Anda di halaman 1dari 19

Riska Fitriani/E02215020

PA/3/A/Agama-Agama Dunia

Kong Hu Chu

Sejarah Lahirnya Agama Hu Chu

Dalam sejarahnya, agama Kong Hu Chu sudah ada dan dikenal oleh masyarakat
Tionghoa sejak 5.000 tahun yang disilam. Itu artinya, ajaran yang terdapat dalam agama ini
sudah 2.500 tahun sebelum Kunfusius (yang dianggap sebagai pembawa agama Kong Hu
Chu itu lahir). Sejatinya, sekitar tahun 2.952-2.836 SM, sudah bermunculan pembawa
ajaran ini, yang dimulai dengan sejarah Nabi-Nabi suci seperti Fuxi Shen-nong (2.838-
2.968 SM), Huang Di (2.698-2.596 SM), Yao (2.357-2.255 SM), Shun (2.255-2.205 SM),
Da Yu (2.205-2.197 SM), Shang Tang (1.766-1.122 SM), Wu Zhou Gong (1.122-225 SM),
hingga Nabi agung Kongzi (551-479 SM) dan Mengzi (371-289 SM). Para Nabi inilah
yang menjadi peletak agama Rujiao yang kemudian dengan agama Kong Hu Chu. Dengan
demikian, ajaran atau agama Kong Hu Chu bukanlah ajaran yang ada setelah kelahiran
Kunfusius, melainkan sudah ada sejak ribuan tahun sebelumnya. Kunfusius hanya berperan
menghidupkan kembali ajaran klasik ini. Sebagaimana dinyatakan dalam kitab suci Susi
VII. 1.2, Nabi Kongzi atau Konfusius hanyalah penerus pembaru dan penyempurna agama
Rujiao. Kunfusius hanya meneruskan, tidak menciptakan, ia sangat percaya dan suka
kepada yang kuno itu. Di dalam kitab suci agama ini, juga disebutkan bahwa Kunfusius
telah dipilih oleh Thian (Tuhan) untuk melestarikan membangkitkan kembali, meneruskan,
dan menyempurnakan agama-Nya.1 Dengan demikian, sangat jelas bahwa Kong Hu Chu
bukan sekedar sebuah ajaran yang dibawa oleh Kunfusius, melainkan agama (chiao) yang
telah diturunkan oleh Thian (Tuhan yang maha Esa), melalui para Nabi dan Raja Suci
purba semenjak ribuan tahun sebelumnya. Dalam buku A History Of Chinese Philosophy

1
Muhammad Nahar Nahrawi, “Memahami Konghucu Sebagai Agama” (Jakarta: Grafika Pustaka: 2003), 7.
karya Fung Yu Lan, ditegaskan bahwa Kunfusius adalah seorang transmitter. Atas
perjuangan Kunfusius menyebarkan ajaran Rujiao, sejak Tiongkok diperintahkan oleh
Dinasti Han (207 SM) sampai berdirinya Republik Tiongkok (1.911 M), agama Rijiao ini
ditetapkan sebagai agama Negara. Sejak itu, semua pejabat Negara harus lulus ujian dengan
materi ujian ajaran Rujiao, yang bersumber dari kitab klasik Wu Jing, dan sejak abad ke 12,
ditambah dengan kitab Su Si. Semenjak masa itu pula, agama Kong Hu Chu diajarkan di
sekolah-sekolah sebagai mata pelajaran wajib, dan para orang tua juga wajib mengajarkan
agama ini kepada putra dan putri mereka. Lembaga agama Kong Hu Chu pada waktu itu
adalah Negara. Pemimpin agama Kong Hu Chu tertinggi adalah Kaisar. Kaisar dianggap
sebagai anak Tuhan atau Thian Zi. Setiap Kaisar yang naik tahta, maka diwajibkan
membuat rumah ibadah Kong Hu Chu, yang disebut Bio atau Miao, sebanyak 7 buah.
Setiap gubernur baru wajib membuat 5 buah Miao, dan residen baru wajib membuat 3 buah
Miao. Meskipun jumlahnya tidak begitu banyak, pada waktu itu agama Kong Hu Chu juga
mempunyai lembaga khusus untuk mempelajari ajaran agama ini. Itulah sebabnya,
kedudukan agama Kong Hu Chu menjadi sangat istimewa di Tiongkok. Namun disisi lain,
hal ini sedikit berdampak negatif karena membuat beberapa tokoh agama ini lupa membina
umatnya secara intensif. Mereka kurang menekankan pada ajaran spiritual, melainkan lebih
menekankan pada pengabdian masyarakat. Selain itu, perhatian para kaisar Tiongkok
terhadap kehidupan agama Kong Hu Chu juga semakin menurun. Ajaran agama ini sudah
dianggap agama Negara, semua masalah yang terjadi dianggap biasa atau hal yang rutin,
dan tidak mendapat perhatian serius. Ajaran agama Kong Hu Chu sudah menjadi rutinitas
dan orang tidak lagi mempelajari dengan cermat ajaran yang terkandung dalam agama ini.
Akibatnya, terjadi kemunduran kualitas hidup rakyat Tiongkok. Sementara, agama lain
yang berkembang di Tiongkok tidak dapat menggantikan kedudukan agama ini.2

