Anda di halaman 1dari 6

Nama: Muhammad khusnuli sandi

Kelas : BOR
Nim : 20200810700079
Tugas : Rangkuman komparasi konten matriks pendidikan
Mata Kuliah: Pendidikan pancasila Indonesia

a. Komparasi Konten Matriks Pendidikan Kewarganegaraan


Perguruan Tinggi di beberapa Negara
1) Negara Indonesia
Pasal 56 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi kembali
dikukuhkan wajib adanya mata kuliah Pancasila dan kewarganegaraan, yang masing-
masing merupakan entitas utuh psikopedagogis/andragogi. Pendidikan
kewarganegaraan sebenarnya dilakukan dan dikembangkan di seluruh dunia, meskipun
dengan berbagai macam istilah atau nama. Mata Kuliah tersebut sering disebut sebagai
civic education, citizenship education dan bahkan ada yang menyebut sebagai
democracy education. Mata kuliah ini memiliki peranan yang strategis dalam
mempersiapkan warga negara yang cerdas, bertanggung jawab dan berkeadaban.
tujuan Pendidikan Kewarganegaraan adalah dirumuskan dalam visi, misi dan kompetensi
sebagai berikut: a). Visi, pendidikan kewarganegaraan di Perguruan Tinggi adalah
merupakan sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan
program studi, guna mengantarkan mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai
manusia seutuhnya. Hal ini berdasarkan pada suatu realitas yang dihadapi, bahwa
mahasiswa adalah sebagai generasi bangsa yang harus memiliki visi intelektual, religius,
berkeadaban, berkemanusiaan dan cinta tanah air dan bangsanya. b). Misi, Pendidikan
Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi adalah untuk membantu mahasiswa
memantabkan kepribadiannya, agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai
dasar Pancasila, rasa kebangsaan dan cinta tanah air dalam menguasai, menerapkan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dengan rasa tanggung jawab
dan bermoral.
Oleh karena itu kompetensi yang diharapkan mahasiswa adalah untuk menjadi ilmuwan
dan profesional yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, demokratis,
berkeadaban. Selain itu kompetensi yang diharapkan agar mahasiswa menjadi
warganegara yang memiliki daya saing, berdisiplin, berpartisipasi aktif dalam
membangun kehidupan yang damai berdasarkan sistem nilai Pancasila.
Matriks Mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (Pkn) Sebagai Mata Kuliah Wajib
Umum (MKWU) memiliki Ruang lingkup di Perguruan Tinggi meliputi substansi kajian
sebagai berikut;
1) Hakikat pendidikan kewarganegaran dalam pengembangan kemampuan utuh
sarjana atau profesional.
2) Esensi dan urgensi identitas nasional sebagai salah satu determinan dalam
pembangunan bangsa dan karakter yang bersumber dari nilai-nilai Pancasila
3) Urgensi integrasi nasional sebagai salah satu parameter persatuan dan kesatuan
bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia .
4) Nilai dan norma yang terkandung dalam konstitusi di Indonesia dan
konstitusionalitas ketentuan di bawah UUD dalam konteks kehidupan
bernegarakebangsaan Indonesia
5) Harmoni kewajiban dan hak negara dan warga negara dalam tatanan kehidupan
demokrasi Indonesia yang bersumbu pada kedaulatan rakyat dan musyawarah untuk
mufakat.
6) Hakikat, instrumentasi, dan praksis demokrasi Indonesia yang bersumber dari
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai
wahana penyelenggaran Negara yang sejahtera dan berkeadilan.
7) Dinamika historis konstitusional, sosiaL-politik, kultural, serta konteks
kontemporer penegakan hukum dalam konteks pembangunan negara hukumyang
berkeadilan.
8) Dinamika historis, dan urgensi Wawasan Nusantara sebagai konsepsi dan
pandangan kolektif kebangsaan Indonesia dalam konteks pergaulan dunia.
9) Urgensi dan tantangan ketahanan nasional Bagi Indonesia dalam membangun
komitmen kolektif yang kuat dari seluruh komponen bangsa untuk mengisi
kemerdekaan Indonesia (Mata Kuliah Wajib Umum /MKWU, PKn tahun 2016).
2) Komparasi kurikulum civic education, citizenship, civics, social sciences, social
studies, world studies, society, studies of society, life skills, moral education dan
citizenship education di negara maju (Group A: Those with centralised governments:
England, France, Hungary, Italy, Japan, Korea, the Netherlands, New Zealand, Singapore,
Spain and Sweden; Group B: Those with federal governments: Australia, Canada,
Germany, Switzerland and the USA)
perbandingan kurikuler tidak hanya menyoroti pendekatan yang berbeda untuk
pendidikan kewarganegaraan dan konsep kewarganegaraan, tetapi juga menunjukkan
tantangan bersama. Dengan demikian, diskusi tentang pendekatan potensial untuk
meningkatkan pendidikan kewarganegaraan diperkaya dengan mempertimbangkan
pengalaman negara-negara tetangga. Meskipun kurikulum yang ideal dapat muncul dari
perspektif holistik yang ditawarkan melalui perbandingan seperti itu, juga berpendapat,
ini tidak dapat dengan mudah ditransplantasikan ke negara lain tanpa memperhitungkan
konteks sejarah, politik, sosial, dan ekonomi yang khusus. Konteks setiap negara
berbeda, dan beberapa pendekatan dan program yang berhasil di satu tempat mungkin
tidak di tempat lain sehingga perbandingan kurikuler harus ditafsirkan dengan hati-hati.
berpendapat bahwa dalam perbandingan internasional, yang walaupun membantu
untuk pemahaman yang lebih baik tentang praktik dan kebijakan alternatif, sangat
penting bahwa negara-negara dibandingkan menjadi serupa. Akibatnya, menyimpulkan
bahwa bahkan ketika negara-negara berbagi karakteristik dalam kurikulum pendidikan
kewarganegaraan mereka, efek dari program-program ini dapat sangat berbeda. Hal ini
disampaikan sebgai berikut;
perbandingan kurikuler tidak hanya menyoroti pendekatan yang berbeda terhadap
pendidikan Sebagaimana ditegaskan, kewarganegaraan dan konsep kewarganegaraan,
tetapi juga menunjukkan tantangan yang sama. Dengan demikian, pembahasan
pendekatan potensial untuk meningkatkan pendidikan kewarganegaraan diperkaya
dengan mempertimbangkan pengalaman negara tetangga. Meskipun kurikulum yang
ideal dapat muncul dari perspektif holistik yang ditawarkan melalui perbandingan
semacam itu, juga berpendapat, hal ini tidak dapat begitu saja ditransplantasikan ke
negara lain tanpa mempertimbangkan konteks sejarah, politik, sosial, dan ekonomi,
tentang praktik dan kebijakan alternatif, adalah fundamental bahwa negara-negara yang
dibandingkan harus serupa. Akibatnya, menyimpulkan bahwa bahkan ketika negara-
negara memiliki karakteristik yang sama dalam kurikulum pendidikan kewarganegaraan
mereka, efek dari program-program ini bisa sangat berbeda.

