Anda di halaman 1dari 42

SYARAH SHALAWAT NARIYAH BERDASARKAN

HADITS-HADITS NABI shallallahu ‘alaihi wa


sallam
Bagian Pertama

Dalam tulisan sebelumnya telah kami uraikan biografi penyusun shalawat yang populer dengan nama Nariyah,
Taziyah dan Tafrijiyah. Tulisan ini akan mengupas makna enam kalimat yang tidak dipahami oleh kaum Wahabi.
Kupasan ini sebagai syarah terhadap enam kalimat tersebut, berdasarkan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Redaksi shalawat tersebut secara lengkap sebagai berikut:

ُ‫ﺻﻼَةً َﻛﺎ ِﻣﻠَﺔً َو َﺳﻠﱢ ْﻢ َﺳﻼَ ًﻣﺎ ﺗَﺎ ًّﻣﺎ َﻋﻠَﻰ َﺳﯿﱢ ِﺪﻧَﺎ ُﻣ َﺤ ﱠﻤ ٍﺪ اﻟﱠ ِﺬيْ ﺗَ ْﻨ َﺤﻞﱡ ﺑِ ِﮫ ْاﻟ ُﻌﻘَ ُﺪ َوﺗَ ْﻨﻔَ ِﺮ ُج ﺑِ ِﮫ ْاﻟ ُﻜ َﺮب‬ َ ‫ﺻﻞﱢ‬ َ ‫اَﻟﻠّﮭُ ﱠﻢ‬
‫ﻀﻰ ﺑِ ِﮫ ْاﻟ َﺤ َﻮاﺋِ ُﺞ َوﺗُﻨَﺎ ُل ﺑِ ِﮫ اﻟ ﱠﺮ َﻏﺎﺋِﺐُ َو ُﺣﺴ ُْﻦ ْاﻟ َﺨ َﻮاﺗِ ِﻢ َوﯾُ ْﺴﺘَ ْﺴﻘَﻰ ْاﻟ َﻐ َﻤﺎ ُم ﺑِ َﻮﺟْ ِﮭ ِﮫ ْاﻟ َﻜ ِﺮﯾ ِْﻢ َو َﻋﻠَﻰ آﻟِ ِﮫ‬ َ ‫َوﺗُ ْﻘ‬
‫ﻚ‬ َ َ‫ﺲ ﺑِ َﻌ َﺪ ِد ُﻛ ﱢﻞ َﻣ ْﻌﻠُ ْﻮ ٍم ﻟ‬
ٍ َ‫ﺻﺤْ ﺒِ ِﮫ ﻓِﻰ ُﻛﻞﱢ ﻟَ ْﻤ َﺤ ٍﺔ َوﻧَﻔ‬َ ‫َو‬
Perhatian kaum Wahabi yang menuduh shalawat di atas mengandung kesyirikan umumnya tertuju pada enam kalimat
berurutan di bawah ini:

‫ﻀﻰ ﺑِ ِﮫ ْاﻟ َﺤ َﻮاﺋِ ُﺞ َوﺗُﻨَﺎ ُل ﺑِ ِﮫ اﻟ ﱠﺮ َﻏﺎﺋِﺐُ وﺣﺴﻦ اﻟﺨﻮاﺗﻢ وﯾﺴﺘﺴﻘﻰ‬


َ ‫ﺗَ ْﻨ َﺤﻞﱡ ﺑِ ِﮫ ْاﻟ ُﻌﻘَ ُﺪ َوﺗَ ْﻨﻔَ ِﺮ ُج ﺑِ ِﮫ ْاﻟ ُﻜ َﺮبُ َوﺗُ ْﻘ‬
‫اﻟﻐﻤﺎم ﺑﻮﺟﮭﮫ اﻟﻜﺮﯾﻢ‬
Berikut ini keterangan keenam kalimat tersebut beserta dalil-dalilnya.

‫ﺗَ ْﻨ َﺤﻞﱡ ﺑِ ِﮫ ْاﻟ ُﻌﻘَ ُﺪ‬


Artinya: "Segala ikatan bisa lepas sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam."
Yang dimaksud dengan ikatan dalam redaksi tersebut, adalah kekakuan lidah yang menyebabkan pembicaraan
seseorang sulit dimengerti. Hal ini seperti dalam doa Nabi Musa ‘alaihissalam:

‫َواﺣْ ﻠُﻞْ ُﻋ ْﻘ َﺪةً ِﻣ ْﻦ ﻟِ َﺴﺎﻧِﻲ ﯾَ ْﻔﻘَﮭُﻮا ﻗَ ْﻮﻟِﻲ‬


“Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku”. (QS Thaha : 27-28).
Dalam ayat di atas, Nabi Musa ‘alaihissalam berdoa kepada Allah agar melepaskan ikatan atau kekakuan dari lidah
beliau, agar perkataannya dapat dimengerti oleh lawan bicaranya. Pertanyaannya adalah, apakah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat melepaskan kekakuan lidah seseorang sehingga menjadi bagian dari redaksi
shalawat di atas? Ada beberapa riwayat hadits yang dapat dijadikan pijakan dari redaksi tersebut.
Riwayat pertama:

‫ » َﻣ ْﻦ‬:‫ أَﺗَﻰ أَﺑِ ْﻲ َﻋ ْﻘ َﺮﺑَﺔُ ْاﻟ ُﺠﮭَﻨِ ﱡﻲ إِﻟ َﻰ اﻟﻨﱠﺒِ ﱢﻲ ﺻﻠّﻰ ﷲ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻓَﻘَﺎ َل‬:‫َﻋ ْﻦ ﺑَ ِﺸﯿ ِْﺮ ﺑ ِْﻦ َﻋ ْﻘ َﺮﺑَﺔَ ْاﻟ ُﺠﮭَﻨِ ّﻲ ﯾَﻘُ ْﻮ ُل‬
‫ ﻓَ َﻤ َﺴ َﺢ َﻋﻠ َﻰ‬،‫ت َﻋﻠ َﻰ ﯾَ ِﻤ ْﯿﻨِ ِﮫ‬ ُ ‫ ﻓَ َﺪﻧَ ْﻮ‬، «‫ »اُ ْد ُن‬:‫ ﻗَﺎ َل‬،ٌ‫ اِ ْﺑﻨِ ْﻲ ﺑَ ِﺤ ْﯿﺮ‬:‫ﻚ ﯾَﺎ َﻋ ْﻘ َﺮﺑَﺔُ« ؟ ﻗَﺎ َل‬
ُ ‫ت َﺣﺘﱠﻰ ﻗَ َﻌ ْﺪ‬ َ ‫ھَ َﺬا َﻣ َﻌ‬
، «‫ﻚ ﺑَ ِﺸ ْﯿ ٌﺮ‬َ ‫ َوﻟَ ِﻜ ْﻦ اِ ْﺳ ُﻤ‬،َ‫ »ﻻ‬:‫ ﻗَﺎ َل‬،‫ ﺑَ ِﺤ ْﯿ ٌﺮ ﯾَﺎ َرﺳ ُْﻮ َل ﷲ‬:‫ﺖ‬ ُ ‫ﻚ« ؟ ﻗُ ْﻠ‬ َ ‫ » َﻣﺎ ا ْﺳ ُﻤ‬:‫ َوﻗَﺎ َل‬،‫َر ْأ ِﺳ ْﻲ ﺑِﯿَ ِﺪ ِه‬
‫ َوا ْﺑﯿَﺾﱠ ُﻛﻞﱡ‬،‫ﺖ ْاﻟ ُﻌ ْﻘ َﺪةُ ِﻣ ْﻦ ﻟِ َﺴﺎﻧِ ْﻲ‬ ‫ﺚ اﻟﻨﱠﺒِ ﱡﻲ ﺻﻠّﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻓِ ْﻲ ﻓِ ﱠ‬
ْ ‫ ﻓَﺎ ْﻧ َﺤﻠﱠ‬،‫ﻲ‬ َ َ‫ﺖ ﻓِ ْﻲ ﻟِ َﺴﺎﻧِ ْﻲ ُﻋ ْﻘ َﺪةٌ ﻓَﻨَﻔ‬
ْ َ‫َو َﻛﺎﻧ‬
‫ﺎن أَ ْﺳ َﻮ َد‬ َ ‫ َﺷ ْﻲ ٍء ِﻣ ْﻦ َر ْأ ِﺳ ْﻲ َﻣﺎ َﺧﻼَ َﻣﺎ َو‬.
َ ‫ﺿ َﻊ ﯾَ َﺪهُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ ﻓَ َﻜ‬
“Sahabat Basyir bin Aqrabah al-Juhani berkata: “Ayahku Aqrabah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Lalu beliau bertanya: “Siapa anak ini yang bersamamu wahai Aqrabah?” Ayahku menjawab: “Anakku, Bahir.”
Lalu beliau bersabda: “Mendekatlah!” Akupun mendekat, sehingga aku duduk di sebelah kanan beliau. Lalu beliau
mengusap kepalaku dengan tangannya dan bertanya: “Siapa namamu?” Aku menjawab: “Bahir, wahai Rasulullah.”
Beliau bersabda: “Tidak. Tapi namamu Basyir.” Pada waktu itu, di lidahku ada kekakuan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam meludahi mulutku. Maka kekakuan itu lepas dari lidahku. Kemudian dalam perjalanan waktu, semua
rambut kepalaku memutih, kecuali tempat rambut yang Nabi pernah meletakkan tangannya di situ, masih berwarna
hitam.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, juz 1 hlm 434, dan al-Hafizh al-Shalihi al-Syami,
Subul al-Huda wa al-Rasyad juz 10 hlm 19).
Dalam hadits di atas, kekakuan pada lidah sahabat Basyir terlepas sebab ludah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Berarti redaksi shalawat di atas sesuai dengan hadits tersebut.

Riwayat Kedua:

‫ْﺖ ﻓِﯿﮭَﺎ َرﺳُﻮ َل‬ ُ ‫ ﻓَ َﺮأَﯾ‬،َ‫ﺖ َدارًا ﺑِ َﻤ ﱠﻜﺔ‬ُ ‫ ﻓَ َﺪ َﺧ ْﻠ‬،‫اع‬


ِ ‫ﺖ َﺣ ﱠﺠﺔَ ْاﻟ َﻮ َد‬ ُ ْ‫ » َﺣ َﺠﺠ‬:‫ﺎل‬ َ َ‫ ﻗ‬،‫ﺐ ْاﻟﯿَ َﻤﺎﻧِ ﱢﻲ‬
ٍ ‫ض ﺑ ِْﻦ ُﻣ َﻌ ْﯿﻘِﯿ‬
ِ ‫ْﺮ‬ ِ ‫ﻋﻦ ُﻣﻌ‬
‫ َﺟﺎ َءهُ َر ُﺟ ٌﻞ ِﻣ ْﻦ أَ ْھ ِﻞ ْاﻟﯿَ َﻤﺎ َﻣ ِﺔ‬،‫ْﺖ ِﻣ ْﻨﮫُ َﻋ َﺠﺒًﺎ‬ ُ ‫ َو َﺳ ِﻤﻌ‬،‫ َو َوﺟْ ﮭُﮫُ ِﻣ ْﺜ ُﻞ َدا َر ِة ْاﻟﻘَ َﻤ ِﺮ‬،‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬ َ ِ‫ﷲ‬
" :‫ ﻗَﺎ َل‬.ِ‫ﺖ َرﺳُﻮ ُل ﷲ‬ َ ‫ أَ ْﻧ‬:‫ " َﻣ ْﻦ أَﻧَﺎ؟ " ﻗَﺎ َل‬:‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬ َ ِ‫ ﻓَﻘَﺎ َل ﻟَﮫُ َرﺳُﻮ ُل ﷲ‬،‫ﻼم ﯾَ ْﻮ َم ُوﻟِ َﺪ‬ ٍ ‫ﺑِ ُﻐ‬
ُ ‫ ﻓَ ُﻜﻨﱠﺎ ﻧُ َﺴ ﱢﻤﯿﮫُ ُﻣﺒَﺎ َر‬:‫ ﻗَﺎ َل أَﺑِﻲ‬. ‫ﻚ َﺣﺘﱠﻰ َﺷﺐﱠ‬
‫ك‬ َ ِ‫ ﺛُ ﱠﻢ إِ ﱠن ْاﻟ ُﻐﻼ َم ﻟَ ْﻢ ﯾَﺘَ َﻜﻠﱠ ْﻢ ﺑَ ْﻌ َﺪ َذﻟ‬:‫ﻚ« ﻗَﺎ َل‬ َ ‫ك ﷲُ ﻓِﯿ‬ َ ‫ ﺑَﺎ َر‬،‫ﺖ‬ َ ‫ﺻ َﺪ ْﻗ‬
َ
‫ْاﻟﯿَ َﻤﺎ َﻣ ِﺔ‬
“Sahabat Mu’ridh bin Mu’aiqib al-Yamani berkata: “Aku menunaikan haji wada’, lalu aku memasuki rumah di
Makkah. Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di situ, wajahnya seperti bulatannya rembulan. Aku
mendengar sesuatu yang aneh. Seorang laki-laki dari penduduk Yamamah datang kepada beliau membawa seorang
bayi laki-laki yang lahir pada hari itu. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada bayi itu: “Siapa
aku?” Bayi itu menjawab: “Engkau Raulullah.” Beliau bersabda: “Kamu benar, semoga Allah memberkatimu.”
Mu’ridh berkata: “Kemudian bayi itu tidak berbicara lagi

setelah kejadian itu sampai menginjak remaja. Kami menyebut anak itu dengan Mubarak al-Yamamah (orang yang
diberkati dari Yamamah).” (Hadits riwayat al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah, juz 6 hlm 59).
Dalam hadits di atas ada keterangan bahwa seorang bayi yang baru lahir dapat berbicara dan menjawab pertanyaan
baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentu saja kasus dalam hadits ini lebih besar daripada kasus dalam
hadits sebelumnya. Hadits tersebut sanadnya dha’if, tetapi al-Hafizh Ibnu Katsir menyampaikan pembelaan sebagai
berikut:
ُ‫ َوأَ ْﻧ َﻜﺮُوهُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َوا ْﺳﺘَ ْﻐ َﺮﺑُﻮا َﺷ ْﯿ َﺨﮫ‬،‫ﺲ ْاﻟ ُﻜ َﺪ ْﯾ ِﻤ ﱢﻲ ﺑِ َﺴﺒَﺒِ ِﮫ‬ َ ُ‫ﯾﺚ ِﻣ ﱠﻤﺎ ﺗَ َﻜﻠﱠ َﻢ اﻟﻨﱠﺎسُ ﻓِﻲ ُﻣ َﺤ ﱠﻤ ِﺪ ﺑ ِْﻦ ﯾُﻮﻧ‬ ُ ‫ ھَ َﺬا ْاﻟ َﺤ ِﺪ‬:‫ﺖ‬ ُ ‫ﻗُ ْﻠ‬
ُ‫ أَﻧﱠﮫ‬،‫ْﺞ ْاﻟ َﻌﺎﺑِ ِﺪ‬
ٍ ‫ﺼ ِﺔ ُﺟ َﺮﯾ‬ ‫ﯿﺢ " ﻓِﻲ ﻗِ ﱠ‬ ِ ‫ﱠﺤ‬ ِ ‫ﺖ ﻓِﻲ " اﻟﺼ‬ َ َ‫ ﻓَﻘَ ْﺪ ﺛَﺒ‬،‫ْﺲ ھَ َﺬا ِﻣ ﱠﻤﺎ ﯾُ ْﻨ َﻜ ُﺮ َﻋ ْﻘ ًﻼ ﺑَﻞْ َو َﻻ َﺷﺮْ ﻋًﺎ‬ َ ‫ َوﻟَﯿ‬،‫ھَ َﺬا‬
َ‫ ﻓَ َﻌﻠِ َﻢ ﺑَﻨُﻮ إِ ْﺳ َﺮاﺋِﯿ َﻞ ﺑَ َﺮا َءة‬.‫ اﺑ ُْﻦ اﻟﺮﱠا ِﻋﻲ‬:‫ﺖ؟ ﻗَﺎ َل‬ َ ‫ ﯾَﺎ ﺑَﺎﺑُﻮسُ اﺑ ُْﻦ َﻣ ْﻦ أَ ْﻧ‬:ُ‫ﻚ ْاﻟﺒَ ِﻐ ﱢﻰ ﻓَﻘَﺎ َل ﻟَﮫ‬ َ ‫ﻖ اﺑ َْﻦ ﺗِ ْﻠ‬َ َ‫ا ْﺳﺘَ ْﻨﻄ‬
‫ﺐ إِﻟَ ْﯿ ِﮫ‬
َ ‫ﺎن ﻧُ ِﺴ‬
َ ‫ْﺞ ِﻣ ﱠﻤﺎ َﻛ‬ ٍ ‫ُﺮﯾ‬ ِ ‫ضﺟ‬ ِ ْ‫ ِﻋﺮ‬.
“Aku berkata (Ibnu Katsir): “Hadits ini termasuk hadits yang menjadi perbincangan para ulama sebab perawi
Muhammad bin Yunus al-Kudaimi. Mereka menolak hadits ini kepadanya dan menganggap aneh gurunya dalam
sanad ini. Tetapi substansi hadits ini bukanlah sesuatu yang dianggap tertolak dalam tinjauan akal, bahkan tidak pula
dalam tinjauan syara’. Telah diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dalam kisah Juraij al-‘Abid, yang mengajak bicara
anak bayi dari wanita pelacur itu. Beliau berkata kepada bayi itu: “Hai Babus, kamu anak siapa?” Bayi itu menjawab:
“Aku anak seorang penggembala.” Akhirnya Bani Israil tahu terbebasnya Juraij dari apa yang dituduhkan kepada
beliau.” (Al-Hafizh Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah juz 9 hlm 60).

Riwayat ketiga:

،‫ﻂ‬ َ ِ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ أُﺗِ َﻲ ﺑ‬


‫ﺼﺒِ ﱟﻲ ﻗَ ْﺪ َﺷﺐﱠ ﻟَ ْﻢ ﯾَﺘَ َﻜﻠﱠ ْﻢ ﻗَ ﱡ‬ ‫ أَ ﱠن اﻟﻨﱠﺒِ ﱠ‬:‫ﺎﺧ ِﮫ‬
َ ‫ﻲ‬ ِ َ‫ْﺾ أَ ْﺷﯿ‬
ِ ‫ َﻋ ْﻦ ﺑَﻌ‬،َ‫َﻋ ْﻦ َﺷ ِﻤ ِﺮ ﺑ ِْﻦ َﻋ ِﻄﯿﱠﺔ‬
ِ‫ﺖ َرﺳُﻮ ُل ﷲ‬ َ ‫ أَ ْﻧ‬:‫ َﻣ ْﻦ أَﻧَﺎ؟ ﻗَﺎ َل‬:‫ﻗَﺎ َل‬.
“Dari Syamir bin Athiyah, dari sebagian gurunya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan seorang anak
yang telah menginjak remaja tetapi tidak bisa berbicara sama sekali. Beliau bertanya kepada anak itu: “Siapa aku?” Ia
menjawab: “Engkau Rasulullah.” (Hadits riwayat al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah, juz 6 hl 61. Riwayat ini
dha’if karena mursal).
Dalam riwayat lain disebutkan:

‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ‬ ِ ‫ت ا ْﻣ َﺮأَةٌ ﺑِﺎﺑ ٍْﻦ ﻟَﮭَﺎ إِﻟَﻰ َرﺳ‬


َ ِ‫ُﻮل ﷲ‬ ِ ‫ َﺟﺎ َء‬:‫ﺎﺧ ِﮫ ﻗَﺎ َل‬ ِ َ‫ْﺾ أَ ْﺷﯿ‬ِ ‫ َﻋ ْﻦ ﺑَﻌ‬،َ‫َﻋ ْﻦ َﺷ ِﻤ ِﺮ ﺑ ِْﻦ َﻋ ِﻄﯿﱠﺔ‬
:‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬
َ ِ‫ ﻓَﻘَﺎ َل َرﺳُﻮ ُل ﷲ‬،‫ ﯾَﺎ َرﺳُﻮ َل ﷲِ إِ ﱠن ا ْﺑﻨِﻲ ھَ َﺬا ﻟَ ْﻢ ﯾَﺘَ َﻜﻠﱠ ْﻢ ُﻣ ْﻨ ُﺬ ُوﻟِ َﺪ‬:‫ﺖ‬ ْ َ‫ ﻓَﻘَﺎﻟ‬،‫ك‬َ ‫ﻗَ ْﺪ ﺗَ َﺤ ﱠﺮ‬
َ ‫ أَ ْﻧ‬:‫ » َﻣ ْﻦ أَﻧَﺎ؟« ﻓَﻘَﺎ َل‬:‫ ﻓَﻘَﺎ َل‬،ُ‫ ﻓَﺄ َ ْدﻧَ ْﺘﮫُ ِﻣ ْﻨﮫ‬، «‫»أَ ْدﻧِﯿ ِﮫ‬.
‫ﺖ َرﺳُﻮ ُل ﷲ‬

“Dari Syamir bin Athiyyah, dari sebagian gurunya yang berkata: “Seorang wanita datang membawa anaknya kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah mampu bergerak-gerak. Lalu ia berkata: “Wahai Rasulullah,
anakku ini tidak bisa berbicara sejak lahir.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Dekatkan
anakmu kepadaku.” Lalu wanita itu mendekatkan anak itu kepada beliau. Lalu beliau bertanya kepada anak itu:
“Siapa aku?” Anak itu menjawab: “Engkau Rasulullah.” (Hadits riwayat al-Baihaqi, Dalail al-Nubuwwah juz 6 hlm
61).
Al-Hafizh Ibnu Katsir mengomentari hadits di atas, bahwa sanadnya mursal. Sedangkan Syamir bin Athiyah adalah
perawi yang dapat dipercaya.
Riwayat keempat:

َ ‫ﺎﺻ ِﻢ ﺑ ِْﻦ َﻋ ْﻤ ِﺮو ﺑ ِْﻦ ﻗَﺘَﺎ َدةَ ُﻣﺮْ َﺳﻼً أَ ﱠن ِﻣ ْﺨ َﻮ‬


َ ‫س ﺑْﻦ َﻣ ْﻌ ِﺪيْ َﻛ ِﺮ‬
،‫ب‬ ِ ‫اﻟﺰ ْھ ِﺮيﱢ َو َﻋ‬‫َر َوى اﺑ ُْﻦ َﺳ ْﻌ ٍﺪ َﻋ ْﻦ ِﻋ ْﻜ ِﺮ َﻣﺔَ َو ﱡ‬
‫ﺖ‬ْ َ‫ ﻓَ َﺬھَﺒ‬،ُ‫ ﻓَ َﺪ َﻋﺎ ﻟَﮫ‬،َ‫اﻟﺮﺗَﺔ‬
ِ ‫ﺐ َﻋﻨﱢ ْﻲ‬ َ ‫ع ﷲَ أَ ْن ﯾ ُْﺬ ِھ‬ُ ‫ اُ ْد‬،‫ ﯾَﺎ َرﺳ ُْﻮ َل ﷲ‬:‫ﻗَﺎ َل‬.
“Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Ikrimah, al-Zuhri dan Ashim bin Amr bin Qatadah secara mursal, bahwa Mikhwas bin
Ma’dikarib berkata: “Hai Rasulullah, doakan kepada Allah agar menghilangkan kegagapan dalam berbicara dariku.”
Lalu beliau mendoakannya, maka kegagapan itupun hilang.” (Al-Shalihi, Subul al-Huda wa al-Rasyad fi Sirah Khair
al-‘Ibad juz 10 hlm 20).
Beberapa riwayat di atas mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi
sebab atau perantara hilangnya kekakuan dan kegagapan seseorang dalam perkataan, sehingga beliau berhak untuk
dipuji dengan mukjizat yang agung tersebut.
SYARAH SHALAWAT NARIYAH BERDASARKAN HADITS-HADITS NABI shallallahu
‘alaihi wa sallam
Bagian 2

Perlu dijelaskan di sini, bahwa kalimat-kalimat yang terdapat dalam shalawat-shalawat susunan para ulama,
merupakan ungkapan dari kebesaran dan keagungan baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat
ditelusuri dalam al-Qur’an dan hadits-hadits. Akan tetapi kalimat-kalimat tersebut menjadi sasaran pensyirikan dan
pengkafiran kaum Wahabi karena kebodohan dan kesempitan akal mereka. Berikut lanjutan dari syarah shalawat
Nariyah.

ُ‫َوﺗَ ْﻨﻔَ ِﺮ ُج ﺑِ ِﮫ ْاﻟ ُﻜ َﺮب‬


Artinya: "Segala kesusahan bisa tersingkap sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam."
Tidak diragukan lagi, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menjadi sebab tersingkapnya atau
terlepasnya kesusahan, baik sebelum baginda dilahirkan, setelah dilahirkan maupun kelak pada hari kiamat, baik
kesusahan bagi umat manusia maupun bagi makhluk binatang. Ada beberapa dalil terkait hal ini.

Dalil Pertama

Jauh sebelum dilahirkan ke dunia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjadi sebab terlepasnya Nabi
Adam ‘alaihissalam dari kesusahan dalam pertaubatannya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut ini:

‫ف آ َد ُم‬ َ ‫ ﻟَ ﱠﻤﺎ ا ْﻗﺘَ َﺮ‬:‫ ﻗَﺎ َل َرﺳ ُْﻮ ُل ﷲِ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ‬:‫ب رﺿﻲ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ ﻗَﺎ َل‬ ِ ‫َﻋ ْﻦ ُﻋ َﻤ َﺮ ﺑ ِْﻦ ْاﻟ َﺨﻄﺎ ﱠ‬
،ُ‫ﺖ ُﻣ َﺤ ﱠﻤﺪاً َوﻟَ ْﻢ أَ ْﺧﻠُ ْﻘﮫ‬ َ ‫ْﻒ َﻋ َﺮ ْﻓ‬ َ ‫ ﯾَﺎ آ َد ُم َو َﻛﯿ‬:ُ‫ت ﻟِ ْﻲ ﻓَﻘَﺎ َل ﷲ‬ َ ْ‫ﻖ ُﻣ َﺤ ﱠﻤ ٍﺪ ﻟَ َﻤﺎ َﻏﻔَﺮ‬ ‫ﻚ ﺑِ َﺤ ﱢ‬ َ ُ‫ ﯾَﺎ َربﱢ أَﺳْﺄَﻟ‬:‫ﺎل‬ َ َ‫ْاﻟ َﺨ ِﻄ ْﯿﺌَﺔَ ﻗ‬
ِ ْ‫ْﺖ َﻋﻠَﻰ ﻗَ َﻮاﺋِ ِﻢ ْاﻟ َﻌﺮ‬
‫ش‬ ُ ‫ْﺖ َر ْأ ِﺳ ْﻲ ﻓَ َﺮأَﯾ‬ُ ‫ﻚ َرﻓَﻌ‬َ ‫ﻲ ِﻣ ْﻦ ر ُْو ِﺣ‬ ‫ﺖ ﻓِ ﱠ‬ َ ‫ك َوﻧَﻔَ ْﺨ‬ َ ‫ ﯾَﺎ َربﱢ ِﻷَﻧﱠ‬:‫ﻗَﺎ َل‬
َ ‫ﻚ ﻟَ ﱠﻤﺎ َﺧﻠَ ْﻘﺘَﻨِ ْﻲ ﺑِﯿَ ِﺪ‬
ُ‫ ﻓَﻘَﺎ َل ﷲ‬،‫ﻚ‬ ِ ‫ﻚ إِﻻﱠ أَ َﺣﺐﱠ ْاﻟ َﺨ ْﻠ‬
َ ‫ﻖ إِﻟَ ْﯿ‬ َ ‫ﻒ إِﻟَﻰ إ ْﺳ ِﻤ‬ْ ‫ﻀ‬ِ ُ‫ﻚ ﻟَ ْﻢ ﺗ‬ َ ‫ﺖ أَﻧﱠ‬ ُ ‫ ﻓَ َﻌﻠِ ْﻤ‬،ِ‫ ُﻣ َﺤ ﱠﻤ ٌﺪ َرﺳ ُْﻮ ُل ﷲ‬،ُ‫َﻣ ْﻜﺘُ ْﻮﺑﺎ ً ﻻَ إِﻟﮫَ إِﻻﱠ ﷲ‬
َ ُ‫ﻚ َوﻟَ ْﻮﻻَ ُﻣ َﺤ ﱠﻤ ٌﺪ َﻣﺎ َﺧﻠَ ْﻘﺘ‬
‫ﻚ‬ َ َ‫ت ﻟ‬ُ ْ‫ﻲ اُ ْد ُﻋﻨِ ْﻲ ﺑِ َﺤﻘﱢ ِﮫ ﻓَﻘَ ْﺪ َﻏﻔَﺮ‬
‫ﻖ إِﻟَ ﱠ‬ِ ‫ﺖ ﯾَﺎ آ َد ُم إِﻧﱠﮫُ َﻷَ َﺣﺐﱡ ْاﻟ َﺨ ْﻠ‬
َ ‫ﺻ َﺪ ْﻗ‬َ .
“Dari Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu, berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Setelah Adam melakukan kesalahan, beliau berdoa: “Ya Tuhan, aku memohon kepada-Mu dengan derajat
Muhammad, ampunilah aku”. Lalu Allah berfirman: “Wahai Adam, bagaimana engkau mengetahui Muhammad
sedang aku belum menciptakannya?” Beliau menjawab: “Ya Tuhan, karena ketika Engkau menciptakan aku dengan
kekuasaan-Mu dan Engkau meniupkan ruh dalam tubuhku, maka aku mengangkat kepalaku dan aku melihat di atas
tiang-tiang Arasy tertulis “Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah”, maka aku meyakini bahwa Engkau
tidak menyisipkan kepada Nama-Mu kecuali makhluk yang paling Engkau cintai”. Lalu Allah berfirman: “Engkau
benar Adam. Ia makhluk yang paling Aku cintai. Berdoalah kepada-Ku dengan derajatnya, Aku pasti mengampunimu.
Dan andai bukan karena Muhammad, Aku tidak menciptakanmu.”

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak (2/615) dan dinilainya shahih, al-Ajuri dalam al-Syari’ah
(hal. 427), al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah (5/489), al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Shaghir (2/82) dan lain-
lain. Menurut para pakar, hadits ini dapat dinilai hasan atau shahih berdasarkan syawahid (penguat eksternal)nya,
antara lain hadits Maisarah al-Fajr yang dikutip oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa juz 2 hlm 150 sebagai
berikut:

‫ض َوا ْﺳﺘَ َﻮى إﻟَﻰ اﻟ ﱠﺴ َﻤﺎ ِء‬ َ ْ‫ﻖ ﷲُ ْاﻷَر‬ َ َ‫ ﯾَﺎ َرﺳُﻮ َل ﷲِ َﻣﺘَﻰ ُﻛ ْﻨﺖ ﻧَﺒِﯿًّﺎ؟ ﻗَﺎ َل ﻟَ ﱠﻤﺎ َﺧﻠ‬:‫َﻋ ْﻦ َﻣ ْﯿ َﺴ َﺮةَ ﻗَﺎ َل ﻗُ ْﻠﺖ‬
َ َ‫ش ُﻣ َﺤ ﱠﻤ ٌﺪ َرﺳُﻮ ُل ﷲِ َﺧﺎﺗَ ُﻢ اﻷَ ْﻧﺒِﯿَﺎ ِء َو َﺧﻠ‬
ُ‫ﻖ ﷲ‬ ِ ْ‫ﺎق ْاﻟ َﻌﺮ‬ ِ ‫ﺐ َﻋﻠَﻰ َﺳ‬ َ َ‫ َﻛﺘ‬:‫ش‬ َ ْ‫ﻖ ْاﻟ َﻌﺮ‬
َ َ‫ت َو َﺧﻠ‬
ٍ ‫ﻓَ َﺴ ﱠﻮاھُ ﱠﻦ َﺳ ْﺒ َﻊ َﺳ َﻤ َﻮا‬
ِ ‫ب َو ْاﻟ ِﺨﯿَ ِﺎم َوآ َد ُم ﺑَﯿ َْﻦ اﻟﺮﱡ‬
‫وح‬ ِ ‫اق َو ْاﻟﻘِﺒَﺎ‬
ِ ‫ب َواﻷَ ْو َر‬ ِ ‫ﺐ ا ْﺳ ِﻤﻲ َﻋﻠَﻰ اﻷَ ْﺑ َﻮا‬ َ َ‫ْاﻟ َﺠﻨﱠﺔَ اﻟﱠﺘِﻲ أَ ْﺳ َﻜﻨَﮭَﺎ آ َد َم َو َﺣ ﱠﻮا َء ﻓَ َﻜﺘ‬
‫ش ﻓَ َﺮأَى ا ْﺳ ِﻤﻲ ﻓَﺄ َ ْﺧﺒَ َﺮهُ ﷲُ أَﻧﱠﮫُ َﺳﯿﱢ ُﺪ َوﻟَ ِﺪك ﻓَﻠَ ﱠﻤﺎ َﻏ ﱠﺮھُ َﻤﺎ‬ِ ْ‫ ﻧَﻈَ َﺮ إﻟَﻰ ْاﻟ َﻌﺮ‬:‫َو ْاﻟ َﺠ َﺴ ِﺪ ﻓَﻠَ ﱠﻤﺎ أَﺣْ ﯿَﺎهُ ﷲُ ﺗَ َﻌﺎﻟَﻰ‬
‫ﺎن ﺗَﺎﺑَﺎ َوا ْﺳﺘَ ْﺸﻔَ َﻌﺎ ﺑِﺎ ْﺳ ِﻤﻲ إﻟَ ْﯿ ِﮫ‬ُ َ‫اﻟ ﱠﺸ ْﯿﻄ‬.
“Maisarah berkata: “Aku berkata: “Wahai Rasulullah kapan engkau menjadi nabi?” Beliau bersabda: “Ketika Allah
menciptakan bumi, dan bermaksud pada langit, lalu menyempurnakannya menjadi tujuh langit, dan menciptakan
Arasy, maka Allah menulis pada tiang Arasy Muhammad Rasulullah penutup para nabi. Allah menciptakan surga
sebagai tempat tinggal Adam dan Hawa. Maka Allah menulis namaku pada pintu-pintu, daun-daun, kubah-kubah dan
kemah-kemah, sedangkan Adam masih di antara roh dan jasad. Ketika Allah subhanahu wa ta’ala menghidupkan
Adam, maka ia melihat ke Arasy, lalu melihat namaku. Maka Allah mengabarkannya bahwa ia penghulu anak
cucumu. Maka ketika Setan menipunya, maka Adam dan Hawa bertaubat dan meminta pertolongan dengan namaku
kepada-Nya.”
Demikian hadits yang disebutkan oleh Syaikh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa. Hadits ini menjadi syahid atau
penguat bagi hadits sebelumnya, sebagaimana diisyaratkan oleh Ibnu Taimiyah. Bahkan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam
Fath al-Bari, menegaskan bahwa sanad hadits ini kuat.
Dalam hadits tersebut jelas sekali, bahwa diterimanya pertaubatan Nabi Adam dan Ibu Hawa ‘alaihimassalam, sebab
bertawasul dengan nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan demikian, berarti Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjadi sebab terlepasnya Nabi Adam ‘alaihissalam dari kesusahannya. Peran Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai pelepas kesusahan para nabi sebelumnya telah diabadikan oleh sahabat Abbas bin Abdul Muththalib
radhiyallaahu ‘anhu dalam syairnya yang sangat terkenal.
Sahabat Khuraim bin Aus al-Tha’iy, radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berhijrah kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam sepulang beliau dari peperangan Tabuk dan aku masuk Islam. Lalu aku mendengar Abbas bin Abdul
Muththalib berkata: “Wahai Rasulullah, aku ingin memujimu.” Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab:
“Allah akan memberimu kehidupan dengan gigi-gigi yang sehat.” Lalu Abbas berkata:

ُ ‫ﻒ ْاﻟ َﻮ َر‬
‫ق‬ َ ‫ْﺚ ﯾ ُْﺨ‬
ُ ‫ﺼ‬ ٍ ‫ ُﻣ ْﺴﺘَ ْﻮ َد‬... ‫ﻈﻼَ ِل َوﻓِ ْﻲ‬
ُ ‫ع َﺣﯿ‬ ‫ْﺖ ﻓِﻲ اﻟ ﱢ‬
َ ‫ِﻣ ْﻦ ﻗَ ْﺒﻠِﮭَﺎ ِطﺒ‬
Wahai Rasulullah, engkau telah harum sebelum diciptakan di bumi, dan ketika engkau berada dalam tulang rusuk
Adam, ketika ia dan Hawwa menempelkan dedaunan surga ke tubuh mereka

َ ‫ أَ ْﻧ‬... ‫ﺖ ْاﻟﺒِﻼَ َد ﻻَ ﺑَ َﺸ ُﺮ‬


‫ﺖ َوﻻَ ُﻣﻀْ َﻐﺔٌ َوﻻَ َﻋﻠَﻖ‬ ْ ِ‫ﺛُ ﱠﻢ ھَﺒ‬
َ ‫ﻄ‬
Engkau harum keetika Adam turun ke bumi engkau berada dalam tulang rusuknya, ketika engkau bukan seorang
manusia, bukan gumpalan daging dan bukan gumpalan darah

ُ ‫ أَ ْﻟ َﺠ َﻢ ﻧَﺴْﺮاً َوأَ ْھﻠَﮫُ ْاﻟ َﻐ َﺮ‬... ‫ﻄﻔَﺔٌ ﺗَﺮْ َﻛﺐُ اﻟ ﱠﺴﻔِﯿْﻦ َوﻗَ ْﺪ‬
‫ق‬ ْ ُ‫ﺑَﻞْ ﻧ‬.
Bahkan engkau harum ketika berupa setetes air di punggungnya Nabi Nuh ‘alaihissalam ketika naik perahu,
sementara berhala Nasr dan orang-orang kafir pemujanya ditenggelamkan dalam banjir bandang

َ ‫ إِ َذا َﻣ‬... ‫ﺐ إِﻟ َﻰ َر ِﺣ ِﻢ‬


ُ َ‫ﻀﻰ َﻋﺎﻟَ ٌﻢ ﺑَ َﺪا طَﺒ‬
‫ﻖ‬ َ ‫ﺗُ ْﻨﻘَ ُﻞ ِﻣ ْﻦ‬.
ٍ َ‫ﺻﺎﻟ‬
Engkau harum ketika dipindah dari tulang rusuk laki-laki ke rahim wanita, ketika generasi berlalu diganti oleh
generasi berikutnya

َ ‫ ﻓِ ْﻲ ﺻ ُْﻠﺒِ ِﮫ أَ ْﻧ‬... ‫ت ﻧَﺎ َر ْاﻟ َﺨﻠِﯿ ِْﻞ ُﻣ ْﻜﺘَﺘِ ًﻤﺎ‬


َ ‫ﺖ َﻛﯿ‬
ُ ‫ْﻒ ﯾَﺤْ ﺘَ ِﺮ‬
‫ق‬ َ ‫َو َر ْد‬
Engkau harum ketika berada pada tulang rusuk Nabi Ibrahim sang kekasih Allah, ketika ia dilemparkan ke
sekumpulan api, sehingga tidak mungkin ia terbakar