Pembawa Ajaran Kong Hu Chu

2
M. Ali Imron, “Sejarah Terlengkap Agama-Agama Di Dunia” (Yogyakarta: IRCiSoD: 2015), 231.
Konfusius dianggap sebagai pendiri keyakinan masyarakat Cina ini. Dia lahir pada
tahun 551 SM di kota Tsou, salah satu distrik Lu. Kong merupakan nama marga atau
keluarganya. Sementara Futze adalah pemimpin atau filsuf. Dengan begitu, dia adalah
pemimpin Kong atau filsuf Kong. Dia berasal dari golongan etnis mulia. Kakeknya adalah
seorang pemimpin wilayah, sedang ayahnya seorang perwira militer yang sangat baik. Dia
merupakan buah perkawinan illegal. Pada usia 3 tahun sang ayah telah meninggalkannya,
sehingga dia hidup sebagai anak yatim. Sejak kecil, dia sudah menjadi seorang
penggembala. Dia menikah pada usia muda, yakni sebelum umur 20 tahun lalu dikaruniai
satu orang putra dan satu orang putrid. Dua tahun kemudian, dia menceraikan sang istri
dengan alasan tidak mampu menafkahinya. Dia pernah manimba ilmu filsafat dari Laotse
(guru), seorang ahli filsafat. Dia adalah pemeluk aliran Tao, mengajarkan pada hidup rela
dan toleransi total. Namun setelah itu, Kunfusius menyeleweng dan mengajarkan teori
keadilan, membalas kejelekan dengan yang sepadan. Pada usia 22 tahun, Kunfusius
mendirikan sebuah sekolah filsafat hingga siswanya mencapai 3.000 murid. Dia dipercaya
untuk menempati beberapa posisi, yaitu konsultan bagi para pemimpin dan pemerintah,
penentu seorang hakim, menteri pekerjaan, menteri keadilan, dan pemimpin para menteri
pada tahun 496 SM. Saat itu, Kunfusius sempat melepas tugaskan beberapa menteri dan
politikus masa sebelumnya, serta memberantas para perompak. Selepas itu, dia
mengembara ke beberapa negeri menjadi konsultan hakim, bersosialisasi dengan kalangan
umum, dan memberikan doktrin-doktrin tentang ajaran moralitas. Akhirnya, dia kembali ke
distrik Lu, untuk mengajarkan beberapa ajaran dan pemikiran para leluhur, juga
pemikirannya yang telah diresensi dalam kitab-kitab kecil kepada para sejawatnya.
Kemudian, Kunfusius meninggal pada umur 50 tahun, sehingga sang murid tercinta, Huwai
menangis tersedu. Meninggal pada tahun 479 SM, selepas meninggalkan doktrin resmi
yang terus eksis hingga pertengahan abad ke 20 M. Kepribadian Kunfusius yakni santun,
humoris, pendidikan, penyuka anekdot, dan akan tersentuh jika melihat orang lain
menangis, namun dia Nampak keras dan kasar pada sesekali waktu. Postur tubuhnya tinggi.
Dia menahan nafsunya dari berbagai makanan, pakaian, dan minuman. Dia gemar
membaca, meneliti, dan belajar mengajar ilmu pengetahuan dan sastra. Gandrung pada
kajian politik, memiliki obsesi untuk menerapkan prinsi-prinsip filsafat dan norma moral
demi mewujudkan masyarakat madani. Pandai berpidato, berbicara yang fasih, tidak
banyak bicara, bahasanya ringan, padat, dengan beberapa permisalan yang pendek dan
berkualitas. Agamis, menghormati seluruh Tuhan yang disembah kala itu, menekuni
pelaksanaan ritual keagamaan. Dalam beribadah, Kunfusius menghadap dewa yang paling
besar atau dewa langit, berdo’a dalam diam dan tidak mau memohon nikmat serta
pengampunanNya. Bagi Kunfusius, berdo’a tidak lebih dari wujud kedisiplinan masing-
masing individu. Adapun agama dalam persepsi Kunfusius adalah sebuah peran dalam
pengejawanlahan toleransi antar manusia. Kunfusius menyanyi, memuji, dan bermusik. Dia
sempat mewariskan book of songs. Seperti halnya larut dalam berbagai perayaan dan
upacara keagamaan, Kunfusius pun sangat peduli dalam panah-memanah, menunggang
kuda, membaca, ilmu matematika, dan sejarah.3

Kitab Suci Agama Kong Hu Chu

Seperti perjalanan dan perkembangan agama Kong Hu Chu yang sangat panjang,
terbentuknya kitab suci agama ini hingga seperti sekarang juga mempunyai masa
perkembangan yang sangat panjang. Kitab suci yang tertua berasal dari Raja Suci Tong
Giau (2.357-2.255 SM) dan Gi Sun (2.255-2.205 SM), telah diletakkan dasar-dasar agama
Kong Hu Chu, dengan didampingi oleh Nabi Koo Yau dan Nabi Ik, yang sekarang tersusun
dan dapat dibaca dalam Su King (Kitab Dokumentasi Sejarah Suci). Selain Su King (Ajaran
Klasik), terdapat juga kitab Si King (Sajak), Ya King (Kejadian), Lee King (Kesusilaan dan
Peribadatan), dan Chun Chiu King (Sejarah Zaman Chin Chiu). Kelima kitab ini
merupakan kitab suci (Ngo King) klasik yang sudah ada pada abad sebelum Kunfusius
lahir. Kitab Ngo King kemudian diteliti dan dikodifikasikan pada abad ke 2 SM (2 abad

