Anda di halaman 1dari 10

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah Filsafat Cina dan India


Dosen: Drs. Agus Darmaji, M.Fils.

“CONFUCIUS”
Oleh:
Asnindo Ma’rifatul Muttaqin 111703310000
Eka Afriati 11170331000026
Firdatul Husniah 11170331000049

JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
Abstrak:

Kata kunci:

Pendahuluan

Filsafat Cina bermula pada masa awal seribu tahun pertama sebelum Masehi. Pada awal
abad ke-8 sampai dengan abad ke-5 sebelum Masehi filsafat Cina mempunyai ajaran tentang
‘sumber-sumber utama’, lima anasir alam: air, api, kayu, logam, dan bumi. Pemikir-pemikir
kuno Cina mengajarkan bahwa gabungan lima unsur tersebut menciptakan seluruh keberagaman
fenomena dan hal-hal. Ada juga sistem lain untuk menyingkapkan sumber-sumber utama dunia
nyata. Yi King (Buku tentang perubahaan) juga menyebut delapan sumber utama seperti itu,
yang interaksinya membentuk situasi-situasi realitas yang berbeda. Pada saat yang sama,
terbentuklah doktrin tentang kekuatan yang (aktif) dan yin (pasif) yang berlawanan dan saling
terkait. Aksi dan kedua kekuatan ini dipandang sebagai sebab gerakan dan perubahan dari alam.

Filsafat Cina kuno terus berkembang dari abad ke-5 sampai ke-3 sebelum Masehi. Dalam
periode inilah aliran-aliran filosofis Cina muncul: Taoisme. Confucianisrne, Moisme. Banyak
pemikir Cina kuno berupaya memecahkan masalah hubungan logis antara konsep (‘nama’) dan
realitas. Hun Tzu, misalnya, mempertahankan bahwa konsep merupakan refleksi atas gejala dan
hal-hal yang objektif. Kungsun Lun memberikan suatu penjelasan idealis atas masalah itu. Dia
terkenal dari pernyataan-pernyataannya yang menyerupai aporia-aporia (paradoksparadoks)
Zeno, dan karena abstraksi mutlak atas konsep dan pemisahannya dari realitas. Ajarannya
tentang ‘nama-nama’ banyak kesamaan dengan teori ‘ide’ dan Plato. Teori etis dan politik dari
Confcius dan Meng Tzu, pernyataan anggota lain dan aliran Legalis (Fa Chia) tentang negara
dan hukum menjadi tersebar luas. Itulah Jaman Emas filsafat Cina.

A. Biografi Confucius
Confusius adalah nama latin seseorang yang dikenal di Cina dengan nama K’ung
Tzu atau Tuan Kung. Nama keluarganya adalah K’ung dan nama pribadinya adalah
Ch’iu. Ia lahir pada 551 SM. di negara Lu, bagian selatn provinsi Shantung sekarang
ini,Cina bagian timur. Nenek moyangnya termasuk anggota keluarga bangsawan
penguasa negara Syng, yang merupakan keturunan dari keluarga raja- raja Shang, suatu
dinasti sebelum dinasti Chou, karena kekuatan politik, sebelum kelahiran Confusius,
keluarganya kehilangan posisi kebangsawanan dan berimigrasi ke negara Lu.
Confusius merupakan orang yang miskin, namun masuk dalam jajaran
pemerintahan negara Lu dan menjelang usia yang ke 50 tahun ia telah meraih pangkat
kepegawaian yang tinggi. Namun, akibat antrik politik, ia terpaksa segera berhenti dari
jabatannya dan hidup dalam pembuangan. Selama tiga belas tahun berikutnya, ia
bepergian dari satu negara ke negara lain, dan selalu berharap bisa menemukan
kesempatan untuk merealisasikan cita- citanya melakukan perbaikan di bidang politik dan
sosial. Tetapi tidak di satu tempat pun ia berhasil melakukannya, dan akhirnya sebagai
seorang yang sudah tua, ia kembali ke negara Lu. Pada 479 SM, dia wafat dalam usia 73
tahun.1
Confusius salah satu guru terhebat. Siap untuk mengajarkan hampir semua bidang
ilmu di zamannya. Dia bisa dibilang universitas dengan guru tunggal. Metode
pengajarannya bersifat Sokratis. Keterbukaannya dalam berinterksi dengan murid-
muridnya sangat mengejutkan. Tidak sejenak pun dia menganggap dirinya orang bijak,
baginya, orang bijak adalah soal perilaku, bukan soal persediaan pengetahuan, dia
menampilkan dirinya kepada murid- muridnya sebagai teman belajar.2
Saat dia wafat, bermula lah kemasyhurannya. Kejayaannya terjadi begitu cepat
diantara para muridnya, yang kemudian menyebarkan ajaran Konfusius. Konfusius
adalah perhatian yang diberikan kepada ide- idenya. Pemerintah cina juga dipengaruhi
oleh Konfusius jauh lebih dalam ketimbang tokoh lain. Sejak awal era Kristiani, banyak