‫ﻖ‬ َ ‫ ِﺧ ْﻨ ِﺪ‬... ‫ﻚ ْاﻟ ُﻤﮭَ ْﯿ ِﻤ ُﻦ ِﻣ ْﻦ‬


ُ ُ‫ف َﻋ ْﻠﯿَﺎ َء ﺗَﺤْ ﺘَﮭَﺎ اﻟﻨﱡﻄ‬ َ ُ‫َﺣﺘﱠﻰ اﺣْ ﺘَ َﻮى ﺑَ ْﯿﺘ‬
‫‪Sampai kemuliaanmu yang tinggi yang menjadi saksi akan keutamaanmu memuat dari suku yang tinggi dan di‬‬
‫‪bawahnya terdapat lapisan gunung-gunung‬‬

‫ك ْاﻷُﻓُ ُ‬
‫ﻖ‬ ‫ﺖ ْال ‪ ...‬أَرْ ضُ َو َ‬
‫ﺿﺎ َء ْ‬
‫ت ﺑِﻨُ ْﻮ ِر َ‬ ‫ت أَ ْﺷ َﺮﻗَ ِ‬ ‫َوأَ ْﻧ َ‬
‫ﺖ ﻟَ ﱠﻤﺎ ُوﻟِ ْﺪ َ‬
‫‪Ketika engkau dilahirkan, bumi menjadi bersinar dan cakrawala menjadi terang berkat cahayamu‬‬

‫ﻚ اﻟﻀﱢ ﯿَﺎ ِء َوﻓِﻲ ال ‪ ...‬ﻧﱡ ْﻮ ِر َو ُﺳﺒ ُِﻞ اﻟ ﱠﺮ َﺷﺎ ِد ﻧَ ْﺨﺘَ ِﺮ ُ‬


‫ق‬ ‫ﻓَﻨَﺤْ ُﻦ ﻓِﻲ َذﻟِ َ‬
‫‪Maka Kami menerobos dalam sinar, cahaya dan jalan-jalan petunjuk itu‬‬
‫‪Hadits ini diriwayatkan oleh al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [4167], Abu Nu’aim dalam Ma’rifah al-‬‬
‫‪Shahabah juz 2 hlm 983 dan al-Hakim dalam al-Mustadrak [5417]. Menurut al-Hakim, syair ini diriwayatkan oleh‬‬
‫‪orang-orang Arab pedalaman, yang biasanya tidak memalsukan hadits. Oleh karena itu, syair tersebut dikutip secara‬‬
‫‪tegas (jazm) oleh al-Hafizh al-Dzahabi dalam beberapa kitab sejarahnya seperti Tarikh al-Islam juz 1 hlm 495 dan‬‬
‫‪Siyar A’lam al-Nubala’ juz 1 hlm 161 dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Zad al-Ma’ad juz 3 hlm 551.‬‬

‫‪Dalil Kedua‬‬

‫‪Setelah dilahirkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjadi sebab terlepasnya Sayyidah Halimah al-‬‬
‫‪Sa’diyah dan keluarganya dari kesulitan. Hal ini seperti dapat dibaca dari riwayat hadits berikut:‬‬

‫ﺖ‪َ :‬ﺧ َﺮﺟْ ُ‬


‫ﺖ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ‪ -‬اﻟ ﱠﺴ ْﻌ ِﺪﯾﱠ ِﺔ اﻟﱠﺘِﻲ أَرْ َ‬
‫ﺿ َﻌ ْﺘﮫُ ﻗَﺎﻟَ ْ‬ ‫ُﻮل ﷲِ ‪َ -‬‬‫ث‪ ،‬أُ ﱢم َرﺳ ِ‬ ‫ﺎر ِ‬ ‫ﺖ ْاﻟ َﺤ ِ‬
‫َﻋ ْﻦ َﺣﻠِﯿ َﻤﺔَ ﺑِ ْﻨ ِ‬
‫ﺐ‪.‬‬
‫ﺖ ﺑِﺎﻟ ﱠﺮ ْﻛ ِ‬‫ﺖ ﻓَ َﺰا َﺣ ْﻤ ُ‬‫ﺎن ﻟِﻲ ﻗَ ْﻤ َﺮا َء ﻗَ ْﺪ أَ ْذ َﻣ ْ‬
‫ﺿ َﻌﺎ َء ﺑِ َﻤ ﱠﻜﺔَ‪َ ،‬ﻋﻠَﻰ أَﺗَ ٍ‬
‫ﻓِﻲ ﻧِ ْﺴ َﻮ ٍة ِﻣ ْﻦ ﺑَﻨِﻲ َﺳ ْﻌ ِﺪ ﺑ ِْﻦ ﺑَ ْﻜ ٍﺮ ﻧَ ْﻠﺘَ ِﻤﺲُ اﻟﺮﱡ َ‬
‫ﺖ‪َ :‬و َﻣ َﻌﻨَﺎ‬ ‫ث ﺑ ُْﻦ َﻋ ْﺒ ِﺪ ْاﻟ ُﻌ ﱠﺰى‪ .‬ﻗَﺎﻟَ ْ‬ ‫ﺎر ُ‬‫ْﻖ ﻟَﻨَﺎ َﺷ ْﯿﺌًﺎ‪َ ،‬و َﻣ ِﻌﻲ َز ْو ِﺟﻲ ْاﻟ َﺤ ِ‬ ‫ﺖ‪َ :‬و َﺧ َﺮﺟْ ﻨَﺎ ﻓِﻲ َﺳﻨَ ٍﺔ َﺷ ْﮭﺒَﺎ َء ﻟَ ْﻢ ﺗُﺒ ِ‬‫ﻗَﺎﻟَ ْ‬
‫ﺻﺒِ ﱞﻲ ﻟِﻲ إِ ْن ﻧَﻨَﺎ ُم ﻟَ ْﯿﻠَﺘَﻨَﺎ َﻣ َﻊ ﺑُ َﻜﺎﺋِ ِﮫ‪َ ،‬ﻣﺎ ﻓِﻲ ﺛَ ْﺪﯾِﻲ َﻣﺎ‬ ‫ﻄ َﺮ ٍة ِﻣ ْﻦ ﻟَﺒَ ٍﻦ‪َ ،‬و َﻣ ِﻌﻲ َ‬‫ف ﻟَﻨَﺎ‪َ ،‬وﷲِ إِ ْن ﺗَﺒِﺾﱠ َﻋﻠَ ْﯿﻨَﺎ ﺑِﻘَ ْ‬ ‫ﺎر ٌ‬
‫َﺷ ِ‬
‫ﻖ ِﻣﻨﱠﺎ ا ْﻣ َﺮأَةٌ إِﻻّ ُﻋ ِﺮ َ‬
‫ض َﻋﻠَ ْﯿﮭَﺎ‬ ‫ﺎرﻓِﻨَﺎ ِﻣ ْﻦ ﻟَﺒَ ٍﻦ ﻧَ ْﻐ ُﺬوهُ إِﻻ أَﻧﱠﺎ ﻧَﺮْ ﺟُﻮ‪ .‬ﻓَﻠَ ﱠﻤﺎ ﻗَ ِﺪ ْﻣﻨَﺎ َﻣ ﱠﻜﺔَ ﻟَ ْﻢ ﯾَ ْﺒ َ‬
‫ﯾُ ْﻌﺘِﺒُﮫُ‪َ ،‬و َﻣﺎ ﻓِﻲ َﺷ ِ‬
‫ﺿﺎ ِﻋ ِﮫ ِﻣ ْﻦ َواﻟِ ِﺪ ْاﻟ َﻤ ْﻮﻟُﻮ ِد‪َ ،‬و َﻛ َ‬
‫ﺎن‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ‪ -‬ﻓَﺘَﺄْﺑَﺎهُ‪َ ،‬وإِﻧﱠ َﻤﺎ ُﻛﻨﱠﺎ ﻧَﺮْ ﺟُﻮ َﻛ َﺮا َﻣﺔَ َر َ‬ ‫َرﺳُﻮ ُل ﷲِ ‪َ -‬‬
‫ﺻﺒِﯿًّﺎ‪َ ،‬ﻏﯿ ِْﺮي‪،‬‬‫ت َ‬ ‫اﺣﺒِﻲ ا ْﻣ َﺮأَةٌ إِﻻﱠ أَ َﺧ َﺬ ْ‬ ‫ﻖ ِﻣ ْﻦ َ‬
‫ﺻ َﻮ ِ‬ ‫ﯾَﺘِﯿ ًﻤﺎ‪ ،‬ﻓَ ُﻜﻨﱠﺎ ﻧَﻘُﻮ ُل‪َ :‬ﻣﺎ َﻋ َﺴﻰ أَ ْن ﺗَﺼْ ﻨَ َﻊ أُ ﱡﻣﮫُ؟ َﺣﺘﱠﻰ ﻟَ ْﻢ ﯾَ ْﺒ َ‬
‫ﻚ ﻓَﻶَ ُﺧ َﺬﻧﱠﮫُ‪.‬‬
‫ﺖ ﻟِ َﺰ ْو ِﺟﻲ‪َ :‬وﷲِ ﻷَرْ ِﺟ َﻌ ﱠﻦ إِﻟَﻰ َذﻟِ َ‬ ‫اﺣﺒِﻲ‪ ،‬ﻓَﻘُ ْﻠ ُ‬ ‫ﺖ أَ ْن أَرْ ِﺟ َﻊ َوﻟَ ْﻢ آ ُﺧ ْﺬ َﺷ ْﯿﺌًﺎ َوﻗَ ْﺪ أَ َﺧ َﺬ َ‬
‫ﺻ َﻮ ِ‬ ‫َو َﻛ ِﺮ ْھ ُ‬
‫ﺖ‪ :‬ﻧَ َﻌ ْﻢ َوﷲِ‪َ ،‬ذا َ‬
‫ك أَﻧﱢﻲ ﻟَ ْﻢ أَ ِﺟ ْﺪ‬ ‫ﺖ‪ :‬ﻓَﺄَﺗَ ْﯿﺘُﮫُ ﻓَﺄ َ َﺧ ْﺬﺗُﮫُ ﻓَ َﺮ َﺟ ْﻌﺘُﮫُ إِﻟَﻰ َرﺣْ ﻠِﻲ‪ ،‬ﻓَﻘَﺎ َل َز ْو ِﺟﻲ‪ :‬ﻗَ ْﺪ أَ ْﺧ َﺬﺗِﯿ ِﮫ؟ ﻓَﻘُ ْﻠ ُ‬ ‫ﻗَﺎﻟَ ْ‬
‫ﺖ‪َ :‬وﷲِ َﻣﺎ ھُ َﻮ إِﻻ أَ ْن َﺟ َﻌ ْﻠﺘُﮫُ ﻓِﻲ ِﺣﺠْ ِﺮي‬ ‫ﺖ‪ ،‬ﻓَ َﻌ َﺴﻰ ﷲُ أَ ْن ﯾَﺠْ َﻌ َﻞ ﻓِﯿ ِﮫ َﺧ ْﯿﺮًا‪ .‬ﻓَﻘَﺎﻟَ ْ‬ ‫َﻏ ْﯿ َﺮهُ‪ .‬ﻓَﻘَﺎ َل‪ :‬ﻗَ ْﺪ أَ َ‬
‫ﺻ ْﺒ ِ‬
‫ب أَ ُﺧﻮهُ ‪ -‬ﺗَ ْﻌﻨِﻲ ا ْﺑﻨَﮭَﺎ ‪-‬‬ ‫ي َو َﺷ ِﺮ َ‬ ‫ب َﺣﺘﱠﻰ ر ُِو َ‬ ‫ﺖ‪ :‬ﻓَ َﺸ ِﺮ َ‬ ‫ﺖ‪ :‬ﻓَﺄ َ ْﻗﺒَ َﻞ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ ﺛَ ْﺪﯾِﻲ ﺑِ َﻤﺎ َﺷﺎ َء ِﻣ َﻦ اﻟﻠﱠﺒَ ِﻦ‪ ،‬ﻗَﺎﻟَ ْ‬‫ﻗَﺎﻟَ ْ‬
‫ي‪،‬‬ ‫ب َﺣﺘﱠﻰ ر ُِو َ‬ ‫ﺖ ﻟَﻨَﺎ َﻣﺎ َﺳﻨﱠﻨَﻨَﺎ‪ ،‬ﻓَ َﺸ ِﺮ َ‬ ‫ﺎرﻓِﻨَﺎ ِﻣ َﻦ اﻟﻠﱠﯿ ِْﻞ‪ ،‬ﻓَﺈِ َذا ِھ َﻲ َﺣﺎﻓِ ٌﻞ ﻓَ َﺤﻠَﺒَ ْ‬ ‫ي‪َ ،‬وﻗَﺎ َم َز ْو ِﺟﻲ إِﻟَﻰ َﺷ ِ‬ ‫َﺣﺘﱠﻰ ر ُِو َ‬
‫ﺖ‪ :‬ﯾَﻘُﻮ ُل أَﺑُﻮهُ ‪-‬‬ ‫ﺻ ْﺒﯿَﺎﻧُﻨَﺎ‪ ،‬ﻗَﺎﻟَ ْ‬‫ﻚ ﺑِ َﺨﯿ ٍْﺮ‪ِ ،‬ﺷﺒَﺎﻋًﺎ ِر َوا ًء‪َ ،‬وﻗَ ْﺪ ﻧَﺎ َم َ‬ ‫ﯾﺖ‪ ،‬ﻓَﺒِ ْﺘﻨَﺎ ﻟَ ْﯿﻠَﺘَﻨَﺎ ﺗِ ْﻠ َ‬
‫ْﺖ َﺣﺘﱠﻰ ر ُِو ُ‬ ‫ﺖ‪َ :‬و َﺷ ِﺮﺑ ُ‬ ‫ﻗَﺎﻟَ ْ‬
‫ﺖ‪ :‬ﺛُ ﱠﻢ‬‫ي‪ .‬ﻗَﺎﻟَ ْ‬‫ﺻﺒِﯿﱡﻨَﺎ َور ُِو َ‬ ‫ﺖ ﻧَ َﺴ َﻤﺔً ُﻣﺒَﺎ َر َﻛﺔً‪ ،‬ﻗَ ْﺪ ﻧَﺎ َم َ‬ ‫اك إِﻻّ أَ َ‬
‫ﺻ ْﺒ ِ‬ ‫ﯾَ ْﻌﻨِﻲ َز ْو َﺟﮭَﺎ ‪َ :-‬وﷲِ ﯾَﺎ َﺣﻠِﯿ َﻤﺔُ َﻣﺎ أَ َر ِ‬
‫ﻮن‪َ :‬و ْﯾ َﺤ ِﻚ ﯾَﺎ ﺑِ ْﻨ َ‬
‫ﺖ‬ ‫ﻄ َﻌ ْﺘﮫُ َﺣﺘﱠﻰ َﻣﺎ ﯾَ ْﺒﻠُ ُﻐﻮﻧَﮭَﺎ‪َ ،‬ﺣﺘﱠﻰ أَﻧﱠﮭُ ْﻢ ﻟَﯿَﻘُﻮﻟُ َ‬ ‫ﺖ أَﺗَﺎﻧِﻲ أَ َﻣﺎ َم اﻟ ﱠﺮ ْﻛ ِ‬
‫ﺐ ﻗَ ْﺪ ﻗَ َ‬ ‫َﺧ َﺮﺟْ ﻨَﺎ‪ ،‬ﻓَ َﻮﷲِ ﻟَ َﺨ َﺮ َﺟ ْ‬
‫ َﺣﺘﱠﻰ ﻗَ ِﺪ ْﻣﻨَﺎ‬.‫ ﺑَﻠَﻰ َوﷲِ َو ِھ َﻲ ﻗُ ﱠﺪا ُﻣﻨَﺎ‬:‫ﺖ َﻋﻠَ ْﯿﮭَﺎ؟ ﻓَﺄَﻗُﻮ ُل‬ ِ ْ‫ﺖ ھَ ِﺬ ِه ﺑِﺄَﺗَﺎﻧِ ِﻚ اﻟﱠﺘِﻲ َﺧ َﺮﺟ‬
ْ ‫ أَﻟَ ْﯿ َﺴ‬،‫ ُﻛﻔﱢﻲ َﻋﻠَ ْﯿﻨَﺎ‬،‫ث‬ ِ ‫ْاﻟ َﺤ‬
ِ ‫ﺎر‬
،ِ‫ض ﷲ‬ ِ ْ‫ب أَر‬ ِ ‫ ﻓَﻘَ ِﺪ ْﻣﻨَﺎ َﻋﻠَﻰ أَﺟْ َﺪ‬،‫ﺎﺿ ِﺮ ﺑَﻨِﻲ َﺳ ْﻌ ِﺪ ﺑ ِْﻦ ﺑَ ْﻜ ٍﺮ‬
ِ ‫ﺎزﻟَﻨَﺎ ِﻣ ْﻦ َﺣ‬ِ َ‫ﻓَ َﻮاﻟﱠ ِﺬي ﻧَ ْﻔﺲُ َﺣﻠِﯿ َﻤﺔَ ﺑِﯿَ ِﺪ ِه إِ ْن َﻛﺎﻧُﻮا َﻣﻨ‬
‫ َوﺗَ ُﺮو ُح أَ ْﻏﻨَﺎ ُﻣﮭُ ْﻢ‬،ً‫ َوﯾُ َﺴﺮﱢ ُح َرا ِﻋﻲ َﻏﻨَ ِﻤﻲ ﻓَﺘَﺮُو ُح َﻏﻨَ ِﻤﻲ ﺑِﻄَﺎﻧًﺎ ﻟَﺒَﻨًﺎ ُﺣﻔﱠﻼ‬،‫ُﻮن أَ ْﻏﻨَﺎ َﻣﮭُ ْﻢ إِ َذا أَﺻْ ﺒَﺤُﻮا‬ ِ ‫ﻟَﯿُ َﺴﺮﱢ ﺣ‬
َ‫ﻄ َﺮةً َوﻻ‬ ِ ‫ ﻓَ َﺸ ِﺮ ْﺑﻨَﺎ َﻣﺎ ِﺷ ْﺌﻨَﺎ ِﻣ ْﻦ ﻟَﺒَ ٍﻦ َو َﻣﺎ ﻓِﻲ ْاﻟ َﺤ‬:‫ﺖ‬
ْ َ‫ﺎﺿ ِﺮ أَ َﺣ ٌﺪ ﯾَﺤْ ﻠِﺐُ ﻗ‬ ْ َ‫ ﻗَﺎﻟ‬.‫ِﺟﯿَﺎﻋًﺎ ھَﺎﻟِ َﻜﺔً َﻣﺎ ﺑِﮭَﺎ ِﻣ ْﻦ ﻟَﺒَ ٍﻦ‬
‫ﺐ اﻟﱠ ِﺬي‬ ِ ‫ُﻮن ﻓِﻲ اﻟ ﱢﺸ ْﻌ‬ َ ‫ْﺚ ﯾُ َﺴﺮﱢ ُح َرا ِﻋﻲ َﺣﻠِﯿ َﻤﺔَ؟ ﻓَﯿُ َﺴﺮﱢ ﺣ‬ َ ‫ َو ْﯾﻠَ ُﻜ ُﻢ أَﻻَ ﺗُ َﺴﺮﱢ ﺣ‬:‫ﻮن ﻟِ ُﺮ َﻋﺎﺗِ ِﮭ ْﻢ‬
ُ ‫ُﻮن َﺣﯿ‬ َ ُ‫ ﻓَﯿَﻘُﻮﻟ‬،‫ﯾَ ِﺠ ُﺪھَﺎ‬
- ‫ﺎن‬
َ ‫ َو َﻛ‬:‫ﺖ‬ْ َ‫ ﻗَﺎﻟ‬.‫ َوﺗَﺮُو ُح أَ ْﻏﻨَﺎ ُﻣﮭُ ْﻢ ِﺟﯿَﺎﻋًﺎ َﻣﺎ ﺑِﮭَﺎ ِﻣ ْﻦ ﻟَﺒَ ٍﻦ َوﺗَﺮُو ُح َﻏﻨَ ِﻤﻲ ُﺣ ْﻔﻼً ﻟَﺒَﻨًﺎ‬،‫ﯾُ َﺴﺮﱢ ُح ﻓِﯿ ِﮫ َرا ِﻋﯿﻨَﺎ‬
‫ﺼﺒِ ﱢﻲ ﻓِﻲ‬ َ َ‫ َوﯾَ ِﺸﺐﱡ ﻓِﻲ اﻟ ﱠﺸﮭ ِْﺮ َﺷﺒ‬،‫ﺼﺒِ ﱢﻲ ﻓِﻲ َﺷﮭ ٍْﺮ‬
‫ﺎب اﻟ ﱠ‬ ‫ﺎب اﻟ ﱠ‬َ َ‫ ﯾَ ِﺸﺐﱡ ﻓِﻲ ْاﻟﯿَ ْﻮ ِم َﺷﺒ‬- ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬ َ
‫ ﻓَﺒَﻠَ َﻎ ِﺳﺘًّﺎ َوھُ َﻮ ُﻏﻼَ ٌم َﺟ ْﻔ ٌﺮ‬،‫ َﺳﻨَ ٍﺔ‬.
“Halimah binti al-Harits al-Sa’diyah, ibu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyusuinya berkata: “Aku
keluar bersama beberapa wanita suku Bani Sa’ad bin Bakr, mencari bayi-bayi yang disusui di Makkah, menaiki
keledaiku yang terlambat dari rombongan pada malam rembulan bercahaya. Kami berangkat pada tahun paceklik
yang tidak menyisakan sesuatu apapun pada kami. Aku bersama suamiku al-Harits bin Abdul Uzza. Kami juga
membawa unta kami yang telah memasuki masa tua, demi Allah yang tidak memberikan setetes pun air susu.
Aku juga membawa bayiku. Pada malam hari kami tidak bisa tidur karena tangisannya. Di susuku tidak ada air yang
dapat ia hisap. Pada unta tua kami juga tidak ada air susu sebagai makanan.
Setelah kami tiba di Makkah, setiap wanita di antara kami yang menerima tawaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam akan menolaknya. Kami hanya mengharapkan upah menyusui dari ayah seorang bayi. Ia seorang bayi yatim.
Kami berkata, kira-kira apa yang dapat dilakukan oleh ibunya? Hingga akhirnya sahabat-sahabatku telah
mendapatkan bayi untuk disusui, kecuali aku yang belum mendapatkan. Aku benci jika pulang tanpa membawa
sesuatu, sementara sahabat-sahabatku telah mendapatkannya.
Aku berkata kepada suamiku: “Demi Allah, aku akan kembali mengambil bayi itu.” Lalu aku mendatanginya. Aku
mengambilnya dan kembali ke tempat perlengkapanku. Suamiku berkata: “Kamu telah mengambilnya?” Aku
menjawab: “Iya. Demi Allah, aku tidak menemukan selainnya.” Ia berkata: “Kamu benar. Barangkali Allah
menjadikan kebaikan pada bayi ini.” Halimah berkata: “Demi Allah, begitu bayi itu aku letakkan pada pangkuanku,
susuku memberinya air susu yang luar biasa. Ia meminumnya sampai segar dan saudaranya juga meminumnya sampai
segar.
Pada malam hari, suamiku menghampiri unta betina yang sudah tua itu, ternyata telah penuh dengan air susu,
sehingga memberikan air susu yang kami kehendaki. Maka suamiku meminumnya sampai segar. Aku juga
meminumnya sampai segar. Pada malam itu kami bermalam dengan baik, dalam keadaan kenyang dan segar. Bayi-
bayi kami juga tidur. Ayahnya, yaitu suaminya berkata: “Demi Allah hai Halimah, menurutku kamu mendapatkan
nikmat yang diberkahi. Bayi kami benar-benar tidur.”
Halimah berkata: “Kemudian kami keluar menuju kampung kami. Demi Allah keledaiku keluar ke depan rombongan
yang telah memotongnya sampai mereka tidak mengejarnya, sehingga mereka berkata: “Demi Allah hai Binti al-
Harits, bergabunglah pada kami. Bukankah ini keledaimu yang kamu bawa sewaktu berangkat?” Aku menjawab: “Iya,
demi Allah. Ia di depan kami. Hingga kami sampai di tempat tinggal kami, daerah Bani Sa’ad bin Bakr.

Kami datang pada bumi Allah yang paling tandus. Demi Tuhan yang menguasai Halimah, apabila pada pagi hari
mereka melepaskan kambing-kambing mereka, sementara penggembala kambingku melepaskannya, maka kambing
kami akan kembali pada waktu sore dalam keadaan kenyang dan penuh dengan susu, sementara kambing-kambing
mereka kembali dalam keadaan lapar dan binasa tanpa membawa susu. Kami dapat minum air susu yang kami
kehendaki. Padahal di daerah kami tidak ada seorang pun yang memerah setetes susu dan tidak mendapatkannya.
Mereka berkata kepada para penggembalanya: “Celaka kalian. Mengapa kalian tidak melepas kambing-kambing itu di
tempat penggembala Halimah melepas kambingnya?” Akhirnya mereka melepaskan kambing-kambing mereka di
jalan bukit pelepasan penggembala kami. Halimah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tumbuh dalam
sehari seperti bayi berusia satu bulan. Dalam satu bulan, tumbuh seperti bayi berusia satu tahun. Pada usia enam bulan
telah menjadi laki-laki seperti usia empat tahun.”
Hadits shahih riwayat Abu Ya’la [7127], al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [545], Ibnu Hibban [6335], Abu
Nu’aim dalam Ma’rifah al-Shahabah juz 6 hlm 3292 dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah juz 1 hlm 13. Al-
Hafizh al-Haitsami berkata dalam Majma’ al-Zawaid juz 8 hlm 221, para perawinya dapat dipercaya.
Dalam hadits shahih di atas jelas sekali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi penyebab datangnya
keberkahan, kesejahteraan dan kemudahan bagi kehidupan keluarga Halimah binti al-Harits al-Sa’diyyah, ibu yang
menyusuinya.

Dalil Ketiga

Setelah diangkat menjadi nabi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi sebab terlepasnya orang-orang
musyrik dari kekalahan dalam peperangan. Demikian ini seperti diriwayatkan dalam hadits berikut:

‫ﺻﻠﱠﻰ‬ َ - ‫ ﻓَﻘَﺎ َل اﻟﻨﱠﺒِ ﱡﻲ‬،َ‫ﺖ ﺑَ ْﻜ ُﺮ ﺑ ُْﻦ َواﺋِ ٍﻞ َﻣ ﱠﻜﺔ‬ْ ‫ »ﻗَ ِﺪ َﻣ‬:‫ﺎص َﻋ ْﻦ أَﺑِﯿ ِﮫ َﻋ ْﻦ َﺟ ﱢﺪ ِه ﻗَﺎ َل‬
ِ ‫َﻋ ْﻦ َﺧﺎﻟِ ِﺪ ﺑ ِْﻦ َﺳ ِﻌﯿ ِﺪ ﺑ ِْﻦ ْاﻟ َﻌ‬
‫ ﺑَﻨُﻮ ُذھَ ِﻞ ﺑ ِْﻦ‬:‫ َﻣ ِﻦ ْاﻟﻘَ ْﻮ ُم؟ ﻓَﻘَﺎﻟُﻮا‬:‫ ﻓَﻘَﺎ َل‬،‫ ﻓَﺄَﺗَﺎھُ ْﻢ‬." ‫ " ا ْﺋﺘِ ِﮭ ْﻢ ﻓَﺎ ْﻋ ِﺮضْ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮭ ْﻢ‬:‫ ﻷَﺑِﻲ ﺑَ ْﻜ ٍﺮ‬- ‫ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬
،‫ﺶ‬ ٍ ‫ َر ُﺟ ٌﻞ ِﻣ ْﻦ ﻗُ َﺮ ْﯾ‬:‫ﺖ؟ ﻗَﺎ َل‬ َ ‫ َﻣ ْﻦ أَ ْﻧ‬:‫ ﻓَﻘَﺎ َل‬،ٌ‫ ﻓَﻘَﺎ َم إِﻟَ ْﯿ ِﮫ َد ْﻏﻔَﻞ‬، ُ‫ أَ ْﻧﺘُ ُﻢ اﻷَ ْذﻧَﺎب‬،‫ْﺖ إِﯾﱠﺎ ُﻛ ْﻢ أُ ِرﯾ ُﺪ‬
ُ ‫ ﻟَﺴ‬:‫ ﻓَﻘَﺎ َل‬،َ‫ﺛَ ْﻌﻠَﺒَﺔ‬
‫ ﺛُ ﱠﻢ َﻋﺎ َد إِﻟَ ْﯿ ِﮭ ْﻢ‬.‫ب‬
ِ ‫ ﻓَﺄ َ ْﻧﺘُ ْﻢ ِﻣ َﻦ اﻷَ ْذﻧَﺎ‬:‫ ﻗَﺎ َل‬.‫ ﻻ‬:‫ ﻓَ ِﻤ ْﻦ ﺑَﻨِﻲ أُ َﻣﯿﱠﺔَ؟ ﻗَﺎ َل‬:‫ ﻗَﺎ َل‬.‫ ﻻ‬:‫ﺎﺷ ٍﻢ؟ ﻗَﺎ َل‬ ِ َ‫ أَ ِﻣ ْﻦ ﺑَﻨِﻲ ھ‬:‫ﻗَﺎ َل‬
‫ َﺣﺘﱠﻰ ﯾَ ِﺠﻲ َء‬:‫ ﻗَﺎﻟُﻮا‬،‫اﻹﺳْﻼ َم‬ ِ ‫ض َﻋﻠَ ْﯿ ِﮭ ُﻢ‬
َ ‫ﻓَ َﻌ َﺮ‬ :‫ ﻗَﺎ َل‬،‫ﺎن‬َ َ‫ ﺑَﻨُﻮ ُذھَ ِﻞ ﺑ ِْﻦ َﺷ ْﯿﺒ‬:‫ َﻣ ِﻦ ْاﻟﻘَ ْﻮ ُم؟ ﻓَﻘَﺎﻟُﻮا‬:‫ﺛَﺎﻧِﯿَﺔً ﻓَﻘَﺎ َل‬
ِ ْ‫ إِ ﱠن ﺑَ ْﯿﻨَﻨَﺎ َوﺑَﯿ َْﻦ ْاﻟﻔُﺮ‬:‫ ﻗَﺎ َل‬- ُ‫ﺿ َﻲ ﷲُ َﻋ ْﻨﮫ‬
‫س‬ ِ ‫َر‬ - ‫ض َﻋﻠَ ْﯿ ِﮭ ْﻢ أَﺑُﻮ ﺑَ ْﻜ ٍﺮ‬
َ ‫ ﻓَﻠَ ﱠﻤﺎ َﺟﺎ َء َﺷ ْﯿ ُﺨﮭُ ْﻢ َﻋ َﺮ‬- ‫َﺷ ْﯿ ُﺨﻨَﺎ ﻓُﻼَ ٌن‬
َ ‫ أَ َرأَﯾ‬:‫ ﻓَﻘَﺎ َل ﻟَﮫُ أَﺑُﻮ ﺑَ ْﻜ ٍﺮ‬،‫ ﻓَﺈِ َذا ﻓَ َﺮ ْﻏﻨَﺎ ِﻣ ﱠﻤﺎ ﺑَ ْﯿﻨَﻨَﺎ َوﺑَ ْﯿﻨَﮭُ ْﻢ ُﻋ ْﺪﻧَﺎ ﻓَﻨَﻈَﺮْ ﻧَﺎ‬،‫َﺣﺮْ ﺑًﺎ‬
‫ْﺖ إِ ْن َﻏﻠَ ْﺒﺘُ ُﻤﻮھُ ْﻢ أَﺗَﺘﱢﺒِ ُﻌﻨَﺎ َﻋﻠَﻰ‬
َ َ‫ ﻻ ﻧَ ْﺸﺘَ ِﺮطُ ﻟ‬:‫ ﻓَﻠَ ﱠﻤﺎ أَ ْﻣ ِﺮﻧَﺎ؟ ﻗَﺎ َل‬.‫ﺗَﻘُﻮ ُل‬
‫ َوﻟَ ِﻜ ْﻦ إِ َذا ﻓَ َﺮ ْﻏﻨَﺎ ﻓِﯿ َﻤﺎ ﺑَ ْﯿﻨَﻨَﺎ َوﺑَ ْﯿﻨَﮭُ ْﻢ ُﻋ ْﺪﻧَﺎ ﻓَﻨَﻈَﺮْ ﻧَﺎ ﻓِﻲ َﻣﺎ‬،‫ﻚ ھَ َﺬا َﻋﻠَ ْﯿﻨَﺎ‬
:‫ ﻗَﺎ َل‬،‫ ُﻣ َﺤ ﱠﻤ ٌﺪ‬:‫ َﻣﺎ ا ْﺳ ُﻢ اﻟ ﱠﺮﺟ ُِﻞ اﻟﱠ ِﺬي َد َﻋﺎ ُﻛ ْﻢ إِﻟَﻰ ﷲِ؟ ﻗَﺎﻟُﻮا‬:‫ ﻗَﺎ َل َﺷ ْﯿ ُﺨﮭُ ْﻢ‬، ُ‫ﺎر ھُ ْﻢ َو ْاﻟﻔُﺮْ س‬ ٍ َ‫ْاﻟﺘَﻘَ ْﻮا ﯾَ ْﻮ َم ِذي ﻗ‬
ِ ُ‫ " ﺑِﻲ ﻧ‬:- ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬
‫ﺼﺮُوا‬ َ - ِ‫ ﻓَﻘَﺎ َل َرﺳُﻮ ُل ﷲ‬،‫ﺼﺮُوا َﻋﻠَﻰ ْاﻟﻘَ ْﻮ ِم‬
ِ ُ‫ ﻓَﻨ‬.‫" »ھُ َﻮ ِﺷ َﻌﺎ ُر ُﻛ ْﻢ‬.
“Dari Khalid bin Sa’id bin al-Ash, dari ayahnya, dari kakeknya. Ia berkata: “Suku Bakr bin Wail datang ke Makkah.
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Bakar: “Datangi mereka dan tawarkan kepada
mereka untuk masuk Islam!” Abu Bakar mendatangi mereka, lalu bertanya: “Dari kaum mana?” Mereka menjawab:
“Suku Dzuhal bin Tsa’labah”. Abu Bakar berkata: “Bukan kalian yang aku maksudkan, kalian hanya pengikut.” Lalu
Daghfal menghadap kepadanya dan berkata: “Kamu siapa?” Abu Bakar menjawab: “Seorang laki-laki dari suku
Quraisy.” Ia bertanya: “Apakah dari Bani Hasyim?” Abu Bakar menjawab: “Tidak.” Ia bertanya: “Apakah dari Bani
Umayah?” Abu Bakar menjawab: “Tidak.” Ia berkata: “Berarti kamu juga pengikut.”
Kemudian Abu Bakar kembali lagi pada mereka untuk yang kedua kalinya. Ia bertanya: “Dari kaum mana?” Mereka
menjawab: “Suku Dzuhal bin Syaiban.” Lalu Abu Bakar menawarkan kepada mereka untuk masuk Islam. Mereka
menjawab: “Hingga orang yang kami tokohkan, si fulan datang.” Setelah tokoh mereka datang, Abu Bakar
radhiyallaahu ‘anhu menawarkan lagi pada mereka. Lalu tokoh itu menjawab: “Sebenarnya antara kami dan Persia
ada peperangan. Jika kami selesai dari urusan dengan mereka, kami akan kembali dan memikirkan lagi.” Abu Bakar
berkata kepadanya: “Menurutmu, jika kalian menang atas mereka, apakah kalian akan mengikuti agama kami?” Ia
menjawab: “Kami tidak menjanjikan hal ini kepadamu. Tapi jika kami telah selesai berurusan dengan mereka, kami
akan kembali, dan memikirkan lagi apa yang kamu katakan.”
Setelah mereka berhadapan dengan Persia dalam peperangan Dzi Qar, tokoh mereka berkata: “Siapa nama laki-laki
yang mengajak kalian kepada Allah?” Mereka menjawab: “Muhammad.” Lalu ia berkata: “Nama Muhammad jadikan
slogan kalian dalam peperangan.” Maka mereka diberi kemenangan menghadapi Persia. Mendengar berita itu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebab aku mereka diberi kemenangan.”
Hadits hasan riwayat al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [5520]. Lihat al-Hafizh al-Haitsami, dalam Majma’ al-
Zawaid juz 6 hlm 211. Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi sebab
kemenangan mereka yang masih musyrik menghadapi orang-orang Persia, dan beliau membenarkan apa yang mereka
lakukan.

Dalil Keempat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjadi penyebab terlepasnya seluruh umat manusia dari kesusahan
pada waktu hari kiamat kelak ketika berada di padang Mahsyar. Sebab pertolongan tersebut, baginda shallallahu
‘alaihi wa sallam akan dipuji oleh seluruh manusia di padang Mahsyar.

َ ‫ »إِ ﱠن اﻟ ﱠﺸ ْﻤ‬:‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬


‫ﺲ ﺗَ ْﺪﻧُﻮ ﯾَ ْﻮ َم‬ َ ‫ ﻗَﺎ َل اﻟﻨﱠﺒِ ﱡﻲ‬:‫ ﻗَﺎ َل‬،ُ‫ﺿ َﻲ ﷲُ َﻋ ْﻨﮫ‬ ِ ‫َﻋ ْﻦ َﻋ ْﺒ ِﺪ ﷲِ ﺑ ِْﻦ ُﻋ َﻤ َﺮ َر‬
ُ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲ‬ َ ‫ ﺛُ ﱠﻢ ﺑِ ُﻤ َﺤ ﱠﻤ ٍﺪ‬،‫ ﺛُ ﱠﻢ ﺑِ ُﻤﻮ َﺳﻰ‬،‫ﻚ ا ْﺳﺘَ َﻐﺎﺛُﻮا ﺑِﺂ َد َم‬ َ ِ‫ ﻓَﺒَ ْﯿﻨَﺎ ھُ ْﻢ َﻛ َﺬﻟ‬،‫ﻒ اﻷُ ُذ ِن‬ َ ْ‫ق ﻧِﺼ‬ ُ ‫ َﺣﺘﱠﻰ ﯾَ ْﺒﻠُ َﻎ اﻟ َﻌ َﺮ‬،‫اﻟﻘِﯿَﺎ َﻣ ِﺔ‬
ِ ‫ ﻓَﯿَ ْﻤ ِﺸﻲ َﺣﺘﱠﻰ ﯾَﺄْ ُﺧ َﺬ ﺑِ َﺤ ْﻠﻘَ ِﺔ اﻟﺒَﺎ‬،‫ﻖ‬
،‫ ﻓَﯿَ ْﻮ َﻣﺌِ ٍﺬ ﯾَ ْﺒ َﻌﺜُﮫُ ﷲُ َﻣﻘَﺎ ًﻣﺎ َﻣﺤْ ُﻤﻮدًا‬،‫ب‬ ِ ‫ﻀﻰ ﺑَﯿ َْﻦ اﻟ َﺨ ْﻠ‬ َ ‫ ﻓَﯿَ ْﺸﻔَ ُﻊ ﻟِﯿُ ْﻘ‬،‫َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬
‫»ﯾَﺤْ َﻤ ُﺪهُ أَ ْھ ُﻞ اﻟ َﺠ ْﻤ ِﻊ ُﻛﻠﱡﮭُ ْﻢ‬
"◌ِ Abdullah bin Umar radhiyallaahu ’anhuma berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya
Matahari akan mendekat pada hari Kiamat, sehingga keringat akan sampai pada separuh telinga. Maka ketika manusia
dalam kondisi demikian, mereka beristighatsah (meminta pertolongan) dengan Nabi Adam, kemudian dengan Nabi
Musa, kemudian dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau akan memberikan pertolongan
agar supaya ditetapkan keputusan di antara makhluk. Lalu ia berjalan hingga mengambil bundaran pintu. Pada hari
itulah Allah mengutusnya pada derajat yang terpuji, yang akan dipuji oleh seluruh manusia yang berkumpul pada
waktu itu." (HR al-Bukhari [1475]).