3
Sami bin Abdullah al-Maghlouth, “Atlas Agama-Agama” (Jakarta Timur: Almahira: 2011), 523.
setelah Kunfusius wafat), yakni pada zaman Dinasti Han, oleh seorang tokoh bernama Tang
Tiong Su. Kemudian, pada tahun 79 M, kitab tersebut diperiksa ulang untuk menyamakan
penafsiran Ngo King oleh musyawarah besar tokoh-tokoh Kong Hu Chu yang hasilnya
dibukukan dalam sebuah kitab Pik Hau Thong. Komponen kedua, juga merupakan pokok
dari ajaran Kong Hu Chu, ialah semua ajaran yang termaktub dalam kitab Su Si (Kitab
yang Empat), yakni Thai Hak (Kitab Ajaran Besar), Tiong Yong (Kitab Tengah Sempurna),
Lun Gi (Kitab Sabda Suci), dan kitab Mencius (Kitab Bingcu). 4 Sebenarnya, kitab yang
murni berisi ajaran Kunfusius adalah 3 kitab, sedangkan kitab Mencius merupakan ajaran
dari Bingcu yang hidup satu abad setelah Kunfusius wafat. Isinya merupakan percakapan-
percakapan antara Bingcu dengan raja-raja, tokoh-tokoh aliran, dan pemikir yang ada pada
waktu itu. Meskipun Bingcu berpisah dengan Kunfusius dalam waktu yang lama, tetapi
Bingcu diakui sebagai wakil atau nabi yang telah berjasa menegakkan dan meluruskan
kembali kemurnian ajaran Kong Hu Chu. Oleh karena itu, ajarannya dimasukkan dalam
bagian kitab suci. Beberapa yang mengatur susunan kitab Su Si adalah kitab kaum Too Hak
Kea tau tokoh Neo Konfusianisme, yakni Cu Hi pada abad ke 12 M. 5 Selain kitab Ngo
King dan Su si, masih ada kitab lain yang juga dianggap sebagai kitab suci agama Kong Hu
Chu, yaitu kitab Hau King (Kitab Bhakti). Kitab ini ditulis oleh Cingcu (salah satu murid
Kunfusius), yang berisi tuntunan perilaku bakti dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan
demikian, ajaran Kong Hu Chu tidak hanya berdasarkan pada ajaran klasik dan Kunfusius,
melainkan juga dipengaruhi dan dipersatukan oleh ajaran murid-muridnya, seperti Cingcu
dan Bingcu. Ngo King (Kitab Suci yang Lima), seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa
Ngo King adalah kitab klasik yang sudah ada pada abad sebelum Kunfusius lahir. Salah
satu muridnya, Xun Zi, memakai enam kitab klasik sebagai sumber ajaran Kong Hu Chu.
Dia menyarankan supaya keenam kitab ini harus dipelajari oleh seluruh rakyat Tiongkok
sebagai pedoman dalam menjalankan roda kehidupan. Menurutnya, jika keenam kitab
tersebut tidak dipelajari maka akan timbul bencana dan kekacauan di seluruh Tiongkok.
4
Moh. Qosim Mathar, “Sejarah, Teologi, dan Etika Agama-Agama” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2003), 53.
5
Ibid, 35.
Sayangnya, murid Xun Zi sendiri yang bernama Han Fei Zi tidak menganjurkan orang
membaca kitab tersebut. Han Fei Zi yang beraliran legalisme mengatakan bahwa hukum
yang terdapat dalam kitab itu tidak memiliki hubungan sama sekali dengan moralitas.
Aliran legalisme ini dianut dan diterapkan oleh Qin Shi Huang Di ketika menguasai dan
memimpin Tiongkok. Karena itu, tidak mengherankan bila saat itu kitab klasik itu dilarang
dan dibakar. Meskipun demikian, sebenarnya Han Fei Zi tidak pernah menyarankan agar
kitab itu dibakar. Kemungkinan, pembakaran kitab itu dilakukan oleh Qin Shi Huang Di
karena dia khawatir terhadap kehebatan kitab klasik itu. Dia takut musuhnya mempelajari
isi kitab klasik tersebut sehingga mampu mengalahkannya. Oleh karena itu, dia menyimpan
sendiri kitab itu di dalam istananya. Namun, sayangnya istananya terbakar, dibakar oleh
musuhnya dan semua kitab yang tersimpan juga ikut terbakar. Setelah Dinasti Qin tumbang
(206 SM), kitab klasik tersebut dituliskan kembali oleh para ahli yang masih hafal isinya,
tetapi kitab Musik tidak ada yang dapat menuliskannya kembali, sehingga sekarang tidak
ada lagi dan hanya tersisa lima.6

Pertama adalah Yi Jing (Kitab Perubahan). Kitab ini tidak menjadi sasaran kemarahan
Kaisar Qin Shi Huang Di karena dipandang sebagai buku mistik. Kitab ini berisi symbol
berwujud hexagram yang jumlahnya 64. Symbol hexagram itu menjelaskan terjadinya
perubahan alam dan nasib manusia. Sebenarnya, hexagram ini merupakan bentuk logika
silogisme berantai dengan enam premis, dan konklusinya adalah komentar yang diuraikan
oleh Kunfusius. Yi Jing ini sudah ada ribuan tahun sebelum Kunfusius lahir. Oleh
Kunfusius, kitab ini dipelajari, disusun, dan diberi penjelasan agar para muridnya
mempunyai pedoman berpikir. Dikemudian hari, isi kitab Yi Jing dipelajari oleh para ahli
matematika Tiongkok untuk mengembangkan ilmu matematika. Kitab ini semakin popular
setelah dikembangkan dan dijadikan sebagai kosmologi Kong Hu Chu oleh Dong Zhong
Shu dan Yang Xiong. Uraian kosmologi itu dilanjutkan menjadi ilmu meramal dan Feng
Shui oleh masyarakat Tionghoa. Bagi orang yang ingin memperbaiki nasib, kitab Yi Jing
6
M. Ali Imron, “Sejarah Terlengkap Agama-Agama Di Dunia” (Yogyakarta: IRCiSoD: 2015), 240.
sangat bermanfaat karena di dalamnya terdapat petunjuk dan nasihat yang sangat berguna
apabila dilaksanakan dengan hati tulus dan bertindak benar. Sebaliknya, bagi orang yang
memahaminya sebagai ajaran takhayul untuk memanipulasi nasib, maka kekecewaan yang
akan didapatnya. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab ini, nasib manusia akan berubah
menjadi baik jika jalan hidupnya tidak berlawanan dengan Thian Dao atau “Jalan Suci
Tuhan”, tidak berlawanan dengan hukum alam atau di dao, serta tidak berlawanan dengan
jalan suci kemanusiaan atau di dao.7