1
Huston Smith, Agama- agama Manusia, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2015), hlm 172
2
Huston Smith, Agama- agama Manusia, hlm 173
posisi pemerintahan, termasuk beberap yang tertinggi, menuntut karya- karya klasik
Konfusius.
B. Naskah- naskah dan Ajarannya
Kongzi tidak menulis satu naskah pun. Ajarannya direkam dan dibukukan dengan
berbagai cara oleh murid- muridnya langsung, maupun keturunan muridnya. Gagasan- gagasan
Konfusius terutama terkumpul dalam Lun-yu. Lun-yu merupakan sumber terbaik untuk
memahami ajaran Konfusius, meskipun naskah ini sangat problematik karena merupakan
susunan dari berbagai versi yang dikumpulkan lama setelah Konfusius mangkat, oleh murid-
muridnya, anak-murid, maupun cucu- muridnya. Lun-yu adalah dasar untuk memahami,
bagaimana kita menuju pendidikan dan pembangunan manusia yang ideal, yaitu orang yang tahu
bagaimana menjalani hidup, berinteraksi dengan orang lain, serta dengan cara bagaimana dia
harus ambil bagian dalam kehidupan masyarakat dan negara.3

Namun demikian, seperti yang dikemukakan sendiri oleh Konfusius, ajaran konfusius
merujuk pada suatu literatur baku yang meliputi enam naskah yang disebut Liujing (Six
Classics), yang terdiri atas:

 Yi- Jing (Book Of Changes, Buku Tentang Perubahan)


 Shijing (Book Of Odes, Buku Tembang)
 Shujing (Book Of History, buku Dokumen/ Sejarah)
 Liji (Record of Rituals, Buku Ritual
 Yue Jing (Book of Music, Buku Musik). Buku terakhir dalam serial ini adalah
 Chunqiu (Spring and Autumn Annals, kisah Musim Semi dan Musim Gugur) yang
mengisahkan sejarah negeri Lu dalam kurun waktu tahun 722- 479 SM (tahun
mangkatnya Konfusius.
C. Confusius dan Buku Yang Enam
Confusius adalah seorang ju dan pendiri mazhab Ju, yang dikenal di dunia Barat
sebagai mazhab Confucianisme. Liu Hsin telah menulis hal- hal yag berkenaan dengan
mazhab ini, bahwa mereka sangat “senang mempelajari Liu Yi dan menitikberatkan
perhatian terhadap persoalan- persoalan rasa kemanusiaan dan rasa keadilan.”
Istilah Liu Yi artinya “ilmu yang enam” yaitu ilmu bebas yang enam, namun lebih
sering diterjemahkan sebagai “Buku Klasik Yang Enam”. Buku yang enam itu adalah Yi,
3
Budiono Kusumohamidjojo, Sejarah Filsafat Tiongkok: Sebuah Pengantar Komprehensif, hlm84
Buku tentang Perubahan, Shih atau Buku tentang Pujian (atau Puisi), Shu atau Buku
tentang Sejarah, Li atau Buku Tata Upacara atau Ritus, Yueh Buku tentang Musik, dan
Ch’un Ch’iu atau Catatan Kejadian Musim Semi dan Musim Gugur, suatu catatan
rentetan kejadian sejarah negara Lu tempat kelahiran Confusius mulai dari 722-479 SM,
tahun meninggalnya Confusius.
Mengenai hubungan Confucius dengan Buku Klasik Yang Enam, ada dua mazhab
kesarjanaan tradisional. Yang satu menyatakan bahwa Confucius adalah pengarang
semua karya ini, sedangkan yang lain menyatakan bahwa Confucius adalah pengarang
Catatan Kejadian Musim Semi dan Musim Gugur, komentator Buku tentang
perubahan,pembaru Buku Tata Upacara dan Buku tentang Musik, serta editor Buku
tentang Sejarah dan Buku tentang Pujian.
Buku Klasik Yang Enam telah ada sebelum masa Confucius, dan itu merupakan
warisan budaya masa Lampau. Buku ini merupakan landasan pendidikan bagi para
aristokrat selaam abad- abad awal feodalisme pada masa kekuasaan dinasti Chou.
D. Confucius sebagai Seorang Pendidik
Confusius merupakan orang pertama dalam sejarah Cina yang memberipelajaran
kepada murid dalam jumlah yang besar. Muridnya berjumlah ribuan orang, dan beberapa