Dalil Kelima

Pertolongan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dalam melepaskan dari kesusahan tidak hanya dilakukan kepada
kalangan manusia. Tetapi juga dilakukan kepada makhluk hewan.

‫ ﻓﺄﺳ ﱠﺮ إﻟ ﱠ‬،‫ ﺧﻠﻔﮫ ذات ﯾﻮم‬-‫ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ‬- ‫ "أرْ َدﻓَﻨﻲ رﺳﻮل ﷲ‬:‫ﻋﻦ ﻋﺒﺪ ﷲ ﺑﻦ ﺟﻌﻔﺮ ﻗﺎل‬
‫ﻲ‬
-‫ﻲ‬
‫ ﻓَﻠَ ﱠﻤﺎ رأى اﻟﻨﺒ ﱠ‬،‫ ﻓﺈذا ﺟﻤﻞ‬،‫ ﻓﺪﺧﻞ ﺣﺎﺋﻄًﺎ ﻟﺮﺟﻞ ﻣﻦ اﻷﻧﺼﺎر‬:،‫ ﻻ أُﺣﺪث ﺑﮫ أﺣﺪًا ﻣﻦ اﻟﻨﺎس‬،‫ﺣﺪﯾﺜًﺎ‬
َ ‫ ﻓَ َﺴ َﻜ‬،ُ‫ ﻓ َﻤﺴ َﺢ ِذ ْﻓ َﺮاه‬،-‫ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ‬- ‫اﻟﻨﺒﻲ‬
،‫ﺖ‬ ‫ﱡ‬ ْ َ‫ و َذ َرﻓ‬،‫ َﺣ ﱠﻦ‬-‫ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ‬
‫ ﻓﺄﺗﺎه‬،‫ﺖ ﻋﯿﻨﺎه‬
‫ أﻓﻼ‬:‫ ﻓﻘﺎل‬،‫ ﻟﻲ ﯾﺎ رﺳﻮل ﷲ‬:‫ َﻣ ْﻦ َربﱡ ھﺬا اﻟﺠﻤﻞ؟ ﻟﻤﻦ ھﺬا اﻟﺠﻤﻞ؟ ﻓﺠﺎء ﻓﺘًﻰ ﻣﻦ اﻷﻧﺼﺎر ﻓﻘﺎل‬:‫ﻓﻘﺎل‬
‫ﻲ أﻧﻚ ﺗُﺠﯿﻌﮫ وﺗُ ْﺪﺋِﺒﮫ‬ ‫ﻚ ﱠ‬
‫ﷲ إﯾﱠﺎھﺎ؟ ﻓﺈﻧﮫ ﺷﻜﻰ إﻟ ﱠ‬ َ ‫"ﺗﺘﻘﻲ ﷲ ﻓﻲ ھﺬه اﻟﺒﮭﯿﻤﺔ اﻟﺘﻲ َﻣﻠﱠ َﻜ‬.
“Abdullah bin Ja’far berkata: “Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memboncengkan aku di
belakangnya. Beliau membisikkan pembicaraan kepadaku, yang tidak akan aku ceritakan kepada siapapun. Lalu
beliau memasuki kebun milik seorang laki-laki dari kaum Anshar. Ternyata di situ ada unta. Ketika unta itu melihat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berbunyi dan kedua matanya bercucuran. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mendatanginya, lalu mengusap telinganya. Unta itupun diam. Lalu beliau bertanya, “Siapa pemilik unta ini?
Unta ini milik siapa?” Lalu seorang laki-laki dari kaum Anshar datang, lalu
berkata: “Milikku wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Takutlah kamu kepada Allah mengenai hewan yang Allah
milikkan padamu ini. Ia mengadu kepadaku bahwa kamu membuatnya lapar dan kelelahan.”
Hadits shahih riwayat Muslim [342], Abu Dawud [2542] dan Ibnu Majah [340]. Dalam hadits, lain Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menolong kijang betina, dalam riwayat berikut ini:

ِ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻓِﻲ اﻟﺼﱠﺤْ َﺮا ِء ﻓَﺈ ِ َذا ُﻣﻨَﺎ ٍد ﯾُﻨَﺎ ِدﯾ ِﮫ ﯾَﺎ َرﺳُﻮ َل ﷲ‬ َ ِ‫ﺎن َرﺳُﻮ ُل ﷲ‬ َ ‫ َﻛ‬:‫ﺖ‬ ْ َ‫ ﻗَﺎﻟ‬،َ‫َﻋ ْﻦ أُ ﱢم َﺳﻠَ َﻤﺔ‬
:‫ ﻓَﻘَﺎ َل‬،‫ ا ْد ُن ِﻣﻨﱢﻲ ﯾَﺎ َرﺳُﻮ َل ﷲِ ﻓَ َﺪﻧَﺎ ِﻣ ْﻨﮭَﺎ‬:‫ﺖ‬ َ َ‫ ﺛُ ﱠﻢ ْاﻟﺘَﻔ‬،‫ ﻓَﻠَ ْﻢ ﯾَ َﺮ أَ َﺣﺪًا‬،‫ﺖ‬
ْ َ‫ ﻓَﻘَﺎﻟ‬،ٌ‫ﺖ ﻓَﺈِ َذا ظَ ْﺒﯿَﺔٌ ُﻣ َﻮﺛﱠﻘَﺔ‬ َ َ‫ﻓَ ْﺎﻟﺘَﻔ‬
:‫ ﻗَﺎ َل‬،‫ﻚ‬ ِ ْ‫ ﻓَﺄُر‬،‫ﺐ‬
َ ‫ ﺛُ ﱠﻢ أَرْ ِﺟ ُﻊ إِﻟَ ْﯿ‬،‫ﺿ َﻌﮭُ َﻤﺎ‬ َ َ‫ﻚ ْاﻟ َﺠﺒَ ِﻞ ﻓَ ُﺤﻠﱠﻨِﻲ َﺣﺘﱠﻰ أَ ْذھ‬َ ِ‫ إِ ﱠن ﻟِﻲ َﺧ َﺸﻔَﯿ ِْﻦ ﻓِﻲ َذﻟ‬:‫ﺖ‬ ْ َ‫» َﺣﺎ َﺟﺘَ ِﻚ؟« ﻗَﺎﻟ‬
‫ ﺛُ ﱠﻢ‬،‫ﺖ َﺧ َﺸﻔَ ْﯿﮭَﺎ‬ َ ْ‫ ﻓَﺄَر‬،‫ﺖ‬
ْ ‫ﺿ َﻌ‬ ْ َ ‫ ﻓَﺄ‬، ْ‫ﺎر إِ ْن ﻟَ ْﻢ أَ ْﻓ َﻌﻞ‬
ْ َ‫طﻠَﻘَﮭَﺎ ﻓَ َﺬھَﺒ‬ ِ ‫ َﻋ ﱠﺬﺑَﻨِﻲ ﷲُ ﺑِ َﻌ َﺬا‬:‫ﺖ‬
ِ ‫ب ْاﻟ ِﻌ َﺸ‬ ْ َ‫ ﻗَﺎﻟ‬، «‫ﯿﻦ؟‬ َ ِ‫» َوﺗَ ْﻔ َﻌﻠ‬
ْ َ ‫ ﻓَﺄ‬، «‫ﻖ ھَ ِﺬ ِه‬
‫طﻠَﻘَﮭَﺎ‬ ْ ُ‫ »ﻧَ َﻌ ْﻢ ﺗ‬:‫ ﻗَﺎ َل‬،ِ‫ﻚ َﺣﺎ َﺟﺔٌ ﯾَﺎ َرﺳُﻮ َل ﷲ‬
ُ ِ‫ﻄﻠ‬ َ َ‫ ﻟ‬:‫ ﻓَﻘَﺎ َل‬،‫ ﻓَﺄ َ ْوﺛَﻘَﮭَﺎ َوا ْﻧﺘَﺒَﮫَ ْاﻷَ ْﻋ َﺮاﺑِ ﱡﻲ‬،‫ﺖ‬ ْ ‫َر َﺟ َﻌ‬
َ ‫ أَ ْﺷﮭَ ُﺪ أَ ْن ﻻ إِﻟَﮫَ إِﻻ ﷲُ َوأَﻧﱠ‬:‫ َو ِھ َﻲ ﺗَﻘُﻮ ُل‬،‫ﺖ ﺗَ ْﻌ ُﺪو‬
ِ‫ﻚ َرﺳُﻮ ُل ﷲ‬ ْ ‫" ﻓَ َﺨ َﺮ َﺟ‬
“Ummu Salamah radhiyallaahu ‘anha berkata: “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di
padang pasir. Tiba-tiba ada yang memanggil, “Hai Rasulullah!” Beliau menoleh, ternyata tidak melihat sesuatu.
Kemudian menoleh, ternyata ada kijang betina yang diikat. Kijang itu berkata: “Hai Rasulullah, mendekatlah
kepadaku!” Beliau mendekat, lalu bertanya: “Apakah kamu ada perlu?” Ia menjawab: “Iya. Aku mempunyai dua anak
di gunung itu. Tolong lepaskan aku, untuk pergi menyusuinya, lalu aku akan kembali lagi kepadamu.” Beliau
bertanya: “Kamu akan kembali?” Ia menjawab: “Allah akan mengazabku seperti azab pengumpul pungutan liar jika
aku tidak kembali.” Lalu beliau melepasnya. Lalu ia pergi menyusui kedua anaknya. Kemudian kembali lagi dan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikatnya. Dan laki-laki A’rabi (yang memilikinya) terbangun. Ia bertanya: “Apakah
engkau ada keperluan hai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Iya, kamu lepaskan kijang betina ini.” Laki-laki itu
melepasnya. Kijang itu pergi berlari, dan berkata, “Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan bahwa engkau utusan
Allah.”
Hadits riwayat al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [763], Abu Nu’aim dalam Dalail al-Nubuwwah [273] al-
Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah juz 3 hlm 34-35 dan al-Muzali dalam Mishbah al-Zhalam hlm 193. Lihat al-
Hafizh Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah juz 6 hlm 155. Al-Shalihi berkata dalam Subul al-Huda wa al-Rasyad
juz 9 hlm 520, hadits ini memiliki banyak jalur yang saling menguatkan bahwa hadits ini memiliki asal. Dalam
riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga membantu melepaskan seekor burung merah dari
kesusahan.

‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻓِﻲ َﺳﻔَ ٍﺮ َو َﻣ َﺮرْ ﻧَﺎ‬ ِ ‫ ُﻛﻨﱠﺎ َﻣ َﻊ َرﺳ‬:‫ﷲُ َﻋ ْﻨﮫُ ﻗَﺎ َل‬
َ ِ‫ُﻮل ﷲ‬ ‫ﺿ َﻲ ﱠ‬ ِ ‫َﻋ ْﻦ َﻋ ْﺒ ِﺪ ﷲِ ﺑ ِْﻦ َﻣ ْﺴﻌُﻮ ٍد َر‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َو ِھ َﻲ‬ َ ِ‫ُﻮل ﷲ‬ ِ ‫ ﻓَ َﺠﺎ َء‬:‫ﺑِ َﺸ َﺠ َﺮ ٍة ﻓِﯿﮭَﺎ ﻓَﺮْ َﺧﺎ ُﺣ ﱠﻤ َﺮ ٍة ﻓَﺄ َ َﺧ ْﺬﻧَﺎھُ َﻤﺎ ﻗَﺎ َل‬
ِ ‫ت ْاﻟ ُﺤ ﱠﻤ َﺮةُ إِﻟَﻰ َرﺳ‬
:‫ ﻗَﺎ َل‬.‫ ﻧَﺤْ ُﻦ‬:‫ ﻓَﻘُ ْﻠﻨَﺎ‬:‫ » َﻣ ْﻦ ﻓَ َﺠ َﻊ ھَ ِﺬ ِه ﺑِﻔَﺮْ َﺧ ْﯿﮭَﺎ؟« ﻗَﺎ َل‬:‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬
َ ‫ﺼﯿ ُﺢ ﻓَﻘَﺎ َل اﻟﻨﱠﺒِ ﱡﻲ‬
ِ َ‫ﺗ‬
‫»ﻓَ ُﺮ ﱡدوھُ َﻤﺎ« ﻓﺮددﻧﺎھﻤﺎ إﻟﻰ ﻣﻮﺿﻌﮭﻤﺎ‬.

“Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Kami dalam perjalanan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Kami melewati pohon yang ada dua anak burung merah, lalu kami mengambilnya. Lalu seekor burung
merah betina mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil menjerit. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya: “Siapa yang merisaukan burung ini dengan mengambil kedua anaknya?” Kami berkata: “Kami yang
mengambilnya.” Beliau bersabda: “Kembalikan lagi.” Maka kami mengembalikannya ke tempatnya.”
Hadits shahih riwayat Abu Dawud [2668] dan al-Hakim [7599]. Pertolongan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam melepaskan kesusahan hidup tidak hanya terjadi pada masa hidupnya. Setelah wafat, beliau masih menjadi
penyebab terlepasnya banyak orang dari kesusahan. Seperti yang dialami oleh para ulama ahli hadits berikut ini:

‫ْﺦ ﻓِ ْﻲ َﺣ َﺮ ِم َرﺳ ُْﻮ ِل ﷲِ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ‬ ِ ‫ﺖ أَﻧَﺎ َواﻟﻄﱠﺒَ َﺮاﻧِ ﱡﻲ َوأَﺑُﻮ اﻟ ﱠﺸﯿ‬ ُ ‫ ُﻛ ْﻨ‬:‫ئ‬ ِ ‫ﻗَﺎ َل ْا ِﻹ َﻣﺎ ُم أَﺑ ُْﻮ ﺑَ ْﻜ ٍﺮ ﺑ ِْﻦ ْاﻟ ُﻤ ْﻘ ِﺮ‬
‫ت ﻗَ ْﺒ َﺮ اﻟﻨﱠﺒِ ﱢﻲ‬ُ ْ‫ﻀﺮ‬ َ ‫ﺖ ْاﻟ ِﻌ َﺸﺎ ِء َﺣ‬ ُ ‫ﺎن َو ْﻗ‬ َ ‫ ﻓَﻠَ ﱠﻤﺎ َﻛ‬،‫ﻚ ْاﻟﯿَ ْﻮ َم‬ َ ِ‫ﺻ ْﻠﻨَﺎ َذﻟ‬
َ ‫ع َو َوا‬ ُ ‫ َو ُﻛﻨﱠﺎ َﻋﻠَﻰ َﺣﺎﻟَ ٍﺔ َوأَﺛﱠ َﺮ ﻓِ ْﯿﻨَﺎ ْاﻟﺠ ُْﻮ‬،‫وﺳﻠﻢ‬
‫ اِﺟْ ﻠِﺲْ إِ ﱠﻣﺎ‬:‫ﺎﺳ ِﻢ‬ ِ َ‫ ﻓَﻘَﺎ َل ﻟِ ْﻲ أَﺑُﻮ ْاﻟﻘ‬.‫ﺖ‬ ُ ‫ﺼ َﺮ ْﻓ‬ َ ‫ َوا ْﻧ‬،‫ ﯾَﺎ َرﺳ ُْﻮ َل ﷲِ ْاﻟﺠ ُْﻮ َع ْاﻟﺠ ُْﻮ َع‬:‫ﺖ‬ ُ ‫ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻓَﻘُ ْﻠ‬
‫ْﺦ َواﻟﻄﱠﺒَ َﺮاﻧِ ﱡﻲ َﺟﺎﻟِﺲٌ ﯾَ ْﻨﻈُ ُﺮ ﻓِ ْﻲ َﺷ ْﻲ ٍء‬ ِ ‫ﺖ أَﻧَﺎ َوأَﺑُﻮ اﻟ ﱠﺸﯿ‬ ُ ‫ ﻓَﻨِ ْﻤ‬:‫ ﻗَﺎ َل أَﺑ ُْﻮ ﺑَ ْﻜ ٍﺮ‬،‫ت‬ ُ ‫ق أَ ْو ْاﻟ َﻤ ْﻮ‬ُ ‫أَ ْن ﯾَ ُﻜ ْﻮ َن اﻟﺮﱢ ْز‬
،‫اﺣ ٍﺪ ِﻣ ْﻨﮭُ َﻤﺎ َز ْﻧﺒِ ْﯿ ٌﻞ ﻓِ ْﻲ َﺷ ْﻲ ٍء َﻛﺜِﯿ ٍْﺮ‬
ِ ‫ﺎن َﻣ َﻊ ُﻛﻞﱢ َو‬ ِ ‫ق ﻓَﻔَﺘَﺤْ ﻨَﺎ ﻟَﮫُ ﻓَﺈِ ًذا َﻣ َﻌﮫُ ُﻏﻼَ َﻣ‬ ‫ب َﻋﻠَ ِﻮيﱞ ﻓَ َﺪ ﱠ‬ ِ ‫ﻀ َﺮ ﻓِﻲ ْاﻟﺒَﺎ‬ َ ‫ﻓَ َﺤ‬
ِ‫ْﺖ َرﺳ ُْﻮ َل ﷲ‬ ُ ‫ ﯾَﺎ ﻗَ ْﻮ ُم أَ َﺷ َﻜ ْﻮﺗُ ْﻢ إِﻟَﻰ َرﺳ ُْﻮ ِل ﷲِ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻓَﺈِﻧﱢ ْﻲ َرأَﯾ‬: ‫ ﻗَﺎ َل ْاﻟ َﻌﻠَ ِﻮيﱡ‬،‫ﻓَ َﺠﻠَ ْﺴﻨَﺎ َوأَ َﻛ ْﻠﻨَﺎ‬
‫ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻓِﻲ ْاﻟ َﻤﻨَ ِﺎم ﻓَﺄ َ َﻣ َﺮﻧِ ْﻲ أَ ْن أَﺣْ ِﻤ َﻞ ﺑِ َﺸ ْﻲ ٍء إِﻟَ ْﯿ ُﻜ ْﻢ‬.
“Al-Imam Abu Bakar bin al-Muqri’ berkata: “Saya berada di Madinah bersama al-Hafizh al-Thabarani dan al-Hafizh
Abu al-Syaikh. Kami dalam kondisi prihatin dan sangat lapar, selama satu hari satu malam belum makan. Setelah
waktu isya’ tiba, saya mendatangi makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu saya berkata: “Ya Rasulullah,
kami lapar, kami lapar”. Dan saya segera pulang. Lalu al-Hafizh Abu al-Qasim al-Thabarani bertaka: “Duduklah, kita
tunggu datangnya rezeki atau kematian”. Abu Bakar berkata: “Lalu aku dan Abu al-Syaikh tidur. Sedangkan al-
Thabarani duduk sambil melihat sesuatu. Tiba-tiba datanglah laki-laki ‘Alawi (keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam) dan mengetuk pintu. Kami membukakan pintu untuknya. Ternyata ia bersama dua orang budaknya yang
masing-masing membawa keranjang penuh dengan makanan. Lalu kami duduk dan makan bersama. Lalu laki-laki
‘Alawi itu berkata; “Hai kaum, apakah kalian mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Aku
bermimpi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyuruhku membawakan makanan untuk kalian”.
Kisah ini diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibn al-Jauzi (508-597 H/1114-1201 M) dalam al-Wafa bi-Ahwal al-Mushthafa
(hal. 818), al-Hafizh al-Dzahabi dalam Tadzkirat al-Huffazh (3/973), dalam Tarikh al-Islam (hal. 2808) dan disebutkan
oleh Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani dalam Hujjatullah ‘ala al-‘Alamin (hal. 805). Kisah-kisah shahih seperti ini
banyak kita jumpai dalam kitab-kitab sejarah seperti kitab Tarikh Dimasyq karya Ibnu Asakir, al-Muntazham karya
Ibnu al-Jauzi, dan kitab khusus yang memaparkan banyak sekali kisah-kisah seperti di ata, yang berjudul Mishbah al-
Zhalam fi al-Mustaghitsin bi-Khair al-Anam ‘alaih al-Shalah wa al-Salam fi al-Yaqzhah wa al-Manam, karya al-Imam
al-Muhaddits Ibnu al-Nu’man al-Muzali al-Marakisyi, wafat pada tahun 683 H. Kitab ini yang menjadi rujukan utama
Syaikh Yusuf al-Nabhani dalam kitabnya, Hujjatullaah ‘ala al-‘Alamin fi Mu’jizat Sayyid al-Mursalin shallallahu
‘alaihi wa sallam.

Berdasarkan paparan di atas, dapat dipahami bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi sebab hilangnya
banyak kesusahan dari siapapun, yang diredaksikan dengan wa tanfariju bihi al-kurab. Wallahu a’lam.
SYARAH SHALAWAT NARIYAH BERDASARKAN HADITS-HADITS NABI shallallahu
‘alaihi wa sallam
Bagian 3

Dalam redaksi shalawat Nariyah di atas disebutkan:

‫ﻀﻰ ﺑِ ِﮫ ْاﻟ َﺤ َﻮاﺋِﺞ‬


َ ‫َوﺗُ ْﻘ‬
Artinya: "Segala kebutuhan bisa terkabulkan sebab Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam."
Maksud redaksi tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa menjadi sebab terkabulnya hajat dan keperluan apa
saja. Hal ini bisa dilihat dari keterangan dalil-dalil dua bagian sebelumnya. Bisa juga dengan didasarkan pada
beberapa dalil berikut ini:

Dalil Pertama

Hadits tentang mukjizat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyembuhkan penyakit biduran yang
menimpa sebagian sahabat.

‫ﺎﺻﻢ ا ْﻣ َﺮأَة ﻋﺘﺒَﺔ ﺑﻦ ﻓﺮﻗﺪ ﻗَﺎﻟَﺖ ُﻛﻨﱠﺎ ِﻋ ْﻨﺪ ﻋﺘﺒَﺔ أَرﺑﻊ ﻧ ْﺴ َﻮة َﻣﺎ ﻣﻨﺎ ا ْﻣ َﺮأَة إِﻻ َو ِھﻲ ﺗﺠﺘﮭﺪ ﻓِﻲ اﻟﻄّﯿﺐ‬
ِ ‫َﻋﻦ أم َﻋ‬
‫ﺎن إِذا ﺧﺮج إِﻟَﻰ اﻟﻨﱠﺎس ﻗَﺎﻟُﻮا‬ َ ‫ﻟﺘَﻜﻮن أطﯿﺐ ﻣﻦ ﺻﺎﺣﺒﺘﮭﺎ َو َﻣﺎ ﯾﻤﺲ ﻋﺘﺒَﺔ اﻟﻄّﯿﺐ َوھُ َﻮ أطﯿﺐ رﯾﺤًﺎ ﻣﻨﺎ َو َﻛ‬
‫َﻣﺎ ﺷﻤﻤﻨﺎ رﯾﺤًﺎ أطﯿﺐ ﻣﻦ رﯾﺢ ﻋﺘﺒَﺔ ﻓَﻘُ ْﻠﻨَﺎ ﻟَﮫُ ﻓِﻲ َذﻟِﻚ ﻗَﺎ َل أَ َﺧ َﺬﻧِﻲ اﻟﺸﺮى ﻋﻠﻰ ﻋﮭﺪ َرﺳُﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ‬
‫َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َوﺳﻠﻢ ﻓﺸﻜﻮت َذﻟِﻚ إِﻟَ ْﯿ ِﮫ ﻓَﺄﻣﺮﻧِﻲ أَن أﺗﺠﺮد ﻓﺘﺠﺮدت َوﻗَ َﻌﺪت ﺑَﯿﻦ ﯾَ َﺪ ْﯾ ِﮫ وأﻟﻘﯿﺖ ﺛﻮﺑﻲ ﻋﻠﻰ ﻓَﺮﺟﻲ‬
‫ﻓﻨﻔﺚ ﻓِﻲ ﯾَﺪه ﺛ ﱠﻢ وﺿﻊ ﯾَﺪه ﻋﻠﻰ ظَﮭْﺮي وﺑﻄﻨﻲ ﻓﻌﺒﻖ ﺑِﻲ ھَ َﺬا اﻟﻄّﯿﺐ ﻣﻦ ﯾَ ْﻮﻣﺌِ ٍﺬ‬
“Ummu Ashim, istri sahabat Utbah bin Farqad berkata: “Kami bersama Utbah ada empat orang istri. Masing-masing
kami berusaha menggunakan parfum agar lebih harum dari yang lainnya. Utbah tidak pernah memakai parfum, tetapi
aromanya lebih harum daripada kami. Apabila Utbah pergi kepada orang-orang, mereka akan berkata, kami tidak
mencium aroma yang lebih harum daripada Utbah. Kami bertanya latar belakang keharumannya. Utbah berkata:
“Dulu saya terkena penyakit biduran pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu aku mengeluhkan
penyakit itu kepada beliau. Beliau menyuruh saya melepas pakaian. Aku melepaskan pakaian, duduk di depan beliau
dan bajuku aku tutupkan pada kemaluanku. Lalu beliau meludahi tangannya, kemudian meletakkan tangan itu ke
bagian punggung dan perutku, sehingga sejak saat itu aroma harum ini melekat pada tubuhku.”
Hadits shahih riwayat al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [329, 330, 331] dan al-Mu’jam al-Shaghir [98], Ibnu
Abi Ashim dalam al-Ahad wa al-Matsani [1387], Abu Nu’aim dalam al-Thibb al-Nabawi [480], dan Ma’rifah al-
Shahabah juz 4 hlm 2136, dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah juz 6 hlm 216. Al-Hafizh al-Suyuthi berkata
dalam al-Khashaish al-Kubra juz 2 hlm 141, sanad hadits ini jayyid (bagus).
Dalam hadits shahih di atas diterangkan, bahwa sahabat Utbah yang terkena penyakit biduran di kulitnya, setelah
kulitnya diusap dengan tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak hanya sembuh dari sakitnya, bahkan
kulitnya menjadi harum, dan lebih harum daripada orang yang memakai parfum apapun.

Dalil Kedua

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembuhkan dan mengembalikan mata sebagian sahabat yang keluar dan
menggantung di pipinya dalam suatu peperangan. Syaikh Ibnu Utsaimin, ulama Wahabi terkemuka berkata:
ْ ‫ﺻﺎ َر‬
‫ ﻓَ َﺠﺎ َء اﻟﻨﱠﺒِ ﱠﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ‬،‫ت َﻋﻠَﻰ َﺧ ﱢﺪ ِه‬ َ ‫ت َﻋ ْﯿﻨُﮫُ َﺣﺘﱠﻰ‬ْ ‫ُﺮ َح ﻓِ ْﻲ أُ ُﺣ ٍﺪ ﻧَ َﺪ َر‬ ِ ‫أَ ﱠن ﻗَﺘَﺎ َدةَ ﺑ َْﻦ اﻟﻨﱡ ْﻌ َﻤ‬
ِ ‫ﺎن ﻟَ َﻤﺎ ﺟ‬
،‫ ﺷﺮح اﻟﻌﻘﯿﺪة اﻟﻮاﺳﻄﯿﺔ‬،‫ )اﻟﻌﺜﯿﻤﯿﻦ‬.‫ت أَﺣْ َﺴ َﻦ َﻋ ْﯿﻨَ ْﯿ ِﮫ‬ ْ ‫ﺼﺎ َر‬ َ َ‫ ﻓ‬،‫ﺿ َﻌﮭَﺎ ﻓِ ْﻲ َﻣ َﻜﺎﻧِﮭَﺎ‬ َ ‫ َو َو‬،‫وﺳﻠﻢ ﻓَﺄ َ َﺧ َﺬھَﺎ ﺑِﯿَ ِﺪ ِه‬
630/‫)ص‬.
“Ketika Qatadah bin al-Nu’man terluka dalam peperangan Uhud, salah satu matanya keluar sehingga menggantung di
pipinya. Lalu ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengambil mata yang keluar itu dan meletakkannya pada tempatnya, sehingga pulih dan menjadi salah satu matanya
yang terbaik selama hidupnya.” (Ibnu ‘Utsaimin, Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, hal. 630).
Dalam hadits yang disebutkan oleh al-‘Utsaimin di atas, Sayidina Qatadah yang matanya keluar dan menggantung di
pipinya, tidak langsung berdoa kepada Allah. Tetapi beliau mendatangi Rasul shallallahu alaihi wa sallam, dan beliau
pun tidak menegurnya dengan berkata: “Mengapa kamu melapor kepadaku, dan tidak langsung berdoa kepada Allah”,
dan tidak pula berkata: “Kamu telah syirik, karena melaporkan penderitaanmu kepadaku, bukan kepada Allah.”
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil menyembuhkan matanya dengan izin Allah.

Dalil Ketiga

Hadits seorang sahabat yang selamat dari terkaman singa, setelah menjelaskan bahwa beliau adalah maula, budak atau
pembantu yang dimerdekakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

ُ ‫ ﻓَ َﺮ ِﻛﺒ‬, ‫ت ﺑِﻲ‬
‫ْﺖ ﻟَ ْﻮﺣًﺎ‬ ْ ‫ْﺖ َﺳﻔِﯿﻨَﺔً ﻓِﻲ ْاﻟﺒَﺤْ ِﺮ ﻓَﺎ ْﻧ َﻜ َﺴ َﺮ‬ ُ ‫ َر ِﻛﺒ‬:‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗَﺎ َل‬ َ ‫ َﻣ ْﻮﻟَﻰ اﻟﻨﱠﺒِ ﱢﻲ‬،َ‫َﻋ ْﻦ َﺳﻔِﯿﻨَﺔ‬
‫ أَﻧَﺎ َﺳﻔِﯿﻨَﺔُ َﻣ ْﻮﻟَﻰ‬،‫ث‬
ِ ‫ﺎر‬ ِ ‫ ﯾَﺎ أَﺑَﺎ ْاﻟ َﺤ‬:‫ﺖ‬ ُ ‫ ﻓَﻠَ ﱠﻤﺎ َرأَ ْﯾﺘُﮫُ ﻗُ ْﻠ‬, ‫ِﻣ ْﻨﮭَﺎ ﻓَﺄ َ ْﺧ َﺮ َﺟﻨِﻲ إِﻟَﻰ أَ َﺟ َﻤ ٍﺔ ﻓِﯿﮭَﺎ أَ َﺳ ٌﺪ إِ ْذ أَ ْﻗﺒَ َﻞ ْاﻷَ َﺳ ُﺪ‬
‫ ﺛُ ﱠﻢ َﻣ َﺸﻰ َﻣ ِﻌﻲ َﺣﺘﱠﻰ أَﻗَﺎ َﻣﻨِﻲ َﻋﻠَﻰ‬, ‫ﺿ َﺮﺑَﻨِﻲ ﺑِ َﻤ ْﻨ ِﻜﺒِ ِﮫ‬ َ ‫ ﻓَﺄ َ ْﻗﺒَ َﻞ ﻧَﺤْ ِﻮي َﺣﺘﱠﻰ‬،‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬ َ ِ‫ُﻮل ﷲ‬ ِ ‫َرﺳ‬
ُ ‫ ﻓَ َﺮأَﯾ‬, ‫ﺿ َﺮﺑَﻨِﻲ ﺑِ َﺬﻧَﺒِ ِﮫ‬
‫ْﺖ أَﻧﱠﮫُ ﯾُ َﻮ ﱢد ُﻋﻨِﻲ‬ َ ‫ ﺛُ ﱠﻢ ھَ ْﻤﮭَ َﻢ َو‬:‫ ﻗَﺎ َل‬, ‫ﯾﻖ‬
ِ ‫اﻟﻄﱠ ِﺮ‬
“Safinah, maula (budak yang dimerdekakan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Aku menaiki perahu di
lautan. Lalu perahu itu pecah. Maka aku menaiki satu papan dari perahu itu. Akhirnya mengantarkan aku sampai ke
hutan yang ada singanya. Tiba-tiba seekor singa mengadapku. Begitu aku melihatnya, aku berkata: “Hai singa, aku
Safinah, maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Lalu ia menghampiriku hingga menggiringku dengan
pundaknya. Kemudian ia berjalan bersamaku hingga mengantarkan aku ke jalan yang benar. Kemudian ia bersuara
sebentar dan memukulkan ekornya kepadaku. Aku mengira bahwa ia mengucapkan selamat tinggal kepadaku.”

Hadits shahih riwayat al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [6432], al-Hakim dalam al-Mustadrak juz 3 hlm 606,
Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ juz 1 hlm 369 dan Dalail al-Nubuwwah [511], al-Bazzar (Kasyf al-Astar
[2733]), dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah juz 6 hlm 45 dan al-I’tiqad hlm 368. Al-Hakim berkata, hadits ini
sesuai persyaratan Muslim dan al-Dzahabi menyetujuinya.
Hadits shahih di atas memberikan penjelasan bahwa Safinah radhiyallaahu ‘anhu yang tersesat di hutan tempat singa,
selamat dari terkaman singa, setelah memberitahu bahwa beliau adalah maula yaitu budak atau pembantu yang
dimerdekakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian setelah itu beliau diantarkan ke jalan yang
benar.
Dalil Keempat

Hadits seorang laki-laki tuna netra yang memohon kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk mendoakannya
agar sembuh dari kebutaan. Hadits tersebut dikenal dengan hadits dharir, maksudnya hadits seorang tuna netra yang
menginginkan kesembuhan.
Sahabat Utsman bin Hunaif radhiyallaahu ‘anhu berkata, bahwa seorang laki-laki tuna netra datang kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata: “Doakan kepada Allah agar menyembuhkan aku dari kebutaan.” Beliau
bersabda: “Kalau kamu mau, kamu aku doakan. Tetapi kalau kamu mau, kamu sabar saja dengan kebutaan ini, dan ini
yang lebih baik baik bagimu.” Laki-laki itu berkata: “Doakan saja agar sembuh.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyuruh laki-laki itu melakukan wudhu dengan baik, lalu menunaikan shalat dua rakaat, kemudian membaca
doa ini:

‫ﻚ إِﻟَﻰ َرﺑﱢﻲ ﻓِﻲ َﺣﺎ َﺟﺘِﻲ‬ ُ ‫ إِﻧﱢﻲ ﺗَ َﻮ ﱠﺟ ْﮭ‬،‫ ﯾَﺎ ُﻣ َﺤ ﱠﻤ ُﺪ‬،‫ﻚ ُﻣ َﺤ ﱠﻤ ٍﺪ ﻧَﺒِ ﱢﻲ اﻟﺮﱠﺣْ َﻤ ِﺔ‬
َ ِ‫ﺖ ﺑ‬ َ ‫ َوأَﺗَ َﻮ ﱠﺟﮫُ إِﻟَ ْﯿ‬،‫ﻚ‬
َ ‫ﻚ ﺑِﻨَﺒِﯿﱢ‬ َ ُ‫اﻟﻠﮭُ ﱠﻢ إِﻧﱢﻲ أَﺳْﺄَﻟ‬
‫ﻲ‬‫ اﻟﻠﮭُ ﱠﻢ َﺷﻔﱢ ْﻌﮫُ ﻓِ ﱠ‬،‫ﻀﻲ ﻟِﻲ‬ ِ ‫ ﻓَﺘَ ْﻘ‬،‫ھَ ِﺬ ِه‬
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, dan aku bertawasul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, Muhammad,
Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku bertawasul denganmu kepada Tuhanku mengenai
hajatku ini, agar engkau mengabulkan untukku. Ya Allah terimalah pertolongan Nabi untukku.”
Lalu laki-laki buta itu melaksanakan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,dan demi Allah kita belum
berpisah dan belum lama dalam majlis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba laki-laki itu kembali datang
ke majlis dan telah bisa melihat, seakan-akan sebelumnya tidak pernah terkena kebutaan sama sekali.”
Hadits shahih riwayat Ahmad [17240], Abd bin Humaid dalam al-Muntakhab [379], al-Tirmidzi [3578], al-Nasai
dalam al-Kubra [10495] dan ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah [659], Ibnu Majah [1385], Ibnu Khuzaimah [1219], al-
Hakim dalam al-Mustadrak juz 1 hlm 313 dan 519, al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [8311] dan al-Mu’jam al-
Shaghir [508], Ibnu al-Sunni dalam ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah [633] dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah juz
6 hlm 166. Hadits tersebut dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, al-Tirmidzi, al-Thabarani, al-Hakim, al-Baihaqi dan
lain-lain.
Hadits shahih di atas menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi sebab terkabulnya doa
seorang tuna netra tersebut yang menginginkan kesembuhan dari kebutaannya. Doa tersebut dianjurkan oleh para
ulama untuk dibaca dalam hajat-hajat yang lain.