Kedua adalah Shu Jing (Kitab Dokumen Sejarah). Kitab Shu Jing berisi 30 maklumat
para raja zaman purba, yang mulai Raja Yao (2.356-2.255 SM) sampai dengan maklumat
Pangeran Negeri Qin (Qin Mu Gong, 569-620 SM). Isi maklumat ini bermacam-macam,
diantaranya ialah tentang pengangkatan raja baru dengan menyebutkan alasan raja baru itu
diangkat. Isinya juga tentang putusan raja menghukum seorang menteri dengan
menyebutkan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan seorang menteri. Selain itu, kitab
ini juga berisi tentang penggantian raja yang tidak menjalankan tugas dengan keterangan
dan alasan yang cukup untuk menggulingkannya. Dalam setiap maklumat raja, ditambah
pula dengan nasihat-nasihat bagi para menteri agar dapat menjalankan tugas dengan baik.
Sebelum maklumat itu dituliskan, selalu ada pengantarnya yang menceritakan latar
belakang sejarah terjadinya peristiwa atau perlunya maklumat itu diumumkan. Pada intinya,
maklumat ini merupakan ajaran moral bagi para raja dan pejabat di Tiongkok waktu itu.
Untuk memperluas pemikiran orang Tiongkok, Xun Zi sangat menganjurkan supaya
penganut Kong Hu Chu mempelajari kitab ini. Peristiwa yang dijelaskan dalam kitab
Dokumen Sejarah merupakan peristiwa sejarah yang sebenarnya, bukan rekaan. Kitab ini
sangat penting karena seseorang dapat melihat kembali zaman masa lalu sekaligus belajar
dari peristiwa yang terjadi masa lalu itu. Tentunya, kitab ini ditulis agar para negarawan di
semua Negara di dunia memiliki pengetahuan sejarah yang baik. Sebab, politisi yang tidak
menguasai ilmu sejarah tidak akan mampu memimpin rakyatnya untuk mencapai
7
Ibid, 241.
kesejahteraan hidup. Oleh karena itu, kitab sejarah ini sangat penting bagi cendekiawan
Kong Hu Chu.

Ketiga adalah Li ji (Kitab Kesusilaan). Kitab ini cukup tebal, isinya menyangkut
berbagai masalah yang sangat luas, seperti aturan tentang upacara sembahyang kepada
Tuhan dan arwah, mulai perlengkapan upacara, pakaian upacara, jumlah peserta upacara,
macam-macam sesajinya, dan cara menyajikannya. Di dalam kitab tersebut, juga terdapat
nasihat-nasihat dari Kunfusius tentang makna hidup. Masalah-masalah moral dan
kesusilaan banyak dinyatakan oleh Kunfusius dalam kitab ini, serta beberapa kutipan yang
bersumber dari kitab Sejarah dan kitab lainnya. Selain berisi komentar-komentar atau
ulasan dari Kunfusius, kitab Li Ji juga kemungkinan ada bagian yang ditulis oleh pengikut
Meng Zi dan Xun Zi setelah dituliskan kembali pada zaman Dinasti Han. Seperti dijelaskan
sebelumnya, kitab yang asli sudah terbakar pada masa pemerintahan Dinasti Qin. Banyak
ahli sejarah yang menduga bahwa yang dituliskan kembali itu sudah disesuaikan dengan
pemikiran para penulis zaman Dinasti Han. Kitab Li Ji juga banyak menganalisis tentang
upacara kematian, serta menjelaskan sikap yang harus dipatuhi oleh orang-orang yang ikut
upacara penguburan. Selain itu, di dalam kitab ini juga dibahas makna hidup dan kematian,
yang dikaitkan dengan sabda para raja suci (nabi purba). Pembahasan terkait masalah moral
dan kesusilaan disampaikan dengan model cerita dan dialog antara tokoh-tokoh ceritanya
itu. Penulisan cara ini dimaksudkan tidak mendikte atau memaksa para pembacanya untuk
menerima pemikiran para nabi purba tersebut.8 Bagi para penganut agama Kong Hu Chu,
mempelajari kitab Kesusilaan sangat dianjurkan agar yang membacanya terbuka
pemikirannya. Meskipun penganut agama Kong Hu Chu tidak mudah menerima atau
menolak pemikiran orang lain, tetapi perlu dipertimbangkan terlebih sebelum menolak atau
menerima pemikiran orang lain. Kunfusius harus berpikir kritis dengan berpegang teguh
pada prinsip konstruksi positif, tidak fanatic, dan tidak menganggap pendapatnya paling
benar. Selain itu, para Kunfusianis juga harus selalu bersedia belajar kepada orang lain,
8
Ibid, 243.
yang baik dilaksanakan, dan yang tidak baik disimpan untuk diperbaiki, baru kemudian
dilaksanakan.

Keempat ada kitab Shi Jing (Kitab Sajak). Semua kitab sajak ditulis dalam bentuk puisi.
Di dalam kitab ini, terdapat empat bagian utama. Mereka adalah Guo Feng, berisi nyanyian
rakyat tentang berbagai masalah kehidupan sehari-hari. Antara lain, tentang cinta antara
remaja dan hubungan orang dalam keluarga. Kedua ada Xiao Ya, berisi kritik terhadap
pejabat dan birokrasi pemerintah. Selain itu, pada bagian ini juga berisi keluhan rakyat
akibat tingkah laku pejabat yang tidak adil dan tidak pandai. Ketiga ada Da Ya, berisi
pujian kepada raja Wen Wang karena dia telah membebaskan rakyat dari cengkeraman raja
Zhou Xin yang jahat dari Dinasti Shang. Terakhir ada Song, berisi lagu-lagu untuk
mengiringi upacara-upacara suci, yaitu lagu pujian kepada Tuhan.

