyata atau konkret) dan dalam bentuk aktif dengan tindakan
nyata atau (konkret). Proses pembentukan dan atau perubahan perilaku
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari diri individu itu sendiri,
antara lain susunan syaraf pusat, persepsi, motivasi, emosi dan belajar.
Susunan syaraf pusat memegang peranan penting dalam perilaku manusia,
karena perilaku merupakan perpindahan dari rangsangan yang masuk ke
respon yang dihasilkan. Perpindahan ini dilakukan oleh susunan syaraf pusat
dengan unit-unit dasarnya yang disebut neuron. Neuron memindahkan energi
dalam impuls-impuls syaraf. Perubahan perilaku dalam diri seseorang dapat
diketahui melalui persepsi. Persepsi ini adalah pengalaman yang dihasilkan
melalui indra pendengaran, penciuman dan sebagainya(Irwan, 2017).

II.2.2 Klasifikasi Perilaku Kesehatan


Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau
obyektif yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan,
dan minuman, serta lingkungan (Notoatmodjo, 2007). Perilaku sehat adalah tindakan yang
dilakukan individu untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk pencegahan
penyakit, perawatan kebersihan diri, penjagaan kebugaran melalui olah raga dan makanan
bergizi. Perilaku sehat ini diperlihatkan oleh individu yang merasa dirinya sehat meskipun
secara medis belum tentu mereka betul-betul sehat (Notoatmodjo, 2007; 2010).
Menurut Green dalam buku Notoatmodjo (2003), menganalisis bahwa perilaku manusia
dari tingkatan kesehatan. Tingkat kesehatan dipengaruhi oleh 2 faktor utama yakni faktor
perilaku (behaviour causer) dan faktor dari luar perilaku (non behaviour causer). Selanjutnya
perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu :
1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan,
sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.
2. 2. Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik,
tersedia atau tidak tersedianya fasilitasfasilitas atau sarana-sarana kesehatan misalnya
Puskesmas, obatobatan, alat-alat kontrasepsi, jamban dan sebagainya.
3. 3. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas kesehatan atau petugas yang lain, yang merupakan kelompok
referensi dari perilaku masyarakat.
Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit sesuai dengan tingkatan tingkatan
pemberian pelayanan kesehatan yang menyeluruh atau sesuai dengan tingkatan pencegahan
penyakit, yaitu:
a. Perilaku peningkatan dan pemeliharan kesehatan (health promotion behavior)
b. Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behavior)
c. Perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior)
d. Perilaku pemulihan kesehatan (health rehabilitation behavior).

II.2.3 Domain Perilaku


Para psikolog mengemukakan bahwa perilaku terbentuk dari adanya interaksi antara
domain trikomponen sikap yakni interaktif antara komponen kognitif, afektif dan domain
konatif. Pemikiran ini didukung oleh Mueler yang berpendapat bahwa Komponen konatif
dalam trikomponen sikap tidak disamakan dengan perilaku. Komponen konatif merupakan
baru sebatas kecenderungan perilaku yang terkristalisasi dalam kata akan, mau dan hendak.
Sedangkan perilaku merupakan suatu bentuk tidakan nyata dari individu yang dapat diukur
dengan panca indera langsung. Dengan demikian, Mueler menegaskan bahwa makna
behaviour adalah perilaku aktual sedangkan makna konatif adalah trikomponen sikap sebagai
“kecendrungan “perilaku. Pemikiran ini menunjukkan bahwa komponen konatif dalam
trikomponen sikap hanyalah salah satu penyebab pembentukan perilaku actual (Irwan, 2017).
II.2.4 Asumsi Determinan Perilaku
Ada tiga asumsi yang saling berkaitan mengenai perilaku manusia. Pertama, perilaku
itu disebabkan; Kedua, perilaku itu digerakan; Ketiga, perilaku itu ditujukan pada sasa ran /
tujuan”. dalam hal ini berarti proses perubahan perilaku mempunyai kesamaan untuk setiap
individu, yakni perilaku itu ada penyebabnya, dan terjadinya tidak dengan spontan, dan
mengarah kepada suatu sasaran baik secara 9 ekslusif maupun inklusif. “Perilaku pada
dasarnya berorientasi tujuan (Goal oriented)”. Dengan perkataan lain, perilaku kita pada
umumnya dimotivasi oleh suatu keinginan untuk mencapai tujuan tertentu‖. Senada dengan
itu Ndraha, mendefinisikan perilaku sebagai operasionalisasi dan aktualisasi sikap seseorang
atau suatu kelompok dalam atau terhadap sesuatu (situasi atau kondisi) lingkungan
(masyarakat, alam, teknologi atau organisasi). (Irwan, 2017)