Sebagian kaum Wahabi yang alergi dengan kesunnahan tawasul dan istighatsah, mengatakan bahwa doa di atas boleh
dilakukan ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Sedangkan setelah beliau wafat, membaca doa
tersebut tidak boleh karena termasuk perbuatan syirik. Tentu saja pernyataan kaum Wahabi tersebut salah fatal dan
tidak benar. Karena setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, doa tersebut masih diajarkan oleh sahabat kepada
muridnya.
Al-Thabarani meriwayatkan, bahwa sahabat Utsman bin Hunaif, perawi hadits dharir di atas, melihat seorang laki-laki
yang mondar mandir ke pintu rumah Khalifah Utsman bin Affan, radhiyallaahu ‘anhu. Lalu laki-laki itu ditanya oleh
Utsman bin Hunaif, mengapa mondar mandir ke pintu rumah Khalifah Utsman. Laki-laki itu menjawab, bahwa ia
mengajukan permohonan kepada Khalifah, tetapi sampai saat ini belum dipanggil dan permohonan belum dikabulkan.
Lalu Utsman bin Hunaif menyarankan laki-laki tersebut untuk mengamalkan doa hadits dharir di atas. Begitu ia
melakukan, dan mendatangi pintu Khalifah Utsman, pintu langsung dibukakan, lalu dipanggil dan permohonannya
dikabulkan oleh Khalifah Utsman.
Setelah para sahabat tiada, doa hadits dharir tersebut masih diamalkan oleh generasi salaf yang shaleh. Al-Imam Ibnu
Abi al-Dunya meriwayatkan dari Katsir bin Muhammad, bahwa seorang laki-laki datang kepada Imam Abdul Malik
bin Hayyan bin Said bin al-Hasan bin Abjar untuk mengobati sakit perutnya yang membengkak. Lalu Ibnu Abjar
meraba perut laki-laki tersebut. Lalu ia berkata: “Di perutmu ada penyakit yang tidak akan sembuh.” Laki-laki itu
bertanya: “Penyakit apa?” Ibnu Abjar menjawab: “Pembengkakan kecil (semacam kangker)”. Lalu laki-laki itu
berpaling dan membaca doa berikut ini:

،‫ ﻧَﺒِ ﱢﻲ اﻟﺮﱠﺣْ َﻤ ِﺔ‬،‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬ َ ‫ اﻟﻠﱠﮭُ ﱠﻢ إِﻧﱢﻲ أَﺗَ َﻮ ﱠﺟﮫُ إِﻟَ ْﯿ‬،‫ك ﺑِ ِﮫ أَ َﺣﺪًا‬
َ ‫ﻚ ﺑِﻨَﺒِﯿﱢ‬
َ ‫ﻚ ُﻣ َﺤ ﱠﻤ ٍﺪ‬ ُ ‫ َرﺑﱢﻲ ﻻ أُ ْﺷ ِﺮ‬،ُ‫ ﷲ‬،ُ‫ﷲ‬
ُ‫ﻚ َو َرﺑﱢﻲ أَ ْن ﯾَﺮْ َﺣ َﻤﻨِﻲ ِﻣ ﱠﻤﺎ ﺑِﻲ َرﺣْ َﻤﺔً ﯾُ ْﻐﻨِﯿﻨِﻲ ﺑِﮭَﺎ َﻋ ْﻦ َرﺣْ َﻤ ِﺔ َﻣ ْﻦ ِﺳ َﻮاه‬ َ ‫ﻚ إِﻟَﻰ َرﺑﱢ‬ َ ِ‫ إِﻧﱢﻲ أَﺗَ َﻮ ﱠﺟﮫُ ﺑ‬،‫ﯾَﺎ ُﻣ َﺤ ﱠﻤ ُﺪ‬
Ia membaca doa tersebut sebanyak tiga kali. Kemudian ia menghampiri Ibnu Abjar lagi untuk memeriksa perutnya.
Setelah memeriksa, Ibnu Abjar berkata: “Kamu telah sembuh, penyakitnya sudah tidak ada.” (Ibnu Abi al-Dunya,
Mujabu al-Da’wah [127]).
Ibnu Abjar di atas adalah seorang hafizh (penghapal hadits), termasuk perawi yang diterima dalam kitab Muslim, Abu
Dawud, al-Tirmidzi dan al-Nasai. Ia juga ahli pengobatan yang tidak mengambil upah dalam mengobati seseorang. Ia
dinilai tsiqah (dipercaya) oleh Ahmad bin Hanbal, Ibnu Ma’in dan lain-lain. Mereka juga memujinya sebagai orang
yang baik. Wallahu a’lam. (Al-Ghumari, Mausu’ah Sayyidi al-Ghumari al-Hasani, juz 14 hlm 527).
Doa dalam hadits dharir di atas memang ampuh dan luar biasa. Ada beberapa pengalaman beberapa orang yang ingin
saya ceritakan di sini seputar keampuhan doa di atas.
Sekitar akhir tahun 2005, seorang sahabat saya, pagi-pagi menghubungi saya via telepon seluler. Ternyata dalam
pembicaraan itu, ia meminta maaf kepada saya, karena khawatir segera meninggal dunia. Karena selama beberapa hari
telah berbaring di rumah sakit, karena menderita penyakit komplikasi. Akhirnya setiap pagi, saya sempatkan
menelepon teman ini, memberinya motivasi untuk sembuh dari sakitnya. Kira-kira dapat dua minggu, teman ini
kemudian tidak bisa dihubungi, selulernya tidak aktif. Saya berpikir mungkin orang ini sudah meninggal dunia.
Kira-kira sekitar tujuh bulan kemudian, teman ini menghubungi saya dengan nomor baru. Saya bertanya, bagaimana
keadaan Anda sekarang? Ia menjawab, ada dua kabar gembira tentang saya. Pertama, saya alhamdulillah sudah sehat
wal afiyat. Kedua, saya sudah menambah istri lagi. Begitu kata teman saya itu. Saya bertanya, apa yang Anda baca,
sehingga mudah sekali berpoligami. Ia jawab, mengamalkan doa dalam hadits dharir di atas. Kata teman tadi, setelah
mengamalkan doa tersebut, justru istrinya yang memotivasi untuk berpoligami. Teman tadi bilang, bahwa ia
mendapatkan ijazah doa hadits dharir tersebut dari saya ketika sama-sama di pesantren dulu. Saya sendiri tidak ingat
kalau pernah memberikan ijazah

doa tersebut kepada teman tadi. Pada tahun 2011, ketika saya mengisi acara di rumah beliau, istrinya sudah tiga orang.
Sekitar awal tahun 2014, saya mengisi acara pelatihan selama tiga hari, yang diikuti oleh lima puluh orang para ulama
dan ustadz yang diadakan oleh Mufti Kerajaan Johor Malaysia. Dalam acara pelatihan tersebut, saya berbicara tentang
Ahlussunnah Wal-Jamaah, Syiah dan Wahabi. Dalam kesempatan tersebut saya sempat berbicara tentang hadits dharir
dan pengalaman teman saya yang mudah berpoligami dengan mengamalkannya.
Kemudian kira-kira awal tahun 2016, ketika saya akan pulang dari Johor, dalam suatu acara penting, sesampainya di
Bandara Senai, ada seorang ustadz yang pernah mengikuti pelatihan tersebut menyalami saya dengan penuh hormat.
Ia membawa istri dan anaknya yang masih balita. Saya bertanya, itu keluargamu? Ia menjawab, “Ini barokah
mengikuti pelatihan Anda awal 2014.” Saya tidak mengerti dengan maksud jawaban ustadz tersebut. Saya bertanya
lagi, maksudnya bagaimana? Kemudian seorang pejabat dari Jabatan Agama Johor yang mengantarkan saya ke
Bandara, membisiki saya, bahwa wanita ini adalah istri mudanya dan baru melahirkan anaknya. Saya bertanya lagi,
jadi Anda berpoligami? Ia menjawab, ia dan alhamdulillah dimudahkan setelah mengamalkan doa hadits dharir di
atas.
Pada akhir tahun yang lalu, ada seorang teman mengabarkan kepada saya, bahwa seorang ustadz terkenal dan alumni
al-Azhar yang sering mengikuti acara saya di Johor Malaysia, telah melakukan poligami secara diam-diam, tetapi
dengan persetujuan istri pertama dan keluarganya. Ketika ustadz ini menjumpai saya, saya bertanya tentang proses
poligaminya? Ia menjawab, prosesnya mudah dan lancar setelah mengamalkan doa hadits dharir di atas di Multazam,
di depan Ka’bah ketika menunaikan ibadah umrah.
Itulah sebagian kisah beberapa orang yang dimudahkan berpoligami dengan mengamalkan hadits dharir di atas.
Karena itu para ulama menganjurkan mengamalkan hadits dharir tersebut apabila ada keperluan dan hajat yang ingin
dimudahkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala.
Berdasarkan paparan di atas jelas sekali bahwa baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebab
terkabulnya banyak hajat dan keperluan, sehingga masuk dalam redaksi shalawat Nariyah dengan kalimat, wa tuqdha
bihi al-hawaij. Hadits-hadits seperti di atas sebenarnya banyak sekali didapati dalam kitab-kitab hadits. Tulisan ini
hanya mengutip sebagian kecil saja. Wallahu a’lam.
SYARAH SHALAWAT NARIYAH BERDASARKAN HADITS-HADITS NABI shallallahu
‘alaihi wa sallam
Bagian 4
ُ‫َوﺗُﻨَﺎ ُل ﺑِ ِﮫ اﻟ ﱠﺮ َﻏﺎﺋِﺐ‬
Artinya: "Segala keinginan bisa digapai dengan sebab Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam."
Setiap orang pasti memiliki banyak keinginan dan impian yang ingin dicapai dengan mudah. Baik hal itu berkaitan
dengan kehidupan dunia maupun berkaitan dengan kehidupan akhirat. Di antara cara yang dilakukan oleh orang-orang
shaleh agar impian dan keinginan mereka tercapai, adalah menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai wasilah, sebab musabab dan perantara kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Hadits-hadits shahih yang menjadi
dasar hal ini banyak sekali, antara lain adalah:

Dalil Pertama

Setiap wanita pasti menginginkan wajah yang tetap cantik dan selalu awet muda. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga menjadi sebab seorang wanita tetap awet muda dan cantik.

:‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﯾﻐﺘﺴﻞ ﺗﻘﻮل‬


َ ِ‫ ﻛﺎﻧﺖ أﻣﻲ إذا َد َﺧ َﻞ َرﺳُﻮ ُل ﷲ‬:‫ﻋﻦ زﯾﻨﺐ ﺑﻨﺖ أﺑﻲ ﺳﻠﻤﺔ ﻗﺎﻟﺖ‬
‫ ورأﯾﺖ‬:‫ ﻗﺎﻟﺖ أم ﻋﻄﺎف‬-‫ ارﺟﻌﻲ‬:‫ ﻓﺈذا دﺧﻠﺖ ﻋﻠﯿﮫ ﻧﻀﺢ ﻓﻲ وﺟﮭﻲ ﻣﻦ اﻟﻤﺎء وﯾﻘﻮل‬.‫ادﺧﻠﻲ ﻋﻠﯿﮫ‬
‫زﯾﻨﺐ وھﻲ ﻋﺠﻮز ﻛﺒﯿﺮة ﻣﺎ ﻧﻘﺺ ﻣﻦ وﺟﮭﮭﺎ ﺷﻲء‬.
“Zainab binti Abi Salamah berkata: “Ibuku (Ummul Mukminin Ummu Salamah), apabila Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mandi, akan berkata: “Masuklah kepada beliau”. Maka apabila aku masuk, beliau akan
memercikkan air ke wajahku dan berkata: “Kembalilah.” Ibu Aththaf [perawi hadits ini] berkata: “Aku melihat Zainab
telah lanjut usia, wajahnya tidak kurang sedikitpun.”
Hadits shahih riwayat Ibnu al-Atsir dalam Usud al-Ghabah juz 6 hlm 132. Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh al-
Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [712] dan al-Mu’jam al-Ausath [9096] dengan sanad yang hasan, sebagaimana
dijelaskan oleh al-Hafizh al-Haitsami dalam Majma’ al-Zawaid juz 1 hlm 269.
Hadits shahih di atas menjelaskan, bahwa apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi di rumah Ummu
Salamah radhiyallaahu ‘anha, maka ia akan menyuruh putrinya, Zainab binti Abi Salamah yang masih kecil untuk
menghampiri beliau. Ketika ia masuk, beliau akan memercikkan air ke wajahnya dan menyuruhnya kembali. Kata
para ulama, berkah dari percikan air itu, wajah Zainab binti Abi Salamah, meskipun usianya hampir 100 tahun, tetap
kelihatan cantik dan masih muda.

Dalil Kedua

Setiap orang pasti menginginkan dicintai banyak orang. Seorang kepala bagian, ingin dicintai bawahannya. Seorang
pemimpin ingin dicintai rakyatnya. Seorang tokoh dan ulama ingin dicintai umatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dapat menjadi sebab seseorang dicintai banyak orang.

‫ َو َﻣﺎ‬:‫ﺖ‬ ُ ‫ ﻗُ ْﻠ‬.‫ﻖ ﷲُ ُﻣ ْﺆ ِﻣﻨًﺎ ﯾَ ْﺴ َﻤ ُﻊ ﺑِﻲ َوﻻ ﯾَ َﺮاﻧِﻲ إِﻻّ أَ َﺣﺒﱠﻨِﻲ‬ َ َ‫ َوﷲِ َﻣﺎ َﺧﻠ‬:‫ ﻗَﺎ َل أَﺑُﻮ ھُ َﺮ ْﯾ َﺮةَ ﻟَﻨَﺎ‬،‫ﯿﺮ‬ ٍ ِ‫َﻋ ْﻦ أَﺑِ ْﻲ َﻛﺜ‬
‫ﺖ‬ْ َ‫ َو َﻛﺎﻧ‬،‫ﺖ أَ ْد ُﻋﻮھَﺎ إِﻟَﻰ ْا ِﻹ ْﺳﻼَ ِم‬ ُ ‫ َوإِﻧﱢﻲ ُﻛ ْﻨ‬،ً‫ﺖ ا ْﻣ َﺮأَةً ُﻣ ْﺸ ِﺮ َﻛﺔ‬ِ َ‫ إِ ﱠن أُ ﱢﻣﻲ َﻛﺎﻧ‬:‫ﻚ ﯾَﺎ أَﺑَﺎ ھُ َﺮ ْﯾ َﺮةَ؟ ﻗَﺎ َل‬ َ ‫ِﻋ ْﻠ ُﻤ‬
َ ِ‫ﻚ ﺑِ َﺬﻟ‬
ِ‫ْﺖ َرﺳُﻮ َل ﷲ‬ ُ ‫ ﻓَﺄَﺗَﯿ‬،ُ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ َﻣﺎ أَ ْﻛ َﺮه‬ َ ِ‫ُﻮل ﷲ‬ ِ ‫ ﻓَﺄ َ ْﺳ َﻤ َﻌ ْﺘﻨِﻲ ﻓِﻲ َرﺳ‬،‫ ﻓَ َﺪ َﻋ ْﻮﺗُﮭَﺎ ﯾَ ْﻮ ًﻣﺎ‬،‫ﻲ‬ ‫ﺗَﺄْﺑَﻰ َﻋﻠَ ﱠ‬
‫ﺖ ﺗَﺄْﺑَﻰ‬ ْ َ‫ َو َﻛﺎﻧ‬،‫ﺖ أَ ْد ُﻋﻮ أُ ﱢﻣﻲ إِﻟَﻰ ْا ِﻹ ْﺳﻼَ ِم‬ ُ ‫ إِﻧﱢﻲ ُﻛ ْﻨ‬،ِ‫ ﯾَﺎ َرﺳُﻮ َل ﷲ‬:‫ﺖ‬ ُ ‫ ﻓَﻘُ ْﻠ‬،‫ َوأَﻧَﺎ أَ ْﺑ ِﻜﻲ‬،‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬ َ
ِ‫ ﻓَﻘَﺎ َل َرﺳُﻮ ُل ﷲ‬.َ‫ي أُ ﱠم أَﺑِﻲ ھُ َﺮ ْﯾ َﺮة‬
َ ‫ع ﷲَ أَ ْن ﯾَ ْﮭ ِﺪ‬ ُ ‫ ﻓَﺎ ْد‬،ُ‫ﻚ َﻣﺎ أَ ْﻛ َﺮه‬
َ ‫ َوإِﻧﱢﻲ َد َﻋ ْﻮﺗُﮭَﺎ ْاﻟﯿَ ْﻮ َم ﻓَﺄ َ ْﺳ َﻤ َﻌ ْﺘﻨِﻲ ﻓِﯿ‬،‫ﻲ‬
‫َﻋﻠَ ﱠ‬
ُ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲ‬َ ِ‫ُﻮل ﷲ‬ِ ‫ﺖ أَ ْﻋ ُﺪو أُﺑَ ﱢﺸ ُﺮھَﺎ ﺑِ ُﺪ َﻋﺎ ِء َرﺳ‬ ُ ْ‫ ﻓَ َﺨ َﺮﺟ‬.«َ‫ »اﻟﻠﱠﮭُ ﱠﻢ ا ْھ ِﺪ أُ ﱠم أَﺑِﻲ ھُ َﺮ ْﯾ َﺮة‬:‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬ َ
‫ ﯾَ ْﻌﻨِﻲ‬- ‫ﻒ ِرﺟْ ٍﻞ‬ َ ‫ْﺖ َﺧ ْﺸ‬ ُ ‫ َو َﺳ ِﻤﻌ‬،‫ﻀﺔَ ْاﻟ َﻤﺎ ِء‬
َ ‫ْﺖ ﺧَﻀْ َﺨ‬ ُ ‫ َو َﺳ ِﻤﻌ‬،‫ﺎف‬ ٍ ‫ﺎب إِ َذا ھُ َﻮ ُﻣ َﺠ‬ َ َ‫ْﺖ ْاﻟﺒ‬ ُ ‫ ﻓَﻠَ ﱠﻤﺎ أَﺗَﯿ‬،‫َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬
،‫ﺎرھَﺎ‬ ِ ‫ﺖ َﻋ ْﻦ ِﺧ َﻤ‬ْ َ‫ﺖ ِدرْ َﻋﮭَﺎ َو َﻋ ِﺠﻠ‬ َ َ‫ﺖ ْاﻟﺒ‬
ْ ‫ﺎب َوﻗَ ْﺪ ﻟَﺒِ َﺴ‬ ِ ‫ ﺛُ ﱠﻢ ﻓَﺘَ َﺤ‬.‫ﺖ‬َ ‫ َﻛ َﻤﺎ أَ ْﻧ‬،َ‫ ﯾَﺎ أَﺑَﺎ ھُ َﺮ ْﯾ َﺮة‬:‫ﺖ‬ ْ َ‫ ﻓَﻘَﺎﻟ‬،- ‫َو ْﻗ َﻌﮭَﺎ‬
‫ْﺖ إِﻟَﻰ‬ُ ‫ ﻓَ َﺮ َﺟﻌ‬.‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬ َ ُ‫ َوأَ ﱠن ُﻣ َﺤ ﱠﻤﺪًا َﻋ ْﺒ ُﺪهُ َو َرﺳُﻮﻟُﮫ‬،ُ‫ إِﻧﱢﻲ أَ ْﺷﮭَ ُﺪ أَ ْن ﻻَ إِﻟَﮫَ إِﻻﱠ ﷲ‬:‫ﺖ‬ ْ َ‫ﻓَﻘَﺎﻟ‬
‫ ﻓَﻘَ ِﺪ‬، ْ‫ أَﺑ ِْﺸﺮ‬،ِ‫ ﯾَﺎ َرﺳُﻮ َل ﷲ‬:‫ﺖ‬ ُ ‫ ﻓَﻘُ ْﻠ‬،‫ْﺖ ِﻣ َﻦ ْاﻟﺤ ُْﺰ ِن‬
ُ ‫ح َﻛ َﻤﺎ ﺑَ َﻜﯿ‬ِ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ أَ ْﺑ ِﻜﻲ ِﻣ َﻦ ْاﻟﻔَ َﺮ‬ َ ِ‫ُﻮل ﷲ‬
ِ ‫َرﺳ‬
‫ع ﷲَ أَ ْن ﯾُ َﺤﺒﱢﺒَﻨِﻲ أَﻧَﺎ َوأُ ﱢﻣﻲ إِﻟَﻰ‬ ُ ‫ ا ْد‬،ِ‫ ﯾَﺎ َرﺳُﻮ َل ﷲ‬:‫ﺖ‬ ُ ‫ ﻓَﻘُ ْﻠ‬.َ‫ َوﻗَ ْﺪ ھَ َﺪى أُ ﱠم أَﺑِﻲ ھُ َﺮ ْﯾ َﺮة‬،‫ك‬ َ ‫ﺎب ﷲُ ُد َﻋﺎ َء‬
َ ‫ا ْﺳﺘَ َﺠ‬
َ ‫ »اﻟﻠﱠﮭُ ﱠﻢ َﺣﺒﱢﺐْ ُﻋﺒَ ْﯿ َﺪ‬:‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬
‫ك ھَ َﺬا َوأُ ﱠﻣﮫُ إِﻟَﻰ‬ َ ِ‫ ﻓَﻘَﺎ َل َرﺳُﻮ ُل ﷲ‬.‫ﯿﻦ َوﯾُ َﺤﺒﱢﺒَﮭُ ْﻢ إِﻟَ ْﯿﻨَﺎ‬ َ ِ‫ِﻋﺒَﺎ ِد ِه ا ْﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨ‬
َ َ‫ ﻓَ َﻤﺎ َﺧﻠ‬.«‫ﯿﻦ َو َﺣﺒﱢ ْﺒﮭُ ْﻢ إِﻟَ ْﯿ ِﮭ َﻤﺎ‬
‫ أَ ْو ﯾَ َﺮى أُ ﱢﻣﻲ إِﻻّ َوھُ َﻮ‬،‫ﻖ ﷲُ ُﻣ ْﺆ ِﻣﻨًﺎ ﯾَ ْﺴ َﻤ ُﻊ ﺑِﻲ َو َﻻ ﯾَ َﺮاﻧِﻲ‬ َ ِ‫ك ْاﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨ‬ َ ‫ِﻋﺒَﺎ ِد‬
‫ﯾ ُِﺤﺒﱡﻨِﻲ‬
“Dari Abu Katsir, “Abu Hurairah berkata kepada kami: “Allah tidak menciptakan seorang yang beriman yang
mendengar tentang aku dan tidak melihatku kecuali pasti mencintaiku.” Aku berkata: “Apa yang membuat Anda
meyakini hal itu wahai Abu Hurairah?” Ia berkata: “Sesungguhnya ibuku dulunya seorang musyrik. Aku mengajaknya
untuk masuk Islam, tetapi selalu menolak. Pada suatu hari aku mengajaknya untuk masuk Islam, lalu ia
memperdengarkan kepadaku sesuatu yang tidak menyenangkan tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil menangis.
Aku berkata: “Pada hari ini aku mengajaknya untuk masuk Islam, lalu ia memperdengarkan kepadaku kata-kata yang
tidak menyenangkan tentang engkau. Doakanlah kepada Allah agar memberi petunjuk kepada

ibu Abu Hurairah.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada ibu
Abu Hurairah.”
Lalu aku pergi berlari untuk mengabarkan berita gembira kepada ibuku tentang doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Ketika aku sampai di depan pintu, ternyata terkunci. Aku mendengar suara air. Lalu mendengar suara langkah
kaki. Tiba-tiba ibuku berkata: “Abu Hurairah, sepertinya kamu?” Kemudian ia membuka pintu. Ia telah memakai baju
dan kerudung. Lalu berkata: “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan
utusan Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Lalu aku kembali kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil menangir karena bahagia sebagaimana aku
menangis karena bersedih. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, bergembiralah. Allah telah mengabulkan doamu dan telah
memberi petunjuk kepada ibu Abu Hurairah.” Lalu aku berkata: “Wahai Rasulullah, doakanlah kepada Allah agar
menjadikan aku dan ibuku dicintai oleh hamba-hamba-Nya yang beriman dan menjadikan kami mencintai mereka.”
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa: “Ya Allah, jadikanlah hamba-Mu ini dan ibunya dicintai hamba-
hamba-Mu yang beriman dan jadikan keduanya mencintai mereka.” Maka Allah tidak menciptakan seorang mukmin
yang mendengar tentang aku dan tidak melihatku atau melihat ibuku, kecuali pasti mencintaiku.” Hadits shahih
riwayat Mulim [2491] dan Ahmad [8259]. Redaksi hadits di atas adalah redaksi Ahmad.
Dalam hadits di atas, sahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu memohon kepada baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk didoakan kepada Allah agar mencintai dan dicintai setiap orang yang beriman. Berkat doa tersebut,
setiap orang yang beriman pasti mencintai beliau. Karena itu beliau adalah sahabat yang paling banyak muridnya.
Tidak heran apabila beliau menjadi sahabat yang haditsnya paling banyak diriwayatkan orang.
Dalil Ketiga

Setiap orang pasti menginginkan panjang umur, banyak harta, banyak istri dan banyak anak. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dapat menjadi sebab tercapainya keinginan tersebut.

‫ َوﻗَ ْﺪ‬.‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬ َ ِ‫ُﻮل ﷲ‬ ِ ‫ﺲ إِﻟَﻰ َرﺳ‬ ٍ َ‫ أُ ﱡم أَﻧ‬،‫ت ﺑِﻲ أُ ﱢﻣﻲ‬ ْ ‫ َﺟﺎ َء‬:‫ﺲ رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮫ ﻗَﺎل‬ ٍ َ‫َﻋ ْﻦ أَﻧ‬
،‫ﻚ‬ َ ‫ﻚ ﺑِ ِﮫ ﯾَ ْﺨ ُﺪ ُﻣ‬َ ُ‫ أَﺗَﯿﺘ‬.‫ ا ْﺑﻨِﻲ‬، ٌ‫ ھَ َﺬا أُﻧَﯿﺲ‬،ِ‫ ﯾَﺎ َرﺳُﻮ َل ﷲ‬:‫ﺎﻟﺖ‬ ْ َ‫ ﻓَﻘ‬.‫ﺎرھَﺎ َو َر ﱠد ْﺗﻨِﻲ ﺑِﻨِﺼْ ﻔِ ِﮫ‬ ِ ‫ﻒ ِﺧ َﻤ‬ ِ ْ‫أَ ﱠز َر ْﺗﻨِﻲ ﺑِﻨِﺼ‬
‫ َوإِ ﱠن َوﻟَ ِﺪي َو َوﻟَ َﺪ َوﻟَ ِﺪي‬،ٌ‫ ﻓَ َﻮﷲِ إِ ﱠن َﻣﺎﻟِﻲ ﻟَ َﻜﺜِﯿﺮ‬: ٌ‫ ﻗَﺎل أَﻧَﺲ‬."ُ‫ "اﻟﻠﱠﮭُ ﱠﻢ أَ ْﻛﺜِﺮْ َﻣﺎﻟﮫُ َو َوﻟَ َﺪه‬:‫ ﻓَﻘَﺎل‬.ُ‫ﻓَﺎدع ﷲَ ﻟَﮫ‬
‫ ْاﻟﯿَ ْﻮ َم‬،‫ون َﻋﻠَﻰ ﻧَﺤْ ﻮ ْاﻟ ِﻤﺎﺋَ ِﺔ‬
َ ‫ﻟَﯿَﺘَ َﻌﺎ ﱡد‬.
“Sahabat Anas radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Ibuku, Ummu Anas membawaku kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Ia memakaikan aku sarung dengan separuh kerudungnya dan separuh sisanya sebagai selendangku. Ia
berkata: “Wahai Rasulullah, ini anak kesayanganku, Anas. Aku bawa kepadamu agar menjadi pelayanmu. Doakan
kepada Allah untuknya. Beliau berdoa: “Ya Allah, perbanyaklah harta dan anak orang ini.” Anas berkata: “Demi
Allah, harta bendaku banyak sekali. Anak cucuku hari ini lebih dari seratus orang.” (Hadits shahih riwayat Ahmad juz
3 hlm 194 dan Muslim [6221]).
Ketika masih kecil, sahabat Anas dibawa oleh ibunya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar
dijadikannya pelayan. Ia dalam keadaan tidak punya apa-apa, sehingga untuk sarung dan selendangnya, harus
menggunakan kerudung ibunya. Lalu baginda mendoakannya agar banyak harta dan banyak anak.
Setelah baginda wafat, sahabat Anas telah menjadi ulama besar, beliau bercerita tentang dirinya, bahwa kekayaannya
benar-benar melimpah. Ia memiliki kebun yang berbuah dua kali dalam setahun. Padahal kebun orang lain hanya
berbuah satu kali. Di kebunnya terdapat bunga-bunga yang mengeluarkan aroma seperti parfum kasturi. Anak cucu
beliau pada waktu itu lebih dari seratus orang. Tentu saja istrinya lebih dari satu. Semuanya berkah doa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalil Keempat

Setiap orang pasti menginginkan kesehatan yang sempurna. Kalaupun suatu saat terkena sakit, pasti ingin sembuh
seperti sedia kala sebelum sakit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah termasuk sebab bagi kesembuhan
seseorang.

‫ْﺼ ُﺮ ﺑِ ِﮭ َﻤﺎ‬ِ ‫ﺎن ﻻَ ﯾُﺒ‬ ِ َ‫ﻀﺘ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ وﺳﻠﻢ َو َﻋ ْﯿﻨَﺎهُ ُﻣ ْﺒﯿَ ﱠ‬ َ ِ‫ُﻮل ﷲ‬ ِ ‫ْﻚ أَ ﱠن أَﺑَﺎهُ َﺧ َﺮ َج إِﻟَﻰ َرﺳ‬ ٍ ‫ﺐ ﺑ ِْﻦ ﻓُ َﻮﯾ‬
ِ ‫ﻋﻦ َﺣﺒِﯿ‬
‫ﺚ َرﺳُﻮ ُل ﷲِ ﺻﻠﻰ‬ َ َ‫ ﻓَﻨَﻔ‬،‫ﺼ ِﺮي‬ َ َ‫ﯿﺐ ﺑ‬
َ ‫ﺻ‬ ِ ُ ‫ﯿﺾ َﺣﯿﱠ ٍﺔ ﻓَﺄ‬
ِ ِ‫ﻲ َﻋﻠَﻰ ﺑ‬ ‫ﺖ ِرﺟْ ﻠَ ﱠ‬ ْ ‫ َوﻗَ َﻌ‬:‫ﻚ؟ ﻓَﻘَﺎ َل‬ َ َ‫ﺻﺎﺑ‬ َ َ‫ ﻓَ َﺴﺄَﻟَﮫُ َﻣﺎ أ‬،‫َﺷ ْﯿﺌًﺎ‬
ِ َ‫ﻀﺘ‬
‫ﺎن‬ ‫ﯿﻦ َوإِ ﱠن َﻋ ْﯿﻨَ ْﯿ ِﮫ ﻟَ ُﻤ ْﺒﯿَ ﱠ‬َ ِ‫ َوإِﻧﱠﮫُ ﻻَﺑ ُْﻦ ﺛَ َﻤﺎﻧ‬،‫ ﻓَ َﺮأَ ْﯾﺘُﮫُ ﯾُ ْﺪ ِﺧ ُﻞ ْاﻟ َﺨ ْﯿﻂَ ﻓِﻲ ْا ِﻹ ْﺑ َﺮ ِة‬،‫ﺼ َﺮ‬
َ ‫ﷲ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻓِﻲ َﻋ ْﯿﻨِ ِﮫ ﻓَﺄ َ ْﺑ‬
“Habib bin Fuwaik berkata, bahwa ayahnya pergi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan kedua
matanya menjadi putih dan tidak bisa melihat apa-apa. Baginda bertanya: “Apa yang menimpamu?” Ia menjawab:
“Kedua kakiku menginjak telur ular, lalu mataku terkena kebutaan.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
meludahi matanya. Lalu ia dapat melihat. Aku melihatnya dapat memasukkan benang ke lobang jarum, padahal
usianya delapan puluh tahun, sedangkan kedua matanya telah menjadi putih.”
Hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam [al-Mushannaf] 31804, Ibnu al-Sakan, al-Baghawi, al-Thabarani dalam al-
Mu’jam al-Kabir [3546] Abu Nu’aim dalam Ma’rifah al-Shahabah juz 2 hlm 831, dan al-Baihaqi dalam Dalail al-
Nubuwwah juz 6 hlm 173. Lihat al-Suyuthi, al-Khashaish al-Kubra juz 2 hlm 115.
Dalam hadits tersebut diterangkan, bahwa sahabat Fuwaik, tanpa sengaja menginjak telur ular. Akibatnya, kedua mata
beliau memutih dan hilang penglihatannya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meludahi mata itu, dan
ternyata bisa melihat lagi. Bahkan sampai usia senja, umur delapan puluh tahun, sahabat Fuwaik masih bisa
memasukkan benang ke dalam lobang jarum. Penglihatannya sempurna karena diludahi baginda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Berkah baginda tidak hanya mengalir ketika baginda masih hidup. Setelah baginda wafat, berkah tersebut masih
terjadi kepada umatnya, sebagaimana dalam riwayat berikut ini:

ِ ‫ﺖ إِﻟَﻰ ﺑَﻌ‬
‫ْﺾ‬ ُ ‫ ﻓَ َﺪ َﺧ ْﻠ‬،‫ﺚ‬
ِ ‫ﺐ اﻟ َﺤ ِﺪ ْﯾ‬ ِ َ‫ﺖ ﻓِﻲ ِرﺣْ ﻠَﺘِﻲ ﻓِﻲ طَﻠ‬ ُ ‫ ُﻛ ْﻨ‬: ‫ﺎن اﻟﻔَ َﺴ ِﻮيﱡ‬ َ َ‫ﺑﻦ ُﺳ ْﻔﯿ‬ُ ُ‫ﻗﺎل اﻹﻣﺎم اﻟﺤﺎﻓﻆ ﯾَ ْﻌﻘُ ْﻮب‬
،‫ت َﻋ ْﻦ ﺑَﻠَ ِﺪي‬ ُ ‫ َوﺑَ ُﻌ ْﺪ‬،‫ﺖ ﻧَﻔَﻘَﺘِﻲ‬ ْ ‫ َوﻗَﻠﱠ‬،ُ‫ﺎر َﻋ ْﻨﮫ‬
ِ َ‫اﻹﻗَﺎ َﻣ ِﺔ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ ﻟﻼﺳﺘِ ْﻜﺜ‬ ِ ‫ﺖ إِﻟَﻰ‬ ُ ْ‫ اﺣْ ﺘَﺠ‬،ً‫ﺖ ﺑِﮭَﺎ َﺷﯿْﺨﺎ‬ ُ ‫ﺼﺎ َد ْﻓ‬
َ َ‫ ﻓ‬،‫اﻟ ُﻤ ُﺪ ِن‬
،ُ‫ﺼ ﱠﺮ َم اﻟﻠﱠ ْﯿﻞ‬َ َ‫ َوﻗَ ْﺪ ﺗ‬،‫ﺖ َﺟﺎﻟِﺴﺎ ً أَ ْﻧ َﺴ ُﺦ‬ ُ ‫ ُﻛ ْﻨ‬،‫ﺎن َذات ﻟَ ْﯿﻠَ ٍﺔ‬ َ ‫ ﻓَﻠَ ﱠﻤﺎ َﻛ‬،ً‫ َوأَ ْﻗ َﺮأُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ ﻧَﮭَﺎرا‬،ً‫ﺖ أُ ْد ِﻣ ُﻦ اﻟ ِﻜﺘَﺎﺑَﺔَ ﻟَ ْﯿﻼ‬ ُ ‫ﻓَ ُﻜ ْﻨ‬
،‫ َو َﻋﻠَﻰ َﻣﺎ ﯾَﻔُ ْﻮﺗُﻨِﻲ ِﻣ َﻦ اﻟ ِﻌ ْﻠ ِﻢ‬،‫ﺎﻋﻲ‬ ِ َ‫ْﺖ َﻋﻠَﻰ اﻧﻘِﻄ‬ ُ ‫ ﻓَﺒَ َﻜﯿ‬،‫ْﺖ‬َ ‫ْﺼ ِﺮ اﻟ ﱢﺴ َﺮا َج َوﻻَ اﻟﺒَﯿ‬ ِ ‫ ﻓَﻠَ ْﻢ أُﺑ‬،‫ﻲ‬ ‫ﻓَﻨَ َﺰ َل اﻟ َﻤﺎ ُء ﻓِﻲ َﻋ ْﯿﻨِ ﱠ‬
‫ ﯾَﺎ‬:‫ ﻓَﻨَﺎ َداﻧِﻲ‬،‫ ﻓِﻲ اﻟﻨﱠ ْﻮ ِم‬-‫ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﱠ‬ َ - ‫ْﺖ اﻟﻨﱠﺒِ ّﻲ‬ ُ ‫ ﻓ َﺮأَﯾ‬،‫ﺖ‬ ُ ‫ت َﻋﻠَﻰ َﺟ ْﻨﺒِﻲ ﻓَﻨِ ْﻤ‬ ُ ْ‫ﻓَﺎ ْﺷﺘَ ﱠﺪ ﺑُ َﻜﺎﺋِﻲ َﺣﺘﱠﻰ اﺗﱠ َﻜﺄ‬
‫ت َﻋﻠَﻰ َﻣﺎ ﻓَﺎﺗَﻨِﻲ ِﻣ ْﻦ‬ ُ ْ‫ ﻓَﺘَ َﺤﺴﱠﺮ‬،‫ﺼ ِﺮي‬ َ َ‫ﺐ ﺑ‬ َ َ‫ ﯾَﺎ َرﺳ ُْﻮ َل ﷲِ! َذھ‬:‫ﺖ‬ ُ ‫ْﺖ؟ ﻓَﻘُ ْﻠ‬ َ ‫ﺖ ﺑَ َﻜﯿ‬َ ‫ﺎن! ﻟِ َﻢ أَ ْﻧ‬ َ َ‫ﺑﻦ ُﺳ ْﻔﯿ‬
ُ ُ‫ﯾَ ْﻌﻘُ ْﻮب‬
ُ‫ َﻛﺄَﻧﱠﮫُ ﯾَ ْﻘ َﺮأ‬،‫ﻲ‬ ُ ‫ ﻓَ َﺪﻧَ ْﻮ‬.‫ أُ ْد ُن ِﻣﻨﱢﻲ‬:‫ ﻓَﻘَﺎ َل‬.‫ﺎع َﻋ ْﻦ ﺑَﻠَ ِﺪي‬
‫ ﻓَﺄ َ َﻣ ﱠﺮ ﯾَ َﺪهُ َﻋﻠَﻰ َﻋ ْﯿﻨِ ﱠ‬،ُ‫ت ِﻣ ْﻨﮫ‬ ِ َ‫ َو َﻋﻠَﻰ اﻻَﻧﻘِﻄ‬،‫ﻚ‬ ِ ‫َﻛ ْﺘ‬
َ ِ‫ﺐ ُﺳﻨﱠﺘ‬
ُ‫اج أَ ْﻛﺘُﺐ‬ ُ ‫ت ﻧُ َﺴ ِﺨﻲ َوﻗَ َﻌ ْﺪ‬ُ ‫ َوأَ َﺧ ْﺬ‬،‫ت‬
ُ ْ‫ﺼﺮ‬َ ‫ﺖ ﻓَﺄ َ ْﺑ‬ ْ َ‫ ﺛُ ﱠﻢ ا ْﺳﺘَ ْﯿﻘ‬:‫ ﻗَﺎ َل‬.‫ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮭ َﻤﺎ‬.
ُ ‫ﻈ‬
ِ ‫ت ﻓِﻲ اﻟ ﱢﺴ َﺮ‬
“Al-Imam al-Hafizh Ya’qub bin Sufyan al-Fasawi berkata: “Dulu aku dalam pengembaraanku mencari ilmu. Aku
memasuki sebagian kota. Aku menjumpai seorang guru, dimana aku perlu tinggal di situ untuk banyak belajar kepada
beliau. Mengingat biaya belanjaku sedikit dan aku jauh dari negeriku, maka pada malam hari aku habiskan waktu
untuk membaca, sedang siang harinya membaca kepada beliau.
Pada suatu malam ketika aku duduk sedang menyalin catatan, sementara malam telah larut, tiba-tiba air mataku
mengalir, dan aku tidak bisa melihat lampu dan kamar. Maka aku menangis karena terputusku belajar dan karena ilmu
yang akan luput dariku. Aku menangis dengan keras hingga bersandar pada lambungku sampai akhirnya aku tertidur.
Dalam tidur aku bermimpi bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memanggilku: “Hai Ya’qub bin Sufyan,
mengapa kamu menangis?” Aku menjawab: “Wahai Rasulullah, penglihatanku hilang. Aku bersedih karena tidak bisa
menulis sunnah-sunnahmu. Aku juga jauh dari negeriku.” Beliau bersabda: “Mendekatlah kepadaku!” Aku mendekat
kepada beliau. Lalu beliau menyapukan tangannya ke kedua mataku dan seakan-akan sambil membacakan sesuatu.
Kemudian aku terbangun. Ternyata aku bisa melihat lagi. Aku ambil salinan-salinanku dan aku duduk lagi di bawah
lampu untuk menulis.”
Kisah tersebut diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Mizzi dalam Tahdzib al-Kamal juz 32 hlm 332, al-Hafizh al-Dzahabi
dalam Siyar A’lam al-Nubala’ juz 13 hlm 181, dan Tarikh al-Islam wa Wafayat al-Masyahir wa al-A’lam juz 20 hlm
495, al-Hafizh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah juz 11 hlm 69, al-Shafadi dalam al-Wafi bi al-Wafayat juz
28 hlm 96, dan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Tahdzib al-Tahdzib juz 11 hlm 386.
Al-Imam al-Hafizh Ya’qub bin Sufyan al-Fasawi seorang ulama besar dalam bidang ilmu hadits. Karya-karyanya
sampai sekarang menjadi rujukan para ulama dan pelajar ilmu hadits. Beliau wafat pada tahun 277 Hijriah.