Kelima adalah kitab Chun Qiu (Kitab Musim Semi dan Musim Gugur). Kitab Chun Qiu
menceritakan sejarah kerajaan negeri Lu, yaitu negeri kelahiran Kunfusius. Menurut
pendapat ahli sejarah, kitab ini ditulis sendiri oleh Kunfusius. Isinya adalah analisis kata-
kata dan sebutan yang pemakaiannya dikacaukan oleh para raja muda. Para raja muda itu
sengaja mengacaukan penggunaan kata karena ingin merebut kekuasaan. Contohnya,
seorang bangsawan yang gelarnya rendah, yaitu zu, tetapi dia mengubah gelarnya menjadi
raja atau wang. Perilaku menyimpang yang dilakukan oleh para raja yang mengelabui
rakyat tersebut sangat ditentang oleh Kunfusius. Menurutnya, apabila hal itu dibiarkan
maka akibatnya generasi yang akan datang menjadi bingung dan Negara Tiongkok tidak
akan dapat disatukan lagi. Kitab sejarah yang ditulis Kunfusius tersebut dimulai tahun 722
SM, yaitu tahun pangeran Lu Yin Gong menjadi raja muda di negeri Lu, hingga tahun 481
SM saat Kunfusius melihat hewan Kilin dibunuh oleh pangeran Lu Ai Gong, menjelang
wafatnya Kunfusius.

Keenam ada kitab Yue Ji (Kitab Musik). Sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya, dari keenam kitab klasik agama Kong Hu Chu, hanya lima yang masih ada.
Sebab, kitab yang terakhir, yaitu kitab Yue Ji (kitab Musik), sudah dibakar seluruhnya oleh
Qin Shi Huang Di, dan tidak ada yang dapat menuliskannya kembali.9

Selain Ngo King, kitab yang diakui oleh agama Kong Hu Chu adalah kitab Su Si
(empat Kitab). Pada masa pemerintahan Dinasti Song, seorang tokoh Neo Kunfusianisme
menulis buku Su Si yang mengambil dari kitab Wu Jing (Ngo King) dan ditambah dengan
tulisan Meng Zi. Sumber ajaran agama Kong Hu Chu hanya sampai pada tulisan Meng Zi.
Setelah masa itu, tulisan lainnya tidak dianggap sebagai sumber resmi agama Kong Hu
Chu. Itu artinya, semua tulisan tentang agama Kong Hu Chu acuannya sudah ditetapkan,
yaitu Wu Jing dan Su Si sebagai kitab suci agama ini. Kitab Su Si berbahasa asli Mandarin
(bahasa nasional Tiongkok). Di Indonesia, kitab ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh MATAKIN. Pada sampul depan kitab ditulis Pat Sing Ciam Kwi (delapan
pengakuan iman) dari agama Kong Hu Chu. Salah satu butir dari kedelapan pengakuan
iman tersebut mirip dengan ajaran keimanan dalam Islam, yakni “beriman kepada kitab Su
Si”, yaitu kitab suci agama Kong Hu Chu.10 Kitab Su Si ini cukup tebal, yaitu 823 halaman,
yang dibagi menjadi 4 buah kitab yang dihimpun menjadi 1 kitab utuh. Isi didalamnya
pertama, kitab Thai Hak (Ajaran Besar). Kitab Thai Hak ditulis oleh salah satu murid
Kunfusius, yaitu Ching Zi dan disusun kembali menjadi 1 bab utama dan 10 bab uraian
oleh Zi Hi pada masa Neo Kunfusianisme. Kitab ini merupakan kitab panduan pembinaan
diri yang berisi tentang etika dalam kehidupan berumah tangga, bermasyarakat, bernegara,
dan etika pergaulan dunia. Dalam pengantarnya, kitab Thai Hak menyebutkan bahwa Thai
Hak merupakan kitab warisan mulia dari kaum Khong yang merupakan ajaran permulaan
untuk memasuki pintu gerbang kebijaksanaan. Sebelum mempelajari bagian lain dari kitab
Su SI, seperti Lun Yu atau Lun Gi (Sabda Suci), Tiong Young atau Zhong Young (Tengah
Sempurna), dan Bingcu atau Mencius, maka terlebih dahulu harus memulai dengan
mempelajari kitab Thai Hak ini. Adapun isi dari kitab Thai Hak terdiri atas 10 bab, dan

9
Ibid, 244.
10
Leo Suryadinata, “Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia” (Jakarta: Gramedia Pustaka: 1988), 67.
diawali dengan bab utama. Bab utama terdiri atas 9 ayat; 4 ayat untuk bab I, 4 ayat untuk
bab II, 5 ayat untuk bab III, 1 ayat untuk bab IV, 3 ayat untuk bab V, 4 ayat untuk bab VI, 3
ayat untuk bab VII, 3 ayat untuk bab VIII, 9 ayat untuk bab IX, 23 ayat untuk bab X.
dengan demikian, jumlah keseluruhan ayat dalam kitab Thai Hak adalah 68 ayat.11

Kitab kedua yang ada dalam kitab Su Si adalah kitab Tiong Young (Tengah Sempurna).
Kitab Tiong Young atau yang bisa disebut juga Zhong Young ini ditulis oleh Zhi Shi, cucu
dari Kunfusius, yang kemudian disusun kembali oleh Zhi Hi menjadi satu bab utama
sebanyak 32 bab uraian dan ditambah satu bab utama. Adapun posisi dari kitab ini
diletakkan setelah kitab Thai Hak. Sebagaimana dijelaskan dalam pengantar kitab ini,
Tiong Young memiliki arti “tengah sempurna”. Kata “tengah” diartikan tepat sasaran atau
“jalan yang lurus di dunia”, sedangkan kata “sempurna” memiliki arti “hukum tetap di
dunia”. Dengan ungkapan lain, kata “tengah sempurna” ini bisa dimaknai dengan “berbuat
sesuai hukum alam”. Sebelum rasa kegembiraan, kemarahan, kesedihan, dan kesenangan
muncul, maka hal itu masih dapat dikatakan sebagai “tengah”, tetapi apabila itu sudah
timbul, namun masih dalam batas tengah, dia dapat dikatakan “harmonis”. Selain itu, kata
“tengah” dapat diartikan sebagai pokok dari dunia dan keharmonisan, bisa dikatakan
sebagai cara dalam menempuh jalan suci di dunia. Apabila “tengah” dan ‘’harmoni” dapat
terwujud maka kesejahteraan di langit dan di bumi akan tercapai, serta semua makhluk dan
benda akan bisa terpelihara. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Tiong Young
(tengah sempurna) merupakan cita-cita dari seluruh umat manusia yang harus diwujudkan
di dunia ini.12