puluh di antara mereka menjadi pemikir dan sarjana termasyur .4 Tetapi Confucius lebih
dari seorang Ju dalam arti katanya yang umum. Memang benar bahwa dalam Untaian
Ajaran, dari satu sudut pandang kita menemukannya dilukiskan semata-mata sebagai
seorang pendidik. Ia ingin agar murid-muridnya menjadi manusia yang utuh yang
berguna bagi Negara dan masyarakat, dan oleh karena itu, ia mengajarkan kepada mereka
berbagai cabang pengetahuan yang didasarkan atas buku klasik yang berbeda-beda. Ia
merasa fungsi utamanya sebagai seorang guru adalah untuk menginterpretasikan warisan
kebudayaan kuno kepada murid-muridnya. Itulah sebab mengapa ia merupakan seorang
penyiar bukan seorang pencipta, seperti ucapannya sendiri yang dicatat dalam Untaian
Ajaran.
Kelompok pendidikan Confusius merupakan sekolah swasta pertama yang dipakai
sebagai sarana pendidikan tinggi dalam sejarah Cina. Confusius tidak hanya melatih

4
Fung Yu Lan, Sejarah Ringkas Filsafat Cina: Sejak Confusius sampai Han Fei Tzu, (Yogyakarta: Liberty, 1990),
hlm. 49.
orang-orang yang dipercayakan kepadanya tetapi juga mendidik mereka dalam
pengertian untuk mengembangkan serta meningkatkan taraf pemikiranserta kesusilaan,
memperluas, memperkuat, serta menertibkannya.5
E. Pembetulan Nama-Nama
Tentang masyarakat, ia berpendapat agar memiliki suatu masyarakat yang teratur,
maka hal yang paling penting untuk dilakukan adalah apa yang ia sebut dengan
pembetulan nama-nama. Maksudnya, segala sesuatu dalam kenyataan yang sebenarnya
harus disesuaikan dengan implikasi yang melekat padanya oleh nama-nama. Pada
kesempatan, seorang bangsawan penguasa pada masa itu bertanya kepada Confucius
tentang prinsip pemerintahan, yang oleh Confucius dijawab: “Hendaknya penguasa
menjadi seorang penguasa, menteri menjadi seorang menteri, ayah menjadi seorang ayah,
dan anak menjadi seorang anak. Dengan kata lain, setiap nama mengandung implikasi
tertentu yang merupakan esensi kelas segala hal yang menyandang nama-nama tersebut.
Karenanya, hal-hal semacam itu harus sesuai dengan esensi idealnya. Esensi seorang
penguasa adalah memiliki sifat-sifat idealnya penguasa, atau apa yang di dalam bahasa
Cina disebut “jalan penguasa”. Jika tindakan seorang penguasa sesuai dengan jalan
penguasa ini, maka ia adalah seorang penguasa yang sesungguhnya, baik dalam
kenyataan maupun dalam nama. Setiap nama dalam hubungan sosial mengandung
tanggung jawab dan kewajiban tertentu. Penguasa, menteri, ayah dan anak, semuanya
adalah nama-nama dalam hubungan sosial semacam itu, dan individu-individu yang
menyandang nama-nama ini harus memenuhi tanggung jawab dan kewajibannya sesuai
dengan nama-nama tersebut. Hal-hal semacam itulah yang menjadi implikasi dari teori
Confucius tentang pembetulan nama-nama.
F. Rasa Kemanusiaan dan Rasa Keadilan
Tentang kebajikan-kebajikan yang bersifat individu, Confucius menekankan rasa
kemanusiaan dan rasa keadilan, terutama rasa kemanusiaan. Rasa keadilan artinya situasi
yang seharusnya terjadi. Ini merupakan imperative kategoris. Setiap orang dalam
masyarakat mempunyai hal-hal tertentu yang seharusnya ia kerjakan, dan yang harus ia
kerjakan demi hal-hal itu sendiri karena secara moral merupakan hal-hal yang benar
untuk dikerjakan. Namun jika ia mengerjakannya hanya karena pertimbangan-