Dalil Kelima

Siapapun pasti menginginkan mempunyai banyak ilmu dan pengetahuan agama, meskipun belum tamat belajar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat menjadi sebab seseorang memperoleh ilmu tanpa belajar terlebih
dahulu.

!ِ‫ ﯾَﺎ َرﺳُﻮ َل ﷲ‬:‫ﺖ‬ ُ ‫ ﻓَﻘُ ْﻠ‬،‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ إِﻟَﻰ ْاﻟﯿَ َﻤ ِﻦ‬ َ ِ‫ ﺑَ َﻌﺜَﻨِﻲ َرﺳُﻮ ُل ﷲ‬:‫ ﻗَﺎ َل‬،ُ‫ﺿ َﻲ ﷲُ َﻋ ْﻨﮫ‬ ِ ‫َﻋ ْﻦ َﻋﻠِ ﱟﻲ َر‬
‫ اﻟﻠﮭُ ﱠﻢ ا ْھ ِﺪ‬:‫ َوﻗَﺎ َل‬،‫ﺻ ْﺪ ِري‬ َ ‫ب ﺑِﯿَ ِﺪ ِه ﻓِﻲ‬ َ َ‫ ﻓ‬:‫ ﻗَﺎ َل‬،‫ﻀﺎ ُء‬
َ ‫ﻀ َﺮ‬ َ َ‫ﻀﻲ ﺑَ ْﯿﻨَﮭُ ْﻢ َو َﻻ أَ ْد ِري َﻣﺎ ْاﻟﻘ‬
ِ ‫ﺗَ ْﺒ َﻌﺜُﻨِﻲ َوأَﻧَﺎ َﺷﺎبﱞ أَ ْﻗ‬
‫ﻀﺎ ٍء ﺑَﯿ ِْﻦ ْاﺛﻨَﯿ ِْﻦ‬
َ َ‫ﺖ ﻓِﻲ ﻗ‬ُ ‫ﻖ ْاﻟ َﺤﺒﱠﺔَ َﻣﺎ َﺷ َﻜ ْﻜ‬
َ َ‫ ﻓﻮ اﻟﺬي ﻓَﻠ‬،‫ وﺛﺒّﺖ ﻟﺴﺎﻧﮫ‬،‫ﻗﻠﺒﮫ‬.
“Ali radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku ke negeri Yaman. Aku
berkata: “Wahai Rasulullah, engkau mengutusku, sedangkan aku masih muda, untuk menjadi qadhi (hakim agama) di
antara mereka, padahal aku tidak punya ilmu tentang cara seorang qadhi?” Lalu beliau memukulkan tangannya ke
dadaku dan bersabda: “Ya Allah, tunjukkanlah hatinya dan teguhkanlah lidahnya.” Maka demi Tuhan yang membelah
biji, aku tidak pernah ragu dalam memutuskan antara dua orang.”
Hadits shahih riwayat al-Hakim dalam al-Mustadrak [4658] dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah juz 5 hlm 397.
Al-Hakim berkata, hadits ini sesuai dengan persyaratan al-Bukhari dan Muslim. Al-Dzahabi juga menyutujinya.
Sahabat Ali radhiyallaahu ‘anhu diutus untuk menjadi qadhi. Beliau sendiri belum punya ilmu pengetahuan untuk
menjadi qadhi. Lalu mengeluh kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baginda memukulkan tangannya ke
dada Ali dan mendoakannya. Setelah itu, Ali mampu menjadi qadhi dan tidak pernah ragu dalam memutuskan perkara
antara dua orang. Dalam ilmu tashawuf, ilmu semacam ini dinamakan dengan ilmu laduni.
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, berkah baginda dalam mengalirkan ilmu tanpa belajar masih
terjadi kepada para ulama. Dalam kitab-kitab sejarah diriwayatkan:

‫ وﻟﻢ ﯾﻜﻦ ﻓﻲ ﺟﻤﺎﻋﺔ‬،‫َو َﺣ َﻜﻰ ﺑَﻌﺾُ اﻷﻓﺎﺿﻞ أن اﻟﺸﯿﺦ ﺳﻌﺪ اﻟ ّﺪﯾﻦ ﻛﺎن ﻓﻲ اﺑﺘﺪاء طﻠﺒﮫ ﺑﻌﯿﺪ اﻟﻔﮭﻢ ﺟﺪا‬
‫ وﻛﺎن اﻟﻌﻀﺪ ﯾﻀﺮب‬،‫اﻟﻌﻀﺪ أﺑﻠﺪ ﻣﻨﮫ وﻣﻊ ذﻟﻚ ﻓﻜﺎن ﻛﺜﯿﺮ اﻻﺟﺘﮭﺎد وﻟﻢ ﯾﺆﯾﺴﮫ ﺟﻤﻮد ﻓﮭﻤﮫ ﻣﻦ اﻟﻄﻠﺐ‬
‫ ﻗﻢ ﯾﺎ ﺳﻌﺪ اﻟ ّﺪﯾﻦ‬:‫ ﻓﺎﺗﻔﻖ أن أﺗﺎه إﻟﻰ ﺧﻠﻮﺗﮫ رﺟﻞ ﻻ ﯾﻌﺮﻓﮫ ﻓﻘﺎل ﻟﮫ‬،‫ﺑﮫ اﻟﻤﺜﻞ ﺑﯿﻦ ﺟﻤﺎﻋﺘﮫ ﻓﻲ اﻟﺒﻼد‬
‫ ﻻ أﻓﮭﻢ ﺷﯿﺌﺎ ﻣﻊ اﻟﻤﻄﺎﻟﻌﺔ ﻓﻜﯿﻒ إذا ذھﺒﺖ إﻟﻰ اﻟﺴﯿﺮ وﻟﻢ‬،‫ ﻣﺎ ﻟﻠﺴﯿﺮ ﺧﻠﻘﺖ أﻧﺎ‬:‫ ﻓﻘﺎل‬،‫ﻟﻨﺬھﺐ إﻟﻰ اﻟﺴﯿﺮ‬
‫ ﻓﺬھﺐ اﻟﺮﺟﻞ‬،‫ ﻓﺄﺟﺎﺑﮫ ﺑﺎﻟﺠﻮاب اﻷول وﻟﻢ ﯾﺬھﺐ ﻣﻌﮫ‬،‫ ﻗﻢ ﺑﻨﺎ إﻟﻰ اﻟﺴﯿﺮ‬:‫ وﻗﺎل ﻟﮫ‬،‫ ﻓﺬھﺐ وﻋﺎد‬،‫أطﺎﻟﻊ‬
‫ رﺳﻮل‬:‫ أﻟﻢ أﻗﻞ ﻟﻚ ﻣﺎ ﻟﻠﺴﯿﺮ ﺧﻠﻘﺖ ﻓﻘﺎل ﻟﮫ‬،‫ ﻣﺎ رأﯾﺖ أﺑﻠﺪ ﻣﻨﻚ‬:‫ ﻓﻘﺎل‬،‫ وﻗﺎل ﻟﮫ ﻣﺜﻞ ﻣﺎ ﻗﺎل أوﻻ‬،‫وﻋﺎد‬
‫ ﯾﺪﻋﻮك ﻓﻘﺎم ﻣﻨﺰﻋﺠﺎ وﻟﻢ ﯾﻨﺘﻌﻞ ﺑﻞ ﺧﺮج ﺣﺎﻓﯿﺎ ﺣﺘّﻰ وﺻﻞ ﺑﮫ إﻟﻰ ﻣﻜﺎن‬-‫ ﺻﻠّﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠّﻢ‬-‫ﷲ‬
‫ ﻓﻲ ﻧﻔﺮ ﻣﻦ أﺻﺤﺎﺑﮫ ﺗﺤﺖ ﺗﻠﻚ اﻟﺸﺠﯿﺮات‬-‫ ﺻﻠّﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠّﻢ‬-‫ ﻓﺮأى اﻟﻨّﺒ ّﻲ‬،‫ﺧﺎرج اﻟﺒﻠﺪ ﺑﮫ ﺷﺠﯿﺮات‬
‫ ﯾﺎ رﺳﻮل ﷲ ﻣﺎ ﻋﻠﻤﺖ أﻧﻚ‬:‫ ﻓﻘﺎل‬. «‫ »ﻧﺮﺳﻞ إﻟﯿﻚ اﻟﻤﺮّة ﺑﻌﺪ اﻟﻤﺮّة وﻟﻢ ﺗﺄت‬:‫ وﻗﺎل‬،‫ﻓﺘﺒﺴﻢ ﻟﮫ‬
-‫ ﻓﻘﺎل ﻟﮫ رﺳﻮل ﷲ‬.‫ وأﺷﻜﻮ إﻟﯿﻚ ذﻟﻚ‬،‫اﻟﻤﺮﺳﻞ وأﻧﺖ أﻋﻠﻢ ﺑﻤﺎ اﻋﺘﺬرت ﺑﮫ ﻣﻦ ﺳﻮء ﻓﮭﻤﻲ وﻗﻠﺔ ﺣﻔﻈﻲ‬
،‫ ﺛﻢ أﻣﺮه ﺑﺎﻟﻌﻮد إﻟﻰ ﻣﻨﺰﻟﮫ وﺑ ّﺸﺮه ﺑﺎﻟﻔﺘﺢ‬،‫ »اﻓﺘﺢ ﻓﻤﻚ« وﺗﻔﻞ ﻟﮫ ﻓﯿﮫ ودﻋﺎ ﻟﮫ‬:-‫ﺻﻠّﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠّﻢ‬
‫ ﻓﻠﻤﺎ ﻛﺎن ﻣﻦ اﻟﻐﺪ أﺗﻰ إﻟﻰ ﻣﺠﻠﺲ اﻟﻌﻀﺪ وﺟﻠﺲ ﻣﻜﺎﻧﮫ ﻓﺄورد ﻓﻲ أﺛﻨﺎء‬.‫ﻓﻌﺎد وﻗﺪ ﺗﻀﻠّﻊ ﻋﻠﻤﺎ وﻧﻮرا‬
:‫ظﻦ رﻓﻘﺘﮫ ﻣﻦ اﻟﻄﻠﺒﺔ أﻧﮭﺎ ﻻ ﻣﻌﻨﻰ ﻟﮭﺎ ﻟﻤﺎ ﯾﻌﮭﺪون ﻣﻨﮫ ﻓﻠﻤﺎ ﺳﻤﻌﮭﺎ اﻟﻌﻀﺪ ﺑﻜﻰ وﻗﺎل‬
ّ ‫ﺟﻠﻮﺳﮫ أﺷﯿﺎء‬
‫ ﺛﻢ ﻗﺎم ﻣﻦ ﻣﺠﻠﺴﮫ وأﺟﻠﺴﮫ ﻓﯿﮫ وﻓ ّﺨﻢ أﻣﺮه ﻣﻦ‬،‫أﻣﺮك ﯾﺎ ﺳﻌﺪ اﻟ ّﺪﯾﻦ إﻟ ّﻲ ﻓﺈﻧﻚ اﻟﯿﻮم ﻏﯿﺮك ﻓﯿﻤﺎ ﻣﻀﻰ‬
‫ اﻧﺘﮭﻰ‬.‫ﯾﻮﻣﺌﺬ‬.
“Sebagian ulama yang utama menceritakan bahwa Syaikh Sa’duddin al-Taftazani pada awal belajarnya sangat sulit
memahami ilmu. Di antara murid-muridnya al-Adhud, ia adalah murid yang paling bodoh. Tetapi ia banyak berusaha.
Kebekuan pemahamannya tidak membuatnya putus asa untuk mencari ilmu. Al-Adhud menjadikannya sebagai contoh
di antara muridnya dalam hal kebodohan.
Sampai suatu saat, ketika Sa’duddin menyendiri, tiba-tiba seorang laki-laki tidak dikenal mendatanginya. Laki-laki itu
berkata: “Berdirilah wahai Sa’duddin, pergi bersama kami.”
Ia menjawab: “Aku diciptakan bukan untuk bepergian. Aku belajar saja masih tidak faham, bagaimana jika aku pergi
dan tidak belajar.”
Laki-laki pergi dan kemudian kembali lagi. Ia berkata lagi: “Berdirilah, berangkat bersama kami.” Ia menjawab
seperti jawaban yang pertama dan tidak mau pergi bersamanya. Laki-laki itu pergi dan kemudian kembali lagi. Lalu
berkata seperti perkataan yang pertama. Ia menjawab: “Aku tidak melihat orang yang lebih bodoh dari kamu.
Bukankah sudah aku katakan padamu, aku diciptakan bukan untuk pergi.”
Laki-laki itu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilmu.” Mendengar perkataan itu, Sa’duddin
berdiri dengan terkejut. Tanpa memakai sandal, ia berangkat pergi sampai pada suatu tempat di luar daerah yang
banyak semak belukar. Lalu ia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama beberapa orang sahabat di bawah
semak belukar itu. Baginda tersenyum kepadanya dan bersabda: “Aku memanggilmu beberapa kali, kamu tidak mau
datang?”
Ia menjawab: “Wahai Rasulullah, aku tidak tahu bahwa engkaulah yang memanggilku. Tentu engkau lebih tahu
dengan alasanku tentang keburukan pemahamanku dan lemahnya hafalanku. Aku mengadukan hal itu kepada
engkau.”
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Buka mulutmu.” Baginda meludahi ke dalam
mulutnya dan mendoakannya. Kemudian baginda menyuruhnya kembali lagi ke tempat tinggalnya. Baginda juga
memberinya kabar gembira tentang keterbukaan hatinya pada ilmu pengetahuan.
Ia pun kembali dengan memiliki kedalaman ilmu dan pengetahuan yang sempurna. Keesokan harinya, ia mendatangi
majlis gurunya, al-Adhud dan duduk di tempatnya. Pada waktu duduk itu, ia menyampaikan banyak hal, yang teman-
teman seperguruannya mengira bahwa hal itu tidak ada artinya, karena apa yang selama ini mereka ketahui tentang
kebodohannya. Tetapi begitu al-Adhud mendengar penyampaiannya, beliau langsung menangis dan berkata:
“Persoalanmu menjadi urusanku wahai Sa’duddin. Kamu sekarang

berbeda dengan yang sebelumnya.” Kemudian al-Adhud berdiri dari tempat duduknya dan menyuruh Sa’duddin
duduk di situ [untuk menyampaikan pelajaran kepada murid-muridnya]. Dan sejak hari itu al-Adhud mengagungkan
muridnya itu.”
Peristiwa di atas disampaikan Imam Ibnu al-‘Imad al-Hanbali, dalam kitabnya Syadzarat al-Dzahab fi Akhbar man
Dzahab, juz 8 hlm 548. Peristiwa di atas, kalau dipahami secara literal terjadi dalam keadaan terjaga (yaqazhah).
Namun sebagian ulama menganggap peristiwa tersebut terjadi dalam mimpi. Wallahu a’lam.
Walhasil, peristiwa tersebut mengantarkan kita pada kesimpulan, bawah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjadi sebab tercapainya sesuatu yang sangat diinginkan, yaitu kedalaman ilmu pengetahuan agama yang sempurna.
Imam Sa’duddin al-Taftazani seorang ulama terkemuka ahli kalam Ahlussunnah Wal-Jamaah yang bermadzhab
Syafi’i. Karyanya yang sangat populer dan menjadi kajian para ulama dan pelajar hingga saat ini adalah Syarh al-
Maqashid setebal 5 jilid dan Syarh al-‘Aqaid al-Nasafiyyah setebal 1 jilid. Beliau lahir pada tahun 712 H dan wafat
pada tahun 793 H.
Beberapa dalil di atas, dan masih banyak lagi dalil yang tidak disebutkan di sini, tetapi bisa ditelusuri dalam kitab-
kitab hadits dan sirah, mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dapat
menjadi sebab tercapainya cita-cita dan impian seseorang. Karena itu, keagungan tersebut dalam shalawat Nariyah
diredaksikan dengan kalimat wa tunaalu bihi al-raghaaib. Wallahu a’lam.
SYARAH SHALAWAT NARIYAH BERDASARKAN HADITS-HADITS NABI shallallahu
‘alaihi wa sallam
Bagian 5

Dalil Pertama

‫َو ُﺣﺴ ُْﻦ ْاﻟ َﺨ َﻮاﺗِ ِﻢ‬


“Serta husnul khatimah [dapat diraih, sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam]”.

Husnul Khatimah artinya bagusnya akhir kehidupan seseorang. Maksudnya, seseorang yang mati dalam keadaan
beriman atau beramal shaleh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang menjadi sebab dalam
diraihnya husnul khatimah tersebut.

Secara umum, semua umat Islam yang meninggal dalam keadaan husnul khatimah, pasti karena ajakan dan dakwah
baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan secara khusus, banyak orang yang masuk Islam karena
didoakan secara khusus oleh baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan demikian, berarti tercapainya
keislaman dan husnul khatimah tersebut, semuanya adalah sebab baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam hal ini banyak sekali riwayat dalam kitab-kitab hadits dan sirah. Antara lain, hadits Abu Hurairah dalam bagian
sebelumnya, dimana ibu beliau masuk Islam sebab didoakan oleh baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berikut ini akan memaparkan beberapa dalil dimulai dari dalil kedua.

Dalil Kedua
Islamnya Sayyidina Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu.

‫ﻚ‬ ِ ‫ "اﻟﻠﱠﮭُ ﱠﻢ أَ ِﻋ ﱠﺰ‬:‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗَﺎ َل‬


َ ‫اﻹﺳْﻼ َم ﺑِﺄ َ َﺣﺐﱢ ھَ َﺬﯾ ِْﻦ اﻟ ﱠﺮ ُﺟﻠَﯿ ِْﻦ إِﻟَ ْﯿ‬ َ ِ‫ أَ ﱠن َرﺳُﻮ َل ﷲ‬،‫َﻋ ْﻦ اﺑ ِْﻦ ُﻋ َﻤ َﺮ‬
َ ‫ َو َﻛ‬:‫ب" ﻗَﺎ َل‬
‫ﺎن أَ َﺣﺒﱠﮭُ َﻤﺎ إِﻟَ ْﯿ ِﮫ ُﻋ َﻤ ُﺮ‬ ِ ‫ﺑِﺄَﺑِﻲ َﺟﮭ ٍْﻞ أَ ْو ﺑِ ُﻌ َﻤ َﺮ ﺑ ِْﻦ اﻟ َﺨﻄﱠﺎ‬:

“Dari Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ya Allah, muliakanlah
Islam dengan salah satu dari dua orang ini yang Engkau cintai, Abu Jahal atau Umar bin al-Khaththab.” Beliau
bersabda: “Ternyata yang paling Allah cintai dari keduanya adalah Umar.” (Hadits shahih riwayat Ahmad [5695], al-
Tirmidzi [3681], Ibnu Majah [105], Ibnu Hibban [6882] dan al-Hakim juz 3 hlm 83).

Hadits ini tidak perlu diberi keterangan, karena substansinya sangat populer di kalangan umat Islam.
Dalil Ketiga
Seorang pemuda yang meminta izin untuk berzina, ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghilangkan
keinginan itu dari hatinya.

،ِ‫ ﯾَﺎ َرﺳُﻮ َل ﷲ‬:‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻓَﻘَﺎ َل‬ َ ‫ﻲ‬ ‫ إِ ﱠن ﻓَﺘًﻰ َﺷﺎﺑًّﺎ أَﺗَﻰ اﻟﻨﱠﺒِ ﱠ‬:‫َﻋ ْﻦ أَﺑِﻲ أُ َﻣﺎ َﻣﺔَ رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮫ ﻗَﺎ َل‬
:‫ ﻗَﺎ َل‬." ‫ ﻓَ َﺪﻧَﺎ ِﻣ ْﻨﮫُ ﻗَ ِﺮﯾﺒًﺎ‬،ْ‫ " ا ْدﻧُﮫ‬:‫ ﻓَﻘَﺎ َل‬.‫ َﻣ ْﮫ‬.‫ َﻣ ْﮫ‬:‫ ﻓَﺄ َ ْﻗﺒَ َﻞ ْاﻟﻘَ ْﻮ ُم َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ ﻓَ َﺰ َﺟﺮُوهُ َوﻗَﺎﻟُﻮا‬،‫ا ْﺋ َﺬ ْن ﻟِﻲ ﺑِﺎﻟ ﱢﺰﻧَﺎ‬
‫ " َوﻻَ اﻟﻨﱠﺎسُ ﯾ ُِﺤﺒﱡﻮﻧَﮫُ ﻷُ ﱠﻣﮭَﺎﺗِ ِﮭ ْﻢ‬:‫ ﻗَﺎ َل‬.‫ك‬ َ ‫ َوﷲِ َﺟ َﻌﻠَﻨِﻲ ﷲُ ﻓِ َﺪا َء‬.َ‫ ﻻ‬:‫ﻚ؟ " ﻗَﺎ َل‬ َ ‫ " أَﺗُ ِﺤﺒﱡﮫُ ﻷُ ﱢﻣ‬:‫ﺲ ﻗَﺎ َل‬ َ َ‫ﻓَ َﺠﻠ‬
ُ‫ " َوﻻَ اﻟﻨﱠﺎسُ ﯾ ُِﺤﺒﱡﻮﻧَﮫ‬:‫ك ﻗَﺎ َل‬
َ ‫ َوﷲِ ﯾَﺎ َرﺳُﻮ َل ﷲِ َﺟ َﻌﻠَﻨِﻲ ﷲُ ﻓِ َﺪا َء‬.َ‫ ﻻ‬:‫ﻚ؟ " ﻗَﺎ َل‬ َ ‫ " أَﻓَﺘُ ِﺤﺒﱡﮫُ ﻻ ْﺑﻨَ ِﺘ‬:‫ ﻗَﺎ َل‬."
ُ‫ " َوﻻَ اﻟﻨﱠﺎسُ ﯾ ُِﺤﺒﱡﻮﻧَﮫ‬:‫ ﻗَﺎ َل‬.‫ك‬َ ‫ َوﷲِ َﺟ َﻌﻠَﻨِﻲ ﷲُ ﻓِ َﺪا َء‬.َ‫ ﻻ‬:‫ﻚ؟ " ﻗَﺎ َل‬ َ ِ‫ " أَﻓَﺘُ ِﺤﺒﱡﮫُ ﻷُ ْﺧﺘ‬:‫ ﻗَﺎ َل‬." ‫ﻟِﺒَﻨَﺎﺗِ ِﮭ ْﻢ‬
ُ‫ " َوﻻَ اﻟﻨﱠﺎسُ ﯾ ُِﺤﺒﱡﻮﻧَﮫ‬:‫ ﻗَﺎ َل‬.‫ك‬ َ ‫ َوﷲِ َﺟ َﻌﻠَﻨِﻲ ﷲُ ﻓِ َﺪا َء‬.َ‫ ﻻ‬:‫ " أَﻓَﺘُ ِﺤﺒﱡﮫُ ﻟِ َﻌ ﱠﻤﺘِ َﻚ؟ " ﻗَﺎ َل‬:‫ ﻗَﺎ َل‬." ‫ﻷَ َﺧ َﻮاﺗِ ِﮭ ْﻢ‬
ُ‫ " َوﻻَ اﻟﻨﱠﺎسُ ﯾ ُِﺤﺒﱡﻮﻧَﮫ‬:‫ ﻗَﺎ َل‬.‫ك‬ َ ‫ َوﷲِ َﺟ َﻌﻠَﻨِﻲ ﷲُ ﻓِ َﺪا َء‬.َ‫ ﻻ‬:‫ﻚ؟ " ﻗَﺎ َل‬ َ ِ‫ " أَﻓَﺘُ ِﺤﺒﱡﮫُ ﻟِ َﺨﺎﻟَﺘ‬:‫ ﻗَﺎ َل‬." ‫ﻟِ َﻌ ﱠﻤﺎﺗِ ِﮭ ْﻢ‬
‫ ﻓَﻠَ ْﻢ‬:‫ﺼﱢﻦ ﻓَﺮْ َﺟﮫُ " ﻗَﺎ َل‬ ْ ‫ َو َﺣ‬،ُ‫طﮭﱢﺮْ ﻗَ ْﻠﺒَﮫ‬ َ ‫ " اﻟﻠﮭُ ﱠﻢ ا ْﻏﻔِﺮْ َذ ْﻧﺒَﮫُ َو‬:‫ﺿ َﻊ ﯾَ َﺪهُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َوﻗَﺎ َل‬
َ ‫ ﻓَ َﻮ‬:‫ ﻗَﺎ َل‬." ‫ﻟِ َﺨﺎﻻَﺗِ ِﮭ ْﻢ‬
‫ﺖ إِﻟَﻰ َﺷ ْﻲ ٍء‬ُ ِ‫ﻚ ْاﻟﻔَﺘَﻰ ﯾَ ْﻠﺘَﻔ‬
َ ِ‫ﯾَ ُﻜ ْﻦ ﺑَ ْﻌ ُﺪ َذﻟ‬.
“Abu Umamah radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Seorang pemuda mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu
berkata: “Wahai Rasulullah, ijinkanlah aku untuk berzina.” Lalu orang-orang yang ada di situ menghadap laki-laki itu,
melarang dan berkata: “Jangan! Jangan!” Beliau bersabda: “Mendekatlah.” Laki-laki itu mendekat kepada beliau, lalu
duduk.

Beliau bersabda: “Apakah kamu senang perzinahan terjadi pada ibumu?” Ia menjawab: “Tidak, demi Allah, wahai
Rasulullah, semoga Allah menjadikan aku sebagai tebusanmu.” Beliau bersabda: “Manusia juga tidak senang
perzinahan terjadi pada ibu mereka.”

Beliau bersabda: “Apakah kamu senang perzinahan terjadi pada putrimu?” Ia menjawab: “Tidak, demi Allah, wahai
Rasulullah, semoga Allah menjadikan aku sebagai tebusanmu.” Beliau bersabda: “Manusia juga tidak senang hal itu
terjadi pada putri mereka.”

Beliau bersabda: “Apakah kamu senang perzinahan terjadi pada saudara perempuanmu?” Ia menjawab: “Tidak, demi
Allah, wahai Rasulullah, semoga Allah menjadikan aku sebagai tebusanmu.” Beliau bersabda: “Manusia juga tidak
senang hal itu terjadi pada saudara perempuan mereka.”

Beliau bersabda: “Apakah kamu senang perzinahan terjadi pada bibi dari jalur ayahmu?” Ia menjawab: “Tidak, demi
Allah, wahai Rasulullah, semoga Allah menjadikan aku sebagai tebusanmu.” Beliau bersabda: “Manusia juga tidak
senang hal itu terjadi pada bibi dari jalur ayah mereka.”

Beliau bersabda: “Apakah kamu senang perzinahan terjadi pada bibi dari jalur ibumu?” Ia menjawab:
“Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah, semoga Allah menjadikan aku sebagai tebusanmu.” Beliau bersabda: “Manusia
juga tidak senang hal itu terjadi pada bibi dari jalur ibu mereka.”

Lalu beliau meletakkan tangannya ke [dada] laki-laki itu dan bersabda: “Ya Allah, ampunilah dosa pemuda ini,
sucikanlah hatinya dan lindungilah kemaluannya.”

Abu Umamah berkata: “Setelah itu pemuda tersebut tidak menoleh kepada apapun.”
Hadits shahih riwayat Ahmad [22211], al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [7679, 7759] dan Musnad al-
Syamiyyin [1523] dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman [5415].

Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi sebab hilangnya keinginan berzina pada
seorang pemuda dengan cara meletakkan tangan baginda yang mulia ke dadanya dan mendoakannya kepada Allah.

Dalil Keempat
Bangsa Arab di negeri Yaman, Syam dan Iraq sangat cepat berbondong-bondong masuk Islam. Hal tersebut terjadi
karena berkat doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

‫ ﺛُ ﱠﻢ‬،‫ اﻟﻠﮭُ ﱠﻢ أَ ْﻗﺒِﻞْ ﺑِﻘُﻠُﻮﺑِ ِﮭ ْﻢ‬:‫ ﻓَﻘَﺎ َل‬،‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗِﺒَ َﻞ ْاﻟﯿَ َﻤ ِﻦ‬ َ ِ‫ ﻧَﻈَ َﺮ َرﺳُﻮ ُل ﷲ‬:‫ ﻗَﺎ َل‬،‫ﺖ‬ ٍ ِ‫َﻋ ْﻦ َز ْﯾ ِﺪ ﺑ ِْﻦ ﺛَﺎﺑ‬
‫ﺎر ْك ﻟَﻨَﺎ ﻓِﻲ‬ ِ َ‫ اﻟﻠﮭُ ﱠﻢ أَ ْﻗﺒِﻞْ ﺑِﻘُﻠُﻮﺑِ ِﮭ ْﻢ َوﺑ‬:‫اق ﻓَﻘَﺎ َل‬ ِ ‫ ﺛُ ﱠﻢ ﻧَﻈَ َﺮ ﻗِﺒَ َﻞ ْاﻟ ِﻌ َﺮ‬،‫ اﻟﻠﮭُ ﱠﻢ أَ ْﻗﺒِﻞْ ﺑِﻘُﻠُﻮ ِﺑ ِﮭ ْﻢ‬:‫ﻧﻈﺮ ﻗﺒﻞ اﻟ ﱠﺸ ِﺎم ﻗَﺎ َل‬
‫ﺻﺎ ِﻋﻨَﺎ َو ُﻣ ﱢﺪﻧَﺎ‬
َ

“Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang ke arah Yaman lalu
bersabda: “Ya Allah, datangkanlah mereka dengan hati mereka.” Kemudian memandang ke arah Syam, lalu bersabda:
“Ya Allah, datangkanlah mereka dengan hati mereka.” Kemudian memandang ke arah Iraq, lalu bersabda: “Ya Allah,
datangkanlah mereka dengan hati mereka, dan berkatilah kami dalam takaran sha’ dan mud kami.”

Hadits shahih riwayat Ahmad [21620, 14690], al-Tirmidzi juz 5 hlm 726 dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah
juz 6 hlm 236).

Berkah doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, penduduk tiga negeri tersebut sangat mudah masuk Islam
berbondong-bondong. Islam cepat sekali penyebarannya di tiga negeri tersebut.

Berkah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengalirkan petunjuk kepada manusia tidak hanya terjadi pada
masa baginda masih hidup. Setelah baginda wafat, tidak sedikit orang-orang yang mendapatkan hidayah karena
bermimpi bertemu baginda shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ibnu al-Nu’man, seorang ulama besar yang wafat pada tahun 683 H bercerita dalam kitabnya Mishbah al-Zhalam hlm
114, dari gurunya Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad al-Jarkhi, yang berkata: “Aku melihat seorang laki-laki dari
suku Danawiyah [kaum orang-orang kafir] yang dikenal dengan nama Faris Simon al-Haijawi. Ia mendatangi Sultan
al-Malik al-Kamil ketika kaum Salibis menguasai benteng Dimyath di Mesir. Ia masuk Islam melalui al-Kamil.

Ia bercerita latar belakang keislamannya. Bahwa ia bertengkar dengan kaumnya, orang-orang Danawiyah yang
beragama Kristen. “Lalu aku menaiki keledai dan membawa seekor kuda. Mereka mengejarku. Aku takut pada
mereka. Kuda yang aku bawa terlepas dari tanganku. Lalu aku berkata: “Hai Muhammad bin Abdullah [shallallahu
‘alaihi wa sallam], kalau kudaku kembali kepadaku, aku akan beriman kepadamu.”

Ternyata kuda itu menyusul ke dekatku sekitar satu atau dua putaran dan berhenti. Lalu aku memegangnya. Lalu aku
datang kepada Sultan al-Kamil. Aku masuk Islam dan berjihad.” Simon meninggal dalam keadaan Islam dan husnul
khatimah. Hal tersebut sebab berkah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyebut namanya.
Dalil Kelima
Kisah Islamnya sahabat Abdullah bin Salam radhiyallaahu ‘anhu setelah melihat dan mengamati wajah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.

- ‫ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ‬- ِ‫ )" ﻟَ ﱠﻤﺎ ﻗَ ِﺪ َم َرﺳُﻮ ُل ﷲ‬:‫ ﻗَﺎ َل‬- ‫ رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮫ‬- ‫ﻼم‬ ٍ ‫َﻋ ْﻦ َﻋ ْﺒ ِﺪ ﷲِ ﺑ ِْﻦ َﺳ‬
‫ﺎس ﻷَ ْﻧﻈُ َﺮ إِﻟَ ْﯿ ِﮫ‬
ِ ‫ﺖ ﻓِﻲ اﻟﻨﱠ‬ ُ ‫ ﻓَ ِﺠ ْﺌ‬, " ِ‫ ﻗَ ِﺪ َم َرﺳُﻮ ُل ﷲ‬، ِ‫ " ﻗَ ِﺪ َم َرﺳُﻮ ُل ﷲ‬:‫ ا ْﻧ َﺠﻔَ َﻞ اﻟﻨﱠﺎسُ إِﻟَ ْﯿ ِﮫ َوﻗِﯿ َﻞ‬،"َ‫ْاﻟ َﻤ ِﺪﯾﻨَﺔ‬
‫ﺎن أَ ﱠو ُل‬ ٍ ‫ﺲ ﺑِ َﻮﺟْ ِﮫ َﻛ ﱠﺬا‬
َ ‫ َو َﻛ‬،‫ب‬ ُ ‫ َﻋ َﺮ ْﻓ‬- ‫ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ‬- ِ‫ُﻮل ﷲ‬
َ ‫ﺖ أَ ﱠن َوﺟْ ﮭَﮫُ ﻟَ ْﯿ‬ ِ ‫ﺖ َوﺟْ ﮫَ َرﺳ‬ ‫ﻓَﻠَ ﱠﻤﺎ ا ْﺳﺘَ ْﺜﺒَ ﱡ‬
َ ‫ َو‬،‫ﺻﻠُﻮا ْاﻷَرْ َﺣﺎ َم‬
‫ﺻﻠﱡﻮا ﺑِﺎﻟﻠﱠﯿ ِْﻞ‬ ْ َ‫ َوأ‬،‫ أَ ْﻓ ُﺸﻮا اﻟﺴﱠﻼ َم‬، ُ‫ أَﯾﱡﮭَﺎ اﻟﻨﱠﺎس‬:‫َﺷ ْﻲ ٍء ﺗَ َﻜﻠﱠ َﻢ ﺑِ ِﮫ أَ ْن ﻗَﺎ َل‬
ِ ‫ َو‬،‫ط ِﻌ ُﻤﻮا اﻟﻄﱠ َﻌﺎ َم‬
‫ ﺗَ ْﺪ ُﺧﻠُﻮا ْاﻟ َﺠﻨﱠﺔَ ﺑِ َﺴﻼَ ٍم‬،‫)" َواﻟﻨﱠﺎسُ ﻧِﯿَﺎ ٌم‬

“Abdullah bin Salam radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke
Madinah, orang-orang berdatangan dengan segera kepada beliau. Mereka berkata: “Rasulullah datang. Rasulullah
datang.” Aku datang bersama orang-orang untuk melihat beliau. Setelah saya mengamati wajah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, aku menjadi yakin, wajah ini bukan wajah seorang pembohong. Ucapan yang pertama kali
disampaikan pada waktu itu: “Wahai manuia, sebarkan ucapan salam, berikan makanan kepada orang, sambunglah
kekerabatan dan kerjakan shalat pada waktu malam hari ketika manusia sedang tidur, maka kalian akan masuk surga
dengan selamat.”

Hadits shahih riwayat Ahmad [23835], al-Tirmidzi [1855, 2485] dan Ibnu Majah [3251].

Dalam hadits di atas, sahabat Abdullah bin Salam meyakini kenabian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah
melihat dan mengamati wajah baginda. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, tidak sedikit orang-
orang kafir yang masuk Islam karena bermimpi berjumpa dengan baginda.

Syaikh Yusuf bin Ismail al-Nabhani bercerita dalam kitabnya Hujjatullaah ‘ala al-‘Alamin, hlm 799, tentang seorang
ulama shufi terkemuka di Syiraz yang mengislamkan empat orang Majusi, yaitu Syaikh Faris al-Hadzdza’. Ia
bercerita.

Istriku melahirkan anak bayi pada malam yang diguyur hujan dan sangat dingin. Aku tidak punya apa-apa. Tidak ada
kayu bakar. Tidak ada minyak untuk lampu dan tidak ada makanan. Hatiku benar-benar susah karena memikirkan hal
tersebut, hingga akhirnya aku mengantuk dan tertidur.

Dalam tidur aku bermimpi berjumpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mengucapkan salam kepadaku
dan bersabda: “Kamu ada apa?” Aku menjawab: “Keadaanku sulit sekali wahai Rasulullah. Punya anak bayi, tetapi
tidak punya apa-apa.” Beliau bersabda: “Besok pagi kamu datangi si fulan yang beragama Majusi itu [seorang laki-
laki yang telah aku kenal], dan katakanlah kepadanya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadamu:
“Berikanlah kepadaku uang dua puluh Dirham!”.

Aku terbangun dari tidurku. Aku berkata dalam hati, ini mimpi yang aneh. Tapi Setan tidak bisa menyerupai
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku kembali tidur lagi. Lalu bermimpi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam lagi dan bersabda kepadaku: “Jangan kamu remehkan mimpi ini. Temuilah si fulan yang Majusi itu!”

Keesokan harinya, aku pergi untuk menemuinya. Ternyata ia sedang berdiri di pintu rumahnya dan di saku bajunya
terdapat sesuatu. Lalu ia berkata: “Wahai Tuan Guru.” Padahal ia belum pernah mengenalku. Aku menjadi malu untuk
mengucapkan maksud kedatanganku. Aku berkata dalam hati, jangan-jangan orang ini menganggapku orang yang
bodoh.
Ia mengamati wajahku, lalu berkata: “Ada perlu apa?” Aku menjawab: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda kepadamu, “Serahkan kepadaku uang dua puluh Dirham!” Lalu ia membuka saku bajunya dan berkata: “Ini
uang dua puluh Dirham.” Aku mengambilnya dan aku berkata: “Wahai ki sanak. Kalau aku, telah mengenalmu, lalu
aku mendatangimu. Kamu sendiri dari mana mengetahui hal ini ? Bagaimana Anda bisa mengenalku?”