Selain membahas tentang “tengah sempurna”, kitab Tiong Young juga menjelaskan
tentang arti agama. Dalam bab utama kitab ini, dijelaskan bahwa firman Thian (Tuhan
Yang Maha Esa) dinamakan sebagai watak sejati. Adapun hidup mengikuti watak sejati ini

11
M. Ali Imron, “Sejarah Terlengkap Agama-Agama Di Dunia” (Yogyakarta: IRCiSoD: 2015), 245.
12
Ihsan Tanggok, “Mengenal Lebih Dekat Agama Konghucu di Indonesia” (Jakarta: Pelita Kebajikan: 2005),
29.
dinamakan menempuh alan suci. Sedangkan bembingan menempuh jalan suci dinamakan
sebagai agama. Dalam ayat selanjutnya, yaitu (ayat 2), dikatakan bahwa jalan suci tidak
boleh terpisah sedikitpun dari kehidupan manusia. Sebab, bila sampai terpisah maka dia
tidak dapat dikatakan sebagai jalan suci. Oleh karena itu, penganut Kong Hu Chu harus
mengakui adanya Dia (Thian) yang tidak kelihatan dan takut pada-Nya (Thian) yang tidak
terdengar. Di dalam kitab Tiong Young, juga dijelaskan tentang kuncu, susilawan, atau
gentlemen. Terkait hal iini, agama Kong Hu Chu membedakan antara kuncu dengan orang-
orang yang rendah budi.menurut ajaran ini, kuncu itu hidup dalam tengah sempurna,
sedangkan orang yang rendah budi atau tidak bersusila menentang tengah sempurna.
Seorang kuncu hidup dalam tengah sempurna karena ada yang diseganinya, sedangkan
orang yang rendah budi tidak ada satu pun yang diseganinya. Selain itu, kitab Tiong Young
juga banyak membicarakan tentang keperwiraan, ajaran-ajaran etika, keimanan, jalan suci
Tuhan Yang Maha Esa, dan hukum-hukum yang ada di dalamnya.

Ketiga adalah kitab Lun Yu (Kitab Kumpulan). Kitab Lun Yu, Lun Gi atau dalam
bahasa inggris dikenal dengan The Analects, merupakan beberapa tulisan yang
dikumpulkan oleh murid-murid Kunfusius setelah ia wafat. Berbeda halnya dengan kitab
Thai Hak dan Tiong Young, kitab ini tidak ditulis bab per bab, melainkan jilid per jilid,
yang terdiri atas 20 jilid, dan diletakkan setelah kitab Thai Hak dan Tiong Young dalam
kitab Su Si. Secara khusus, dapat dikatakan bahwa kitab Lun Yu berisikan hal-hal yang
berhubungan dengan pembicaraan dan nasihat yang diberikan oleh Kunfusius yang
berkaitan dengan kondisi yang terjadi pada masa itu.

Keempat adalah kitab Bing Cu. Kitab ini merupakan bagian terakhir dari kitab Su Si.
Kitab ini merupakan kumpulan ajaran dan percakapan Bing Cu, atau Mencius, atau Meng
Ze, dalam menjalankan kehidupan masa itu dengan menegakkan ajaran-ajaran Kong Hu
Chu. Kitab yang terdiri atas 7 jilid tersebut merupakan pendirian Bing Cu dalam
mengungkapkan cinta kasih dan kebenaran membenarkan jalan suci, kebijakan, serta
mengakui Tuhan Yang Maha Esa (Thian). Alasan kitab ini diberi nama Bing Cu adalah
karena bagian pertama membicarakan Bing Cu yang menemui raja Hwi dari negeri Liang.
Dalam bagian tersebut, dikisahkan bahwa Bing Cu menyebarkan dan menjalankan ajaran
Kong Hu Chu ke negeri tersebut. Saat itu, Bing Cu tidak mempersoalkan besarnya materi
yang diberikan oleh raja Hwi, dia hanya mengharapkan cinta kasih dan kebenaran. Secara
umum, sebagian besar dari kitab berisikan pembicaraan antara Bing Cu dengan para raja
yang hidup pada masa itu. Secara substansial, kitab-kitab suci yang menjadi pedoman
pokok penganut agama Kong Hu Chu tersebut merupakan sumber ajaran yang dijadikan
pedoman dan acuan dalam pemikiran, tingkah laku, dan kepercayaan. Kitab suci dianggap
sebagai wahyu dari Thian (Tuhan) yang diturunkan kepada mereka yang dianggap sebagai
nabi. Kumpulan wahyu tersebut oleh para tokoh agamanya telah diteliti dan dibukukan
menjadi kitab suci.13

Ajaran Agama Kong Hu Chu

Sebagai bangsa yang besar, China (Tiongkok) memiliki tradisi yang dapat
disejajarkan dengan tradisi bangsa India yang juga besar. Tetapi ada perbedaan yang tajam
antara kedua bangsa ini. Yakni dalam cara menanggapi kehidupan duniawi. Bangsa India
memandang kehidupan di dunia ini dengan pesimisme. Karena menurut mereka manusia
harus menanggung penderitaan yang disebabkan oleh hukum karma, sehingga manusia
harus mengalami berkali-kali lahir kembali, sebelum mereka bisa mendapatkan kelepasan
(mati yang tidak dilahirkan kembali). Sedangkan bangsa China kuno mempunyai
pandangan yang sebaliknya. Yaitu menanggapi kehidupan dunia ini dengan penuh
optimisme. Karena mereka berpendapat bila seseorang hidupnya di dunia selama ini baik,
maka hidupnya di alam akhirat juga akan baik. Mereka sangat mencintai hidup dan
berusaha menikmati keindahannya.14