Istilah 'pendidikan kewarganegaraan' digunakan secara sengaja di seluruh studi ini


karena istilah tersebut, yang menjelaskan area ini dalam kurikulum di Inggris. Meskipun
ada upaya untuk menarik perbedaan antara pendidikan kewarganegaraan dan
pendidikan kewarganegaraan di kemudian hari dalam penelitian ini (sejalan dengan
komentator lain, terutama, bidang pendidikan kewarganegaraan dicakup oleh berbagai
istilah di 16 negara dan terdiri dari banyak mata pelajaran. Istilah-istilah tersebut
meliputi kewarganegaraan, kewarganegaraan, ilmu sosial, ilmu sosial, ilmu dunia,
masyarakat, ilmu kemasyarakatan, kecakapan hidup dan pendidikan moral. Area ini juga
memiliki tautan ke mata pelajaran dan pilihan kurikulum, termasuk sejarah, geografi,
ekonomi, hukum, politik, studi lingkungan, pendidikan nilai, studi agama, bahasa dan
sains. Rentang istilah dan hubungan subjek menggarisbawahi luasnya dan kompleksitas
masalah yang ditangani dalam area ini. Luas dan kompleksitas ini merupakan kekuatan
sekaligus kelemahan .Pendidikan kewarganegaraan dicakup oleh berbagai istilah di 16
negara dan terdiri dari banyak mata pelajaran. Istilah-istilah ini termasuk
kewarganegaraan, kewarganegaraan, ilmu sosial, studi sosial, studi dunia, masyarakat,
studi masyarakat, keterampilan hidup dan pendidikan moral. Area ini juga memiliki
tautan ke mata pelajaran dan pilihan kurikulum, termasuk sejarah, geografi, ekonomi,
hukum, politik, studi lingkungan, pendidikan nilai, studi agama, bahasa dan sains.
Kisaran istilah dan hubungan subjek menggarisbawahi luasnya dan kompleksitas
masalah yang dibahas dalam area ini. Luasnya dan kompleksitas ini adalah kekuatan dan
kelemahan.

1. Konten Kurikulum Lokal/Daerah, Kurikulum Nasional, Dan Kurikulum


Internasional di Perguruan Tinggi
a. Kriteria Konten kurikulum Lokal/Daerah di Perguruan Tinggi
1) Masyarakat Multikultural
Optimisme tentang multikulturalisme di Indonesia tidak boleh berlebihan. Beberapa
pemimpin Indonesia memiliki keraguan tentang multikulturalisme karena
memunculkan ketakutan lama federalisme, relativisme, dan perpecahan. Lebih jauh lagi,
para pendukung multikulturalisme terbatas terutama pada masyarakat sipil yang baru
dikembangkan, dan wacana multikulturalisme diperkenalkan sebagai bagian dan paket
dari proses demokratisasi dan desentralisasi pasca-presidn ke2 Wacana publik tentang
multikulturalisme masih terbatas pada surat kabar berbahasa Inggris dan Indonesia .
Seperti yang diamati Lyn Parker, gagasan "multikulturalisme" masih terdengar asing bagi
Indonesia ; istilah lokal seperti "kemajemukan" (pluralitas), "keragaman"
(heterogenitas) dan "kebhinnekaan" (keragaman) lebih melakukan pengamatan serupa
berdasarkan penelitian etnografinya tentang pendidikan multikultural di pesantren di
Indonesia . Dia mencatat bahwa "multikulturalisme" adalah kata baru bagi banyak
responden, terutama siswa.
Konsep multikulturalisme berasal dari Barat [timbul dari] proses migrasi. Sebaliknya,
Indonesia sudah multikultural sejak awal. Masyarakat kita sudah memiliki konsep
pluralisme: itu adalah bagian dari kearifan lokal kita, atau Bhinneka Tunggal Ika,
beragam tapi satu. Istilah multikulturalisme tidak diketahui banyak orang; dan itu hanya
dihargai di kalangan akademis, Kami bukan pendatang, kami pribumi tetapi kami
beragam. Apakah teori multikulturalisme berlaku bagi kita? Terlalu banyak istilah [baru]
telah muncul di Indonesia , yang terkadang menjadi polemik ketika interpretasi yang
berbeda muncul. Misalnya, ada begitu banyak pemahaman berbeda tentang pluralisme
agama. Kita hanya harus mengambil inti dari gagasan-gagasan ini: kebhinekaan
[keragaman], variasi [heterogenitas] dan Pancasila,