Ia menjawab: “Tadi malam aku bermimpi berjumpa seorang laki-laki yang ciri-cirinya begini dan begini. Beliau
bersabda: “Besok pagi kalau ada seorang laki-laki yang keadaan dan ciri-cirinya begini dan begini, maka berikan ia
uang dua puluh Dirham!” Jadi aku mengenalmu dari tanda yang aku tahu dari mimpi.”

Aku berkata: “Orang yang ada dalam mimpimu itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Lalu laki-laki itu diam
sambil merenung. Kemudian berkata: “Bawalah aku ke rumahmu!” Aku membawanya ke rumahku. Lalu ia
menyatakan masuk Islam. Lalu saudara perempuannya, anak laki-lakinya dan istrinya datang menyusul. Empat orang
dari keluarga itu akhirnya masuk Islam dan menjadi orang baik dalam keislamannya.

Bermimpi bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga telah mengarahkam al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari,
yang semua seorang tokoh Mu’tazilah, menjadi pemimpin Ahlussunnah Wal-Jamaah.

Suatu ketika, pada permulaan bulan Ramadhan, al-Asy'ari tidur dan bermimpi bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Beliau bersabda: "Wahai Ali, tolonglah pendapat-pendapat yang diriwayatkan dariku, karena itu yang benar."
Setelah terbangun, al-Asy'ari merasakan mimpi itu sangat berat dalam pikirannya. Dia terus memikirkan apa yang
dialaminya dalam mimpi.

Pada pertengahan bulan Ramadhan, ia bermimpi lagi bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau bersabda:
"Apa yang kamu lakukan dengan perintahku dulu?" Al-Asy'ari menjawab: "Aku telah memberikan pengertian yang
benar terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan darimu." Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"Tolonglah pendapat-pendapat yang diriwayatkan dariku, karena itu yang benar." Setelah terbangun dari tidurnya, al-
Asy'ari merasa sangat terbebani dengan mimpi itu. Sehingga dia bermaksud meninggalkan ilmu kalam. Dia akan
mengikuti hadits dan terus membaca al-Qur'an.

Tetapi, pada malam 27 Ramadhan, tidak seperti biasanya, rasa kantuk yang begitu hebat menyerangnya, sehingga ia
pun tertidur dengan rasa kesal dalam hatinya, karena telah meninggalkan kebiasaannya tidak tidur malam untuk
beribadah kepada Allah. Dalam tidur itu ia bermimpi bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk ketiga kalinya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Apa yang kamu lakukan dengan perintahku dulu?" Ia menjawab: "Aku
telah meninggalkan ilmu kalam, dan aku konsentrasi menekuni al-Qur'an dan hadits." Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: "Aku tidak menyuruhmu meninggalkan ilmu kalam. Tetapi aku hanya memerintahmu menolong
pendapat-pendapat yang diriwayatkan dariku, karena itu yang benar." Ia menjawab: "Wahai Rasulullah, bagaimana
aku mampu meninggalkan madzhab yang telah aku ketahui masalah-masalah dan dalil-dalilnya sejak tiga puluh tahun
yang lalu hanya karena mimpi?" Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Andaikan aku tidak tahu bahwa Allah
akan menolongmu dengan pertolongan-Nya, tentu aku menjelaskan kepadamu semua jawaban masalah-masalah
(ajaran Mu'tazilah) itu. Bersungguh-sungguhlah kamu dalam masalah ini, Allah akan menolongmu dengan
pertolongan-Nya."

Setelah bangun dari tidurnya, al-Asy'ari berkata: "Selain kebenaran pasti hanya kesesatan." Lalu ia mulai membela
hadits-hadits yang berkaitan dengan ru'yah (melihat Allah di akhirat), syafa'at dan lan-lain. Ternyata setelah itu, al-
Asy'ari mampu memaparkan kajian-kajian dan dalil-dalil yang belum pernah dipelajarinya dari seorang guru, tidak
dapat dibantah oleh lawan dan belum pernah dibacanya dalam suatu kitab.

Kisah tersebut diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibnu Asakir dalam kitabnya, Tabyin Kidzb al-Muftari hlm. 38, Ibnu
Khallikan dalam Wafayat al-A'yan juz 3 hlm. 284, dan Tajuddin al-Subki dalam Thabaqat al-Syafi'iyyah al-Kubra juz
3 hlm. 219.

Dalam kisah Imam al-Asy’ari di atas dapat disimpulkan, bahwa perpindahan beliau dari Mu’tazilah adalah sebab
mimpi bertemu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan beliau tidak hanya berpindah, setelah kembali kepada
Ahlussunnah Wal-Jamaah, beliau dikarunia ilmu-ilmu yang belum pernah dipelajari sebelumnya dalam rangka
membela ajaran Ahlussunnah Wal-Jamaah. Dalam dunia kaum shufi, ilmu semacam ini disebut dengan ilmu ladunni.
Pada abad pertengahan, mimpi bertemu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan berita gembira
tentang kebenaran ajaran Ahlussunnah Wal-Jamaah. Al-Imam Zainul Qurra’ Jamalul Haram Abu al-Fath Amir bin
Najim bin Amir al-‘Arabi al-Sawi rahimahullah bertaka:

“Pada hari Ahad 14 Syawal tahun 545 H aku memasuki Masjidil Haram. Aku semacam agak pening dan pusing
kepala, yang membuatku tidak mampu berdiri atau duduk, karena beratnya kepala yang aku rasakan. Aku mencari
tempat untuk beristirahat sebentar sambil rebahan. Aku melihat pintu rumah orang-orang yang tinggal di Rubath
Ramisyti di samping pintu Azuzah terbuka. Aku menuju tempat itu dan memasukinya. Aku merebahkan badanku pada
lambung kanan dengan melurusi Ka’bah. Tangan aku letakkan di bawah pipiku, agar aku tidak tidur yang akan
mengakibatkan wudhuku batal.

Tiba-tiba ada seorang laki-laki Ahli-Bid’ah yang terkenal datang dan menghamparkan tempat shalatnya di pintu
rumah itu. Ia mengeluarkan papan kecil dari sakunya, yang aku kira terbuat dari batu dan ada tulisannya. Ia mencium
papan itu dan meletakkan di depannya. Ia mengerjakan shalat dengan panjang, tangannya dibiarkan terlepas seperti
kebiasaan mereka. Ia akan bersujud pada papan kecil itu dalam setiap bersujud. Setelah selesai shalat, ia bersujud
pada papan itu dan lama sekali. Ia juga menyapukan kedua pipinya pada papan itu. Lalu berdoa dengan khusyuk.
Kemudian mengangkat kepalanya dan mencium papan itu. Meletakkannya ke wajahnya, lalu menciumnya lagi.
Kemudian memasukkannya ke dalam sakunya yang semula.

Setelah aku melihat kejadian itu, aku membencinya dan merasa gelisah karenanya. Dalam hati aku berkata:
“Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup di antara kami, untuk menyampaikan kepada mereka
tentang perbuatan mereka yang buruk dan penuh dengan bid’ah, alangkah baiknya.”

Sambil merenung aku berusaha mengusir rasa kantuk dari diriku agar tidak menguasaiku, sehingga akan merusak
kesucianku. Ketika demikian itu, tiba-tiba kantuk menyerang dan mengalahkanku. Aku seolah-olah antara sadar dan
tidur. Aku melihat halaman luas yang penuh dengan orang-orang yang berdiri di situ.
Aku bertanya kepada orang-orang tentang keadaan mereka dan siapa yang ada di pertemuan itu. Mereka menjawab:
“Itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan mereka para ulama pemilik madzhab hendak membacakan kitab-
kitab madzhab dan akidah mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta untuk dikoreksi
kepada baginda.

Pada saat demikian, aku melihat mereka, tiba-tiba seseorang di antara yang ada di situ datang membawa kitab.
Katanya, beliau Imam al-Syafi’i radhiyallaahu ‘anhu. Beliau memasuki pertengahan halaqah dan mengucapkan salam
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
ketampanan dan kesempurnaannya memakai baju putih yang telah dicuci dan bersih, berupa serban, gamis dan
pakaian seperti kaum shufi. Baginda membalas salam dan menyambut beliau. Al-Syafi’i duduk di hadapan baginda
dan membacakan kitab tentang mazhhab dan akidahnya kepada baginda.

Setelah itu datang orang lain. Katanya, Imam Abu Hanifah radhiyallaahu ‘anhu dan membawa kitab. Ia mengucapkan
salam dan duduk di sebelah Imam al-Syafi’i. Ia membacakan kitab tentang madzhab dan akidahnya kepada baginda.
Kemudian dilanjutkan oleh setiap ulama yang memiliki madzhab, hingga tinggal sedikit yang tersisa. Setiap orang
yang membacakan kitabnya, akan duduk di sebelah orang yang sebelumnya. Setelah mereka selesai, tiba-tiba seorang
ahli-bid’ah yang dijuluki dengan Rafidhah datang membawa beberapa koras tidak dijilid. Isinya akidah-akidah
mereka yang batil. Orang tersebut hendak memasuki perkumpulan dan membacakannya kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba seseorang yang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar mengusirnya dan
menghinakannya.

Setelah orang-orang selesai membacakan kitab-kitab mereka, dan tidak ada seseorang yang membaca kepada baginda,
maka aku maju sedikit. Aku memegang kitab satu jilid. Aku berseru dan berkata: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, kitab ini akidahku dan akidah Ahlussunnah Wal-Jamaah. Jika engkau berkenan, aku akan membacakannya
kepadamu.” Baginda bersabda: “Kitab apa itu?” Aku menjawab: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ini
kitab Qawa’id al-‘Aqaid yang dikarang oleh al-Ghazali.” Baginda merestui aku untuk membacanya. Aku duduk dan
mulai membaca.

Setelah aku sampai pada bagian, “Menyaksikan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya Allah subhanahu
wa ta’ala mengutus Nabi yang ummi, yang berbangsa Quraisy, yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan
risalah-Nya kepada seluruh bangsa Arab dan Ajam dan manusia,” aku melihat wajah baginda shallallahu ‘alaihi wa
sallam berseri-seri, karena aku telah sampai pada sifat dan ciri-ciri baginda. Baginda menoleh kepadaku dan bersabda:
“Al-Ghazali di mana?” Ternyata al-Ghazali seakan-akan berdiri di pertemuan itu di hadapan baginda. Ia berkata: “Ini
aku wahai Rasulullah!” Ia maju dan mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baginda
membalas salamnya dan memberikan tangannya yang mulia. Al-Ghazali mencium tangan baginda dan meletakkannya
ke kedua pipinya, karena bertabaruk dengan baginda dan dengan tangan yang mulia dan diberkati. Kemudian ia
duduk.

Aku tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat berseri-seri dengan bacaan seseorang seperti ketika
melihat bacaanku terhadap kitab Qawa’id al-Aqaid. Kemudian aku terbangun. Sementara air bercucuran dari kedua
mataku karena terharu dengan apa yang aku lihat dalam mimpi. Hal ini adalah nikmat yang agung dari Allah. Lebih-
lebih pada zaman akhir yang disertai banyaknya pengikut hawa nafsu.”

Kisah tersebut diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibnu Asakir al-Dimasyqi dalam kitabnya Tabyin Kidzb al-Muftari, hlm
227-233. Kisah tersebut menjadi berita gembira dan nikmat yang agung bagi umat Islam pengikut Ahlussunnah Wal-
Jamaah, karena akidahnya telah diakui oleh baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perawi kisah di atas
adalah para ulama terkemuka yang tidak diragukan lagi kejujuran dan keshalehannya.

Pada masa belakangan, bermimpi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengarahkan seorang ulama besar di
Makkah al-Mukarramah, yaitu Sayyid Ahmad bin Ramadhan al-Maliki al-Marzuqi al-Hasani untuk menulis kitab
akidah Ahlussunnah Wal-Jamaah yang disebut dengan nama ‘Aqidah al-‘Awam, nazam akidah yang terdiri dari 54
bait. Beliau mengisahkan pengalaman pribadinya.

Pada akhir malam Jumat, 6 Rajab tahun 258 H, al-Marzuqi bermimpi bertemu baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Baginda bersabda: “Bacalah nazham Tauhid, dimana siapa yang menghapalnya akan masuk surga.” Baginda
bersabda: “Maksudnya dari setiap kebaikan yang sesuai dengan al-Kitab dan Sunnah.” Beliau bertanya: “Nazham
apakah itu wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Sementara para sahabat radhiyallaahu ‘anhum berdiri di
sekitar baginda. Mereka berkata kepada al-Marzuqi: “Dengarkanlah dari baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam apa yang akan disabdakan.”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Katakanlah, abdau bismillaahi warrahmaani.” Lalu al-
Marzuqi membaca, abdau bismillaahi warrahmaani sampai selesai, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendengarkan.” Ketika Sayyid al-Marzuqi bangun dari tidur, beliau membaca apa yang dilihatnya dalam mimpi,
ternyata telah hapal dari awal sampai akhir.

Setelah orang-orang diberitahu tentang mimpi tersebut, mereka meminta Sayyid al-Marzuqi untuk menulisnya. Lalu
beliau menambah beberapa permasalahan di bagian akhir. Sedangkan nazham yang dialami dalam mimpi, hanya
sampai pada bait ke-27. Bait ke-28 sampai bait ke-54 adalah tambahan beliau.

Kisah tersebut disampaikan oleh Sayyid al-Marzuqi dalam kitabnya Tahshil Nail al-Maram li-Bayan Manzhumah
‘Aqidah al-‘Awam hlm 330 dan dikutip oleh Syaikh Nawawi Banten dalam Nur al-Zhalam. Kitab ‘Aqidah al-‘Awal
telah diberi syarah oleh para ulama, antara lain oleh penulisnya sendiri yang telah disebutkan barusan. Juga diberi
syarah oleh Syaikh Nawawi Banten dengan nama kitab Nur al-Zhalam dan Ust Ihya’ ‘Ulumuddin, ulama kontemporer
dari Surabaya. Sayyid Ahmad al-Marzuqi lahir di Sanbath, Mesir pada tahun 1205 H. Para sejarawan berbeda
pendapat tentang tahun wafatnya. Tetapi diperkirakan beliau wafat sekitar atau setelah tahun 1281 H di Makkah al-
Mukarramah.

Semua paparan di atas mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi
sebab datangnya petunjuk kepada umat manusia. Orang-orang yang semula kafir, akhirnya masuk Islam. Orang yang
semula pengikut aliran sesat, kembali kepada Ahlussunnah Wal-Jamaah. Orang yang semula berkeinginan melakukan
kemaksiatan, hatinya menjadi lembut dan tidak menoleh pada kemaksiatan. Sedangkan orang yang ada dalam
kebenaran, semakin mantap dan yakin dengan kebenaran yang dipeganginya. Oleh karena itu, keagungan tersebut
diredaksikan dalam shalawat Nariyah dengan wa husn al-khawatim. Wallahu a’lam.
‫‪SYARAH SHALAWAT NARIYAH BERDASARKAN HADITS-HADITS NABI shallallahu‬‬
‫‪‘alaihi wa sallam‬‬
‫‪Bagian 6‬‬
‫َوﯾُ ْﺴﺘَ ْﺴﻘَﻰ ْاﻟ َﻐ َﻤﺎ ُم ﺑِ َﻮﺟْ ِﮭ ِﮫ ْاﻟ َﻜ ِﺮﯾ ِْﻢ‬
‫”‪“Dan hujan diturunkan [oleh Allah] sebab [berkah] wajahnya yang mulia [shallallahu ‘alaihi wa sallam].‬‬
‫‪Maksud redaksi di atas, Allah menurunkan hujan ke bumi ketika orang-orang memang memerlukan hujan pada saat‬‬
‫‪terjadi kekeringan, sebab berkah wajah baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Dalam bahasa yang‬‬
‫‪lebih mudah dimengerti, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi sebab diturunkannya hujan. Terdapat‬‬
‫‪beberapa dalil yang berkaitan hal tersebut.‬‬

‫‪Dalil Pertama‬‬

‫‪Permohonan turunnya hujan pada masa Jahiliyah yang dilakukan oleh Abdul Muththalib, kakek Nabi shallallahu‬‬
‫‪‘alaihi wa sallam. Allah menurunkan hujan sebab baginda.‬‬

‫ﺖ َﻋﻠَﻰ ﻗُ َﺮ ْﯾ ٍ‬
‫ﺶ‬ ‫ﺖ‪ :‬ﺗَﺘَﺎﺑَ َﻌ ْ‬ ‫ﺐ ﻗَﺎﻟَ ْ‬ ‫ﺖ ﻟُ ﱠﺪةَ َﻋ ْﺒ ِﺪ ْاﻟ ُﻤﻄﱠﻠِ ِ‬ ‫ﺎف‪َ ،‬و َﻛﺎﻧَ ْ‬ ‫ﺎﺷ ِﻢ ﺑ ِْﻦ َﻋ ْﺒ ِﺪ َﻣﻨَ ٍ‬‫ﺻ ْﯿﻔِ ﱢﻲ ﺑ ِْﻦ ھَ ِ‬ ‫ﺖ أَﺑِﻲ َ‬ ‫َﻋ ْﻦ ُرﻗَ ْﯿﻘَﺔَ ﺑِ ْﻨ ِ‬
‫ﺻ ِﺤ ٍﻞ‬ ‫ت َ‬ ‫ﺼ ْﻮ ٍ‬ ‫ﻒ ﯾَﺼْ ُﺮ ُخ ﺑِ َ‬ ‫ﻈ َﻢ ﻓَﺒَ ْﯿﻨَﺎ أَﻧَﺎ َراﻗِ َﺪةٌ اﻟﻠّﮭُ ﱠﻢ أَ ْو َﻣ ْﮭ ُﻤﻮ َﻣﺔٌ ﻓَﺈِ َذ ً◌ا ھَﺎﺗِ ٌ‬ ‫ﺖ ْاﻟ َﻌ ْ‬‫ﺖ اﻟﻀﱠﺮْ َع َوأَ َرﻗﱠ ِ‬ ‫ﻮن أَ ْﻗ َﺤﻠَ ِ‬ ‫ِﺳﻨُ َ‬
‫ﻲ ھَﻼّ ﺑِ ْﺎﻟ َﺤﯿَﺎ‬ ‫ﱠﺎن ﻧُﺠُﻮ ِﻣ ِﮫ ﻓَ َﺤ ﱠ‬ ‫ُﻮث ﻗَ ْﺪ أَظَﻠﱠ ْﺘ ُﻜ ْﻢ أَﯾﱠﺎ ُﻣﮫُ‪َ ،‬وھَ َﺬا إِﺑ ُ‬ ‫ﻲ ْاﻟ َﻤ ْﺒﻌ َ‬ ‫ﺶ إِ ﱠن ھَ َﺬا اﻟﻨﱠﺒِ ﱠ‬‫ﯾَﻘُﻮ ُل‪َ :‬ﻣ ْﻌ َﺸ َﺮ ﻗُ َﺮ ْﯾ ٍ‬
‫ب‪َ ،‬ﺳ ْﮭ َﻞ ْاﻟ َﺨ ﱠﺪﯾ ِْﻦ‪،‬‬ ‫ﻒ ْاﻷَ ْھ َﺪا ِ‬ ‫ﻀﺎ أَ ْوطَ َ‬ ‫ﺾ ﺑَ ًّ‬ ‫ﺐ‪ ،‬أَﻻَ ﻓَﺎ ْﻧﻈُﺮُوا َر ُﺟﻼً ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ َو ِﺳﯿﻄًﺎ ِﻋﻈَﺎ ًﻣﺎ ِﺟ َﺴﺎ ًﻣﺎ أَ ْﺑﯿَ َ‬ ‫َو ْاﻟ ِﺨﺼْ ِ‬
‫ﻄ ٍﻦ َر ُﺟ ٌﻞ‬ ‫ﻂ إِﻟَ ْﯿ ِﮫ ِﻣ ْﻦ ُﻛﻞﱢ ﺑَ ْ‬ ‫ﯿﻦ‪ ،‬ﻟَﮫُ ﻓَ ْﺨ ٌﺮ ﯾَ ْﻜ ِﻈ ُﻢ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو ُﺳﻨﱠﺔٌ ﺗَ ْﮭ ِﺪي إِﻟَ ْﯿ ِﮫ‪ ،‬ﻓَ ْﻠﯿَ ْﺨﻠُﺺْ ھُ َﻮ َو َوﻟَ ُﺪهُ َو ْﻟﯿَ ْﮭﺒِ ْ‬ ‫أَ َﺷ ﱠﻢ ْاﻟ ِﻌﺮْ ﻧِ ِ‬
‫ع اﻟ ﱠﺮ ُﺟ ُﻞ َو ْﻟﯿُ َﺆ ﱢﻣ ِﻦ‬ ‫ﺲ ﺛُ ﱠﻢ ﻟِﯿَ ْﺪ ُ‬ ‫ﺐ َوﯾَ ْﺴﺘَﻠِ ُﻤﻮا اﻟﺮﱡ ْﻛ َﻦ‪ ،‬ﺛُ ﱠﻢ ﻟِﯿَﺮْ ﻗَ ْﻮا أَﺑَﺎ ﻗُﺒَ ْﯿ ٍ‬ ‫ﻄﯿ ِ‬ ‫ﻓَ ْﻠﯿَ ُﺸﻨﱡﻮا ِﻣ َﻦ ْاﻟ َﻤﺎ ِء‪َ ،‬و ْﻟﯿَ َﻤﺴﱡﻮا ِﻣ َﻦ اﻟ ﱢ‬
‫ﺖ ﻓِﻲ‬ ‫ي َوﻧِ ْﻤ ُ‬ ‫ﺖ ر ُْؤﯾَﺎ َ‬ ‫ﺼﺼْ ُ‬ ‫ﺖ َﻋﻠِ َﻢ ﷲُ َﻣ ْﺬ ُﻋﻮ َرةً ا ْﻗ َﺸ َﻌ ﱠﺮ ِﺟ ْﻠ ِﺪي َو َوﻟِﮫَ َﻋ ْﻘﻠِﻲ َوا ْﻗﺘَ َ‬ ‫ْاﻟﻘَ ْﻮ ُم ﻓَ ِﻐ ْﺜﺘُ ْﻢ َﻣﺎ ِﺷ ْﺌﺘُ ْﻢ‪ ،‬ﻓَﺄَﺻْ ﺒَﺤْ ُ‬
‫ﺶ‬‫ت ﻗُ َﺮ ْﯾ ٍ‬ ‫ﺖ إِﻟَ ْﯿ ِﮫ ِر َﺟﺎﻻَ ُ‬ ‫ب َﻣ ﱠﻜﺔَ ﻓَ َﻮاﻟَﺤُﺮْ َﻣ ِﺔ َو ْاﻟ َﺤ َﺮ ِم َﻣﺎ ﺑَﻘِ َﻲ ﺑِﮭَﺎ أَ ْﺑﻄَ ِﺤ ﱞﻲ إِﻻﱠ ﻗَﺎ َل‪ :‬ھَ َﺬا َﺷ ْﯿﺒَﺔُ ْاﻟ َﺤ ْﻤ ِﺪ َوﺗَﻨَﺎھَ ْ‬ ‫ِﺷ َﻌﺎ ِ‬
‫ﺲ َواﺻْ ﻄَﻔﱡﻮا َﺣ ْﻮﻟَﮫُ َﻣﺎ ﯾَ ْﺒﻠُ ُﻎ‬ ‫ﻄ ٍﻦ َر ُﺟ ٌﻞ ﻓَ َﺸﻨﱡﻮا ْاﻟ َﻤﺎ َء َو َﻣﺴﱡﻮا َوا ْﺳﺘَﻠَ ُﻤﻮا ﺛُ ﱠﻢ ارْ ﺗَﻘَ ْﻮا أَﺑَﺎ ﻗُﺒَ ْﯿ ٍ‬ ‫ﺖ إِﻟَ ْﯿ ِﮫ ِﻣ ْﻦ ُﻛﻞﱢ ﺑَ ْ‬ ‫َوھَﺒَﻄَ ْ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ُﻏﻼَ ٌم‬ ‫ﺐ َو َﻣ َﻌﮫُ َرﺳُﻮ ُل ﷲِ َ‬ ‫َﺳ ْﻌﯿُﮭُ ْﻢ ُﻣ ِﮭﻠﱠﮫُ َﺣﺘﱠﻰ إِ َذا ا ْﺳﺘَ َﻮ ْوا ﺑِ ِﺬرْ َو ِة ْاﻟ َﺠﺒَ ِﻞ ﻗَﺎ َم َﻋ ْﺒ ُﺪ ْاﻟ ُﻤﻄﱠﻠِ ِ‬
‫ﺖ ُﻣ َﻌﻠﱠ ٌﻢ َﻏ ْﯿ ُﺮ ُﻣ َﻌﻠﱠ ٍﻢ َﻣﺴْﺆو ٌل َﻏ ْﯿ ُﺮ‬ ‫ﻒ ْاﻟ ُﻜﺮْ ﺑَ ِﺔ أَ ْﻧ َ‬
‫ﺎﺷ َ‬ ‫ب ﻓَ َﺮﻓَ َﻊ ﯾَ َﺪ ْﯾ ِﮫ ﻓَﻘَﺎ َل‪» :‬اﻟﻠﱠﮭُ ﱠﻢ َﺳﺎ ﱠد ْاﻟ َﺨﻠﱠ ِﺔ َو َﻛ ِ‬ ‫ﻗَ ْﺪ أَ ْﯾﻔَ َﻊ أَ ْو َﻛ َﺮ َ‬
‫ﻒ‪ ،‬اﻟﻠﱠﮭُ ﱠﻢ ﻓَﺄ َ ْﻣ ِﻄ َﺮ ْن‬ ‫ﻈ ْﻠ َ‬‫ﻒ َواﻟ ﱢ‬ ‫ﺖ ْاﻟ ُﺨ ﱠ‬ ‫ﻚ َﺳﻨَﺘَﮭُ ْﻢ أَ ْذھَﺒَ ِ‬ ‫ﻚ ﯾَ ْﺸ ُﻜ َ‬
‫ﻮن إِﻟَ ْﯿ َ‬ ‫ت َﺣ َﺮ ِﻣ َ‬‫ك ﺑِ َﻌ َﺬ َرا ِ‬ ‫ك َوإِ َﻣﺎ ُؤ َ‬ ‫ُﻣﺒَ ﱠﺨ ٍﻞ َوھَ ِﺬ ِه ُﻋﺒَ َﺪا ُؤ َ‬
‫ﯿﺠ ِﮫ‬ ‫ت اﻟ ﱠﺴ َﻤﺎ ُء ﺑِ َﻤﺎ ﻓِﯿﮭَﺎ َوا ْﻛﺘَﻆﱠ ْاﻟ َﻮا ِدي ﺑِﺜَ ِﺠ ِ‬ ‫َﻋﻠَ ْﯿﻨَﺎ ُﻣ ْﻐ ِﺪﻗًﺎ َﻣﺮْ ﺗَﻌًﺎ«‪ .‬ﻓَ َﻮ َربﱢ ْاﻟ َﻜ ْﻌﺒَ ِﺔ َﻣﺎ َرا ُﻣﻮا َﺣﺘﱠﻰ ﺗَﻔَ ﱠﺠ َﺮ ِ‬
‫ﻮن ﻟِ َﻌ ْﺒ ِﺪ‬ ‫ب ﺑ َْﻦ أُ َﻣﯿﱠﺔَ َو ِھ َﺸﺎ َم ﺑ َْﻦ ْاﻟ ُﻤ ِﻐﯿ َﺮ ِة ﯾَﻘُﻮﻟُ َ‬ ‫ﺎن َو َﺣﺮْ َ‬ ‫ﺶ َو ِﺟﻠﱠﺘَﮭَﺎ َﻋ ْﺒ َﺪ ﷲِ ﺑ َْﻦ ُﺟ ْﺪ َﻋ َ‬ ‫ﺎن ﻗُ َﺮ ْﯾ ٍ‬ ‫ْﺖ ِﺷﯿ َﺨ َ‬ ‫ﻓَ َﺴ ِﻤﻌ ُ‬
‫ﺖ أَﺑِﻲ‬ ‫ﻚ َﻣﺎ ﺗَﻘُﻮ ُل ُرﻗَ ْﯿﻘَﺔُ ﺑِ ْﻨ ُ‬ ‫ﻄ َﺤﺎ ِء َو ِﻓﻲ َذﻟِ َ‬ ‫ﻚ أَ ْھ ُﻞ ْاﻟﺒَ ْ‬ ‫ﻄ َﺤﺎ ِء أَيْ َﻋ َ‬
‫ﺎش ﺑِ َ‬ ‫ﻚ أَﺑَﺎ ْاﻟﺒَ ْ‬ ‫ﺐ‪ :‬ھَﻨِﯿﺌًﺎ ﻟَ َ‬ ‫ْاﻟ ُﻤﻄﱠﻠِ ِ‬
‫ﺻ ْﯿﻔِ ّﻲ ِ َﺷ ْﯿﺒَﺔَ ْاﻟ َﺤ ْﻤ ِﺪ أَ ْﺳﻘَﻰ ﷲُ ﺑَ ْﻠ َﺪﺗَﻨَﺎ ‪َ ...‬وﻗَ ْﺪ ﻓَﻘَ ْﺪﻧَﺎ ْاﻟ َﺤﯿَﺎ َواﺟْ ﻠَ ﱠﻮ َذ ْاﻟ َﻤﻄَﺮ‬ ‫َ‬
‫ﺖ ﺑِ ِﮫ ْاﻷَ ْﻧ َﻌﺎ ُم َواﻟ ﱠﺸ َﺠ ُﺮ‬‫ﻓَ َﺠﺎ َد ﺑِ ْﺎﻟ َﻤﺎ ِء ﺟُﻮﻧِ ﱡﻲ ﻟَﮫُ َﺳﺒَ ٌﻞ ‪َ ...‬ﺳ ًّﺤﺎ ﻓَ َﻌﺎ َﺷ ْ‬
‫ﻀ ُﺮ‬ ‫ت ﯾَ ْﻮ ًﻣﺎ ﺑِ ِﮫ ُﻣ َ‬ ‫ﻮن طَﺎ ِﺋ ُﺮهُ ‪َ ...‬و َﺧﯿ ِْﺮ َﻣ ْﻦ ﺑُ ﱢﺸ َﺮ ْ‬
‫َﻣﻨًّﺎ ِﻣ َﻦ ﷲِ ﺑِ ْﺎﻟ َﻤ ْﯿ ُﻤ ِ‬
‫ك ْاﻷَ ْﻣ ِﺮ ﯾُ ْﺴﺘَ ْﺴﻘَﻰ ْاﻟ َﻐ َﻤﺎ ُم ﺑِ ِﮫ ‪َ ...‬ﻣﺎ ﻓِﻲ ْاﻷَﻧَ ِﺎم ﻟَﮫُ ِﻋ ْﺪ ٌل َوﻻَ َﺧﻄَ ُﺮ‬
‫ُﻣﺒَﺎ َر ُ‬
Ruqaiqah binti Abi Shaifi bin Hasyim bin Abdi Manaf – wanita yang seusia dengan Abdul Muththalib – berkata:
“Kekeringan terus menerus melanda orang-orang Quraisy yang mengakibatkan keringnya tetek hewan dan lemahnya
tulang. Ketika aku tidur atau bersedih, tiba-tiba aku bermimpi ada hatif (suara tanpa kelihatan orangnya) yang berseru
dengan suara yang tidak tajam. Suara itu berkata:
“Hai golongan Quraisy, sesungguhnya hari-hari Nabi yang diutus ini telah menaungi kalian. Ini adalah waktu
kemunculannya. Marilah menuju turunnya hujan dan kesuburan. Ingatlah kalian! Lihatlah seseorang yang nasabnya
bagus, orangnya agung, besar, kulitnya putih dengan warna lembut dan bersih, bermata lebar dan lentik, kedua pipinya
datar, pribadinya luhur, ia memiliki kebanggaan yang disembunyikannya dan jalan hidup yang dapat menunjukkan
manusia. Maka hendaknya orang ini keluar bersama anaknya. Dari setiap marga hendaknya turun satu orang laki-laki.
Hendaknya mereka mandi dengan air, memakai minyak wangi, menyentuh Rukun Yamani [Ka’bah], kemudian
menaiki gunung Aba Qubais, kemudian laki-laki itu hendaklah berdoa, sementara orang-orang membaca amin, maka
hujan dan pertolongan akan datang kepada kalian sesuai keinginan kalian.”
Pagi harinya –Allah mengetahui- aku menjadi ketakutan, bulu kulitku merinding dan kesadaran akalku hilang. Aku
menceritakan mimpiku, dan mimpi itu menyebar ke lorong-lorong bukit Makkah. Demi kemuliaan dan tanah suci,
semua penduduk Makkah berkata: “[Laki-laki yang dimaksud dalam mimpi] ini adalah Syaibah al-Hamdi [julukan
Abdul Muththalib]”.
Lalu semua tokoh-tokoh Quraisy mendatanginya. Lalu dari setiap marga turun kepadanya seorang laki-laki. Mereka
mandi, memakai minyak wangi, menyentuh Rukun Yamani (Ka’bah), kemudian menaiki gunung Aba Qubais, berbaris
di sekitarnya (Abdul Muththalib), dimana kecepatan mereka tidak sampai pada kepelanannya. Sehingga manakala
mereka sampai ke puncak gunung, Abdul Muththalib berdiri bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam –
seorang anak laki-laki yang menjelang masa dewasa. Lalu ia mengangkat kedua tangannya, dan berdoa:
“Ya Allah Yang Maha Menutupi Keperluan dan Pembuka Kesusahan, Engkau yang memberikan ilmu dan tidak perlu
diberitahu, Engkau yang diminta dan tidak pelit. Ini hamba-hamba-Mu, laki-laki dan perempuan di halaman Tanah
Suci-Mu, mereka mengadukan kepada-Mu kekeringan yang telah menghabiskan kambing dan unta. Ya Allah,
turunkanlah kepada kami hujan yang besar, lebat dan menyuburkan.”
Demi Tuhan Yang Menguasai Ka’bah. Mereka terus menerus berdoa, hingga akhirnya langit menyemburkan airnya,
dan lembah dipenuhi dengan aliran air yang banyak. Lalu aku mendengar para tokoh dan pembesar Quraisy, yaitu
Abdullah bin Jud’an, Harb bin Umayyah dan Hisyam bin al-Mughirah berkata kepada Abdul Muththalib: “Selamat
buat Anda wahai pemimpin Makkah, sebab engkau penduduk Makkah dapat hidup.”

Mengenai kejadian itu, Ruqaiqah binti Abi Shaifi berkata [dalam sebuah syair]:
Sebab Syaibah al-Hamdi Allah menyiram negeri kami, padahal kami telah kehilangan kehidupan dan hujan telah lama
tertahan
Awan hitam dermawan dengan air yang memiliki rintik-rintik, dengan hujan lebat yang sebabnya hewan-hewan dan
pepohonan hidup
Karena anugerah dari Allah sebab seseorang yang diberkati, dan sebaik-baik orang yang telah dikabarkan oleh
Mudhar pada suatu hari
Dia orang yang diberkahi urusannya, hujan diturunkan dengan keberkatannya, di antara manusia tidak ada yang
menyamai dan yang menyerupai.
Hadits hasan riwayat Ibnu Sa’ad dalam al-Thabaqat juz 1 hlm 89, al-Baladzuri dalam Ansab al-Asyraf [146], Ibnu Abi
al-Dunya dalam al-Mathar wa al-Ra’du wa al-Barqu [29], al-Thabarani dalam al-Du’a’ [2210], al-Mu’jam al-Kabir
[661] dan al-Ahadits al-Thiwal [26], Ibnu al-A’rabi dalam al-Mu’jam [1527], Abu Nu’aim dalam Ma’rifah al-
Shahabah juz 6 hlm 3328, al-Khaththabi dalam Gharib al-Hadits juz 1 hlm 435, al-Baihaqi dalam Dalail al-
Nubuwwah juz 2 hlm 15 dan Ibnu al-Atsir dalam Usud al-Ghabah juz 6 hlm 112. Al-Hafizh Abu Musa al-Madini
berkata, hadits tersebut bernilai hasan dan sanadnya tinggi, sebagaimana dikutip oleh Ibnu al-Atsir.
Dalam hadits hasan di atas, dijelaskan bahwa turunnya hujan ketika Abdul Muththalib bersama orang-orang Quraisy
melakukan doa istisqa’ (doa agar turun hujan) di gunung Aba Qubais, sebab berkah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sebaik-baik manusia yang telah dikabarkan oleh Mudhar, leluhur kaum Quraisy. Dengan demikian, berarti Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjadi sebab turunnya hujan ketika masih kecil menjelang dewasa.
Dalil Kedua

Setelah Abdul Muththalib wafat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diasuh oleh pamannya, Abu Thalib. Pada
masa itu, pernah terjadi kekeringan. Lalu Abu Thalib bersama penduduk Makkah melakukan doa istisqa’ dengan
membawa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai wasilah atau penyebab diturunkannya hujan.