5
H.G. Creel, Alam Pikiran Cina, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), hlm. 30.
pertimbangan non moral yang lain, maka sekali pun ia mengerjakan apa yang seharusnya
dikerjakan, namun tindakannya itu bukanlah tindakan yang adil. Confucius berkata:
“Rasa kemanusiaan terkandung dalam sikap mengasihi terhadap manusia yang lain”.
Manusia yang benar-benar mengasihi manusia yang lain adalah manusia yang dapat
melaksanakan kewajibannya dalam masyarakat. Karena itu, dalam Untaian Ajaran kita
melihat bahwa Confucius kadang-kadang menggunakan kata jen tidak hanya untuk
menunjuk satu jenis kebajikan tertentu, tetapi juga untuk menunjuk keseluruhan jenis
kebajikan, sehingga istilah “manusia jen” menjadi bersinonim dengan manusia serba
baik. Dalam konteks ini, jen dapat diterjemahkan sebagai “kebajikan yang sempurna”.
G. Chung dan Shu
Chung Su adalah lawan dari orang biasa. 6 Di dalam Untaian Ajaran kita temukan
pernyataan: “Ketika Chung K’ung bertanya tentang makna jen, sang Guru menjawab:
“Jangan lakukan kepada orang lain sesuatu yang kamu tidak ingin orang lain lakukan itu
pada dirimu…”. Confucius disebutkan berkata: “Manusia jen adalah orang yang karena
berkeinginan untuk mengukuhkan dirinya, maka ia mengukuhkan orang lain, dan karena
ingin mengembangkan dirinya, maka ia mengembangkan orang lain. Mampu menarik
garis persamaan yang berpangkal dari dirinya dalam memperlakukan yang lain; itu bisa
disebut sebagai jalan dalam mempraktikkan jen”. Dengan begitu mempraktikkan jen
terkandung dalam sikap memerhatikan orang lain. Karena berkeinginan untuk
mengukuhkan diri sendiri, maka seseorang mengukuhkan orang lain, karena berkeinginan
untuk mengembangkan diri sendiri, maka seseorang mengembangkan orang lain. Dengan
kata lain: Lakukanlah kepada orang lain sesuatu yang kamu sendiri ingin orang lain
melakukannya untukmu. Ini merupakan aspek positif ketika mempraktikkan hal tersebut,
yang disebut oleh Confucius dengan Chung atau tenggang rasa terhadap orang lain. Dan
aspek negatifnya disebut oleh Confucius dengan Shu atau altruisme, yaitu jangan lakukan
kepada orang lain sesuatu yang kamu tidak ingin orang lain melakukannya padamu.
Praktik ini secara keseluruhan di sebut prinsip Chung dan Shu, yaitu jalan dalam
mempraktikkan jen.7
H. Mengenal Ming

6
Huston Smith, Agama- agama Manusia, (Jakarta: PT serambi Ilmu Semesta, 2015), hlm 190
7
Fung Yu Lan, Sejarah Ringkas Filsafat Cina: Sejak Confusius sampai Han Fei Tzu, (Yogyakarta: Liberty, 1990), hlm
53
Dari gagasan tentang keadilan, para penganut Confucianisme menurunkan
gagasan tentang berbuat tanpa pamrih. Orang melakukan apa yang seharusnya ia lakukan,
karena hal itu secara moral baik untuk dikerjakan, dan bukan karena pertimbangan
apapun yang berada diluar keharusan moral ini. Bahwa Confucius ditertawakan oleh
seorang pertapa tertentu sebagai orang yang tahu bahwa ia tidak akan berhasil, tapi masih
juga mencoba untuk melakukannya. Kita juga membaca bahwa seorang pertapa yang lain
diberitahu oleh seorang murid Confucius: yang menjadi alasan mengapa manusia ulung
mencoba masuk ke dalam dunia politik, adalah karena ia memandangnya sebagai hal
yang baik, bahkan sekalipun ia benar-benar menyadari bahwa prinsipnya tidak dapat
berlaku secara umum.
Tentang dirinya sendiri Confucius berkata: Jika prinsip-prinsip yang aku miliki
bisa berlaku di dunia ini, maka itu adalah Ming. Jika prinsip-prinsip itu dibuang begitu
saja, maka itu pun tetap Ming. Ia berusaha semaksimal mungkin, tetapi hasilnya ia
serahkan kepada Ming. Ming sering diterjemahkan sebagai takdir, nasib atau keputusan.
Bagi Confucius ini adalah keputusan alam ketuhanan atau kehendak alam ketuhanan.
Dengan kata lain, Ming diartikan sebagai kekuatan yang mempunyai tujuan. Namun
dalam Confucianisme di kemudian hari, Ming diartikan hanya sekadar totalitas kondisi
dan kekuatan yang ada di seluruh alam semesta. Agar aktivitas kita berhasil secara
lahiriah, maka kerjasama ini sepenuhnya terletak diluar kendali kita. Sehingga hal terbaik
yang bisa kita lakukan adalah mencoba untuk melaksanakan apa yang kita ketahui
seharusnya kita lakukan, tanpa memikirkan apakah dalam prosesnya kita akan berhasil
atau gagal. Menempuh jalan yang demikian ini berarti mengenal Ming. Mengenal Ming
merupakan satu syarat yang paling penting agar menjadi manusia ulung dalam pengertian
terminology Confucianisme, sehingga Confucius berkata: “Orang yang tidak mengenal
Ming tidak mungkin bisa menjadi seorang manusia ulung”.