II.3. Tuberkulosis

II.3 Tuberkulosis
II.3.1 Definisi
Tuberkulosis merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberculosis dan bersifat menular. Bakteri tersebut bersifat tahan asam atau biasa disebut
Basil Tahan Asam (BTA) dan paling umum menginfeksi parenkim paru dan menyebabkan
kerusakan. Selain paru, organ lain yang dapat terinfeksi bakteri tersebut adalah kelenjar
limfe, pleura, tulang, usus, dan organ ekstra paru lainnya(Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2020).

II.3.2 Etiologi dan Faktor Risiko


Bakteri utama yang paling sering ditemukan sebagai etiologi tuberkulosis adalah
Mycobacterium tuberculosis. Selain itu, bakteri-bakteri lain yang dapat menjadi etiologi
tuberkulosis yaitu Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum, Mycobacterium microti
dan Mycobacterium cannettii. Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri yang berbentu
batang, bersifat obligat aerob, fakultatif, dan bersifat tahan asam. Terdapat lapisan dinding
yang tersusun dari asam mikolat, faktor cord, fan Wax-D. Kandungan lipid yang tinggi di
dinding sel tersebut dianggap berperan terhadap beberapa sifat infeksi Mycobacterium
tuberculosis seperti resistensi terhadap beberapa antibiotik, kesulitan dalam pewarnaan gram,
memiliki kemampuan untuk hidup dalam kondisi ekstrim, situasi oksigen rendah, dan
kelangsungan hidup dalam intraseluler (makrofag). Pewarnaan Ziehl-Neelsen merupakan
salah satu pewarnaan yang paling umum digunakan untuk mendeteksi Mycobacterium
tuberculosis(Adigun & Singh, 2020; Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020).
Penularan bakteri Mycobacterium tuberculosis yang paling sering ditemukan yaitu
melalui udara, tepatnya melalui droplet nukleus (<5 mikron) yang keluar dari seseorang yang
terinfeksi TB paru saat batuk, bersin, ataupun bicara. Terdapat 3 faktor yang menentukan
transmisi Mycobacterium tuberculosis, yaitu jumlah organisme, konsentrasi organisme, dan
lamanya menghirup udara yang terkontaminasi. Ventilasi dan cahaya yang minim dapat
membuat penularan lebih mudah karena bakteri dapat bertahan lebih lama di tempat yang
gelap. Beberapa faktor yang meningkatkan risiko terinfeksi TB yaitu pada(Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2020):
1. Penderita HIV dan penyakit imunokompromais lainnya
2. Orang yang konsumsi obat imunosupresan jangka panjang
3. Perokok
4. Konsumsi alkohol tinggi
5. Anak usia <5 tahun dan lansia
6. Memiliki kontak erat dengan penderita TB aktif
7. Orang yang tinggal di tempat dengan risiko tinggi (lembaga permasyarakatan,
fasilitas perawatan jangka panjang)
8. Petugas kesehatan