َ ‫ت ﻗَ ْﻮ َل اﻟ ﱠﺸﺎ ِﻋ ِﺮ َوأَﻧَﺎ أَ ْﻧﻈُ ُﺮ إِﻟَﻰ َوﺟْ ِﮫ اﻟﻨﱠﺒِ ﱢﻲ‬


‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ‬ ُ ْ‫ ُرﺑﱠ َﻤﺎ َذ َﻛﺮ‬:‫ﺿ َﻲ ﷲُ َﻋ ْﻨﮭُ َﻤﺎ ﻗَﺎ َل‬ ِ ‫َﻋ ْﻦ اﺑ ِْﻦ ُﻋ َﻤ َﺮ َر‬
ٍ ‫ﯿﺶ ُﻛﻞﱡ ِﻣﯿ َﺰا‬
‫ب‬ َ ‫َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﯾَ ْﺴﺘَ ْﺴﻘِﻲ ﻓَ َﻤﺎ ﯾَ ْﻨ ِﺰ ُل َﺣﺘﱠﻰ ﯾَ ِﺠ‬
‫ﺾ ﯾُ ْﺴﺘَ ْﺴﻘَﻰ ْاﻟ َﻐ َﻤﺎ ُم ﺑِ َﻮﺟْ ِﮭ ِﮫ * ﺛِ َﻤﺎ ُل ْاﻟﯿَﺘَﺎ َﻣﻰ ِﻋﺼْ َﻤﺔٌ ﻟِﻸَ َرا ِﻣ ِﻞ‬
َ َ‫َوأَ ْﺑﯿ‬
ٍ ِ‫َوھُ َﻮ ﻗَ ْﻮ ُل أَﺑِﻲ طَﺎﻟ‬
‫ﺐ‬
“Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma berkata: “Terkadang aku teringat perkataan seorang penyair, ketika melihat wajah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon turunnya hujan, lalu ia tidak turun dari mimbar sehingga air hujan
bercucuran dari semua talang.
Seseorang yang putih, wajahnya menjadi sebab turunnya air hujan
Ia penolong anak-anak yatim dan pelindung para janda
Syair ini perkataan Abu Thalib.” (Hadits shahih riwayat al-Bukhari [1009]).
Dalam hadits shahih di atas, Abu Thalib, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan syair, dengan
kalimat, wayustasqa al-ghamaamu biwajhihi, yang persis dengan redaksi dalam shalawat Nariyah. Maksud dari
kalimat tersebut adalah, “berkah wajah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam air hujan dapat diturunkan oleh Allah”.
Syair tersebut diucapkan di hadapan baginda, diriwayatkan oleh para sahabat di hadapan baginda, dan disebutkan
dalam kitab hadits yang paling shahih, yaitu Shahih al-Bukhari. Karena itu sangat aneh, ketika ada orang Wahabi
mensyirikkan shalawat Nariyah karena redaksi tersebut.
Di sini ada pertanyaan, kapan doa istisqa’ tersebut dilakukan oleh Abu Thalib? Al-Imam al-Qasthalani menjelaskan
dalam kitabnya Irsyad al-Sari Syarh Shahih al-Bukhari bahwa doa istisqa’ tersebut dilakukan oleh Abu Thalib dan
orang-orang Quraisy bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika masih remaja dan diasuh oleh Abu Thalib
sebagaimana dalam riwayat berikut ini:

.‫ت َو ْاﻟ ُﻌ ﱠﺰى‬ َ ‫ اِ ْﻋﺘَ ِﻤ ُﺪوا اﻟﻼﱠ‬:‫ ﻓَﻘَﺎﺋِ ٌﻞ ِﻣ ْﻨﮭُ ْﻢ ﯾَﻘُ ْﻮ ُل‬،‫ﺖ َﻣ ﱠﻜﺔَ َوﻗُ َﺮﯾْﺶٌ ﻓِ ْﻲ ﻗَﺤْ ٍﻂ‬
ُ ‫ ﻗَ ِﺪ ْﻣ‬:‫َﻋ ْﻦ ﺟ ُْﻠﮭُ َﻤﺔَ ﺑ ِْﻦ ﻋُﺮْ ﻓُﻄَﺔَ ﻗَﺎ َل‬
‫ أَﻧﱠﻰ ﺗُ ْﺆﻓَ ُﻜ ْﻮ َن‬:‫ي‬
ِ ‫ اِ ْﻋﺘَ ِﻤ ُﺪوا َﻣﻨَﺎةَ اﻟﺜﺎﻟﺜﺔَ اﻷ ْﺧ َﺮى ﻓَﻘَﺎ َل َﺷ ْﯿ ٌﺦ َو ِﺳ ْﯿ ٌﻢ َﺣ َﺴ ُﻦ ْاﻟ َﻮﺟْ ِﮫ َﺟﯿﱢ ُﺪ اﻟﺮﱠأ‬:‫َوﻗَﺎﺋِ ٌﻞ ِﻣ ْﻨﮭُ ْﻢ ﯾَﻘُ ْﻮ ُل‬
ْ ُ
ُ ‫ ﻓَﻘَﺎ ُﻣ ْﻮا ﺑِﺄَﺟْ َﻤ ِﻌ ِﮭ ْﻢ َوﻗُ ْﻤ‬.‫ إِ ْﯾﮭًﺎ‬:‫ﺐ؟ ﻗَﺎ َل‬
‫ﺖ‬ ٍ ِ‫طﺎﻟ‬ َ ‫ْﺖ أَﺑَﺎ‬ َ ‫ﻚ َﻋﻨَﯿ‬ َ ‫ َﻛﺄَﻧﱠ‬:‫ ﻗَﺎﻟُ ْﻮا‬.‫َوﻓِ ْﯿ ُﻜ ْﻢ ﺑَﻘِﯿﱠﺔُ إِ ْﺑ َﺮا ِھ ْﯿ َﻢ َو ُﺳﻼَﻟَﺔُ إِ ْﺳ َﻤﺎ ِﻋ ْﯿ َﻞ‬
‫ ﯾَﺎ أَﺑَﺎ‬:‫َﻣ َﻌﮭُ ْﻢ ﻓَ َﺪﻗَ ْﻘﻨَﺎ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ ﺑَﺎﺑَﮫُ ﻓَ َﺨ َﺮ َج إِﻟَ ْﯿﻨَﺎ َر ُﺟ ٌﻞ َﺣ َﺴ ُﻦ ْاﻟ َﻮﺟْ ِﮫ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ إِ َزا ٌر ﻗَ ِﺪ اﺗﱠ َﺸ َﺢ ﺑِ ِﮫ ﻓَﺜَﺎر ُْوا إِﻟَ ْﯿ ِﮫ ﻓَﻘَﺎﻟُ ْﻮا‬
‫ﺐ َو َﻣ َﻌﮫُ ُﻏﻼَ ٌم َﻛﺄَﻧﱠﮫُ َﺷ ْﻤﺲُ ُد ُﺟﻨﱠ ٍﺔ‬ ٍ ِ‫ْﻖ ﻟَﻨَﺎ ﻓَ َﺨ َﺮ َج أَﺑ ُْﻮ طَﺎﻟ‬ ِ ‫ب ْاﻟ ِﻌﯿَﺎ ُل ﻓَﮭَﻠُ ﱠﻢ ﻓَﺎ ْﺳﺘَﺴ‬ َ ‫ﺐ أَ ْﻗ َﺤﻂَ ْاﻟ َﻮا ِديْ َوأَﺟْ َﺪ‬ ٍ ِ‫طَﺎﻟ‬
‫ﻖ ظَ ْﮭ َﺮهُ ﺑِ ْﺎﻟ َﻜ ْﻌﺒَ ِﺔ َوﻻَ َذ ﺑِﺈِﺻْ ﺒِ ِﻌ ِﮫ ْاﻟ ُﻐﻼَ ُم َو َﻣﺎ‬ َ ‫ﺼ‬ َ ‫ﺐ ﻓَﺄ َ ْﻟ‬ٍ ِ‫ﺖ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َﺳ َﺤﺎﺑَﺔٌ ﻗَ ْﺘ َﻤﺎ ُء َو َﺣ ْﻮﻟَﮫُ أُ َﻏ ْﯿ ِﻠ َﻤﺔٌ ﻓَﺄ َ َﺧ َﺬهُ أَﺑ ُْﻮ طَﺎﻟ‬ْ ‫ﺗَ َﺠﻠﱠ‬
‫ﺐ اﻟﻨﱠﺎ ِدي‬ َ ‫ﺼ‬ َ ‫ق َوا ْﻧﻔَ َﺠ َﺮ ﻟَﮫُ ْاﻟ َﻮا ِديْ َوأَ ْﺧ‬ َ ‫ق َوا ْﻏ َﺪ ْو َد‬ َ ‫ﻓِ ْﻲ اﻟ ﱠﺴ َﻤﺎ ِء ﻗَ ْﺰ َﻋﺔٌ ﻓَﺄ َ ْﻗﺒَ َﻞ اﻟ ﱠﺴ َﺤﺎبُ ِﻣ ْﻦ ھَﺎھُﻨَﺎ َوھَﺎ ھُﻨَﺎ َوأَ ْﻏ َﺪ‬
:‫ﺐ‬ ٍ ِ‫ﻚ ﯾَﻘُ ْﻮ ُل أَﺑ ُْﻮ طَﺎﻟ‬ َ ِ‫ َوﻓِ ْﻲ َذﻟ‬.‫َو ْاﻟﺒَﺎدي‬
‫ ﺛِ َﻤﺎ ُل ْاﻟﯿَﺘَﺎ َﻣﻰ ِﻋﺼْ َﻤﺔٌ ﻟِﻸَ َرا ِﻣ ِﻞ‬... ‫َوأَ ْﺑﯿَﺾُ ﯾُ ْﺴﺘَ ْﺴﻘَﻰ ْاﻟ َﻐ َﻤﺎ ُم ﺑِ َﻮﺟْ ِﮭ ِﮫ‬
ِ ‫ ﻓَﮭُ ْﻢ ِﻋ ْﻨ َﺪهُ ﻓِ ْﻲ ﻧِ ْﻌ َﻤ ٍﺔ َوﻓَ َﻮ‬... ‫ﺎﺷ ٍﻢ‬
‫اﺿ ِﻞ‬ ُ ‫ﯾَﻠُ ْﻮ ُذ ﺑِ ِﮫ ْاﻟﮭُﻼﱠ‬
ِ َ‫ك ِﻣ ْﻦ آَ ِل ھ‬
“Julhumah bin Urfuthah berkata: “Aku datang ke Makkah ketika orang-orang Quraisy dilanda musim kering. Lalu
seseorang di antara mereka berkata: “Bergantunglah kalian kepada Lata dan Uza!” Seseorang ada yang berkata:
“Bergantunglah kalian kepada Manat yang ketiga yang paling terkemudian!” Lalu seorang tua yang bagus, wajahnya
tampan dan pendapatnya jitu berkata: “Kalian mau ke mana? Sementara pada kalian masih ada seseorang peninggalan
Ibrahim dan keturunan Ismail?” Mereka berkata: “Sepertinya maksud Anda Abu Thalib?” Ia menjawab: “Iya.”
Akhirnya semuanya berdiri, dan aku berdiri mengikuti mereka. Kami mengetuk pintu Abu Thalib. Lalu seorang laki-
laki yang wajahnya tampan keluar menemui kami. Ia hanya mengenakan sarung. Lalu mereka berdiri kepadanya.
Mereka berkata: “Hai Abu Thalib! Di lembah ini telah lama tidak turun hujan. Keluarga telah mengalami kemiskinan.
Marilah kamu memohon turunnya hujan untuk kami.”
Lalu Abu Thalib keluar. Ia bersama seorang pemuda. Ia seolah-olah Matahari yang mengalami kegelapan, yang
padanya tampak mendung yang berdebu. Ia dikelilingi anak-anak kecil. Lalu Abu Thalib mengambil laki-laki itu,
menempelkan punggungnya ke Ka’bah. Pemuda itu memutar jari-jarinya. Di langit tidak ada

mendung. Lalu mendung dari sana sini berdatangan. Mendung itu menjadi banyak dan tebal. Dan air hujan pun
menyembur ke lembah. Kota dan padang pasir menjadi subur. Mengenai hal itu, Abu Thalib berkata [dalam bait
syair]:
Seseorang yang putih, wajahnya menjadi sebab turunnya air hujan
Ia penolong anak-anak yatim dan pelindung para janda
Orang-orang yang kelaparan dari keluarga Hasyim berlindung kepadanya
Mereka di sisinya dalam kenikmatan dan keutamaan
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Dinawari dalam al-Mujalasah wa Jawahir al-‘Ilm [2534], dan Ibnu Asakir. (Lihat al-
Hafizh al-Suyuthi dalam al-Khashaihs al-Kubra juz 1 hlm 208 dan al-Shalihi dalam Subul al-Huda wa al-Rasyad juz 2
hlm 137).
Hadits tersebut dan hadits sebelumnya menjelaskan tentang peran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi
sebab diturunkannya hujan oleh Allah ketika orang-orang Makkah memerlukannya karena lama terjadi kekeringan.

Dalil Ketiga

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus menjadi nabi, doa istisqa’ beberapa kali dilakukan. Antara lain
sebagaimana diterangkan dalam riwayat berikut ini:

،‫ﻀﺎ ِء‬ َ َ‫ار ْاﻟﻘ‬ ِ ‫ﺎن ﻧَﺤْ َﻮ َد‬ َ ‫ب َﻛ‬ ٍ ‫ْﺠ َﺪ ﯾَ ْﻮ َم ُﺟ ُﻤ َﻌ ٍﺔ ِﻣ ْﻦ ﺑَﺎ‬ ِ ‫ﺲ ﺑ ِْﻦ َﻣﺎﻟِ ٍﻚ رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮫ أَ ﱠن َر ُﺟﻼً َد َﺧ َﻞ ْاﻟ َﻤﺴ‬ ِ َ‫َﻋ ْﻦ أَﻧ‬
‫ ﺛُ ﱠﻢ ﻗَﺎ َل ﯾَﺎ‬،‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗَﺎﺋِ ًﻤﺎ‬ َ ِ‫ ﻓَﺎ ْﺳﺘَ ْﻘﺒَ َﻞ َرﺳُﻮ َل ﷲ‬، ُ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗَﺎﺋِ ٌﻢ ﯾَ ْﺨﻄُﺐ‬ َ ِ‫َو َرﺳُﻮ ُل ﷲ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﯾَ َﺪ ْﯾ ِﮫ‬ َ ِ‫ ﻓَ َﺮﻓَ َﻊ َرﺳُﻮ ُل ﷲ‬.‫ع ﷲَ ﯾُ ِﻐﯿﺜُﻨَﺎ‬ ُ ‫ﺖ اﻟ ﱡﺴﺒُ ُﻞ ﻓَﺎ ْد‬ِ ‫ﺖ ْاﻷَ ْﻣ َﻮا ُل َوا ْﻧﻘَﻄَ ْﻌ‬ ْ ‫َرﺳُﻮ َل ﷲِ ھَﻠَ َﻜ‬
ً‫ب َوﻻَ ﻗَ َﺰ َﻋﺔ‬ ٍ ‫ ﻗَﺎ َل أَﻧَﺲٌ َوﻻَ َوﷲِ َﻣﺎ ﻧَ َﺮى ﻓِﻲ اﻟ ﱠﺴ َﻤﺎ ِء ِﻣ ْﻦ َﺳ َﺤﺎ‬.‫ﺛُ ﱠﻢ ﻗَﺎ َل اﻟﻠﱠﮭُ ﱠﻢ أَ ِﻏ ْﺜﻨَﺎ اﻟﻠﱠﮭُ ﱠﻢ أَ ِﻏ ْﺜﻨَﺎ اﻟﻠﱠﮭُ ﱠﻢ أَ ِﻏ ْﺜﻨَﺎ‬
‫ﺖ اﻟ ﱠﺴ َﻤﺎ َء‬ ْ َ‫س ﻓَﻠَ ﱠﻤﺎ ﺗَ َﻮ ﱠﺳﻄ‬ِ ْ‫ﺖ ِﻣ ْﻦ َو َراﺋِ ِﮫ َﺳ َﺤﺎﺑَﺔٌ ِﻣ ْﺜ ُﻞ اﻟﺘﱡﺮ‬ ْ ‫ار ﻗَﺎ َل ﻓَﻄَﻠَ َﻌ‬ٍ ‫ﺖ َوﻻَ َد‬ ٍ ‫َو َﻣﺎ ﺑَ ْﯿﻨَﻨَﺎ َوﺑَﯿ َْﻦ َﺳ ْﻠ ٍﻊ ِﻣ ْﻦ ﺑَ ْﯿ‬
ِ‫ب ﻓِﻲ ْاﻟ ُﺠ ُﻤ َﻌ ِﺔ َو َرﺳُﻮ ُل ﷲ‬ ِ ‫ﻚ ْاﻟﺒَﺎ‬َ ِ‫ﺲ ِﺳﺘًّﺎ ﺛُ ﱠﻢ َد َﺧ َﻞ َر ُﺟ ٌﻞ ِﻣ ْﻦ َذﻟ‬ َ ‫ت ﻓَﻼَ َوﷲِ َﻣﺎ َرأَ ْﯾﻨَﺎ اﻟ ﱠﺸ ْﻤ‬ ْ ‫ت ﺛُ ﱠﻢ أَ ْﻣﻄَ َﺮ‬ ْ ‫ا ْﻧﺘَ َﺸ َﺮ‬
ُ ‫ﺖ اﻟ ﱡﺴﺒُ ُﻞ ﻓَﺎ ْد‬
‫ع‬ ْ ‫ﺖ ْاﻷَ ْﻣ َﻮا ُل َوا ْﻧﻘَﻄَ َﻌ‬ْ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻗَﺎﺋِ ٌﻢ ﯾَ ْﺨﻄُﺐُ ﻓَﺎ ْﺳﺘَ ْﻘﺒَﻠَﮫُ ﻗَﺎﺋِ ًﻤﺎ ﻓَﻘَﺎ َل ﯾَﺎ َرﺳُﻮ َل ﷲِ ھَﻠَ َﻜ‬ َ
‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﯾَ َﺪ ْﯾ ِﮫ ﺛُ ﱠﻢ ﻗَﺎ َل اﻟﻠﱠﮭُ ﱠﻢ َﺣ َﻮاﻟَ ْﯿﻨَﺎ َوﻻَ َﻋﻠَ ْﯿﻨَﺎ اﻟﻠﱠﮭُ ﱠﻢ َﻋﻠَﻰ‬ َ ِ‫ﷲَ ﯾُ ْﻤ ِﺴ ْﻜﮭَﺎ َﻋﻨﱠﺎ ﻗَﺎ َل ﻓَ َﺮﻓَ َﻊ َرﺳُﻮ ُل ﷲ‬
‫ﻚ‬ٌ ‫ﺲ ﻗَﺎ َل َﺷ ِﺮﯾ‬ ِ ‫ﺖ َو َﺧ َﺮﺟْ ﻨَﺎ ﻧَ ْﻤ ِﺸﻲ ﻓِﻲ اﻟ ﱠﺸ ْﻤ‬ ْ ‫ﺖ اﻟ ﱠﺸ َﺠ ِﺮ ﻗَﺎ َل ﻓَﺄ َ ْﻗﻠَ َﻌ‬ ِ ِ‫ﻮن ْاﻷَ ْو ِدﯾَ ِﺔ َو َﻣﻨَﺎﺑ‬ ِ ُ‫ب َوﺑُﻄ‬ ِ ‫ﻈ َﺮا‬ ‫ْاﻵ َﻛ ِﺎم َواﻟ ﱢ‬
‫ﺲ ﺑ َْﻦ َﻣﺎﻟِ ٍﻚ أَھُ َﻮ اﻟ ﱠﺮ ُﺟ ُﻞ ْاﻷَ ﱠو ُل ﻓَﻘَﺎ َل َﻣﺎ أَ ْد ِري‬ َ َ‫ﺖ أَﻧ‬ُ ‫ َﺳﺄ َ ْﻟ‬.
“Dari Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu, “Pada hari Jumat seorang lelaki masuk ke masjid dari pintu yang ada di
sekitar tempat memutuskan, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah berdiri menyampaikan
khutbah. Lalu lelaki itu menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil berdiri. Kemudian berkata: “Hai
Rasulullah, binatang-binatang ternak mati dan jalan-jalan putus. Berdoalah kepada Allah untuk menurunkan hujan.”
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya. Kemudian berkata: “Ya Allah,
limpahkanlah kepada kami hujan. Ya Allah, limpahkanlah kepada kami hujan. Ya Allah, limpahkanlah kepada kami
hujan.”
Anas berkata: “Demi Allah [pada saat itu] kami tidak melihat arak-arakan awan di langit dan di sana tidak terdapat
bangunan atau rumah apa pun yang menghalangi kami dengan [gunung] Sila’.” Anas berkata: “Arakan awal tebal
mirip perisai raksasa muncul dari balik gunung itu, ketika sampai di tengah angkasa, awan itu menyebar dan hujan
pun turun. Demi Allah, kami tidak melihat Matahari selama seminggu.”
Anas berkata: “[Pada hari Jumat berikutnya] seorang lelaki datang lewat pintu yang sama dan pada waktu itu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah berdiri menyampaikan khutbah Jumat. Orang itu berdiri di hadapan
Nabi dan berkata: “Hai Rasulullah, binatang-binatang ternak mati dan jalan-jalan putus. Berdoalah kepada Allah
untuk menghentikan hujan.” Anas berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya
dan berkata: “Ya Allah, ke sekeliling kami, namun jangan di atas kami. Ya Allah, di atas dataran tinggi, di atas
gunung-gunung, di atas bukit-bukit, ke dalam lembah-lembah dan di atas pepohonan tumbuh.” Anas berkata: “Dan
hujan pun berhenti. Kami berjalan di bawah cahaya Matahari.”
Syarik berkata: “Aku bertanya kepada Anas bin Malik, apakah lelaki itu lelaki yang pertama?” Anas berkata: “Aku
tidak tahu.” (Hadits shahih riwayat al-Bukhari [1013] dan Muslim [897]).
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa ketika tengah menyampaikan khutbah Jumat,
lalu hujan turun selama satu minggu. Sehingga pada Jumat berikutnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa
agar hujan itu berhenti.

Dalil Keempat

Setelah wafat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjadi sebab turunnya hujan ketika penduduk Madinah
dilanda kekeringan pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu.

‫ ﻓَ َﺠﺎ َء‬،‫ﺎس ﻗَﺤْ ﻂٌ ﻓِ ْﻲ َز َﻣ ِﻦ ُﻋ َﻤ َﺮ‬ َ ‫ﺎب اﻟﻨﱠ‬ َ ‫ﺻ‬ َ َ‫ أ‬: ‫ ﻗَﺎ َل‬،‫ﺎز َن ُﻋ َﻤ َﺮ َﻋﻠَﻰ اﻟﻄﱠ َﻌ ِﺎم‬ ِ ‫ﺎن َﺧ‬ َ ‫ َو َﻛ‬: ‫ ﻗَﺎ َل‬،‫ار‬ِ ‫َﻋ ْﻦ َﻣﺎﻟِ ٍﻚ اﻟ ﱠﺪ‬
‫ ﻓَﺄَﺗَﻰ اﻟ ﱠﺮ ُﺟ َﻞ‬،‫ﻚ ﻓَﺈِﻧﱠﮭُ ْﻢ ﻗَ ْﺪ ھَﻠَ ُﻜ ْﻮا‬ ِ ‫ ﯾَﺎ َرﺳ ُْﻮ َل ﷲِ اِ ْﺳﺘَﺴ‬:‫َر ُﺟ ٌﻞ إِﻟَﻰ ﻗَﺒ ِْﺮ اﻟﻨﱠﺒِ ﱢﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻓَﻘَﺎ َل‬
َ ِ‫ْﻖ ِﻷُ ﱠﻣﺘ‬
‫ﻚ‬ َ ‫ َﻋﻠَ ْﯿ‬: ُ‫ َوﻗُﻞْ ﻟَﮫ‬،‫ﺖ ُﻋ َﻤ َﺮ ﻓَﺄ َ ْﻗ ِﺮ ْﺋﮫُ اﻟ ﱠﺴﻼَ َم َوأَ ْﺧ ِﺒﺮْ هُ أَﻧﱠ ُﻜ ْﻢ َﻣ ْﺴﻘِﯿ ْﱡﻮ َن‬
َ ‫ﻚ ْاﻟ َﻜﯿ‬
َ ‫ َﻋﻠَ ْﯿ‬،‫ْﺲ‬ ِ ‫ ا ْﺋ‬: ُ‫ﻓِﻲ ْاﻟ َﻤﻨَ ِﺎم ﻓَﻘِ ْﯿ َﻞ ﻟَﮫ‬
ُ‫ت َﻋ ْﻨﮫ‬ ُ ‫ ﯾَﺎ َربﱢ ﻻَ آﻟُ ْﻮ إِﻻﱠ َﻣﺎ َﻋ َﺠ ْﺰ‬:‫ ﻓَﺄَﺗَﻰ ُﻋ َﻤ َﺮ ﻓَﺄ َ ْﺧﺒَ َﺮهُ ﻓَﺒَ َﻜﻰ ُﻋ َﻤ ُﺮ ﺛُ ﱠﻢ ﻗَﺎ َل‬،‫ْﺲ‬ َ ‫ ْاﻟ َﻜﯿ‬.
“Diriwayatkan dari Malik al-Dar, bendahara pangan Khalifah Umar bin al-Khaththab, bahwa musim paceklik
melanda kaum Muslimin pada masa Khalifah Umar. Maka seorang sahabat (yaitu Bilal bin al-Harits al-Muzani)
mendatangi makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan: “Hai Rasulullah, mohonkanlah hujan
kepada Allah untuk umatmu karena sungguh mereka benar-benar telah binasa”. Kemudian orang ini bermimpi
bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau berkata kepadanya: “Sampaikan salamku kepada
Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya “bersungguh-sungguhlah
melayani umat”. Kemudian sahabat tersebut datang kepada Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan
mimpi yang dialaminya. Lalu Umar

menangis dan mengatakan: “Ya Allah, saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu”.
Hadits shahih diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (12/31-32), Ibnu Abi Khaitsamah
sebagaimana dalam al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah (3/484), al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwwah
(7/47), al-Khalili dalam al-Irsyad (1/313-314) dan al-Hafizh Ibnu Abdilbarr dalam al-Isti’ab (2/464). Sanad hadits ini
dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah (7/101) dan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam
Fath al-Bari (2/495). Al-Hafizh Ibnu Katsir juga mengatakan dalam kitabnya yang lain, Jami’ al-Masanid di bagian
Musnad Umar bin al-Khaththab (1/223) bahwa sanad hadits ini jayyid dan kuat. Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar, yang
dimaksud laki-laki yang mendatangi makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melakukan tawassul dalam hadits
ini adalah sahabat Bilal bin al-Harits al-Muzani radhiyallaahu ‘anhu.
Hadits ini menunjukkan dibolehkannya ber-tawassul dengan para nabi dan wali yang sudah meninggal dengan redaksi
nida’ (memanggil) yaitu “Ya Rasulallah”. Ketika Bilal bin al-Harits al-Muzani mengatakan “istasqi liummatik”, maka
maknanya ialah “Mohonkanlah hujan kepada Allah untuk umatmu”, bukan ciptakanlah hujan untuk umatmu.

Dalil Kelima

Setelah Khalifah Umar wafat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjadi sebab turunnya hujan di Madinah,
setelah penduduk Madinah mengikuti saran Sayyidah Aisyah radhiyallaahu ‘anha

‫ﺖ اُ ْﻧﻈُﺮ ُْوا‬ْ َ‫ ﻗَ َﺤﻂَ أَ ْھ ُﻞ ْاﻟ َﻤ ِﺪ ْﯾﻨَ ِﺔ ﻗَﺤْ ﻄًﺎ َﺷ ِﺪ ْﯾﺪًا ﻓَ َﺸ َﻜ ْﻮا إِﻟ َﻰ َﻋﺎﺋِ َﺸﺔَ ﻓَﻘَﺎﻟ‬:‫س ﺑ ِْﻦ َﻋ ْﺒ ِﺪ ﷲِ ﻗَﺎ َل‬ِ ‫ﻋﻦ أَﺑِﻲ ْاﻟ َﺠ ْﻮ َزا ِء أَ ْو‬
‫ﻒ ﻗَﺎ َل‬ٌ ‫ﻗَ ْﺒ َﺮ اﻟﻨﱠﺒِ ﱢﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻓَﺎﺟْ َﻌﻠُ ْﻮا ِﻣ ْﻨﮫُ ُﻛ ًّﻮا إِﻟ َﻰ اﻟ ﱠﺴ َﻤﺎ ِء َﺣﺘﱠﻰ ﻻَ ﯾَ ُﻜ ْﻮ َن ﺑَ ْﯿﻨَﮫُ َوﺑَﯿ َْﻦ اﻟ ﱠﺴ َﻤﺎ ِء َﺳ ْﻘ‬
ِ ‫ﺖ ِﻣ َﻦ اﻟ ﱠﺸﺤْ ِﻢ ﻓَ ُﺴ ﱢﻤ َﻲ َﻋﺎ َم ْاﻟﻔَ ْﺘ‬
‫ﻖ‬ ْ َ‫ﺖ ْا ِﻹﺑِ ُﻞ َﺣﺘﱠﻰ ﺗَﻔَﺘﱠﻘ‬ ِ َ‫ﺖ ْاﻟ ُﻌ ْﺸﺐُ َو َﺳ ِﻤﻨ‬
َ َ‫ﻓَﻔَ َﻌﻠُ ْﻮا ﻓَ ُﻤ ِﻄﺮْ ﻧَﺎ َﻣﻄَﺮًا َﺣﺘﱠﻰ ﻧَﺒ‬
.
“Abu al-Jauza’ Aus bin Abdullah berkata: “Suatu ketika penduduk Madinah mengalami musim paceklik yang sangat
parah. Lalu mereka mengadu kepada Aisyah. Lalu Aisyah berkata: “Kalian lihat makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, buatkan lubang dari makam itu ke langit, sehingga antara makam dan langit tidak ada atap yang
menghalanginya.” Mereka melakukannya. Setelah itu, hujan pun turun dengan lebat sekali, sehingga rerumputan
tumbuh dengan subur dan unta-unta menjadi sangat gemuk, sehingga tahun itu disebut dengan tahun subur.”
Hadits shahih riwayat al-Darimi dalam al-Musnad [100].
Dalam hadits di atas jelas sekali, bahwa Ummul Mu’minin Sayyidah Aisyah radhiyallaahu ‘anha menyuruh umat
Islam kota Madinah pada waktu itu agar bertabaruk dengan makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu,
hujan pun turun dengan lebat.
Sebagian Wahabi yaitu al-Albani dalam kitabnya tentang tawasul mendha’ifkan hadits tersebut dengan alasan bahwa
Sa’id bin Zaid, salah satu perawinya, mengandung kelemahan. Padahal dalam kitab Irwa’ al-Ghalil, al-Albani
menganggap Sa’id bin Zaid sebagai perawi yang haditsnya minimal bernilai hasan. Al-Albani juga beralasan, bahwa
Abu al-Nu’man, guru al-Imam al-Darimi termasuk perawi yang hafalannya

berubah. Padahal para ulama menegaskan, bahwa setelah hafalan Abu al-Nu’man mengalami perubahan, hadits yang
disampaikannya tidak pernah keliru. Sehingga melemahkan hadits tersebut dengan alasan Abu al-Nu’man jelas
mengada-ada.

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar
menjadi sebab turunnya hujan, baik ketika baginda masih kecil menjelang remaja ketika diasuh oleh kakeknya, Abdul
Muththalib, atau setelah menginjak masa remaja ketika diasuh oleh pamannya Abu Thalib, atau setelah dianggat oleh
Allah menjadi nabi dan rasul, dan atau setelah baginda wafat. Karena demikian, keagungan tersebut diredaksikan
dalam shalawat Nariyah dengan kalimat wa yustasqa al-ghamaam biwajhihi al-kariim, persis dengan syair Abu Thalib
yang dibacakan di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallaahu
wajhah di Madinah. Wallaahu a’lam.
DALIL TAMBAHAN UMUM

URAIAN SHALAWAT NARIYAH DAN LAIN-LAIN


Jawaban Terhadap Kaum Wahabi
Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata:

ُ‫ﻚ ﯾُ ْﻌ َﺮض‬ َ ِ‫ ﻓَﺈِﻧﱠ ُﻜ ْﻢ ﻻَ ﺗَ ْﺪر ُْو َن ﻟَ َﻌ ﱠﻞ َذﻟ‬،‫ﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻓَﺄَﺣْ ِﺴﻨُﻮا اﻟﺼﱠﻼةَ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ‬ ‫ﺻﻠ ﱠ‬ َ ِ‫ﺻﻠﱠ ْﯿﺘُ ْﻢ َﻋﻠَﻰ َرﺳ ُْﻮ ِل ﷲ‬ َ ‫إِ َذا‬
‫ﻚ َﻋﻠَﻰ َﺳﯿﱢ ِﺪ ْاﻟ ُﻤﺮْ َﺳﻠِﯿ َْﻦ‬ َ ِ‫ﻚ َوﺑَ َﺮ َﻛﺎﺗ‬ َ ْ‫ اﻟﻠﱠﮭُ ﱠﻢ اﺟْ َﻌﻞ‬:‫ ﻗُ ْﻮﻟُ ْﻮا‬:‫ ﻗَﺎ َل‬،‫ ﻓَ َﻌﻠﱢ ْﻤﻨَﺎ‬:ُ‫ ﻓَﻘَﺎﻟُ ْﻮا ﻟَﮫ‬،‫َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ‬
َ ِ‫ﺻﻠَ َﻮاﺗ‬
َ َ‫ﻚ َو َرﺣْ َﻤﺘ‬
ُ‫ اﻟﻠﱠﮭُ ﱠﻢ ا ْﺑ َﻌ ْﺜﮫ‬،‫ﻚ إِ َﻣ ِﺎم ْاﻟ َﺨﯿ ِْﺮ َوﻗَﺎﺋِ ِﺪ ْاﻟ َﺨﯿ ِْﺮ َو َرﺳ ُْﻮ ِل اﻟﺮﱠﺣْ َﻤ ِﺔ‬
َ ِ‫ك َو َرﺳ ُْﻮﻟ‬َ ‫َوإِ َﻣ ِﺎم ْاﻟ ُﻤﺘﱠﻘِﯿ َْﻦ َو َﺧﺎﺗَ ِﻢ اﻟﻨﱠ ِﺒﯿﱢﯿ َْﻦ ُﻣ َﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َﻋ ْﺒ ِﺪ‬
‫ وﻋﺒﺪ اﻟﺮزاق ﻓﻲ‬،(906) ‫ ﺣﺪﯾﺚ ﺻﺤﯿﺢ رواه اﺑﻦ ﻣﺎﺟﮫ‬.‫ﻵﺧﺮ ُْو َن‬ ِ ‫َﻣﻘَﺎ ًﻣﺎ َﻣﺤْ ُﻤ ْﻮدًا ﯾَ ْﻐﺒِﻄُﮫُ ﺑِ ِﮫ ْاﻷَ ﱠوﻟُ ْﻮ َن َو ْا‬
،(115/9) ‫( واﻟﻄﺒﺮاﻧﻲ ﻓﻲ اﻟﻤﻌﺠﻢ اﻟﻜﺒﯿﺮ‬5267) ‫( وأﺑﻮ ﯾﻌﻠﻰ ﻓﻲ ﻣﺴﻨﺪه‬3109) ‫اﻟﻤﺼﻨﻒ‬
‫ وذﻛﺮه اﻟﺸﯿﺦ اﺑﻦ اﻟﻘﯿﻢ‬،(59/‫وإﺳﻤﺎﻋﯿﻞ اﻟﻘﺎﺿﻲ ﻓﻲ ﻓﻀﻞ اﻟﺼﻼة ﻋﻠﻰ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ )ص‬
36/‫)ﻓﻲ ﺟﻼء اﻷﻓﮭﺎم )ص‬.
“Apabila kalian bershalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka buatlah redaksi shalawat yang
bagus kepada beliau, siapa tahu barangkali shalawat kalian itu diberitahukan kepada beliau.” Mereka bertanya: “Ajari
kami cara shalawat yang bagus kepada beliau.” Beliau menjawab: “Katakan, ya Allah jadikanlah segala shalawat,
rahmat dan berkah-Mu kepada sayyid para rasul, pemimpin orang-orang yang bertakwa, pamungkas para nabi, yaitu
Muhammad hamba dan rasul-Mu, pemimpin dan pengarah kebaikan dan rasul yang membawa rahmat. Ya Allah
anugerahilah beliau maqam terpuji yang menjadi harapan orang-orang terdahulu dan orang-orang terkemudian.”
Hadits shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah (906), Abdurrazzaq (3109), Abu Ya’la (5267), al-Thabarani dalam al-
Mu’jam al-Kabir (9/115) dan Ismail al-Qadhi dalam Fadhl al-Shalat (hal. 59). Hadits di atas juga disebutkan dan
dishahihkan oleh Ibnu al-Qayyim –ideolog kedua faham Wahhabi– dalam kitabnya Jala’ al-Afham (hal. 36 dan hal.
72).
Hadits mauquf di atas memberikan beberapa pesan kepada kita berkaitan dengan baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan bacaan shalawat kepada baginda.
• Pertama, anjuran membaca shalawat kepada baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan redaksi yang
baik yang tidak diajarkan oleh baginda.
• Kedua, hadits tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup di alam
barzakh dan mengetahui shalawat yang kita baca kepada baginda.
• Ketiga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan merasa senang apabila susunan shalawat yang kita baca
menggunakan redaksi yang baik.
• Keempat, susunan shalawat itu dianggap baik apabila disisipkan kalimat-kalimat pujian kepada baginda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menyebutkan sifat-sifat baginda yang terdapat dalam al-
Qur’an dan hadits.
• Kelima, di antara sifat-sifat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah, baginda merupakan pemimpin
orang-orang yang bertakwa, pamungkas para nabi, hamba dan rasul-Nya, pemimpin dan pengarah kebaikan
dan rasul yang membawa rahmat.
• Keenam, memuji dan mengagungkan baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bacaan
shalawat, bukan termasuk perbuatan bid’ah. Justru merupakan perbuatan yang terpuji, karena meneladani al-
Qur’an al-Karim yang banyak memberikan pujian kepada baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
rangkaian ayat-ayat-Nya.
• Ketujuh, mengagungkan dan memuliakan baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah perintah
Allah subhanahu wa ta’ala dalam al-Qur’an dengan firman-Nya:

ً‫( ﻟِﺘُ ْﺆ ِﻣﻨُﻮا ﺑِﺎہﻠﻟِ َو َرﺳُﻮﻟِ ِﮫ َوﺗُ َﻌ ﱢﺰرُوهُ َوﺗُ َﻮﻗﱢﺮُوهُ َوﺗُ َﺴﺒﱢﺤُﻮهُ ﺑُ ْﻜ َﺮة‬8) ‫ك َﺷﺎ ِھﺪًا َو ُﻣﺒَ ﱢﺸﺮًا َوﻧَ ِﺬﯾ ًﺮا‬َ ‫إِﻧﱠﺎ أَرْ َﺳ ْﻠﻨَﺎ‬
9) ‫ﯿﻼ‬ ً ‫ﺻ‬ ِ َ‫) َوأ‬
Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu
sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)-nya, membesarkan-nya. Dan bertasbih kepada-
Nya di waktu pagi dan petang. (QS al-Fath : 8-9).
Ketika menafsirkan ayat tersebut, al-Imam al-Baghawi berkata dalam tafsirnya:

( ،ُ‫ﺼﺮُوه‬ ُ ‫ك َﺷﺎ ِھﺪًا َو ُﻣﺒَ ﱢﺸﺮًا َوﻧَ ِﺬﯾﺮًا ﻟِﺘُ ْﺆ ِﻣﻨُﻮا ﺑِﺎہﻠﻟِ َو َرﺳُﻮﻟِ ِﮫ َوﺗُ َﻌ ﱢﺰرُوهُ( أَيْ ﺗُ ِﻌﯿﻨُﻮهُ َوﺗَ ْﻨ‬ َ ‫إﻧﱠﺎ أَرْ َﺳ ْﻠﻨَﺎ‬
ْ‫ ) َوﺗُ َﺴﺒﱢﺤُﻮهُ( أَي‬، ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬
َ ‫اﺟ َﻌﺔٌ إﻟﻰ اﻟﻨﺒﻲ‬ ِ ‫ﺎت َر‬ ُ َ‫ﻈ ُﻤﻮهُ َوﺗُﻔَ ﱢﺨ ُﻤﻮهُ ھَ ِﺬ ِه ْاﻟ ِﻜﻨَﺎﯾ‬‫) َوﺗُ َﻮﻗﱢﺮُوهُ( ﺗُ َﻌ ﱢ‬
ً‫ﺻﯿﻼ‬ِ َ‫ )ﺑُ ْﻜ َﺮةً َوأ‬،ُ‫ﺼﻠﱡﻮا ﻟَﮫ‬ َ ُ‫)ﺗُ َﺴﺒﱢﺤُﻮا ﷲَ ﯾ ُِﺮﯾ ُﺪ ﺗ‬
(Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu
sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan) membantu dan menolong Rasul, (dan membesarkannya),
mengagungkan dan membesarkan Rasul. Beberapa kinayah ini kembali kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(Dan bertasbih kepada-Nya) yakni bertasbih kepada Allah, maksudnya menunaikan shalat kepada-Nya (di waktu pagi
dan petang). (Al-Baghawi, Ma’alim al-Tanzil, juz 7 hlm 299).
Berdasarkan penafsiran di atas, ayat tersebut memberikan beberapa pesan:
1. Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai saksi, pembawa berita
gembira dan pemberi peringatan, agar supaya orang-orang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
2. Agar orang-orang yang beriman menolong dan menguatkan, mengagungkan dan membesarkan baginda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Agar orang-orang yang beriman bertasbih kepada Allah, yaitu menunaikan shalat di waktu pagi dan petang.
Perintah mengagungkan dan membesarkan baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ayat di atas, oleh
para ulama dilakukan, antara lain melalui sisipan pujian-pujian kepada baginda dalam bacaan shalawat-shalawat yang
mereka susun.
• Kedelapan, kalimat-kalimat pujian kepada baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dicontohkan
oleh para ulama sejak generasi sahabat, seperti dalam shalawat yang disusun oleh Abdullah bin Mas’ud, Ali
bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas radhiyallaahu ‘anhum dan para ulama generasi berikutnya.
• Kesembilan, kalimat-kalimat pujian dalam bacaan shalawat tersebut, memiliki dasar yang kuat dalam al-
Qur’an dan hadits, baik secara tersurat maupun tersirat, atau secara tekstual maupun kontekstual.
• Kesepuluh, kalimat-kalimat pujian kepada baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bacaan
shalawat yang disusun oleh para ulama, seperti shalawat Nariyah, shalawat Thibbil Qulub, shalawat al-Fatih
dan lain-lain, juga memiliki dalil-dalil yang kuat dalam al-Qur’an dan hadits.
• Kesebelas, umat Islam yang mengamalkan berbagai macam shalawat yang disusun oleh para sahabat dan para
ulama, menjadi bukti bahwa mereka benar-benar Ahlussunnah Wal-Jamaah, karena mengikuti jejak para
sahabat dan kaum salaf yang memang diperinahkan oleh baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
• Kedua belas, manhaj pemikiran para sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin
Abbas dan lain-lain yang menganjurkan membaca shalawat yang disertai dengan pujian kepada baginda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu lebih menentramkan dan menenangkan hati kami daripada
manhaj para tokoh Wahabi yang melarang shalawat tersebut, seperti Ibnu Baz, al-Albani, al-‘Utsaimin, al-
Fauzan dan lain-lain.
• Ketiga belas, berkaitan dengan khasiat-khasiat bacaan shalawat tersebut, kami juga meyakini memang benar-
benar ada dan terbukti. Demikian ini juga sesuai dengan apa yang dikatakan oleh para ulama, termasuk oleh
Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya Jala’ al-Afham dan Zad al-Ma’ad. Sedangkan
orang-orang yang tidak percaya dengan khasiat bacaan-bacaan shalawat, kami anggap sebagai orang-orang
yang kurang banyak belajar ilmu agama.
• Keempat belas, membaca shalawat dengan shalawat susunan para ulama, sudah pasti mendapatkan pahala
yang melimpah. Karena selain pahala shalawat, juga terdapat pahala memuji, mengagungkan dan
membesarkan baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diperintahkan dalam al-Qur’an dan
dicontohkan oleh para sahabat radhiyallaahu ‘anhum.
• Kelima belas, kita dianjurkan untuk menyenangkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan memuji,
mengagungkan dan membesarkan baginda melalui bacaan shalawat, karena bacaan shalawat tersebut akan
sampai kepada baginda, sebagaimana diterangkan dalam hadits-hadits shahih. Wallahu a’lam.