I. Perkembangan Spritual Confucius


Dalam karya penganut Taoisme, berjudul Chuang-Tzu, kita melihat bahwa para
penganut Taoisme sering kali menertawakan Confucius sebagai seorang yang
terkungkung dalam moralitas rasa kemanusiaan dan rasa keadilan. Dan dengan demikian,
hanya menyadari nilai-nilai moral, bukan nilai super moral. Apabila diperhatikan secara
selintas mereka memang benar, tetapi sesungguhnya mereka salah. Ketika berbicara
tentang perkembangan spritualnya sendiri, Confucius berkata: Pada usia lima belas tahun,
saya tetapkan hati saya pada ilmu. Pada usia tigapuluh tahun saya dapat mengambil
sikap. Pada usia empat puluh tahun saya tidak mempunyai kebimbangan. Pada usia lima
puluh tahun saya mengetahui keputusan alam ketuhanan.
Pada usia enam puluh tahun saya telah mematuhi. pada usia tujuh puluh tahun
saya dapat mengikuti kehendak jiwa saya tanpa melampaui batas-batas. Ilmu yang
dimaksud oleh Confucius disini bukanlah apa yang kita sebut saat ini sebagai ilmu.
Confucius berkata tetapkan hatimu pada Tao. Dia juga berkata: “Sandarkan sikapmu pada
li (ritual-ritual, upacara upacara, perilaku yang baik)”. Dengan tidak mengetahui li berarti
tidak mempunyai sarana untuk mengambil sikap.
J. Kedudukan Confucius dalam Sejarah Cina
Confucius mungkin dikenal dengan lebih baik di Barat daripada orang Cina mana
pun yang lain. Di Cina sendiri, meskipun selalu termasyhur, namun kedudukannya dalam
sejarah telah mengalami perubahan yang sangat berarti dari satu periode ke periode lain.
Berbicara dari sudut pandang kesejarahan pertama kali ia adalah seorang guru, artinya,
hanya seorang guru di antara banyak guru yang ada. Tetapi setelah kematiannya, ia
secara berangsur-angsur dipandnag sebagai sang guru, unggul dibanding semua guru
yang lain. Menurut banyak penganut Confucianisme pada waktu itu, Confucius
sebenarnya telah ditunjuk oleh Alam Ketuhanan untuk memulai sebua dinasti baru yang
akan menggantikan dinasti Chou. Meskipun dalam kenyataannya tanpa mahkota atau
pemerintahan, tetapi ditinjau dari cita-citanya ia telah menjadi seorang raja yang
memerintah seluruh kemaharajaan.8

DAFTAR PUSTAKA

 Creel, H.G. Alam Pikiran Cina. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1990.


 Smith, Huston. Agama- agama Manusia. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2015

8
Fung Yu Lan, Sejarah Ringkas Filsafat Cina: Sejak Confusius sampai Han Fei Tzu, (Yogyakarta: Liberty, 1990), hlm.
59
 Yu Lan, Fung. SejarahRingkas Filsafat Cina: Sejak Konfusius Sampai Han Fei Tzu.
Yogyakarta: Liberty. 1990.
 Kusumohamidjojo, Budiono. Sejarah Filsafat Tiongkok: Sebuah Pengantar
Komperehensif. Yogyakarta: JALASUTRA. 2010

Anda mungkin juga menyukai