II.3.3 Epidemiologi
Tuberkulosis merupakan panyakit global. Negara dengan tingkat kemiskinan yang
tinggi memiliki angka kasus TB yang tinggi juga dibandingkan dengan negara maju.
Sebagian besar kematian akibat TB juga terjadi di negara-negara berkembang. Terdapat 8
negara dengan jumlah kasus TB terbanyak yang mencakup dua pertiga dari seluruh kasus TB
global yaitu India (26%), Indonesia (8,5%), Cina (8,4%), Filipina (6%), Pakistan (5,7%),
Nigeria (4,4%), Bangladesh (3,6%), dan Afrika Selatan (3,6%)(PDPI, 2021). Karena
penduduk yang padat dan tingginya prevalensi maka lebih dari 65% kasus TB baru dan
kematian terjadi di Asia. WHO memperkirakan terdapat 10 juta orang yang terinfeksi TB
pada tahun 2017. Saat ini beberapa negara maju di Eropa Timur dan Amerika Tengah juga
memiliki prevalensi yang tinggi(Adigun & Singh, 2020; Alzayer & Al Nasser, 2021; Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, 2014). Di Indonesia sendiri, diperkirakan terdapat 845.000 kasus TB
baru(PDPI, 2021).
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Provinsi Jawa Barat
adalah provinsi yang menempati peringkat pertama di tingkat nasional sebagai penyumbang
jumlah penderita TBC. Total jumlah kasus yang ditemukan sepanjang Januari-Agustus 2022
adalah sebanyak 125.000 kasus dengan jumlah pasien yang menjalani pengobatan hanya
sebanyak 75.296 orang. Menurut Dinas Kesehatan Kota Depok Jawa Barat, tercatat bahwa
ditemukan sebanyak 3.311 kasus TBC di Kota Depok. Selanjutnya pada data UPTD
Puskesmas Cipayung Depok tahun 2022, dilaporkan bahwa sebanyak 106 kasus yang
terkonfirmasi TBC ditemukan di wilayah kerja UPTD Puskesmas Cipayung Depok, dimana
kasus paling banyak dialami oleh laki-laki dengan jumlah persentase sebesar 55,5% dan satu
kasus terjadi pada anak.

II.3.4 Patogenesis(PDPI, 2021)


Mycobacterium tuberculosis sebagai etiologi utama TB dapat masuk ke dalam saluran
pernapasan hingga mencapai bronkiolus respiratorius dan alveolus. Bila inhalasi droplet
nuklei yang terinhalasi berjumlah sedikit, kuman TB yang terdeposisi pada saluran napas
akan segera difagosit dan dicerna oleh sistem imun nonspesifik yang diperankan oleh
makrofag. Namun jika jumlah kuman TB yang terdeposit melebihi kemampuan makrofag
untuk memfagosit dan mencerna, kuman TB dapat bertahan dan berkembang biak secara
intraseluler di dalam makrofag hingga menyebabkan pneumonia tuberkulosis yang
terlokalisasi. Kuman yang berkembang biak di dalam makrofag ini akan keluar saat makrofag
mati. Sistem imun akan merespon dengan membentuk barrier atau pembatas di sekitar area
yang terinfeksi dan membentuk granuloma. Jika respon imun tidak dapat mengontrol infeksi
ini, maka barrier ini dapat ditembus oleh kuman TB.
Kuman TB, dengan bantuan sistem limfatik dan pembuluh darah, dapat tersebar ke
jaringan dan organ yang lebih jauh misalnya kelenjar limfatik, apeks paru, ginjal, otak, dan
tulang. Kuman TB yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru
sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut fokus primer. Fokus primer ini
dapat timbul di bagian mana saja dalam paru. Dari fokus primer akan terjadi peradangan
saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh
pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Fokus primer bersama-
sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini
akan mengalami salah satu kejadian sebagai berikut :
1. Sembuh tanpa meninggalkan cacat (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas luka
3. Menyebar dengan cara perkontinuitatum, bronkogen, limfogen, dan hematogen