PENYUSUN SHALAWAT NARIYAH

Di antara shalawat yang populer di dunia Islam, adalah Shalawat Nariyah. Shalawat ini disusun oleh seorang ulama
besar, al-Imam Abu Salim Ibrahim bin Muhammad bin Ali al-Tazi al-Wahrani al-Maliki. Beliau seorang ulama besar
yang dikenal waliyullah, zahid, shaleh dan mencapai derajat Quthbiyah dalam kewaliyannya, posisi tertinggi dalam
dunia kewalian.
Tidak ada keterangan tahun berapa beliau di lahirkan. Tetapi yang pasti beliau dilahirkan di Tazah, suatu desa di Fes,
Maroko tempat tinggal suku Barbar. Karena itu nisbat beliau yang populer adalah al-Tazi. Beliau dikenal sebagai ahli
tafsir, tashawuf, ahli hadits, fiqih, ushul fiqih dan pengetahuannya yang sempurna terhadap ilmu ushuluddin.
Pada masa kecilnya, beliau belajar al-Qur’an kepada seorang waliyullah yang shaleh, Abu Zakariya Yahya al-Wazi’i,
di kampung kelahirannya. Ketika menunaikan ibadah haji, beliau menerima khirqah, ijazah pemakaian imamah dalam
tradisi shufi, dari seorang ulama besar, Syarafuddin al-Da’iy dan Syaikh Shaleh bin Muhammad al-Zawawi, dengan
sanadnya yang bersambung kepada Abu Madyan. Kemudian beliau berguru kepada seorang waliyullah, Syaikh Abu
Abdillah Muhammad bin Umar al-Hawari, ulama shufi yang terkenal memiliki banyak karomah.
Setelah mencapai kesempurnaan intelektual dan spiritual, al-Imam al-Tazi banyak memiliki murid yang menimba
ilmu kepada beliau, antara lain al-Hafizh al-Tanasi, al-Imam al-Sanusi penulis kitab Umm al-Barahin, Syaikh Ahmad
Zarruq dan lain-lain.
Al-Imam al-Tazi wafat pada bulan Sya’ban tahun 866 H/1461 M. Biografi al-Imam al-Tazi dapat dilihat dalam kitab-
kitab biografi para ulama madzhab Maliki, seperti Nail al-Ibtihaj bi-Tathriz al-Dibaj, Syajarah al-Nur al-Zakiyyah fi
Thabaqat al-Malikiyyah dan lain-lain.
Walaupun al-Imam al-Tazi telah wafat sekian ratus tahun lamanya, akan tetapi peninggalannya yang sangat populer
yaitu Shalawat Taziyah masih dikenal dan selalu dibaca oleh umat Islam hingga hari ini. Shalawat Taziyah ini, di
Mesir dan Asia Tenggara dikenal dengan nama Shalawat Nariyah. Wallahu a’lam, apa penyebab perubahan nama
Taziyah menjadi Nariyah, barangkali hilangnya satu titik dari dua hurufnya dalam sebagian naskah catatan Shalawat
tersebut. Shalawat ini terkenal ampuh untuk memudahkan terkabulnya hajat dan keinginan seseorang apabila
membacanya sebanyak 4444 kali.
SHALAWAT NARIYAH
Dialog bersama Wahabi

Wahabi: “Mengapa Anda membaca shalawat Nariyah, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
mengajarkannya?”
Sunni: “Secara redaksional tidak pernah dianjurkan oleh baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi secara
esensial, yang namanya shalawat tetap dianjurkan untuk dibaca. Dalam al-Qur’an dan hadits-hadits shahih, anjuran
membaca shalawat bersifat umum, artinya dalam redaksi apapun, baik yang diajarkan oleh baginda maupun tidak, hal
ini seperti yang dipahami oleh para sahabat.”
Wahabi: “Apa tidak sebaiknya membaca shalawat Ibrahimiyah saja. Itu kan langsung dari Nabi?”
Sunni: “Shalawat Ibrahimiyah kami baca dalam shalat secara rutin. Sedangkan di luar shalat, kami bebas membaca
shalawat dengan redaksi apapun. Saya kira kelompok Anda tidak ada perkumpulan membaca shalawat Ibrahimiyah?
Sedangkan ajakan Anda yang menyalahkan orang membaca shalawat dengan redaksi lain, justru melanggar sunnah.”
Wahabi: “Kok bisa?”
Sunni: “Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menghardik atau menegur seseorang karena
membaca dzikir dengan redaksi susunan sendiri. Bahkan menghargai dan memberi motivasi.”
Wahabi: “Ada dalilnya?”
Sunni: “Maaf, dalam masalah ini dalilnya banyak sekali. Kamu perlu berapa dalil?”
Wahabi: “Dua saja kalau ada.”
Sunni: “Baik kalau begitu. Dalil pertama, sahabat Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallaahu ‘anhu berkata:

‫ﺼﻠﱢ ْﻲ َو َرا َء اﻟﻨﱠﺒِ ﱢﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻓَﻠَ ﱠﻤﺎ َرﻓَ َﻊ َر ْأ َﺳﮫُ ِﻣ َﻦ اﻟ ﱠﺮ ْﻛ َﻌ ِﺔ ﻗَﺎ َل ) َﺳ ِﻤ َﻊ ﷲُ ﻟِ َﻤ ْﻦ َﺣ ِﻤ َﺪهُ( ﻗَﺎ َل‬ َ ُ‫ُﻛﻨﱠﺎ ﻧ‬
‫ أَﻧَﺎ‬:‫ف ﻗﺎ َ َل ) َﻣ ِﻦ ْاﻟ ُﻤﺘَ َﻜﻠﱢ ُﻢ؟( ﻗَﺎ َل‬
َ ‫ﺼ َﺮ‬ َ ‫ﻚ ْاﻟ َﺤ ْﻤ ُﺪ َﺣ ْﻤﺪًا َﻛﺜِ ْﯿﺮًا طَﯿﱢﺒًﺎ ُﻣﺒَﺎ َر ًﻛﺎ ﻓِ ْﯿ ِﮫ ﻓَﻠَ ﱠﻤﺎ ا ْﻧ‬ َ َ‫َر ُﺟ ٌﻞ َو َرا َءهُ َرﺑﱠﻨَﺎ َوﻟ‬
‫ْﺖ ﺑِﻀْ َﻌﺔً َوﺛَﻼَﺛِﯿ َْﻦ َﻣﻠَ ًﻜﺎ ﯾَ ْﺒﺘَ ِﺪر ُْوﻧَﮭَﺎ أَﯾﱡﮭُ ْﻢ ﯾَ ْﻜﺘُﺒُﮭَﺎ‬ ُ ‫ » َرأَﯾ‬:‫»ﻗﺎ َ َل‬.
“Suatu ketika kami shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau berkata:
“sami’allahu liman hamidah”. Lalu seorang laki-laki di belakangnya berkata: “rabbana walakalhamdu hamdan
katsiran thayyiban mubarakan fih”. Setelah selesai shalat, beliau bertanya: “Siapa yang membaca kalimat tadi?” Laki-
laki itu menjawab: “Saya”. Beliau bersabda: “Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan menulis pahalanya”.
Hadits shahih diriwayatkan oleh al-Bukhari (799), al-Nasa’i (1016), Abu Dawud (770), Ahmad (4/340) dan Ibn
Khuzaimah (614).
Sahabat di atas membuat bacaan baru yang belum pernah diterimanya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu
bacaan dzikir dalam dalam i’tidal. Ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan perbuatannya, bahkan
memberi kabar gembira tentang pahala yang ia lakukan, karena perbuatannya sesuai dengan syara’, di mana dalam
i’tidal itu tempat memuji kepada Allah. Oleh karena itu al-Hafizh Ibn Hajar menyatakan dalam Fath al-Bari (2/267),
bahwa hadits ini menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam shalat, apabila tidak menyalahi dzikir yang
ma’tsur (datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam),

dan bolehnya mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain. Seandainya logika
berpikir Anda, yang mengajak orang meninggalkan shalawat Nariyah itu sesuai dengan sunnah, tentu baginda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam akan bersabda kepada laki-laki di atas, sebaiknya baca saja dzikir yang aku ajarkan,
jangan baca yang lain. Ternyata baginda tidak demikian caranya dalam berdakwah, justru menghargai dan
memberikan motivasi untuk melakukan inovasi dalam agama.
Dalil kedua, sahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu berkata:
ُ‫ ﯾَﺎ َﻣ ْﻦ ﻻَ ﺗَ َﺮاه‬:‫ﺻﻼﺗِ ِﮫ َوھُ َﻮ ﯾَﻘُ ْﻮ ُل‬ َ ‫أَ ﱠن َرﺳ ُْﻮ َل ﷲِ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ َﻣ ﱠﺮ ﺑِﺄ َ ْﻋ َﺮاﺑِ ﱟﻲ َوھُ َﻮ ﯾَ ْﺪ ُﻋ ْﻮ ﻓِ ْﻲ‬
‫ث َوﻻَ ﯾَ ْﺨ َﺸﻰ اﻟ ﱠﺪ َواﺋِ َﺮ ﯾَ ْﻌﻠَ ُﻢ َﻣﺜَﺎﻗِ ْﯿ َﻞ‬ ُ ‫اﺻﻔُ ْﻮ َن َوﻻَ ﺗُ َﻐﯿﱢ ُﺮهُ ْاﻟ َﺤ َﻮا ِد‬ ِ ‫ﺼﻔُﮫُ ْاﻟ َﻮ‬ ِ َ‫اﻟﻈﻨُ ْﻮ ُن َوﻻَ ﯾ‬ ‫ْاﻟ ُﻌﯿ ُْﻮ ُن َوﻻَ ﺗُ َﺨﺎﻟِﻄُﮫُ ﱡ‬
‫ق َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ‬ ْ َ‫ﺎر َو َﻋ َﺪ َد َﻣﺎ أ‬
َ ‫ظﻠَ َﻢ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ اﻟﻠﱠ ْﯿ ُﻞ َوأَ ْﺷ َﺮ‬ ِ ‫ق ْاﻷَ ْﺷ َﺠ‬ ِ ‫ﺎر َو َﻋ َﺪ َد َو َر‬ ِ َ‫ﻄ ِﺮ ْاﻷَ ْﻣﻄ‬ ْ َ‫ﺎر َو َﻋ َﺪ َد ﻗ‬
ِ ‫ﺎل َو َﻣ َﻜﺎﯾِ ْﯿ َﻞ ْاﻟﺒِ َﺤ‬
ِ َ‫ْاﻟ ِﺠﺒ‬
ْ‫ْﺮ ِه َوﻻَ َﺟﺒَ ٌﻞ َﻣﺎ ﻓِ ْﻲ َو ْﻋ ِﺮ ِه اﺟْ َﻌﻞ‬ ِ ‫اريْ ِﻣ ْﻨﮫُ َﺳ َﻤﺎ ٌء َﺳ َﻤﺎ ًء َوﻻَ أَرْ ضٌ أَرْ ﺿًﺎ َوﻻَ ﺑَﺤْ ٌﺮ َﻣﺎ ﻓِ ْﻲ ﻗَﻌ‬ ِ ‫اﻟﻨﱠﮭَﺎ ُر ﻻَ ﺗُ َﻮ‬
‫ف َد َﻋﺎهُ اﻟﻨﱠﺒِ ﱡﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ‬ َ ‫ﺼ َﺮ‬ َ ‫ ﻓَﻠَ ﱠﻤﺎ ا ْﻧ‬،‫ك ﻓِ ْﯿ ِﮫ‬َ ‫آﺧ َﺮهُ َو َﺧ ْﯿ َﺮ َﻋ َﻤﻠِ ْﻲ َﺧ َﻮاﺗِ َﻤﮫُ َو َﺧ ْﯿ َﺮ أَﯾﱠﺎ ِﻣ ْﻲ ﯾَ ْﻮ َم أَ ْﻟﻘَﺎ‬ِ ‫َﺧ ْﯿ َﺮ ُﻋ ْﻤ ِﺮي‬
‫ﻚ َﻋﻠَﻰ ﷲِ َﻋ ﱠﺰ َو َﺟ ﱠﻞ‬ َ ِ‫ﺐ ﻟِ ُﺤﺴ ِْﻦ ﺛَﻨَﺎﺋ‬ َ َ‫ﻚ اﻟ ﱠﺬھ‬ َ َ‫ْﺖ ﻟ‬ ُ ‫ﺐ ﻟَﮫُ َذھَﺒًﺎ َوﻗَﺎ َل ﻟَﮫُ َوھَﺒ‬ َ َ‫ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ َو َوھ‬.
“Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan laki-laki a’rabi (pedalaman) yang sedang
berdoa dalam shalatnya dan berkata: “Wahai Tuhan yang tidak terlihat oleh mata, tidak dipengaruhi oleh keraguan,
tidak dapat diterangkan oleh para pembicara, tidak diubah oleh perjalanan waktu dan tidak terancam oleh malapetaka;
Tuhan yang mengetahui timbangan gunung, takaran lautan, jumlah tetesan air hujan, jumlah daun-daun pepohonan,
jumlah segala apa yang ada di bawah gelapnya malam dan terangnya siang, satu langit dan satu bumi tidak
menghalanginya ke langit dan bumi yang lain, lautan tidak dapat menyembunyikan dasarnya, gunung tidak dapat
menyembunyikan isinya, jadikanlah umur terbaikku akhirnya, amal terbaikku pamungkasnya dan hari terbaikku hari
aku bertemu dengan-Mu.” Setelah laki-laki a’rabi itu selesai berdoa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya
dan memberinya hadiah berupa emas dan beliau berkata kepada laki-laki itu: “Aku memberimu emas itu karena
pujianmu yang bagus kepada Allah ‘azza wa jalla”.
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Ausath (9447) dengan sanad yang jayyid.
Hadits ini menunjukkan hukum kebolehan dan anjuran berdoa dengan doa-doa yang susunan redaksinya bagus,
meskipun belum pernah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hadits tersebut, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak menegur si a’rabi yang berdoa dengan susunannya sendiri, juga tidak berkata kepadanya:
“Mengapa kamu berdoa dengan doa yang belum pernah aku ajarkan”? Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memujinya dan memberinya hadiah. Hal ini berarti motivasi dan dorongan kepada umat Islam untuk terus berkarya
dalam bacaan dzikir yang susunan redaksinya bagus.”
Wahabi: “Dzikir di atas kan doa, bukan redaksi shalawat.”
Sunni: “Berarti menurut Anda, boleh dan dianjurkan membaca dzikir yang berupa doa, dengan susunan sendiri?
Padahal shalawat juga doa dan dzikir.”
Wahabi: “Apakah ulama salaf juga memahami begitu, bahwa shalawat juga boleh dan dianjurkan dengan redaksi
susunan sendiri yang belum pernah diajarkan oleh baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
Sunni: “Justru dalam pemahaman para sahabat dan ulama salaf, shalawat juga dianjurkan dengan susunan sendiri.
Kalau Anda mau, silahkan Anda baca kitab Jila’ al-Afham, kitab shalawat yang disusun oleh Syaikh Ibnu Qayyim al-
Jauziyyah, murid Syaikh Ibnu Taimiyah, banyak sekali susunan shalawat yang

disusun oleh para sahabat dan kaum salaf. Misalnya riwayat dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu
yang berkata:

ُ‫ﻚ ﯾُ ْﻌ َﺮض‬ َ ِ‫ ﻓَﺈِﻧﱠ ُﻜ ْﻢ ﻻَ ﺗَ ْﺪر ُْو َن ﻟَ َﻌ ﱠﻞ َذﻟ‬،‫ﺻﻠﱠ ْﯿﺘُ ْﻢ َﻋﻠَﻰ َرﺳ ُْﻮ ِل ﷲِ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻓَﺄَﺣْ ِﺴﻨُﻮا اﻟﺼﱠﻼةَ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ‬ َ ‫إِ َذا‬
‫ﻚ َﻋﻠَﻰ َﺳﯿﱢ ِﺪ ْاﻟ ُﻤﺮْ َﺳﻠِﯿ َْﻦ‬ َ ِ‫ﻚ َوﺑَ َﺮ َﻛﺎﺗ‬ َ ْ‫ اﻟﻠﱠﮭُ ﱠﻢ اﺟْ َﻌﻞ‬:‫ ﻗُ ْﻮﻟُ ْﻮا‬:‫ ﻗَﺎ َل‬،‫ ﻓَ َﻌﻠﱢ ْﻤﻨَﺎ‬:ُ‫ ﻓَﻘَﺎﻟُ ْﻮا ﻟَﮫ‬،‫َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ‬
َ ِ‫ﺻﻠَ َﻮاﺗ‬
َ َ‫ﻚ َو َرﺣْ َﻤﺘ‬
ُ‫ اﻟﻠﱠﮭُ ﱠﻢ ا ْﺑ َﻌ ْﺜﮫ‬،‫ﻚ إِ َﻣ ِﺎم ْاﻟ َﺨﯿ ِْﺮ َوﻗَﺎﺋِ ِﺪ ْاﻟ َﺨﯿ ِْﺮ َو َرﺳ ُْﻮ ِل اﻟﺮﱠﺣْ َﻤ ِﺔ‬
َ ِ‫ك َو َرﺳ ُْﻮﻟ‬ َ ‫َوإِ َﻣ ِﺎم ْاﻟ ُﻤﺘﱠﻘِﯿ َْﻦ َو َﺧﺎﺗَ ِﻢ اﻟﻨﱠﺒِﯿﱢﯿ َْﻦ ُﻣ َﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َﻋ ْﺒ ِﺪ‬
ِ ‫ َﻣﻘَﺎ ًﻣﺎ َﻣﺤْ ُﻤ ْﻮدًا ﯾَ ْﻐﺒِﻄُﮫُ ﺑِ ِﮫ ْاﻷَ ﱠوﻟُ ْﻮ َن َو ْا‬.
‫ﻵﺧﺮ ُْو َن‬
“Apabila kalian bershalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka buatlah redaksi shalawat yang
bagus kepada beliau, siapa tahu barangkali shalawat kalian itu diberitahukan kepada beliau.” Mereka bertanya: “Ajari
kami cara shalawat yang bagus kepada beliau.” Beliau menjawab: “Katakan, ya Allah jadikanlah segala shalawat,
rahmat dan berkah-Mu kepada sayyid para rasul, pemimpin orang-orang yang bertakwa, pamungkas para nabi, yaitu
Muhammad hamba dan rasul-Mu, pemimpin dan pengarah kebaikan dan rasul yang membawa rahmat. Ya Allah
anugerahilah beliau maqam terpuji yang menjadi harapan orang-orang terdahulu dan orang-orang terkemudian.”
Hadits shahih ini diriwayatkan oleh Ibn Majah (906), Abdurrazzaq (3109), Abu Ya’la (5267), al-Thabarani dalam al-
Mu’jam al-Kabir (9/115) dan Ismail al-Qadhi dalam Fadhl al-Shalat (hal. 59). Hadits ini juga disebutkan oleh Ibnu al-
Qayyim –ideolog kedua faham Wahabi– dalam kitabnya Jala’ al-Afham (hal. 36 dan hal. 72).
Perhatikan dalam hadits di atas, sahabat Abdullah bin Mas’ud menganjurkan dan mengajarkan menyusun dan
membaca shalawat dengan redaksi yang baik. Menurut kami, keilmuan sahabat Ibnu Mas’ud lebih menenteramkan
hati kami, daripada keilmuan para ulama Wahabi yang melarang membaca shalawat susunan para ulama. Kami lebih
memilih cara berpikir sahabat Ibnu Mas’ud, daripada cara berpikir ulama Wahabi, yang hidup pada masa akhir.
Kedua, sahabat Ali bin Abi Thalib ‘alaihissalaam:

:‫ﺎس اﻟﺼﱠﻼةَ َﻋﻠَﻰ اﻟﻨﱠ ِﺒ ﱢﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﯾَﻘُ ْﻮ ُل‬ َ ‫ﺎن َﻋﻠِ ﱞﻲ ﻋﻠﯿﮫ اﻟﺴﻼة ﯾُ َﻌﻠﱢ ُﻢ اﻟﻨﱠ‬ َ ‫ َﻛ‬،‫َﻋ ْﻦ َﺳﻼَ َﻣﺔَ ْاﻟ ِﻜ ْﻨ ِﺪيﱢ ﻗَﺎ َل‬
ْ‫ اﺟْ َﻌﻞ‬،‫ﻄ َﺮﺗِﮭَﺎ َﺷﻘِﯿﱢﮭَﺎ َو َﺳ ِﻌ ْﯿ ِﺪھَﺎ‬ ْ ِ‫ب َﻋﻠَﻰ ﻓ‬ ِ ‫ َو َﺟﺒﱠﺎ َر ْاﻟﻘُﻠُ ْﻮ‬،‫ت‬ ِ ‫ئ ْاﻟ َﻤ ْﺴ ُﻤ ْﻮ َﻛﺎ‬ َ ‫ﺎر‬ِ َ‫ َوﺑ‬،‫ت‬ ِ ‫اﺣ َﻲ ْاﻟ َﻤ ْﺪ ُﺣ ﱠﻮا‬ ِ ‫اَﻟﻠﱠﮭُ ﱠﻢ َد‬
‫ َو ْاﻟ َﺨﺎﺗِ ِﻢ‬،‫ﻖ‬ َ ِ‫ﺢ ﻟِ َﻤﺎ أُ ْﻏﻠ‬ ِ ِ‫ ْاﻟﻔَﺎﺗ‬،‫ﻚ‬ َ ِ‫ك َو َرﺳ ُْﻮﻟ‬ َ ‫ َﻋﻠَﻰ ُﻣ َﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َﻋ ْﺒ ِﺪ‬،‫ﻚ‬ َ ِ‫ﻚ َو َر ْأﻓَﺔَ ﺗَ َﺤﻨﱡﻨ‬ َ ِ‫ﻚ َوﻧَ َﻮا ِﻣ َﻲ ﺑَ َﺮ َﻛﺎﺗ‬ َ ِ‫ﺻﻠَ َﻮاﺗ‬َ ‫ﻒ‬ َ ِ‫َﺷ َﺮاﺋ‬
،‫ﻚ‬ َ ِ‫ك ﺑِﻄَﺎ َﻋﺘ‬ َ ‫ ﻓَﺎﺿْ ﻄَﻠَ َﻊ ﺑِﺄ َ ْﻣ ِﺮ‬،‫ﺎطﯿ ِْﻞ َﻛ َﻤﺎ ُﺣ ﱢﻤ َﻞ‬ ِ َ‫ت ْاﻷَﺑ‬ ِ ‫ َواﻟ ﱠﺪا ِﻣ ِﻎ ﻟِ َﺠ ْﯿ َﺸﺎ‬،‫ﻖ ِﺑ ْﺎﻟ َﺤﻖﱢ‬ ‫ﻖ َو ْاﻟ ُﻤ ْﻌﻠِ ِﻦ ْاﻟ َﺤ ﱠ‬ َ َ‫ﻟِ َﻤﺎ َﺳﺒ‬
‫ﺎﺿﯿًﺎ َﻋﻠَﻰ‬ ِ ‫ َﻣ‬،‫ك‬ َ ‫ َﺣﺎﻓِﻈًﺎ ِﻟ َﻌ ْﮭ ِﺪ‬،‫ﻚ‬ َ ِ‫ َوا ِﻋﯿًﺎ ﻟِ َﻮﺣْ ﯿ‬،‫ ﺑِ َﻐﯿ ِْﺮ ﻧَ ْﻜ ٍﻞ ﻓِ ْﻲ ﻗَ َﺪ ٍم َوﻻَ َو ْھ ٍﻲ ﻓِ ْﻲ َﻋ ْﺰ ٍم‬،‫ﻚ‬ َ ِ‫ﺿﺎﺗ‬ َ ْ‫ُﻣ ْﺴﺘَ ْﻮﻓِ ًﺰا ﻓِ ْﻲ َﻣﺮ‬
‫ت ْاﻟﻔِﺘَ ِﻦ‬ ِ ‫ﺿﺎ‬ َ ‫ﺖ ْاﻟﻘُﻠُ ْﻮبُ ﺑَ ْﻌ َﺪ َﺧ ْﻮ‬ ِ َ‫ ﺑِ ِﮫ ھُ ِﺪﯾ‬،ُ‫ﺼ ُﻞ ﺑِ ِﮫ أَ ْﺳﺒَﺎﺑَﮫ‬ ِ َ‫ آﻵء ﷲِ ﺗ‬،‫ﺲ‬ ٍ ِ‫ َﺣﺘﱠﻰ أَ ْو َرى ﻗَﺒَﺴًﺎ ﻟِﻘَﺎﺑ‬،‫ك‬ َ ‫ﻧَﻔَﺎ ِذ أَ ْﻣ ِﺮ‬
ْ َ ُ‫ ﻓَﮭُ َﻮ أَ ِﻣ ْﯿﻨ‬،‫ت ْا ِﻹ ْﺳﻼَ ِم‬
‫ﺎز ُن‬ ِ ‫ﻚ ْاﻟ َﻤﺄ ُﻣ ْﻮ ُن َو َﺧ‬ ِ ‫ت ْاﻷَﺣْ َﻜﺎ ِم َو ُﻣﻨِ ْﯿ َﺮا‬ ِ ‫ت ْاﻷَ ْﻋﻼَ ِم َوﻧَﺎﺋِ َﺮا‬ ِ ‫ﺿ َﺤﺎ‬ ِ ‫ َوأَ ْﺑﮭَ َﺞ ُﻣ ْﻮ‬،‫َو ْا ِﻹ ْﺛ ِﻢ‬
َ ِ‫ اﻟﻠﱠﮭُ ﱠﻢ ا ْﻓ َﺴﺢْ ﻟَﮫُ ﻓِ ْﻲ َﻋ ْﺪﻧ‬،ً‫ﻖ َرﺣْ َﻤﺔ‬
‫ﻚ‬ ‫ﻚ ﺑِ ْﺎﻟ َﺤ ﱢ‬ َ ُ‫ﻚ ﻧِ ْﻌ َﻤﺔً َو َرﺳ ُْﻮﻟ‬ َ ُ‫ك ﯾَ ْﻮ َم اﻟ ﱢﺪﯾ ِْﻦ َوﺑَ ِﻌ ْﯿﺜ‬َ ‫ﻚ ْاﻟ َﻤ ْﺨ ُﺰ ْو ِن َو َﺷ ِﮭ ْﯿ ُﺪ‬ َ ‫ِﻋ ْﻠ ِﻤ‬
‫ﻚ‬َ ِ‫ﻚ ْاﻟ َﻤﺤْ ﻠُ ْﻮ ِل َو َﺟ ِﺰﯾ ِْﻞ َﻋﻄَﺎﺋ‬ َ ِ‫ت ِﻣ ْﻦ ﻓَ ْﻮ ِز ﺛَ َﻮاﺑ‬ ٍ ‫ت َﻏ ْﯿ َﺮ ُﻣ َﻜ ﱠﺪ َرا‬ ٍ ‫ﻚ ﻟَﮫُ ُﻣﮭَﻨﱠﺌَﺎ‬ َ ِ‫ت ْاﻟ َﺨﯿ ِْﺮ ِﻣ ْﻦ ﻓَﻀْ ﻠ‬ ِ ‫ﻀﺎ َﻋﻔَﺎ‬ َ ‫اﺟ ِﺰ ِه ُﻣ‬ ِ ‫َو‬
ُ‫ﻚ َوﻧُ ُﺰﻟَﮫُ َوأَ ْﺗ ِﻤ ْﻢ ﻟَﮫ‬ َ ‫ﺎس ﺑِﻨَﺎ َءهُ َوأَ ْﻛ ِﺮ ْم َﻣ ْﺜ َﻮاهُ ﻟَ َﺪ ْﯾ‬ِ ‫ْاﻟ َﻤ ْﻌﻠُ ْﻮ ِل اﻟﻠﱠﮭُ ﱠﻢ أَ ْﻋ ِﻞ َﻋﻠَﻰ ﺑِﻨَﺎ ِء اﻟﻨﱠ‬
‫ﺎن َﻋ ِﻈﯿ ٍْﻢ‬ ٍ َ‫ﻖ َﻋ ْﺪ ٍل َو ُﺧﻄﱠ ٍﺔ ﻓَﺼْ ٍﻞ َوﺑُﺮْ ھ‬ ٍ ‫ﻲ ْاﻟ َﻤﻘَﺎﻟَ ِﺔ َذا َﻣ ْﻨ ِﻄ‬ ‫ﺿ ﱠ‬ ِ ْ‫ﻚ ﻟَﮫُ َﻣ ْﻘﺒ ُْﻮ َل اﻟ ﱠﺸﮭَﺎ َد ِة َو َﻣﺮ‬ َ ِ‫ﻧُ ْﻮ َرهُ َواﺟْ ِﺰ ِه ِﻣ ِﻦ ا ْﺑﺘِ َﻌﺎﺛ‬.
“Salamah al-Kindi berkata: “Ali bin Abi Thalib ‘alaihissalam mengajarkan kami cara bershalawat kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan berkata: “Ya Allah, pencipta bumi yang menghampar, pencipta langit yang tinggi,
dan penuntun hati yang celaka dan yang bahagia pada ketetapannya, jadikanlah shalawat-Mu yang mulia, berkah-Mu
yang tidak terbatas dan kasih sayang-Mu yang lembut pada Muhammad hamba dan rasul-Mu, pembuka segala hal
yang tertutup, pamungkas yang terdahulu, penolong agama yang benar dengan kebenaran dan penakluk bala tentara
kebatilan seperti yang dibebankan padanya, sehingga ia bangkit membawa perintah-Mu dengan tunduk kepada-Mu,
siap menjalankan ridha-Mu, tanpa gentar dalam semangat dan tanpa kelemahan dalam kemauan, sang penjaga wahyu-
Mu, pemelihara janji-Mu dan pelaksana perintah-Mu sehingga ia nyalakan cahaya kebenaran pada yang mencarinya,
jalan-jalan nikmat Allah terus mengalir pada ahlinya, hanya dengan Muhammad hati yang tersesat memperoleh
petunjuk setelah menyelami kekufuran dan kemaksiatan, ia (Muhammad) telah memperindah rambu-rambu yang
terang, hukum-hukum yang bercahaya dan cahaya-cahaya Islam yang menerangi, dialah (Muhammad) orang jujur
yang dipercaya oleh-Mu dan penyimpan ilmu-Mu yang tersembunyi, saksi-Mu di hari kiamat, utusan-Mu yang
membawa nikmat, rasul-Mu yang membawa rahmat dengan kebenaran. Ya Allah, luaskanlah surga-Mu baginya,
balaslah dengan kebaikan yang berlipat ganda dari anugerah-Mu, yaitu kelipatan yang mudah dan bersih, dari pahala-
Mu yang dapat diraih dan anugerah-Mu yang agung dan tidak pernah terputus. Ya Allah, berilah ia derajat tertinggi di
antara manusia, muliakanlah tempat tinggal dan jamuannya di surga-Mu, sempurnakanlah cahayanya, balaslah
jasanya sebagai utusan-Mu dengan kesaksian yang diterima, ucapan yang diridhai, pemilik ucapan yang lurus, jalan
pemisah antara yang benar dan yang bathil dan hujjah yang kuat.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, Ibnu Jarir dalam Tahdzib al-Atsar, Ibnu Abi Ashim, Ya’qub bin
Syaibah dalam Akhbar ‘Ali, Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (29520), al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Ausath
(9089) dan lain-lain. Hadits ini juga dikutip oleh ahli hadits sesudah mereka seperti al-Hafizh al-Qadhi Iyadh dalam
al-Syifa, al-Hafizh al-Sakhawi dalam al-Qaul al-Badi’, Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Durr al-Mandhud, al-Hafizh al-
Ghummari dalam Itqan al-Shan’ah dan lain-lain. Menurut al-Hafizh Ibnu Katsir, redaksi shalawat ini populer dari Ali
bin Abi Thalib ‘alaihissalam
.
Ketiga, sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallaahu ‘anhuma:
ْ‫ﺻﻠﱠﻰ َﻋﻠَﻰ اﻟﻨﱠﺒِ ﱢﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻗَﺎ َل اﻟﻠﱠﮭُ ﱠﻢ ﺗَﻘَﺒﱠﻞ‬ َ ‫ﺎن إِ َذا‬ َ ‫س رﺿﻲ ﷲ ﻋﻨﮭﻤﺎ أَﻧﱠﮫُ َﻛ‬ ٍ ‫َو َﻋ ِﻦ اﺑ ِْﻦ َﻋﺒﱠﺎ‬
َ ‫ﻵﺧ َﺮ ِة َو ْاﻷُ ْوﻟَﻰ َﻛ َﻤﺎ آﺗَﯿ‬
‫ْﺖ إِ ْﺑ َﺮا ِھ ْﯿ َﻢ َو ُﻣ ْﻮ َﺳﻰ‬ ِ ‫ َﺷﻔَﺎ َﻋﺔَ ُﻣ َﺤ ﱠﻤ ٍﺪ ْاﻟ ُﻜ ْﺒ َﺮى َوارْ ﻓَ ْﻊ َد َر َﺟﺘَﮫُ ْاﻟﻌ ُْﻠﯿَﺎ َوأَ ْﻋ ِﻄ ِﮫ ﺳ ُْﺆﻟَﮫُ ﻓِﻲ ْا‬.
“Ibn Abbas radhiyallaahu ‘anhuma apabila membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
berkata: “Ya Allah kabulkanlah syafa’at Muhammad yang agung, tinggikanlah derajatnya yang luhur, dan berilah
permohonannya di dunia dan akhirat sebagaimana Engkau kabulkan permohonan Ibrahim dan Musa.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abd bin Humaid dalam al-Musnad, Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (3104) dan Ismail
al-Qadhi dalam Fahdl al-Shalat ‘Ala al-Nabiy shallallahu ‘alaihi wa sallam (hal. 52). Hadits ini juga disebutkan oleh
Ibn al-Qayyim dalam Jala’ al-Afham (hal. 76). Al-Hafizh al-Sakhawi mengatakan dalam al-Qaul al-Badi’ (hal. 46),
sanad hadits ini jayyid, kuat dan shahih.”
Demikianlah beberapa anjuran dan shalawat yang diriwayatkan dari para sahabat. Sedangkan shalawat yang disusun
oleh para ulama setelah generasi sahabat, seperti tabi’in dan generasi sesudahnya sangat banyak dan tidak bisa
dihitung. Anda bisa membaca dalam kitab-kitab shalawat yang ditulis oleh para ulama ahli hadits, misalnya al-Qaul
al-Badi’ karya al-Hafizh al-Sakhawi, Jila’ al-Afham karya Syaikh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dan lain-lain”.
Wahabi: “Ternyata dalil shalawat-shalawat yang dibaca oleh mayoritas umat Islam, sangat kuat dalilnya. Lalu
mengapa para ustadz kami alergi dengan shalawat tersebut?”
Sunni: “Ya maklum kan Wahabi. Alergi terhadap kebaikan yang diajarkan oleh baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, para sahabat dan ahli hadits.”

Anda mungkin juga menyukai