2 Pendidikan Karakter Berbasis Pancasila


Pembangunan karakter bangsa mengerucut pada tiga tataran besar, yaitu (1) untuk
menumbuhkan dan memperkuat jati diri bangsa, (2) untuk menjaga keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan (3) untuk membentuk manusia dan
masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia dan bangsa yang bermartabat, Secara Nilai-
nilai pembentukan karakter diidentifikasi oleh Pusat Kurikulum dan dari Buku-buku,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah delapan belas nilai yang berasal dari
agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu (1) agama, (2) adil, (3)
toleransi, (4) disiplin, (5) ) kerja keras, (6) kreativitas, (7) independen, (8) demokratis, (9)
rasa ingin tahu, (10) semangat nasional, (11) patriotisme, (12) menghargai prestasi, (13)
ramah / komunikatif, ( 14) cinta damai, (15) suka membaca, (16) perawatan lingkungan,
(17) kepedulian sosial, dan (18) tanggung jawab. Republik Indonesia sebagai salah satu
anggota Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, tidak hanya memiliki wewenang untuk
mengatur kehidupan bangsa tetapi juga tunduk pada peraturan yang menciptakan
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Negara Indonesia memiliki karakter, dan nilai-nilai yang
dijunjung tinggi, yaitu Pancasila. Lima pilar ideologi negara yang harus diterapkan di
masyarakat. Bangunan hukum nasional didasarkan pada Pancasila sebagai norma dasar,
basis norma, yang mengandung aspirasi untuk tumbuh, hidup dan berkembang di
Indonesia . Hukum aspirasional berdasarkan Pancasila yang dapat mengakomodir
semua jenis kebutuhan masyarakat dapat dipastikan memainkan peran sebagai salah
satu pilar Republik Indonesia . Sayangnya, Pancasila belum terealisasi secara optimal di
masyarakat.

3 Kearifan Lokal/local wisdom


Budaya asli asli masih dilestarikan melalui kombinasi animisme dan dinamisme dengan
Hindu, Islam, dan Budha. Hibridisasi nilai-nilai agama Hindu, Islam, dan Budhisme dan
nilai-nilai pribumi telah dipertahankan di Indonesia dengan menyerahkan kearifan lokal
dan nilai-nilai melalui cerita-cerita lokal atau cerita-cerita rakyat dari generasi ke
generasi, terutama melalui pendidikan formal. Demikian pula, set nilai-nilai agama juga
diwariskan dari generasi ke generasi, dan melalui pendidikan formal.

4 Warganegara cinta Seni Budaya


Menggunakan kerangka Pendidikan Kewarganegaraan Aktif Yang Responsif secara
budaya, artinya memberlakukan praktik kritis kewarganegaraan dan secara budaya
pengajaran responsif. Hal ini memiliki potensi untuk menginformasikan cara terbaik
untuk mendukung pemahaman dan keterlibatan siswa pendatang dalam
kewarganegaraan aktif di komunitas lokal mereka, Untuk muatan lokal dan
pengembangan diri yang awalnya merupakan pelajaran terpisah, diusulkan untuk
digabungkan pada kelompok B, yakni muatan lokal dan seni budaya & keterampilan
digabungkan menjadi mata pelajaran seni budaya & prakarya dan pendidikan jaPTni,
olahraga & kesehatan, serta pengembangan diri diintegrasikan pada semua mata
pelajaran

5 Responsif Pendidikan Tradisional


Masalah utama dalam praktek pendidikan tradisional adalah ketidakmampuan orang
untuk menulis dan menyimpan catatan, pengetahuan tentang banyak profesi tetap tidak
terdokumentasi. Maka Pendidikan Tradisional wajib tercatat melalui sebuah catatan
khusus yang harus dipelajari dan dikaji.
Jika ditinjau pada dimensi fisik dari kebuayaan lokal meliputi aspek: upacara adat, cagar
budaya, pariwisata alam, transportasi tradisional, permainan tradisional, prasarana
budaya, pakaian adat, warisan budaya, museum, lembaga budaya, kesenian, desa
budaya, kesenian dan kerajinan, dan cerita rakyat.

6. Etnis, Bahasa, dan Suku


Menurut Frederich Barth (1988) istilah etnik menunjuk pada suatu kelompok tertentu
yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori
tersebut terikat pada sistem nilai budayanya. Menurut Koentjaraningrat (1989), suku
bangsa merupakan kelompok sosial atau kesatuan hidup manusia yang mempunyai
sistem interaksi, sistem norma yang mengatur interaksi tersebut, adanya kontinuitas
dan rasa identitas yang mempersatuan semua anggotanya serta memiliki
sistemkepemimpinan sendiri

Anda mungkin juga menyukai