Gambar 1. Patogenesis TB
Keterangan:
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult hematogenic
spread) dapat juga secara akut dan menyeluruh. Kuman TB kemudian membuat
fokus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi yang baik. Fokus ini berpotensi
mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis regional.
3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya.
4. Sakit TB pada keadaan ini disebut TB pasca primer karena mekanismenya bisa
melalui proses reaktivasi fokus lama TB (endogen) biasanya pada orang dewasa. TB
dewasa juga dapat karena infeksi baru.
II.3.5 Klasifikasi(PDPI, 2021)
Terdapat beberapa klasifikasi pada penyakit tuberkulosis, antara lain:
1. Berdasarkan diagnosis
a. TB terkonfirmasi bakteriologis, yaitu pasien yang memiliki bukti infeksi kuman
MTB berdasarkan pemeriksaan bakteriologis.
b. TB terdiagnosis secara klinis, yaitu pasien yang tidak memenuhi kriteria diagnosis
secara bakteriologis namun terdapat bukti kuat lainnya tetap didiagnosis dan
diterapi sebagai TB.
2. Berdasarkan lokasi
a. Tuberkulosis paru, yaitu TB yang berlokasi di parenkim paru.
b. Tuberkulosis ekstra paru, yaitu TB yang terjadi pada organ selain paru.
3. Berdasarkan riwayat pengobatan
a. Kasus baru, yaitu kasus yang belum pernah mendapat obat anti tuberkulosis
(OAT) atau sudah pernah menelan OAT dengan total dosis kurang dari 28 hari.
b. Kasus pernah diobati
- Kasus kambuh: kasus yang pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap dan saat ini didiagnosis kembali dengan TB.
- Kasus gagal pengobatan: kasus yang pernah diobati dengan OAT dan
dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
- Kasus putus obat: kasus yang terputus pengobatannya selama minimal 2 bulan
berturut-turut.
- Lain-lain: kasus yang pernah diobati dengan OAT namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
4. Berdasarkan hasil uji kepekaan obat
a. TB sensitif obat (TB-SO)
b. TB resistan obat (TB-RO)
- Monoresistan: bakteri resisten terhadap salah satu jenis OAT lini pertama
- Resistan Rifampisin (TB RR): Mycobacterium tuberculosis resisten terhadap
Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain.
- Poliresistan: bakteri resisten terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama,
namun tidak Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) bersamaan.
- Multi drug resistant (TB-MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan, dengan atau tanpa diikuti resistensi terhadap
OAT lini pertama lainnya.
5. Berdasarkan status HIV
a. TB dengan HIV positif
b. TB dengan HIV negatif
c. TB dengan status HIV tidak diketahui

II.3.6 Gejala Klinis


Gejala penyakit TB tergantung pada lokasi lesi, sehingga dapat menunjukkan
manifestasi klinis sebagai berikut(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020):
1. Batuk ≥ 2 minggu
2. Batuk berdahak
3. Batuk berdahak dapat bercampur darah
4. Dapat disertai nyeri dada
5. Sesak napas
Dengan gejala lain meliputi :
1. Malaise
2. Penurunan berat badan
3. Menurunnya nafsu makan
4. Menggigil
5. Demam
6. Berkeringat di malam hari

II.3.7 Diagnosis(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020; PDPI, 2021)


Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis,
pemeriksaan bakteriologis, radiologis, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Semua pasien
terduga TB harus menjalani pemeriksaan bakteriologis untuk mengkonfirmasi penyakit TB.
Pemeriksaan bakteriologis merujuk pada pemeriksaan apusan dari sediaan biologis (dahak
atau spesimen lain), pemeriksaan biakan dan identifikasi M. tuberculosis atau metode
diagnostik cepat yang telah mendapat rekomendasi WHO.
Gambar 2. Alur Diagnosis TB

1. Anamnesis
Gejala-gejala yang umum terjadi pada pasien TB seperti batuk ≥ 2 minggu,
batuk berdahak, batuk berdahak dapat bercampur darah, nyeri dada, sesak napas, dan
lain-lain harus ditanyakan ke pasien. Selain itu, perlu juga menanyakan riwayat
lainnya yang menjadi faktor risiko TB seperti kontak erat dengan pasien TB,
lingkungan tempat tinggal kumuh, ventilasi dan pencahayaan yang minim, memiliki
kegiatan atau pekerjaan yang berisiko tinggi terpajan infeksi TB seperti tenaga
kesehatan ataupun aktivis TB.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur
paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit
sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus
superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks
lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan antara lain suara napas
bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah kasar/halus, dan/atau tanda-
tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang menjadi gold standard pada penyakit tuberkulosis yaitu
pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan Tes Cepat
Molekular (TCM), mikroskopis, ataupun dengan biakan. Selain itu, pemeriksaan
radiologi juga dapat membantu menegakkan diagnosis TB, seperti foto toraks atau
CT-Scan. Gambaran yang dicurigai sebagai lesi aktif TB yaitu adanya bayangan
berawan atau nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah, adanya kavitas, bercak milier, dan efusi pleura. Pemeriksaan
lainnya seperti analisis cairan pleura, histopatologi, dan tuberkulin juga dapat menjadi
alternatif dalam penegakkan diagnosis TB.