13
M. Ali Imron, “Sejarah Terlengkap Agama-Agama Di Dunia” (Yogyakarta: IRCiSoD: 2015), 248.
14
Sufa’at Mansur, “Agama-Agama Besar Masa Kini” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2011), 118.
Mengenai kehidupan itu, bangsa China sejak dahulu kala hidup bertani. Hal ini
menyebabkan mereka banyak berhubungan dengan alam sekitarnya. Peristiwa-peristiwa
alam sekitar banyak mempengaruhi kehidupan bertani mereka. Karena tidak selamanya
peristiwa-peristiwa alam sekitar tersebut dapat dimengerti dengan akal pikirannya, maka
peristiwa alam sekitar itu dipandang sebagai suatu kegaiban. Anggapan demikian
menyebabkan timbulnya kepercayaan terhadap hal-hal gaib, kemudian mereka mengadakan
upacara-upacara pemujaan terhadap kegaiban itu dengan tujuan agar kekuatan gaib yang
mereka percayai itu tidak menimbulkan kerusakan serta kejahatan kepada kehidupan
pertanian mereka. Yang demikian itu mendorong mereka berpaham animism (semua yang
ada di dunia ini memiliki roh/nyawa). Oleh karena itu, ajaran Kong Hu Chu tidak terlepas
dari kebudayaan bangsa China. Bila dikelompokkan, bisa jadi ada tiga. Pertama, mereka
sangat mengagungkan kepercayaan terhadap hal-hal gaib, roh-roh, serta para leluhurnya.
Kedua, menjujung tinggi upacara-upacara, dan etika dalam hidup bermasyarakat. Ketiga,
lebih mementingkan kehidupan mental daripada material.

Landasan hidup bangsa China animism itu yang kemudian dipadu dengan teism,
dimanifestasikan dalam bentuk pemujaan-pemujaan terhadap alam sekitar, leluhur (nenek
moyang), dan langit. Salah satunya pada peristiwa-peristiwa alam sekitar banyak
mempengaruhi kehidupan bertani mereka, roh-roh leluhur ditempat penting, sampai pada
akhirnya penghormatan kepada leluhur tersebut mengalami peningkatan kepada yang lebih
tinggi lagi, yakni meningkat kea rah penghormatan kepada “langit”, sehingga menimbulkan
pandangan adanya dewa yang lebih agung, yang berada di atas roh-roh leluhur. Dewa
agung tersebut ialah dewa langit. Dewa langit adalah mengukur diri sendiri.15

Alur Pemikiran Akar-Akar Kuno Budaya China (Tiongkok)

1. Dao

15
Ibid, 119.
Dao atau “jalan”, penting dalam pemikiran China. Dao dapat mengacu pada jalur yang
harus diambil seseorang dalam hidupnya, atau pada visi tentang alam semesta, alam, dan
aturan sosial. Kekacauan yang disebabkan tiadanya kebajikan, dapat menyebabkan bencana
alam seperti gempa bumi dan banjir. Penguasa dan para pejabatnya dituntut menjaga
keharmonisan dan dapat kehilangan mandate dari surge (Thian ming) bila mereka tidak
mengikuti arah kebajikan. Antologi paling awal puisi China, Shijing atau puisi klasik, yang
muncul sekitar abad ke 10 SM, menampilkan dunia kuno ideal, tempat orang-orang hidup
dalam keselarasan yang erat dengan tanah dan musim-musim pertanian, mengerti dan
mengontrol lingkungan mereka. Masyarakat zaman dulu ini hierarkis dan sering kali kasar,
namun ide-ide harmoni sosial yang dibentuk Dao, menjadi bagian yang menentukan dalam
hubungan atara orang-orang China dan dunia mereka. Umumnya, keluarga adalah unit
utama organisasi sosial, sebuah konsep yang bertahan dalam masyarakat China. Keluarga
ideal adalah keluarga garis keturunan ayah (patrilineal). Ayah merupakan figure utama
yang harus dihormati dan dipatuhi (meskipun anak laki-laki diharapkan juga menghargai
ibunya). Ayah, seperti penguasa, bertanggung jawab melestarikan menjagakeharmonisan
dan member contoh moral, dengan mengikuti ajaran Dao. Setiap anggota keluarga mengerti
kedudukannya dalam keluarga, tetapi perannya dapat berubah : anak laki-laki menjadi
ayah, dan menantu perempuan menjadi ibu mertua, melestarikan pola alami (Dao)
masyarakat.16