II.3.7 Tata Laksana


Prinsip Pengobatan TB(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020):
Obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan TB.
Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran lebih
lanjut dari bakteri penyebab TB.
Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:
a. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung minimal 4
macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi
b. Diberikan dalam dosis yang tepat
c. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (pengawas menelan obat)
sampai selesai masa pengobatan.
d. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal serta
tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.
Tahapan pengobatan TB terdiri dari 2 tahap, yaitu :
a. Tahap awal (fase intensif)
Pengobatan diberikan setiap hari. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus
diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa
adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2
minggu pertama.
b. Tahap lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam
tubuh, khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah
terjadinya kekambuhan. Durasi tahap lanjutan berkisar antara 4 sampai 6 bulan. Pada
fase lanjutan seharusnya obat diberikan setiap hari.
Regimen pengobatan TB-SO(PDPI, 2021)
Paduan OAT untuk pengobatan TB-SO di Indonesia adalah:
2RHZE / 4 RH
Pada fase intensif pasien diberikan kombinasi 4 obat berupa Rifampisin (R), Isoniazid (H),
Pirazinamid (Z), dan Etambutol(E) selama 2 bulan dilanjutkan dengan pemberian Isoniazid
(H) dan Rifampisin (R) selama 4 bulan pada fase lanjutan. Pemberian obat fase lanjutan
diberikan sebagai dosis harian (RH) sesuai dengan rekomendasi WHO.
Pasien dengan TB-SO diobati menggunakan OAT lini pertama.
Tabel 1. Dosis OAT lepasan lini pertama untuk pengobatan TB-SO
Nama Obat Dosis Harian
Dosis (mg/kgBB) Dosis maksimum (mg)
Rifampisin (R) 10 (8-12) 600
Isoniazid (H) 5 (4-6) 300
Pirazinamid (Z) 25 (20-30)
Etambutol (E) 15 (15-20)
Streptomisin 15 (12-18)
Sumber : PDPI 2021

Untuk menunjang kepatuhan berobat, paduan OAT lini pertama telah dikombinasikan
dalam obat Kombinasi Dosis Tetap (KDT). Satu tablet KDT RHZE untuk fase intensif berisi
Rifampisin 150 mg, Isoniazid 75 mg, Pirazinamid 400 mg, dan Etambutol 275 mg.
Sedangkan untuk fase lanjutan yaitu KDT RH yang berisi Rifampisin 150 mg + Isoniazid 75
mg diberikan setiap hari. Jumlah tablet KDT yang diberikan dapat disesuaikan dengan berat
badan pasien.

Tabel 2. Dosis OAT untuk pengobatan TB-SO menggunakan tablet kombinasi dosis
tetap (KDT)
Berat Badan (kg) Fase intensif setiap hari Fase lanjutan setiap
dengan KDT RHZE hari dengan KDT RH
(150/75/400/275) (150/75)
Selama 8 minggu Selama 16 minggu
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet
≥ 55 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet
Sumber : PDPI 2021

Pengobatan tuberkulosis standar dibagi menjadi:(PDPI, 2021)