2. Pan Gu

China (Tiongkok) memiliki bermacam mitos mengenai penciptaan dunia dan manusia,
salah satu yang paling terkenal adalah Pan Gu. Ini menceritakan bahwa awalnya tidak ada
apa pun di alam semesta ini kecuali sebuah kekacauan tak berbentuk. Ini lama kelamaan
bersatu dan membentuk konsep kesempurnaan yang bertolak belakang, yakni Yin dan
Yang. Terbentuk di antara dua konsep ini, raksasa bernama Pan Gu dilahirkan, mewakili
16
Alisom Bailey, Ronald G. Knapp, Peter Neville-Headley, J.A.G. Roberts, Nancy S. Steinhardt, “China”
(London: Dorling Kindersley Limited: 2008), 234.
elemen manusia dalam tritunggal sinar kosmik yang terdiri dari Tian, Di, dan Ren (langit,
bumi, dan manusia). Pan Gu menciptakan dunia dengan memisahkan Yin (bumi) dari Yang
(langit) menggunakan kapaknya dan berdiri di antara keduanya agar mereka tetap terpisah.
Proses ini membutuhkan waktu 18.000 tahun, dan “setiap hari langit naik 10 kaki, bumi
bertambah tebal 10 kaki setiap hari, dan setiap hari Pan Gu bertambah tinggi 10 kaki.
“ketika Pan Gu mendekati ajalnya, tubuhnya berubah. Napasnya, menjadi angin dan awan,
suaranya menjadi gemuruh Guntur. Mata kiri Pan Gu menjadi matahari, dan mata kanannya
menjadi bulan. Tungkai dan lengannya berubah menjadi empat mata angin, dan lima
puncak gunung. Darah dan maninya menjadi air dan sungai. Otot-otot dan nadinyamenjadi
jalan utama bumi, dagingnya menjadi lading. Rambut Pan Gu menjadi bintang-bintang, dan
bulu-bulu tubuhnya menjadi tumbuhan dan pohon-pohon. Gigi dan tulangnya menjadi
logam dan karang, kemudian sum-sumnya menjadi mutiara dan permata. Keringatnya
menjadi hujan. Semua tungau di tubuhnya tertiup angin dan berubah menjadi orang-orang
berambut hitam.17

3. Konsep Qi

Qi adalah bagian fundamental dari kebudayaan China (Tiongkok). Qi hadir di segala


hal, dan pada tingkatan sederhana berarti udara, nafas, dan uap air. Qi diasosiasikan dengan
tenaga, nafas dari kosmos yang menghidupkan, dan energy yang ditemukan did an
menggerakkan semua makhluk hidup. Qi dipercaya bekerja dalam siklus membesar dan
mengecil, dan ini tercermin pada kebangkitan dan kejatuhan dinasti-dinasti yang berkuasa
dan keadaan alam yang selalu berubah, juga pada siklus kehidupan manusia. Qi memiliki
sifat negative dan positif yang berhubungan dengan perasaan moral. Qi yang berlebih akan
menyebabkan ketidakteraturan pada fisik, mental, pemerintahan, dan dunia kosmis. Praktisi
pengobatan meditasi dan tai chi (Taijiquan) semuanya menekankan pada pentingnya
menjaga keseimbangan Qi dalam tubuh untuk kesehatan spiritual dan fisik serta kekuatan.

17
Ibid, 234.
Pengobatan tradisional China, termasuk akupuntur, dan penggunaan titik-titik tekanan,
didasari cara-cara Qi bergerak melalui tubuh via jalur-jalur atau “meridian”. Ketakteraturan
atau Qi yang terhalang harus dilancarkan agar tubuh menjadi sehat.18

4. Yin dan Yang

Pasangan Yin dan Yang saling melengkapi, keduanya muncul dari Qi, dan menjelaskan
bagaimana pola-pola alami (atau Dao) membentuk dunia, masyarakat dan tubuh manusia.
Awalnya tentang sisi teduh (Yin) dan cerah (Yang) dari sebuah gunung, kedua istilah ini
mencakup siklus sifat yang berlawanan namun saling melengkapi, termasuk wanita dan
pria, gelap dan terang, bulan dan matahari, basah dan kering, dingin dan panas, menurun
dan menaik, diam dan aktif, dunia hatu dan manusia, serta utara dan selatan. Walaupun
bertentangan, Yin dan Yang saling membutuhkan agar dapat eksis akhirnya, dan ketika
seimbang dapat bekerja bersama secara serasi. Menurut legenda, surga terbentuk dengan
terkumpulnya Yang ke atas, dan bumi tercipta dengan Yin mengendap kebawah. Secara
tradisi, naga mempresentasikan Yang, dan phoenix menampilkan Yin. Tubuh manusia
terdiri dari aspek-aspek Yin dan Yang. Keduanya harus berada dalam keseimbangan yang
tepat agar sehat. Meskipun Yin dan Yang saling bergantung, dengan satu unsure selalu
hadir di tempat lain, terdapat hierarki Yang atas Yin.

Hierarki Yin dan Yang secara umum, konotasi positive yang lebih banyak dibanding
Yin, dan mengacu tidak hanya pada hierarki lelaki atas perempuan, tapi juga pad tuan atas
pembantunya, atau penguasa atas pejabat. Yin dan Yang berlebihan dapat menyebabkan
kekacauan pada dunia fisik atau pemerintahan, tapi terlalu banyak Yin dianggap lebih
berbahaya, sering ditandai kekuasaan oleh wanita atau munculnya wanita penguasa.
Ketidakseimbangan ini sering terlihat dengan pertanda seperti banjir. Yin dan Yang

18
Ibid, 240.
ditemukan di segala hal, mulai dari makanan, geng shui, kesehatan, hubungan sosial, dan
adat istiadat, ramalan serta agama-agama popular, hingga bekerjanya alam semesta.19

Daftar Pustaka

Nahar Nahrawi, Muhammad, “Memahami Konghucu Sebagai Agama” (Jakarta: Grafika


Pustaka: 2003).

Ali Imron, M, “Sejarah Terlengkap Agama-Agama Di Dunia” (Yogyakarta: IRCiSoD:


2015).

Abdullah al-Maghlouth, Sami bin, “Atlas Agama-Agama” (Jakarta Timur: Almahira:


2011).

19
Ibid, 241.
Qosim Mathar, Moh, “Sejarah, Teologi, dan Etika Agama-Agama” (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar: 2003).
Suryadinata, Leo, “Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia” (Jakarta: Gramedia
Pustaka: 1988).
Tanggok, Ihsan, “Mengenal Lebih Dekat Agama Konghucu di Indonesia (Jakarta: Pelita
Kebajikan: 2005).

Mansur, Sufa’at, “Agama-Agama Besar Masa Kini” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2011).

Bailey, Alisom, Ronald G. Knapp, Peter Neville-Headley, J.A.G. Roberts, Nancy S.


Steinhardt, “China” (London: Dorling Kindersley Limited: 2008).

Anda mungkin juga menyukai