1. Pasien baru. Paduan obat yang dianjurkan 2HRZE/4HR dengan pemberian dosis
setiap hari.
2. Pada pasien dengan riwayat pengobatan TB lini pertama. Pengobatan sebaiknya
berdasarkan hasil uji kepekaan secara individual. Fasilitas kesehatan perlu melakukan
uji kepekaan obat, pasien dapat diberikan OAT kategori 1 selama menunggu hasil uji
kepekaan. Pengobatan selanjutnya disesuaikan dengan hasil uji kepekaan.
Tabel 3. Interpretasi Hasil Pengobatan TB
Hasil Definisi
Sembuh Pasien TB paru dengan konfirmasi bakteriologis positif
pada awal pengobatan dan
BTA sputum negatif atau biakan negatif pada akhir
pengobatan dan memiliki
hasil pemeriksaan negatif pada salah satu pemeriksaan
sebelumnya.
Pengobatan lengkap Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara
lengkap dantidak
memiliki bukti gagal pengobatan tetapi juga tidak
memiliki hasil BTA sputum atau
biakan negatif pada akhir pengobatan dan satu
pemeriksaan sebelumnya, baik
karena tidak dilakukan atau karena hasilnya tidak ada.
Pengobatan gagal Pasien TB dengan hasil pemeriksaan BTA sputum atau
biakan positif pada bulan
kelima atau akhir pengobatan.
Meninggal Pasien TB yang meninggal dengan alasan
apapunsebelum dan selama
pengobatan TB
Putus obat Pasien TB yang tidak memulai pengobatan setelah
terdiagnosis TB atau
menghentikan pengobatan selama 2 bulan berturut-turut
atau lebih
Tidak dievaluasi Pasien yang tidak memiliki hasil pengobatan pada saat
akhir pelaporan kohort
pengobatan, termasuk pasien yang sudah pindah ke
fasilitas kesehatan lain dan
tidak diketahui hasil pengobatannya oleh fasilitas yang
merujuk pada batas akhir
pelaporan kohort pengobatan.
Keberhasilan Jumlah kasus dengan hasil pengobatan sembuh dan
pengobatan lengkap

Sumber : Pedoman Nasional Tuberkulosis Kemenkes, 2020


Evaluasi pengobatan yang dapat dilakukan pada pasien TB paru yaitu:
1. Klinis
Pasien melakukan kontrol dalam kurun waktu 1 minggu pertama, selanjutnya 2
minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir pengobatan.
Secara klinis dilakukan penilaian mengenai keluhan-keluhan pasien seperti batuk
berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah, hingga penambahan berat
badan.
2. Bakteriologis
Dilakukan setelah 2-3 minggu pengobatan dan sputum BTA mulai menjadi negatif.
Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali sebulan. WHO (1991)
menganjurkan kontrol sputum BTA langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4 dan
6. Pemeriksaan resistensi dilakukan pada pasien baru yang 18 BTA-nya masih positif
setelah tahap intensif dan pada awal terapi bagi pasien yang mendapatkan pengobatan
ulang (retreatment). Bila sudah negatif, sputum BTA tetap diperiksakan sedikitnya
sampai 3 kali berturut-turut. Bila BTA positif pada 3 kali pemeriksaan biakan (3
bulan), maka pasien yang sebelumnya telah sembuh mengalami kekambuhan.
3. Radiologis
Foto kontrol dapat dibuat pada akhir pengobatan perbandingan bila timbul kasus
kekambuhan pada pasien. Jika keluhan pasien tidak berkurang (misalnya tetap batuk-
batuk), dengan pemeriksaan radiologis dinilai gambaran TB paru dan adakah penyakit
lain yang menyertainya. Karena perubahan gambaran radiologis tidak berubah secepat
perubahan gambaran bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan sekali.
II.3.8 Pencegahan(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016, 2020)
1. Vaksinasi Bacillus Calmette et Guerin (BCG)
Vaksin BCG sangat penting terutama dalam pencegahan terhadap terjadinya TB berat
(TB milier dan meninginis). Vakisn BCG dapat diberikan pada bayi usia 0-1 bulan.
Namun, pada anak yang terkonfirmasi HIV positif tidak boleh diberikan vaksin BCG.
2. Pengobatan pencegahan dengan INH
INH sebagai profilaksis primer diberikan pada balita sehat yang memiliki kontak erat
dengan pasien TB dewasa dengan BTA (+). Obat yang diberikan adalah INH dengan
dosis 10 mg/kgBB/hari selama 6 bulan, dengan pemantauan dan evaluasi minimal
satu kali per bulan.
3. Pengobatan pencegahan dengan 3HP
WHO 2018 juga merekomendasikan penggunaan INH-Rifampisin dan INH-
Rifapentin (3HP) sebagai profilaksis. INH-Rifapentin lebih dipilih, pemberiannya
yaitu 1 kali per minggu selama 12 minggu.
4. Skrining pada populasi risiko tinggi
Skrining dilakukan pas orang-orang dengan faktor risiko tinggi terhadap kejadian
tuberkulosis di Indonesia seperti merokok, kekurangan gizi, dan diabetes. Beberapa
tempat sepeti perkampungan kumuh perkotaan, asrama, dan pondok pesantren juga
perlu dilakukan skrining. Upaya ini dapat melibatkan pegiat tuberkulosis atau kader
yang terbukti efektif meningkatkan jumlah penemuan kasus baru.
5. Bagi orang yang menderita TB aktif sebaiknya jangan pergi kerja atau sekolah atau
tidur di kamar dengan orang lain selama beberapa minggu pertama pengobatan untuk
TB aktif.
6. Ventilasi ruangan. Kuman TB menyebar lebih mudah dalam ruangan tertutup kecil di
mana udara tidak bergerak. Jika ventilasi ruangan masih kurang, buka jendela dan
gunakan kipas untuk meniup udara dalam ruangan ke luar.
7. Tutup mulut mengunakan masker. Gunakan masker untuk menutup mulut kapan saja
ini merupakan langkah pencegahan TB secara efektif. Jangan lupa untuk membuang
masker secara teratur.
8. Meludah hendaknya pada tempat tertentu yang sudah diberikan desinfektan (air
sabun).
9. Hindari udara dingin.
10. Usahakan sinar matahari dan udara segar masuk secukupnya ke dalam tempat tidur.
11. Menjemur kasur, bantal, dan tempat tidur terutama pagi hari.
12. Semua barang yang digunakan penderita TB harus terpisah begitu juga mencucinya
dan tidak boleh digunakan oleh orang lain.
13. Makanan harus tinggi karbohidrat dan tinggi protein.

II.3.9 Prognosis
Sebagian besar pasien dengan diagnosis TB memiliki hasil yang baik. Ini terutama
karena pengobatan yang efektif. Tanpa pengobatan angka kematian untuk tuberkulosis lebih
dari 50%. Terdapat juga beberapa kelompok yang memiliki prognosis buruk, yaitu usia
ekstrim (lanjut usia, bayi), terlambat menerima pengobatan, terdapat penyebaran luas,
membutuhkan ventilasi mekanik, imunosupresi, dan TB-MDR(Adigun & Singh, 2020).

II.3.10 Komplikasi
Tuberkulosis paru memiliki berbagai komplikasi. Perdarahan dari arteri bronkial, paru,
dan interkostal menyebabkan hemoptisis. Pendarahan ini biasanya minimal dan jarang
menyebabkan kehilangan banyak darah. Pecahnya fokus subpleural atau rongga paru-paru
dapat menyebabkan pneumotoraks spontan. Peradangan kelenjar getah bening dapat
menyebabkan kompresi pada pohon bronkial dan dapat menyebabkan bronkiektasis.
Tuberkulosis paru berat yang tidak diobati dapat menyebabkan kerusakan paru yang luas,
nekrosis, dan gangren. Tuberkulosis juga telah dilaporkan meningkatkan risiko keganasan
paru-paru. Komplikasi lain yang kurang umum termasuk aspergillosis paru kronis dan syok
septik(Alzayer & Al Nasser, 2021).
1.
DAFTAR PUSTAKA

Adigun, R., & Singh, R. (2020). Tuberculosis. Dalam StatPearls.

Alzayer, Z., & Al Nasser, Y. (2021). Primary Lung Tuberculosis. Dalam StatPearls.

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (2014). PAPDI. Dalam S. Setiati, I. Alwi, A. W. Sudoto, M. S.
K, B. Setiyohadi, & A. F. Syam (Ed.), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 (6 ed.).
InternaPublishing.

Dayu Pralambang, S., Setiawan, S., & Dayu Pralambang -, S. (2021). Faktor Risiko Kejadian
Tuberkulosis di Indonesia.

Irwan. (2017). Etika dan Perilaku Kesehatan (1 ed.). CV. Absolute Media.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Tuberkulosis (TB).


https://promkes.kemkes.go.id/?p=7439

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2020). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran


Tata Laksana Tuberkulosis (S. Sastroasmoro, Ed.). Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.

PDPI. (2021). Guideline Tuberkulosis PDPI. Dalam Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2 ed.).

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2009). PEDOMAN PENANGGULANGAN


TUBERKULOSIS (TB).

Anda mungkin juga menyukai